Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KASUS DERMATO-VENEREOLOGI

“STEVEN JOHNSON SYNDROME”

Oleh :

Muhammad Rezza Vahlephy


(H1A014046)

Pembimbing :
dr. Dinie Ramdhani K, Sp.KK, M.Kes

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSINTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2019
PENDAHULUAN

Sindrom Stevens-Johnson (SJS) adalah suatu kondisi dermatologis yang


terjadi akibat epidermolisis berat. Sindrom Stevens-Johnson (SJS) terjadi sebagai
reaksi eksfoliatif berat yang mempengaruhi terutama pada bagian kulit dan
membran mukosa. Manifestasi klinis yang khas meliputi penegangan
mucocutaneous, erosi hemoragik, erosi membran mukosa, makula eritematosa,
lepuh dan kulit menjadi gundul yang terjadi sebagai akibat pemisahan epidermis
dari dermis yang parah.(1)

Sindrom Stevens Johnson (SJS) merupakan suatu kegawat daruratan pada


kulit yang dapat mengancam jiwa. SJS sering terjadi sebagai reaksi yang berat
akibat penggunaan obat atau infeksi (namun jarang terjadi). Meskipun intervensi
sistemik dapat mengubah perjalanan klinis dari kondisi penyakit ini, tindakan
suportif dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan mempercepat resolusi.
Karakteristik dari kondisi ini ditinjau dari terapi yang tersedia, termasuk agen
sistemik dan manajemen suportif.(2)

Insiden tahunan SJS dan TEN dalam populasi umum masing-masing


diketahui 1–6 dan 0,4–1,2 per juta orang. Tingkat kematian terkait dengan SJS
dan TEN masing-masing diperkirakan 1-5% dan 30%. Di Indonesia sendiri tidak
terdapat data pasti mengenai morbiditas terjadinya Stevens Johnson Syndrome.
Namun, berdasarkan data oleh Djuanda beberapa obat yang sering menyebabkan
SJS di Indonesia adalah obat golongan analgetik/antipiretik (45%), karbamazepin
(20%), jamu (13.3%) dan sisanya merupakan golongan obat lain seperti
amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, dan seftriakson.(3,4)
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : By. EAP
Umur : 11 Bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Paseng Taman Ayu
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak bekerja
Rekam Medik : 02 91 68
Tanggal MRS : 1 Mei 2019
Tanggal pemeriksaan : 6 Mei 2019

II. Anamnesis
Keluhan Utama
Kulit melepuh

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUP NTB dengan keluhan kulit melepuh. Pasien
merupakan rujukkan dari RSUD Gerung. Keluhan kulit melepuh ini sudah
berlangsung sejak 3 hari yang lalu. Awalnya muncul bintik kecil berisi
cairan bening di dada pasien sebelah kanan disertai demam. Kemudian
pasien dibawa ke dokter dan diberikan obat puyer dan Amoxicilin sirup.
Setelah meminum obat selama 2 hari, pada kulit pasien timbul bejolan-
benjolan yang cukup besar berisi cairan. Kemudian benjolan-benjolan
tersebut pecah dan kemduian menjalar keseluruh tubuh hingga daerah
kepala. Sebelumnya pasien juga pernah meminum obat yang sama dari
dokter namun tidak muncul reaksi seperti saat ini. Sebelum muncul
keluhan bintik merah didada pasien dikatakan mengalami batu pilek serta
demam yang sudah berlangsung selama 5 hari. Saudara laki-laki pasien
dikatakan lebih dahulu mengalami muncul bintik-bintik merah kecil
namun keluhannya tidak seperti pasien saat ini.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan serupa (-), Kejang (-), Kuning (-)

Riwayat Alergi
Riwayat alergi makanan dan alergi obat-obatan disangkal oleh ibu pasien

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ditemukan riwayat penyakit serupa pada keluarga pasien, DM (-),
HT (-), Asma (-), Penyakit Jantung (-), TBC (-)

Riwayat Pengobatan
Sebelumnya pasien hanya mengkonsumsi obat-obatan yang diperoleh dari
dokter berupa obat puyer dan Amoxicilin sirup

III. Pemeriksaan Fisik (Kamis, 2 Mei 2019)


 Keadaan umum : Sedang
 Nadi : 138 kali/ menit, regular dan kuat angkat
 Pernapasan : 38 kali/menit, regular
 Suhu aksila : 36,9o C

Status Generalis
 Kepala dan leher : Normocefali, konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),
refleks pupil (+/+), pupil isokor, bibir edema (-), pembesaran KGB
regional leher (-).
 Thoraks : Gerakan dinding dada simetris, iktus kordis (+), deviasi trakea
(-), perkusi sonor (+/+), auskultasi vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
 Abdomen : Distensi (-), BU (+) normal, timpani (+), nyeri tekan (-),
organomegali (-), turgor kulit normal.
 Ekstremitas : akral hangat (+/+), edema ekstremitas bawah (-/-), edema
ekstremitas atas (-/-)
Status Dermatologis
(Hari Ke-2 perawatan bersama
bagian kulit dan kelamin (2-5-2019)
Keterangan :
Lokasi: Tersebar diseluruh tubuh dan wajah
UKK : Tampak makula eritem multiple, berbatas tegas, berbentuk bulat – tidak
beraturan, berukuran nummular-plakat, distribusi generalisata dengan erosi dan
krusta kehitaman

IV. Pemeriksaan Penunjang


- Darah Lengkap

Parameter Hasil Nilai rujukan


(1/5/2019)
HGB 10.9 14,0 - 18,0 (g/dl)
RBC 4.54 3,5 - 5,5 (106/uL)
HCT 31.9 25,0 – 42,0 (%)

WBC 9.32 4,0 – 10,0 (103/uL)


PLT 393.000 150 – 400 (103/uL)
MCV 70.1
MCH 24.0
MCHC 34.2
Na 131 135-146 mmol/L
K 4.5 3,4-5,4 mmol/L
Cl 105 95-108 mmol/L
Albumin 3.7 3.8 – 5.4 mg/dl
GDS 109
V. Diagnosis Kerja
- Steven Johnson Syndrome

VI. Tata Laksana


- Medikamentosa
 Hidrocortison krim 2.5% + Natrium fusidat krim 2x per
hari dioleskan pada lesi kulit.
- Non medikamentosa
 Kompres NaCl 0,9% pada lesi kulit
 Memberikan edukasi untuk rutin mengoleskan krim pada
area yang dikeluhkan dan diperhatikan apabila keluhan
semakin meluas dan memberat.

VII. Prognosis
1. Qua ad Vitam : ad bonam
2. Qua ad Sanationam : ad bonam
3. Qua ad Kosmetikam : ad bonam

VIII. Follow Up

- 2 Mei 2019
S/ Demam (-), batuk (-), muntah (-), mencret (-)
O/ Ku : sedang, HR : 138x/menit, RR : 38x/menit, T : 36.9 C, SpO2 : 99%
A/ Steven Johnson Syndrome
P/
- Bagian Kulit :
 Hidrokortison cream + Natrium Fusidat 2x sehari dioleskan
pada lesi
 Tatalaksana lain lanjut
- Bagian Anak :
 IVFD D5 ½ NS 1.350cc/hari
 Ceftriaxone 400mg/12 jam
 Paracetamol k/p
 Dexamethason 3mg/6 jam
 Diet anak 900 kalori (nasi 3x/hari)
 Lain-lain sesuai TS Kulit dan TS Mata
- Bagian Mata :
 C. Xytrol e. oint 3x sehari pada mata kanan dan kiri (kulit
kelopak mata)
 C. Lyteers ed 1 tetes/jam pada mata kanan dan kiri
- 3 Mei 2019
S/ Demam (-), lesi baru (-)
O/ Ku : sedang, HR : 142x/menit, RR : 40x/menit, T : 36.7 C, SpO2 : 99%
A/ Steven Johnson Syndrome
P/
- Bagian Kulit :
 Terapi lanjut
- Bagian Anak :
 Terapi lanjut
- Bagian Mata :
 Terpi lanjut hingga 4 minggu
 Aff raber, konsul ulang bila terdapat keluhan
- 4 Mei 2019
S/ Demam (-), lesi baru (-), kulit mengelupas
O/ Ku : sedang, HR : 140x/menit, RR : 39x/menit, T : 36.8 C, SpO2 : 99%
A/ Steven Johnson Syndrome
P/
- Bagian Kulit :
 Terapi lanjut
- Bagian Anak :
 Terapi lanjut
- 5 Mei 2019
S/ Demam (-), lesi baru (-), kulit mengelupas
O/ Ku : sedang, HR : 138x/menit, RR : 40x/menit, T : 36.6 C, SpO2 : 99%
A/ Steven Johnson Syndrome
P/
- Bagian Kulit :
 Terapi lanjut
- Bagian Anak :
 Terapi lanjut
- 6 Mei 2019
S/ Demam (-), lesi baru (-), kulit mengelupas
O/ Ku : sedang, HR : 142x/menit, RR : 40x/menit, T : 36.6 C, SpO2 : 99%
A/ Steven Johnson Syndrome
P/
- Bagian Kulit :
 Terapi lanjut
 BPL
- Bagian Anak :
 Terapi lanjut
 BPL
PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini didapatkan pasien perempuan berusia 11 bulan.


Pasien datang ke IGD RSUP NTB dengan keluhan kulit melepuh. Awalnya pasien
dikeluhkan muncul bintik kecil didaerah dada. Kemudia pasien dibawa ke dokter
dan kemudian diberikan obat yaitu obat puyer dan amoxicillin sirup. Setelah 2
hari mengkonsumsi obat tersebut bintik kecil tersebut kemudian membesar dan
berisi air, kemudia pecah lalu menyebar keseluruh tubuh hingga ke dareah wajah
dan kepala. Sebelum muncul keluhan bintik merah didada pasien dikatakan
mengalami batu pilek serta demam yang sudah berlangsung selama 5 hari.
Saudara laki-laki pasien dikatakan lebih dahulu mengalami muncul bintik-bintik
merah kecil namun keluhannya tidak seperti pasien saat ini. Untuk status
dermatologis pasien yaitu tampak makula eritem multiple, berbatas tegas,
berbentuk bulat – tidak beraturan, berukuran nummular-plakat, distribusi
generalisata dengan erosi dan krusta kehitaman, tersebar diseluruh tubuh dan
wajah
SJS adalah kondisi langka namun penyakit ini mengancam jiwa. Penting
untuk mengenali karakteristik klinis dari penyakit ini yaitu erupsi mukokutan pada
tahap awal yang berkisar antara 16 hingga 25%. Penyebab paling sering dari
kondisi ini adalah penggunaan obat-obatan. Obat-obatan yang paling umum dapat
menyebabkan SJS adalah allopurinol. Antikonvulsan dan antibiotik juga dikatakan
sebagai agen penyebab umum kedua dalam pada penyakit ini. Kedua kelompok
obat ini dilaporkan sebagai etiologi yang paling sering dalam penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya. Selain terjadi sebagai reaksi terhadap obat, erupsi kulit ini
juga terkait dengan penyakit menular yang mendasarinya, dan termasuk
manifestasi kulit kandidiasis diseminata, Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia
pneumoniae, infeksi cytomegalovirus dan virus human immunodeficiency.(5)
SJS secara khas diawali dengan gejala saluran pernapasan atas yang tidak
jelas yang berlangsung hingga 2 minggu. Selama periode ini, pasien mungkin
mengeluhkan demam, sakit tenggorokan, menggigil, sakit kepala, dan malaise.
Demam persisten yang berlangsung lebih dari 4 minggu harus meningkatkan
kecurigaan infeksi yang terjadi secara bersamaan. Hal ini dapat diikuti oleh onset
cepat dari lesi mukokutan. Keterlibatan dari membrane mukosa terbukti pada
sekitar 90% dari pasien yang terkena SJS, dan tidak adanya keterlibatan dari
membrane mukosa harus meragukan diagnosis SJS. Keterlibatan membran
mukosa dapat menyebabkan disfungsi jangka pendek dan morbiditas, serta
komplikasi jangka panjang karena fibrosis. Lesi kulit khas yang terlihat pada SJS
adalah makula eritematosa difus.(6)
SJS sangat jarang jarang terjadi pada anak-anak yang sangat muda. Ini
mungkin disebabkan oleh kemungkinan yang lebih kecil untuk terpapar obat yang
berpotensi menimbulkan SJS pada kelompok usia ini. Obat-obatan dikatakan
sebagai agen penyebab dalam sebagian besar kasus pada orang dewasa dan anak-
anak dengan SJS. Ketika seseorang dicurigai terkena SJS maka wajib
menanyakan asupan obat dalam waktu 8 minggu sebelum timbulnya ruam. Obat-
obatan umum yang diketahui dapat menyebabkan SJS pediatrik dipaparkan pada
tabel dibawah ini.

Perlu dicatat bahwa antibiotik adalah penyebab utama SJS pada anak-
anak, sedangkan allopurinol, nevirapine, dan piroxicam adalah penyebab yang
tidak umum. Namun, infeksi dapat juga memainkan peran utama dalam memicu
SJS pada anak-anak. Mycoplasma pneumonia terlibat sebagai faktor etiologis
pada SJS. Keterlibatan paru adalah hal terkait yang umum pada pneumonia
mikoplasma yang dipicu SJS atau TEN. Pemicu lain termasuk virus herpes
simpleks, streptokokus, cytomegalovirus, vaksinasi virus hidup, dan vaksinasi
DPT.(7)
Tatalaksana untuk pasien dengan SJS yaitu meliputi penghentian obat-
obatan yang memicu terjadinya SJS. Diagnosis dini penyakit, pengenalan agen
penyebab dan penghentian penggunaan obat secara segera adalah tindakan yang
paling penting, karena perjalanan penyakit SJS sering cepat dan fatal. Pasien
sebaiknya dirawat di unit luka bakar. Perawatan pertama harus mencakup
langkah-langkah suportif dan simtomatik seperti kontrol suhu tubuh, hidrasi dan
kontrol elektrolit, perhatian khusus pada jalan nafas, mencegah infeksi sekunder,
kontrol nyeri, nutrisi oral awal atau nutrisi parenteral jika diperlukan, dan
antikoagulan. Lesi kulit dirawat sesuai dengan protokol untuk pasien dengan luka
bakar besar. Antiseptik topikal dapat digunakan, atau hanya sabun dan air. Terapi
antibiotik profilaksis tidak dianjurkan karena dapat memicu resistensi dan karena
obat ini dapat menjadi agen penyebab SJS. Oleh karena itu, pemberian hanya pada
kasus infeksi yang sudah terbukti, atau ketika tiba-tiba terjadi penurunan /
kenaikan suhu, kondisi umum yang buruk, atau kultur kulit positif.(8)
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa steroid tidak mempersingkat
durasi penyakit dan juga dapat meningkatkan risiko infeksi dan memperburuk
penyembuhan. Banyak penulis tidak merekomendasikan penggunaan rutin steroid
sistemik dalam pengobatan SJS tetapi beberapa pusat menganjurkan penggunaan
pada 48 jam pertama. Studi telah menunjukkan manfaat dari plasmapheresis untuk
pengobatan SJS, namun ada laporan yang menunjukkan bahwa penggunaannya
tidak secara signifikan mempengaruhi mortalitas dan lama rawat inap di rumah
sakit. Siklosporin adalah obat imunosupresif dengan aktivitas anti-apoptosis dan
telah dianggap sebagai obat yang berpotensi bermanfaat untuk pengobatan.(8)
DAFTAR PUSTAKA

1. Omotuyi A, Fakoya J, Omenyi P, Anthony P, Anthony F, Etti P, et al.


Stevens - Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis ; Extensive
Review of Reports of Drug-Induced Etiologies , and Possible Therapeutic
Modalities. 2018;6(4):730–8.

2. Schneider JA, Cohen PR. Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal


Necrolysis : A Concise Review with a Comprehensive Summary of
Therapeutic Interventions Emphasizing Supportive Measures. Adv Ther.
2017;34(6):1235–44.

3. Yang M, Lee JY, Kim J, Kim G, Kim B, Kim J, et al. Incidence of Stevens-
Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis : A Nationwide
Population-Based Study Using National Health Insurance Database in
Korea. 2016;1–12.

4. Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.


Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007;5:163.

5. Chantaphakul H, Sanon T, Klaewsongkram J. Clinical characteristics and


treatment outcome of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis. 2015;519–24.

6. RIBHI H, A IO, I HM, KIMYAI-ASADI A. Stevens-Johnson syndrome:


Pathogenesis, diagnosis, and management. 2015;(February 2008).

7. Das S, Ramkumar, Ramamoorthy. Stevens - Johnson Syndrome and Toxic


Epidermal Necrolysis in Children. 2018;9–14.

8. Wong A, Malvestiti rey A, Hafn M de FS. Stevens-Johnson syndrome and


toxic epidermal necrolysis : a review. 2016;62(5):468–73.

Anda mungkin juga menyukai