1
Intubasi mekanik dan ventilasi mekanik dapat diberikan pada pasien asma
yang tidak respons pengobatan dan mengalami gagal napas.6, 8 Insidensi pasien
asma yang dirawat di intensive care unit (ICU) sekitar 10% dan 2% terpasang
intubasi.9 Komplikasi dan mortalitas pasien asma yang dirawat di ICU dan
terpasang intubasi meningkat. Penulisan tinjauan kepustakaan ini bertujuan
mengetahui indikasi penggunaan ventilasi mekanik serta mengetahui strategi yang
tepat untuk mengurangi komplikasi dan morbiditas pada pasien asma yang
terpasang ventilasi mekanik.
2
DEFINISI ASMA
PATOGENESIS ASMA
3
Gambar 1. Inflamasi saluran napas pada pasien asma.
Dikutip dari (11)
Proses inflamasi pada asma dibagi menjadi inflamasi akut dan inflamasi
kronis. Inflamasi akut meliputi reaksi asma tipe cepat yang diikuti dengan reaksi
asma tipe lambat.5 Reaksi asma tipe cepat berkaitan dengan pelepasan histamin
dan mediator oleh sel mast yang dipicu oleh ikatan alergen dengan imunoglobulin-
E (IgE) yang di produksi oleh sel limfosit B yang diaktifkan oleh interleukin
(IL)-4 di permukaan sel mast.13 Histamin, leukotrien, dan prostaglandin
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus, dan vasodilatasi.
Reaksi asma tipe cepat ini berlangsung dalam beberapa menit.5, 13
Reaksi asma tipe lambat terjadi 6-13 jam setelah pajanan alergen melalui
T cell dependent mechanism yang melibatkan aktivasi eosinofil, sel T cluster
differentiation (CD4), neutrofil, makrofag, dan IL-13. Reaksi tipe lambat dapat
berlanjut menjadi inflamasi kronis yang lebih kompleks dimana kerusakan
jaringan diikuti dengan proses penyembuhan yaitu perbaikan dan pergantian sel
rusak dengan sel baru. Proses penyembuhan menghasilkan jaringan parut
sehingga terjadi perubahan struktur saluran napas atau airway remodelling.
Proses inflamasi pada patogenesis asma dijelaskan gambar dua.5, 14, 15
4
Gambar 2. Proses inflamasi pada patogenesis asma.
Keterangan: LTs = leukotriens; PGs = prostaglandins; IL =
interleukin; IgE = imunogolbulin E; NP = neuropeptide; NT =
neutrophine; CD4+ = cluster of differentiation 4+; Th2 = T helper 2
Dikutip dari (13)
Fibroblas, sel endotel, sel otot polos, dan sel epitel saluran napas
mensintesis serta melepaskan mediator inflamasi. Limfokin, sitokin
proinflamatori, sitokin inhibitor, growth factors, dan kemokin adalah sitokin yang
berperan dalam menstimulasi, mengingat, serta memperkuat responss inflamasi
saluran napas pada asma.11 Alergen masuk ke saluran napas mengenai mukosa
saluran napas ditangkap oleh sel dendritik sebagai antigen presenting cell (APC)
yang akan mengubah alergen menjadi peptida dan mempresentasikannya melalui
major histocompatibility complex (MHC) kelas I dan II untuk dikenali oleh reseptor
sel T. Sel dendritik yang terstimulus mensekresi beberapa kemokin antara lain
chemokine ligand (CCL)-17 dan CCL-22 yang akan berikatan dengan
chemokine receptor (CCR)-4 pada sel T helper 2 (Th2).11, 14
Sel Th2 menghasilkan IL-4 dan IL-13 yang akan menstimulasi sel B
untuk mensekresi Ig-E. Alergen berikatan dengan IgE melalui reseptor IgE
dependent mechanism (FcᶓRI) pada permukaan sel mast. Sel mast mengalami
degranulasi sehingga mengeluarkan histamin, protease, leukotrien, prostaglandin
dan platelet activating factor (PAF) yang menyebabkan kontraksi otot polos
5
bronkus. Sel Th2 menghasilkan IL-5 yang menstimulasi eosinofilik dan IL-9
yang merangsang proliferasi sel mast. Sel epitel saluran napas mensekresi CCL-
11 yang berikatan dengan CCR-3 dan menyebabkan sekresi eosinofil pada
saluran napas. Proses inflamasi dan patogenesis asma dijelaskan pada gambar tiga
berikut ini 4, 11, 13, 14
Gambar 3. Sel yang terlibat pada proses inflamasi dan imunopatogenesis asma
Keterangan: IgE = imunoglobulin E; B cell = sel limfosit B; IL =
interleukin; SCF = stem cell factor; TSLP = thymic stromal
lymphopoietin; CCL = chemokine ligand; CCR = chemokine
receptor; TH2 = sel T helper 2.
