Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

SINDROME NEFROTIK
Penyaji : Vani Wulan Dari
Pembimbing : dr. Hj. Lili Rahmawati, Sp.A, IBCLC
Hari/Tanggal : Jumat, 31 Juli 2020

Pendahuluan
Sindrom nefrotik (SN) merupakan kelainan ginjal terbanyak dijumpai pada
anak, dengan angka kejadian 15 kali lebih banyak dibandingkan orang dewasa.
Sebagian besar anak SN merupakan tipe sensitif terhadap pengobatan steroid yang
dimasukkan sebagai kelainan minimal. Gambaran klinis SN ditandai dengan
proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema dan hiperlipidemia.2
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun,1 dengan
prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang
insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada
anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan
2:1.8
Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder
mengikuti penyakit sistemik, antara lain lupus eritematosus sistemik (LES),
purpura Henoch Schonlein, dan lain lain.3 Pasien SN biasanya datang dengan
edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan
edema genitalia. Kadang-kadang disertai oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan
berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut, hati-hati terhadap kemungkinan
terjadinya peritonitis atau hipovolemia. Dalam laporan ISKDC (International
Study for Kidney Diseases in Children), pada sindrom nefrotik kelainan minimal
(SNKM) ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik, 15- 20% disertai
hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang
bersifat sementara.1
Sindrom nefrotik yang paling banyak dijumpai pada anak (usia 2-14 tahun)
adalah sindrom nefrotik primer, yaitu jenis Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal

1
(SNKM) yang mencapai 85%. Pada anak usia kurang dari 2 tahun, jenis sindrom
nefrotik berkaitan dengan sindrom nefrotik kongenital, sedangkan anak usia lebih
dari 14 tahun berkaitan dengan penyakit ginjal sekunder. Namun, pada umumnya
klasifikasi yang sering digunakan adalah berdasarkan respon terapiterhadap steroid
yaitu Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid (SNSS) dan Sindrom Nefrotik Resisten
Steroid (SNRS).1
Respons terhadap pengobatan steroid merupakan indikator penting untuk
prognosis sindrom nefrotik. Walaupun persentase SNRS relatif kecil tetapi 50%
penderita SNRS ini akan berkembang menjadi gagal ginjal terminal dalam waktu
1-4 tahun. SNRS merupakan salah satu penyebab gagal ginjal terminal yang sukar
diatasi pada penderita berumur kurang 20 tahun. Pengobatan SNRS merupakan
tantangan dan diperlukan penanganan oleh konsultan ginjal anak. 9

Refarat ini bertujuan memaparkan definisi, etiologi, epidemiologi,


klasifikasi, patogenesis, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis,
komplikasi, batasan dan tatalaksana dari sindrome nefrotik.

Definisi

Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis dengan gejala proteinuria masif


(≥40mg/m 2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 atau
dipstik ≥2+), hipoalbuminemia (≤2,5g/dL), edem, dan hiperkolesterolemia.
Kadang-kadang gejala disertai dengan hematuria,hipertensi, dan peurunan fungsi
ginjal. Angka kejadian bervariasi antara 2-7 per 100.000 anak, dan lebih banyak
pada anak laki-laki dari pada perempuan dengan perbandingan 2:1. 11
Sifat khusus penyakit ini adalah sering kambuh, sering gagalnya pengobatan
dan timbul penyulit, baik akibat penyakitnya sendiri maupun oleh karena akibat
pengobatannya. Penyulit yang sering terjadi pada sindrom nefrotik adalah infeksi,
trombosis, gagal ginjal akut, malnutrisi, gangguan pertumbuhan, hiperlipidemia,
anemia.2
Sindrom nefrotik dapat dibedakan menjadi sindrom nefrotik kongenital,
sindrom nefrotik primer, dan sindrom nefrotik sekunder. Pada umumnya sebagian
besar (±80%) sindrom nefrotik primer memberi respon yang baik terhadap

2
pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% diantaranya akan relaps dan
sekitar 10% tidak memberi respon lagi dengan pengobatan steroid. 6

