Global Initiative Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu penyakit heterogen,
biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori. Inflamasi kronik ini ditandai
dengan riwayat gejala-gejala pada saluran respiratori seperti wheezing (mengi), sesak napas,
dan batuk yang bervariasi dalam waktu maupun intensitas, disertai dengan limitasi aliran udara
ekspiratori.
UKK Respirologi IDAI mendefinisikan, asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar
inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan
derajat bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada
tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada
malam atau dini hari, dan biasanya timbuljika ada pencetus.
EPIDEMIOLOGI
Asma merupakan penyakit kronis yang dapat terjadi mulai usia bayi, balita, remaja hingga
dewasa. Prevalensi asma semakin meningkat setiap tahun terutama di negara berpendapatan
rendah dan menengah. International study of asthma allergies in childhood (ISAAC) melaporkan
peningkatan prevalensi asma pada dan remaha dari 11% menjadi 13.7% sejak tahun 1993-2003.
Asma berhubungan erat dengan dermatitis atopi, rinokonjungtivitis alergika, rinitis alergika, dan
penyakit alergi lain. Anak laki-laki lebih banyak dibanding dengan anak wanita (14:10%).
FAKTOR RISIKO
Faktor risiko untuk penyakit asma dapat dikelompokan menjadi genetik dan nongenetik.
Faktor genetik berupa riwayat asma pada keluarga. Faktor nongenetik berupa infeksi virus pada
saluran pernapasan, alergi, paparan terhadap polusi, merokok atau paparan terhadap asap rokok,
dan obesitas.
KLASIFIKASI
Asma merupakan penyakit yang sangat heterogen dengan variasi yang sangat luas. Atas dasar
itu, ada berbagai cara mengelompokkan asma.
1. Berdasarkan umur :
Asma bayi – baduta (bawah dua tahun)
Asma balita (bawah lima tahun)
Asma usia sekolah (5-11 tahun)
Asma remaja (12-17 tahun)
2. Berdasarkan fenotip :
Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan penampakan yang serupa dalam
aspek klinis, patofisologis, atau demografis.
Asma tercetus infeksi virus
Asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma)
Asma tercetus alergen
Asma terkait obesitas
Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma)
3. Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala:
Klasifikasi kekerapan ini dibuat setelah diagnosis kerja asma dan dilakukan tata laksana umum
selama 6 mg dengan tujuan sebagai acuan awal penetapan tata laksana jangka panjang.
Asma intermiten
Asma persisten ringan
Asma persisten sedang
Asma persisten berat
1. Inflamasi Akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus,
iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan
pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.
a. Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel
mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin,
protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
b. Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan
serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.
2. Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit T,
eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.
Limfosit T: Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2).
Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin
antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0
ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5
serta GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
Epitel: Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita
asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi, endothelin, nitric
oxide synthase, sitokin atau khemokin. Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding.
Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma,
eosinophil granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan
metaloprotease sel epitel.
Eosinofil: Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak
spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan
teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3,
IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3,
IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil. Eosinofil yangmengandung granul protein ialah eosinophil cationic protein (ECP),
major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin
(EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas.
Sel Mast: Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking
reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast
yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly generated
mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara
lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.
Makrofag: Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang
normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus.
Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah
sitokin. Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway
remodeling. Peran tersebut melalui a.l sekresi growthpromoting factors untuk fibroblast, sitokin,
PDGF dan TGF-
Airway Remodeling: Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan
jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang
menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel-sel yang baru.
Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan
jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan
peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi
dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur
yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan
airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis
dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan penyambung
dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami
sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus. Pada asma terdapat saling
ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam
proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular
basal, matriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah,
otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi :
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
Penebalan membran reticular basal
Pembuluh darah meningkat
Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
Perubahan struktur parenkim
Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari
inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus (longstanding inflammation).
Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti
hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas.
Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama
pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.
DIAGNOSIS
Gambaran Klinis
Karakteristik gejala asma adalah adanya serangan episodik mengi, sesak napas, dan batuk
yang bervariasi, dapat muncul secara spontan maupun dengan berjalannya terapi. Gejala dapat
memburuk pada malam hari dan pasien biasanya bangun pagi buta. Pasien dapat mengeluhkan
kesulitan bernapas dengan gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada. Awalnya batuk tanpa
disertai sekret, namun terjadi peningkatan produksi mukus kental yang sulit dikeluarkan,
meningkatnya laju napas & ada penggunaan otot tambahan dalam pernapasan. Gejala prodromal
dapat mendahului serangan, dengan gatal di bawah dagu, rasa tidak nyaman di antara skapula,
atau perasaan takut.
