Anda di halaman 1dari 30

DEFINISI

Global Initiative Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu penyakit heterogen,
biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori. Inflamasi kronik ini ditandai
dengan riwayat gejala-gejala pada saluran respiratori seperti wheezing (mengi), sesak napas,
dan batuk yang bervariasi dalam waktu maupun intensitas, disertai dengan limitasi aliran udara
ekspiratori.
UKK Respirologi IDAI mendefinisikan, asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar
inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan
derajat bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada
tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada
malam atau dini hari, dan biasanya timbuljika ada pencetus.

EPIDEMIOLOGI
Asma merupakan penyakit kronis yang dapat terjadi mulai usia bayi, balita, remaja hingga
dewasa. Prevalensi asma semakin meningkat setiap tahun terutama di negara berpendapatan
rendah dan menengah. International study of asthma allergies in childhood (ISAAC) melaporkan
peningkatan prevalensi asma pada dan remaha dari 11% menjadi 13.7% sejak tahun 1993-2003.
Asma berhubungan erat dengan dermatitis atopi, rinokonjungtivitis alergika, rinitis alergika, dan
penyakit alergi lain. Anak laki-laki lebih banyak dibanding dengan anak wanita (14:10%).

FAKTOR RISIKO
Faktor risiko untuk penyakit asma dapat dikelompokan menjadi genetik dan nongenetik.
Faktor genetik berupa riwayat asma pada keluarga. Faktor nongenetik berupa infeksi virus pada
saluran pernapasan, alergi, paparan terhadap polusi, merokok atau paparan terhadap asap rokok,
dan obesitas.

KLASIFIKASI
Asma merupakan penyakit yang sangat heterogen dengan variasi yang sangat luas. Atas dasar
itu, ada berbagai cara mengelompokkan asma.
1. Berdasarkan umur :
 Asma bayi – baduta (bawah dua tahun)
 Asma balita (bawah lima tahun)
 Asma usia sekolah (5-11 tahun)
 Asma remaja (12-17 tahun)
2. Berdasarkan fenotip :
Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan penampakan yang serupa dalam
aspek klinis, patofisologis, atau demografis.
 Asma tercetus infeksi virus
 Asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma)
 Asma tercetus alergen
 Asma terkait obesitas
 Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma)
3. Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala:
Klasifikasi kekerapan ini dibuat setelah diagnosis kerja asma dan dilakukan tata laksana umum
selama 6 mg dengan tujuan sebagai acuan awal penetapan tata laksana jangka panjang.
 Asma intermiten
 Asma persisten ringan
 Asma persisten sedang
 Asma persisten berat

4. Berdasarkan derajat beratnya serangan:


Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode gejala akut yang memberat
dengan progresif yang disebut sebagai serangan asma. Dalam pedoman ini klasifikasi derajat
serangan digunakan sebagai dasar penentuan tata laksana.
 Asma serangan ringan-sedang
 Asma serangan berat
 Serangan asma dengan ancaman henti napas

5. Berdasar atas Derajat Kendali Asma:


Tujuan utama tata laksana asma adalah terkendalinya penyakit. Asma terkendali adalah asma
yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali dan kualitas hidup pasien baik.
 Asma terkendali penuh (well controlled)
Tanpa obat pengendali: pada asma intermitten
Dengan obat pengendali: pada asma persisten (ringan/sedang/berat)
 Asma terkendali sebagian (partly controlled)
 Asma tidak terkendali (uncontrolled)
Klasifikasi derajat kendali asma digunakan untuk menilai keberhasilan tata laksana yang
sedang dijalani dan untuk penentuan naik jenjang (step-up), pemeliharaan (maintenance), atau
turun jenjang (step-down).
Klasifikasi Derajat Kendali Asma (dalam 6-8 mgg Terakhir) (IDAI 2016)
GINA 2020

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan
terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan
dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada
penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten
maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma
alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.

1. Inflamasi Akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus,
iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan
pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.
a. Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel
mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin,
protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
b. Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan
serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.

2. Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit T,
eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.
Limfosit T: Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2).
Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin
antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0
ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5
serta GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
Epitel: Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita
asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi, endothelin, nitric
oxide synthase, sitokin atau khemokin. Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding.
Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma,
eosinophil granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan
metaloprotease sel epitel.
Eosinofil: Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak
spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan
teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3,
IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3,
IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil. Eosinofil yangmengandung granul protein ialah eosinophil cationic protein (ECP),
major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin
(EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas.
Sel Mast: Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking
reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast
yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly generated
mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara
lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.
Makrofag: Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang
normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus.
Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah
sitokin. Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway
remodeling. Peran tersebut melalui a.l sekresi growthpromoting factors untuk fibroblast, sitokin,
PDGF dan TGF-
Airway Remodeling: Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan
jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang
menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel-sel yang baru.
Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan
jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan
peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi
dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur
yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan
airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis
dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan penyambung
dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami
sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus. Pada asma terdapat saling
ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam
proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular
basal, matriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah,
otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi :
 Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
 Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
 Penebalan membran reticular basal
 Pembuluh darah meningkat
 Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
 Perubahan struktur parenkim
 Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari
inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus (longstanding inflammation).
Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti
hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas.
Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama
pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.

DIAGNOSIS
Gambaran Klinis
Karakteristik gejala asma adalah adanya serangan episodik mengi, sesak napas, dan batuk
yang bervariasi, dapat muncul secara spontan maupun dengan berjalannya terapi. Gejala dapat
memburuk pada malam hari dan pasien biasanya bangun pagi buta. Pasien dapat mengeluhkan
kesulitan bernapas dengan gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada. Awalnya batuk tanpa
disertai sekret, namun terjadi peningkatan produksi mukus kental yang sulit dikeluarkan,
meningkatnya laju napas & ada penggunaan otot tambahan dalam pernapasan. Gejala prodromal
dapat mendahului serangan, dengan gatal di bawah dagu, rasa tidak nyaman di antara skapula,
atau perasaan takut.
Ronkhi pada fase inspirasi & ekspirasi dapat ditemukan di seluruh lapang paru, dapat
ditemukan juga hiperinflasi. Pada beberapa pasien, terutama anak-anak, ada yang gejalanya
hanya batuk tanpa disertai dahak atau mengi, dikenal dengan istilah cough-variant asthma. Bila
hal ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator
atau uji provokasi bronkus dengan metakolin.
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma tidak
jelas. Terlebih lagi pasien juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus non-alergik seperti
asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas maupun perubahan cuaca.
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan dengan gejala yang biasanya memburuk pada
awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu, dan jika tetap memburuk sepanjang minggu
gejala mungkin membaik jika ia dijauhkan dari lingkungan kerjanya seperti saat cuti.