Etiologi

Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan


sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung, akibat obat atau
toksin dan akibat penyakit sistemik. Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering
dijumpai misalnya pada glomerulonefritis pasca infeksi streptococcus atau infeksi
virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat anti inflamasi non-steroid atau preparat
emas organik, dan akibat penyakit sistemik misalnya lupus eritematosus sistemik
dan diabetes melitus.
Sindrom nefrotik juga bisa disebabkan oleh kelainan genetik. Sindrom
nefrotik kongenital (hadir sejak lahir hingga usia 3 bulan) telah dikaitkan dengan
kelainan pada gen nephrin (NPHS1), fosfolipase C epsilon 1 gen (PLCE1), dan gen
supresor tumor Wilms. Selain itu, sindrom genetik lainnya telah dikaitkan dengan
sindrom nefrotik, seperti sindrom Nail-patella, sindrom Pierson, Schimke
immuno-osseus displasia, dan lain-lain.3

Epidemiologi

Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan
prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang
insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada
anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan
2:1.3

Klasifikasi

Klasifikasi yang dianjurkan oleh studi internasional mengenai penyakit ginjal


pada anak/ International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) didasarkan
pada gambaran histopatologi hasil penemuan biopsi dan temuan klinis pada SN
3
dengan kelainan glomerulus primer seperti yang tertera di bawah ini : 8

1. kelainan minimal (SNKM)


2. Glomerulosklerosis (GS)
a. Glomrulosklerosis fokal segmental (GSFS)
b. Glomeru losklerosis fokal global (GSFG)
3. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
4. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus esudatif
5. Glomerulonefritis kresentik (GNK)
6. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
a. GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
b. GNMP tipe II dengan deposit intramembran
c. GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
7. Glomerulonefritis membranosa (GM)
8. Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Selain itu terdapat klasifikasi lain yang didasarkan pada respons terhadap
pengobatan steroid lebih sering digunakan untuk menentukan prognosis
dibandingkan klasifikasi berdasarkan patologi anatomi. Kelompok klasifikasi
respons klinik steroid yang termasuk dalam SN primer idiopatik antara lain:

1. SN Sensitif Steroid
2. SN Resisten Steroid

Patogenesis
Mekanisme patogenesis yang dianggap terjadi pada SN dapat dibagi menjadi
3 kelompok besar yaitu, (1) akibat proses imunologis dengan faktor lingkungan
serta endogen yang berperan sebagai faktor pencetus dan risiko yang memperberat
kelainan glomerulus, (2) akibat kelainan biokimiawi, biasa pada kelainan
kongenital seperti gangguan metabolism protein, lipid, dan karbohidrat yang
diturunkan secara genetic, (3) akibat kelainan hemodinamik yang mengganggu
integritas sirkulasi kapiler glomerulus.8
Pada dasarnya ketiga proses tersebut menimbulkan gangguan integritas
fungsi kapiler glomerulus sehingga menyebabkan gangguan sawar selektif
4
terhadap muatannya, besarnya molekul menimbulkan gejala proteinuria. Faktor
lingkungan seperti infeksi atau konsumsi obat-obatan tertentu dapat berperan
sebagai pencetus dan ikut menimbulkan kelainan glomerulus. Sementara faktor-
faktor endogen seperti autoantibodi, kompleks imun bersirkulasi, fragmen
komplemen reaktif dan protein koagulan dapat berperan sebagai faktor pencetus
serta berperan dalam menentukan karakter, luasnya dan waktu terjadi kelainan.
Mengenai proses imunologis dapat disebutkan bahwa leukosit polimorfonukleus,
monosit, limfosit B, trombosit, aktivitas jalur komplemen klasik dan alternatif,
koagulasi, prostaglandin, kinin, angiotensin II, histamin, fakto agregasi trombosit,
interferon, interleukin, dan metabolit oksigen toksik, semua ikut menentukan
timbulnya gejala pada kelainan.8

Pada saat ini patogenesis dasar timbulnya SN yang banyak dipakai ialah
terutama berdasarkan kelainan imunologis. Mekanisme reaksi antibodi antigen
glomerulus endogen yang ditemukan pada membrane basal dan membentuk
deposit linier atau granuler bergantung pada distribusi local merupakan proses yang
mempunyai dasar patogenesis penting. Antigen yang ditemukan mengendap pada
membrane basal tersebut bukan berasal dari jaringan ginjal itu sendiri (antigen
nonrenal). Deposit granuler pada kerusakan glomerulus jenis kompleks imun
sebenarnya merupakan hasil reaksi in situ antara antibodi dan antigen non- renal
yang terikat pada permukaan glomerulus bukan karena terperangkapnya kompleks
imun yang ditemukan pada sirkulasi. Beberapa faktor yang berperan dalam
mekanisme tersebut ialah besarnya ukuran kompleks imun, muatan sawar
glomerulus, dan perbedaan daya difusi. 8

