Anda di halaman 1dari 34

BAB 15

ASMA
Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K)
Dr. dr. Amira P Tarigan, M.Ked (Paru), Sp.P(K)

Tujuan Instruksional Pada akhir pembelajaran, mahasiswa diharapkan mampu memahami


Umum (TIU) penyakit asma sebagai salah satu kelainan di bidang obstruksi
Tujuan Instruksional 1. Pada akhir pembelajaran mahasiswa diharapkan mampu
Khusus (TIK) memahami definisi, etiologi dan faktor risiko, patogenesis,
diagnosis dan penatalaksanaan asma
2. Pada akhir pembelajaran, mahasiswa diharapkan mampu
memahami klasifikasi dan tatalaksana asma dalam serangan
(eksaserbasi)
3. Pada akhir pembelajaran mahasiswa diharapkan mampu
memahami peranan dan penggunaan kortikosteroid dalam
tatalaksana asma

1.1. PENDAHULUAN

Asma adalah salah satu penyakit saluran pernapasan yang paling sering terjadi di dunia, namun
sampai saat ini belum ada sumber yang memberikan panduan pengobatan secara menyeluruh untuk
membantu para dokter dalam menangani dan mengatasi gejala yang ditimbulkan oleh penyakit
asma.
Asma merupakan penyakit yang sering mempersulit penderitanya, karena penderita dapat
terserang kapan saja dan tanpa diduga penderita. Serangan dapat terjadi dengan beraneka ragam
pemicu. Menurut Merck Manual kelompok penyebab asma ditemukan pada faktor kecenderungan
alergi turunan (atopy), alergi pada polen, bulu binatang, insektisida, makanan tertentu dan obat-
obatan.
Sebagai penyakit, asma telah lama dikenal namun masih tetap menjadi suatu permasalahan
bagi kesehatan masyarakat. National Institute Of Health National Of heart Lung and Blood Institute
(NHLBI) bekerja sama dengan World health organization (WHO) menyusun kesepakatan dalam hal
menangani asma dengan baik dan benar yang pada akhirnya bertujuan memberikan petunjuk bagi
para dokter dan tenaga kesehatan untuk melakukan penatalaksanaan asma yang optimal sehingga
dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian oleh karena asma.

1.2. EPIDEMIOLOGI

Asma merupakan penyakit kronik yang banyak diderita oleh anak dan dewasa baik di Negara maju
maupun di negara berkembang. Sekitar 300 juta manusia di dunia menderita asma dan diperkirakan
akan terus meningkat hingga mencapai 400 juta pada tahun 2025. Meskipun dengan pengobatan
efektif, angka morbiditas dan mortalitas asma masih saja tetap tinggi. Saat ini satu dari 250 orang
yang meninggal merupakan penderita asma. Di negara maju meskipun sarana pengobatan mudah
didapat, asma masih saja sering tidak terdiagnosis dan tidak diobati secara tepat.
Angka kejadian asma di dunia semakin meningkat, begitu pula dengan angka kematian yang
kini menjadi perhatian utama. Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai
propinsi di Indonesia. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab
kematian (mortalitas) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalens asma di seluruh
Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/1000.
Kemajuan ilmu dan teknologi dibelahan dunia maju tidak selalu diikuti dengan kemajuan
penatalaksanaan asma. Hal tersebut dapat diinterpretasikan dari peningkatan prevalensi asma yang
berkunjung ke pelayanan gawat darurat, rawat inap. Berbagai argumentasi telah diketengahkan
untuk berbagai macam anjuran perbaikan perbaikan diagnosa dan juga perbaikan dalam hal
penangan asma. Masih banyak permasalahan yang belum teratasi mengenai asma. Masyarakat
awam yang terkena asma sepatutnya turut juga diberi penyuluhan oleh para dokter di tempat
praktek.
1.3. DEFINISI

Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan peradangan jalur nafas yang bersifat
kronis. Hal ini didefinisikan oleh riwayat gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas, sesak dada
dan batuk yang berbeda-beda dari waktu ke waktu dan intensitas, bersama-sama dengan variabel
keterbatasan aliran udara ekspirasi.
Defenisi ini telah disepakati oleh konsensus, berdasarkan dari pertimbangan karakteristik dari
asma yang tipikal yang membedakannya dari penyakit saluran nafas lainnya. Ciri khas dari penderita
asma yang sedang dalam serangan (asma eksaserbasi atau asma akut) adalah episode peningkatan
yang progresif dari napas yang tersekat terutama ketika menghembuskannya keluar, ada suara
bising (wheezing) tidak terdengar oleh orang di sekeliling, atau kombinasi dari gejala-gejala tersebut.
Bila serangan asma lebih parah, ada suara mengi yang dapat didengar oleh orang di sekitar pasien.

1.4. PATOGENESIS

Asma adalah suatu kelainan inflamasi dari saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan terutama
sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai
faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma.

1. Inflamasi Akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus, iritan
yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada
sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.
a. Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen terikat pada IgE yang menempel pas sel mast yang menyebabkan degranulasi.
Degranulasi mengeluarkan preformed mediator (histamin), protease dan newly generated
mediator (leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menimbulkan kontraksi otot polos bronkus,
sekresi mukus dan vasodilatasi.
b. Reaksi Asma Tipe Lambat
Reaksi timbul antara 6 – 9 jam setelah terpapar alergen melibatkan pengerahan eosinopil, sel
T CD4+, neutrofil dan makrofag.

2. Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi jenis kronik seperti limfosit T, eosinofil,
makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.
a. Inflamasi Saluran Napas pada Asma
Peradangan terjadi mulai dari saluran napas bagian atas dan kebanyakan radang terjadi di
bronkus. Invariant natural killer sel T dan T helper 2 limfosit (Th2) yang melepaskan mediator-
mediator yang menimbulkan gejala-gejala. Sel-sel struktural dari saluran napas juga
memproduksi mediator-mediator peradangan dan menimbulkan kelanjutan peradangan akibat
mediator-mediator dengan cara yang bervariasi. Lebih dari 100 aneka ragam mediator yang
menyebabkan peradangan saluran napas yang kompleks.

Gambar 15.1. Patologi Asma Secara Biopsi Endobronkial


Sumber : teknobiomedik UNAIR, www.iloveunair.blogspot.com, 2008

b. Perubahan struktur saluran napas


Perubahan struktur saluran napas dikenal sebagai perubahan model saluran napas pada
pasien asma. Sebagian dari perubahan tersebut berhubungan dengan keparahan dari
penyakit ini dan menyebabkan penyempitan saluran napas yang menetap. Perubahan
tersebut mungkin menimbulkan perbaikan sebagai responsi pada inflamasi kronis.
Perubahan struktur yang terjadi :
1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.
2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus.
3. Penebalan membran retikular basal.
4. Pembuluh darah meningkat.
5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat.
6. Perubahan struktur parenkim.
7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis.

Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti
hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas.
Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama
pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.

c. Hiperesponsif Saluran Napas.


Saluran napas yang menyempit mengarahkan pada suatu keterbatasan saluran napas
secara variatif dan gejala-gejala penyerta. Hiperesponsif saluran napas dikaitkan pada
peradangan dan perbaikan pada saluran napas dan sebagian dapat disembuhkan dengan
terapi. Mekanisme-mekanisme tersebut belum dimengerti sepenuhnya.

d. Sel-Sel Radang
Sel radang yang ditemukan pada penyakit alergi terlihat pada asma, yaitu sel mast yang
teraktifasi, penambahan jumlah sel eosinofil yg teraktifasi, dan penambahan jumlah reseptor
sel T. Asma sulit dikontrol mengakibatkan gangguan yang lebih sering dan perawatan di
rumah sakit dan menyebabkan penurunan fungsi paru yang lebih cepat dan peningkatan
resiko kematian. Pasien asma yang merokok mengkin mengalami inflamasi akibat
predominan netrofil pada saluran napas dan tidak respon dengan pemberian
glukokortikosteroid.
e. Serangan Asma
Serangan asma terjadi karena paparan faktor-faktor resiko sehingga timbul gejala-gejala
asma, atau munculnya ―pemicu‖ seperti misalnya olah raga dan polusi udara, dan perubahan
cuaca misalnya, hujan dan petir. Hal lain yang memicu serangan asma biasanya dipicu oleh
infeksi virus saluran napas bagian atas (terutama rhinovirus dan respiratory syncytial virus)
atau paparan allergen yang meningkatkan inflamasi pada saluran bagian bawah yang
bertahan beberapa hari atau beberapa minggu.