Ronkhi pada fase inspirasi & ekspirasi dapat ditemukan di seluruh lapang paru, dapat
ditemukan juga hiperinflasi. Pada beberapa pasien, terutama anak-anak, ada yang gejalanya
hanya batuk tanpa disertai dahak atau mengi, dikenal dengan istilah cough-variant asthma. Bila
hal ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator
atau uji provokasi bronkus dengan metakolin.
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma tidak
jelas. Terlebih lagi pasien juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus non-alergik seperti
asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas maupun perubahan cuaca.
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan dengan gejala yang biasanya memburuk pada
awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu, dan jika tetap memburuk sepanjang minggu
gejala mungkin membaik jika ia dijauhkan dari lingkungan kerjanya seperti saat cuti.
Anamnesis
Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis yang diterima luas
sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma berupa kombinasi dari batuk,
wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan produksi sputum. Chronic recurrent cough (batuk
kronik berulang, BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma. Gejala
dengan karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma. Karakteristik
yangmengarah ke asma adalah:
Pemeriksaan Fisik
Keadaan tidak eksaserbasi: mungkin tidak ditemukan kelainan
Eksaserbasi:
o Wheezing: terdengar langsung (audible wheeze) atau terdengar dengan stetoskop.
Pada keadaan eksaserbasi berat dapat tidak terdengar wheezing (silent chest).
o Ekspirasi memanjang
o Hiperinflasi dada, sianosis, takikardia, kesulitan untuk berbicara, retraksi dinding
dada.
o Penurunan suara napas terutama pada daerah paru kanan bawah akibat obstruksi
percabangan bronkus
o Crackles dan ronki dapat terdengar akibat produksi lendir yang berlebih karena
proses inflamasi
o Gejala alergi lain seperti dermatitis atopi, rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai
tanda alergi seperti allergic shiners atau geographic tongue
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas akibat obstruksi,
hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau adanya atopi pada pasien.
Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk menilai
variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan dengan peakflowmeter.
Uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, pemeriksaan IgE spesifik.
Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO (fractionalexhalednitric oxide), eosinofil sputum.
Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin hipertonik.
Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk mencari kemungkinan
diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto sinus paranasalis, foto toraks, uji refluks
gastro-esofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji defisiensi imun, CT-scan toraks,
endoskopirespiratori(rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi).
DIAGNOSIS BANDING
Gejala asma tidak patognomonik dapat merupakan gejala penyakit lain sehingga perlu
dipertimbangkan diagnosis banding.
Infeksi dan kelainan imunologis: rinitis, rinosinusitis, chronic upper airwat cough
syndrome, infeksi respiratori berulang, bronkiolitis, aspirasi berulang, dan tuberkulosis.
Obstruksi mekanis: laringomalasia, trakeomalasia, hipertrofi timus, aspirasi benda asing,
vascular ring, laryngeal web, disfungsi pita suara, dan malformasi kongenital saluran
respiratori.
Patologi bronkus: diplasia bronkopulmonal, bronkiektasis, diskinesia silia primer, fibrosis
kistik.
Kelainan sistem organ lain: penyakit refluks gastro-esofagus (GERD), penyakit jantung
bawaan, gangguan neuromuskular, batuk psikogen.
KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah :
1. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang dicurigai bila terdapat
benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut lagi
dapat menyebabkan kegagalan napas.
2. Pneumo mediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal sebagai emfisema
mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di mediastinum. Pertama dijelaskan pada
1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh trauma fisik atau situasi lain yang
mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran udara atau usus ke dalam rongga dada.
3. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran
udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
4. Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan tersifat oleh
adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat menimbulkan lesi pada
berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah Aspergilosis dipakai untuk
menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.
5. Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida dalam paru-paru tidak
dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
6. Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam dari saluran
pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain bengkak juga
terjadi peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa perlu batuk berulang-
ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena
sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya lendir.
7. Fraktur iga
Komplikasi lainnya seperti infeksi saluran nafas, emfisema kutis, aritmia (terutama, bila
sebelumnya ada kelainan jantung).
TATALAKSANA
Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalahmencapai kendali asma sehingga
menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci, tujuan
yang ingin dicapai adalah:
1. Aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga.
2. Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari.
3. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
4. Efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikit mungkin terjadi, terutama
yang memengaruhi tumbuh kembang anak.