Anamnesis
Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis yang diterima luas
sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma berupa kombinasi dari batuk,
wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan produksi sputum. Chronic recurrent cough (batuk
kronik berulang, BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma. Gejala
dengan karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma. Karakteristik
yangmengarah ke asma adalah:

 Gejala timbul secara episodik atau berulang.


 Timbul bila ada faktor pencetus.
 Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kering,
makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna makanan.
 Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
 Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis
 Hiperreaktivitas: dipicu oleh beberapa faktor seperti tertawa, perubahan cuaca, aktivitas
fisis, pajanan alergen atau zat iritan (asap rokok, uap, bau yang menyengat) dan infeksi
saluran respiratori.
 Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
 Adanya riwayat alergi padapasienataukeluarganya.
 Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam.
Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
 Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian obat
pereda asma.

Pemeriksaan Fisik
 Keadaan tidak eksaserbasi: mungkin tidak ditemukan kelainan
 Eksaserbasi:
o Wheezing: terdengar langsung (audible wheeze) atau terdengar dengan stetoskop.
Pada keadaan eksaserbasi berat dapat tidak terdengar wheezing (silent chest).
o Ekspirasi memanjang
o Hiperinflasi dada, sianosis, takikardia, kesulitan untuk berbicara, retraksi dinding
dada.
o Penurunan suara napas terutama pada daerah paru kanan bawah akibat obstruksi
percabangan bronkus
o Crackles dan ronki dapat terdengar akibat produksi lendir yang berlebih karena
proses inflamasi
o Gejala alergi lain seperti dermatitis atopi, rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai
tanda alergi seperti allergic shiners atau geographic tongue
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas akibat obstruksi,
hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau adanya atopi pada pasien.
 Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk menilai
variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan dengan peakflowmeter.
 Uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, pemeriksaan IgE spesifik.
 Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO (fractionalexhalednitric oxide), eosinofil sputum.
 Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin hipertonik.

Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk mencari kemungkinan
diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto sinus paranasalis, foto toraks, uji refluks
gastro-esofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji defisiensi imun, CT-scan toraks,
endoskopirespiratori(rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi).

A. Pemeriksaan Faal Paru


Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai asmanya,
demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan
pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan
penderita, dan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk
menilai:
• Obstruksi jalan napas
• Reversibiliti kelainan faal paru
• Variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara luas
(standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi
(APE).
1. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP)
dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan itu
sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang
jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari
2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 90% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
• Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 90% atau VEP1 < 80%
nilai prediksi.
• Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 ≥ 12% secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari,
atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat
membantu diagnosis asma.
• Menilai derajat berat asma.

2. Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang lebih
sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif sangat murah,
mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan
termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/
dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-
hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa
membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas. Manfaat APE dalam diagnosis asma
yaitu:
• Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi kortikosteroid
(inhalasi/ oral, 2 minggu).
• Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian
selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat penyakit.
>13% memberikan gambaran asma.
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain, di samping
itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh karenanya pengukuran
nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi normal;
kecuali tidak diketahui nilai terbaik penderita yang bersangkutan.
B. Pemeriksaan lain
1. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan
gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji
provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil
negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti
bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis
alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan
fibrosis kistik.

2. Pengukuran Status Alergi


Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau
pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma,
tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol
lingkungan dalam penatalaksanaan.
1. Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan
dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi
juga dapat menghasilkan positif maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan
alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE
spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism,
dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE
total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi.
Tahapan penegakan diagnosis asma
1. Diagnosis kerja : Asma
Dibuat sesuai alur diagnosis asma anak, kemudian diberi tata laksana umum yaitu
penghindaran pencetus, pereda, dan tata laksanapenyakitpenyulit.
2. Diagnosis klasifikasi kekerapan
Dibuat dalam waktu 6 minggu, dapat kurang dari 6 minggu bila informasi klinis sudah kuat.
3. Diagnosis derajat kendali
Dibuat setelah 6 minggu menjalani tata laksana jangka panjang awal sesuai klasifikasi
kekerapan
Labelisasi pasien asma

DIAGNOSIS BANDING
Gejala asma tidak patognomonik dapat merupakan gejala penyakit lain sehingga perlu
dipertimbangkan diagnosis banding.
 Infeksi dan kelainan imunologis: rinitis, rinosinusitis, chronic upper airwat cough
syndrome, infeksi respiratori berulang, bronkiolitis, aspirasi berulang, dan tuberkulosis.
 Obstruksi mekanis: laringomalasia, trakeomalasia, hipertrofi timus, aspirasi benda asing,
vascular ring, laryngeal web, disfungsi pita suara, dan malformasi kongenital saluran
respiratori.
 Patologi bronkus: diplasia bronkopulmonal, bronkiektasis, diskinesia silia primer, fibrosis
kistik.
 Kelainan sistem organ lain: penyakit refluks gastro-esofagus (GERD), penyakit jantung
bawaan, gangguan neuromuskular, batuk psikogen.

KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah :
1. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang dicurigai bila terdapat
benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut lagi
dapat menyebabkan kegagalan napas.
2. Pneumo mediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal sebagai emfisema
mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di mediastinum. Pertama dijelaskan pada
1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh trauma fisik atau situasi lain yang
mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran udara atau usus ke dalam rongga dada.
3. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran
udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
4. Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan tersifat oleh
adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat menimbulkan lesi pada
berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah Aspergilosis dipakai untuk
menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.
5. Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida dalam paru-paru tidak
dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
6. Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam dari saluran
pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain bengkak juga
terjadi peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa perlu batuk berulang-
ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena
sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya lendir.
7. Fraktur iga
Komplikasi lainnya seperti infeksi saluran nafas, emfisema kutis, aritmia (terutama, bila
sebelumnya ada kelainan jantung).