Gambar 15.2. Reaksi asma


Sumber : www.medicinesia.com, 2002

Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai oleh inflamasi,
peningkatan reaktivitas terhadap berbagai stimulus, dan sumbatan saluran napas yang bisa kembali
spontan atau dengan pengobatan yang sesuai. Meskipun pengobatan efektif telah dilakukan untuk
menurunkan morbiditas karena asma, keefektifan hanya tercapai jika penggunaan obat telah sesuai.
Seiring dengan perlunya mengetahui hubungan antara terapi yang baik dan keefektifan terapetik,
baik peneliti maupun tenaga kesehatan harus memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan
kepatuhan pasien.
Patofisiologi

Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, penyumbatan
mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena
secara fisioiogis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini menyebabkan udara distal
tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume
residu, kapasitas residu fungsional (KRF) dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi
mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap
terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot
bantu napas.
Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara obyektif dengan VEP 1
(Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak Ekspirasi), sedang penurunan
KVP (Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan
saluran napas dapat terjadi, baik pada saluran napas besar, sedang maupun kecil. Gejala mengi
(wheezing) menandakan adanya penyempitan disaluran napas besar, sedangkan penyempitan pada
saluran napas kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi.
Jelasnya patofisiologi asma adalah sebagai berikut :
1. Kontraksi otot pada saluran napas meningkatkan resistensi jalan napas.
2. Peningkatan sekresi mukosa dan obstruksi saluran napas.
3. Hiperinflasi paru dengan peningkatan volume residu.
4. Hiperaktivitas bronkial, yang diakibatkan oleh histamin, prostaglandin.

Faktor risiko:
Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Faktor Host
a. Genetik
b. Gender
c. Obesitas
2. Faktor Lingkungan
a. Allergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur)
b. Allergen di luar ruangan (alternariaa, tepung sari)
c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut, susu sapi,
telur)
d. Obat-obatan tertentu seperti golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dll.
e. Bahan yang mengiritasi misalnya parfum, household spray dll.
f. Ekspresi emosi yang berlebihan
g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
h. Polusi udara diluar dan didalam ruangan
i. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas tertentu
j. Perubahan cuaca.

1.5. FENOTIPE ASMA

Asma adalah penyakit heterogen, dengan proses penyakit yang mendasari berbeda-beda. Jenis
karakteristik demografi, klinis dan / atau patofisiologi yang dikenali sering disebut sebagai 'fenotipe
asma'. Pada pasien dengan asma yang lebih berat, terdapat beberapa perawatan sesuai fenotip.
Namun, sampai saat ini, tidak ditemukan adanya hubungan yang kuat antara gejala patologis yang
spesifik dan pola klinis tertentu atau respons pengobatan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
memahami kegunaan secara klinis klasifikasi fenotip pada asma.

Jenis fenotip asma antara lain:

Asma alergi

Ini adalah fenotipe asma yang paling mudah dikenali, yang sering dimulai dimasa kanak-kanak dan
berhubungan dengan riwayat penyakit terdahulu dan / atau riwayat keluarga terhadap penyakit
alergi seperti eksema, rhinitis alergi, atau alergi obat atau makanan. Pemeriksaan sputum pasien
sebelum pengobatan sering didapatkan peradangan saluran napas bersifat eosinofilik. Pasien
dengan asma fenotipe ini biasanya memberikan respon yang baik dengan pengobatan inhalasi
kortikosteroid.
Asma non-alergi

Beberapa orang dewasa yang memiliki asma tidak terkait dengan alergi. Gambaran mikrobiologik
sputum pada pasien ini mungkin neutropilik, eosinopilik atau hanya berisi beberapa sel inflamasi
(paucigranulocytic). Pasien dengan asma non-alergi sering kurang respon terhadap inhalasi
kortikosteroid.

Asma late-onset

Beberapa orang dewasa, terutama perempuan, asma bisa saja muncul pertama kalinya pada usia
dewasa. Pasien ini cenderung non-alergi, dan seringkali memerlukan dosis inhalasi kortikosteroid
yang lebih tinggi atau relatif refrakter terhadap pengobatan kortikosteroid.

Asma dengan keterbatasan aliran udara menetap

Beberapa pasien dengan asma yang lama mengalami keterbatasan aliran udara tetap yang
dianggap karena proses remodelling dari dinding saluran napas.

Asma dengan obesitas

Beberapa pasien obesitas dengan asma memiliki gejala pernafasan yang menonjol dan sedikit
peradangan saluran napas yang eosinofilik.

1.6. DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis yang tepat dan akurat sangatlah penting hingga terapi yang tepat pun dapat
diberikan. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang.
Gejala-gejala asma boleh jadi bervariasi.

Anamnesis
Berikut adalah gejala khas asma:
- Lebih dari satu gejala (mengi, sesak napas, batuk, sesak dada/dada terasa sempit), terutama
pada orang dewasa.
- Gejala sering lebih buruk pada malam hari atau di pagi hari.
- Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan dengan intensitas yang sering.
- Gejala dipicu oleh infeksi virus (pilek), olahraga, paparan alergen, perubahan cuaca, tertawa, atau
iritasi seperti knalpot asap mobil, asap rokok atau bau yang kuat.

Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai beratnya keterbatasan aliran udara dan
reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Menguji status alergi dapat membantu identifikasi
faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons
terhadap bronkodilator dapat membantu diagnosis.
Berdasarkan pemeriksaan anamnesis pasien yg baik dan mencukupi dapat membantu dalam
pendiagnosaan asma dengan tepat. Anamnesis tersebut meliputi hal-hal seperti dibawah ini.

1.7. RIWAYAT PENYAKIT / GEJALA

1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

2. Gejala berupa batuk , terkadang berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.
3. Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari.
4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu.
5. Respons terhadap pemberian bronkodilator.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit:

a) Riwayat keluarga
b) Riwayat alergi
c) Penyakit lain yang memberatkan
d) Perkembangan penyakit dan pengobatan
Pemeriksaan Fisik

Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci, menentukan adanya
episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisik pasien asma, sering ditemukan
perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi. W heezing
boleh jadi tidak ada atau hanya terdeteksi ketika ia mengeluarkan napas secara paksa, walaupun hal
ini bukan berarti tidak menunjukkan adanya hambatan saluran napas.

Faal paru

Pemeriksaan faal paru dengan tujuan untuk menilai:


a. obstruksi jalan napas
b. reversibiliti kelainan faal paru
c. variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan
napas.

Spirometri

Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya
obstruksi dan efek pengobatan. Hal utama yang penting untuk dinilai adalah pengukuran forced
expiratory volume untuk 1 detik (FEV1) dan forced vital capacity (FVC).

Peak expiratory flow (PEF) atau Arus puncak ekspirasi (APE)

Peak flow meter (PFM) merupakan alat pengukur faal paru yang sederhana, alat tersebut digunakan
untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat
normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV 1 atau
PFM). Spirometri lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena PFM tidak begitu sensitif dibanding
FEV1 untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM
dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk
penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV 1.
Pada diagnosis pengukuran APE digunakan melalui penilaian reversibilitas dan variabilitas.
- reversebilitas: perubahan APE (APE meningkat) ≥60 l/menit atau 20% setelah pemberian
bronkodilator (SABA) mengindikasikan terdapat respon bronkodilator atau kemungkinan diagnosis
asma.
- Variabilitas harian (variasi diurnal) dinilai dengan meminta subjek/pasien mengukur APE pagi dan
malam (untuk mendapatkan nilai tertinggi dan terendah) setiap harinya selama waktu beberapa
hari umumnya lebih dari 1-2 minggu atau praktisnya digunakan 2 minggu pengukuran, kemudian
dihitung variasi diurnal setiap harinya (pagi dan malam) dan rata-rata selama 2 minggu tersebut
Nilai variasi diurnal APE >20% (selama 2 minggu) mengindikasikan terdapat variabilitas (variasi
diurnal) yang lebih dari normal atau kemungkinan diagnosis asma.