Dikutip dari (11)
FAKTOR RISIKO ASMA
Faktor risiko terjadinya asma dibagi menjadi dua yaitu faktor yang
menyebabkan perkembangan asma atau inducer dan yang memicu gejala asma
atau inciter, beberapa dapat berperan sebagai keduanya. Inducer meliputi faktor
pejamu seperti genetik, jenis kelamin dan obesitas. Inciter meliputi faktor
lingkungan seperti alergen, infeksi, pekerjaan, asap rokok, dan polusi udara.
Mekanisme yang mempengaruhi perkembangan dan manifestasi terjadinya asma
sangat kompleks.2, 10, 16 Faktor risiko asma dapat dilihat pada gambar empat.
6
Gambar 4. Faktor risiko asma
Dikutip dari (17)
MANIFESTASI KLINIS
Pasien dengan riwayat asma biasanya akan mengeluhkan gejala yang bersifat
episodik berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada, dan variabilitas yang
berkaitan dengan cuaca. Gejala kadang memburuk malam hari atau dini hari
dengan gejala bervariasi dalam intensitas dan waktu gejala diawali oleh faktor
pencetus yang bersifat individual. Pasien asma memiliki responss baik terhadap
pemberian bronkodilator. Riwayat lain yang perlu dipertimbangkan pada penyakit
asma antara lain riwayat atopi pada keluarga, riwayat alergi, penyakit yang
memberatkan, perkembangan penyakit, dan pengobatan.5, 10
DIAGNOSIS
Selain dari gejala yang dikeluhkan pasien berupa batuk, sesak napas, mengi,
rasa berat di dada, dan variabilitas yang berkaitan dengan cuaca, aktivitas dan
pencetus pencetus lainnya, dari pemeriksaan fisik pada pasien dengan riwayat asma
dapat ditemukan tanpa kelainan. Pada saat eksaserbasi, pemeriksaan fisik
7
auskultasi paru dapat terdengar wheezing terutama saat ekspirasi, tetapi pada
sebagian pasien, auskultasi dapat terdengar normal saat kondisi tidak dalam
serangan. Pada asma eksaserbasi terdapat kontraksi otot polos saluran napas,
edema, dan hipersekresi mukus yang menyumbat saluran napas. Pada eksaserbasi
yang ringan didapatkan mengi pada saat ekspirasi paksa. Pada pasien asma
eksaserbasi yang sangat berat mengi tidak dapat didengarkan (silent chest).5, 10
Pemeriksaan penunjang meliputi faal paru, radiologi, dan laboratorium
klinis. Pemeriksaan faal paru merupakan parameter objektif untuk menilai
beratnya asma. Pemeriksaan faal paru digunakan untuk menilai obstruksi jalan
napas, reversibilitas kelainan faal paru, dan variabilitas faal paru sebagai
penilaian tidak langsung hiperesponssif jalan napas. Metode pemeriksaan yang
digunakan untuk menilai faal paru antara lain spirometri dan arus puncak
ekspirasi (APE).1 Pemeriksaan spirometri berfungsi untuk penegakan diagnosis
asma dengan menetukan derajat obstruksi jalan napas dan reversibilitas. 5, 10
Pemeriksaan spirometri pasien asma mempunyai hasil yang bervariasi.
Pada pasien asma ringan dan tidak dalam serangan pada hasil pemeriksaan mungkin
tidak dijumpai obstruksi jalan napas. pada pasien asma derajat berat akan
ditemukan penurunan faal paru.10 Pengukuran VEP1 dan KVP dilakukan melalui
prosedur spirometri. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP <
75% atau VEP1 /prediksi < 80%. Reversibiliti dinilai dari perbaikan VEP1>
15% secara spontan, setelah pemberian inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator),
pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau pemberian kortikosteroid
(inhalasi/oral) selama 2 minggu.5
Arus puncak ekspirasi dapat diukur dengan alat peak expiratory flow
meter (PEF meter). Manfaat APE dalam diagnosis asma antara lain menilai
reversibilitas dan variabilitas. Reversibiliti yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15% setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), bronkodilator oral 10-14 hari, atau
responss terapi kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu. Variabilitas menilai variasi
diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian selama 1-2 minggu.
Variabilitas digunakan menilai derajat beratnya penyakit. Cara pemeriksaan
variabilitas APE harian adalah diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah
8
dan malam hari untuk mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat
diperoleh melalui 2 cara:5
1. Penderita asma yang sedang menggunakan bronkodilator, diambil
perbedaan nilai APE pagi sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari
sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum
bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator
menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Persentase rata-rata
nilai APE harian > 20% dipertimbangkan sebagai asma
Variabilitas harian = APE malam –APE pagi) x 100%
½ (APE malam + APE pagi)
2. Variabilitas APE dapat dinilai dari rerata terendah APE pagi sebelum
bronkodilator selama pengamatan 2 minggu dinyatakan dalam persen
dengan nilai terbaik APE malam hari setelah bronkodilator. Pasien asma
dalam pengobatan efektif, pengukuran APE harian dilakukan selama 2
minggu. Hasil pengukuran dinyatakan dalam bentuk persen. Variabilitas ini
digunakan untuk menilai perburukan atau perbaikan faal paru.
