Anda di halaman 1dari 24

1

BAB I
PENDAHULUAN

Pengelolaan pasien dengan penyakit asma selama pembedahan


membutuhkan terapi khusus berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium
yang seksama untuk mengurangi komplikasi selama dan pasca operasi.
Masalah paru adalah penyebab umum morbiditas dan mortalitas selama
pembedahan. Berdasarkan frekuensinya, 1,2-4% pasien yang menjalani
prosedur bedah mayor dilaporkan mempunyai penyakit asma. Komplikasi pada
pasien dengan penyakit paru telah didokumentasikan, hanya 3% dari pasien
dengan pra operasi normal fungsi paru yang akan berkembang menjadi
atelektasis atau pneumonia, sedangkan 70% dari pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronik dengan perubahan fungsi paru akan menemui beberapa
kesulitan. Shnider melaporkan bahwa 6,5% pasien tanpa gejala asma
sebelumnya mengalami bronkospasme selama operasi. Gold dan Helrich
menemukan 24% insiden dari operasi dan komplikasi pasca operasi pada
populasi asma, sangat berbeda kejadiannya dengan 14% dalam kelompok
kontrol.
Asma merupakan kelainan yang banyak terjadi pada 5-7% populasi.
Jenisnya berupa inflamasi dan hipereaktivitas bronkus sebagai respon terhadap
berbagai macam stimulasi. Secara klinis, asma dimanifestasikan sebagai
episode serangan sesak nafas yang reversible akibat kontraksi otot polos
bronkus, edema dan peningkatan sekresi.
Gejala-gejala asma yang umum terjadi seperti sesak napas, batuk,
wheezing, hingga kesulitan bernapas. Penyebab yang memicu terjadinya asma
antara lain substansi udara seperti polutan, serbuk sari, debu, dan beberapa uap
kimia. Stimulasi psikologi (seperti emosi, stres, cemas), cuaca, penggunaan
obat NSAID (seperti aspirin, ibuprofen), olah raga. Infeksi saluran napas oleh
karena virus.2
Berdasarkan penyebabnya asma dapat dibagi menjadi dua macam, asma
ekstrinsik (asma alergi), asma intrinsik (asma yang tidak diketahui
2

penyebabnya atau idiopatik). Pada asma ekstrinsik biasanya pada anak-anak


dan dipicu oleh alergen, asma intrinsik dipicu oleh faktor-faktor non alergen
seperti infeksi saluran napas oleh virus, emosi, iritasi saluran napas, dan olah
raga. Pada asma intrinsik umumnya pada orang dewasa.
Asma dapat timbul pada semua kelompok umur. Terdapat peningkatan
prevalensi asma baik pada negara maju ataupun pada negara berkembang.
Meskipun angka kematian karena asma rendah tetapi penykit ini mempunyai
dampak yang cukup besar karena penderita asma sering mengalami serangan
sehingga mengganggu aktivitas kerja ataupun kehilangan hari sekolah.11
Pada umumnya pasien dengan gangguan fungsi paru derajat tertentu
yang mengalami pembedahan masih memiliki kemampuan toleransi terhadap
gangguan pernapasan pasca bedah. Tetapi pasien dengan penyakit paru
memiliki peluang resiko yang lebih tinggi terjadinya komplikasi paru pasca
bedah dibandingkan pasien yang normal, oleh karena itu diperlukan
pengelolaan perioperatif yang memadai untuk mencegah komplikasi tersebut.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Asma


Penyakit asma adalah penyakit kronik yang merupakan gangguan
inflamasi saluran pernafasan yang dihubungkan dengan hiperesponsif,
keterbatasan aliran udara yang reversible dan gejala pernafasan.
Menurut GINA (Global Initiative for Asma) asma didefinisikan sebagai
gangguan inflamasi kronik saluran napas respiratorik dengan banyak sel yang
berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan
inflamasi ini menyebabkan episode wheezing berulang, sesak napas, rasa dada
tertekan, dan batuk, khususnya malam hari atau dini hari. Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik yang luas namun
bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan
maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan
hiperaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan.8
Asma adalah penyakit saluran napas kronik akibat terjadinya peningkatan
kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Pada penderita yang peka
hal ini menyebabkan munculnya serangan batuk, bunyi mengi, banyak dahak,
sesak napas, dan tidak enak didada terutama pada malam hari atau pagi hari.15
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensivitas
cabang-cabang tracheobronchial terhadap pelbagai jenis rangsang. Keadaan ini
bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan
reversibel akibat bronkospasme. 15

2.2 Patofisiologi Asma


Patofisiologi asma melibatkan pelepasan mediator kimiawi ke jalan napas
dan mungkin pula adanya aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf parasimpatis.
Substansi yang terhirup dapat menimbulkan bronkospasme melalui respon imun
spencifik dan non spencifik oleh daya degranulai sel mast bronkial. Pada asma
alergi yang klasik antigen berikatan dengan Ig E di permukaan sel mast dan
menyebabkan degranulasi, bronkokontriksi merupakan hasil dari pelepasan
4

histamin berikutnya : bradiknin; leukotrien C, D, dan E; platelet activating-factor,


