Anda di halaman 1dari 12

REFERAT

“Postoperative Cognitive Dysfunction (POCD)”

OLEH :
Muhammad Rezza Vahlephy
H1A014046

PEMBIMBING :
dr. Hijrineli, Sp.An

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF


ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Kemajuan terbaru dalam teknologi medis dan perawatan anestesi telah
memungkinkan pasien usia tua dengan beberapa komorbiditas untuk menjalani operasi
dengan aman. Perubahan-perubahan yang terjadi pada proses penuaan biasanya akan
mempengaruhi kemampuan individu untuk menahan stres terkait dengan operasi dan
anestesi. Pada orang tua, disfungsi sistem saraf pusat (SSP) telah diakui sebagai komplikasi
yang cukup mengkhawatirkan. Komplikasi yang cukup sering terjadi yaitu gangguan susunan
CNS pasca operasi mulai dari disfungsi kognitif pasca operasi (POCD) hingga delirium dan
demensia.(1)

Disfungsi kognitif pasca operatif didefinisikan sebagai perburukan pasca operasi yang
"lebih dari yang diharapkan" pada domain kognitif, termasuk ingatan jangka pendek dan
jangka panjang, suasana hati, kesadaran, dan ritme sirkadian. POCD sangat sering terjadi
sebagai komplikasi akibat operasi jantung. Meskipun POCD sering dikaitkan dengan pasca
operasi jantung, POCD ini juga dikenal sebagai konsekuensi dari operasi noncardiac yang
cukup sering. Khususnya pada populasi lansia,, lebih berisiko mengalami kerusakan kognitif
setelah operasi. Penurunan fungsi neurokognitif setelah operasi jantung dapat persisten dan
mengurangi kualitas hidup. POCD dapat didiagnosis dengan tes neuropsikologi spesifik, yang
dilakukan sebelum dan setelah terpapar anestesi. Sindrom ini dapat dideteksi setiap hari
hingga berminggu-minggu setelah operasi dan mungkin juga tetap menjadi gangguan
permanen yang mengakibatkan gangguan fungsional dan beban sosial ekonomi yang
signifikan selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan.(1),(2)

Faktor risiko independen untuk POCD pada 3 bulan pertama dianataranya adalah usia
yang terlalu tua, tingkat pendidikan yang rendah, riwayat kecelakaan serebrovaskular
sebelumnya tanpa gangguan sisa, dan kehadiran dari POCD di rumah sakit secara tiba-tiba.
Delirium pasca operasi dan peningkatan penggunaan analgesik opioid juga berhubungan
dengan kejadian POCD saat keluar rumah sakit tetapi tidak pada 3 bulan pertama. Pasien
yang mengalami POCD juga berisiko tinggi mengalami kematian pada tahun pertama setelah
operasi.(3)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Disfungsi kognitif pasca operasi didefinisikan sebagai gangguan kognitif baru
yang timbul setelah prosedur pembedahan. Manifestasinya bermacam-macam,
tergantung pada domain kognitif tertentu yang terpengaruh. Masalah yang paling
sering terlihat adalah gangguan memori, gangguan kinerja pada tugas-tugas
intelektual dan perlambata pemrosesan otak. POCD ini sendiri secara definisi sering
di salah artikan sebagai delirium pasca operasi. Untuk delirium pasca operasi
memiliki tanda-tanda yang khas yaitu keadaan kebingungan yang akut dengan
perubahan perhatian dan kesadaran.(4),(5)
B. EPIDEMIOLOGI
Disfungsi kognitif pasca operasi dapat terjadi pada pasien yang menjalani
operasi baik pada usia muda ataupun tua. Namun, lansia memiliki angka insidensi
yang lebih tinggi, terkait dengan salah satu faktor resiko POCD ialah usia tua.
Dikatakan bahwa 20%-30% dari mereka yang menjalani operasi adalah pasien dengan
usia di atas 65 tahun. Setiap tahunnya terdapat sekitar 234 juta operasi diseluruh
dunia, dimana sekitar 50 juta orang yang menjalani tindakan operasi adalah orang
dengan usia tua. Dikatakan bahwa sekitar 10% dari orang tua yang menjalani operasi
nantinya akan menyebabkan POCD yang persisten 3 bulan setelah operasi.(5)
Krenk dkk. dalam ulasannya mengatakan bahwa POCD dapat muncul pada
usia berapa pun, tetapi cenderung bertahan lebih lama dan mempengaruhi kehidupan
sehari-hari yaitu pada pasien dengan usia diatas 60 tahun. Biksu et al.
mendokumentasikan keberadaan POCD saat keluar dari rumah sakit dengan rincian
sebagai berikut:
● 36,6% pasien bedah berusia 18–39 tahun,
● 30,4% dari mereka yang berusia 40-59 tahun, dan
● 41,4% dari mereka yang berusia 60 tahun ke atas.
Data diatas adalah pasien yang menjalani operasi besar selain operasi jantung.
Tiga bulan kemudian, 12,7% pasien berusia di atas 60 tahun masih memiliki POCD.
Menurut studi deskriptif, kemungkinan POCD lebih tinggi pada kelompok pasien
khusus, misalnya, mereka dengan aterosklerosis koroner atau sudah ada sebelumnya
dementia subklinis.(4)