Nilai variabilitas harian > 20% pertimbangkan menderita asma.5
Pemeriksaan radiologi pada asma pada saat eksaserbasi ataupun stabil
dapat menunjukkan hasil normal. Pencitraan ini dilakukan pada evaluasi awal
untuk menyingkirkan diganosa lain dan mengetahui komplikasi. Contoh kasus
asma eksaserbasi yang disertai dengan pneumonia. 18
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma untuk
menentukan hiperesponssifitas jalan napas,salah satu cara untuk membantu
penegakan diagnosis asma. Pasien dengan gejala asma dan faal paru normal
sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan ini mempunyai
sensitivitas yang tinggi tetapi spesifitas rendah, artinya hasil negatif
menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti
bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain
seperti rinitis alergi, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti
PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.5, 11
9
Tes alergi mempunyai nilai kecil untuk diagnosis asma, tetapi membantu
mengidentifikasi faktor pencetus sehingga dapat terkontrol dari lingkungan dalam
penatalaksanaan. Pemeriksaan dilakukan uji kulit ( prick test ) atau pengukuran
IgE spesifik serum. Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam
diagnosis alergi.5, 11
Pemeriksaan sputum dan darah pada pasien asma
dilakukan sebagai petanda inflamasi. Eosinofil dan neutrofil dapat diperiksa dari
sputum. Analisa jumlah eosinofil pada sputum dan darah mengidentifikasi pasien
yang memiliki fenotip eosinofilik dan non eosinofilik. Fenotip inflamasi ini dapat
memprediksi responss terhadap pengobatan.19, 20
PENATALAKSANAAN ASMA
10
Gambar 5. Controlled based asthma management
Dikutip dari (21)
Konsep siklus perawatan asma dalam control based care terdiri dari 3
komponen. Assess tidak hanya tentang kontrol gejala asma dengan menggunakan
asthma control test atau asthma control questionnaire tetapi juga faktor risiko,
teknik inhalasi, kepatuhan, dan preferensi pasien untuk memastikan perawatan
disesuiakan dengan individu. Penyesuaian pengobatan (Adjust treatment) asma
memerlukan strategi non farmakologis dan modifikasi pengobatan faktor risiko.
Penilaian responss terapi (review responsse) termasuk efek samping dan kepuasan
pasien sangat penting untuk menghindari penanganan yang kurang atau
berlebihan dalam perawatan.10, 21
Medikamentosa
Medikasi asma bertujuan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi.5 Terapi medikamentosa terdiri dari obat pelega, obat pengontrol, dan
obat tambahan.10 Obat pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk
mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan
pada keadaan asma terkontrol. Beberapa obat pengontrol asma antara lain
kortikosteroid inhalasi, leukotriene modifiers, agonis β2 kerja lama/ Long acting
11
β2 agonis (LABA), kromolin, anti IgE, dan teofilin lepas lambat. Obat pelega
mempunyai prinsip dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki,
dan menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut. Obat
pelega meliputi short acting β2 agonis (SABA), glukokortikoid sistemik,
antikolinergik, dan methylxanthine.5
Agonis β2
Inhalasi reseptor agonis β2 adrenergik dianggap sebagai bronkodilator
penting dengan mekanisme mengendalikan otot polos saluran napas. Agonis β2
berikatan dengan reseptor β2 merupakan transmembran dan mengaktivasi protein
G yang mengaktivasi guanosin diphosphate (GDP) menjadi guanosin
triphosphate (GTP) yang akan mengatur siklus sel. Protein G terdiri dari sub unit
Gα, Gβ, dan Gγ. Proses ini Gα merangsang adenyl cyclase (AC) yang
menyebabkan adenosine triphosphate (ATP) menjadi cyclic adenosine
monophosphate (cAMP) dan Gβγ mengaktifkan jalur tertentu. Peningkatan
cAMP mengaktifkan protein kinase (PKA) menghasilkan beberapa protein yang
meyebabkan relaksasi. Protein kinase menghambat myosin light chain dan
menurunkan kalsium intraseluler. Mekanisme Agonis β2 dijelaskan pada gambar
enam.5, 22, 23
Methylxanthine
Mekanisme teofilin telah diamati untuk bronkodilator dan
imunomodulator dari pada saluran napas. Teofilin merupakan salah satu
methylxanthine sebagai inhibitor phospodiesterase (PDE) dan antagonis reseptor
adenosin.5 Peningkatan konsentrasi cAMP dan cyclic guanosine monophophate
(cGMP) di intraseluler otot polos saluran napas karena terjadi penghambatan PDE
yang mengubah cAMP menjadi AMP dan cGMP menjadi GMP sehingga terjadi
bronkodilatasi. Aktivasi reseptor adenosin meningkatkan kalsium intraseluler
yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Methylxanthine
merupakan antagonis reseptor adenosin sehingga menghambat kontraksi otot
polos yang teraktivasi dengan kalsium. Efek methylxanthine pada otot polos
saluran napas dijelaskan gambar tujuh.24
12
Gambar 6. Mekanisme kerja β2 agonis.
