Anda di halaman 1dari 8

ASMA (Little, James W., Falace, Donald A, dkk. Dental Management of the Medically Compromised Patient. Ed. ke-8.

St. Louis: Mosby Elsevier, 2013)

Asma adalah penyakit inflamatori kronik saluran pernapasan yang dicirikan dengan reversible episode peningkatan hiperresponsivitas saluran pernapasan yang menghasilkan recurrent episode dyspnea (kesulitan bernapas), batuk, dan wheezing (mendesah). Jaringan bronkiolar paru-paru pasien dengan asma sensitif terhadap beragam stimulus, antara lain allergen, infeksi saluran pernapasan atas, olahraga, udara dingin, obat-obatan tertentu (salisilat, NSAID, obat cholinergic, dan obat adrenergic blocking), zat kimia, asap rokok, dan tingkat emosional yang tinggi seperti kegelisahan, stress, dan kegugupan. Etiologi Asma adalah penyakit multifaktorial dan heterogen yang penyebab pastinya belum diketahui. Perkembangannya memerlukan interaksi antara lingkungan dan kerentanan genetic, dengan manifestasi klinis berasal dari disfungsi epitel saluran pernapasan, otot polos, sel imun, dan elemen neuronal. Pemicu asma dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan patofisiologi: ekstrinsik (alergik atau atopic), intrinsic (idiosyncratic, nonallergic, atau nonatopik), drug-induced, dan exercise-induced. Allergic atau asma ekstrinsik adalah bentuk paling umum dan jumlahnya kira-kira 35% pada kasus orang dewasa. Asma ini adalah respons inflamatori berlebihan yang dipicu oleh terhirupnya allergen musiman seperti pollen (serbuk sari), debu, kutu, dan bulu binatang. Asma alergik biasanya terjadi pada anak-anak dan dewasa muda. Pada pasien ini, terjadi hubungan dose-respons antara paparan allergen dan sensitisasi (kepekaan) yang dimediasi IgE, positive skin testing terhadap beragam allergen, dan riwayat keluarga terhadap penyakit alergi. Respons inflamatori dimediasi terutama oleh sel T helper tipe 2, yang mengsekresikan interleukin dan menstimulasi sel B untuk menghasilkan IgE. Selama serangan asma, allergen berinteraksi dengan antibody IgE yang ditempelkan pada sel mast, basofil, dan eosinofil sepanjang trachea branchial tree. Kompleks antigen dengan antibody menyebabkan leukosit berdegranulasi dan mensekresi vasoactive autocoid dan sitokin seperti bradikinin, histamine, leukotrien, dan prostaglandin. Histamine dan leukotrien menyebabkan kontraksi otot polos (bronkokonstriksi) dan peningkatan permeabilitas vaskuler, dan menarik eosinofil ke dalam saluran pernapasan. Pelepasan platelet-activating factor

mendukung hiperresponsivitas bronchial. Pelepasan E-selectin dan endothelial cell adhesion molecule, neutrofil chemotactic factor, dan eosinofilik chemotactic factor of anaphylaxis bertanggungjawab terhadap perekrutan leukosit (neutrofil dan eosinofil) ke dinding saluran pernapasan, yang meningkatkan edema jaringan dan sekresi mucus. Limfosit T memperpanjang respons inflamatori, dan ketidakseimbangan matrix metalloproteinase dan tissue inhibitor metalloproteinase dapat berkontribusi terhadap perubahan fibrotic. Asma intrinsic berjumlah kira-kira 30% dari kasus asma dan jarang berasosiasi dengan riwayat keluarga terhadap alergi atau penyebab yang diketahui. Pasien biasanya tidak merespons terhadap tes kulit dan tingkat IgE normal. Asma ini terjadi pada dewasa usia tengah dan onsetnya berhubungan dengan faktor endogen seperti stress emosional, gastroesophageal acid reflux, atau vagally mediated respons. Proses penelanan obat (aspirin, NSAID, beta blocker, ACE enzyme inhibitor) dan beberapa zat makanan (kacang, kerang, stroberi, susu, pewarna makanan tartrazine no.5) dapat memicu asma. Aspirin menyebabkan bronkokonstriksi pada 10% pasien dengan asma, dan sensitivitas terhadap aspirin terjadi pada 30%-40% pasien dengan asma yang memiliki panusitis dan nasal polyp. Kemampuan aspirin menghambat jalur siklooksigenase adalah penyebabnya. Penumpukan asam arakidonik dan leukotrien yang dimediasi oleh jalur lipoksigenase menghasilkan bronchial spasm. Pengawet makanan dan obat-obatan metabisulfit (khususnya pada anestesi lokal yang mengandung epinefrin) dapat menyebabkan wheezing (mendesah) saat tingkat metabolic enzyme sulfite oxydase rendah. Penumpukan sulfur dioxide pada bronchial tree mempercepat serangan asma akut. Exercise-induced asma distimulasi oleh aktivitas exertional. Perubahan suhu selama inhalasi udara dingin dapat memicu iritasi mucosal dan hiperaktivitas saluran pernapasan. Anak-anak dan dewasa muda lebih sering terafeksi karena aktivitas yang banyak. Infectious asma adalah asma karena respons inflamatori terhadap infeksi bronchial. Beberapa infeksi virus selama masa bayi dan anak-anak dapat mengakibatkan asma. Beberapa agen kausatif infeksi saluran pernapasan (bacteri, jamur I Trychophyton, dan organism Mycoplasma) dapat mengeksaserbasi asma. Perawatan infeksi respirasi umumnya meningkatkan kontrol bronkospasm dan konstriksi.