Patofisiologi

1. Hipoalbuminemia
Jumlah albumin ditemukan oleh proses sintesis oleh hepar dan pengeluaran dari
akibat degradasi metabolic, eksresi renal dan gastrointestinal. Pada anak dengan SN
biasanya terdapat hubungan terbalik antara laju ekskresi protein urin dengan derajat
hiperalbuminemia.8
Meningkatnya katabolisme albumin di tubulus renal dan menurunnya katabolisme
ekstrarenal dapat menyebkan keadaann laju katabolisme absolut yang normal atau
5
menurun. Jadi pada keadaan hipoalbuminemia menetap, konsentrasi plasma tyang
rendah tampaknya disebabkan oleh meningkatnya ekskresi albumin dalam urin dan
meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin (terutama disebabkan karena
peningkatan degradasi di dalam tubulus renal) yang melampaui daya sintesis hati. 2

2. Proteinuria
Proteinuria merupakan salah satu kelainan utama pada SN. Secara klinis merupakan
kelainan yang paling penting dalam penegakan diagnosis SN, oleh karena itu
proteinuria pada SN dinyatakan “berat” untuk membedakannya dengan kelainan
proteinuria lain yang bukan disebabkan oleh SN. Proteinuria berat telah ditetapkan
dengan batasan >40 mg/m2LPB/jam.8
3. Edema
Terdapat beberapa teori yang dianggap dapat menjelaskan mekanisme timbulnya
edema pada SN, yaitu underfiled theory dan overfilled theory. Karena proses
pembentukan edema bersifat dinamis memungkinkan kedua proses dari dua teori
berbeda berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang
sama. Hal ini disebabkan karena kelainan glomerulus dapat timbul akibat lebih dari
satu rangsangan.8
4. Kelainan metabolisme lemak
Pada pasien SN primer timbul hiperkolestrolemia dan hyperlipidemia terutama
pada tipe kelainan SNKM. Umumnya terdapat korelasi terbalik antara konsentrasi
albumin serum dan kolesterol. Sementara kadar trigliserida lebih bervariasi bahkan
dapat normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan. Pada pasien SN
konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah (LDL) meningkat, dan terkadang
sangat mencolok. Sementara lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal
meskipun rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol total tetap rendah.
Hyperlipidemia dapat disebabkan akibat sintesis yang meningkat atau degradasi
yang menurun. Bukti dapat menjelaskan kedua proses abnormal tersebut
meningkatnya sintesis lipoprotein di hati, akan diikuti oleh peningkatan produksi
albumin secara sekunder melalui jalur yang berdekatan. Namun peningkatan kadar
lipid juga dapat terjadi pada kondisi laju sintesis albumin yang normal. Sementara
penurunan degradasi dapat terjadi akibat menurunnya aktivitas lipase lipoprotein
secara sekunder yang disebabkan hilangnya α-glikoprotein asam sebagai stimulant
lipase. Pada dasarnya bila albumin serum kembali normal maka seharusnya
6
kelainan lipid dapat kembali normal. Lipid dapat juga ditemukan dalam urin
berbentuk titik lemak oval dan maltese cross.8

Manifestasi klinis
Sindrom nefrotik idiopatik lebih sering terjadi pada anak laki-laki dari pada
anak perempuan (2: 1) dan paling sering muncul antara usia 2 dan 6. Sindrom
nefrotik kelainan minimal (SNKM) terjadi pada 85% hingga 90% pasien dibawah
usia 6 tahun. Sebaliknya, hanya 20% hingga 30% dari remaja yang tampil untuk
pertama kalinya dengan sindrom nefrotik memiliki SNKM. Penyebab yang lebih
umum dari sindrom nefrotik idiopatik pada kelompok usia yang lebih tua adalah
glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS). Insidensi GSFS dapat meningkat,
mungkin lebih umum pada pasien Afrika-Amerika, Hispanik, dan Asia.3
Anak-anak biasanya tampil dengan edema ringan, yang awalnya terdapat di
sekitar mata dan di ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik awalnya dapat disalah
diagnosis sebagai gangguan alergi karena adanya pembengkakan periorbital yang
menurun sepanjang hari. Dengan waktu, edema menjadi generalisasi, dengan
adanya perkembangan asites, efusi pleura, dan edema genital. Anoreksia,
iritabilitas, nyeri abdomen, dan diare adalah gejala umum. Fitur penting dari
sindrom nefrotik idiopatik kelainan minimal adalah ketiadaan hipertensi dan gross
hematuria (sebelumnya disebut fitur nephritik). 3