Keterangan: cAMP= cyclic adenosine monophosphate; ATP=
adenosine trisphosphate; GDP= guanosine diphosphate. GTP=
guanosine triphosphate.
Dikutip dari (23)
13
diekspresikan dalam otot polos saluran napas kecil. Subtipe reseptor muskarinik
yaitu M1,M2, dan M3 paling banyak di otot polos saluran napas.25, 26
Reseptor M1 di ganglia parasimpatis di saluran napas, berfungsi sebagai
regulator transmisi ganglionik. Saraf preganglionik melepaskan asetilkolin yang
bekerja pada reseptor nikotinik pada sel ganglion untuk mengaktivasi saraf
postganglionik. Reseptor M1 memfasilitasi transmisi sinyal tersebut dan
meningkatkan refleks bronkokonstriksi. Reseptor M2 di ujung saraf kolinergik
berperan sebagai inhibitor keluarnya asetilkolin.27
Penghambatan reseptor M2 menyebabkan peningkatan asetikolin dan
meningkatkan respons bronkokonstriksi terhadap stimulasi saraf kolinergik.
Reseptor M3 memediasi respons bronkokonstriksi terhadap stimulasi saraf
kolinergik dan agonis kolinergik. Saraf kolinergik juga meningkatkan produksi
mukus, jadi pemberian antikolinergik juga berguna untuk mengurangi produksi
mukus. Mekanisme agen antikolinergik adalah blokade reseptor M1 dan M3,
serta menjaga fungsi reseptor M2. Pengaturan kolenergik otot polos saluran
napas dapat dilihat pada Gambar delapan.25, 26
14
pernapasan, menghindari parapan iritan, menghindari alergen, menghindari
obesitas, dan menghindari obat yang mencetus serangan asma. 21 Pola hidup sehat
merupakan cara untuk mencegah atau menghindari eksaserbasi asma.5
15
Alur diagnosis dan tata laksana asma
Pasien dengan gejala: batuk, sesak napas disertai mengi, gejala malam hari, kumatan, ada riwayat alergi dan
pajanan, Pemeriksaan fisik dan penunjang
Tidak ada ronkhi atapun Px fisik paru : inspeksi normal atau ditemukan retraksi, palpasi: fremitus
wheezing, raba kanan simetris dengan kiri atau adanya peningkatan fremitus, perkusi:
sonor atau tergantung klinis pasien, auskultasi:: suara dasar dapat
vesikuler, bronkovesikuler, ataupun bronkial, dapat ditemukan RBK ,
Cek darah rutin, wheezing sering ada, pada kasus silent chest ditemukan tidak adanya
SGOT/SGPT, wheezing
Ureum/Kreatinin, AGD, EKG
Foto toraks PA untuk
menyingkirkan penyakit lain, Periksa peak flow meter atau spirometri untuk menilai: reversibilitas (≥ 15%)
Tes alergi variabilitas (≥ 15%)
Kadar eosinofil total meningkat
Tatalaksana
Diagnosa lain & Tidak berhasil Berikan bronkodilator
evaluasi lebih lanjut
Berhasil
Penatalaksanaan
Jangka panjang Saat serangan
Non Medikamentosa: Non Medikamentosa:
o Mengenali dan menghindari faktor pencetus o Oksigen (bila berat membutuhkan ventilator)
o Fisioterapi o Terapi cairan pengobatan asma
o Senam asma dan Edukasi tentang pengobatan asma Medika mentosa
Medika mentosa o Bronkodilator inhalasi, Bronkodilator IV
o Anti inflamasi, Steroid inhalasi, Steroid oral dosis o Kortikosteroid sistemik atau oral
rendah, Teofilin lepas lambat, Obat lain (mukolitik o Antibiotik (sesuai indikasi)
sesuai indikasi)
16
VENTILASI MEKANIK
Definisi
Ventilasi mekanik atau ventilator merupakan alat pernapasan yang
menghasilkan tekanan baik positif ataupun negatif yang berfungsi untuk
mengembangkan paru dan pemberian oksigen sehingga dapat mempertahankan
fungsi paru dalam hal ventilasi. Bantuan ventilasi yang diberikan mesin ventilator
dapat berupa pemberian volume, tekanan, atau gabungan keduanya. Ventilasi
mekanik merupakan terapi definitif pada pasien kritis yang mengalami hipoksemia
dan hiperkapnia.28 Ventilasi mekanik sering digunakan sebagai profilaktik pada
pasien paska bedah,operasi besar seperti operasi bedah thorak, tumor otak, operasi
abdominal, bedah jantung dan keadaan kritis lainnya dengan tujuan untuk
mempertahankan oksigen dan eliminasi CO2 yang adekuat.28, 29
Klasifikasi
17
endotrakeal atau trakeostomi. Ventilator ini secara luas digunakan pada
pasien dengan penyakit paru primer. Terdapat tiga jenis ventilator tekanan
positif yaitu tekanan bersiklus, waktu bersiklus dan volume bersiklus.