APE malam – APE pagi Variabiliti


harian=---------------------------------------------------X 100%
½ (APE malam+APE pagi

Foto toraks

Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.

Pemeriksaan lain yang berperan adalah:

1. Pemeriksaan IgE

2. Pemeriksaan Penanda Inflamasi

3. Pemeriksaan Uji hipereaktivitas bronkus

1.8. KLASIFIKASI ASMA

1. Asma kontrol

Tabel 15.1. Penilaian GINA kontrol asma pada orang dewasa, remaja dan anak-anak 6-11 tahun
1. Kaji kontrol asma = kontrol gejala dan risiko yangmemicu asma
• Menilai kontrol gejala selama 4 minggu terakhir
• Mengidentifikasi faktor-faktor risiko lain untuk eksaserbasi, pembatasan aliran udara tetap atau efek samping
• menilai fungsi paru pada awal diagnosis / awal pengobatan, 3-6 bulan setelah memulai pengobatan
controller, kemudian lakukan secara berkala
2. Menilai masalah pengobatan
• catat langkah saat pasien melakukan pengobatan
• perhatikan cara pasien menggunakan inhaler, menilai kepatuhan dan efek samping
• pastikan pasien memiliki rencana tindakan mengontrol asmanya secara tertulis
• Tanyakan tentang sikap pasien dan tujuan untuk asma dan obat-obatan mereka
3. Menilai komorbiditas
• Rhinitis, rhinosinusitis, gastroesophageal reflux, obesitas, obstruksi sleep apnoe, depresi dan kecemasan dapat
berkontribusi untuk gejala dan kualitas hidup yang buruk pada pasien asma, dan kadang-kadang memberikan
dampak yang buruk terhadap kontrol asma.
Sumber : GINA 2011

Alasan / kemungkinan asma tidak terkontrol:

1. Teknik inhalasi yang buruk: evaluasi teknik inhalasi penderita.


2. Kepatuhan: tanyakan kapan dan berapa banyak penderita menggunakan obat-obat asma.
3. Lingkungan: tanyakan penderita adakah perubahan disekitar lingkungan penderita atau
lingkungan tidak terkontrol.
4. Penyakit saluran napas yang memperberat seperti sinusitis, bronkitis dll.
5. Bila semua dalam keadaan baik pertimbangkan alternatif diagnosis lain. Salah diagnosis,
dengan gejala yang hampir sama dengan gejala penyakit saluran napas yang lain, gagal
jantung, atau masalah kesehatan yang lain.

2. Klasifikasi asma dalam serangan

Asma dalam serangan adalah episode akut atau subakut dengan sesak yang memburuk secara
progresif disertasi batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa kombinasi gejala-gejala tersebut.
Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis segera, Penanganan
harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit/gawat darurat. Kemampuan pasien untuk
mendeteksi dini perburukan asmanya adalah penting, agar pasien dapat mengobati dirinya sendiri
saat serangan di rumah sebelum ke dokter. Jadi pengobatan untuk mempertahankan diri dari
serangan asma memerlukan peran suatu peran penting karena pasien pasien sering kurang sensistif
/ kurang peka terhadap faktor-faktor resiko tersebut ketika asma mereka sedang terkendali dengan
baik. Pasien dengan asma yang terkendali baik sepertinya kurang berpengalaman terhadap
gangguan daripada mereka yang asmanya tidak terkendali secara baik.
Dilakukan penilaian berat serangan berdasarkan riwayat serangan, gejala, pemeriksaan fisis
dan bila memungkinkan pemeriksaan faal paru, agar dapat diberikan pengobatan yang tepat. Pada
prinsipnya tidak diperkenankan pemeriksaan faal paru dan laboratorium pada episode serangan
yang dapat menyebabkan keterlambatan dalam pengobatan atau tindakan.
Kadang-kadang pada asma dalam serangan berat, wheezing tidak ditemukan hal ini
disebabkan oleh pengurangan aliran udara dan ventilasi yang sangat berat. Namun, pasien pada
status seperti ini biasanaya memiliki tanda-tanda fisik mencerminkan gangguan dan keparahannya,
seperti cyanosis, drowsiness, susah berkata-kata, tachicardia, dada hyperventilasi, menggunakan
otot-otot membantu pernapasan, dan resesi interkostal. Untuk penanganan yang tepat penting
mengetahui derajat beratnya serangannya.

Tabel 15.2 Klasifikasi berat serangan asma akut


Gejala dan Berat Serangan Akut Keadaan
Tanda Mengancam jiwa
Ringan Sedang Berat
Sesak napas Berjalan Berbicara Istirahat
Posisi Dapat tidur Duduk Duduk
terlentang membungkuk
Cara berbicara Satu kalimat Beberapa kata Kata demi kata
Kesadaran Mungkin gelisah Gelisah Gelisah Mengantuk, gelisah,
kesadaran menurun
Frekuensi napas <20/ menit 20-30/ menit > 30/menit
Nadi < 100 - 10 mmHg 100 –120 + / - 10 > 120+> 25 mmHg Bradikardia - Kelelahan
Pulsus paradoksus – 20 mmHg otot

Otot Bantu Napas - + + Torakoabdominal


dan retraksi paradoksal
suprasternal
Mengi Akhir ekspirasi Akhir ekspirasi Inspirasi dan Silent Chest
paksa ekspirasi
APE > 80% 60 – 80% < 60%
PaO2 > 80 mHg 80-60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg
SaO2 > 95% 91 – 95% < 90%
Sumber : PDPI asma 2011

1.9. PENATALAKSANAAN ASMA

Faktor utama yang berperan dalam kesakitan dan kematian pada asma adalah tidak terdiagnosisnya
penyakit dan pengobatan yang tidak cukup. Penatalaksanaan yang paling efektif adalah mencegah
atau mengurangi inflamasi kronik dan menghilangkan faktor penyebab. Untuk mencapai asma
terkontrol diperlukan penanganan dengan beberapa tahapan mengingat asma merupakan penyakit
kronis yang bersifat dinamis, sangat bervariasi dan individual. Acuan pengobatan hanya bersifat
bantuan penatalaksanaan yang dapat disesuaikan dengan kondisi penderita saat itu.Tujuan
penatalaksanaan asma adalah: menyembuhkan dan mengendalikan asma, mencegah kekambuhan,
mempertahankan fungsi paru senormal mungkin, menghindarkan efek samping obat-obat asma,
mencegah terjadinya obstruksi saluran nafas yang irreversible, mencegah kematian akibat asma.
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit dimana asma dikatakan terkontrol bila.
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam.
2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise.
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan).
4. Variasi harian APE kurang dari 20%.
5. Nilai APE normal atau mendekati normal.
6. Efek samping obat minimal (tidak ada).
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat.

Dari tujuh komponen penatalaksanaan yang telah ditetapkan salah satunya tercantum
merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang.Tujuan pengobatan jangka panjang
untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol.Pengobatan asma diberikan
berdasarkan klasifikasi yang telah ditetapkan berdasarkan beratnya penyakit etiologi dan pola
keterbatasan udara. Obat-obat asma dikelompokkan atas dua golongan yaitu: obat-obat pelega
napas (reliever) dan obat-obat pengontrol asma c ontroller). Obat-obat reliever umumya adalah
bronkodilator diberikan pada penderita untuk mengatasi serangan asma.Obat-obat controller terdiri
dari obat anti inflamasi bronkodilator kerja lama serta anti alergi.