Patofisiologi dan Komplikasi

Pada asma, terhambatnya saluran pernapasan terjadi karena spasm otot polos bronchial, inflamasi mukosa bronchial, hipersekresi mucus, dan memasukkan dahak. Temuan makroskopis pada paru-paru yang sedang asma adalah oklusi bronkus dan bronkiolus oleh sumbatan mukosa yang tebal dan kuat. Temuan histologis antara lain inflamasi dan remodeling saluran pernapasan, meliputi penebalan membran dasar (dari deposisi kolagen) epitel bronchial, edema, hipertrofi kelenjar mukosa dan hyperplasia sel goblet, hipertrofi otot dinding bronchial, akumulasi sel mast dan infiltrasi sel inflamatori, kerusakan dan pelepasan sel epitel, dan proliferasi dan dilasi pembuluh darah. Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan berkurangnya diameter saluran pernapasan, peningkatan resistensi saluran pernapasan, dan kesulitan ekspirasi. Sebagian besar pasien memiliki prognosis yang baik khususnya jika penyakit terjadi selama masa anak-anak dan sembuh secara spontan setelah pubertas. Sebagian kecil pasien, baik muda dan tua, asma dapat berlanjut menjadi COPD dan kegagalan pernapasan, atau status asthmaticus, manifestasi asma paling serius. Status asthmaticus adalah serangan asma paling parah dan lama (lebih dari 24 jam). Gejalanya meliputi peningkatan dan progresif dyspnea, jugular venous pulsation, cyanosis, dan pulsus paradoxus (jatuhnya tekanan sistolik saat inspirasi). Status asthmaticus sering berhubungan dengan infeksi pernapasan dan menyebabkan kelelahan, dehidrasi parah, kolaps vaskuler perifer, dan kematian.

Gejala dan Tanda-tanda Serangan asma sering terjadi pada malam hari namun juga dapat bersamaan dengan paparan terhadap allergen, olahraga, infeksi pernapasan, atau emosi. Gejala dan tanda khas asma terdiri atas reversible episode dyspnea, mendesah, batuk yang lebih buruk saat malam, sesak dada, dan flushing. Onset umumnya tiba-tiba, dengan gejala puncak terjadi dalam 10-15 menit. Pemeriksaan untuk mendiagnosa asma antara lain tes berjalan 6 menit, spirometri sebelum dan setelah administrasi bronkodilator yang berkerja pendek, radiograf dada, tes kulit, bronchial provocation testing, sputum smear examination dan hitung sel, arterial blood gas determination, dan ELISA untuk pengukuran paparan allergen lingkungan. Pasien dengan asma kronik diklasifikasikan memiliki penyakit berselang atau terus menerus (ringan, sedang, atau parah). Keparahan berdasarkan frekuensi gejala,

gangguan fungsi paru-paru, dan resiko serangan. Orang dengan asma persistent ringan memiliki gejala sekali tiap minggu tapi kurang dari sekali sehari dan FEV1 lebih dari 80%. Gejala umumnya bertahan kurang dari sejam. Pasien dengan asma sedang FEV1 lebih dari 60% tapi kurang dari 80% dan gejala harian yang mengganggu tidur dan tingkat aktivitas dan kadang memerlukan perawatan emergency. Asma parah saat pasien memiliki FEV1 kurang dari 60%, yang menghasilkan gejala yang membatasi aktivitas normal. Serangan sering atau berlanjut, terjadi saat malam, dan memerlukan emergency hospitalization.