TATALAKSANA
Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalahmencapai kendali asma sehingga
menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci, tujuan
yang ingin dicapai adalah:
1. Aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga.
2. Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari.
3. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
4. Efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikit mungkin terjadi, terutama
yang memengaruhi tumbuh kembang anak.
Apabila tujuan ini belum tercapai maka tata laksananya perlu dievaluasi kembali.
A. Jenis Obat
Tujuan tata laksana asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan kendali asma serta
menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal. Obat asma dapat dibagi menjadi
dua kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). Ada yang
menyebut obat pereda sebagai obat pelega atau obat serangan. Obat ini digunakan untuk
meredakan serangan atau gejala asma bila sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan gejala
tidak ada lagi, maka pemakaian obat ini dihentikan.
Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang digunakan untuk mencegah serangan asma.
Obat ini untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respiratori kronik, sehingga tidak
timbul serangan atau gejala asma. Pemakaian obat ini secara terusHmenerus dalam jangka waktu
yang relatif lama, bergantung pada kekerapan gejala asma dan responsnya terhadap
pengobatan/penanggulangan. Obat pengendali asma terdiri dari steroid anti-inflamasi inhalasi
atau sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid–agonis β2 kerja panjang, teofilin lepas lambat,
dan antiHimunoglobulin E.
B. Cara Pemberian
Pada umumnya obat asma diberikan secara inhalasi. Ada perbedaan teknik inhalasi sesuai
dengan golongan umur dan kemampuan anak, sehingga pemilihan alat inhalasi harus disesuaikan
dengan kondisi masing-masing anak. Pemilihan alat inhalasi sebaiknya juga mempertimbangkan
efikasi obat, keamanan, kenyamanan penggunaan, dan biaya. Inhalasi dosis terukur/Metered
Dose Inhaler (MDI) dengan spacer merupakan pilihan utama karena memberikan kenyamanan
kepada pasien, jumlah obat yang mencapai paru lebih banyak, risiko dan efek samping minimal,
serta biaya lebih murah. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan tanpa
spacer (MDI). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali.

C. Obat pengendali asma


1. Steroidinhalasi
Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan berperan penting dalam tata
laksana asma jangka panjang. Steroid inhalasi merupakan obat pengendali asma yang paling
efektif. Pemberian steroid inhalasi setara dosis budesonid 100-200 µg per hari dapat menurunkan
angka kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru pada pasien asma. Beberapa pasien asma
memerlukan dosis steroid inhalasi 400 µg per hari untuk mengendalikan asma dan mencegah
timbulnya serangan asma setelah berolahraga. Pada anak yang berusia diatas 5 tahun, steroid
inhalasi dapat mengendalikan asma, menurunkan angka kekambuhan, mengurangi risiko masuk
rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru, dan menurunkan serangan
asma akibat berolahraga. Steroid inhalasi atau sistemik tidak digunakan untuk asma intermiten
dan wheezing akibatinfeksivirus.
Steroid inhalasi sebagai obat pengendali asma tidak memengaruhi tinggi badan dan densitas
tulang. Kandidiasis oral dan suara parau sebagai efek samping dapat dicegah dengan cara
berkumur setiap selesai pemberian steroid inhalasi lalu membuang air bekas berkumur tersebut.
Pada anak asma yang mendapatkansteroid inhalasi perlu dipantau pertumbuhan (persentil tinggi
badan dan berat badan) setiap tahun.

*Dosis berbagai preparat steroid inhalasi pada anak asma

Steroid inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam sehari, kecuali ciclesonide yang
diberikan sekali sehari. Ciclesonide merupakan preparat steroid inhalasi yang baru, efek sistemik
minimal dan deposisi obat di orofaring lebih sedikit dibanding preparat steroid inhalasi yang lain.
Efikasi dan keamanannya dibanding preparat yang lain masih memerlukan penelitian lebih
lanjut.

2. Agonis β2 kerja panjang (Long acting ß2C agonist, LABA)


Sebagai pengendali asma, agonis β2 kerja panjang tidak digunakan tunggal melainkan selalu
bersama steroid inhalasi. Kombinasi agonis β2 kerja panjang dengan steroid terbukti
memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka kekambuhan asma. Preparat kombinasi steroid-
agonis β2 kerja panjang pada anak asma yang berusia di atas 5 tahun, diberikan bila steroid
inhalasi dosis rendah tidak menghasilkan perbaikan. Pemberian kombinasi steroid-agonis β2
kerja panjang dalam satu kemasan memberikan hasil pengobatan yang lebih baik dibandingkan
steroid inhalasi dan agonis β2 kerja panjang dalam sediaan terpisah. Penelitian penggunaan
kombinasi steroid-agonis β2 kerja panjang pada anak balita masih terbatas.
Kombinasi agonis β2 kerja panjang-steroid inhalasi juga dapat digunakan untuk
mencegah spasme bronkus yang dipicu olahraga dan mampu memproteksi lebih lama
dibandingkan agonis β2 inhalasi kerja pendek. Formoterol memiliki awitan kerja yang cepat
sehingga walaupun formoterol merupakan agonis β2 kerja panjang, namun dapat berfungsi
sebagai obat pereda.

3. Antileukotrien
Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl3 leukotrien 1 (CysLT1) seperti
montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, serta inhibitor 5Hlipoxygenase seperti zileuton.
Studi klinik menunjukkan antileukotrien memiliki efek bronkodilatasi kecil dan bervariasi,
mengurangi gejala termasuk batuk, memperbaiki fungsi paru, dan mengurangi inflamasi jalan
napas dan mengurangi eksaserbasi.
Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak lebih unggul
dibanding steroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat pengendali tunggal, efeknya lebih rendah
dibandingkan dengan steroid inhalasi. Kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien dapat
menurunkan angka serangan asma dan menurunkan kebutuhan dosis steroid inhalasi.
Antileukotrien dapat mencegah terjadinya serangan asma akibat berolahraga (exercise induced
asthma, EIA) dan Obstructive Sleep Apnea (OSA). Antileukotrien juga dapat mencegah
serangan asma akibat infeksi virus pada anak balita. Pemberian kombinasi steroid inhalasi dan
antileukotrien pada asma persisten kurang efektif dibandingkan dengan steroid inhalasi dosis
sedang. Pemberian antileukotrien tunggal dapat diberikan sebagai alternatif dari pemberian
steroid inhalasi.