3
C. ETIOLOGI
Penyebab pasti penurunan kognitif setelah anestesi dan pembedahan masih belum
diketahui, hal ini bisa terjadi akibat anestesi, operasi, pasien, atau kombinasi dari
beberapa hal tersebut. Banyak peneliti yang menyatakan bahwa penurunan kognitif
setelah anestesi dan pembedahan bukanlah konsekuensi langsung dari gangguan
fisiologis jika dibandingkan dengan keadaan hipoksemia dan hipotensi. Suplai
oksigen yang tidak memadai ke otak dianggap sebagai penyebab utama dari
kerusakan cerebral. Oksigenasi otak yang buruk pasti akan menyebabkan otak dan
kognitif akan mengalami perburukan. Dikatakan bahwa bahwa penurunan kognitif
setelah anestesi dan pembedahan pada orang tua paling sering berkembang tanpa
adanya hipoksemia serebral. (6)
1. Hiperventilasi
Hiperventilasi dapat menyebabkan terjadinya hiperkapnia dan vasokonstriksi
serebral yang signifikan dimana hal ini dapat menyebabkan terjadinya defisit
kognitif. Dikatakan bahwa hipokapnia yang ekstrim selama proses anestesi juga
berhubungan dengan disfungsi kognitif yang berkepanjangan selama 3 sampai 6
hari setelah hiperventilasi. Temuan di atas sangat penting karena hiperventilasi
diberikan untuk waktu yang singkat pada pasien yang masih muda. Namun,
beberapa penelitian lain tidak dapat mengidentifikasi efek hiperventilasi yang
signifikan dalam fungsi kognitif.(7)
2. Hipotensi
Penyebab paling sederhana dan paling umum untuk hipoperfusi serebral
adalah hipotensi. Terjadinya hipotensi dapat menyebabkan defisit kognitif. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Eckenhoff dkk. dimana persepsi dan memori jangka
pendek dianggap sebagai fungsi kognitif yang penting dari setiap individu. Pada
pasien lanjut usia dengan hipotensi yang diperiksa lima hari setelah dilakukan
tindakan operasi menunjukkan hasil berupa terjadinya penurunan dalam sejumlah
tes psikomotor dibandingkan dengan kelompok pasien dengan tekanan darah
normal.(7)
Thompson dkk. juga meneliti efek hipotensi pada 30 pasien yang menjalani
operasi penggantian panggul total. Pada 20 pasien, tekanan arteri rata-ratanya turun
menjadi 50 mm Hg dengan menggunakan halotan atau natrium nitroprusside. Pada
10 pasien sisanya tekanan darah dipertahankan antara rentang normal. Pada 7-8
hari setelah operasi, dilakukan tes psikomotor pada pasien tersebut. Didapatkan
hasil sebnanyak 18 dari 20 pasien yang masuk dalam kelompok hipotensi gagal