Gambaran klinis SNRS hampir sama dengan sindrom nefrotik pada


umumnya. Penyakit ini dapat terjadi pada usia pertama kehidupan, namun biasanya
bermula pada usia 2-7 tahun dengan rasio laki-laki : perempuan adalah 2:1, namun
pada SNRS bisa terjadi lebih awal dalam 0-3 bulan pertama kehidupan. (sindrom
nefrotik kongenital tipe Finnish). Onset tiba-tiba, dengan keluhan utama adalah
edema dan terlihat jelas bila retensi cairan mencapai 3-5% dari berat badan. Edema
tergantung gaya gravitasi, berlokasi pada extremitas bawah saat posisi tegak dan
berlokasi pada bagian dorsal tubuh saat posisi berbaring. Edema ini teraba lembut,
pitting, dan meninggalkan bekas tekanan jari atau pakaian. Pada mata akan tampak
edema periorbita. Hal yang bisa ditemukan adalah: edema anasarka disertai asites,
efusi pleural atau perikardial, distensi abdomen, sesak napas, edema skrotal dan
penis (pada anak laki-laki) atau edema labia (pada anak perempuan). Nyeri
abdomen dan malaise bisa menyertai gejala asites, tapi juga bisa menjadi tanda

7
komplikasi peritonitis, thrombosis, atau pankreatitis (jarang). Syok dapat terjadi
disebabkan hipoalbuminemia. Pada SNRS tekanan darah biasanya meningkat. 4

Gambar 2.1 Gejala klinis Sindrom Nefrotik

Diagnosis
Diagnosis SN ditegakkan berdasarkan empat gejala klinis yang khas, yaitu: 5
• Proteinuria masif, di dalam urin dijumpai protein ≥ 40 mg/m2 LPB/jam
• Hipoalbuminemia, (albumin serum < 2.5 g/dL). Kadar normal albumin plasma
pada anak gizi baik berkisar antara 3.6-4.4 g/dL. Pada SN retensi cairan dan
sembab baru akan terlihat bila kadar albumin plasma turun di bawah 2.5-3.0 g/dL,
bahkan sering dijumpai kadar albumin plasma yang jauh di bawah kadar tersebut.
lpb/jam atau > 50 mg/kgBB/24 jam atau rasio albumin kreatinin pada urin sewaktu
> 2 mg/mg atau dipstick ≥ +2. Protein yang ditemukan di urin terutama adalah
albumin

8
• Edema
• Dapat disertai hiperlipidemia (serum kolesterol > 200 mg/dL)

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain: 5


• Urinalisis dan bila perlu kultur urin
• Protein urin kualitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada
urin
• Pemeriksaan darah: darah tepi (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, hematokrit
dan LED), kadar albumin dan kolesterol plasma, kadar ureum, kreatinin serta
klirens kreatinin dengan rumus Schwartz, titer ASTO dan kadar komplemen C3
bila terdapat hematuria mikroskopis persisten dan bila curiga SLE maka
diperiksa C4, ANA test dan anti dsDNA.

Gambaran klinis dan laboratoris dapat mendukung diagnosis SNRS karena hasil
penelitian menunjukkan kaitannya dengan bentuk histopatologis. Sekitar 80- 90%
bentuk histopatologi kelainan non minimal berupa SNRS. Pada SNRS tekanan
darah biasanya meningkat. SNRS dengan mutasi gen NPHS2 menunjukkan
manifestasi klinis yang lebih berat daripada SNRS tanpa mutasi gen NPHS2.
Manifestasi klinis tersebut meliputi saat usia serangan pertama menjadi lebih awal,
terjadinya gagal ginjal kronik lebih cepat yang dicerminkan oleh peningkatan kadar
kreatinin serum, gangguan pertumbuhan, serta manifestasi lainnya karena
kerusakan ginjal berupa peningkatan tekanan darah dan hematuria. Pada penelitian
SNRS dengan mutasi gen NPHS2 (412C→T, 419delG) menunjukkan tidak
didapatkan adanya perbedaan manifestasi klinis antara SNRS dengan mutasi gen
tersebut dan SNRS tanpa mutasi gen, kecuali kadar kreatinin serum pada penderita
SNRS dengan mutasi gen 412 C→T lebih tinggi.