1. Pengontrol (controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari
untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol
sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol: kortikosteroid inhalasi, kortikosteroid
sistemik, sodium kromoglikat, nedokromil sodium, metilsantin, agonis beta-2 kerja lama, inhalasi,
leukotrien modifiers, antihistamin generasi kedua (antagonis-H 1), lain-lain. Pasien yang telah
mendapatkan obat pengontrol harus dipertimbangkan peningkatan dosis untuk 2-4 minggu ke
depan.

2. Pelega (reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau
menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di
dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan
napas.
Termasuk pelega adalah: agonis beta 2 kerja singkat , kortikosteroid sistemik (steroid sistemik
digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi
hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain),antikolinergik,
aminofilin, adrenalin.

3. Add-on terapi untuk pasien dengan asma berat.


Pengobatan ini dapat dipertimbangkan ketika pasien memiliki gejala persisten dan / atau
eksaserbasi meskipun pengobatan dioptimalkan dengan obat pengontrol dosis tinggi (biasanya
ICS dosis tinggi dan LABA a) dan pengobatan faktor risiko yang dimodifikasi.

Antibiotik (tidak disarankan)

Belum ada bukti yang mendukung peran antibiotik dalam asma eksaserbasi kecuali ditemukan bukti
kuat adanya infeksi paru (misalnya demam dan sputum purulen atau bukti radiografi pneumonia).
Pengobatan secara agresif dengan kortikosteroid harus dilaksanakan sebelum mempertimbangkan
pemberian antibiotik.

Terapi oksigen (jika tersedia)

Terapi oksigen harus disesuaikan dengan pulse oximetry (jika tersedia) untuk mempertahankan
saturasi oksigen pada 93-95% (94- 98% untuk anak-anak 6-11 tahun). Pemberian oksigen yang
sesuai memberikan hasil klinis yang lebih baik dibandingkan pemberian oksigen high-flow 100%).
Oksigen tidak boleh dikurangi jika oksimetri tidak tersedia, tetapi pasien harus dipantau jika muncul
keadaan mengantuk atau kelelahan.

Inhalasi short-acting β2-agonis

Terapi SABA inhalasi harus diberikan lebih sering pada pasien- pasien dengan serangan asma akut.
Yang mudah, efektif dan efisien adalah dengan pMDI menggunakan spacer. Belum ada bukti yang
kuat efektifitas inhalasi short-acting β2-agonis pada asma yang berat. Tidak ditemukan perbedaan
yang signifikan pada fungsi paru-paru atau resiko kunjungan rumah sakit. Studi sebelumnya pada
pasien yang rawat inap ditemukan bahwa terapi intermiten memberikan efek yang signifikan lama
rawatan rumah sakit yang lebih pendek, dan kebutuhan obat nebulisasi lebih sedikit bila
dibandingkan dengan terapi intermitten per-4 jam berselang. Penggunaan SABA inhalasi pada asma
eksaserbasi lebih tepat, oleh karena itu, awalnya menggunakan terapi terus menerus, diikuti dengan
terapi intermiten sesuai kebutuhan pasien rawat inap.
Tidak ada bukti untuk mendukung penggunaan rutin intravena beta2-agonis pada pasien dengan
asma eksaserbasi berat (Bukti A).

Epinefrin (untuk anafilaksis)

Epinefrin intramuskular (adrenalin) diindikasikan sebagai tambahan terhadap terapi standar untuk
asma akut yang terkait dengan anafilaksis dan angioedema. Hal ini tidak secara rutin diindikasikan
untuk eksaserbasi asma lainnya.

Kortikosteroid Sistemik

Kortikosteroid oral (OCS) harus diberikan segera, terutama jika pasien memburuk, atau telah
memerlukan peningkatan dosis dari pereda dan kontrolernya. Dosis yang dianjurkan untuk orang
dewasa adalah 1 mg prednisolon / kg / hari atau setara sampai maksimal 50 mg / hari, dan 1-2 mg /
kg / hari untuk anak-anak 6-11 tahun sampai dengan maksimum 40 mg / hari) . OCS biasanya harus
dilanjutkan selama 5-7 hari (Bukti B).
Kortikosteroid sistemik bekerja cepat pada asma eksaserbasi dan lebih mencegah
kekambuhan, dan harus digunakan pada asma eksaserbasi ringan pada orang dewasa, remaja dan
anak-anak 6-11 tahun. Bila memungkinkan, kortikosteroid sistemik harus diberikan kepada pasien
dalam waktu 1 jam penggunaan pertama. Kortikosteroid sistemik sangat penting pada unit gawat
darurat jika:
 Pemberian SABA pada awal terapi tidak memberikan perbaikan gajala.
 Eksaserbasi terjadi selama pasien menggunakan kortikosteroid oral.
 Pasien memiliki riwayat eksaserbasi selama penggunaan kortikosteroid oral.

Rute Pemberian Medikasi

Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan parenteral (subkutan,
intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah:lebih
efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas, efek sistemik minimal atau
dihindarkan, beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi pada
pemberian oral (antikolinergik dan kromolin).
Waktu kerja bronkodilator lebih cepat bila diberikan secara inhalasi daripada
oral. Macam-macam cara pemberian obat inhalasi:
 Inhalasi dosis terukur (IDT) / metered-dose inhaler (MDI)
 IDT dengan alat bantu (spacer)
 Breath-actuated MDI
 Dry powder inhaler (DPI)
 Turbuhaler
 Nebuliser

Kekurangan IDT adalah sulit mengkoordinasikan dua kegiatan (menekan inhaler dan menarik
napas) dalam satu waktu, sehingga harus dilakukan latihan berulang-ulang agar penderita
terampil.Penggunaanspacer mengatasi kesulitan dan memperbaiki penghantaran obat melalui IDT.
Selain spacer juga mengurangi deposit obat di mulut dan orofaring, mengurangi batuk akibat IDT dan
mengurangi kemungkinan kandidiasis bila dalam inhalasi kortikosteroid, serta mengurangi bioviabiliti
sistemik dan risiko efek samping sistemik. Berbagai studi di luar maupun di Indonesia menunjukkan
inhalasi agonis beta-2 kerja singkat dengan IDT dengan spacer memberikan efek bronkodilatasi yang
sama dengan pemberian secara nebulisasi dan pemberian melalui IDT dengan spacer terbukti
memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik daripada melalui DPI.
Kelebihan DPI adalah tidak menggunakan campuran yaitu propelan freon, dan relatif lebih
mudah digunakan dibandingkan IDT. Saat inhalasi hanya dibutuhkan kecepatan aliran udara
inspirasi minimal, oleh sebab itu DPI sulit digunakan saat eksaserbasi, sehingga dosis harus
disesuaikan.Sebagian DPI terdiri atas obat murni, dan sebagian lagi mengandung campuran laktosa,
tetapi DPI tidak mengandung klorofluorokarbon sehingga lebih baiktetapi lebih sulit pada udara
dengan kelembaban tinggi.
Klorofluorokarbon (CFC) pada IDT, sekarang telah diganti hidrofluoroalkan (HFA).Pada obat
bronkodilator dosis dari CFC ke HFA adalah ekivalen, tetapi pada kortikosteroid, HFA
menghantarkan lebih banyak partikel yang lebih kecil ke paru sehingga lebih tinggi efikasi obat dan
juga efek samping sistemiknya. Dengan DPI,obat lebih banyak terdeposit dalam saluran napas
dibanding IDT, tetapi studi menunjukkan inhalasi kortikosteroid dengan IDT dan spacer memberikan
efek yang sama melalui DPI. Karena perbedaan kemurnian obat dan teknik penghantaran obat
antara DPI dan IDT, maka perlu penyesuaian dosis obat saat mengganti obat melalui DPI ke IDT
atau sebaliknya.