Ventilator tekanan bersiklus adalah ventilator tekanan positif yang
mengakhiri inspirasi ketika tekanan preset telah tercapai. Dengan kata lain
siklus ventilator hidup mengantarkan aliran udara sampai tekanan tertentu
yang telah ditetapkan seluruhnya tercapai, dan kemudian siklus mati.
Ventilator tekanan bersiklus dimaksudkan hanya untuk jangka waktu
pendek di ruang pemulihan. Ventilator waktu bersiklus adalah ventilator
mengakhiri atau mengendalikan inspirasi setelah waktu ditentukan. Volume
udara yang diterima pasien diatur oleh kepanjangan inspirasi dan frekuensi
aliran udara . Ventilator ini digunakan pada neonatus dan bayi. Ventilator
volume bersiklus yaitu ventilator yang mengalirkan volume udara pada
setiap inspirasi yang telah ditentukan. Jika volume preset telah dikirimkan
pada pasien, siklus ventilator mati dan ekshalasi terjadi secara pasif.
Ventilator volume bersiklus sejauh ini adalah ventilator tekanan positif yang
paling banyak digunakan.
Prinsip Kerja
Prinsip utama kerja ventilator dalam memberikan bantuan ventilasi adalah
hubungan timbal balik antara volume dan tekanan. Pemberian volume udara ke
dalam paru, mengakibatkan pertambahan volume udara serta tekanan di dalam
paru, begitupun sebaliknya apabila diberikan tekanan udara ke dalam paru, maka
akan mengakibatkan bertambahnya volume dan juga tekanan udara di dalam ruang
paru. Bantuan ventilasi yang diberikan oleh mesin ventilator dapat berupa
pemberian volume, tekanan (pressure) atau gabungan keduanya volume dan
tekanan. Sesuai dengan prinsip kerja dari ventilator adalah memberikan tekanan
positif ke dalam paru yang akan mengakibatkan pengembangan ruang di dalam paru
sehingga volume dan tekanan udara di dalam paru pun ikut bertambah.28, 29
18
Gambaran ventilator mekanik yang ideal adalah28:
a. Sederhana, mudah dan murah.
b. Dapat memberikan volume tidak kurang 1500 cc dengan frekuensi napas
hingga 60x/menit dan dapat diatur ratio I/E.
c. Dapat digunakan dan cocok digunakan dengan berbagai alat penunjang
pernapasan yang lain.
d. Dapat dirangkai dengan PEEP.
e. Dapat memonitor tekanan, volume inhalasi, volume ekshalasi, volume tidal,
frekuensi napas, dan konsentrasi oksigen inhalasi.
f. Mempunyai fasilitas untuk humidifikasi serta penambahan obat.
g. Mempunyai fasilitas untuk SIMV, CPAP, pressure support.
h. Mudah membersihkan dan mensterilkannya.
Indikasi
Tindakan intubasi dan memulai ventilasi mekanik merupakan hal yang
rumit untuk diputuskan. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik harus
dipertimbangkan dengan baik. Ada kecenderungan untuk menunda intubasi dan
ventilasi mekanik sebisa mungkin dengan harapan hal tersebut tidak perlu
dilakukan. Namun, intubasi yang terencana lebih kurang bahayanya dibandingkan
intubasi emergensi, di samping itu penundaan intubasi dapat menyebabkan bahaya
bagi pasien yang sebenarnya dapat dihindari. Bila kondisi pasien dinilai cukup
19
parah dan membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik dengan segera, maka
jangan menunda untuk melakukan tindakan tersebut.28, 29
1. Gagal napas
Pasien dengan distres pernapasan gagal napas, henti napas (apnu) maupun
hipoksemia yang tidak teratasi dengan pemberian oksigen merupakan
indikasi ventilator mekanik. Idealnya pasien telah mendapat intubasi dan
pemasangan ventilator mekanik sebelum terjadi gagal napas yang
sebenarnya. Distres pernapasan disebabkan ketidakadekuatan ventilasi dan
atau oksigenasi. Prosesnya dapat berupa kerusakan paru (seperti pada
pneumonia) maupun karena kelemahan otot pernapasan dada (kegagalan
memompa udara karena distrofi otot).
2. Insufisiensi jantung
Tidak semua pasien dengan ventilator mekanik memiliki kelainan
pernapasan primer. Pada pasien dengan syok kardiogenik dan CHF,
peningkatan kebutuhan aliran darah pada sistem pernapasan (sebagai akibat
peningkatan kerja napas dan konsumsi oksigen) dapat mengakibatkan
jantung kolaps. Pemberian ventilator untuk mengurangi beban kerja sistem
pernapasan sehingga beban kerja jantung juga berkurang.
3. Disfungsi neurologis
Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang beresiko mengalami apneu berulang
juga mendapatkan ventilator mekanik. Selain itu ventilator mekanik juga
berfungsi untuk menjaga jalan napas pasien. Ventilator mekanik juga
memungkinkan pemberian hiperventilasi pada pasien dengan peningkatan
tekanan intra cranial.