FEV1 is the maximal amount of air you can forcefully exhale in one second. It is then converted to a percentage of normal. For example, your FEV1 may be 80% of predicted based on your height, weight, and race. FEV1 is a marker for the degree of obstruction with your asthma: FEV1 greater 80% of predicted= normal FEV1 60% to 79% of predicted = Mild obstruction FEV1 40% to 59% of predicted = Moderate obstruction FEV1 less than 40% of predicted = Severe obstruction It is automatically calculated during spirometry or pulmonary function testing. It is calculated using aspirometer.

Dental Management Tujuan terapi asma adalah untuk membatasi paparan terhadap agen pemicu, memungkinkan aktivitas normal, memperbaiki dan menjaga fungsi normal paru-paru, meminimalkan frekuensi dan keparahan serangan, mengontrol gejala kronik dan nocturnal, dan menghindari efek samping obat-obatan. Tujuan itu dilakukan dengan mengedukasi pasien dan mencegah atau mengeliminasi faktor pencetus (misalnya berhenti merokok) dan kondisi comorbid yang mengacaukan management, membuat rencana untuk self-monitoring rutin, dan perawatan follow-up. Pemilihan obat antiasma berdasarkan tipe dan keparahan asma dan apakah obat yang digunakan untuk kontrol jangka panjang atau cepat reda. Untuk management jangka panjang dan profilaksis asma persistent gunakan inhaled inflammatory agent sebagai obat pertama (agennya adalah preparasi kortikosteroid dengan inhibitor leukotrien sebagai alternative). -adrenergic agonis direkomendasikan untuk asma intermittent dan merupakan agen sekunder yang sebaiknya ditambahkan untuk asma persistent jika obat antiinflamatory tidak cukup sendiri. Obat alternative adalah penstabil sel mast (cromolyn dan nedocromil), immunomodulator, dan theophylline.

Inhaled corticosteroid adalah medikasi antiinflamatori paling efektif, bekerja dengan mengurangi respons inflamatori dan mencegah pembentukan sitokin, adhesi molekul, dan enzim inflamatori. Dosis aerosol adalah 2 (untuk ringan sampai sedang) sampai 4 kali sehari (untuk parah). Onset umumnya setelah 2 jam dan puncaknya 6 jam kemudian. Penggunaan jangka panjang jarang berhubungan dengan efek samping sistemik, dosis maximum yang direkomendasikan adalah 1,5 mg per hari dari inhaled beclomethasone dipropionate atau ekuivalen tidak berlebihan. Penggunaan steroid sistemik ditujukan untuk asma yang kebal terhadap inhaled corticosteroid dan bronchodilator, dan untuk penggunaan selama fase penyembuhan serangan asma akut. Inhaled steroid sering digunakan dalam kombinasi dengan long-acting 2-adrenergic bronchodilator. Omalizumab yang menghambat IgE digunakan untuk terapi aditif pada pasien dengan asma persisten parah yang memiliki pemicu asma. Untuk meredakan serangan asma akut, gunakan inhaled short-acting 2-adregenic agonis karena bronkodilatori cepat dan sifat merelaksasi otot polos. Short-acting 2adregenic agonis menghasilkan bronkodilasi dengan mengaktifkan reseptor 2 pada sel-sel otot polos saluran pernapasan, umumnya dalam 5 menit atau kurang. Inhalasi dengan kortikosteroid, inhaled cromolyn sodium, dan oral anticholinergik tidak digunakan karena onsetnya lama. Tujuan utama dental management pada pasien asma adalah untuk mencegah serangan asma akut. Langkah pertama dengan mengidentifikasi riwayat, penilaian untuk menerangkan detail mengenai masalah, bersama dengan pencegahan faktor pencetus. Pertanyaannya meliputi tipe asma, zat pemicu, frekuensi dan keparahan serangan, waktu terjadinya serangan, apakah masalah saat ini atau dahulu, cara menangani serangan, apakah pasien menerima perawatan kegawatdaruratan saat serangan akut. Indikasi penyakit yang parah: eksaserbasi sering, intoleran terhadap olahraga, FEV1 kurang dari 60%, penggunaan beberapa obat, dan riwayat kegawatdaruratan untuk serangan akut. Stabilitas penyakit dinilai selama wawancara komponen riwayat dan pemeriksaan klinis dan hasil pengukuran lab. Bernapas pendek, mendesah, peningkatan respirasi (lebih dari 50% normal), FEV1 yang jatuh lebih dari 10% atau di bawah 80% dari puncak FEV1, jumlah eosinofil yang naik 50/mm3, kepatuhan penggunaan obat yang buruk, kunjungan kegawatdaruratan dalam 3 bulan terakhir menunjukkan stabilitas buruk. Penggunaan lebih dari 1,5 canister beta agonis inhaler per bulan (lebih dari 200 inhalasi per bulan) atau penggandaan penggunaan bulanan mengindikasikan resiko