4
dalam menyelesaikan tes. Hal ini menyimpulkan bahwa hipotensi merupakan salah
satu etiologi dari POCD.(7)
3. Cerebral Mikroemboli
Cardiopulmonary bypass (CPB) dan bidang bedah dalam operasi jantung adalah
sumber-sumber mikroemboli (gumpalan, gelembung lemak atau udara). Selain itu,
mikroemboli juga dapat berasal dari plak aterosklerotik aorta selama cross
clamping dan manipulasi aorta selama operasi. Dikatakan juga meskipun oklusi
pembuluh serebral yang lebih besar dapat menyebabkan tanda-tanda neurologis
fokal, mikroemboli juga dapat menyebabkan terjadinya defisit neurologis minor
yang terkait dengan penurunan fungsi kognitif pasca operasi. Dengan
menggunakan teknik magnetic resonance imaging (MRI) dapat menunjukkan
bahwa sekitar 50% dari pasien yang menjalani coronary artery bypass graft
(CABG) mengalami infark microemboli.(7)
4. Mekanisme Inflamasi
Dalam beberapa penelitian dikatakan bahwa penggunaan sirkulasi
ekstrakorporeal dalam operasi jantung menginduksi respon inflamasi sistemik yang
luas yang terkait dengan penurunan fungsi kognitif. Seperti yang ditunjukkan
dalam satu penelitian, pemberian dosis kecil ketamin tampaknya mengurangi
kejadian POCD pada pasien yang menjalani CABG, mungkin melalui efek anti-
inflamasi yang menguntungkan dari ketamine.(7)
Banyak penelitian serupa mengatakan bahwa respon inflamasi sistemik adalah
fenomena yang ditemukan tidak hanya dalam operasi jantung tetapi dalam
serangkaian besar operasi bedah. Dengan berfokus pada operasi atau pasien, faktor
penyebab umum untuk pengembangan POCD adalah respons peradangan tubuh.
Setiap cedera jaringan umumnya diikuti oleh reaksi peradangan yang terkait
dengan aktivasi sistem kekebalan tubuh, yang dapat menyebabkan pemulihan dan
pengobatan, tetapi juga dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut.(7)
D. PATHOGENESIS dan FAKTOR RESIKO
Mekanisme yang menyebabkan gangguan kognitif setelah anestesi dan
pembedahan belum sepenuhnya jelas. Temuan pada hewan percobaan menunjukkan
peran penting respon imun terhadap pembedahan. Terrando dkk. menunjukkan bahwa
prosedur bedah perifer pada tikus mengaktifkan radang sinyal TNF / NF-κB, yang
mengarah ke pelepasan sitokin yang merusak integritas penghalang darah ke otak.
Sehingga makrofag dapat bermigrasi lebih mudah ke hippocampus, dan dapat
menyebabkan kerusakan ingatan. Fungsi kognitif tetap tidak terganggu jika