 Pengobatan ICS dosis rendah yg lbh awal memberi perbaikan fungsi paru yg lebih besar dari
pada jika gejala telah ada lbh dr 2-4 thn

 Pasien dgn eksaserbasi berat tanpa ICS memiliki fungsi paru jangka panjang yg lebih buruk
daripada yg telah memulai ICS lebih awal

 Pada asma kerja, penghindaran awal dari paparan zat sensitizing dan pengobatan awal
meningkatkan kemungkinan perbaikan
Berikut ini adalah langkah- langkah pengobatan asma

Gambar 15.3. Langkah-Langkah Pengobatan Asma


Sumber : GINA 2015

Pengobatan pengontrol awal

Untuk hasil terbaik, pengobatan pengontrol sehari-hari harus dimulai sesegera mungkin setelah
diagnosis asma dibuat, sebagai bukti menunjukkan bahwa:
 Memulai pengobatan ICS dosis rendah sedini mungkin pada pasien dengan asma yang
menunjukkan ke peningkatan yang lebih besar dalam fungsi paru-paru daripada jika gejala
telah hadir selama lebih dari 2-4 years. Suatu penelitian menunjukkan bahwa ICS dosis yang
lebih tinggi diperlukan, dan lebih rendah fungsi paru-paru.
 Pasien tidak mengambil ICS yang mengalami eksaserbasi parah memiliki penurunan jangka
panjang yang lebih besar dalam fungsi paru-paru dibandingkan dengan mereka yang sudah
mulai ICS.
 Untuk pasien dengan asma akibat kerja, menghindari paparan agen kepekaan dan
pengobatan dini meningkatkan perbaikan.

Pilihan Direkomendasikan untuk pengobatan pengendali awal pada orang dewasa dan remaja,
berdasarkan pedoman yang dan konsensus. Respon pasien harus ditinjau, dan pengobatan dapat
dikurangi setelah kontrol yang baik dicapai.

a. Tahap 1

Dijumpai gejala asma yang sangat jarang, di antara episodik tidak ada gejala dan faal paru
normal, tidak ada riwayat pengobatan dengan pengontrol kortikosteroid inhalasi (ICS).
Pengobatan: pelega (reliever) jika perlu, pelega yang direkomendasikan adalah agonis beta-
2 kerja singkat (SABA) inhalasi. Alternatif lainnya adalah SABA oral, kombinasi oral SABA dan
teofilin/aminofilin atau kolinergik kerja singkat inhalasi.

b. Tahap 2

Dijumpai gejala asma dan eksaserbasi atau perburukan yang periodik, dengan atau tanpa riwayat
pengobatan ICS sebelumnya.
Pengobatan: pengontrol kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan pelega hanya jika
diperlukan. Alternatif pengontrol pada tahap 2 adalah leucotrien modifiers/anti-leukotrien terutama
pada pasien yang tidak dapat menggunakan inhalasi atau tidak tepat menggunakan kortikosteroid
inhalasi atau mempunyai efek samping dengan kortikosteroid inhalasi dan pasien mempunyai
rinitis alergika dominan. Alternatif lainnya adalah teofilin lepas lambat, terutama pada pasien
dengan keluhan gangguan asma malam hari. Pelega (SABA) jika diperlukan.
c. Tahap 3

Jika pasien dalam tahap 2 selama ± 12 minggu dan belum terkontrol, dan diyakini tidak ada
masalah lainnya (cara penggunaan obat, kepatuhan, komorbid, pencetus, dll), maka masuk ke
tahap 3. Selain itu pada awal penilaian dapat langsung ke tahap 3 pada pasien dengan gejala
sering, dengan atau tanpa riwayat pengobatan ICS sebelumnya, maka diberikan pengontrol
kombinasi atau masuk ke tahap 3, yaitu pengontrol kombinasi inhalasi kortikosteroid dosis rendah
dan agonis beta-2 kerja lama (LABA) yang kombinasinya dikenal dengan LABACS. Alternatif
pengontrol adalah kortikosteroid inhalasi (ICS) dosis sedang yang direkomendasikan diberikan
melalui IDT dengan spacer untuk meningkatkan pengantaran obat ke saluran napas dan
mengurangi deposit atau efek samping di orofaring serta mengurangi absorpsi sistemik. Alternatif
lain kortikosteroid inhalasi dosis rendah dikombinasi dengan antileukotrien/ leukotrien modifiers
atau alternatif lain pada pasien dewasa yaitu kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah
dengan teofilin lepas lambat.

d. Tahap 4

Merupakan pindahan dari tahap sebelumnya yaitu tahap 3, artinya tidak ada langsung ke tahap 4
dari penilaian awal.
Pengobatan yaitudengan pengontrol kombinasi inhalasi kortikosteroid (ICS) dosis sedng-
tinggi dengan agonis beta-2 kerja lama (LABACS). Kortikosteroid inhalasi (ICS) dosis tinggi dalam
LABACS sebaiknya diberikan tidak dalam waktu lama (3-6 bulan). Lebih disukai pemberian ICS
dosis sedang dalam LABACS bila perlu dikombinasi dengan pengontrol lain seperti
antileukotrien/leukotrien modifiers atau teofilin lepas lambat.

e. Tahap 5

Jika pasien dalam tahap 4 dan masih belum terkontrol, terdapat keterbatasan beraktivitas dan
sering eksaserbasi, maka pengobatan dilanjutkan ke tahap 5. Artinya pada pasien sudah
terkontrol sebagian dalam tahap 4, tidak dianjurkan masuk ke tahap 5 apalagi jika pasien sudah
puas dengan kondisi asma terkontrol sebagian.
Pengobatan tahap 5 adalah pengobatan tahap 4 dengan menggunakan LABACS dengan
ICS dosis tinggi dan kombinasi pengontrol lainnya (sesuai tahap 4) dan jika perlu ditambahkan
kortikosteroid (golongan glukokortikosteroid) oral dosis terendah, atau antiIge pada pasien yang
mempunyai faktor alergi dominan (asma alergi), sebagai pengganti glukokortikoid oral sehingga
menghindari efek samping kortikosteroid.
Pendekatan dalam memulai pengobatan jangka panjang harus melalui pemberian terapi
maksimum pada awal pengobatan sesuai derajat asma termasuk glukokortikosteroid oral dan
atau glukokortikosteroid inhalasi dosis penuh ditambah dengan agonis beta-2 kerja lama untuk
segera mengontrol asma, setelah asma terkontrol dosis diturunkan secara bertahap sampai
seminimal mungkin dengan tetap mempertahankan kondisi asma terkontrol. Cara itu disebut
stepdown therapy. Pendekatan lain adalah stepuptherapyyaitu memulai terapi sesuai berat asma
dan meningkatkan terapi secara bertahap jika dibutuhkan untuk mencapai asma terkontrol.
Stepdown therapy untuk penanganan asma yaitu memulai pengobatan dengan upaya
menekan inflamasi jalan napas dan mencapai keadaan asma terkontol sesegera mungkin, dan
menurunkan terapi sampai seminimal mungkin dengan tetap mengontrolasma. Bila terdapat
keadaan asma yang tetap tidak terkontrol dengan terapi awal/maksimal tersebut (misalnya
setelah satu bulan terapi) maka pertimbangkan untuk evaluasi kembali diagnosis sambil tetap
memberikan pengobatan asma sesuai beratnya gejala.
Stepwise controller treatment : utk mencapai kontrol astma yg baik, mengurangi (resiko
eksaserbasi, keterbatasan aliran udara yg menetap dan efek samping obat).
Sekali asma sudah terkontrol dlm 2-3 bln → step down → untuk mengetahui pengobatan efektif
yg paling minimal.

Setelah pengobatan kontroler dlm 2-3 bln gejala menetap dan/atau terjadi eksaserbasi nilai
dahulu hal berikut sebelum melakukan step up pengobatan:

 Tehnik menggunakan inhaler yang tidak tepat.

 Kepatuhan pasien yang buruk terhadap pengobatan asma.

 Eksposur yg menetap.

 Komorbid.

 Diagnosis tidak tepat.


Penatalaksanaan Asma dalam Serangan

1. Prinsip Manajemen Penatalaksanaan dalam Serangan


Penatalaksanaan dibagi menjadi 2 macam yaitu secara farmakologi dan secara non farmakologi
dibuat untuk mencapai target dan prinsip-prinsip yang akurat dan ilmiah:
2) Target yang akan dicapai
a. Menjaga kelangsungan hidup penderita pada tahap normal.
b. Mempertahankan fungsi paru pasien seoptimal mungkin, normal.
c. Mencegah penyakit supaya tidak menahun.
d. Mencegah jangan kembali kambuh.
e. Menghindari efek samping obat-obat asma.