4. Teofilin lepas lambat


Sebagai obat pengendali asma teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai preparat tunggal
atau diberikan sebagai kombinasi dengan steroid inhalasi pada anak usia di atas 5 tahun.
Kombinasi steroid inhalasi dan teofilin lepas lambat akan memperbaiki kendali asma dan dapat
menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma persisten. Preparat teofilin lepas
lambat lebih dianjurkan untuk pengendalian asma karena kemampuan absorbsi dan bioavaibilitas
yang lebih baik. Eliminasi teofilin lepas lambat bervariasi antar individu sehingga pada
penggunaan jangka lama kadar teofilin dalam plasma perlu dimonitor. Efek samping teofilin
lepas lambat bisa berupa mual, muntah, anoreksia, sakit kepala, palpitasi, takikardi, aritmia,
nyeri perut, dan diare. Efek samping teofilin lepas lambat terutama timbul pada pemberian dosis
tinggi, di atas 10mg/kgBB/hari.

5. Anti-imunoglobulin E (Anti-IgE)
AntiHIgE (omalizumab) adalah antibodi monoklonal yang mampu mengurangi kadar
IgE bebas dalam serum. Pada orang dewasa dan anak di atas usia 5 tahun, omalizumab dapat
diberikan pada pasien asma yang telah mendapat steroid inhalasi dosis tinggi dan agonis β2 kerja
panjang namun masih sering mengalami eksaserbasi dan terbukti asma karena alergi.
Omalizumab diberikan secara injeksi subkutan setiap dua sampai empat minggu. Reaksi
anafilaksis dapat terjadi dini ketika pemberian dosis pertama, tapi juga dapat terjadi setelah
pemberian selama satu tahun. Karena adanya risiko anafilaksis, omalizumab seharusnya di
bawah pengawasan dokter spesialis.
Anti-IgE (omalizumab) terbukti memperbaiki gejala asma pada asma persisten sedang
dan berat yang disebabkan oleh karena alergi. Pemberian omalizumab akan menurunkan
kebutuhan steroid inhalasi dan menurunkan angka serangan asma. Pemberian anti-IgE
membutuhkan beberapa kali dosis penyuntikan dan relatif mahal. Efek samping yang pernah
dilaporkan antara lain urtikaria, kemerahan, gatal. Belum dilakukan penelitian jangka panjang (di
atas satu tahun) untuk efikasi anti-IgE.
D. Jenjang pengendalian asma
Pedoman Nasional Asma Anak tahun 2015 membagi derajat penyakit asma anak berdasarkan
kekerapan gejala dan derajat kendali. Setelah dilakukan tata laksana umum berupa penghindaran
pencetus, klasifikasi kekerapan asma dapat ditentukan dalam waktu enam minggu. Pada asma
intermiten tidak dibutuhkan tata laksana asma jangka panjang sesuai dengan jenjang 1,
sedangkan pada asma persisten dilakukan tata laksana jangka panjang sesuai dengan jenjang 2
sampai jenjang 4 kemudian dievaluasi secara berkala untuk menaikkan atau menurunkan jenjang
dalam pemakaian obat pengendali asma. Diagnosis derajat kendali dibuat setelah 6 minggu
menjalani tata laksana jangka panjang awal sesuai klasifikasi kekerapan.
Pemberian steroid inhalasi sebagai tata laksana asma jangka panjang harus dipertimbangkan
pada pasien asma dengan salah satu dari kriteria berikut: mengalami serangan asma pada 2 tahun
terakhir, penggunaan obat pereda asma 3 kali dalam satu minggu, terbangun karena serangan
asma 1 kali dalam satu minggu.

Jenjang dalam tata laksana asma jangka panjang pada anak usia >5 tahun :

Keterangan gambar: ICS (inhaled corticosteroids, steroid inhalasi); LTRA (Leukotriene Receptor Antagonist); SABA (short acting
beta agonist, agonis β2 kerja pendek); LABA (long acting beta agonist, agonis β2 kerja panjang)

Keterangan :
1. Acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang menggunakan klasifikasi
kekerapan.
2. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 6-8 minggu dan asma
belum terkendali, maka tata laksana naik jenjang ke atasnya (step up).
3. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8-12 minggu dan asma
terkendali penuh, maka tata laksana turun jenjang kebawahnya (step down).
4. Perubahan jenjang tata laksana harus memperhatikan aspek- aspek penghindaran,
penyakit penyerta.
5. Pada Jenjang 4, jika belum terkendali, tata laksana ditambahkan omalizumab.

Berdasarkan GINA 2020 tatalaksana Asma berdasarkan tingkat kekerapannya:


Asma Intermiten
Anak usia 6-11 th
Obat pengendali yang diberikan, yaitu ICS dosis rendah setiap kali SABA diberikan
secara terpisah atau ICS dosis rendah harian.
Remaja > 12 th
Pada asma intermiten pasien masuk ke dalam jenjang 1. Plihan obat pengendali yang
diberikan, yaitu ICS dosis rendah dan formeterol sesuai kebutuhan atau pilihan lain, yaitu
pemberian ICS dosis rendah setiap kali SABA diberikan baik terpisah maupun dalam
kombinasi.

Asma Persisten Ringan


Anak usia 6-11 th
Pada asma persisten ringan pasien masuk ke dalam jenjang 2. Pilihan utama obat
pengendali adalah regular ICS dosis rendah. Alternatif lain dapat diberikan antileukotrien
(kurang efektif dibanding dengan Cl) atau pemberian CI setiap kali SABA diberikan
secara terpisah.