Apabila tujuan ini belum tercapai maka tata laksananya perlu dievaluasi kembali.
A. Jenis Obat
Tujuan tata laksana asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan kendali asma serta
menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal. Obat asma dapat dibagi menjadi
dua kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). Ada yang
menyebut obat pereda sebagai obat pelega atau obat serangan. Obat ini digunakan untuk
meredakan serangan atau gejala asma bila sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan gejala
tidak ada lagi, maka pemakaian obat ini dihentikan.
Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang digunakan untuk mencegah serangan asma.
Obat ini untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respiratori kronik, sehingga tidak
timbul serangan atau gejala asma. Pemakaian obat ini secara terusHmenerus dalam jangka waktu
yang relatif lama, bergantung pada kekerapan gejala asma dan responsnya terhadap
pengobatan/penanggulangan. Obat pengendali asma terdiri dari steroid anti-inflamasi inhalasi
atau sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid–agonis β2 kerja panjang, teofilin lepas lambat,
dan antiHimunoglobulin E.
B. Cara Pemberian
Pada umumnya obat asma diberikan secara inhalasi. Ada perbedaan teknik inhalasi sesuai
dengan golongan umur dan kemampuan anak, sehingga pemilihan alat inhalasi harus disesuaikan
dengan kondisi masing-masing anak. Pemilihan alat inhalasi sebaiknya juga mempertimbangkan
efikasi obat, keamanan, kenyamanan penggunaan, dan biaya. Inhalasi dosis terukur/Metered
Dose Inhaler (MDI) dengan spacer merupakan pilihan utama karena memberikan kenyamanan
kepada pasien, jumlah obat yang mencapai paru lebih banyak, risiko dan efek samping minimal,
serta biaya lebih murah. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan tanpa
spacer (MDI). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali.
Steroid inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam sehari, kecuali ciclesonide yang
diberikan sekali sehari. Ciclesonide merupakan preparat steroid inhalasi yang baru, efek sistemik
minimal dan deposisi obat di orofaring lebih sedikit dibanding preparat steroid inhalasi yang lain.
Efikasi dan keamanannya dibanding preparat yang lain masih memerlukan penelitian lebih
lanjut.
3. Antileukotrien
Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl3 leukotrien 1 (CysLT1) seperti
montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, serta inhibitor 5Hlipoxygenase seperti zileuton.
Studi klinik menunjukkan antileukotrien memiliki efek bronkodilatasi kecil dan bervariasi,
mengurangi gejala termasuk batuk, memperbaiki fungsi paru, dan mengurangi inflamasi jalan
napas dan mengurangi eksaserbasi.
Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak lebih unggul
dibanding steroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat pengendali tunggal, efeknya lebih rendah
dibandingkan dengan steroid inhalasi. Kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien dapat
menurunkan angka serangan asma dan menurunkan kebutuhan dosis steroid inhalasi.
Antileukotrien dapat mencegah terjadinya serangan asma akibat berolahraga (exercise induced
asthma, EIA) dan Obstructive Sleep Apnea (OSA). Antileukotrien juga dapat mencegah
serangan asma akibat infeksi virus pada anak balita. Pemberian kombinasi steroid inhalasi dan
antileukotrien pada asma persisten kurang efektif dibandingkan dengan steroid inhalasi dosis
sedang. Pemberian antileukotrien tunggal dapat diberikan sebagai alternatif dari pemberian
steroid inhalasi.
5. Anti-imunoglobulin E (Anti-IgE)
AntiHIgE (omalizumab) adalah antibodi monoklonal yang mampu mengurangi kadar
IgE bebas dalam serum. Pada orang dewasa dan anak di atas usia 5 tahun, omalizumab dapat
diberikan pada pasien asma yang telah mendapat steroid inhalasi dosis tinggi dan agonis β2 kerja
panjang namun masih sering mengalami eksaserbasi dan terbukti asma karena alergi.
Omalizumab diberikan secara injeksi subkutan setiap dua sampai empat minggu. Reaksi
anafilaksis dapat terjadi dini ketika pemberian dosis pertama, tapi juga dapat terjadi setelah
pemberian selama satu tahun. Karena adanya risiko anafilaksis, omalizumab seharusnya di
bawah pengawasan dokter spesialis.