5
mekanisme ini diblokir oleh aktivasi kaskade sinyal kolinergik anti-inflamasi untuk
mencegah sekresi sitokin pro-inflamasi.(4)
Studi pengamatan klinis telah mengungkapkan bahwa POCD muncul lebih
sering setelah operasi ekstensif di bawah anestesi umum, setelah operasi sekunder,
dan ketika ada komplikasi pasca operasi. Tidak ada bukti definitif yang ditemukan
hingga saat ini untuk hipotesis bahwa anestesi itu sendiri menyebabkan POCD
berkepanjangan. Neurotoksisitas diduga akibat obat anestesi pada anak-anak telah
dipelajari lebih lanjut untuk menentukan apakah anestesi pada masa kanak-kanak
dapat menyebabkan kelainan perilaku, gangguan belajar, dan gangguan kognitif di
tahun-tahun kemudian.(4)
Usia merupakan faktor risiko utama untuk POCD (Tabel 2). Kinerja kognitif
dan kemampuan untuk mengkompensasi deficit biasanya akan menurun dengan
bertambahnya usia. Studi pencitraan telah menunjukkan bahwa pasien yang menjalani
operasi, sering memiliki penyakit otak yang tidak terdeteksi sebelumnya. Ito dkk.
menunjukkan bahwa pasien dengan iskemia otak diam, seperti yang dideteksi oleh
MRI, lebih cenderung memiliki POCD setelah operasi bypass jantung (15,2%,
dibandingkan 4,9% pada kelompok kontrol). Penyalahgunaan alkohol dan suasana

hati yang gelisah dan depresi telah diidentifikasi sebagai faktor risiko lebih lanjut
untuk POCD. Dalam uji coba secara acak, Hudetz dkk. menunjukkan bahwa pasien
dengan riwayat penyalahgunaan alkohol memiliki gangguan kognitif yang lebih buruk
setelah operasi dibandingkan pasien tanpa riwayat, bahkan jika mereka berhenti
minum selama lima minggu sebelum operasi. Bahkan pasien-pasien ini juga memiliki
gangguan kognitif yang lebih buruk daripada pasien yang tidak menjalani operasi.(4)
E. WAKTU UNTUK PENILAIAN POCD

6
Masalah metodologi lain dalam studi POCD adalah bahwa tidak ada
konsensus umum yang telah ditetapkan sejauh ini mengenai waktu penilaian yang
optimal setelah operasi. Dalam studi sebelumnya, fungsi kognitif diukur mulai 1 hari
hingga 5 tahun setelah operasi. POCD dapat secara luas dibagi menjadi perubahan
akut, menengah dan akhir atau jangka panjang berdasarkan informasi dari penelitian
sebelumnya. Secara khusus, POCD akut telah digunakan untuk menggambarkan
penurunan kognitif terdeteksi dalam satu minggu setelah operasi, POCD menengah
untuk perubahan dalam 3 bulan, dan POCD jangka panjang untuk perubahan 1-2
tahun setelah operasi. Faktor-faktor yang berkaitan dengan operasi dapat
mempengaruhi kinerja tes pasca operasi seperti nyeri akut, penggunaan obat, mual,
mobilitas terbatas, dan kelelahan. Dengan demikian, dikatakan bahwa pasien tidak
harus dievaluasi langsung sampai setidaknya satu minggu pasca operasi. Bukti terbaru
menyarankan penundaan dalam pemeriksaan dikarenakan POCD dapat terdeteksi
pada minggu pertama setelah operasi.(8)
Diagnosis POCD diverifikasi dengan tes psikometri yang dilakukan sebelum
dan sesudah operasi untuk menilai kinerja kognitif. Berikut ini disebut sebagai tes inti
dalam rekomendasi konsensus pada POCD (Gambar 1 dan 2) :(4)
 Tes Pembelajaran Verbal Rey Auditory (tes belajar kata),
 Tes Pembuatan Jejak, Bagian A dan B (kemampuan untuk melakukan tugas
gabungan),
 Tes Pegboard Beralur (ketangkasan manual)
 Tes Digit Span (kemampuan mengingat urutan angka)

7
Penelitian longitudinal POCD juga menggunakan Stroop Test (Gambar 2),
Paper and Pencil Memory Test (tes kecepatan sensorimotor dan kecepatan penarikan),
Letter – Number Replacement Test (tes kecepatan pemrosesan informasi umum) ),
dan Uji Empat Bidang (tes waktu reaksi psikomotor). Pemeriksaan neuropsikologi
klinis yang komprehensif membutuhkan waktu sekitar dua setengah jam. Tes Kinerja
Kognitif Singkat (SKT) Erzigkeit adalah alternatif yang lebih pendek yang terdiri dari
sembilan subtes (Gambar 3). Seluruh tes dapat diberikan dalam waktu sekitar 15
menit dan dengan demikian cocok untuk penggunaan perioperative.(4)