Remaja >12 th
Pada asma persisten ringan pasien masuk ke dalam jenjang 2. Pilihan utama obat
pengendali adalah regular ICS dosis rendah atau pemberian ICS dosis rendah dan
formeterol sesuai kebutuhan. Alternatif lain dapat diberikan antileukotrien (kurang efektif
dibanding dengan ICS) atau pemberian ICS setiap kali SABA diberikan baik terpisah
maupun dalam kombinasi.
Apabila sesudah pengobatan selama 2-3 bulan dengan jenjang 2 gejala klinis masih tidak
terkendali dan atau eksaserbasi masih terjadi dilakukan evaluasi dan pertimbangkan
untuk step up ke jenjang 3.

Asma Persisten Sedang


Anak usia 6-11 th
Pada asma persisten sedang pasien masuk ke dalam jenjang 3. Pihan utama obat
pengendali adalah ICS dosis menengah atau kombinasi ICS dosis rendah dan agonis-B2
kerja panjang (long acting B2 agonist=LABA). Alternatif lain diberikan ICS dosis rendah
dengan leukotrien reseptor antagonis (LTRA).
Remaha >12 tahun
Pada asma persisten sedang pasien masuk ke dalam jenjang 3. Pilihan utama obat
pengendali adalah kombinasi ICS dosis rendah dan LABA. Alternatif lain diberikan ICS
dosis menengah atau ICS dosis rendah dengan LTRA. Apabila sesudah pengobatan
selama 2-3 bl dengan jenjang 3 gejala klinis masih sering terjadi, dilakukan evaluasi dan
pertimbangkan untuk step up ke jenjang 4.

Asma Persisten Berat


Anak usia 6-11 th
Pada tahap ini pasien sebaiknya dirujuk ke konsultan respirologi anak. Tiotropium (long-
acting muscarinic antagonist) inhalasi dapat diberikan sebagai terapi tambahan pada anak
berusia >6 th. Terapi ni terbukti dapat memperbaiki fungsi paru dan mengurangi
eksaserbasi.

Remaja > 12 th
Pada asma persisten berat pasien masuk ke dalam jenjang 4. Pilhan utama obat
pengendali adalah ICS dosis tinggi atau ICS dosis menengah + LABA.
Obat lain:
Antileukotrien seperti montelukas dan zafirlukas. Penggunaan obat antileukotrien jenis
zafirlukas masih terbatas pada anak usia >6 th, sedangkan jenis montelukas sudah
digunakan pada anak > 2th;
Walaupun antihistamin dapat diberikan pada tata laksana asma jangka panjang apabila
pasien menderita asma disertai rinitis alergika kronik, namun pemberian obat ini masih
kontroversial.

Jika tata laksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun belum
terkendali setelah 2-3 bl maka derajat tata laksana beralih ke derajat asma yang lebih
berat (step up). Sebaliknya, jika asma telah terkendali penuh setelah 2-3 bl maka derajat
asma beralih ke yang lebih ringan (step-down).
Sebelum melakukan step-up perlu dilakukan evaluasi pengobatan meliputi:
 Tilik dan koreksi penggunaan inhaler;
 Pastikan kepatuhan pemakaian obat sesuai dosis yang ditentukan; Selidiki tentang
faktor risiko baik di rumah maupun lingkungan sekolah seperti alergen atau pajanan
asap rokok, polusi udara;
 Penyakit komorbid yang kemungkinan berpengaruh terhadap gejala repiratori
maupun kualitas hidup yang buruk;
 Diagnosis yang tidak tepat.

Pilihan pengobatan yang dapat dipertimbangkan setelah pengoptimalan terapi yang ada mungkin
termasuk yang berikut (selalu periksa kelayakan lokal dan kriteria pembayar):
• Kombinasi ICS-LABA dosis tinggi: hal ini dapat dipertimbangkan pada orang dewasa
dan remaja, tetapi peningkatan dosis ICS umumnya memberikan sedikit manfaat
tambahan, dan terdapat peningkatan risiko efek samping, termasuk penekanan adrenal.
• Tiotropium tambahan (antagonis muskarinik kerja lama) pada pasien berusia ≥6 tahun
yang asmanya tidak terkontrol dengan baik dengan ICS-LABA. Tiotropium tambahan
(kebanyakan 5μg sekali sehari dengan inhaler) sedikit meningkatkan fungsi paru-paru
• Azitromisin tambahan (tiga kali seminggu) untuk pasien dewasa dengan gejala asma
persisten meskipun ICS dosis sedang-tinggi dan LABA mengurangi eksaserbasi asma
pada asma eosinofilik dan non-eosinofilik dan meningkatkan kualitas hidup terkait asma
• Perawatan tambahan anti-imunoglobulin E (anti-IgE) (omalizumab): untuk pasien
berusia ≥6 tahun dengan asma alergi sedang atau berat yang tidak terkontrol pada
perawatan Langkah 4–5
• Pengobatan anti-interleukin-5 / 5R tambahan (mepolizumab subkutan untuk pasien
berusia ≥6 tahun; reslizumab intravena untuk usia ≥18 tahun) atau pengobatan reseptor
anti-interleukin 5 (benralizumab subkutan untuk usia ≥12 tahun), dengan asma
eosinofilik parah yang tidak terkontrol pada perawatan Langkah 4–5.
• Perawatan tambahan anti-interleukin-4R α (subkutan dupilumab) untuk pasien
berusia ≥12 tahun dengan asma tipe 2 yang parah, atau membutuhkan perawatan dengan
pemeliharaan OCS.
• Pengobatan dengan panduan dahak: untuk orang dewasa dengan gejala yang menetap
dan / atau eksaserbasi meskipun ICS dosis tinggi atau ICS-LABA, pengobatan dapat
disesuaikan berdasarkan eosinofilia (> 3%) pada sputum yang diinduksi.
• Perawatan tambahan dengan termoplasti bronkial: dapat dipertimbangkan untuk
beberapa pasien dewasa dengan asma berat
• Kortikosteroid oral dosis rendah tambahan (setara dengan prednison ≤7,5 mg / hari):
mungkin efektif untuk beberapa orang dewasa dengan asma berat, tetapi sering dikaitkan
dengan efek samping yang substansial. Mereka harus dinilai dan dipantau untuk risiko
osteoporosis yang diinduksi kortikosteroid.