4. Paska operasi besar yang memerlukan bantuan ventilasi untuk memperbaiki
homeostasis, gangguan keseimbangan asam basa serta keadaan anemia
5. Sepsis berat dimana pasien tidak dapat memenuhi peningkatan work of
breathing (WOB) akibat tingginya produksi CO2
6. Pengendalian kadar CO2 sebagai salah satu bagian dari pengelolaan
peningkatan tekanan intra kranial (TIK) misalnya akibat cedera kepala.
20
7. Sebagai bantuan ventilasi pada penderita yang diintubasi atas indikasi
mempertahankan jalan napas.
MODE VENTILASI
21
napas spontan tidak ada atau minimal, misalnya pada penderita dengan hipoksia
yang berat. 31, 32
22
Ventilasi dengan rasio terbalik (Inverse ratio ventilation)
Siklus respirasi adalah satuan waktu yang diperlukan untuk memasukkan
dan mengeluarkan udara pada setiap tarikan napas yang dihasilkan oleh ventilator.
Siklus ini dibagi menjadi waktu inspirasi dan ekspirasi .Rasio inspirasi dan
ekspirasi yang normal adalah 1:2-3.Pemanjangan relatif waktu inspirasi [invers
rasio ventilasi ] sering digunakan untuk memperbaiki pertukaran gas pada pasen
dengan oksigenasi kurang. Umumnya dipakai ratio 1:1. Cara ini digunakan baik
pada mode pressure control maupun volume control ventilation.31, 32
PRESSURE SUPPORT
Pada keadaan ini terdapat napas spontan pasen dan tidak ada pengaturan
frekuensi napas. Ventilator akan memberikan tekanan positif pada jalan napas
sebagai respon terhadap upaya pernapasan. Volume tidal bervariasi sesuai dengan
komplain rongga dada dan resistensi jalan napas . Biasanya dimulai dengan
tekanan 20-30 cm H2O dan diturunkan bila gerakan respirasi pasen membaik.
Kadang dapat dikombinasikan dengan SIMV untuk membantu frekuensi
pernapasan spontan. Sesuai dengan usaha inspirasi pasen, maka ventilator akan
memberikan bantuan tekanan inspirasi. Volume assured pressure support adalah
suatu modifikasi alternatif dimana ventilator secara otomatis dapat mpngatur
tekanan inspirasi yang harus diberikan untuk mencapai tidal volume minimal yang
diinginkan.31, 32
23
BANTUAN VENTILASI NON INVASIF
Indikasi
a. Hipoksia sehingga kebutuhan laju napas, upaya napas dan FiO2 meningkat.
b. Hiperkapni dan tampak kelelahan.
c. Mencegah supaya jangan sampai diintubasi bila misalnya pada pasien
dengan yang mengalami keterbatasan aliran udara secara kronis, pemakaian
imunosupresi.
d. Mengurangi beban otot pernapasan pada penderita dengan PEEP yang
tinggi (asma, chronic airflow limitasi). Dipergunakan dengan hati2 dan
pengawasan ketat.
e. Teknik fisioterapi untuk untuk meningkatkan Functional Residual Capasity
(FRC).
f. Sleep apnea.
g. Suatu tahapan dalam proses penyapihan.
Inspiratory support
Tekanan inspirasi yang di berikan oleh ventilator dicetuskan oleh napas
pasien. Besarnya tekanan ini disesuaikan dengan upaya napas yang dimiliki pasien.
Beberapa mesin akan memberikan frekuensi napas dengan rasio inspirasi: ekspirasi
(I:E) secara otomatis sesuai dengan kebutuhan. Volume tidal yang dihasilkan
tergantung dari komplian paru.31, 32
24
BiPAP (Bi-level Positif Airways Pressure)
Mesin ventilator ini dapat mengatur PS dan PEEP. Laju napas bisa berasal
dari pasien dan/atau mesin. Beberapa mesin BiPAP menggunakan udara luar untuk
meningkatkan FiO2, sedangkan pemberian O2 dapat dilakukan melalui lubang
masuk yang berada pada masker.31, 32
Penatalaksanaan
a. Pilih tipe dan mode bantuan ventilasi yang sesuai
b. Gunakan masker yang paling sesuai ukurannya sehingga kedap udara dan
penderita merasa nyaman. Pada awal pemasangan dapat diberikan tekanan
10 -15 cmH2O yang kemudian disesuaikan dengan respon pasien (laju
napas, derajat kelelahan, kenyamanan pasien serta hasil AGD.
c. Expiratory pressure support biasanya berkisar sekitar 5-12cmH2O. Pada
awalnya penderita dengan resplratory distress biasanya tidak toleran
dengan cara ini. Diperlukan pengamatan yang ketat dan terus menerus untuk
membiasakan pasien memakai masker. Sementara itu kita terus mencari
mode support dan rasio I : E yang paling optimal.
d. Dosis rendah opiat (diamorfin 2.5mg) untuk menenangkan pasien tanpa
menyebabkan depresi napas harus diberikan secara hati-hati.
e. Pada beberapa pasien setelah memakai masker yang melekat erat selama
beberapa hari dapat timbul gejala clautrophobia . Hal ini dapat diatasi
dengan jalan mengistirahatkan beberapa saat secara berkala.
f. Daerah yang mendapat tekanan seperti batang hidung harus dilindungi
untuk mencegah perlukaan.