2) Prinsip-prinsip Pengobatan Asma secara Umum

a. Pengobatan harus berkesinambungan.


b. Menghindari faktor pencetus.
c. Pengobatan berdasarkan temuan patofisologis.
d. Menghindari eksaserbasi akut.
e. Disertai dengan edukasi, pengawasan lingkungan, keteraturan dan pengendalian
pemakaian obat-obatan.

Penatalaksanaan asma dalam serangan diteliti oleh Rodrigo, Carlos dan Rodrigo Gustavo.
Dalam laporan Treatment of Acute Asma menegaskan bahwa prinsip penatalaksanaan adalah :
―Lack of therapeutic benefit and increase of the toxicity from “aminophylline” given in addition to
high doses of salbutamol delivered by metered dose inhaler with a spacer” dideskipsikan dalam
abstrak laporan penelitian mereka sebagai berikut:
Mereka melakukan penelitian dengan model pemberian placebo aminophylin terkendali
untuk menentukan apakah pemberian aminophylin secara intravenous bermanfaat terhadap
pengobatan asma dalam serangan dibandingkan dengan pemberian inhalasi salbutamol tunggal.
Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa pemberian aminophilin secara sistemik atau intravena
yang dikombinasi dengan inhalasi beta-2 agonis kerja singkat pada asma dalam serangan hanya
memberikan sedikit efek bronkodilasi atau malah tidak sama sekali jika dibandingkan dengan
pemberian inhalasi beta-2 kerja singkat secara tunggal. Penelitian tersebut juga menyatakan
bahwa pasien yang diberikan aminophyline mengalami efek sampingan yang lebih tinggi
(p<0,05).. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian inhalasi beta-2 agonis dosis tinggi secara
terus menerus atau berulang melalui alat spacer MDI (metered dose inhaler) dapat menjadi terapi
bronkodilator yang optimal untuk pengobatan asma dalam serangan diruang gawat darurat.
Peneliti menyimpulkan bahwa pemberian aminophyline secara sistemik hanya menambah
toksisitas tetapi tidak menambah manfaat pada penanganan asma dalam serangan jika
dibandingkan pada pemberian inhalasi salbutamol tunggal.

Penatalaksanaan Asma dalam Serangan di Rumah Sakit.

Pada serangan asma ringan, sedang dan berat harus dengan oksigenasi dengan nasal kanul.
Kemudian inhalasi agonis beta-2 keja singkat (nebulisasi) setiap 20 menit dalam satu jampertama
atau agonis beta-2 injeksi. Kortikosteroid sistemik diberikan pada asma serangan berat, tidak ada
respons dengan pengobatan bronkodilator dan yang menggunakan kortikosteroid oral.penilaian
diulang 1 jam lagi berdasarkan pemeriksaan fisik, saturasi oksigen dan penunjang lainnya.
Apabila respon baik dan stabil dalam 60 menit, penderita dapat pulang dan pengobatan
dilanjutkan dengan inhalasi agonis beta-2 dan kortikosteroid oral dan edukasi penderita.
Apabila respon tidak sempurna maka diberi inhalasi agonis beta-2 boleh ditambah dengan
anti-kolinergik, ditambah kortikosteroid sistemik dam aminophillin drip, peetimbangkan terapi
oksigen nasal kanul atau masker venturi. Pantau APE, sat O2, nadi, kadar teofilin. Apabila tidak
ada perbaikan maka dirawat ICU. Apabila respon buruk dalam 1 jam maka indikasi rawat ICU,
selain pengobatan yang diberikan pada respon tidak sempurna boleh ditambah dengan agonis
beta-2 injeksi SC/IM/IV. Mungkin perlu intubasi mekanik dan ventilasi mekanik. Untuk perawatan
lebih adjuvan pada asma eksaserbasi berat perlu dipertimbangkan pemberian magnesium sulfat
atau heliox intra vena, dimana panderita tidak memberikan respon baik terhadap pengobatan
sebelumnya ( yaitu, VEP1 atau APE< 40% prediksi). Secara ringkas dapat di lihat pada tabel 6.3.
Tabel 15.3 Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan tempat pengobatan
SERANGAN PENGOBATAN TEMPAT PENGOBATAN
RINGAN Terbaik : Di rumah
Aktiviti relatif normal Inhalasi agonis beta-2 Di praktek dokter/Klinik/
Berbicara satu kalimat Alternatif: Puskesmas
Dalam satu napas Kombinasi oral agonis beta-2
Nadi < 100 Dan teofilin
APE > 80%
SEDANG Terbaik Darurat Gawat / RS
Jalan jarak jauh Nebulasi agonis beta-2 tiap 4 jam Klinik
Timbulkan gejala Alternatif: Praktek Dokter
Berbicara beberapa kata dalam - Agonis beta-2 subkutan Puskesmas
satu napas - Aminofilin IV
Nadi 100-120 - Adrenalin 1/1000 0.3 ML SK
APE 60-80%
BERAT Terbaik Darurat Gawat/ RS Klinik
Sesak saat istirahat Nebulasi agonis beta-2 tiap 4 jam
Berbicara kata perkata Alternatif
Dalam satu napas - Agonis beta-2 SK/IV
Nadi > 120 - Adrenalin 1/1000 0.3 ml SK
APE < 60% atau
100 1/dtk
MENGANCAM JIWA Seperti serangan akut berat Darurat Gawat/RS ICU
Kesadaran berubah Pertimbangkan intubasi dan ventilasi
Menurun mekanis
Gelisah
Sianosis
Gagal napas
Sumber : PDPI Asma 2011

Mekanisme Kerja Kortikosteroid

Kortikosteroid bukan satu-satunya pengobatan yang dipakai pada asma tetapi cukup populer di
anjurkan oleh para dokter untuk menghilangkan obstruksi saluran pernapasan dengan segera. Obat-
obatan tersebut diantaranya adalah kortikosteroid (antiinflamasi) disertai bronkodilator sebagai
pelega saluran napas dari penyempitan.
Kortikosteroid mengurangi jumlah sel inflamasi saluran napas pada tingkat selular termasuk
eosinofil, limfosit T, sel mast, dan sel dendritik. Hal itu terjadi dengan menghambat perekrutan sel
anti inflamasi ke dalam saluran napas melalui penekanan produksi mediator kemotaktik dan molekul
adhesi serta menghambat keberadaan anti inflamasi dalam saluran napas misalnya, eosinofil, sel
limfosit, dan sel mast. Target selular utama kortikosteroid inhalasi adaalah sel epitel. Kortikosteroid
memiliki spektrum luas dalam memberikan efek antiinflamasi dengan menghambat berbagai
mediator serta sel inflamasi. Beberapa hal yang perlu diketahui untuk menjelaskan mekanisme
molekular aksi kortikosteroid adalah remodelling kromatin dan ekspresi gen, reseptor
glukokortikosteroid (glucocorticoid receptor, GR), aktivasi gen penyandi protein anti inflamasi serta
inaktivasi gen inflamasi.

