BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi.
Yang termasuk agonis adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien
C4 dari sel mast, neuropepetida dari saraf aferen setempat dan asetilkolin dari
saraf postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respirtorik diperkuat oleh
penebalan dinding saluran napas akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan
remondeling, hiperplasia dan hipertropi kronis otot polos, vaskuler dan sel-sel
sekretori serta deposisi matrik pada diding saluran respiratorik. Selain itu
hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak,
kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang
keluar melalui mikrovaskuler bronkus dan debris seluler.16
Peran serotonin, suatu bronkokonstriktor, belum diketahui pada
manusia. Sistim saraf parasimpatik memainkan peran penting dalam menjaga
tonus normal bronkial. Aktifasi reflek vagal terjadi pada bronkokontriksi yang
dimediasi oleh peningkatan siklik guanosin monofosfat intraseluler (cGMP). 2
Selama serangan asma, bronkokontriksi, oedem mukosa, dan sekresi yang
terjadi akan meningkatkan tahanan aliran gas disetiap tempat jalan napas yang
lebih rendah. Tahanan jalan napas kembali normal pertama kali pada jalan napas
yang lebih besar (bronki utama, lobar, segmental dan sub segmental), kemudian
baru perifer. Laju ekspirasi menurun melampaui kapasitas vital paksa (force vital
capacity) tetapi pada pemulihan serangan laju rata-rata ekspirasi menurun hanya
pada volume paru rendah.
Volume residu (RV), TLC, FRC semua menurun. PaCO2 normal atau tinggi
menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan kerja napas lagi dan hal
ini sering merupakan tanda adanya gagal napas (impending). Pulsus paradoksus
dan gambaran EKG renggangan ventrikel kanan (perubahan ST, deviasi aksis
kanan, dan RBBB) menunjukan obstruksi jalan napas berat.2
6
INTERMITEN Gejala < 1x/minggu < 2 kali sebulan VEP1 atau APE > 80%
Mingguan Tanpa gejala di luar serangan
Serangan singkat
Fungsi paru asimtomatik dan normal di luar
serangan.
PERSISTEN Gejala > 1x/minggu tapi < 1x/hari > 2 kali VEP1 atau APE > 80%
RINGAN Serangan dapat mengganggu aktivitas dan seminggu normal
Mingguan tidur.
PERSISTEN Gejala harian > sekali VEP1 atau APE > 60%
SEDANG Menggunakan obat setiap hari seminggu tetapi < 80% normal
Harian Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
Serangan 2x/minggu, bisa berhari – hari
PERSISTEN Gejala terus menerus Sering VEP1 atau APE < 80%
BERAT Aktivitas fisik terbatas normal
Kontinu Sering serangan
8
Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia, 2004
2.6 Tatalaksana
Non Farmakologi yaitu melalui pencegahan
Farmakologi dengan menggunakan obat
o Short acting β2 agonsts (salbutamol, terbutalin)
o Antiklinergik
o Kortikosteroid
2. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas
yang terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak, sianosis, ekspirasi
memanjang, Palpasi takicardi. Perkusi hipersonor, auscultasi whezing, ronchi. 4
Tanda-tanda serangan asma berat meliputi penggunaan otot-otot pernapasan
tambahan, tidak mampu berhenti napas pada saat bicara, sianosis, sedikit atau
tidak ada whezing (jalan napas tertutup, sedikit gerakan udara, dan whezing
menurun).5
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada asma eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah eosinofil
ini selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi kortikosteroid dan dapat juga
untuk membedakan asma dengan bronchitis khronis. Pada pemeriksaan sputum
selain didapatkan eosinofil, juga dapat ditemukan adanya kristal charcat leyden,
spiral churschman dan mungkin juga miselium aspergilus fumigates.4
4. Pemeriksaan Rontgen Thorax
Pada umumnya hasil normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut
umumnya dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi diparu atau
10
Pengelolaan preoperatif
Terapi medis
Preparat yang digunakan untuk asma adalah sebagai berikut :
a. Simpatomimetik, atau beta 2 adrenergik agonis, menyebabkan bronkodilatasi
melalui relaksasi otot polos yang diperantarai oleh Cyclic adenosine
monophosphate (cAMP). Obat-obat ini juga menghambat antihistamin dan
juga neurotransmiter kolinergik.
12
a. Beberapa jam sebelum operasi sedasi yang diinginkan pada pasien asma dapat
diberikan untuk operasi elektif pada pasien terutama penyakit yang memiliki
komponen emosional. Secara umum, benzodiazepin adalah agen yang paling
aman untuk premedication. Sedatif ( Benzodiazepin) adalah efektif untuk
anxiolitik tetapi pada pasien dengan asma berat dapat menyebabkan depresi
pernapasan. Sedasi ini penting diberikan pada pasien dengan riwayat asma
yang dipicu oleh emosional.