Mini-Mental Status Examination (MMSE) dimaksudkan sebagai tes skrining


untuk demensia. Ini berisi pertanyaan yang berkaitan dengan orientasi temporal dan
spasial, tugas yang berkaitan dengan retensi, ingatan, perhatian dan kebenaran, dan
penilaian bahasa dan kemampuan untuk menulis dan menggambar. Diperlukan waktu
sekitar lima menit untuk dikelola. MMSE terkadang digunakan untuk menghitung
POCD, tetapi tidak sangat jarang digunakan karna tidak sesuai dengan tujuannya. The

8
Cognitive Failure Questionnaire (CFQ) adalah kuesioner pasien untuk penilaian diri.
Terdapat 25 item yang berbeda untuk menilai frekuensi kesalahan kognitif dalam
kehidupan sehari-hari (berkaitan dengan konseptualisasi, memori, dan kinerja motor)
pada skala verbal.(4)
Pendidikan pasien di rumah sakit biasanya mencakup instruksi terperinci
terkait perawatan luka, pemberian obat baru, pemantauan gejala, dan rincian
pembatasan yang diperlukan dalam kegiatan sehari-hari. Jika pasien pasca-bedah
mengalami POCD pada saat mereka rawat jalan, kemampuan mereka untuk
memahami dan mengingat instruksi ini mungkin terbatas dan dapat menempatkan
mereka pada risiko untuk komplikasi pasca-bedah.(8)
F. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding POCD yang paling mendekati adalah delirium post-
operative. Secara klinis POD berbeda dari POCD. DSM-5 mendefinisikan
karakteristik yang diperlukan untuk diagnosis delirium yaitu gangguan kesadaran,
perubahan kognisi, gangguan perhatian dan fluktuasi keadaan psiko-emosional dari
waktu ke waktu. Insiden delirium adalah antara 10 hingga 55% pada pasien pasca
operasi, tergantung pada jenis operasi Selain itu, insidensi delirium jauh lebih tinggi
pada pasien usia lanjut. Diperkirakan hingga 50% pasien lanjut usia menderita
delirium setelah operasi. Dampak POD ini signifikan dan berbahaya. Ini telah terbukti
terkait dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas setelah satu tahun. Delirium
pasca operasi terutama ditandai oleh perubahan kesadaran dan kognisi yang diamati
untuk waktu yang singkat setelah operasi. Gangguan kognitif termasuk disorientasi
dalam ruang dan waktu, kesulitan bahasa, gangguan dalam belajar dan ingatan.
Gangguan emosional dapat terlihat, dengan gejala kecemasan, ketakutan, iritabilitas,
kemarahan dan depresi yang intermiten dan tidak stabil. Delirium pasca operasi sering
memiliki intensitas berubah.(7)
G. STRATEGI UNTUK PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN
Ada banyak prosedur yang harus dipertimbangkan ketika akan memberikan tes
neuropsikologi untuk tujuan mendeteksi POCD. Hal-hal yang di perhatikan yaitu
pemilihan tes, administrasi tes, dan penilaian tes untuk tujuan deteksi POCD.
Pemilihan tes harus dipandu dengan memilih tes yang memiliki validitas untuk
mendeteksi perubahan dalam fungsi domain. Selain itu, ada beberapa hal juga yang
harus dipertimbangkan ketika memilih tes untuk penilaian POCD. Sebagai contoh,
sangat penting untuk memilih tes dengan tingkat kesulitan yang tidak menghasilkan
efek lantai (banyak subjek yang mencetak skor terendah mungkin) atau efek langit-