25
berat badan perkiraan (berat badan dengan volume paru yang normal). Ventilasi
dengan volume tidal yang rendah berhubungan dengan penurunan absolut dari
angka kematian yaitu 9% pada end-inspiratory plateau pressure di bawah 30
cmH2O.33, 34 Ventilasi dengan volume rendah atau ventilasi protektif paru saat ini
telah direkomendasikan untuk semua pasien dengan ARDS. Ventilasi protektif paru
dengan volume tidal rendah dipertimbangkan sebagai strategi yang bermanfaat
untuk semua pasien dengan gagal napas akut. Tata cara ini dirancang untuk
mencapai dan mempertahankan volume tidal 6 ml/kg berat badan perkiraan.33
26
WEANING VENTILASI MEKANIK
Hal terpenting pada penilaian ini adalah keberhasilan pertukaran gas. Oleh
karena itu penilaian klinis menjadi sangat penting dan dapat memberikan petunjuk
adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan bantuan ventilasi. Faktor-faktor
yang berhubungan denga kesulitan saat menyapih dari ventilator mekanik adalah:
31, 32
27
4. Sepsis atau pireksia (peningkatan kebutuhan metabolik).
5. Kelebihan cairan
6. Residual dari zat sedatif
7. Ketidakseimbangan elektrolit (terutama Ca, Mg, K, PO4)
8. Anemia
9. Nyeri
10. Distensi abdommen
28
dan disebut sebagai positive end expiratory pressure (PEEP dan auto-PEEP).
Mekanisme hiperinflasi dinamis digambarkan oleh gambar 9.9
29
Keputusan intubasi harus didasarkan pada pertimbangan klinis. Penanda
kerusakan meliputi meningkatnya karbon dioksida (termasuk normalisasi keadaan
hipokapnik pasien sebelumnya), kelelahan, depresi status mental, ketidakstabilan
hemodinamik dan hipoksemia refrakter. Pertimbangan klinis sangat penting karena
banyak pasien yang mengalami hiperkapnia tetapi tidak memerlukan intubasi.
Keputusan intubasi tidak hanya berdasarkan gas darah. Keterbatasan aliran udara
yang berat selalu dikaitkan dengan eksaserbasi asma berat dan terjadi akibat
bronkokonstriksi, edema jalan napas dan obstruksi mukosa. Kerja napas secara
signifikan meningkat. Meningkatnya kerja terjadi karena proses pasif ekspirasi
menjadi aktif sebagai usaha memaksa gas yang terinspirasi keluar dari paru.9
Inspirasi meningkat akibat tingginya resistensi jalan napas dan hiperinflasi.
Hiperinflasi menyebabkan paru dan dinding dada bekerja pada kondisi suboptimal
yang ditunjukkan pressure-volume curves (overstretched) sehingga meningkatkan
kerja untuk meregangkannya lebih lanjut dalam usaha mencukupi ventilasi. Gas
trapping terjadi karena rendahnya laju arus ekspirasi dan pemanjangan waktu
ekspirasi yang diperlukan untuk mengeluarkan seluruh volume udara terinspirasi.
Gas trapping mengakibatkan penambahan tekanan pada akhir ekspirasi (auto-
PEEP atau PEEP intrinsik) lebih tinggi daripada PEEP yang diberikan dan
mengarah ke hiperinflasi dinamis. PEEP Otomatis, PEEP intrinsik dan hiperinflasi
dinamis adalah istilah yang sering digunakan secara bergantian.9
Pertimbangan untuk pengaturan ventilator awal pada penderita asma berat
menggunakan volume tidal rendah dan laju pernapasan, memperpanjang waktu
ekspirasi sebanyak mungkin, mempersingkat waktu inspirasi sebanyak mungkin
serta memonitor perkembangan hiperinflasi dinamis. Ventilator awal digunakan
dalam tekanan mode kontrol, mengatur tekanan untuk mencapai volume tidal 6-8
ml/kg, laju pernapasan 11-14 kali tiap menit dan PEEP pada 0-5 cmH2O.