prostaglandin (PG), PGE2, PGF2 alfa, dan PGD2; dan factor netrofil eosinofil
kemotaktik.2 Sedikitnya ada 2 jenis T-helper (Th), limfosit subtipe CD4+ telah
dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis lifosit T
mensekresi IL-3 dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-
CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2, IF-γ dan TNF-β. Sedangkan Th2
terutama memprodusi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-
13, dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggung jawab atas
terjadinya reaksi hipersensivitas tipe lambat maupun yang cell mediated. Langkah
pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang
dipresentasikan oleh sel-sel aksesoris yaitu suatu proses yang melibatkan molekul
MHC/major histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan
MHC kelas I pada ael T CD8+). Sel dendritik adalah merupakan antigen
presenting cell yang utama dalam saluran napas. Sel dendritik terbentuk
perkusornya didalam sumsum tulang dan membentuk jaringan luas dan sel-selnya
saling berhubungan pada epitel saluran respiratorik. Kemudian sel-sel tersebut
bermigrasi kekumpulan sel-sel limfoid dibawah pengaruh GM-CSF yaitu sitokin
yang terbentuk oleh aktivitas sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag dan sel mast.
Setelah antigen ditangkap, sel dendritik berpindah menuju daerah yang banyak
mengandung limfosit. Dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik
menjadi matang sebagai antigen presenting cell (APC) yang efektif. Sel dendritik
juga mendorong polarisasi selT naïve-Th0 menuju Th2 yang mengkoordinasi
sekresi sitokin-sitokin yang termasuk pada klaster kromosom 5q31-33 (IL-4
genecluster). 8
Pada asma baik dengan atau tanpa mekanisme alergi memiliki kelabilan
bronkus abnormal yang memudahkan penyempitan saluran napas oleh banyak
faktor, saluran napas ini seakan-akan merupakan persarafan β-adrenergik yang
tidak kompeten, dan banyak bukti memberikan paling tidak secara fungsional
terdapat hambatan partial pada reseptor β adrenergik pada penderita asma yang
khas ini. Penyempitan saluran respiratorik pada asma dipengaruhi oleh banyak
faktor. Penyebab utama penyempitan saluran respiratorik adalah kontraksi otot
5

polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi.
Yang termasuk agonis adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien
C4 dari sel mast, neuropepetida dari saraf aferen setempat dan asetilkolin dari
saraf postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respirtorik diperkuat oleh
penebalan dinding saluran napas akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan
remondeling, hiperplasia dan hipertropi kronis otot polos, vaskuler dan sel-sel
sekretori serta deposisi matrik pada diding saluran respiratorik. Selain itu
hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak,
kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang
keluar melalui mikrovaskuler bronkus dan debris seluler.16
Peran serotonin, suatu bronkokonstriktor, belum diketahui pada
manusia. Sistim saraf parasimpatik memainkan peran penting dalam menjaga
tonus normal bronkial. Aktifasi reflek vagal terjadi pada bronkokontriksi yang
dimediasi oleh peningkatan siklik guanosin monofosfat intraseluler (cGMP). 2
Selama serangan asma, bronkokontriksi, oedem mukosa, dan sekresi yang
terjadi akan meningkatkan tahanan aliran gas disetiap tempat jalan napas yang
lebih rendah. Tahanan jalan napas kembali normal pertama kali pada jalan napas
yang lebih besar (bronki utama, lobar, segmental dan sub segmental), kemudian
baru perifer. Laju ekspirasi menurun melampaui kapasitas vital paksa (force vital
capacity) tetapi pada pemulihan serangan laju rata-rata ekspirasi menurun hanya
pada volume paru rendah.
Volume residu (RV), TLC, FRC semua menurun. PaCO2 normal atau tinggi
menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan kerja napas lagi dan hal
ini sering merupakan tanda adanya gagal napas (impending). Pulsus paradoksus
dan gambaran EKG renggangan ventrikel kanan (perubahan ST, deviasi aksis
kanan, dan RBBB) menunjukan obstruksi jalan napas berat.2
6

Gambar 1. Patogenesis Asma

Gambar 2. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

2.3 Etiologi Asma


 Herediter
 Kebiasaan : polusi udara, stress, makanan
 Alergi : rokok, udara dingin, anjing, kucing, debu
 Obat : obat nyeri seperti NSAID

2.4 Gejala dan Tanda Asma


7

 Mengi saat ekspirasi


 Batu berat pada malam hari dada sesak yang terjadi berulang dan nafas
tersengal-sengal.
 Hambatan pernafasan yang reversibel secara bervariasi selama siang hari.
 Adanya peningkatan gejala pada saat olah raga, infeksi virus, paparan
terhadap alergan, dan peruahan musim.
 Terbangun malam hari dengan gejala tersebut diatas.

2.5 Klasifikasi Asma


Berdasarkan etiologi :
 Asma intrinsik
Asma yang tidak disebabkan oleh faktor lingkungan.
 Asma ekstrinsik
Penyakit asma yang berhubungan dengan atopi, predisposisi genetik yang
berhubungan dengan IgE sel mast dan respon eosinofil terhadap alergen.
Ditinjau dari berat ringannya penyakit

DERAJAT ASMA GEJALA GEJALA MALAM FUNGSI PARU

INTERMITEN  Gejala < 1x/minggu < 2 kali sebulan VEP1 atau APE > 80%
Mingguan  Tanpa gejala di luar serangan
 Serangan singkat
 Fungsi paru asimtomatik dan normal di luar
serangan.

PERSISTEN  Gejala > 1x/minggu tapi < 1x/hari > 2 kali VEP1 atau APE > 80%
RINGAN  Serangan dapat mengganggu aktivitas dan seminggu normal
Mingguan tidur.