9
langit (banyak subjek yang mencetak skor tertinggi mungkin). Tes yang tidak
memiliki efek lantai atau langit-langit cenderung memiliki kepekaan yang lebih besar
untuk mendeteksi perubahan fungsi kognitif. Tes harus divalidasi sesuai dengan
bahasa di mana mereka akan diberikan tes. Biasanya tes neuropsikologi ini memiliki
kesulitan yang bervariasi antar bahasa untuk huruf yang sama. (8)
1. Indikasi untuk operasi
Keputusan apakah akan dilakukan prosedur pembedahan pada pasien usia
lanjut, komorbid harus didasarkan pada evaluasi terhadap manfaat potensial dari
operasi ditimbang terhadap potensi bahaya, termasuk gangguan kognitif (bahkan
jika sementara). Pemeriksaan neurologis harus dilakukan; dalam kasus-kasus
individual, tes kognitif pra operasi dapat membantu dan diindikasikan(4)
2. Teknik operatif
POCD biasanya lebih parah setelah operasi ekstensif. Belum ada studi
sistematis tentang pengurangan keparahan POCD melalui penggunaan metode
bedah invasif minimal. Metode ini mungkin kurang menyebabkan keparahan
POCD karena biasanya melibatkan lebih sedikit trauma jaringan dan, oleh karena
itu, menimbulkan respon inflamasi pasca operasi yang lebih minimal.(4)
3. Teknik anestesiologi
Sebagai aturan, semakin pendek durasi kerja agen anestesi, semakin pendek
durasi gangguan kognitif pada periode pasca operasi segera. Pasien sekarang
sering premedicated dengan obat penenang yang merusak memori, misalnya,
midazolam; praktik ini harus dinilai kembali secara kritis. Dalam sebuah studi
klinis, penulis menemukan gangguan memori yang terukur satu hari setelah
operasi pada pasien yang telah premedikasi dengan midazolam dan kemudian
menjalani 1-2 jam anestesi umum dengan propofol dan remifentanil.(4)

10
BAB III
KESIMPULAN

Disfungsi kognitif pasca operasi (POCD) adalah penurunan yang diukur secara
obyektif dalam kognisi pasca operasi dibandingkan dengan fungsi pra operasi. POCD telah
dipertimbangkan dalam literatur anestesi dan bedah dalam isolasi penurunan kognitif yang
umum pada orang tua dalam masyarakat dan di mana ia dilabeli sebagai gangguan kognitif
ringan atau gangguan neurokognitif. Penyebab POCD masih belum diketahui. Bertambahnya
usia, gangguan kognitif dasar, dan pendidikan yang lebih sedikit secara konsisten dikaitkan
dengan POCD.

11
DAFTAR PUSTAKA
1. Kotekar N, Kuruvilla CS, Murthy V. Post - operative cognitive dysfunction in the
elderly : A prospective clinical study. 2014;58(3):263–8.
2. Steinmetz J, Christensen KB, Ph D, Lund T, Ph D, Lohse N, et al. Long-term
Consequences of Postoperative Cognitive Dysfunction. 2018;(3):548–55.
3. Newfield P. Postoperative cognitive dysfunction. 2009;4(February):10–3.
4. Rundshagen I. Postoperative Cognitive Dysfunction. 2014;1(8):119–25.
5. Szokol JW. Postoperative cognitive dysfunction. 2010;249–53.
6. Evered LA, Silbert BS. Postoperative Cognitive Dysfunction and Noncardiac Surgery.
2018;XXX(Xxx):1–10.
7. Pappa M, Theodosiadis N, Tsounis A, Sarafis P. Electronic Physician ( ISSN : 2008-
5842 ). 2017;(February):3768–75.
8. Tsai TL, Sands LP, Leung, Jaquilane. An Update on Postoperative Cognitive
Dysfunction. 2011;28(1):269–84.

12

Anda mungkin juga menyukai