Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

SEPSIS NEONATORUM

Marsya Julia Riyadi


030.08.157

Pembimbing:
dr. Daniel Effendi, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD BUDHI ASIH JAKARTA
PERIODE 13 JANUARI 2014 – 22 MARET 2014
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA

1
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan
rahmat dan karuniaNya, saya dapat menyelesaikan referat ini yang berjudul “SEPSIS
NEONATORUM” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti kepaniteraan di RSUD Budhi Asih
Jakarta dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak.
Saya menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan
Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan pembimbing dr. Daniel Effendi, Sp.A dan
berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini saya mengucapkan rasa hormat dan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam proses pembuatan makalah
ini.
Saya menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisan. Namun demikian, saya telah berupaya dengan
segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga makalah ini dapat selesai dengan
baik dan oleh karenanya saya dengan tangan terbuka menerima masukan, saran dan usul guna
penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Jakarta, 4 Maret 2014

Penulis

DAFTAR ISI
2
Kata Pengantar…………………………………………………………………………………….2
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………..3
BAB I Pendahuluan……………………………………………………………………………….4
BAB II Tinjauan Pustaka………………………………………………………………………….5
Definisi…………………………………………………………………………………….5
Patofisiologi dan Patogenesis……………………………………………………………..5
Algoritme Transmisi Bakteri Materno-Fetal…………………………………………….10
Algoritme Pendekatan Infeksi Bakteri pada Neonatus…………………………………..11
Algoritme Tata Laksana Infeksi Bakteri pada Neonatus………………………………...12
Mikroorganisme Penyebab Sepsis……………………………………………………….13
Daya Pertahanan Tubuh………………………………………………………………….14
Manifestasi Klinis………………………………………………………………………..15
Pemeriksaan Laboratorium………………………………………………………………16
Pemeriksaan Radiologi…………………………………………………………………..17
Pemeriksaan Penunjang Lain…………………………………………………………….17
Prokalsitonin Sebagai Marker Sepsis…………………………………………………….17
Tata Laksana……………………………………………………………………………..20
BAB III Kesimpulan……………………………………………………………………………..22
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………………23

BAB I
PENDAHULUAN
3
Sepsis pada bayi baru lahir masih merupakan masalah yang belum dapat terpecahkan dalam
pelayanan dan perawatan bayi baru lahir. Di Negara berkembang, hamper sebagian besar bayi
baru lahir yang dirawat mempunyai kaitan dengan masalah sepsis. Dalam laporan WHO yang
dikutip Child Health Research Project Special Report : Reducing perinatal and neonatal
mortality (2009) dikemukakan bahwa 42% kematian bayi baru lahir terjadi karena berbagai
bentuk infeksi saluran pernafasan, tetanus neonaatorum, sepsis dan infeksi gastrointestinal.(2)
Sepsis neonatal adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai bakteremia yang terjadi
pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan. Angka kejadian sepsis neonatal adalah 1-10 per
1000 kelahiran hidup. Sepsis neonatal dapat terjadi secara dini, yaitu pada 5-7 hari pertama
dengan organisme penyebab didapat dari intrapartum atau melalui saluran genital ibu. Sepsis
neonatal dapat terjadi setelah bayi berumur 7 hari atau lebih yang disebut sepsis lambat, yang
mudah menjadi berat dan sering menjadi meningitis.(1) Sepsis nosokomial terutama terjadi pada
bayi berat lahir sangat rendah atau bayi kurang bulan dengan angka kematian yang sangat tinggi.
Karena masih tingginya angka kematian sepsis neonatal, tatalaksana yang utama adalah upaya
pencegahan dengan pemakaian proteksi di setiap tindakan terhadap neonatus, termasuk
pemakaian sarung tangan, masker, baju dan kacamata debu serta mencuci segera tangan dan kulit
yang terkena darah atau cairan tubuh lainnya.(3)
Sepsis neonatal adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai bakteremia yang terjadi
pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan. Angka kejadian sepsis neonatal adalah 1-10 per
1000 kelahiran hidup, dan mencapai 13-27 per 1000 kelahiran hidup pada bayi dengan berat
<1500gram. Angka kematian 13-50%, terutama pada bayi prematur (5-10 kali kejadian pada
neonatus cukup bulan) dan neonatus dengan penyakit berat dini. Infeksi nosokomial pada bayi
berat lahir sangat rendah, merupakan penyebab utama tingginya kematian pada umur setelah 5
hari kehidupan.(7)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

4
DEFINISI
Sepsis pada bayi baru lahir adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasif dan ditandai dengan
ditemukannya mikroorganisme dalam cairan tubuh seperti darah, cairan sumsum tulang atau air
kemih.(2)
Keadaan ini sering terjadi pada bayi beresiko misalnya pada Bayi Kurang Bulan (BKB),
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), bayi dengan Sindrom Gangguan Napas atau bayi yang lahir
dari ibu beresiko. Sepsis neonatal biasanya dibagi dalam dua kelompok yaitu sepsis awitan dini
dan sepsis awitan lambat. (8)

PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS

Sesuai dengan patogenesis, secara klinik sepsis neonatal dapat dikategorikan dalam:

Sepsis Awitan Dini,


terjadi pada 5-7 hari pertama, tanda distres pernapasan lebih mencolok, organisme penyebab
penyakit didapat dari intrapartum, atau melalui saluran genital ibu. Pada keadaan ini kolonisasi
patogen terjadi pada periode perinatal. Beberapa mikroorganisme penyebab, seperti treponema,
virus, listeria dan candida, transmisi ke janin melalui plasenta secara hematogenik. Cara lain
masuknya mikroorganisme, dapat melalui proses persalinan. Dengan pecahnya selaput ketuban,
mikro-organisme dalam flora vagina atau bakteri pathogen lainnya secara asenden dapat
mencapai cairan amnion dan janin. Hal ini memungkinkan terjadinya khorioamnionitis atau
cairan amnion yang telah terinfeksi teraspirasi oleh janin atau neonatus, yang kemudian berperan
sebagai penyebab kelainan pernapasan. Adanya vernix atau mekoneum merusak peran alami
bakteriostatik cairan amnion. Akhirnya bayi dapat terpapar flora vagina waktu melalui jalan lahir.
Kolonisasi terutama terjadi pada kulit, nasofaring, orofaring, konjungtiva, dan tali pusat. Trauma
pada permukaan ini mempercepat proses infeksi. Penyakit dini ditandai dengan kejadian yang
mendadak dan berat, yang berkembang dengan cepat menjadi syok sepsis dengan angka
kematian tinggi. Insidens syok septik 0,1 - 0,4% dengan mortalitas 15-45% dan morbiditas
kecacatan saraf. Umumnya terjadi setelah bayi berumur 7 hari atau lebih.(4,5,6)

Sepsis Awitan Lambat


5
Mudah menjadi berat, tersering menjadi meningitis. Bakteri penyebab sepsis dan meningitis,
termasuk yang timbul sesudah lahir yang berasal dari saluran genital ibu, kontak antar manusia
atau dari alat-alat yang terkontaminasi. Di sini transmisi horisontal memegang peran. Insiden
sepsis lambat sekitar 5-25%, sedangkan mortalitas 10-20% namun pada bayi kurang bulan
mempunyai risiko lebih mudah terinfeksi, disebabkan penyakit utama dan imunitas yang imatur.
(4)

Selama dalam kandungan janin relative aman terhadap kontaminasi kuman karena
terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion, khorion dan beberapa
factor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian kemungkinan kontaminasi kuman
dapat timbul melalui berbagai jalan, yaitu:
1. Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin melalui aliran
darrah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin. Keadaan ini ditemukan pada
infeksi TORCH, Triponema pallidum atau Listeria, dll.
2. Prosedur obstetric yang kurang memperhatikan factor aseptic/antiseptic misalnya saat
pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau amniosintesis. Paparan kuman
pada cairan amnion saat prosedur dilakukan akan menimbulkan amniosentesis dan pada
akhirnya terjadi kontaminasi kuman pada janin.
3. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih berperan
dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk kedalam rongga uterus dan
bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran nafas ataupun saluran cerna. Kejadian
kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah
pecah lebih dari 18-24 jam. (4,5,6)

6
Short MA (2004) mengemukakan bahwa patofisiologi dan tingkat beratnya sepsis tidak
banyak berbeda antara pasien dewasa dan bayi. Sepsis biasanya akan dimulai dengan adanya
7
respon sistemik tubuh dengan gambaran proses inflamasi koagulopati. Gangguan fibrinolisis
yang selanjutnya menimbulkan gangguan sirkulasi dan perfusi yang berakhir dengan gangguan
fungsi organ.(8)
Informasi dalam pathogenesis dan penyakit penderita sepsis ini merupakan konsep
pathogenesis infeksi yang banyak dibahas akhir-akhir ini dan dikenal dengan konsep “Systemic
inflammatory response syndrome” (SIRS). Dalam konsep ini diajukan adanya gambaran klinik
infeksi dengan respon sistemik yang pada stadium lanjut menimbulkan perubahan fungsi
berbagai organ tubuh yang disebut Multi Organ Dysfunction Syndrome (MODS).(8)
Berbagai variabbel inflamasi tersebut diatas merupakan respons sistemik yang
ditimbulkan pada keadaan SIRS yyang antara lain terlihat adanya perubahan system hematologi,
system imun dan lain-lain. Dalam system imun, salah satu respons sistemik yang penting pada
pasien SIRS adalah pembentukan sitokin. Sitokin yang terbentuk dalam proses infeksi berfungsi
sebagai regulator reaksi tubuh terhadap infeksi, inflamasi atau trauma. Sebagian sitokin (Pro
inflammatory cytokine seperti IL-1, IL-2 dan TNF-a) dapat memperburuk keadaan penyakittetapi
sebagian lainnya (anti inflammatory cytokine seperti IL-4 dan IL-10) bertindak meredam infeksi
dan mempertahankan homeostasis organ vital tubuh. Selain berperan dalam regulasi proses
inflamasi,pembentukan sitokin dapat pula digunakan sebagai penunjang diagnostic sepsis
neonatal. Kuster dkk (1998) melaporkan bahwa sitokin yang beredar dalam sirkulasi pasien
sepsis dapat dideteksi 2 hari sebelum gejala klinis muncul.
Perubahan system imun penderita sepsis menimbulkan perubahan pula pada system
koagulasi. Pada system koagulasi tersebut terjadi peningkatan pembentukan Tissue Factori (TF)
yang bersama dengan factor VII darah akan berperan pada proses koagulasi. Kedua factor
tersebut menimbulkan aktivasi factor IX dan X sehingga terjadi proses hiperkoagulasi yang
menyebabkan pembentukan thrombin yang berlebihan dan selanjutnya meningkatkan produksi
fibrin dari fibrinogen. Padda pasien sepsis, respons fibrinolisis yang biasanya terlihat pada bayi
normal juga terganggu. Supresi fibrinolisis terjadi karena meningkatnya pembentukan
plasminogen-activator inhibitor-1 (PAI-1) yang dirangsang oleh mediator proinflamasi (TNF-a).
demikian pula pembentukan ttrombin yang berlebihan berperan dalam aktivasi thrombin-
activatable fibrinolysis (TAFI) yaitu factor yang menimbulkan supresi fibrinolisis. Kedua factor
yang berperan dalam supresi ini mengakibatkan akumulasi fibrin darah yang dapat menimbulkan
mikrotrombin pada pembuluh darah kecil sehingga terjadi gangguan sirkulasi. Gangguan
8
tersebut mengakibatkan hipoksemia jaringan dan hipotensi sehingga terjadi disfungsi berbagai
organ tubuh. Manifestasi disfungsi multiorgan ini secara klinis dapat memperlihatkan gejala-
gejala sindroma distress pernapasan, hipotensi, gagal ginjal dan bila tidak teratasi akan diakhiri
dengan kematian.(9)

9
10
11
Mikroorganisme Penyebab Sepsis
12
Organisme penyebab sepsis primer berbeda dengan sepsis nosokomial. Sepsis primer biasanya
disebabkan: Streptokokus Grup B (GBS), kuman usus Gram negatif, terutama Escherisia coli,
Listeria monocytogenes, Stafilokokus, Streptokokus lainnya (termasuk Enterokokus), kuman
anaerob, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan penyebab sepsis nosokomial adalah
Stafilokokus (terutama Staphylococcus epidermidis), kuman Gram negatif (Pseudomonas,
Klebsiella, Serratia, dan Proteus), dan jamur. (8)

Faktor Risiko untuk Terjadinya Sepsis Neonatal ialah:

• Prematuritas dan berat lahir rendah, disebabkan fungsi dan anatomi kulit yang masih imatur,
dan lemahnya sistem imun,
• Ketuban pecah dini (>18 jam),
• Ibu demam pada masa peripartum atau ibu dengan infeksi, misalnya khorioamnionitis, infeksi
saluran kencing, kolonisasi vagina oleh GBS, kolonisasi perineal dengan E. coli,
• Cairan ketuban hijau keruh dan berbau,
• Tindakan resusitasi pada bayi baru lahir,
• Kehamilan kembar,
• Prosedur invasif,
• Tindakan pemasangan alat misalnya kateter, infus, pipa endotrakheal,
• Bayi dengan galaktosemi,
13
• Terapi zat besi,
• Perawatan di NICU (neonatal intensive care unit) yang terlalu lama,
• Pemberian nutrisi parenteral,
• Pemakaian antibiotik sebelumnya, dan
• Lain-lain misalnya bayi laki-laki terpapar 4x lebih sering dari perempuan.(2,4,5)

DAYA PERTAHANAN TUBUH

Lemahnya pertahanan tubuh pada bayi kurang bulan atau pada bayi cukup bulan risiko tinggi
disebabkan oleh:

1. Sistem Imunitas Seluler


Sel polimorfonuklear mempunyai kemampuan kemotaksis terbatas, menurunnya mobilisasi
reseptor permukaan sel, kemampuan bakterisidal yang amat terbatas, dan fagositosis normal.

• Semua komponen komplemen kurang, terutama pada bayi kurang bulan juga, disertai
kurangnya produksi zat kemotaktik opsonin.
• Sel limfosit T yang berfungsi dalam imunitas seluler telah normal pada gestasi muda, tetapi
belum dapat memberikan respons terhadap antigen asing yang spesifik, hal ini menyebabkan
bayi rentan terhadap infeksi jamur dan virus, meningkatnya jumlah sel T supresor, dapat
mengurangi produksi antibodi sewaktu antenatal.
• Sel limfosit B dalam makrofag membelah menjadi sel memori atau menjadi sel plasma yang
menghasilkan antibodi.(9)

2. Sistem Imunitas Humoral


Kadar IgG pada neonatus tergantung dari transport aktif melalui plasenta oleh karena semua tipe
IgG dari ibu dapat ditransport ke janin sedangkan IgM, IgA dan IgE tidak melalui plasenta,
karena itu pada neonatus jumlahnya kurang. Antibodi yang ditransfer ke janin, akan menjadi
pelindung terhadap infeksi spesifik yang pernah diderita ibu sebelumnya. Secara kuantitatif,
jumlah IgG jelas kurang pada bayi berat lahir sangat rendah, karena sebagian besar IgG
ditransfer melalui plasenta sesudah 32 minggu kehamilan; maka jumlah IgG pada bayi kurang
14
bulan sangat rendah dibanding bayi cukup bulan. Jumlah ini berkurang pada beberapa bulan
pertama sesudah lahir, keadaan ini disebut hipoimunoglobinemia fisiologis pascanatal. Hal inilah
yang merupakan faktor risiko terjadinya infeksi nosokomial pada masa neonatal, terutama untuk
bayi berat lahir sangat rendah atau bayi kurang bulan.(9)

DIAGNOSIS

Manifestasi klinik
Gambaran klinis sepsis neonatorum tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang ditemukan pada
anak jarang ditemukan pada neonates, namun keterlambatan dalam menegakkan diagnosis dapat
berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis yang terlihat sangat berhubungan dengan
karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh terhadap masuknya kuman. Berdasarkan
penelitian, hanya sekitar 10% bayi yang pada darahnya ditemukan bakteri atau mikroorganisme
lain akan mengalami demam, lebih banyak suhu tubuhnya normal atau malah rendah.(7)
Janin yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia dan
memerlukan resusitasi karrena nilai apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak lemah dan
gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan kadang-kadang hiperglikemia.
Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi oran tubuh. Selain itu, terdapat
kelainan susunan saraf pusat (letargi, reflex hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang
terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan kardiovaskular
(hipotensi, pucat, sianosis, dingin dan clummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan
hematologic, gastrointestinal ataupun ggangguan respirasi (perdarahan, ikhterus, muntah, diare,
disttensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipnea,
apnena, merintih dan retraksi).(6,7)
Diagnosis dini sepsis ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan terapi diberikan tanpa
menunggu hasil kultur. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak spesifik dengan diagnosis
banding yang sangat luas, termasuk gangguan napas, penyakit metabolik, penyakit hematologik,
penyakit susunan syaraf pusat, penyakit jantung, dan proses penyakit infeksi lainnya (misalnya
infeksi TORCH = toksoplasma, rubela, sitomegalo virus, herpes).(6)

Bayi yang diduga menderita sepsis bila terdapat gejala:


15
• Letargi, iritabel,
• Tampak sakit,
• Kulit berubah warna keabu-abuan, gangguan perfusi, sianosis, pucat, kulit bintik-bintik tidak
rata, petekie, ruam, sklerema atau ikterik,
• Suhu tidak stabil demam atau hipotermi,
• Perubahan metabolik hipoglikemi atau hiperglikemi, asidosis metabolik,
• Gejala gangguan kardiopulmonal gangguan pernapasan (merintih, napas cuping hidung,
retraksi, takipnu), apnu dalam 24 jam pertama atau tiba-tiba, takikardi, atau hipotensi (biasanya
timbul lambat),
• Gejala gastrointestinal: toleransi minum yang buruk, muntah, diare, kembung dengan atau
tanpa adanya bowel loop.(8)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

• Hematologi
Darah rutin, termasuk kadar hemoglobin Hb, hematokrit Ht, leukosit dan hitung jenis, trombosit.
Pada umumnya terdapat neutropeni PMN <1800/l, trombositopeni <150.000/l (spesifisitas
tinggi, sensitivitas rendah), neutrofil muda meningkat >1500/l, rasio neutrofil imatur : total
>0,2. Adanya reaktan fase akut yaitu CRP (konsentrasi tertinggi dilaporkan pada infeksi bakteri,
kenaikan sedang didapatkan pada kondisi infeksi kronik), LED, GCSF (granulocyte
colonystimulating factor), sitokin IL-1ß, IL-6 dan TNF (tumour necrosis factor).
• Biakan darah atau cairan tubuh lainnya (cairan serebrospinalis) serta uji resistensi, pelaksanaan
pungsi lumbal masih kontroversi, dianjurkan dilakukan pada bayi yang menderita kejang,
kesadaran menurun, klinis sakit tampak makin berat dan kultur darah positip.
• Bila ada indikasi, dapat dilakukan biakan tinja dan urin.
• Pemeriksaan apusan Gram dari bahan darah maupun cairan liquor, serta urin.
• Lain-lain misalnya bilirubin, gula darah, dan elektrolit (natrium, kalium).(4)

PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Pemeriksaan radiologi yang diperlukan ialah foto dada, abdomen atas indikasi, dan ginjal.
Pemeriksaan USG ginjal, skaning ginjal, sistouretrografi dilakukan atas indikasi.
16
PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN
Pemeriksaan plasenta dan selaput janin dapat menunjukkan adanya korioamnionitis, yang
merupakan potensi terjadinya infeksi pada neonatus.(5)

PROKALSITONIN SEBAGAI MARKER SEPSIS PADA NEONATUS


Dalam penegakan diagnosis sepsis pada neonates dapat digunakan pemeriksaan labboratorium
untuk mengetahui adanya proses inflamasi seperti jumlah leukosit, laju endap darah, C-reaktif
protein (CRP), tumor nekrosis a, dan interleukin 1 dan 6. Akan tetapi pemeriksaan tersebut tidak
terlalu spesifik, karena sulit membedakan sepsis pada neonates dengan SIRS pada bayi neonatus
yang dirawat di ruang perinatologi atau diruang Neonatal Intensif Care Unit (NICU) dalam
waktu yang cepat, karena harus menunggu hasil kultur darah selama beberapa hari, sementara
pasien harus mendapat pengobatan yang tepat dalam waktu yang segera dan hasil kultur darah
posituf bias juga karena factor kontaminasi dan hasil kultur darah positif bias juga karena factor
kontaminasi dan hasil kultur darah negative belum tentu menyingkirkan sepsis.
Oleh karena pengukuran secara klinis dan laboratorium yang kurang sensitive dan
spesifik, diperlukan tes yang dapat membedakan antara inflamasi karena infeksi dan inflamasi
karena non-infeksi. Akhir-akhir ini telah dikembangkan tes baru untuk mendeteksi inflamasi
yaitu prokalsitonin. Tes ini banyak dipakai untuk membedakan antara SIRS dan sepsis.
Prokalsitonin merupakan pemeriksaan yang dapat menegakkan diagnose infeksi bakteri akut.
Selain itu pemeriksaan ini dapat pula digunakan untuk memantau hasil pengobatan. (3)
Prokalsitonin dikenal sebagai protein yang dirangsang oleh inflamasi ditemukan sejak
tahun 1993. Sejak saat itu penelitian yang menunjukkan peningkatan protein ini pada plasma
yang berhubungan dengan infeksi berat, sepsis dan syok septic. Prokalsitonin juga dapat
membantu dalam diagnose banding penyakit infeksi atau bukan, menilai keparahan sepsis dan
juga respon pengobatan.
Prokalsitonin (PCT) adalah prekusor kalsitonin yang terdiri dari 116 asam amino yang
disekresi oleh sel C dari kelenjar tiroid. Prokalsitonin mempunyai berat molekul 13 kDa protein
yang disandi oleh gen CALC-1 di lengan pendek kromosom 11. Secara normal semua
prokalsitonin dipecah dalam tiroid menjadi calsitonin. (3,4,5)

17
Pada keadaan normal kadar prokalsitonin meningkat pada kasus septicemia, meningitis,
pneumonia dan infeksi saluran kemih dan sangat sensitive sebagai penanda infeksi bakteri.
Pelepasan prokalsitonin kedalam sirkulasi dalam kepekatan besar dalam berbagai keadaan
penyakit tidak disertai dengan peningkatan kadar calcitonin secara bermakna.
Pemeriksaan prokalsitonin sangat bermanfaat dan lebih baik dari marker inflamasi
lainnya, seperti Tumor nekrosis factor a, interleukin 6, interleukin 1 dan CRP dalam hal
memprediksi prognosis pada pasien penyakit kritis. Pengukuran prokalsitonin secara berkala
dapat digunakan untuk memonittor perjalanan penyakit dan sebagai tindak lanjut (monitoring)
dari terapi pada semua infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Peningkatan nilai prokalsitonin atau
nilai yang tetap konsisten tinggi menunjukkan aktivitas penyakit yang berkelanjutan. Penurunan
nilai prokalsitonin menunjukan menurunnya reaksi inflamasi ddan terjadi penyembuhan infeksi.
Pada keadaan fisiologis, kadar prokalsitonin rendah bahkan tidak dijumpai tetapi akan
meningkat bila terjadi bakteriemia dan fungimia yang timbul sesuai dengan beratnya infeksi.
Tetapi pada temuan beberapa peneliti penningkatan prokalsitonin terdapat juga pada keadaan
bukan infeksi, selain itu juga prokalsitonin merupakan pengukuran yang lebih sensitive
dibandingkan dengan beberapa uji laboratorik lain, misalnya laju endap darah, perhitungan
leukosit dan C reaktif protein sebagai sarana bantu diagnosis sepsis bakteri pada anak. (2,3,4,5)

18
Prokalsitonin diinduksi oleh endotoksin yang dihasilkan bakteri selama infeksi sistemik. Infeksi
yang dihasilkan bakteri selama infeksi sistemik. Infeksi yang disebabkan protozoa, infeksi non-
bakteri (virus) dan penyakit autoimun tidak menginduksi prokalsitonin. Kadar prokalsitonin
muncul cepat dalam 2 jam setelah rangsangan, puncaknya setelah 12 sammpai 48 jam dan secara
perlahan menurun dalam 48 jam sampai 72 jam, sedangkan CRP tidak terdapat dalam 6 jam.(3)

Prokalsitonin juga dapat digunakan untuk pemantauan pengobatan disamping sebagai


penanda sepsis awal, hal ini sesuai dengan penelitian di Jerman tahun 2010yang melakukan
pemantauan pengobatan terhadap pasien neonatus dan menjadi rujukan untuk pemakaian dan
penghentian terapi antibiotika pada neonatus sepsis.(4,5)

Pemeriksaan prokalsitonin merupakan suatu tes imunologi yyang pada mulanya


pengukuran prokalsitonin hanya dimungkinkan di laboratorium khusus, dimana hasilnya
diperoleh jauh lebih lama. Belakangan ini sebuah alat tes Cobas 601 (Cobas 6000) merupakan
suatu alat tes untuk mendeteksi kadar prokalsitonin. Prokalsitonin dapat diukur secara cepat dan
tepat, dengan menggunakan serum yang diperoleh dari sampel darah yang telah disentrifugasi.(5)

19
Tatalaksana
1. Pencegahan dilakukan dengan memperhatikan pemakaian jarum atau alat tajam lainnya sekali
pakai. Pemakaian proteksi di setiap tindakan, termasuk sarung tangan, masker, baju, kacamata
debu. Tangan dan kulit yang terkena darah atau cairan tubuh lainnya segera dicuci.
2. Pengobatan
Penisilin atau derivat biasanya ampisilin 100mg/ kg/24jam intravena tiap 12 jam, apabila terjadi
meningitis untuk umur 0-7 hari 100-200mg/kg/ 24jam intravena/intramuskular tiap 12 jam, umur
>7 hari 200-300mg/kg/24jam intravena/ intramuskular tiap 6-8 jam, maksimum 400mg/
kg/24jam. Ampisilin sodium/sulbaktam sodium (Unasyn), dosis sama dengan ampisilin ditambah
aminoglikosid 5mg/kg/24jam intravena diberikan tiap 12 jam.(8)

Pada sepsis nosokomial, sebaiknya diberikan vankomisin dengan dosis tergantung umur dan
berat badan:
• <1,2kg umur 0-4 minggu: 15mg/kg/kali tiap 24jam. 1,2-2kg umur 0-7 hari: 15mg/kg/kali tiap
12-18jam
• 1,2-2kg umur >7 hari: 15mg/kg/kali tiap 8-12jam
• >2kg umur 0-7 hari: 15mg/kg/kali tiap 12jam

20
• >2kg umur >7 hari: 15mg/kg/kali tiap 8jam ditambah aminoglikosid atau sefalosporin generasi
ketiga
3. Terapi lanjutan disesuaikan dengan hasil biakan dan uji resistensi.
4. Pengobatan komplikasi
- Pernapasan: kebutuhan oksigen meningkat, yang harus dipenuhi dengan pemberian oksigen,
VTP atau kemudian dengan ventilator.
- Kardiovaskular: menunjang tekanan darah dan perfusi jaringan, mencegah syok dengan
pemberian volume ekspander 10-20ml/kg (NaCl 0,9%, albumin dan darah). Catat pemasukan
cairan dan pengeluaran urin. Kadang diperlukan pemakaian dopamin atau dobutamin.
- Hematologi: untuk DIC (trombositopeni, protrombin time memanjang, tromboplastin time
meningkat), sebaiknya diberikan FFP10ml/kg, vit K, suspensi trombosit, dan kemungkinan
transfusi tukar. Apabila terjadi neutropeni, diberikan transfusi neutrofil
- Susunan syaraf pusat: bila kejang beri fenobarbital (20mg/kg loading dose) dan monitor
timbulnya sindrom inappropriate antidiuretic hormon atau SIADH, ditandai dengan ekskresi
urin turun, hiponatremi, osmolaritas serum turun, naiknya berat jenis urin dan osmolaritas.
- Metabolik: monitor dan terapi hipo dan hiperglikemia. Koreksi asidosis metabolik
dengan bikarbonat dan cairan. Pada saat ini imunoterapi telah berkembang sangat pesat dengan
diketemukannya berbagai jenis globulin hiperimun, antibodi monoklonal untuk pathogen spesifik
penyebab sepsis neonatal.(7,8)

BAB III
KESIMPULAN

21
Sepsis pada bayi baru lahir adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasif dan ditandai
dengan ditemukannya mikroorganisme dalam cairan tubuh seperti darah, cairan sumsum tulang
atau air kemih.
Keadaan ini sering terjadi pada bayi beresiko misalnya pada Bayi Kurang Bulan (BKB),
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), bayi dengan Sindrom Gangguan Napas atau bayi yang lahir
dari ibu beresiko.
Sepsis neonatal adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai bakteremia yang terjadi
pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan. Angka kematian 13-50%, terutama pada bayi
prematur (5-10 kali kejadian pada neonatus cukup bulan) dan neonatus dengan penyakit berat
dini. Infeksi nosokomial pada bayi berat lahir sangat rendah, merupakan penyebab utama
tingginya kematian pada umur setelah 5 hari kehidupan.(2,3,7)

DAFTAR PUSTAKA

1. Gomella TL. Neonatology. Penyunting 4th ed. Connecticut: Appleton & Lange
2009:h.408-14.

22
2. Isaacs D, Moxom ER. Neonatal infection. Penyunting Oxford: Butterworth Heinemann
2001:h.25-39.
3. Korones SB, Bada-Ellzey HS. Neonatal decision making. Penyunting 2nd ed. Missouri:
Mosby Year Book 2003:h.104-11.
4. Neonatal sepsis and IVIG. http://www.ucs.mun.ca/ ~skhoury/ivig.html.
5. Polin RA, Yoder MC, Burg FD. Practical neonatology. Penyunting, 2nd ed. Philadelphia:
WB Saunders Company 2003:h.227-49.
6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, Fak. Kedokteran UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak jilid 3 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005:h.1123-31
7. Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, dkk. Buku Ajar Neonatologi. 1st Ed. Ikatan
Dokter Anak Indonesia 2008: h. 170-187
8. Pusponegoro TS, Sari Pediatri, Vol. 2, No. 2, Agustus 2000: 96 -102
9. Arvin BK, Nelson Ilmu Kesehatan Anak Vol 2, 15th Ed. ECG. 2000: h.868-872

23

Anda mungkin juga menyukai