PERSISTEN  Gejala harian > sekali VEP1 atau APE > 60%
SEDANG  Menggunakan obat setiap hari seminggu tetapi < 80% normal
Harian  Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
 Serangan 2x/minggu, bisa berhari – hari

PERSISTEN  Gejala terus menerus Sering VEP1 atau APE < 80%
BERAT  Aktivitas fisik terbatas normal
Kontinu  Sering serangan
8

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia, 2004

Ditinjau Dari Gejala Klinis


1. Serangan asma ringan : dengan gejala batuk, mengi dan kadang-kadang
sesak, Sa O2 95% udara ruangan, PEFR lebih dari 200 liter per menit, FEV 1
lebih dari 2 liter, sesak nafas dapat dikontrol dengan bronkodilator dan faktor
pencetus dapat dikurangi, dan penderita tidak terganggu melakukan aktivitas
normal sehari-hari.
2. Serangan asma sedang : dengan gejala batuk, mengi dan sesak nafas
walaupun timbulnya periodik, retraksi interkostal dan suprasternal, SaO 2 92-
95% udara ruangan, PEFR antara 80-200 liter per menit, FEV 1 antara 1-2
liter, sesak nafas kadang mengganggu aktivitas normal sehari-hari.
3. Serangan asma berat : dengan gejala sesak nafas telah mengganggu aktivitas
sehari-hari secara serius, disertai kesulitan untuk berbicara dan atau kesulitan
untuk makan, bahkan dapat terjadi serangan asma yang mengancam jiwa
yang dikenal dengan status asmatikus. Asma berat bila SaO2 91%, PEFR 80
liter per menit, FEV1 0,75 liter dan terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas
berat seperti pernafasan cuping hidung, retraksi interkostal dan suprasternal,
pulsus paradoskus 20 mmHg, berkurang atau hilangnya suara nafas dan
mengi ekspirasi yang jelas.

2.6 Tatalaksana
 Non Farmakologi yaitu melalui pencegahan
 Farmakologi dengan menggunakan obat
o Short acting β2 agonsts (salbutamol, terbutalin)
o Antiklinergik
o Kortikosteroid

2.6 Anestesi Pada Asma


PENANGANAN ANESTESI PREOPERATIF
Evaluasi Preoperatif
9

Evalusi pasien asma sebelum tindakan anestesi dan pembedahan sangat


penting untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian asma attack, baik
intraoperatif maupun postoperatif. Maka diperlukan evaluasi yang meliputi
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan fungsi paru-paru,
dan analisa gas darah, foto rontgen thorax.16
1. Riwayat Penyakit
Meliputi lama penyakitnya, frekwensi serangan, lama serangan atau berat
serangan, faktor-faktor yang memperngaruhi serangan, riwayat penggunaan obat-
obatan dan hasilnya, riwayat perawatan dirumah sakit, riwayat alergi (makanan,
obat, minuman), Riwayat serangan terakhir, beratnya, dan pengobatannya.4 Bila
baru-baru ini mendapat infeksi saluran napas atas dan menimbulkan serangan
maka operasi elektif sebaiknya ditunda 4-5 minggu untuk mencegah reaktifitas
jalan napas.3

2. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas
yang terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak, sianosis, ekspirasi
memanjang, Palpasi takicardi. Perkusi hipersonor, auscultasi whezing, ronchi. 4
Tanda-tanda serangan asma berat meliputi penggunaan otot-otot pernapasan
tambahan, tidak mampu berhenti napas pada saat bicara, sianosis, sedikit atau
tidak ada whezing (jalan napas tertutup, sedikit gerakan udara, dan whezing
menurun).5
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada asma eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah eosinofil
ini selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi kortikosteroid dan dapat juga
untuk membedakan asma dengan bronchitis khronis. Pada pemeriksaan sputum
selain didapatkan eosinofil, juga dapat ditemukan adanya kristal charcat leyden,
spiral churschman dan mungkin juga miselium aspergilus fumigates.4
4. Pemeriksaan Rontgen Thorax
Pada umumnya hasil normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut
umumnya dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi diparu atau
10

adanya komplikasi asma seperti pneumothorax, pneumomediastinum, atelektasis,


pneumonia. Kadang didapatkan gambaran air trapping, diafragma datar karena
hiperinflasi, jantung mengecil dan lapang paru yang hiperluscen.5
5. Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)
Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan pengukuran
aliran udara ekspirasi yaitu volum ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) dan arus
puncak ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila dibandingkan dengan hasil
pengukuran sebelumnya. Normalnya nilai volum ekspirasi paksa (FEV1) untuk
laki-laki adalah lebih dari 3 liter dan lebih 2 liter untuk wanita. Nilai normal arus
puncak ekspirasi (PEFR) adalah lebih dari 200 L/.mnt ( pada laki-laki dewasa
muda lebih dari 500 L/mnt). Nilai PEFR kurang dari 200 L/mnt pada pria ( < 150
L/mnt pada wanita) menunjukkan gangguan efektivitas batuk dan akan
meningkatkan komplikasi pasca bedah. Hasil FEV1 atau PEFR < 50%
menunjukan asma sedang sampai berat. Nilai PEFR < 120 l/mnt atau FEV1 1 liter
menujukan obstruksi berat. Pemeriksaan ini penting dilakukan karena sering
terjadi ketidaksesuaian gambaran klinis asma dengan fungsi paru. Penderita yang
baru sembuh dari serangan akut atau penderita asma kronik sering tidak
mengeluh, tetapi setelah diperiksa ternyata obstruksi saluran napas. Pemeriksaan
ini diindikasikan pada pasien-pasien yang menderita penyakit paru-paru sedang
sampai berat yang menjalani operasi yang berdampak pada sistem
respirasi.Pemeriksaan ini juga dapat memprediksi terhadap resiko komplikasi paru
postoperatif dan memprediksi kebutuhan bantuan ventilasi dan respon pengobatan
(Bronkodilator).2
Hubungan asma dengan pemeriksaan spirometri :

Keadaan Klinik % FEV/FVC


Normal 80-100
Asma Ringan 75-79
Asma Sedang 50-74
Asma Berat 35-49
Status Asmatikus <35
11

6. Pemeriksaan Analisa gas darah


Pemeriksaaan analisa gas darah biasanya dilakukan pada penderita dengan
serangan asma yang berat. Keadaaan ini bisa terjadi hipoksemia, hiperkapnia, dan
asidosis respiratorik. Kondisi yang berat akan meningkatkan resiko komplikasi
paru-paru.4
7. Fisioterapi dada.
Merupakan istilah umum yang dipakai untuk membersihkan jalan napas.
Indikasi fisoterapi dada dapat akut dan sebagai profilaksis. Keadaan akut untuk
dilakukan fisioterapi adalah pada pasien- pasien dengan retensi sputum yang
berlebihan atau abnormal akibat batuk yang terus menerus atau pada pasien yang
batuknya sangat lemah.3

Pengelolaan preoperatif

Langkah pertama persiapan penderita dengan gangguan pernapasan yang


menjalani pembedahan adalah menentukan reversibilitas kelainan. Proses
obstruksi yang reversible adalah bronkospasme, sekresi terkumpul dan proses
inflamasi jalan napas. Obstruksi yang tidak reversible dengan bronkodilator
misalnya adalah empisema, tumor.3
Pasien dengan bronkospasme yang frekuen harus diobati dengan preparat
bronkodilator yang berisi β-adenergik agonis, dosis terapi teopilin dan
kortikosteroid.2 Pada pasien dengan serangan asma balans cairan dan elektrolit
perlu dipelihara, pada kondisi ini pasien sering mengalami dehidrasi.5

Terapi medis
Preparat yang digunakan untuk asma adalah sebagai berikut :
a. Simpatomimetik, atau beta 2 adrenergik agonis, menyebabkan bronkodilatasi
melalui relaksasi otot polos yang diperantarai oleh Cyclic adenosine
monophosphate (cAMP). Obat-obat ini juga menghambat antihistamin dan
juga neurotransmiter kolinergik.
12

1) Obat dengan selective beta 2 adrenergik. Misalnya albuterol(ventolin) 2


puffs atau lebih dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5mL/2mL salin setiap
4-6 jam. Salmeterol(serevent) 2 puff dengan MDI setiap 12 jam dan
metaproterenol(Alupent) 2 atau lebih puffs dengan MDI setiap 3-4 jam
atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam. Pasien-pasien yang menggunakan
terapi β-bloker hendaknya β bloker yang tidak menimbulkan spasme
bronkus seperti atenolol atsumetropolol atau esmolol.3
2) Obat dengan campuran beta 1 dan beta 2 adrenergik meliputi epinefrin
(adrenalin) dan isoproteronol. Potensi kronotropik dan aritmogenik obat-
obat ini perlu diperhatikan pada pasien dengan penyakit jantung.
Pemberian intervena dosis kecil epinefrin (1g/mt) dipertimbangkan pada
pasien bronkospasme. Pada dosis 0,25-1g/mt efek agonis beta 2 dominan,
dengan meningkatkan denyut jantung akibat stimulasi betal adrenergik.
Pada dosis tinggi epinefrin, efek alfa adrenergic menjadi dominan, dengan
peningkatan tekanan darah sistemik.
b. Parasimpatolitik
Mempunyai efek bronkodilatasi langsung dengan memblok kerja asetilkolin
pada second messenger seperti cGMP. Obat-obat ini meningkatkan FEV1 pada
pasien PPOK bila diberikan secara inhalasi.
 Ipratropium bromide, merupakan obat aksi singkat yang diberikan dengan
inhaler dosis terukur atau dengan nebulizer.
 Sulfas atropine, 0,2-0,8 mg perlu diprtimbangkan karena dapat
menyebabkan takikardi.
c. Metilxantin
Menyebabkan bronkodilatasi melalui hambatan fosfodiesterase, suatu enzim
yang bertanggung jawab pada pemecahan cAMP. Efek pulmoner obat ini lebih
komplek termasuk pelepasan katekolamin, blockade pelepasan histamine, dan
stimulasi diafragma. Teofilin kerja panjang peroral digunakan pada pasien
dengan gejala nocturnal. Namun sayangya teofilin memiliki terapi range yang
sempit, level terapi dalam darah sekitar 10-20 g/ml. level yang lebih rendah
13

mungkin efektif. Aminofilin merupakan satu-satu yang dapat diberikan secara


intravena.

d. Kortikosteroid diberikan pada pasien yang tidak berespon terhadap


bronkodilator. Mekanisme kerjanya kemungkinan dengan menurunkan
inflamasi, edema, sekresi mukosa, kontriksi otot polos, stabilisasi membran
mast sel. Meskipun sangat berguna pada eksaserbasi akut, efek klinisnya
membutuhkan waktu beberapa jam. Steroid dapat diberikan melalui inhalasi.
Steroid intravena yang sering digunakan meliputi hidrokortisone 100 mg tiap 8
jam dan metilpredisolon 0,5 mg/kg setiap 6 jam pada asma bronkiale dan dosis
lebih besar pada eksaserbasi asma berat. Kortikosteroid dapat meningkatkan
efek langsung pada otot polos, kortikosteroid juga meningkatkan jumlah
reseptor beta 2 adrenergik dan responnya terhadap agonis beta 2 adrenergik.
e. Kromolin, merupakan obat inhalasi yang digunakan untuk profilaksis pada
asma. Bekerja dengan menstabilisasi membrane sel mast dan mengumpulkan
pelesan akut mediator bronkoaktif. Obat ini tidak berguna pada serangan akut
bronkospasme.
f. Mukolitik
 Asetilsitein, diberikan melalui nebulisasi, dapat menurunkan viskositas
mucus dengan memecahkan ikatan disulfide pada mukoprotein.
Premedikasi
Tujuan utama untuk menghilangkan cemas, meminimalkan reflek
bronkonstriksi terhadap iritasi jalan nafas.

a. Beberapa jam sebelum operasi sedasi yang diinginkan pada pasien asma dapat
diberikan untuk operasi elektif pada pasien terutama penyakit yang memiliki
komponen emosional. Secara umum, benzodiazepin adalah agen yang paling
aman untuk premedication. Sedatif ( Benzodiazepin) adalah efektif untuk
anxiolitik tetapi pada pasien dengan asma berat dapat menyebabkan depresi
pernapasan. Sedasi ini penting diberikan pada pasien dengan riwayat asma
yang dipicu oleh emosional.
14

b. Narcotik(Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi sebaiknya dipilih


yang tidak mempunyai efek pelepasan histamin misalnya fentanil, sufentanil14
c. Agen antikolinergik tidak diberikan kecuali pemberian dilakukan jika terdapat
sekresi berlebihan atau penggunaan ketamin sebagai agen induksi.
Antikolinergik tidak efektif untuk mencegah reflek bronkospasme oleh karena
tindakan intubasi.2
d. H2 antagonis (Cimetidin, Ranitidin) penggunaan agen pemblok H2 secara
teori dapat mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 secara normal akan
menyebabkan bronkodilatasi dengan adanya pelepasan histamin, aktivitas H1
yang tanpa hambatan dengan blokade H2 dapat menimbulkan
bronkokonstriksi.2
e. Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inheler atau
kortikosteroid inheler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi.
Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral ( Methilprednisolon 40-80
mg) 1-2 jam sebelum induksi anestesi.6 Bronkodilator harus diberikan sampai
proses pembedahan selesai, pasien yang mendapatkan terapi lama
glukokortikoid harus diberikan tambahan untuk mengkompensasi supresi
adrenal. Hidrokortison 50-100 mg sebelum operasi dan 100mg/8 jam selama
1-3 hari post operasi.2,9
f. Pada penderita asma intubasi dapat diberikan lidocain 1-1,5 mg/kgBB atau
Fentanyl 1-2 mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring terhadap ETT.
Pemberian anestesi inhalasi menggunakan halothan/enfluran pada stadium
dalam dapat mengatasi spasme bronkial berat yang refrakter.9,10

PENANGANAN ANESTESI INTRAOPERATIF

Sesuai dengan bidang kecabangan anestesi, suatu pemahaman masalah


pathofisiologi yang mendasar adalah lebih penting pada pilihan tehnik anestesi
khusus atau obat. Pilihan tekhnik bisa regional anestesi saja, dengan pasien tetap
sadar, mampu mengontrol sistem napasnya sendiri, dan pada situasi lain
diperlukan kombinasi general anestesi dengan regional anestesi, karena
pertimbangan atau untuk mengendalian nyeri postoperatif.
15

A. Regional Anestesi

Spinal anestesi atau epidural adalah pilihan pada pembedah ektrimitas


bawah. Pada pasien asma pernapasannya tergantung pada penggunaan otot-otot
tambahan (intercostal untuk inspirasi, otot perut untuk ekspirasi paksa). Spinal
anestesi dapat memperburuk kondisi jika hambatan motorik menurunkan FRC,
mengurangi kemampuan untuk batuk dan membersihkan lendir atau memicu
gangguan respirasi atau bahkan terjadi gagal napas. Spinal tinggi atau epidural
anestesi dapat memperburuk bronkokontriksi karena terhambatnya tonus simpatis
pada jalan napas bawah(T1-T4) dan menyebabkan aktifitas parasimpatis tidak
terhambat. Kombinasi tehnik epidural dan anestesi umum dapat menjamin kontrol
jalan napas, ventilasi adekuat, dapat mencegah hypoxemia dan atelectasi. Pada
prosedur pembedahan perifer yang panjang sebaiknya dilakukan dengan general
anestesi. Faktor-faktor penting yang menghalangi keberhasilan penggunaan
regional anestesi seperti pasien tidak tahan berbaring lama dimeja operasi dalam
waktu lama, batuk spontan dan tidak terkendali dapat membahayakan yaitu pada
tahap kritis pembedahan.

B. Anestesi Umum

Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama
instrumentasi jalan napas. Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama
anestesi dangkal dapat menimbulkan bronkospasme. Obat-obatan yang sering
dihubungkan dengan pelepasan histamin (seperti curare, atracurium, mivacurium,
morfin, meperidin) harus dicegah atau diberikan dengan sangat lambat jika
digunakan. Tujuan dari anestesi umum adalah smooth induction dan kedalaman
anestesi disesuaikan dengan stimulasi. Pemilihan agen anestesi tidak sepenting
dalam pencapaian anestesi yang dalam sebelum intubasi dan stimulasi
pembedahan.
Penggunaan laryngeal mask airway LMA) menurunkan bronkospasme,
tapi tidak menghilangkan resiko bronkospasme sebagai akibat dari tindakan
laringkoskopi. Resiko tambahan pada penggunaan LMA ketidak mampuan untuk
ventilasi selama bronkospasme karena tekanan inspirasi dapat menambah
16

penutupan LMA pada laring. Yang paling bagus LMA proseal yang dapat
mengatasi keterbatasan itu.
1. Agent Inhalasi
Agent inhalasi anestesi seperti halothan akan menyebabkan bronkodilatasi
dan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya bronkospasme. Halothan
berpengaruh pada diameter airway dengan cara memblok reflek airway dan efek
langsung relaksasi otot polos airway. Namun hati-hati dalam penggunaannya pada
pasien dengan gangguan jantung karena efek depresi miokardial dan efek
aritmianya. Isofluran dan desfluran dapat pula menimbulkan bronkodilator dengan
derajat yang setara tetapi harus dinaikkan secara lambat karena sifatrnya iritasi
ringan di jalan napas. Sevofluran tidak terlalu berbau (tidak menusuk) dan
memiliki efek bronkodilator serta sifatnya tidak iritasi di jalan napas. Agen
inhalasi halothane lebih efektif sebagai bronkodilator dibandingkan dengan
isoflurane, namun bila dibandingkan dengan desfluran, desflurane dapat
menyebabkan batuk dan dapat mencetus bronkospasme. Namun halotan tidak
ideal pada pasien yang menderita kelainan jantung karena halotan dapat
mengakibatkan disaritmia karena efek katekolamin release. Alternatif lain untuk
menurunkan reflek pada jalan nafas dapat diberikan 1,5 mg/kg i.v 1-3 menit
sebelum intubasi.
2. Obat-Obat Induksi Intravena
Untuk induksi anestesi dapat digunakan obat-obat yang mempunyai onset
kerja yang cepat. Contoh obat induksi yang dapat digunakan adalah thiopenton,
propofol, dan ketamin. Ketamin, satu-satunya agen intravena dengan kemampuan
bronkodilatasi, dengan menghambat re-uptake nonadrenalin pada ujung syaraf
simpatis sehingga berefek bronkodilatasi.
Tiopenton paling banyak digunakan untuk usia dewasa tetapi kadang-
kadang dapat menimbulkan bronkospasme karena adanya pelepasan histamin,
beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa thiopenton dapat menyebabkan
bronkokonstriksi melalui reseptor μ2, menimbulkan kontraksi dan mengaktifkan
mekanisme umpan balik negatif dengan membatasi pelepasan ACH lebih lanjut
akibat stimulasi yang terus berlangsung. Oleh karena itu blok reseptor μ2 dapat
17

menghambat ACH dan potensiasi bronkokonstriksi yang disebabkan aktivitas


vagal (biasanya karena iritan)14 propofol dan ethomidat dapat sebagai alternatif.
Ketamin dan propofol dapat digunakan untuk mencegah dan mereverse
bronkokonstriksi melalui mekanisme utama penekanan neural dan melalui
penekanan langsung aktivitas otot polos airway. Dari hasil suatu penelitian,
walaupun keduanya terbukti dapat digunakan untuk terapi bronkokonstriksi,
ketamin dikatakan lebih poten daripada propofol.16 Propofol dengan dosis 2,5
mg/kgBB dapat menurunkan insidensi whezing setelah intubasi dibanding dengan
penggunaan metohexital dengan dosis setara yaitu 6 mg/kgBB. Dibandingkan
dengan benzodiazepin, propofol lebih menguntungkan karena faktor onset yang
cepat dan akhit cepat pula.16 Ketamin mempunyai efek bronkodilatasi selain efek
analgesik untuk menghindari efek depresi respirasi, ketamin diberikan dengan
pelan-pelan, ketamin juga mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar saliva
dan tracheobronchial. Efek ini dapat dicegah dengan menggunakan antisialogogue
seperti atropin ataupun gycopyrrolate.17
Reflek brokospasme dapat dicegah sebelum intubasi dengan pemberian
tambahan tiopenton 1-2 mg/kgBB, pasien diventilasi dengan 2-3 MAC agen
volatil selama 5 menit atau diberikan lidocain intravena atau intratracheal 1-2
mg/kgBB. Tetapi perlu di ingat lidocain sendiri dapat memicu bronkospasme jika
dosis tiopenton tidak adekuat. Dapat juga dengan antikolinergic (atropin 2 mg
atau glikoperolat 1 mg) tetapi dapat menyebabkan takikardi.

Penggunaan morfin masih diperdebatkan karena aktivitas pelepasan


histamine. Opioid mempunyai efek analgesi dan sedasi, tapi penggunaannya
sebaiknya dititrasi untuk menghindari depresi respirasi, terutama pada pasien
dengan disfungsi paru berat. Kodein dan morfin pada dosis besar dapat mencetus
pelepasan histamin.

3. Muscle Relaxant
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam penggunan muscle relaxan
adalah perlu tidaknya mereverse kerjanya. Dengan menghambat penghancuran
ACH endogen, inhibitor cholinesterase seperti neostigmin dapat meningkatkan
18

sekresi jalan napas dan dapat menimbulkan bronkospasme. Efek ini dapat dicegah
dengan penggunaan antagonis muscarinik seperti atropin 1 mg atau glycopyrrolate
0,5 mg untuk meminimalkan efek samping muskarinik. Alternatif lain dapat
digunakan muscle relaxan short acting. Meskipun suksinilkolin dapat
menyebabkan pelepasan histamin tetapi secara umum dapat digunakan dengan
aman pada kebanyakan pasien asma. Obat muscle relaksan selama maintenance
sering digunakan adalah non depolarisasi, dimana dihindari obat yang histamine
release seperti atrakurium. Secara teori obat antagonis non depolarisasi
neuromuscular menghambat antikolinesterase yang akan mengakibatkan
bronkospasme.

Terapi Bronkospasme Intraoperatif

Bronkospasme pada intraoperatif ditunjukan dengan wheezing, munculnya


penurunan volume tidal ekshalasi atau munculnya suatu kenaikan pelan dari
gelombang dicapnograf, hal ini dapat diatasi dengan mendalamkan anestesinya.
Jika tidak hilang maka perlu dipikirkan hal lain seperti sumbatan tube
endotracheal dari kekakuan, balon yang terlalu keras, intubasi endobronchial,
tarikan aktif karena anestesi dangkal, oedem pulmo atau emboli dan
pneumothorak semua dapat menyebabkan bronkospasme.2 Bronkospasme harus
ditangani dengan suatu beta adrenergik agonist baik secara aerosol atau inheler
kedalam jalur inspirasi dari sirkuit napas (gas pembawa yang menggunakan dosis
terukur dapat berinterferensi dengan pembacaan massa spectrometer).
Hidrokortison intervena (1,5-2 mg / kg) dapat diberikan, terutama pada pasien
dengan riwayat terapi glukokortikoid.2 Tehnik pemberian ini adalah secara
matered dose inheler, berikan 5-10 puff obat tersebut kedalam jalan napas bagian
bawah. Asma sedang sampai berat perlu diterapi dengan aminopillin intravena,
terbutalin(0,25 mg) atau keduanya. Pasien yang tidak menerima aminopillin
preoperatif perlu diberikan aminopillin bolus 5-6 mg/kgBB intravena lebih dari 20
menit diberikan pemeliharaan 0,5-0,9 mg/kgBB. Pasien asma dengan serangan
asma berat sebaiknya diberikan ventilasi bantuan untuk mempertahankan PaO2
19

dan PCO2 pada level normal, kecepatan ventilasi yang rendah (6-10 napas/menit)
volume tidal yang rendah dan waktu ekshalasi yang panjang.9
Apabila terjadi bronkospasme yang berat terjadi managemen yang harus
dilakukan :
 Oksigenasi dengan pemberian oksigen 100%
 Mendalami anestesi dengan meningkatkan agen volatile
 Aminophillyn 5-7 mg/kg i.v secara pelan-pelan
 Ipratropium bromide 0,25 mg nebulizer, adrenalin bolus I.v (10μg=0,1
ml), ketamin 2 mg/kg magnesium 2 gr i.v secara lambat
 Hidrokortison 200 mg i.v.
Penurunan diameter airway yang disebabkan bronkokontriksi yang berat
dapat mempengaruhi distribusi gas dalam paru. Dampak akibat penurunan
ventilasi pada beberapa unit paru-paru dengan rasio ventilasi dan perfusi yang
lebih rendah dapat menyebabkan hipoksemia arterial. Vasodilatasi pulmoner
akibat pemberian beberapa bronkodilator dapat memperberat rasio ventilasi
perfusi yang sudah rendah ini. Oleh karena itu pada pasien-pasien yang
teranestesi, yang penting adalah meningkatkan konsentrasi gas oksigen inspirasi
menjadi 100% pada saat terjadi bronbkospasme. Hal ini tidak hanya
meminimalkan derajat hipoksia arteial tetapi juga meyakinkan tekanan partial
oksigen dalam alveoli.14
Pada akhir pembedahan sebaiknya pasien sudah bebas wheezing, aksi
pelemas otot nondepolarisasi perlu direvese dengan anticholin esterase yang tidak
memacu terjadinya bronkospasme, bila sebelumnya diberikan antikolinergik
dengan dosis sesuai. Ekstubasi dalam perlu dilakukan sebelum terjadi pulihnya
reflek jalan napas normal untuk mencegah brokospasme atau setelah pasien asma
sadar penuh. Lidocain bolus 1,5-2 mg/ kgBB diberikan intravena atau dengan
kontinue dosis 1-2 mg/ mnt dapat menekan reflek jalan napas.2

PENANGANAN POST OPERATIF


Kontrol nyeri post operasi yang bagus adalah epidural analgesia. NSAID
harus dihindari karena dapat mencetus terjadinya bronkospasme. Oksigenasi harus
20

tetap diberikan. Pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian


bronkodilator dilanjutkan lagi sesegera mungkin pada pasca pembedahan.
Pemberian bronkodilator melalui nebulator atau sungkup muka. Sampai pasien
mampu menggunakan MDI (Meteroid Dose Inheler) sendiri secara benar.3,13

1. Buka penutup dan pegang inheler tegak


2. Kocok inhaler
3. Angkat sedikit kepala kebelakang dan ekshalasi sampai frc
4. Tempatkan inheler memakai spacer (pemisah) antar aktuator dan mulut
5. Tekan kebawah (on) inheler sementara sambil menarik napas pelan dan dalam
3-5 detik
6. Tahan inspirasi paling sedikit 5-10 detik bila mungkin agar obat mencapai
paru-paru
7. Ulangi inhalasi sebagai berikut tunggu 1 menit setelah inhalasi, bronkodilator
bisa membuat inhalasi berikutnya masuk lebih dalam ke paru-paru dan ini
perlu untuk memberikan dosis yang benar
8. Bilas mulut dan keluarkan setelah memakai inhaler

Pasien akan memperoleh manfaat dari terapi MDI specer bila memenuhi
kriteria sebagai berikut;3
1. Frekuensi pernapasan < 25 kali/menit
2. Mampu menahan napas selama 5 detik atau lebih
3. Kapasitas vital > 15 ml/kgbb
4. Mampu komunikasi verbal dan mengikuti instruksi
5. Koordinasi tangan-mulut-inspirasi memadai
6. PEFR ≥ 150 Lt/menit untuk wanita dan > 200 Lt/menit untuk pria

Pada akhir pembedahan pasien harus bebas whezing, Reversal pemblok


neuromuskular nondepolarising dengan antikolinesterase tidak menimbulkan
brokospasme jika diberikan dosis antikolinergik yang tepat. Pasien yang
teridentifikasi resiko tinggi perlu dimasukkan ke unit monitoring post operatif,
dimana fisioterapi dada dan suction dapat dilakukan. Penanganan nyeri post
operatif adalah hal yang penting menurunkan bronkospasme. 17 Masalah berikut
21

yang terjadi pasca bedah adalah penurunan volume paru akibat anestesi dan
pembedahan. Secara fisiologi hal tersebut oleh karena terjadi penurunan VA
(Ventilasi Alveolar) dan FRC (Functional Residual Capacity). Penurunan VA
diaebabkan oleh penurunan volume semenit atau VE atau oleh peningkatn dead
speace (VD). Penurunan VE pada pasca bedah disebabkan pengaruh anestesi,
narkotik, sedasi, pelemas otot atau penyakit neuromuskuler, atau myesthenia
gravis, Guillain Barre, lesi pada medula spinalis servikalis, cedera pada neervus
phrenicus. Peningkatan VD terjadi oleh emboli paru, penurunan curah jantung,
bronkospasme. Penurunan FRC biasanya disebabkan oleh atelektasis, edema paru,
dan pneumonia. Penyebab atelektasis oleh karena ventilasi tidak adekuat,intubasi
endobronkhial, penekanan atau traksi pembedahan, pelemas otot, efusi pleura,
cedera nervus phrenicus. Penurunan FRC pada posisi tegak ke posisi terlentang
merupakan predisposisi timbulnya atelektasis sehingga mobilisasi dini akan
menurunkan angka kejadian komplikasi ini. Latihan napas dalam dan incentive
spirometry merupakan cara yang sama efektifnya untuk mengembangkan paru dan
mempertahankan FRC atau dengan continous positive airway pressure (CPAP)
dapat menghindarkan atelektasis sama baiknya dengan latihan napas dalam.
Disamping itu pengendalian nyeri secara adekuat sejak awal pasca bedah akan
mengurangi hambatan batuk dan napas dalam serta mempermudah mobilisasi.3
Adapun Kriteria untuk perawatan di ICU :
1. Pasien yang butuh bantuan Ventilatory Support
2. FEV atau PEV < 50%
3. PCO2 > 50 mmHg
4. PO2 < 50 mmHg
5. Pasien nampak bingung dan lemah
6. Pasien yang membutuhkan monitoring terapi, cairan dan farmakologis
7. Pasien dengan major trauma , multitrauma, dan luka bakar berat apalagi
disertai instabilitas hemodinamika
8. Pasien major trauma yang dilakukan prosedur Damage Control Surgery
9. Pasien yang menjalani major surgery.
22

BAB III
KESIMPULAN

1. Asma adalah satu keadaan klinis yang ditandai dengan episode berulang
penyempitan bronkus yang reversible, biasanya diantara episode terdapat
pernapasan yang lebih normal.
2. Penilaian terhadap reversibilitas penyakit penting dilakukan evaluasi pasien
dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologi, pemeriksaan AGD dan pemeriksaan tes fungsi paru-paru.
3. Pasien dengan riwayat asma frekuen atau kronis perlu dilakukan pengobatan
sampai tercapai kondisi yang optimal untuk dilakukan operasi atau kondisi
dimana gejala-gejala asma sudah minimal.
4. Pencegahan bronkospasme pada saat operasi penting dilakukan terutama pada
saat manipulasi jalan napas.
5. Pemilihan obat-obatan dan tindakan anestesi perlu dipertimbangkan untuk
menghindari penggunaan obat-obatan dan tindakan yang merangsang
terjadinya bronkospasme atau serangan asma.
23

DAFTAR PUSTAKA

1. William R. Solomon, 1995 : Pathofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses


Penyakit hal : 149-161
2. Morgan G.E, 2006 : Anestesi for patients with Respiratory Disease in Clinical
Anaesthesiology third edition, page : 571-576.
3. Indro Mulyono, 2000 : Pengelolaan Perioperatif pada penderita gangguan
Pernapasan dalam PIB X IDSAI diBandung, hal : 111-133.
4. Karnen B, 1999 : Asma Bronchial dalam Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, hal : 21-39.
5. Oberoi G, Phillip G, 2000 : Management of some Medical Emergency Situation,
Mc. Graw Hill, page : 315-318
6. Stoelting R.K, 1999 : Pharmacology in Pharmacology and Physiology in
Anaesthetic Practice, Fourth edition, Lippincott William & Wilkins, page : 253-
418.
7. Kevin C. Dennehy and Kenneth E. Shepherd, 2002 : Specifik Consideration with
Pulmonary Disease in Clinical Anaesthesia Prosedures of the Massachusetts
General Hospital, six edition Lippincott Williams & Wilkins page : 33-41
8. Lenfant C, Khaltaev N. GINA. NHLBI/WHO Workshop Report 2002.
9. Mark R. Ezekeil, MD,MS. Pulmonary disease, Handbook of Anesthesiology,
Current Clinical Strategies, 2004-2005 edition page : 34-35
10. St. Mulyata.2004 : Clinical Problem Solving In Postanesthesia Care Unit dalam
Konggres Nasional VII IDSAI di Makasar, hal : 305-306.
11. Faisal Y, 2002 : Terapi Controller pada Asma dalam Pertemuan Ilmiah Paru
Milenium 2002, Surabaya hal : 1-6.
12. Taib S, 2002 : Peran Kortikosteroid pada Serangan Asma dalam Pertemuan
Ilmiah Paru Milenium Surabaya, hal : 1-16.
13. William R. Solomon, 2002 : Pathologi, Konsep Klinis Proses-prose Penyakit hal:
171-186.
14. Gal, TJ, 2002, Reactive airway Disease: Anesthetic Perspective, IARS 2002
Review Course Lectures, USA.
15. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2004, Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan Asma di Indonesia. Penerbit FKUI, Jakarta.
16. Bouquet J, Jeffery PK. Busse WW, Jhonson M, Vignola AM, Asthma. From
bronchocontriction to airwy remondelling. Am J Respir Crit Care Med, 2000
; 161:1720-45.
24

17. Epstein L,L,1999 : Spesific Consideration With Pulmonary Disaeae in Clinical


Anaesthesia Prosedure Of Massechusetts General Hospital,6 ed, LippinCott
Wlliam & Wilkins, page: 6, 33-41, 259-261.
18. Shirly Murphy, MD, October 1997 : Practical Guide for the Management of
Asthma, University of NewMaxico. Page 32, 35.
19. Allman KG., Wilson IH., 2003 Asthma in Respiratory desease Oxford Handbook
of Anesthesia: 57-60

Anda mungkin juga menyukai