Anti-IgE (omalizumab) terbukti memperbaiki gejala asma pada asma persisten sedang
dan berat yang disebabkan oleh karena alergi. Pemberian omalizumab akan menurunkan
kebutuhan steroid inhalasi dan menurunkan angka serangan asma. Pemberian anti-IgE
membutuhkan beberapa kali dosis penyuntikan dan relatif mahal. Efek samping yang pernah
dilaporkan antara lain urtikaria, kemerahan, gatal. Belum dilakukan penelitian jangka panjang (di
atas satu tahun) untuk efikasi anti-IgE.
D. Jenjang pengendalian asma
Pedoman Nasional Asma Anak tahun 2015 membagi derajat penyakit asma anak berdasarkan
kekerapan gejala dan derajat kendali. Setelah dilakukan tata laksana umum berupa penghindaran
pencetus, klasifikasi kekerapan asma dapat ditentukan dalam waktu enam minggu. Pada asma
intermiten tidak dibutuhkan tata laksana asma jangka panjang sesuai dengan jenjang 1,
sedangkan pada asma persisten dilakukan tata laksana jangka panjang sesuai dengan jenjang 2
sampai jenjang 4 kemudian dievaluasi secara berkala untuk menaikkan atau menurunkan jenjang
dalam pemakaian obat pengendali asma. Diagnosis derajat kendali dibuat setelah 6 minggu
menjalani tata laksana jangka panjang awal sesuai klasifikasi kekerapan.
Pemberian steroid inhalasi sebagai tata laksana asma jangka panjang harus dipertimbangkan
pada pasien asma dengan salah satu dari kriteria berikut: mengalami serangan asma pada 2 tahun
terakhir, penggunaan obat pereda asma 3 kali dalam satu minggu, terbangun karena serangan
asma 1 kali dalam satu minggu.
Jenjang dalam tata laksana asma jangka panjang pada anak usia >5 tahun :
Keterangan gambar: ICS (inhaled corticosteroids, steroid inhalasi); LTRA (Leukotriene Receptor Antagonist); SABA (short acting
beta agonist, agonis β2 kerja pendek); LABA (long acting beta agonist, agonis β2 kerja panjang)
Keterangan :
1. Acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang menggunakan klasifikasi
kekerapan.
2. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 6-8 minggu dan asma
belum terkendali, maka tata laksana naik jenjang ke atasnya (step up).
3. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8-12 minggu dan asma
terkendali penuh, maka tata laksana turun jenjang kebawahnya (step down).
4. Perubahan jenjang tata laksana harus memperhatikan aspek- aspek penghindaran,
penyakit penyerta.
5. Pada Jenjang 4, jika belum terkendali, tata laksana ditambahkan omalizumab.
Remaja >12 th
Pada asma persisten ringan pasien masuk ke dalam jenjang 2. Pilihan utama obat
pengendali adalah regular ICS dosis rendah atau pemberian ICS dosis rendah dan
formeterol sesuai kebutuhan. Alternatif lain dapat diberikan antileukotrien (kurang efektif
dibanding dengan ICS) atau pemberian ICS setiap kali SABA diberikan baik terpisah
maupun dalam kombinasi.
Apabila sesudah pengobatan selama 2-3 bulan dengan jenjang 2 gejala klinis masih tidak
terkendali dan atau eksaserbasi masih terjadi dilakukan evaluasi dan pertimbangkan
untuk step up ke jenjang 3.
Remaja > 12 th
Pada asma persisten berat pasien masuk ke dalam jenjang 4. Pilhan utama obat
pengendali adalah ICS dosis tinggi atau ICS dosis menengah + LABA.
Obat lain:
Antileukotrien seperti montelukas dan zafirlukas. Penggunaan obat antileukotrien jenis
zafirlukas masih terbatas pada anak usia >6 th, sedangkan jenis montelukas sudah
digunakan pada anak > 2th;
Walaupun antihistamin dapat diberikan pada tata laksana asma jangka panjang apabila
pasien menderita asma disertai rinitis alergika kronik, namun pemberian obat ini masih
kontroversial.
Jika tata laksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun belum
terkendali setelah 2-3 bl maka derajat tata laksana beralih ke derajat asma yang lebih
berat (step up). Sebaliknya, jika asma telah terkendali penuh setelah 2-3 bl maka derajat
asma beralih ke yang lebih ringan (step-down).
Sebelum melakukan step-up perlu dilakukan evaluasi pengobatan meliputi:
Tilik dan koreksi penggunaan inhaler;
Pastikan kepatuhan pemakaian obat sesuai dosis yang ditentukan; Selidiki tentang
faktor risiko baik di rumah maupun lingkungan sekolah seperti alergen atau pajanan
asap rokok, polusi udara;
Penyakit komorbid yang kemungkinan berpengaruh terhadap gejala repiratori
maupun kualitas hidup yang buruk;
Diagnosis yang tidak tepat.