SERANGAN/EKSASERBASI ASMA
A. Definisi
Episodik asma dengan karakteristik berupa peningkatan progresif akut dari gejala napas
pendek, batuk, wheezing, dada terasa berat, dan penurunan progresif dari fungsi paru
yang ditandai dengan penurunan FEV1 atau PEF. Serangan asma mencermikan
kegagalan tata laksana asma jangka panjang yang gagal atau terdapat pajanan faktor
pemicu.
B. Faktor Pemicu
Infeksi virus saluran respiratori, aktivitas fisis berlebihan, hiperventilasi (misalnya
tertawa, menangis), perubahan cuaca, zat iritatif (asap rokok, asap kayu bakar, parfum),
pajanan alergen, alergi makanan, polusi udara, dan kepatuhan/adherence penggunaan
kosteroid inhalasi=kortikosteroid hirupan atau inhaled corticosteroid (ICS) yang buruk.

C. Derajat eksaserbasi asma terbagi menjadi


1. Eksaserbasi Ringan-Sedang
Pasien dapat berbicara dengan kalimat yang utuh, lebih senang duduk daripada
berbaring, tidak gelisah, frekuensi napas dan nadi meningkat, retraksi minimal,
SpO2 udara kamar 90-95%, dan PEF >50% nilai prediksi atau terbaik
2. Eksaserbasi Berat
Bicara dalam kata, duduk bertopang lengan, gelisah, laju npas dan laju nadi
meningkat, retraksi jelas, SpO2 udara kamar <90% dan PEF < 50% nilai prediksi
atau terbaik.
3. Ancaman henti napas
Kritreria eksaserbasi berat terpenuhi ditambah dengan pasien tampak mengantuk,
letargi, serta suara napas tidak terdengar.
Tata Laksana
Tujuan: mengatasi penyempitan saluran respiratori secepat-cepat, mengurangi hipoksemia,
mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepat-cepatnya, mengevaluasi dan
memperbarui tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.
Tatalaksana asma anak dibagi menjadi: tata laksana komunikasi, dan edukasi (KIE) pada pasien
dan keluarga, penghindaran terhadap faktro pemicu, dan medikamentosa.
Tata laksana medikamentosa dibagi dalam 2 kelompok besar: tata laksana serangan asma dan
tata laksana jangka panjang.
Tahapan Tata Laksana Serangan Asma
1. Tatalaksana di Rumah
Jika tidak ada keadaan beresiko, berikan inhalasi agonis β2 kerja pendek, via nebulizer
atau dengan MDI + spacer, sebagai berikut:

A. Jika diberikan via nebulizer


1. Berikan agonis β2 kerja pendek, lihat responsnya. Bila gejala (sesak napas dan
wheezing) menghilang, cukup diberikan satu kali.
2. Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi pemberian sekali lagi
3. Jika dengan 2 kali pemberian agonis β2 kerja pendek via nebulizer belum membaik,
segera bawa ke fasyankes.

B. Jika diberikan via MDI + spacer


1. Berikan agonis β2 kerja pendek serial via spacer dengan dosis: 2-4 semprot. Berikan
satu semprot obat ke dalam spacer diikuti 6-8 tarikan napas melalui antar
muka (interface) spacer berupa masker atau mouthpiece. Bile belum ada respons berikan
semprot berikutnya dengan siklus yang sama.
2. Jika membaik dengan dosis 4 semprot, inhalasi dihentikan.
3. Jika gejala tidak membaik dengan dosis 4 semprot, segera bawa ke fasyankes.

2. Tata Laksana fasilitas kesehatan primer (fasyankes)


Semua anak yang mengalami serangan asma harus dinilai derajat serangan, apakah serangan
ringan, sedang, berat,atau ancaman henti napas. Cara nebulisasi dan jenis obat yang digunakan
tergantung pada derajat serangan asma yang terjadi dan kemudian dinilai hasil nebulisasi yang
diberikan.
Serangan Asma Ringan-Sedang
Oksigen: pertahankan saturasi 93-95% (94-98% anak usia 6- 11 th).
Nebulisasi dengan obat tunggal, yaitu short acting B-agonis (SABA) menggunakan
pMDI (metered dose inhaler) dengan menggunakan spacer/alat penyambung sebanyak 4-
10 semprot diulang setiap 20 mnt selama 1 jam. Penilaian perbaikan klinis harus
dilakukan setiap selesai pemberian obat ini.
Kortikosteroid sistemik untuk anak usia 6-11 th berupa prednisolon dengan dosis 1-2
mg/kgBB (maks. 40 mg).
Tindakan berikutnya adalah:
 Jika dengan pemberian pMDI serangan mereda --> pasien diobservasi selama 1 jam.
Penilaian meliputi perbaikan geiala klinis, saturasi oksigen, dan hasil fungsi paru FEV1
atau PEF >60-80% nilai prediksi. Jika selama observasi tersebut tetap membaik pasien
dipulangkan.
 Jika selama observasi 1 jam mengalami kekambuhan serangan, maka pasien dirujuk ke
UGD. Sewaktu menunggu dapat diberikan inhalasi SABA dan ipatoprium bromida,
oksigen, dan kortikosteroid sistemik.
 Apabila pada saat awal penilaian merupakan serangan berat atau mengancam jiwa -->
maka segera rujuk ke rumah sakit.
3. Tata Laksana di IGD/ Rumah Sakit

Serangan Asma Ringan-Sedang


 Oksigen: pertahankan saturasi oksigen 93-95%(94-98% anak usia 6-11 th).
 Nebulisasi: SABA diberikan setiap 20 mnt, diulang sebanyak 3 kali dalam 1 jam.
Pertimbangkan pula pemberian ipatropium bromida.
 Anak usia >5 th diberikan kortikosteroid sistemik berupa prednisolon dengan
dosis 1-2 mg/kgBB (maks. 40mg) atau ICS dosis tinggi sebagai pereda.
 Kortikosteroid inhalasi diberikan pada pasien yang mempunyai kontraindikasi
atau yang tidak bisa diberikan kortikosteroid p.o. atau injeksi.
 Anak >12 th yang sedang mendapat terapi pengendali berupa kombinasi inhalasi
budesonid dan formoterol maka obat ini dapat juga digunakan sebagai alternatif
obat pereda.
 Penilaian perbaikan klinis dilakukan setiap selesai nebulisasi dan dilakukan pula
pengukuran fungsi paru. Tindakan selanjutnya adalah: pasien diobservasi selama
1 jam di IGD meliputi gejala klinis, saturasi oksigen, dan fungsi paru; jika selama
observasi didapatkan perbaikan gejala klinis serta FEV1 atau PEF 60-80%
prediksi/terbaik maka pertimbangkan rencana pulang.
Indikasi Rawat
Nilai predisi terbaik FEV1 atau PEF < 25% sebelum mendapatkan terapi pereda atau
Nilai prediksi terbaik FEV1 atau PEF <40% setelah pemberian terapi. Serangan kambuh
ulang atau perburukan berlanjut maka pasien di tata laksana sebagai serangan asma berat
dan dilakukan penialain ulang untuk perawatan intensive care unit.

Serangan Asma Berat


 Oisigen 2:4 L/mnt termasuk saat nebulisasi dengan target saturasi 93-95%.
Nebulisasi awal menggunakan kombinasi SABA dan antikolinergik.
 Kortrosteroid p.o. atau i.v. Apabila tidak ada perbaikan, ditambah ICS dosis
tinggi. Pertimbangkan pembenian magnesium i.v. Pasang jalur parenteral dan
dlilakukan foto rontgen toraks.
 Pasien diobservasi selama 1 jam di IGD serta dilakukan pengukuran fungsi paru.
Jika selama observasi didapatkan perbaikan FEV1 atau PEF 60-80%
 prediksi/terbaik dan perbaikan gejala (menjadi derajat sedang) pertimbangkan
rencana pulang.
 Jika selama observasi 1 jam di IGD serangan mengalami kekambuhan atau
perburukan berlanjut, FEV1 atau PEF <40% nilai prediksi/terbaik dan tidak ada
respons klinis (derajat berat) evaluasi ulang lebih sering dan pertimbangkan rawat
inap.

Serangan Asma dengan Ancaman Henti Napas


 Rawat di ruang intensif.
 Inhalasi kombinasi SABA dan antikolinergik ditambah dengan kortikosteroid i.v.
dan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yang keduanya diberikan sebagai obat
pereda.
Pemberian Obat Saat Dipulangkan
 Pasien dapat dipulangkan dengan pertimbangan sebagai berikut: serangan ringan
atau sedang yang dengan satu atau 2x nebulisasi terjadi respons baik/perbaikan
yang sempurna dan sesudah observasi 1 jam di IGD tidak terjadi serangan ulang.
Pasien yang dirawat di ruang rawat sehari (RRS) karena tidak mengalami respons
dengan 2x nebulisasi di IGD, tetapi mengalami perbaikan sempurna sesudah
perawatan selama 12 jam.
 Pasien dengan derajat serangan berat vang mengalami perbaikan yang sempurna
sesudah observasi pengobatan selama 24 jam di rawat inap.
 Pengukuran fungsi paru dengan hasil FEV1 atau PEF 60-80% prediksi/terbaik.
 Obat yang digunakan pada waktu dipulangkan sama untuk semua pasien, baik
yang tidak mengalami perawatan maupun yang sempat dirawat.
 Obat tersebut adalah:
 Obat SABA (hirupan_atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam: Kortikosteroid p.o,
diberikan jika pemicu serangan adalah kemungkinan infeksi virus; hanya
diberikan untuk jangka pendek (5-7hr).
 Pasien dianjurkan untuk kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24-48 jam
untuk evaluasi tata laksana.
Tata laksana di Ruang Rawat Inap
Berikut tata laksana yang diberikan setelah pasien masuk ke ruang rawat inap:
• Pemberian oksigen diteruskan.
• Jika ada dehidrasi dan asidosis maka berikan cairan intravena dan koreksi asidosisnya.
• Steroid intravena diberikan secara bolus, setiap 6-8 jam. Dosis steroid intravena
adalah 0,5-1 mg/kgBB/hari.
• Nebulisasi agonis β2 kerja pendek kombinasi dengan ipratropium bromida dengan
oksigen dilanjutkan setiap 1-2 jam. Jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan
klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
• Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis :
 Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, aminofilin dosis awal (inisial)
sebesar 6-8 mg/kgBB, yang dilarutkan dalam dekstrosa atau garam fisiologis sebanyak
20 ml, dan diberikan selama 30 menit, dengan infusion pump atau mikroburet.
 Bila, respons belum optimal dilanjutkan dengan pemberian aminofilin dosis rumatan
sebanyak 0,5-1 mg/kgBB/jam.
 Jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis diberikan separuhnya,
baik dosis awal (3-4 mg/kgBB) maupun rumatan (0,25-0,5 mg/kg/jam).
 Bila memungkinkan, sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20
mcg/ml.
 Pantau gejala-gejala intoksikasi aminofilin, efek samping yang sering adalah mual,
muntah, takikarsi dan agitasi. Toksisitas yang berat dapat menyebabkan aritmia,
hipotensi, dan kejang.
• Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam hingga mencapai 24
jam, dan steroid serta aminofilin diganti dengan pemberian peroral.
• Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat agonis
β2 (hirupan atau oral) yang diberikan setiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu, steroid
oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 3-5 hari untuk reevaluasi
tatalaksana.

Kriteria rawat di Ruang Rawat Intensif


Pasien yang sejak awal masuk ke UGD sudah memperlihatkan tandaHtanda ancaman henti
napas, langsung dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit, ICU).

*Kriteria pasien yang memerlukan ICU adalah:


• Tidak ada respons sama sekali terhadap tata laksana awal di UGD dan/atau perburukan
asma yang cepat.
• Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas,
atauhilangnyakesadaran.
• Tidak ada perbaikan dengan tata laksana baku di ruang rawat inap.
• Ancaman henti napas: hipoksemia tetap terjadi meskipun sudah diberi oksigen (kadar
PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 >45 mmHg, meskipun tentu saja gagal napas dapat terjadi
pada kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih rendah). Penggunaan ventilator tidak dibahas
dalam pedoman ini.

TATALAKSANA NON MEDIKAMENTOSA & PENCEGAHAN ASMA PADA ANAK


Program KIE
Definisi
Komunikasi, informasi dan edukasi yang diberikan kepada pasien oleh petugas kesehatan
mengenai asma dan tatalaksananya
Tujuan
 Meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan diri pasien dalam mengenali
serangan asma
 Mengambil langkah – langkah yang sesuai
 Memotivasi untuk menghindari faktor – faktor pencetus
 Meningkatkan keteraturan terhadap rencana pengobatan yang sudah ditetapkan
Komponen yang harus diperhatikan
o Mengutamakan terjalinnya hubungan baik dengan pasien
o KIE selalu diberikan di setiap kesempatan bertemu dengan pasien

o Berbagi dan bertukar informasi dengan pasien tentang asma dan


penatalaksanaannya
o Penilaian kendali asma, derajat dan pemakaian obat-obatan
o Harapan akan tercapai kendali asma

o Meredam ketakutan dan kekhawatiran

Penghindaran Faktor Pencetus


 Ada dua jenis faktor pencetus

 Faktor Genetik
 Faktor Lingkungan : Alergen hirupan, iritan, penyakit komorbid, faktor lain
TEKNIK PENGGUNAAN TERAPI INHALASI
Pemberian per inhalasi adalah pernberian obat secara langsung ke dalam saluran nafas melalui
penghisapan. Pernberian obat secara inhalasi mempunyai beberapa keuntungan yaitu obat
bekerja langsung pada saluran nafas, onset kerjanya cepat, dosis obat yang digunakan kecil, serta
efek samping yang minimal karena konsentrasi obat di dalam darah sedikit atau rendah.
Prinsip:
 Onset kerjanya cepat, dosis obat kecil, efek samping minimal karena konsentrasi obat di
dalam darah sedikit atau rendah, mudah digunakan, serta efek terapeutik tercapai yang
ditandai dengan tampaknya perbaikan klinis.
 Partikel berukuran > 15 mm tersaring oleh filtrasi rambut hidung sedangkan > 10 mm
akan mengendap di hidung dan nasofaring. Partikel berukuran 0,5 – 5 mm akan
mengendap secara sedimentasi karena gaya gravitasi sedangkan partikel berukuran < 0,1
mm akan mengendap karena gerak Brown.
 3 sistem inhalasi yang digunakan dalam klinik sehari-hari yaitu,
1. Nebuliser
 Alat nebuliser dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus
menerus dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau gelombang
ultrasonik.
 Keuntungan terapi inhalasi menggunakan nebuliser adalah tidak atau sedikit memerlukan
koordinasi pasien, beberapa jenis obat dapat dicampur (misalnya salbutamol dan natrium
kromoglikat).
 Kekurangannya adalah karena alat cukup besar, memerlukan sumber tenaga listrik dan
relatif mahal
 Ultrasonic nebuliser
1. Alat ini menghasilkan aerosol melalui osilasi frekuensi tinggi dari piezo-electric crystal
yang berada dekat larutan dan cairan memecah menjadi aerosol. + : tidak bising dan terus
menerus mengubah jadi aerosol, -: mahal dan meerlukan biaya perawatan
2. Jet Nebulizer
Alat ini paling banyak digunakan banyak negara karena relatif lebih murah daripada
ultrasonic nebuliser
2. Metered Dose Inhaler (MDI)
Metered dose inhaler (MDI) atau inhaler dosis terukur merupakan cara inhalasi yang
memerlukan teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis obat mencapai saluran
pernafasan.
Pada cara inhalasi ini diperlukan koordinasi antara penekanan kanister dengan inspirasi
napas. Untuk mendapatkan hasil optimal maka pemakaian inhaler ini hendaklah
dikerjakan sebagai berikut:
 terlebih dahulu kanister dikocok agar obat tetap homogen, lalu tutup kanister
dibuka
 inhaler dipegang tegak kemudian pasien melakukan ekspirasi maksimal secara
perlahan
 mulut kanister diletakkan diantara bibir, lalu bibir dirapatkan dan dilakukan
inspirasi perlahan sampai maksimal
 pada pertengahan inspirasi kanister ditekan agar obat keluar
 pasien menahan nafas 10 detik atau dengan menghitung 10 hitungan pada
inspirasi maksimal setelah 30 detik atau 1 menit prosedur yang sama diulang
kembali
 setelah proses selesai, jangan lupa berkumur untuk mencegah efek samping.
Kesalahan : kurangnya koordinasi pada saat menekan kanister dan saat menghisap, terlalu
cepat inspirasi, tidak berhenti sesaat setelah inspirasi, tidak mengocok kanister sebelum
digunakan, dan terbalik pemakaiannya.
MDI dengan spacer
 Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara aktuator dengan mulut sehingga
kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang dan akan dihasilkan partikel
berukuran kecil yang berpenetrasi ke saluran pernafasan perifer. Hal ini merupakan
kelebihan dari penggunaan spacer karena mengurangi pengendapan di orofaring.
 Untuk bayi dianjurkan menggunakan spacer volume kecil (babyhaler) agar aerosol yang
dihasilkan lebih mampat sehingga lebih banyak obat akan terinhalasi pada setiap
inspirasi.
 Pengendapan di orofaring akan berkurang yaitu sekitar 5% dosis yang diberikan bila
digunakan spacer dengan katup satu arah
 Deposit pada paru akan meningkat menjadi 20% dibandingkan tanpa spacer.
 Dengan bantuan spacer, koordinasi pada saat menekan kanister dengan saat penghisapan
dapat dikurangi atau bahkan tidak memerlukan koordinasi.
3. Dry Powder Inhaler
Penggunaan obat serbuk kering pada DPI memerlukan inspirasi yang cukup kuat. Pada anak
yang kecil hal ini sulit dilakukan mengingat inspirasi kuat belum dapat dilakukan, sehingga
deposisi obat pada saluran pernafasan berkurang. Pada anak yang lebih besar, penggunaan
obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi dibandingkan
dengan MDI. Dengan cara ini deposisi obat di dalam paru lebih tinggi dan lebih konstan
dibandingkan MDI sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun.

Anda mungkin juga menyukai