Pemeriksaan Histopatologis
Gambaran histopatologi dari SNRS dapat berupa kelainan minimal (MCD),
mesangial proliferatif glomerulonefritis (MesPGN), fokal segmental
glomerulosklerosis (FSGS), ataupun kelainan histopatologi lainnya. 7
Kelainan histopatologis berhubungan dengan respons sindrom nefrotik
terhadap pengobatan steroid karena sebagian besar SN lesi minimal memberikan
respons yang baik terhadap pengobatan steroid, maka SN lesi minimal sering
9
disamakan dengan SN sensitif steroid, sedangkan sindrom nefrotik kelainan non-
minimal disamakan dengan SNRS. Respons terhadap pengobatan steroid bisa
menentukan prognosis fungsi ginjalnya. Penderita SNSS umumnya tidak akan
mengalami gangguan fungsi ginjal di kemudian hari, sebaliknya anakanak SNRS
dalam jangka panjang akan mengalami gangguan fungsi ginjal sampai gagal ginjal
terminal.4
Pada pemeriksaan histopatologis ginjal pada penderita SNRS dapat
ditemukan berbagai pola morfologi yaitu lesi minimal/minimal change disease dan
lesi non- minimal seperti proliferasi difus mesangial/diffuse mesangial
proliferation, FSGS (focal segmental glomerulosclerosis), mesangioproliferatif
glomerulonefritis (MPGN) dan membranous glomerulonephritis (MGN). Sebagian
besar sindrom nefrotik pada anak (75%) menunjukkan gambaran lesi minimal dan
FSGS. Sebagian besar penderita SNRS dengan biopsi ginjal pertama menunjukkan
lesi minimal, setelah pengamatan dan biopsi selanjutnya menunjukkan perubahan
morfologi menjadi FSGS.4

Komplikasi

Terdapat beberapa komplikasi sindrom nefrotik, yaitu: 10

a. Hiperlipidemia dan lipiduria

b. Hiperkoagulasi
c. Gangguan metabolisme kalsium dan tulang
d. Infeksi
e. Gangguan fungsi ginjal

Infeksi
Sindrom nefotik rentan terhadap infeksi. Pada edema, terdapat peningkatan
tekanan hidrostatik di interstitium yang menyebabkan penurunan perfusi
interstitium, sehingga mudah mengalami kerusakan kulit dan mengakibatkan
infeksi. Infeksi yang sering terjadi pada sindrom nefrotik adalah selulitis,
pneumonia, dan peritonitis. Infeksi virus dapat menjadi serius pada sindrom
nefrotik yang sedang mendapat kortikosteroid atau imunosupresan lain. 7
Selulitis diterapi dengan kloksasilin intravena 100- 200 mg/kgbb/hari atau