tinggi serangan asma parah. Untuk asma parah dan tidak stabil, dianjurkan konsultasi dengan dokter pasien. Perawatan dental rutin sebaiknya ditunda sampai tercapai kontrol yang lebih baik. Modifikasi selama dental management preoperative dan operatif pasien dengan asma dapat meminimalkan kemungkinan serangan. Pasien yang memiliki asma nocturnal sebaiknya dirawat pada siang hari (late morning). Penggunaan operatory odorant (misalnya methyl methacrylate) sebaiknya dikurangi sebelum pasien dirawat. Pasien diinstruksikan menggunakan obat-obatannya secara rutin, membawa inhalernya pada tiap kunjungan, dan memberitahu dokter gigi gejala awal serangan asma. Inhalasi profilaktik pada permulaan kunjungan berguna untuk mencegah serangan asma. Alternatifnya, pasien diminta membawa spirometer dan daily expiratory record ke tempat praktik. Dokter gigi dapat meminta pasien menghembuskan napas ke dalam spirometer dan mencatat volume akhir. Jatuhnya fungsi paru-paru yang signifikan (sampai di bawah 80% puncak FEV1 atau jatuh lebih besar 10% dari nilai sebelumnya) mengindikasikan penggunaan profilaktik inhaler atau dirujuk ke dokter. Penggunaan pulse oximeter berguna untuk menentukan tingkat kejenuhan oksigen pasien. Pada pasien sehat, nilainya antara 97%-100%, sedangkan jatuh hingga 91% atau di bawahnya mengindikasikan pertukaran oksigen yang parah dan perlu intervensi. Semua staf sebaiknya berusaha mengidentifikasi pasien yang gelisah dan memberikan suasana yang bebas stress melalui hubungan dan keterbukaan. Sedasi preoperative dan operatif dapat diperlukan, inhalasi nitrous oxide-oxygen paling baik. Oral premedication dapat dilakukan dengan benzodiazepine dosis kecil yang bekerja pendek. Alternative pada anak adalah hydroxyzine, untuk sifat antihistamin dan sedatif, dan ketamine yang menyebabkan bronkodilasi. Barbiturate dan narkotik, khususnya meperidin, adalah obat pelepas antihistamin yang memicu serangan. Penggunaan anestesi lokal tanpa epinefrin atau levonordefrin oleh paparan dapat disarankan pada pasien dengan penyakit sedang sampai parah. Dokter gigi sebaiknya berdiskusi dengan pasien mengenai adanya respons terdahulu terhadap anestesi lokal dan alergi terhadap sulfite dan sebaiknya berkonsultasi dengan dokter. Pemberian obat yang mengandung aspirin atau NSAID pada pasien asma tidak disarankan, karena proses menelan aspirin berhubungan dengan permulaan serangan asma pada sebagian kecil pasien. Barbiturate dan narcotic tidak digunakan karena juga memicu serangan asma. Antihistamin memiliki sifat menguntungkan namun

sebaiknya digunakan hati-hati karena efek drying. Pasien yang mengonsumsi preparasi theophylline sebaiknya tidak diberikan macrolide antibiotic (misalnya erythromycin dan azithromycin) atau ciprofloxacin hydrochloride, karena agen tersebut berinteraksi dengan theophyline untuk menghasilkan toxic blood level dari theophylline.