Pengaturan ini bertujuan mendapatkan pH di atas 7.2 dan plateau airway pressure
(Pplat) kurang dari 30 cmH20. Evaluasi kondisi pasien apabila kadar Pplat kurang
dari 30 cmH2O tidak dapat dipertahankan. Evaluasi meliputi pneumotoraks, salah
letak tabung endotrakeal, edema paru, serta kemungkinan pengembangan
hiperinflasi dinamis.9
30
Evaluasi dilakukan apabila kondisi hiperkapnia permisif dengan pH kurang
dari 7.2 terjadi. Evaluasi meliputi pertimbangan peningkatan sedasi maupun
paralisis dan metode penurunan produksi karbon dioksida misalnya dengan
mengurangi demam, mencegah over-feeding, menurunkan usaha pasien. Pemberian
sodium bikarbonat untuk mempertahankan pH 7,2 pada pasien dengan status
asthmaticus tidak terbukti menunjukkan manfaat apapun. Keputusan tentang
pengelolaan ventilator yang sedang berjalan harus didasarkan pada prinsip-prinsip
yang digariskan dalam tinjauan ini.9
31
SIMPULAN
1. Asma merupakan penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi
kronik saluran napas yang menimbulkan gejala pernapasan yaitu mengi,
sesak napas, dada terasa berat, dan batuk yang berat gejala dan
intensitasnya berbeda-beda dari waktu ke waktu disertai keterbatasan aliran
udara ekspirasi yang bervariasi.
2. Tata laksana asma dalam eksaserbasi meliputi pemberian oksigenasi
hingga tercapai saturasi ≥ 90% pada dewasa dan ≥ 95% pada anak,
bronkodilator agonis β-2 kerja singkat secara nebulisasi setiap 20 menit
dalam satu jam pertama atau agonis β-2 injeksi, dan kortikosteroid sistemik
apabila tidak respons pengobatan.
3. Intubasi mekanik dan ventilasi mekanik dapat diberikan pada pasien asma
yang tidak respons pengobatan dan mengalami gagal napas.
4. Insidensi pasien asma yang dirawat di intensive care unit (ICU) sekitar 10%
dan 2% terpasang intubasi.
5. Ventilasi mekanik atau ventilator merupakan alat pernapasan yang
menghasilkan tekanan baik positif ataupun negatif yang berfungsi untuk
mengembangkan paru dan pemberian oksigen sehingga dapat
mempertahankan fungsi paru dalam hal ventilasi.
6. Penderita asma berat yang tidak respons terapi medis dapat segera diberikan
intervensi dengan non invasive positive pressure ventilation (NIPPV)
maupun invasive positive pressure ventilation.
7. Pasien asma memiliki kecenderungan mengalami keterbatasan aliran udara
yang berat sehingga mengakibatkan terjadinya gas trapping yang mengarah
pada hiperinflasi dinamis.
8. Ventilasi mekanik pasien asma yang tidak respons terapi direkomendasikan
pemsangan non invasive positive pressure ventilation (NIPPV).
32
DAFTAR PUSTAKA
33
19. Zang XY, Simpson JL, Powell H, Yang IA, Upham JW, Reynold PN. Full
blood count parameters for the detection of asthma inflammatory
phenotypes. Clin Ext Ellergy. 2014;44:1137-1145.
20. Szefler SJ, Wenzel S, Brown R, Erzurum SC, Fahy JV, Hamilton RG.
Asthma outcomes: biomarkers. J Allergy Clin Immunol. 2012;129:1-33.
21. Reddel HK, Bateman ED, Becker A, Boulet LP, Cruz AA, Drazen JM. A
summary of the new GINA strategy: a roadmap to asthma control. Eur
Respir Journal. 2015;46:622-639.
22. Barisione G, Baroffio M, Crimi E, Brusasco V. Beta adrenergik agonists.
Pharm Res. 2010;3:1016-1044.
23. Gardenhire. Herbal Pharmacology. Rau’s respiratory care
pharmacology. Philadelphia: Elsevier; 2012. p. 33-44.
24. Tilley SL. Methylxanthines in asthma. Handb Ext Pharmacol. 2011;17:440-
451.
25. Brusasco V. Reducing cholinergic constriction: the major reversible
mechanism in COPD. Eur Respir Rev. 2006;15:32-36.
26. Scullion JE. The development of anticholinergics in the management of
COPD. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis. 2007;3(1):33-40.
27. Busse W, Bell MC. Asthma. In: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi
M, Senior R, Pack A, editors. Fishman’s Pulmonary Diseases And
Disorders Vol 1 & 2. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 673-741.
28. Shaila S. Practical Application of Mechanical Ventilation. New York:
McGraw-Hill; 2010.
29. Sundana K. Ventilator Pendekatan Praktis di Unit Perawatan Kritis.
Bandung: CICU RSHS; 2008.
30. Latief S. Petunjuk praktis anestesiologi Edisi ke 2. Jakarta: bagian
anestesiologi dan terapi intensif FK UI; 2007.
31. Wijayanti V, A AN. Ventilasi Mekanik. Bandung: Bagian Anestesiologi
dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2012.
32. Pranggono EM. Ventilasi Mekanik. Bandung: Subbagian Pulmonologi,
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS Dr. Hasan Sadikin/FK Unpad 2012.
33. Marino PL. Principles of mechanical ventilation. In: Marino PL, editor. The
Icu Book 3rd ed. New York: Lippincott Williams and Wilkins,Inc; 2007. p.
457-511.
34. Pilbeam SP. History of resuscitation, intubation and early mechanical
ventilation. In: Pilbeam SP, editor. Mechanical Ventilation; Physiological
and Clinical Applications 3rd ed. St.Louis Missouri: Mosby Inc; 2004. p.
4-17.
34