Pilihan pengobatan yang dapat dipertimbangkan setelah pengoptimalan terapi yang ada mungkin
termasuk yang berikut (selalu periksa kelayakan lokal dan kriteria pembayar):
• Kombinasi ICS-LABA dosis tinggi: hal ini dapat dipertimbangkan pada orang dewasa
dan remaja, tetapi peningkatan dosis ICS umumnya memberikan sedikit manfaat
tambahan, dan terdapat peningkatan risiko efek samping, termasuk penekanan adrenal.
• Tiotropium tambahan (antagonis muskarinik kerja lama) pada pasien berusia ≥6 tahun
yang asmanya tidak terkontrol dengan baik dengan ICS-LABA. Tiotropium tambahan
(kebanyakan 5μg sekali sehari dengan inhaler) sedikit meningkatkan fungsi paru-paru
• Azitromisin tambahan (tiga kali seminggu) untuk pasien dewasa dengan gejala asma
persisten meskipun ICS dosis sedang-tinggi dan LABA mengurangi eksaserbasi asma
pada asma eosinofilik dan non-eosinofilik dan meningkatkan kualitas hidup terkait asma
• Perawatan tambahan anti-imunoglobulin E (anti-IgE) (omalizumab): untuk pasien
berusia ≥6 tahun dengan asma alergi sedang atau berat yang tidak terkontrol pada
perawatan Langkah 4–5
• Pengobatan anti-interleukin-5 / 5R tambahan (mepolizumab subkutan untuk pasien
berusia ≥6 tahun; reslizumab intravena untuk usia ≥18 tahun) atau pengobatan reseptor
anti-interleukin 5 (benralizumab subkutan untuk usia ≥12 tahun), dengan asma
eosinofilik parah yang tidak terkontrol pada perawatan Langkah 4–5.
• Perawatan tambahan anti-interleukin-4R α (subkutan dupilumab) untuk pasien
berusia ≥12 tahun dengan asma tipe 2 yang parah, atau membutuhkan perawatan dengan
pemeliharaan OCS.
• Pengobatan dengan panduan dahak: untuk orang dewasa dengan gejala yang menetap
dan / atau eksaserbasi meskipun ICS dosis tinggi atau ICS-LABA, pengobatan dapat
disesuaikan berdasarkan eosinofilia (> 3%) pada sputum yang diinduksi.
• Perawatan tambahan dengan termoplasti bronkial: dapat dipertimbangkan untuk
beberapa pasien dewasa dengan asma berat
• Kortikosteroid oral dosis rendah tambahan (setara dengan prednison ≤7,5 mg / hari):
mungkin efektif untuk beberapa orang dewasa dengan asma berat, tetapi sering dikaitkan
dengan efek samping yang substansial. Mereka harus dinilai dan dipantau untuk risiko
osteoporosis yang diinduksi kortikosteroid.
•
SERANGAN/EKSASERBASI ASMA
A. Definisi
Episodik asma dengan karakteristik berupa peningkatan progresif akut dari gejala napas
pendek, batuk, wheezing, dada terasa berat, dan penurunan progresif dari fungsi paru
yang ditandai dengan penurunan FEV1 atau PEF. Serangan asma mencermikan
kegagalan tata laksana asma jangka panjang yang gagal atau terdapat pajanan faktor
pemicu.
B. Faktor Pemicu
Infeksi virus saluran respiratori, aktivitas fisis berlebihan, hiperventilasi (misalnya
tertawa, menangis), perubahan cuaca, zat iritatif (asap rokok, asap kayu bakar, parfum),
pajanan alergen, alergi makanan, polusi udara, dan kepatuhan/adherence penggunaan
kosteroid inhalasi=kortikosteroid hirupan atau inhaled corticosteroid (ICS) yang buruk.
Faktor Genetik
Faktor Lingkungan : Alergen hirupan, iritan, penyakit komorbid, faktor lain
TEKNIK PENGGUNAAN TERAPI INHALASI
Pemberian per inhalasi adalah pernberian obat secara langsung ke dalam saluran nafas melalui
penghisapan. Pernberian obat secara inhalasi mempunyai beberapa keuntungan yaitu obat
bekerja langsung pada saluran nafas, onset kerjanya cepat, dosis obat yang digunakan kecil, serta
efek samping yang minimal karena konsentrasi obat di dalam darah sedikit atau rendah.