Manifestasi pada Oral Gejala nasal, allergic rhinitis, dan mouth breathing umum terjadi pada asma ekstrinsik. Pasien asma dengan mouth breathing telah mengubah fungsi nasorespiratory, yang dapat berhubungan dengan peningkatan ketinggian anterior atas dan total anterior, palatal vault lebih tinggi, overjet lebih besar, dan prevalensi crossbite lebih tinggi. Medikasi dapat berkontribusi pada penyakit mulut. Contohnya, 2 angonis inhaler mengurangi aliran saliva 25%-30%, menurunkan pH plak, dan berhubungan dengan peningkatan prevalensi gingivitis dan karies pada pasien denan asma sedang sampai berat. Gastroesofageal acid reflux biasa terjadi pada pasien asma dan dieksaserbasi oleh penggunaan 2-agonist dan theophyilline. Reflux ini dapat berkontribusi pada erosi email. Candidiasis (tipe pseudomembran akut) terjadi pada 5% pasien yang menggunakan inhalasi steroid untuk waktu yang lama pada dosis tinggi. Pasien sebaiknya menerima instruksi penggunaan inhaler yang tepat dan perlunya berkumur. Sakit kepala adalah efek samping antileukotrien dan theophylline.

Penanganan Kegawatdaruratan Tanda-tanda dan gejala serangan asma akut harus dikenali dengan cepat: tidak mampu menyelesaikan kalimat dengan sekali napas, bronkodilator tidak efektif meredakan dyspnea, jatuhnya FEV1 yang ditentukan dengan spirometri, tachypnea dengan tingkat pernapasan 25 kali/menit atau lebih, tachycardia dengan detak jantung 110 kali/menit atau lebih, diaphoresis, penggunaan otot asesoris, paradoxical pulse. Inhaler short-acting 2-adregenic agonis adalah bronkodilator paling efektif dan cepat. Long-lasting 2 agonis drug seperti salmeterol dan kortikosteroid tidak bekerja cepat. Dengan serangan asma parah, gunakan injeksi subkutan epinefrin (0,3-0,5 mL, 1:1000) atau inhalasi epinefrin. Perawatan pendukung meliputi pemberian positiveflow oxygenation, mengulang dosis bronkodilator seperlunya tiap 20 menit, memonitor tanda-tanda vital (termasuk kejenuhan oksigen), dan mengaktivasi

emergency medical system, jika diperlukan. Tidak ada modifikasi perawatan yang diperlukan untuk pasien asma.

DENTAL MANAGEMENT OF PATIENT WITH ASTHMA (President Calvin Coolidges Asthma and Modern of Asthma Patient in Dental Setting, William J. Maloney, D.D.S.; Maura P. Maloney D.D.S.,

web.b.ebscohost.com, diakses pada hari Kamis, 20 Februari 2014 pukul 08.29) Asma dapat menjadi penyebab kegawatdaruratan yang serius di praktik dokter gigi, maka dari itu dokter gigi harus familiar dengan cara manajemen dental pasien asma. Pada praktik dental, asma akut dapat dipicu oleh allergen, ketakutan, kepanikan, pasta gigi, fissure sealant, debu enamel gigi atau methyl methacrylate. Pasien dengan asma harus membawa bronchodilating agentnya setiap ke dokter gigi dan harus diletakan di tempat yang terlihat dan mudah diambil. Larutan eponefrin dapat digunakan untuk mengobati eksaserbasi akut terhadap nebulasi bronchodilator. Oksigen harus tersedia Masih ada perdebatan mengenai penggunaan vasokonstriktor pada pasien asma. Sesungguhnya telah tebukti aman namun Peruse et al

merekomendasikan untuk tidak menggunakan anastesi local dengan vasokonstriktor kortikosteroid. Analagesik pilihan untuk pasien asma : Acetaminophen. Narkotika dan barbiturates harus dihindari sebab 20% dari pasien asma mengalami eksaserbasi parah dari bronchokonstriksi setelah menelan obat. Asma dikaitkan dengan karies tinggi, peningkatan insiden gingivitis, perubahan mukosa mulut, oral candidiasis akibat inhaler/glukokortikois, kelainan orofasial. pada pasien asma dengan ketergantungan terhadap

Anda mungkin juga menyukai