10
seftriakson 50-100 mg/kgbb/ hari yang dapat dilanjutkan dengan pemberian oral
kloksasilin (100 mg/kgbb/hari) atau ko-amoksiklav 30-40 mg/kgbb/hari atau
sefiksim 8 mg/kgbb/hari sehingga lama pemberian antibiotik 10 hari. 7
Peritonitis ditandai dengan nyeri abdomen, tenderness, diare, muntah, dan
pada cairan asites ditemukan > 100 leukosit/mm3 atau >50% neutrofil dalam cairan
asites. Pengobatan awal peritonitis adalah antibiotik broad spectrum intravena.
Hasil biakan negatif dapat terjadi karena jumlah bakteri yang sedikit. Pada
beberapa pasien dapat terjadi peritonitis berulang karena faktor risiko host spesifik.
Setelah memperoleh hasil biakan, antibiotik pilihan adalah antibiotik spektrum
sempit. Peritonitis diterapi dengan sefotaksim 100-150 mg/kgbb/hari atau
seftriakson 75-100 mg/kgbb/hari selama 7 hari.16 Upaya mencegah peritonitis
dilakukan dengan imunisasi dan antibiotik profilaksis.7
Infeksi virus respiratory syncytial virus (RSV), virus influenza,
parainfluenzae, virus varisela-zoster,dan adenovirus sering mencetuskan relaps,
sedangkan infeksi virus morbili dapat mencetuskan remisi. 7
Varisela merupakan infeksi virus yang serius pada sindrom nefrotik idiopatik
dan dapat mengancam jiwa terutama bagi anak yang mendapat kortikosteroid atau
imunosupresan lainnya. Pasien perlu menghindari kontak dengan penderita
varisela. Bila terjadi kontak, untuk mencegah timbulnya varisela, dapat diberikan
imunoglobulin varisela-zoster intravena 125 IU/10 kg atau 400 mg/kgbb dosis
tunggal dalam 96 jam setelah terpapar atau asiklovir sebagai pencegahan. Bila
sudah terjadi infeksi, pasien diterapi dengan asiklovir intravena 1,500 mg/m2
LPB/hari dibagi 3 dosis atau asiklovir oral 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama
7-10 hari, dan pemberian steroid dihentikan untuk sementara, atau diturunkan
menjadi 0,5 mg/kgbb/ hari atau lebih rendah selama infeksi.17 Kasus yang berat
memerlukan rawat inap dan diisolasi. Pasien dengan varisela memerlukan
pemantauan terhadap kejadian komplikasi selama sakit hingga 7-10 hari
sesudahnya.7
Terhadap sindrom nefrotik yang kontak dengan penderita campak, dapat
dipertimbangkan pemberian imunoglobulin spesifik campak, sedangkan asiklovir
tidak efektif. Infeksi jamur dapat timbul pada saat terapi steroid. Infeksi kulit atau
oral thrush karena jamur diterapi dengan flukonazol oral selama 10 hari. 7
Sindrom nefrotik dengan uji tuberkulin positif memerlukan profilaksis
11
antituberkulosis dengan isoniazid 5 mg/kgbb/hari atau rifampisin 10 mg/kgbb/ hari
selama 6 bulan pada strain yang resisten. Sindrom nefrotik disertai tuberkulosis
aktif memerlukan terapi antituberkulosis.7
Upaya mencegah infeksi dengan pemberian antibiotik profilaksis masih
kontroversi. Meskipun ada yang menganggap bahwa antibiotik profilaksis perlu
diberikan pada anak dengan risiko tinggi seperti umur < 2 tahun, sindrom nefrotik
resisten steroid dan relaps sering, dan anak yang pernah mengalami infeksi
pneumokokus, namun pemberian antibiotk profilaksis bukan merupakan tindakan
rutin atau standar pada sindrom nefrotik. Menurut American Academic of
Pediatrics, tidak ada data yang mendukung efikasi penisilin profilaksis untuk
mencegah peritonitis pada sindrom nefrotik idiopatik.7

Tabel 2.1 Tatalaksana Infeksi Pada Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid

Batasan

Terdapat beberapa batasan dalam sindrom nefrotik, yaitu: 1


 Remisi: proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/
jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu .
 Relaps: proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu .
 Relaps jarang: relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah

12
respons awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan .
 Relaps sering (frequent relaps): relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama
setelah respons awal atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun .
 Dependen steroid: relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid
diturunkan (alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan
dihentikan .
 Resisten steroid: tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis
penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu. .
 Sensitif steroid: remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh
selama 4 minggu

Tatalaksana

Gambar 2.2 Tatalaksana Sindrom Nefrotik

Tatalaksana Umum

Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit
dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. 1

Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan pemeriksaan


berikut:1
13
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch Schonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi
perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.

5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama
6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT). Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya
dilakukan bila terdapat edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi
muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu
dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila
edema tidak berat, anak boleh sekolah.

Dietetik
Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah
protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.1

Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada
pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit
kalium dan natrium darah.1
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat diberikan infus albumin

14
20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan
interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila
pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara
pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi
jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk
memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites
sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites
berulang.1

Gambar 2.3 Algoritma Pemberian Diuretik.

Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/ kgbb/ hari atau
total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais.
Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya
boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah
penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti
polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan
untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela.1
15
Pengobatan dengan kortikosteroid
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada
kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon. 1

A. Terapi inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi
steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison 60 mg/m2
LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari) dalam dosis terbagi, untuk
menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal
(berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial
diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan
dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5
mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila
setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien
dinyatakan sebagai resisten steroid (Gambar 2.4).1

B. Pengobatan SN relaps
Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 3, yaitu diberikan prednison
dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis
alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria
kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu
pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan
antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan
pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema,
maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan. 1

Gambar 2.4 Pengobatan Inisial Kortikosteroid

16
Gambar 2.5 Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps

C. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid


Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid: 1
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi,
radang telinga tengah, atau kecacingan.