Gambar 15.4. Mekanisme Kortikosteroid Dalam Mengatur Ekspresi Gen


Sumber : British J Pharmacol 2006

Kortikosteroid adalah pengobatan jangka panjang yang paling efektif pada asma. Kortikosteroid
memperbaiki faal paru, menekan proses inflamasi, menurunkan hiperesponsif saluran napas. Pasien
asma ringan dapat diatasi dengan inhalasi kortikosteroid dosis ringan, bila dengan asma berat
dosisnya diperbesar. Dosis oral sering efektif pada mereka yang tergantung pada kortikosteroid
tetapi ada yang tidak efektif bila pasien resisten kortikosteroid.
Glukokortikosteroid banyak digunakan di seluruh dunia. Pemakaian kortikosteroid pada asma
dimulai oleh Solomon Solis Cohen. Kendall dan Reichstein melakukan isolasi dan sintesis kortisol
serta hormon adrenokortikotropik. Perkembangan selanjutnya adalah pemakaian inhalasi
kortikosteroid pada pasien asma sebagai lini pertama.
Kortikosteroid merupakan anti radang yang efektif untuk pengobatan obstruksi saluran napas
yang reversibel. Kortikosteroid mempercepat katabolisme (termasuk IgE), turut menghalangi enzim
fosfolipase mengubah fosfolipid membran sel supaya tidak menjadi mediator penyempitan bronkiol.
Kortikosteroid bekerja : (1) Menghalangi arachidonic acid dan menghambat pembentukan
lekotrin dan prostaglandin; (2) Menghalangi aktifitas sel-sel radang secara langsung; (3)
Meningkatkan respons reseptor beta dari otot polos saluran pernapasan. (4) Kortikosteroid dapat
dipakai dalam pengobatan segera dan jangka pendek. Hasil pengobatan kortikosteroid jangka
pendek dengan segera cukup baik mengurangi durasi (rentang lamanya) serangan serta seringnya
serangan.

Gambar 15.5 Kortikosteroid Inhalasi Sebagai Antiinflamasi Sumber


: Jurnal kedokteran dan Farmasi Dexamedica Vol 20,2007

1. Glukokortikosteroid Oral
Glulokortikosteroid oral yang sering dipakai prednisolon 0.5 - 1 mg /kg atau equivalent diberikan
jika serangan kurang dari periode 24 jam terutama bila asma yang awalnya terkontrol dengan
pengobatan jangka pendek menjadi eksaserbasi apalagi pasien yang mengalami serangan ini
termasuk resiko tinggi.

2. Glukokortikosteroid Sistemik
Glukokortikoid sistemik akan mempercepat berkurangnya serangan termasuk asma dalam
serangan ringan sampai sedang khususnya bila terapi inhaled β2-agonis tak berhasil, pasien
yang sebelumnya sudah mendapat pengobatan kortikosteroid oral, serangan sebelumnya yang
membutuhkan glukokorticosteroid oral.
Kortikosteroid oral sama efektifnya dengan kortikosteroid sistemik hanya saja yang oral
lebih non invasif dan lebih murah. Bila terjadi efek muntah setelah pemberian kortikosteroid oral
maka dengan dosis ekuivalen hendaknya diberikan per intravenous. Kortikosteroid oral
membutuhkan minimal 4 jam untuk menimbulkan perbaikan klinis yang setara dengan dosis
harian kortikosteroid sistemik metilprednisolon 60-80 mg dalam dosis tunggal, atau hidrokortison
300- 400 mg dalam dosis terbagi. Methilprednisolon 40 mg cocok untuk pasien yang diopname.
Kortikosteroid oral dosis 1 mg/kg perhari cukup untuk pengobatan pada asma persisten sedang
yg mengalami serangan pada anak-anak. Fakta yang terkini mengungkapkan tidak ada
untungnya melakukan tappering dosis pengobatan gluokortikosteroid oral baik dalam pemberian
jangka pendek atau lebih dari beberapa minggu.

3. Kortikosteroid Inhalasi
Pemberian kortikosteroid inhalasi sangat efektif dalam mengatasi asma dalam serangan.
Kombinasi dosis tinggi kortikosteroid inhalasi dan salbutamol pada asma dalam serangan
memberikan efek bronkodilator lebih besar dibandingkan salbutamol saja. Dan lebih bermanfaat
jika penambahan glukokortikosteroid sistemik termasuk pasien yang dirawat di rumah sakit,
khususnya untuk pasien-pasien dengan serangan yang lebih berat. Glukokortikosteroid inhalasi
pada kasus kambuh, pasien yang sebelumnya dirawat dirumah sakit dengan pemakaian obat
sebelumnya dengan prednison atau budesonid inhalasi. Dosis tinggi glukokortikosteroid inhalasi
(2.4 mg budesonide per hari dalam 4 dosis terpisah) serupa dengan 40 mg oral prednisone per
hari dalam mengatasi kejadian kambuhnya asma.Selain pemberian secara inhalasi lebih efektif
ternyata faktor biaya juga berperan dalam mencegah seringnya kejadian serangan berulang.
Pemberian kortikosteroid inhalasi dengan dosis rendah dapat mengurangi eksaserbasi
ringan maupun berat. Terbukti pada uji klinis OPTIMA (Oxis and Pulmicort Turbuhaler in the
Management of Asthma) bahwa penggunaan budesonide 200 mg pada pasien asma serangan
ringan yang belum pernah mendapatkan terapi kortikosteroid sebelumnya dapat mengurangi
resiko eksaserbasi asma berat sebanyak 60 % dan total tingkat eksaserbasi secara keselutuhan
sebanyak 40 %. Dengan studi yang sama penderita yang sudah menggunakan kortikosteroid
inhalasi sebelumnya, peningkatan dosis menjadi 200-400 mg per hari tidak memberikan manfaat
tambahan. Menurut penelitian FACET (Formoterol and Corticosteroids Establishing Therapy)
bahwa pemberian budesonide 200-800 mg/hari akan mengurangi tingkat eksaserbasi derajat
berat hampir 50%. Peningkatan dosis kortikosteroid sampai empat kali dapat mengurangi resiko
eksaserbasi.
Efek Samping dan Kontraindikasi Kortikosteroid

Efek samping kortikosteroid terjadi karena pemberhentian secara tiba-tiba atau pemberian terus
menerus terutama dengan dosis besar. Pemberhentian kortikosetroid jangka panjang secara tiba-tiba
dapat menimbulkan insufiensi adrenal akut dengan gejala demam, mialgia, atralgia dan malaise.
Insufiensi terjadi akibat kurang berfungsinya kelenjar adrenal yang telah lama tidak memproduksi
kortikosteroid endogen karena rendahnya mekanisme umpan balik oleh kortikosteroid eksogen.
Gejala - gejala ini sukar dibedakan dengan gejala reaktivasi artritis reumatoid yang sering terjadi jika
kortikosteroid dihentikan.
Komplikasi yang timbul akibat pengobatan yang lama adalah gangguan cairan dan elektrolit,
hiperglikemia, dan glukosuria, mudah mendapat infeksi terutama tuberkulosis, pasien tukak peptik
sampai perforasi, oeteoporosis, miopati yang karakteristik, psikosis, hubitus pasien cushing (antara
lain moon face, buffalo hump, timbunan lemak supraklavikular, obesitas sentral, ekstremitas kurus,
striae, ekimosis, akne dan hirsutisme).
Untuk menghindari efek samping dari pemakaian kortikosteroid (terutama pada pemakaian
jangka panjang) dianjurkan pemakaian kortikosteroid aerosol dengan inhalasi. Pemakaian aerosol
(topikal) dianjurkan sebagai cara pengobatan awal atau pun berlanjut pada kasus serangan asma
ringan dimana mobilitas penderitanya dalam keadaan normal. Tetapi bila serangan asma tidak
terkendali dan sampai menganggu mobilitas sehari-hari, pengobatan dilakukan dengan cara intensif
untuk mencegah timbulnya hiperresponsif saluran napas, serta akibat lain karena penyempitan
saluran napas yang berlarut-larut.
Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid. Pemberian dosisi tunggal besar
bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi
relatif dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien. Bila obat diberikan
untuk beberapa hari atau beberapa minggu kontraindikasi realtif yaitu, diabetes mellitus, tukak
peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lainnya dapat
diperhatikan. Dibutuhkan pertimbangan matang antara resiko dan keuntungan sebelum obat
diberikan.
Pengobatan Beta 2 Agonist pada Serangan Asma

Asma serangan berat memerlukan pengobatan segera dengan memberikan inhalasi dengan
bronkodilator dan kortikosteroid intravena yang bertujuan untuk mencegah ancaman gagal napas
dan pemakaian ventilasi mekanik.
Inhalasi dengan beta- 2 agonis dan ipratropium bromida ditambah aminofilin secara bolus dan
per drip merupakan terapi utama pada asma serangan berat, dan dalam waktu singkat akan terlihat
perbaikan nyata.
Pada asma serangan ringan cukup diberikan bronkodilator, sedangkan pada serangan sedang
ditambah dengan kortikosteroid oral serta pemberian terapi oksigen dan cairan intravena bila
diperlukan. Pada asma serangan berat perlu penanganan sesegera mungkin dengan pemberian
terapi oksigen, mengatasi dehidrasi dengan cairan intravena, inhalasi obat bronkodilator,
kortikosteroid sistemik, dengan atau tanpa penambahan aminofilin. Dengan pedoman tata laksana
tersebut memberikan angka keberhasilannya yang cukup tinggi dalam mengatasi asma serangan
berat.
Beta-2 agonist adalah pengobatan dengan efek terutama mempengaruhi otot-otot di sekitar
jalan napas bronchus dan bronchiolus. Ketika paru-paru teriritasi, otot-otot di sekitar jalan napas
mengetat, yang pada akhirnya akan menyebabkan penyempitan daripada saluran napas. Kondisi ini
sering membuat kesulitan bernapas ( breathlessness). Beta-agonists bekerja dengan merangsang
otot otot relaksasi, pelebaran jalan napas. Kondisi ini menghasilkan pernapasan jadi lega.
Namun hal yang perlu diingat adalah obat-obatan beta-2 agonis kerja singkat sebagai pelega
adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat mengatasi bronkokonstriksi dan
mengurangi gejala – gejala asma. Prinsip kerja obat ini adalah dengan mendilatasi jalan napas
melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan
dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, dan batuk. Akan tetapi golongan obat ini tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hipersensitivitas jalan napas.

Jenis-jenis beta 2- agonist dikelompokkan berdasarkan berapa rentang waktu mereka berfungsi:
a) Beta 2-agonist rentang pendek (short-acting) bekerja cepat (di rentang 3 sampai 5 menit), tetapi
efektif hanya 4 s/d 6 jam. Pengobatan tersebut sering diberikan sebagai obat pereda karena
mereka segera meredakan sesak napas Obat-obat tersebut dapat juga dipakai mencegah atau
meredam gejala-gejala.
b) Beta 2- agonist rentang panjang ( long-acting). Berfungsi sekitar 12 jam dan dikenal sebagai obat
pengontrol.
Beta 2-agonis kerja singkat dapat diberikan dengan beberapa cara tetapi yang terumum
adalah dengan inhalasi dihirup dengan suatu MDI, DPI atau dalam bentuk cairan yang diberikan
melalui alat nebulizer. Beberapa beta 2- agonis dalam bentuk oral dan intravenous dipakai juga,
tetapi dengan kemungkinan efek samping ( side-effects) yang lebih banyak.
Obat-obat yang termasuk dalam beta 2 agonis kerja singkat yang beredar di Indonesia
adalah6,17Salbutamol, Terbutalin, Fenoterol, Prokaterol, Formoterol, Metaproterenol, Salmeterol,
Pirbuterol, Bitolterol, Isoetarin, Rotodrin.

Cara Kerja Beta- 2 agonis Kerja Singkat

Efek yang ditimbulkan oleh reseptor beta pada otot polos di bronkus adalah efek simpatis berupa
relaksasi sedangkan efek parasimpatis nya adalah kontraksi. Berdasarka perbedaan selektivitas
agonis dan antagonis nya, reseptor beta masih dibedakan lagi menjadi 3 subtipe yang disebut beta-
1, beta-2, dan beta-3. Aktivasi reseptor beta-2 menimbulkan relaksasi otot polos. Diantara agonis
dari reseptor beta, salbutamol adalah reseptor beta-2 yang cukup selektif, pada dosis yang
menyebabkan bronkodilatasi dan hanya sedikit menimbulkan stimulasi pada jantung.
Cara kerja short acting beta agonis yaitu merelaksasi otot-otot di saluran pernapasan,
memudahkan pasien untuk bernapas, memberikan kelegaan bernapas, digunakan saat terjadi
serangan asma. Cara kerja long-term medicines yaitu mengobati inflamasi pada saluran pernapasan,
mengurangi udem dan mukus berlebih, memberikan kontrol untuk jangka waktu lama, membantu
mencegah timbulnya serangan asma. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat asma dibedakan
menjadi golongan bronkodilator, golongan kortikosteroid, dan obat-obat lain. Ada tiga jenis
bronkodilator, yaitu simpatomimetika (β2 agonist), metil santin, dan antikolinergik.
Sari pustaka ini membicarakan tentang terapi asma menggunakan obat asma golongan
bronkodilator jenis simpatomimetika beta-2 agonis kerja singkat. Obat simpatomimetika merupakan
obat yang memiliki aksi serupa dengan aktivitas saraf simpatis. Sistem saraf simpatis memegang
peranan penting dalam menentukan ukuran diameter bronkus. Ujung saraf simpatis yang
menghasilkan norepinepherine, ephinepherine, isoprotenerol disebut adrenergic. Adrenergic memiliki
dua reseptor alpha dan beta (beta-1 dan beta-2). Adrenergic menstimulasi reseptor beta-2 (pada
kelenjar dan otot halus bronkus) sehingga terjadi bronkodilatasi. Mekanisme kerja obat
simpatomimetika adalah melalui stimulus reseptor beta-2 pada bronkus menyebabkan aktivasi
adenilsiklase. Enzim ini mengubah ATP ( Adenosintrifosfat) menjadi cAMP (cyclic-adenosine-
monophosphat) dengan pembebasan energi yang digunakan untuk proses dalam sel. Meningkatnya
kadar cAMP dalam sel menghasilkan efek bronkodilatasi.
Obat simpatomimetika (beta-2 agonis) seperti salbutamol dan terbutalin merupakan obat beta-
2 agonist yang paling aman dan paling efektif untuk asma. Serangan asma ringan sampai sedang
umumnya memberikan respon secara cepat terhadap pemberian inhalasi seperti salbutamol dan
terbutalin. Untuk serangan asma yang lebih berat, diperlukan kortikosteroid oral jangka pendek agar
asmanya terkontrol. Salmeterol dan formeterol kerjanya lebih panjang ( long acting), diberikan secara
inhalasi 2 kali sehari. salmeterol dan formeterol mampu memberikan manfaat klinis untuk penggunan
rutin tetapi tidak dapat dipakai untuk serangan asma akut. Obat simpatomimetika (beta-2 agonis)
short-acting tidak boleh diresepkan secara rutin untuk pasien dengan asma ringan atau sedang,
karena berbagai uji klinik penggunaannya secara rutin tidak memberikan manfaat klinis.

Efek Samping terhadap Pemakaian Beta-2 agonis

Efek samping beta- agonis berupa tremor, rasa gugup, khawatir, takikardia, palpitasi, nyeri kepala,
mual dan muntah, terutama pada pemberian per oral. Efek samping jarang terjadi pada pemakaian
inhalasi. Efek lainnya adalah hiperglikemia, hipokalemia, edema paru pada ibu hamil.
Penggunaan beta-2 agonis sebagai bronkodilator harus hati-hati pada pasien dengan
hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongetif, hipertiroid, diabetes. Disamping itu,
penggunaan beta-2 agonis untuk menunda kelahiran dikontraidikasikan pada pasien dengan
penyakit jantung atau diabetes yang tergantung pada insulin.
Efek samping tersebut dapat berlangsung dalm beberapa menit dan mungkin berlangsung
setelah beberapa hari setelah pemakaian yang berkelanjutan. Kadang-kadang efek samping tidak
hilang begitu saja, dengan demikian pengobatan beta agonis perlu dihentikan. Sering efek terjadi
karena terlalu banyak lapisan obat tertempel di di rongga mulut Hal tersebut dapat dihentikan
dengan melakukan pembersihan lapisan dari rongga mulut dengan teknik pembersihan kumur- kumur. Banyak
pengobatan short-acting beta-agonists tidak boleh diulang sebelum 4 jam.

Anda mungkin juga menyukai