14
A. Regional Anestesi
B. Anestesi Umum
Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama
instrumentasi jalan napas. Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama
anestesi dangkal dapat menimbulkan bronkospasme. Obat-obatan yang sering
dihubungkan dengan pelepasan histamin (seperti curare, atracurium, mivacurium,
morfin, meperidin) harus dicegah atau diberikan dengan sangat lambat jika
digunakan. Tujuan dari anestesi umum adalah smooth induction dan kedalaman
anestesi disesuaikan dengan stimulasi. Pemilihan agen anestesi tidak sepenting
dalam pencapaian anestesi yang dalam sebelum intubasi dan stimulasi
pembedahan.
Penggunaan laryngeal mask airway LMA) menurunkan bronkospasme,
tapi tidak menghilangkan resiko bronkospasme sebagai akibat dari tindakan
laringkoskopi. Resiko tambahan pada penggunaan LMA ketidak mampuan untuk
ventilasi selama bronkospasme karena tekanan inspirasi dapat menambah
16
penutupan LMA pada laring. Yang paling bagus LMA proseal yang dapat
mengatasi keterbatasan itu.
1. Agent Inhalasi
Agent inhalasi anestesi seperti halothan akan menyebabkan bronkodilatasi
dan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya bronkospasme. Halothan
berpengaruh pada diameter airway dengan cara memblok reflek airway dan efek
langsung relaksasi otot polos airway. Namun hati-hati dalam penggunaannya pada
pasien dengan gangguan jantung karena efek depresi miokardial dan efek
aritmianya. Isofluran dan desfluran dapat pula menimbulkan bronkodilator dengan
derajat yang setara tetapi harus dinaikkan secara lambat karena sifatrnya iritasi
ringan di jalan napas. Sevofluran tidak terlalu berbau (tidak menusuk) dan
memiliki efek bronkodilator serta sifatnya tidak iritasi di jalan napas. Agen
inhalasi halothane lebih efektif sebagai bronkodilator dibandingkan dengan
isoflurane, namun bila dibandingkan dengan desfluran, desflurane dapat
menyebabkan batuk dan dapat mencetus bronkospasme. Namun halotan tidak
ideal pada pasien yang menderita kelainan jantung karena halotan dapat
mengakibatkan disaritmia karena efek katekolamin release. Alternatif lain untuk
menurunkan reflek pada jalan nafas dapat diberikan 1,5 mg/kg i.v 1-3 menit
sebelum intubasi.
2. Obat-Obat Induksi Intravena
Untuk induksi anestesi dapat digunakan obat-obat yang mempunyai onset
kerja yang cepat. Contoh obat induksi yang dapat digunakan adalah thiopenton,
propofol, dan ketamin. Ketamin, satu-satunya agen intravena dengan kemampuan
bronkodilatasi, dengan menghambat re-uptake nonadrenalin pada ujung syaraf
simpatis sehingga berefek bronkodilatasi.
Tiopenton paling banyak digunakan untuk usia dewasa tetapi kadang-
kadang dapat menimbulkan bronkospasme karena adanya pelepasan histamin,
beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa thiopenton dapat menyebabkan
bronkokonstriksi melalui reseptor μ2, menimbulkan kontraksi dan mengaktifkan
mekanisme umpan balik negatif dengan membatasi pelepasan ACH lebih lanjut
akibat stimulasi yang terus berlangsung. Oleh karena itu blok reseptor μ2 dapat
17
3. Muscle Relaxant
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam penggunan muscle relaxan
adalah perlu tidaknya mereverse kerjanya. Dengan menghambat penghancuran
ACH endogen, inhibitor cholinesterase seperti neostigmin dapat meningkatkan
18
sekresi jalan napas dan dapat menimbulkan bronkospasme. Efek ini dapat dicegah
dengan penggunaan antagonis muscarinik seperti atropin 1 mg atau glycopyrrolate
0,5 mg untuk meminimalkan efek samping muskarinik. Alternatif lain dapat
digunakan muscle relaxan short acting. Meskipun suksinilkolin dapat
menyebabkan pelepasan histamin tetapi secara umum dapat digunakan dengan
aman pada kebanyakan pasien asma. Obat muscle relaksan selama maintenance
sering digunakan adalah non depolarisasi, dimana dihindari obat yang histamine
release seperti atrakurium. Secara teori obat antagonis non depolarisasi
neuromuscular menghambat antikolinesterase yang akan mengakibatkan
bronkospasme.
dan PCO2 pada level normal, kecepatan ventilasi yang rendah (6-10 napas/menit)
volume tidal yang rendah dan waktu ekshalasi yang panjang.9
Apabila terjadi bronkospasme yang berat terjadi managemen yang harus
dilakukan :
Oksigenasi dengan pemberian oksigen 100%
Mendalami anestesi dengan meningkatkan agen volatile
Aminophillyn 5-7 mg/kg i.v secara pelan-pelan
Ipratropium bromide 0,25 mg nebulizer, adrenalin bolus I.v (10μg=0,1
ml), ketamin 2 mg/kg magnesium 2 gr i.v secara lambat
Hidrokortison 200 mg i.v.
Penurunan diameter airway yang disebabkan bronkokontriksi yang berat
dapat mempengaruhi distribusi gas dalam paru. Dampak akibat penurunan
ventilasi pada beberapa unit paru-paru dengan rasio ventilasi dan perfusi yang
lebih rendah dapat menyebabkan hipoksemia arterial. Vasodilatasi pulmoner
akibat pemberian beberapa bronkodilator dapat memperberat rasio ventilasi
perfusi yang sudah rendah ini. Oleh karena itu pada pasien-pasien yang
teranestesi, yang penting adalah meningkatkan konsentrasi gas oksigen inspirasi
menjadi 100% pada saat terjadi bronbkospasme. Hal ini tidak hanya
meminimalkan derajat hipoksia arteial tetapi juga meyakinkan tekanan partial
oksigen dalam alveoli.14
Pada akhir pembedahan sebaiknya pasien sudah bebas wheezing, aksi
pelemas otot nondepolarisasi perlu direvese dengan anticholin esterase yang tidak
memacu terjadinya bronkospasme, bila sebelumnya diberikan antikolinergik
dengan dosis sesuai. Ekstubasi dalam perlu dilakukan sebelum terjadi pulihnya
reflek jalan napas normal untuk mencegah brokospasme atau setelah pasien asma
sadar penuh. Lidocain bolus 1,5-2 mg/ kgBB diberikan intravena atau dengan
kontinue dosis 1-2 mg/ mnt dapat menekan reflek jalan napas.2
Pasien akan memperoleh manfaat dari terapi MDI specer bila memenuhi
kriteria sebagai berikut;3
1. Frekuensi pernapasan < 25 kali/menit
2. Mampu menahan napas selama 5 detik atau lebih
3. Kapasitas vital > 15 ml/kgbb
4. Mampu komunikasi verbal dan mengikuti instruksi
5. Koordinasi tangan-mulut-inspirasi memadai
6. PEFR ≥ 150 Lt/menit untuk wanita dan > 200 Lt/menit untuk pria
yang terjadi pasca bedah adalah penurunan volume paru akibat anestesi dan
pembedahan. Secara fisiologi hal tersebut oleh karena terjadi penurunan VA
(Ventilasi Alveolar) dan FRC (Functional Residual Capacity). Penurunan VA
diaebabkan oleh penurunan volume semenit atau VE atau oleh peningkatn dead
speace (VD). Penurunan VE pada pasca bedah disebabkan pengaruh anestesi,
narkotik, sedasi, pelemas otot atau penyakit neuromuskuler, atau myesthenia
gravis, Guillain Barre, lesi pada medula spinalis servikalis, cedera pada neervus
phrenicus. Peningkatan VD terjadi oleh emboli paru, penurunan curah jantung,
bronkospasme. Penurunan FRC biasanya disebabkan oleh atelektasis, edema paru,
dan pneumonia. Penyebab atelektasis oleh karena ventilasi tidak adekuat,intubasi
endobronkhial, penekanan atau traksi pembedahan, pelemas otot, efusi pleura,
cedera nervus phrenicus. Penurunan FRC pada posisi tegak ke posisi terlentang
merupakan predisposisi timbulnya atelektasis sehingga mobilisasi dini akan
menurunkan angka kejadian komplikasi ini. Latihan napas dalam dan incentive
spirometry merupakan cara yang sama efektifnya untuk mengembangkan paru dan
mempertahankan FRC atau dengan continous positive airway pressure (CPAP)
dapat menghindarkan atelektasis sama baiknya dengan latihan napas dalam.
Disamping itu pengendalian nyeri secara adekuat sejak awal pasca bedah akan
mengurangi hambatan batuk dan napas dalam serta mempermudah mobilisasi.3
Adapun Kriteria untuk perawatan di ICU :
1. Pasien yang butuh bantuan Ventilatory Support
2. FEV atau PEV < 50%
3. PCO2 > 50 mmHg
4. PO2 < 50 mmHg
5. Pasien nampak bingung dan lemah
6. Pasien yang membutuhkan monitoring terapi, cairan dan farmakologis
7. Pasien dengan major trauma , multitrauma, dan luka bakar berat apalagi
disertai instabilitas hemodinamika
8. Pasien major trauma yang dilakukan prosedur Damage Control Surgery
9. Pasien yang menjalani major surgery.
22
BAB III
KESIMPULAN
1. Asma adalah satu keadaan klinis yang ditandai dengan episode berulang
penyempitan bronkus yang reversible, biasanya diantara episode terdapat
pernapasan yang lebih normal.
2. Penilaian terhadap reversibilitas penyakit penting dilakukan evaluasi pasien
dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologi, pemeriksaan AGD dan pemeriksaan tes fungsi paru-paru.
3. Pasien dengan riwayat asma frekuen atau kronis perlu dilakukan pengobatan
sampai tercapai kondisi yang optimal untuk dilakukan operasi atau kondisi
dimana gejala-gejala asma sudah minimal.
4. Pencegahan bronkospasme pada saat operasi penting dilakukan terutama pada
saat manipulasi jalan napas.
5. Pemilihan obat-obatan dan tindakan anestesi perlu dipertimbangkan untuk
menghindari penggunaan obat-obatan dan tindakan yang merangsang
terjadinya bronkospasme atau serangan asma.
23
DAFTAR PUSTAKA