D. Pengobatan SN dengan kontraindikasi steroid


Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid,
seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi
berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls.

Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis
tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8
minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang
dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA
puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi
pemberian CPA puls adalah 6 bulan). 1

E. Pengobatan SN resisten steroid


Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan.
Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi
ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi

17
anatomi mempengaruhi prognosis.1
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan
remisi.16 Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian
CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN
yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada
pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid)
atau menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin. Skema
pemberian CPA oral dan puls dapat dilihat pada Gambar 2.6.1
2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.18 Efek samping
CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan
juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh
karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap: 1
1. Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
2. Kadar kreatinin darah berkala
3. Biopsi ginjal setiap 2 tahun

Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam


literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang
atau sangat selektif.

Gambar 2.6. Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid.

18
Keterangan:
• Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan
• Prednison alternating dosis 40 mg/m2 LPB/hari selama pemberian siklofosfamid
oral. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1
bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2
bulan).
atau
• Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infus
satu kali sebulan selama 6 bulan yang dapat dilanjutkan tergantung keadaan pasien.

• Prednison alternating dosis 40 mg/m2 LPB/hari selama pemberian siklofosfamid


puls (6 bulan). Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari
selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering
off 2 bulan).

3. Metilprednisolon puls
Pengobatan SNRS dengan metil prednisolon puls selama 82 minggu + prednison
oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30
mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%,
diberikan dalam 2-4 jam 19 (Tabel 2.2).

Tabel 2.2 Protokol Metilprednisolon Dosis Tinggi

4. Obat imunosupresif lain


Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah

19
vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam
literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka
obat ini belum direkomendasi di Indonesia. Skema tata laksana sindrom
nefrotik selengkapnya seperti terlihat pada Gambar 2.1.

Pemberian Obat Non-Imunosupresif Untuk Mengurangi Proteinuria


Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor
blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara
kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui
penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus.
ACEI juga mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis
transforming growth factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor
(PAI)-1, keduanya merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya
glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan
kadarnya pada SNRS, berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun
dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang
sama dengan SNRS. Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian
kombinasi ACEI dan ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih
banyak.1
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan
untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan
dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan
adalah:1
1. Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5
mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/ kgbb dosis tunggal.
2. Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal.

Indikasi Rujuk

Sindrom nefrotik merupakan penyakit yang berstandar SKDI 2, sehingga


dokter umum wajib mengetahui cara menganamnesis pasien ke arah sangkaan
sindrom nefrotik. Selanjutnya dokter umum merujuk pasien ke dokter
spesialis anak.

20
Kesimpulan

Sindrom nefrotik adalah penyakit glomerulus yang ditandai dengan proteinuria masif
(≥40mg/m 2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 atau dipstik
≥2+), hipoalbuminemia (≤2,5g/dL), edema dan atau hiperkolesterolemia. Sindrom
nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering
ditemukan. Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan
sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung, akibat obat atau
toksin dan akibat penyakit sistemik. Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali,
sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan
evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan
edukasi orangtua.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Trihono P. Konsensus Tatalaksana Sindrome Nefrotik Idiopatik Pada


Anak. 2012;1.
2. Maharani LD. asuhan keperawatan pada anak dengan sindrom nefrotik.
2017;16–7.
3. Puteri NF. Insidensi Sindrom Nefrotik Inisial pada Anak di RSUP. H.
Adam Malik, Medan dari Tahun 2011 sampai 2012. 2016;1.
4. Rachmadi D. Sindrome Nefrotik Resisten Steroid (SNRS). 2008;4.
5. Faradilah H. Hubungan N-Acetyl-β-D Glucosaminidase urin dengan
proteinuria kualitatif pada anak dengan sindrom nefrotik. 2014.
6. Prabowo A. Nephrotic Syndrome In Children. 2014;2:10.

7. Pardede SO. Tata Laksana Non Imunosupresan Sindrom Nefrotik pada


Anak. 2017;56.
8. Akhir raharja indra nur. Diagnosis dan Tata Laksana Sindrom Nefrotik
Resisten Steroid. 2014;1.
9. Rachmadi D. Diagnosis dan Tata Laksana Sindrom Nefrotik Resisten
Steroid. 2013.
10. Kharisma Y. Tinjauan Umum Penyakit Sindrom Nefrotik. 2017.
11. Pudjiadi H. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009.

22

Anda mungkin juga menyukai