Prinsip:
Onset kerjanya cepat, dosis obat kecil, efek samping minimal karena konsentrasi obat di
dalam darah sedikit atau rendah, mudah digunakan, serta efek terapeutik tercapai yang
ditandai dengan tampaknya perbaikan klinis.
Partikel berukuran > 15 mm tersaring oleh filtrasi rambut hidung sedangkan > 10 mm
akan mengendap di hidung dan nasofaring. Partikel berukuran 0,5 – 5 mm akan
mengendap secara sedimentasi karena gaya gravitasi sedangkan partikel berukuran < 0,1
mm akan mengendap karena gerak Brown.
3 sistem inhalasi yang digunakan dalam klinik sehari-hari yaitu,
1. Nebuliser
Alat nebuliser dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus
menerus dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau gelombang
ultrasonik.
Keuntungan terapi inhalasi menggunakan nebuliser adalah tidak atau sedikit memerlukan
koordinasi pasien, beberapa jenis obat dapat dicampur (misalnya salbutamol dan natrium
kromoglikat).
Kekurangannya adalah karena alat cukup besar, memerlukan sumber tenaga listrik dan
relatif mahal
Ultrasonic nebuliser
1. Alat ini menghasilkan aerosol melalui osilasi frekuensi tinggi dari piezo-electric crystal
yang berada dekat larutan dan cairan memecah menjadi aerosol. + : tidak bising dan terus
menerus mengubah jadi aerosol, -: mahal dan meerlukan biaya perawatan
2. Jet Nebulizer
Alat ini paling banyak digunakan banyak negara karena relatif lebih murah daripada
ultrasonic nebuliser
2. Metered Dose Inhaler (MDI)
Metered dose inhaler (MDI) atau inhaler dosis terukur merupakan cara inhalasi yang
memerlukan teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis obat mencapai saluran
pernafasan.
Pada cara inhalasi ini diperlukan koordinasi antara penekanan kanister dengan inspirasi
napas. Untuk mendapatkan hasil optimal maka pemakaian inhaler ini hendaklah
dikerjakan sebagai berikut:
terlebih dahulu kanister dikocok agar obat tetap homogen, lalu tutup kanister
dibuka
inhaler dipegang tegak kemudian pasien melakukan ekspirasi maksimal secara
perlahan
mulut kanister diletakkan diantara bibir, lalu bibir dirapatkan dan dilakukan
inspirasi perlahan sampai maksimal
pada pertengahan inspirasi kanister ditekan agar obat keluar
pasien menahan nafas 10 detik atau dengan menghitung 10 hitungan pada
inspirasi maksimal setelah 30 detik atau 1 menit prosedur yang sama diulang
kembali
setelah proses selesai, jangan lupa berkumur untuk mencegah efek samping.
Kesalahan : kurangnya koordinasi pada saat menekan kanister dan saat menghisap, terlalu
cepat inspirasi, tidak berhenti sesaat setelah inspirasi, tidak mengocok kanister sebelum
digunakan, dan terbalik pemakaiannya.
MDI dengan spacer
Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara aktuator dengan mulut sehingga
kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang dan akan dihasilkan partikel
berukuran kecil yang berpenetrasi ke saluran pernafasan perifer. Hal ini merupakan
kelebihan dari penggunaan spacer karena mengurangi pengendapan di orofaring.
Untuk bayi dianjurkan menggunakan spacer volume kecil (babyhaler) agar aerosol yang
dihasilkan lebih mampat sehingga lebih banyak obat akan terinhalasi pada setiap
inspirasi.
Pengendapan di orofaring akan berkurang yaitu sekitar 5% dosis yang diberikan bila
digunakan spacer dengan katup satu arah
Deposit pada paru akan meningkat menjadi 20% dibandingkan tanpa spacer.
Dengan bantuan spacer, koordinasi pada saat menekan kanister dengan saat penghisapan
dapat dikurangi atau bahkan tidak memerlukan koordinasi.
3. Dry Powder Inhaler
Penggunaan obat serbuk kering pada DPI memerlukan inspirasi yang cukup kuat. Pada anak
yang kecil hal ini sulit dilakukan mengingat inspirasi kuat belum dapat dilakukan, sehingga
deposisi obat pada saluran pernafasan berkurang. Pada anak yang lebih besar, penggunaan
obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi dibandingkan
dengan MDI. Dengan cara ini deposisi obat di dalam paru lebih tinggi dan lebih konstan
dibandingkan MDI sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun.