Anda di halaman 1dari 34

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit kronik paling sering dijumpai di negara maju


seperti Amerika Serikat dengan prevalensi 30% pada dewasa dan 10% pada anak.
Prevalensi asma di Eropa sekitar 36% pada dewasa dan 28% pada anak.
Prevalensi asma di Indonesia adalah 3,5%.1-3 Jumlah pasien asma di dunia sekitar
300 juta dan diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 400 juta tahun
2025.4 Prevalensi asma di Indonesia tahun 1995 sebesar 13/1000 sedangkan
bronkitis kronis 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Beberapa penelitian
menunjukkan prevalensi asma di Indonesia sangat bervariasi bergantung pada
populasi target studi, kondisi wilayah, dan metodologi yang digunakan.
Prevalensi asma di Indonesia secara keseluruhan cukup tinggi. 4, 5
Gejala asma meliputi sesak napas dan mengi yang berulang. Setiap
individu memiliki derajat keparahan dan frekuensi serangan yang berbeda. 4
Eksaserbasi akut pada asma terus terjadi, meskipun penatalaksanaan asma telah
mengalami kemajuan, sehingga menimbulkan morbiditas yang cukup besar dan
menjadi beban berat bagi dokter.1 Asma dapat menimbulkan resiko kematian.
Angka mortalitas akibat asma di Amerika Serikat tahun 2007 terdapat 3.447
kematian yang terdiri dari 3.262 pasien dewasa dan 185 pasien anak.1
Eksaserbasi asma merupakan episodik perburukan ditandai dengan
meningkatnya gejala berupa sesak napas, batuk, mengi, rasa berat di dada dengan
penurunan arus ekspirasi melalui pemeriksaan faal paru berupa arus puncak
ekspirasi (APE) maupun volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Perlu
penanganan yang cepat dan tepat saat terjadi eksaserbasi agar resiko morbiditas
dan mortalitasnya rendah.6 Tata laksana asma dalam eksaserbasi meliputi
pemberian oksigenasi hingga tercapai saturasi ≥ 90% pada dewasa dan ≥ 95% pada
anak, pemberian bronkodilator agonis β-2 kerja singkat secara nebulisasi setiap 20
menit dalam satu jam pertama atau agonis β-2 injeksi. Kortikosteroid sistemik
diberikan pada serangan asma berat yang tidak respons terhadap bronkodilator
maupun steroid oral.7

1
Intubasi mekanik dan ventilasi mekanik dapat diberikan pada pasien asma
yang tidak respons pengobatan dan mengalami gagal napas.6, 8 Insidensi pasien
asma yang dirawat di intensive care unit (ICU) sekitar 10% dan 2% terpasang
intubasi.9 Komplikasi dan mortalitas pasien asma yang dirawat di ICU dan
terpasang intubasi meningkat. Penulisan tinjauan kepustakaan ini bertujuan
mengetahui indikasi penggunaan ventilasi mekanik serta mengetahui strategi yang
tepat untuk mengurangi komplikasi dan morbiditas pada pasien asma yang
terpasang ventilasi mekanik.

2
DEFINISI ASMA

Asma merupakan penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi


kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi
kronik ini menyebabkan peningkatan hiperesponssif saluran napas yang
menimbulkan gejala pernapasan yaitu mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan
batuk yang berat gejala dan intensitasnya berbeda-beda dari waktu ke waktu
disertai keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi. Gejala dan pembatasan
aliran udara dapat sembuh spontan atau dengan pengobatan dan kadang
menghilang selama beberapa minggu atau bulan. Episode serangan asma yang
mengancam jiwa dapat dialami oleh beberapa pasien.5, 10

PATOGENESIS ASMA

Inflamasi pada asma berhubungan dengan hiperesponssivitas saluran


napas. Tanda responssivitas yang meningkat adalah ciri khas asma berupa
penyempitan saluran napas. Tingkat hiperesponssivitas berhubungan dengan
gejala asma dan pengobatan. Peradangan secara langsung menyebabkan
peningkatan gejala asma. Interaksi kompleks antara faktor genetik dan
lingkungan menyebabkan modulasi ekspresi gen, peningkatan responss inflamasi,
dan peningkatan derajat keparahan. Hubungan kompleks antara gen, epigenetik,
dan faktor lingkungan membentuk pola gangguan imunologi yang menentukan
gejala klinis endotipe asma. Proses inflamasi pada asma dijelaskan pada gambar
satu.11, 12

3
Gambar 1. Inflamasi saluran napas pada pasien asma.
Dikutip dari (11)
Proses inflamasi pada asma dibagi menjadi inflamasi akut dan inflamasi
kronis. Inflamasi akut meliputi reaksi asma tipe cepat yang diikuti dengan reaksi
asma tipe lambat.5 Reaksi asma tipe cepat berkaitan dengan pelepasan histamin
dan mediator oleh sel mast yang dipicu oleh ikatan alergen dengan imunoglobulin-
E (IgE) yang di produksi oleh sel limfosit B yang diaktifkan oleh interleukin
(IL)-4 di permukaan sel mast.13 Histamin, leukotrien, dan prostaglandin
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus, dan vasodilatasi.
Reaksi asma tipe cepat ini berlangsung dalam beberapa menit.5, 13
Reaksi asma tipe lambat terjadi 6-13 jam setelah pajanan alergen melalui
T cell dependent mechanism yang melibatkan aktivasi eosinofil, sel T cluster
differentiation (CD4), neutrofil, makrofag, dan IL-13. Reaksi tipe lambat dapat
berlanjut menjadi inflamasi kronis yang lebih kompleks dimana kerusakan
jaringan diikuti dengan proses penyembuhan yaitu perbaikan dan pergantian sel
rusak dengan sel baru. Proses penyembuhan menghasilkan jaringan parut
sehingga terjadi perubahan struktur saluran napas atau airway remodelling.
Proses inflamasi pada patogenesis asma dijelaskan gambar dua.5, 14, 15

4
Gambar 2. Proses inflamasi pada patogenesis asma.
Keterangan: LTs = leukotriens; PGs = prostaglandins; IL =
interleukin; IgE = imunogolbulin E; NP = neuropeptide; NT =
neutrophine; CD4+ = cluster of differentiation 4+; Th2 = T helper 2
Dikutip dari (13)
Fibroblas, sel endotel, sel otot polos, dan sel epitel saluran napas
mensintesis serta melepaskan mediator inflamasi. Limfokin, sitokin
proinflamatori, sitokin inhibitor, growth factors, dan kemokin adalah sitokin yang
berperan dalam menstimulasi, mengingat, serta memperkuat responss inflamasi
saluran napas pada asma.11 Alergen masuk ke saluran napas mengenai mukosa
saluran napas ditangkap oleh sel dendritik sebagai antigen presenting cell (APC)
yang akan mengubah alergen menjadi peptida dan mempresentasikannya melalui
major histocompatibility complex (MHC) kelas I dan II untuk dikenali oleh reseptor
sel T. Sel dendritik yang terstimulus mensekresi beberapa kemokin antara lain
chemokine ligand (CCL)-17 dan CCL-22 yang akan berikatan dengan
chemokine receptor (CCR)-4 pada sel T helper 2 (Th2).11, 14
Sel Th2 menghasilkan IL-4 dan IL-13 yang akan menstimulasi sel B
untuk mensekresi Ig-E. Alergen berikatan dengan IgE melalui reseptor IgE
dependent mechanism (FcᶓRI) pada permukaan sel mast. Sel mast mengalami
degranulasi sehingga mengeluarkan histamin, protease, leukotrien, prostaglandin
dan platelet activating factor (PAF) yang menyebabkan kontraksi otot polos

5
bronkus. Sel Th2 menghasilkan IL-5 yang menstimulasi eosinofilik dan IL-9
yang merangsang proliferasi sel mast. Sel epitel saluran napas mensekresi CCL-
11 yang berikatan dengan CCR-3 dan menyebabkan sekresi eosinofil pada
saluran napas. Proses inflamasi dan patogenesis asma dijelaskan pada gambar tiga
berikut ini 4, 11, 13, 14

Gambar 3. Sel yang terlibat pada proses inflamasi dan imunopatogenesis asma
Keterangan: IgE = imunoglobulin E; B cell = sel limfosit B; IL =
interleukin; SCF = stem cell factor; TSLP = thymic stromal
lymphopoietin; CCL = chemokine ligand; CCR = chemokine
receptor; TH2 = sel T helper 2.
Dikutip dari (11)
FAKTOR RISIKO ASMA

Faktor risiko terjadinya asma dibagi menjadi dua yaitu faktor yang
menyebabkan perkembangan asma atau inducer dan yang memicu gejala asma
atau inciter, beberapa dapat berperan sebagai keduanya. Inducer meliputi faktor
pejamu seperti genetik, jenis kelamin dan obesitas. Inciter meliputi faktor
lingkungan seperti alergen, infeksi, pekerjaan, asap rokok, dan polusi udara.
Mekanisme yang mempengaruhi perkembangan dan manifestasi terjadinya asma
sangat kompleks.2, 10, 16 Faktor risiko asma dapat dilihat pada gambar empat.

6
Gambar 4. Faktor risiko asma
Dikutip dari (17)

MANIFESTASI KLINIS

Pasien dengan riwayat asma biasanya akan mengeluhkan gejala yang bersifat
episodik berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada, dan variabilitas yang
berkaitan dengan cuaca. Gejala kadang memburuk malam hari atau dini hari
dengan gejala bervariasi dalam intensitas dan waktu gejala diawali oleh faktor
pencetus yang bersifat individual. Pasien asma memiliki responss baik terhadap
pemberian bronkodilator. Riwayat lain yang perlu dipertimbangkan pada penyakit
asma antara lain riwayat atopi pada keluarga, riwayat alergi, penyakit yang
memberatkan, perkembangan penyakit, dan pengobatan.5, 10

DIAGNOSIS

Selain dari gejala yang dikeluhkan pasien berupa batuk, sesak napas, mengi,
rasa berat di dada, dan variabilitas yang berkaitan dengan cuaca, aktivitas dan
pencetus pencetus lainnya, dari pemeriksaan fisik pada pasien dengan riwayat asma
dapat ditemukan tanpa kelainan. Pada saat eksaserbasi, pemeriksaan fisik

7
auskultasi paru dapat terdengar wheezing terutama saat ekspirasi, tetapi pada
sebagian pasien, auskultasi dapat terdengar normal saat kondisi tidak dalam
serangan. Pada asma eksaserbasi terdapat kontraksi otot polos saluran napas,
edema, dan hipersekresi mukus yang menyumbat saluran napas. Pada eksaserbasi
yang ringan didapatkan mengi pada saat ekspirasi paksa. Pada pasien asma
eksaserbasi yang sangat berat mengi tidak dapat didengarkan (silent chest).5, 10
Pemeriksaan penunjang meliputi faal paru, radiologi, dan laboratorium
klinis. Pemeriksaan faal paru merupakan parameter objektif untuk menilai
beratnya asma. Pemeriksaan faal paru digunakan untuk menilai obstruksi jalan
napas, reversibilitas kelainan faal paru, dan variabilitas faal paru sebagai
penilaian tidak langsung hiperesponssif jalan napas. Metode pemeriksaan yang
digunakan untuk menilai faal paru antara lain spirometri dan arus puncak
ekspirasi (APE).1 Pemeriksaan spirometri berfungsi untuk penegakan diagnosis
asma dengan menetukan derajat obstruksi jalan napas dan reversibilitas. 5, 10
Pemeriksaan spirometri pasien asma mempunyai hasil yang bervariasi.
Pada pasien asma ringan dan tidak dalam serangan pada hasil pemeriksaan mungkin
tidak dijumpai obstruksi jalan napas. pada pasien asma derajat berat akan
ditemukan penurunan faal paru.10 Pengukuran VEP1 dan KVP dilakukan melalui
prosedur spirometri. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP <
75% atau VEP1 /prediksi < 80%. Reversibiliti dinilai dari perbaikan VEP1>
15% secara spontan, setelah pemberian inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator),
pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau pemberian kortikosteroid
(inhalasi/oral) selama 2 minggu.5
Arus puncak ekspirasi dapat diukur dengan alat peak expiratory flow
meter (PEF meter). Manfaat APE dalam diagnosis asma antara lain menilai
reversibilitas dan variabilitas. Reversibiliti yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15% setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), bronkodilator oral 10-14 hari, atau
responss terapi kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu. Variabilitas menilai variasi
diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian selama 1-2 minggu.
Variabilitas digunakan menilai derajat beratnya penyakit. Cara pemeriksaan
variabilitas APE harian adalah diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah

8
dan malam hari untuk mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat
diperoleh melalui 2 cara:5
1. Penderita asma yang sedang menggunakan bronkodilator, diambil
perbedaan nilai APE pagi sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari
sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum
bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator
menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Persentase rata-rata
nilai APE harian > 20% dipertimbangkan sebagai asma
Variabilitas harian = APE malam –APE pagi) x 100%
½ (APE malam + APE pagi)
2. Variabilitas APE dapat dinilai dari rerata terendah APE pagi sebelum
bronkodilator selama pengamatan 2 minggu dinyatakan dalam persen
dengan nilai terbaik APE malam hari setelah bronkodilator. Pasien asma
dalam pengobatan efektif, pengukuran APE harian dilakukan selama 2
minggu. Hasil pengukuran dinyatakan dalam bentuk persen. Variabilitas ini
digunakan untuk menilai perburukan atau perbaikan faal paru.
Nilai variabilitas harian > 20% pertimbangkan menderita asma.5
Pemeriksaan radiologi pada asma pada saat eksaserbasi ataupun stabil
dapat menunjukkan hasil normal. Pencitraan ini dilakukan pada evaluasi awal
untuk menyingkirkan diganosa lain dan mengetahui komplikasi. Contoh kasus
asma eksaserbasi yang disertai dengan pneumonia. 18
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma untuk
menentukan hiperesponssifitas jalan napas,salah satu cara untuk membantu
penegakan diagnosis asma. Pasien dengan gejala asma dan faal paru normal
sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan ini mempunyai
sensitivitas yang tinggi tetapi spesifitas rendah, artinya hasil negatif
menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti
bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain
seperti rinitis alergi, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti
PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.5, 11

9
Tes alergi mempunyai nilai kecil untuk diagnosis asma, tetapi membantu
mengidentifikasi faktor pencetus sehingga dapat terkontrol dari lingkungan dalam
penatalaksanaan. Pemeriksaan dilakukan uji kulit ( prick test ) atau pengukuran
IgE spesifik serum. Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam
diagnosis alergi.5, 11
Pemeriksaan sputum dan darah pada pasien asma
dilakukan sebagai petanda inflamasi. Eosinofil dan neutrofil dapat diperiksa dari
sputum. Analisa jumlah eosinofil pada sputum dan darah mengidentifikasi pasien
yang memiliki fenotip eosinofilik dan non eosinofilik. Fenotip inflamasi ini dapat
memprediksi responss terhadap pengobatan.19, 20

PENATALAKSANAAN ASMA

Penatalaksanaan asma memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan kualitas


hidup sehingga bisa hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan kegiatan.
Tujuan dari tatalaksana asma jangka panjang adalah mencapai kontrol gejala yang
baik dan menjaga tingkat aktivitas normal, meminimalkan risiko eksaserbasi,
hambatan aliran udara dan efek samping pengobatan. Penetapan pengobatan
jangka panjang untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang
terkontrol mempertimbangkan beberapa faktor antara lain edukasi, tahapan
pengobatan, dan penanganan asma mandiri.5
Strategi tatalaksana asma yang disarankan GINA berbasis kontrol disebut
sebagai controlled based asthma management. Kontrol asma untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol dengan pendekatan dalam suatu siklus
berkesinambungan.14 Siklus controlled based asthma management meliputi
penilaian, penyesuaian terapi, dan pengkajian responss terapi. Penilaian terdiri atas
diagnosis, tingkat kontrol gejala, dan faktor risiko. Pemeriksaan faal paru, teknik,
dan kepatuhan penggunaan obat inhalasi termasuk dalam penilaian. Penyesuaian
tepat terdiri dari pemilihan terapi farmakologi, terapi non farmakologi, dan
mengatasi faktor risiko. Pengkajian responss terapi terdiri dari penilaian gejala,
munculnya eksaserbasi, efek samping, dan perbaikan fungsi paru. Evaluasi
responss dilakukan 3 bulan setelah terapi. Controlled based asthma management
dijelaskan pada gambar lima.21

10
Gambar 5. Controlled based asthma management
Dikutip dari (21)
Konsep siklus perawatan asma dalam control based care terdiri dari 3
komponen. Assess tidak hanya tentang kontrol gejala asma dengan menggunakan
asthma control test atau asthma control questionnaire tetapi juga faktor risiko,
teknik inhalasi, kepatuhan, dan preferensi pasien untuk memastikan perawatan
disesuiakan dengan individu. Penyesuaian pengobatan (Adjust treatment) asma
memerlukan strategi non farmakologis dan modifikasi pengobatan faktor risiko.
Penilaian responss terapi (review responsse) termasuk efek samping dan kepuasan
pasien sangat penting untuk menghindari penanganan yang kurang atau
berlebihan dalam perawatan.10, 21

Medikamentosa
Medikasi asma bertujuan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi.5 Terapi medikamentosa terdiri dari obat pelega, obat pengontrol, dan
obat tambahan.10 Obat pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk
mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan
pada keadaan asma terkontrol. Beberapa obat pengontrol asma antara lain
kortikosteroid inhalasi, leukotriene modifiers, agonis β2 kerja lama/ Long acting

11
β2 agonis (LABA), kromolin, anti IgE, dan teofilin lepas lambat. Obat pelega
mempunyai prinsip dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki,
dan menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut. Obat
pelega meliputi short acting β2 agonis (SABA), glukokortikoid sistemik,
antikolinergik, dan methylxanthine.5
Agonis β2
Inhalasi reseptor agonis β2 adrenergik dianggap sebagai bronkodilator
penting dengan mekanisme mengendalikan otot polos saluran napas. Agonis β2
berikatan dengan reseptor β2 merupakan transmembran dan mengaktivasi protein
G yang mengaktivasi guanosin diphosphate (GDP) menjadi guanosin
triphosphate (GTP) yang akan mengatur siklus sel. Protein G terdiri dari sub unit
Gα, Gβ, dan Gγ. Proses ini Gα merangsang adenyl cyclase (AC) yang
menyebabkan adenosine triphosphate (ATP) menjadi cyclic adenosine
monophosphate (cAMP) dan Gβγ mengaktifkan jalur tertentu. Peningkatan
cAMP mengaktifkan protein kinase (PKA) menghasilkan beberapa protein yang
meyebabkan relaksasi. Protein kinase menghambat myosin light chain dan
menurunkan kalsium intraseluler. Mekanisme Agonis β2 dijelaskan pada gambar
enam.5, 22, 23
Methylxanthine
Mekanisme teofilin telah diamati untuk bronkodilator dan
imunomodulator dari pada saluran napas. Teofilin merupakan salah satu
methylxanthine sebagai inhibitor phospodiesterase (PDE) dan antagonis reseptor
adenosin.5 Peningkatan konsentrasi cAMP dan cyclic guanosine monophophate
(cGMP) di intraseluler otot polos saluran napas karena terjadi penghambatan PDE
yang mengubah cAMP menjadi AMP dan cGMP menjadi GMP sehingga terjadi
bronkodilatasi. Aktivasi reseptor adenosin meningkatkan kalsium intraseluler
yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Methylxanthine
merupakan antagonis reseptor adenosin sehingga menghambat kontraksi otot
polos yang teraktivasi dengan kalsium. Efek methylxanthine pada otot polos
saluran napas dijelaskan gambar tujuh.24

12
Gambar 6. Mekanisme kerja β2 agonis.
Keterangan: cAMP= cyclic adenosine monophosphate; ATP=
adenosine trisphosphate; GDP= guanosine diphosphate. GTP=
guanosine triphosphate.
Dikutip dari (23)

Gambar 7. Efek methylxanthine pada otot polos saluran napas


Keterangan: Gs = protein G; AC = adenylyl cyclase; cAMP = cyclic
adenosine monophosphate; ATP = adenosine triphosphate; PDE =
phospodiesterase; Ca++ = ion kalsium.
Dikutip dari (24)
Antikolinergik
Antikolenergik adalah antagonis reseptor muskarinik yang bekerja dengan
menghambat pelepasan asetilkolin. Sintesis asetilkolin pada sel epitel meningkat
karena adanya inflamasi yang meningkatkan ekspresi kolin asetil transferase
sehingga menyebabkan efek kolinergik pada saluran napas. Reseptor muskarinik

13
diekspresikan dalam otot polos saluran napas kecil. Subtipe reseptor muskarinik
yaitu M1,M2, dan M3 paling banyak di otot polos saluran napas.25, 26
Reseptor M1 di ganglia parasimpatis di saluran napas, berfungsi sebagai
regulator transmisi ganglionik. Saraf preganglionik melepaskan asetilkolin yang
bekerja pada reseptor nikotinik pada sel ganglion untuk mengaktivasi saraf
postganglionik. Reseptor M1 memfasilitasi transmisi sinyal tersebut dan
meningkatkan refleks bronkokonstriksi. Reseptor M2 di ujung saraf kolinergik
berperan sebagai inhibitor keluarnya asetilkolin.27
Penghambatan reseptor M2 menyebabkan peningkatan asetikolin dan
meningkatkan respons bronkokonstriksi terhadap stimulasi saraf kolinergik.
Reseptor M3 memediasi respons bronkokonstriksi terhadap stimulasi saraf
kolinergik dan agonis kolinergik. Saraf kolinergik juga meningkatkan produksi
mukus, jadi pemberian antikolinergik juga berguna untuk mengurangi produksi
mukus. Mekanisme agen antikolinergik adalah blokade reseptor M1 dan M3,
serta menjaga fungsi reseptor M2. Pengaturan kolenergik otot polos saluran
napas dapat dilihat pada Gambar delapan.25, 26

Gambar 8. Pengaturan kolenergik otot polos saluran napas


Dikutip dari (25)
Non medikamentosa
Terapi asma yang adekuat selain memperhatikan medikamentosa harus
mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan faktor risiko penyebab
eksaserbasi. Edukasi sangat diperlukan dalam penatalaksanaan asma. Faktor-
faktor yang perlu diperhatikan antara lain berhenti merokok, olahraga dan latihan

14
pernapasan, menghindari parapan iritan, menghindari alergen, menghindari
obesitas, dan menghindari obat yang mencetus serangan asma. 21 Pola hidup sehat
merupakan cara untuk mencegah atau menghindari eksaserbasi asma.5

Tata Laksana Asma Eksaserbasi Akut


Tata laksana asma dalam eksaserbasi meliputi pemberian oksigenasi
hingga tercapai saturasi ≥ 90% pada dewasa dan ≥ 95% pada anak, pemberian
bronkodilator agonis β-2 kerja singkat secara nebulisasi setiap 20 menit dalam satu
jam pertama atau agonis β-2 intravena. Kortikosteroid sistemik diberikan pada
serangan asma berat yang tidak respons terhadap bronkodilator maupun steroid
oral. Penilaian diulang satu jam berikutnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan penunjang.5, 7 Penderita dapat pulang jika respons baik dan stabil dalam
60 menit. Pengobatan dilanjutkan dengan inhalasi agonis β-2, kortikosteroid oral
serta edukasi penderita. Edukasi diberikan kepada pasien mengenai penyakit asma,
pilihan pengobatan, identifikasi dan penghindaran pencetus, indikasi dan cara
penggunaan obat yang diberikan, serta kepatuhan dan pemantauan pengobatan.7
Pasien yang tidak respons pengobatan dapat diberikan inhalasi agonis β-2
yang dikombinasikan dengan antikolinergik, kortikosteroid sistemik, dan
aminophilin drip. Pantau APE, satusari oksigen, nadi, kadar teofilin. Pasien
dirawat di ruang intensive care unit (ICU) jika tidak mengalami perbaikan. Psien
dievaluasi satu jam. Agonis β-2 injeksi subkutan/intravena/intramuskular dapat
ditambahkan. Pemasangan intubasi mekanik dan ventilasi mekanik
dipertimbangkan pada pasien asma yang tidak respons pengobatan dan mengalami
gagal napas.7 Alur diagnosis dan tata laksana asma dijelaskan pada gambar
sembilan.5

15
Alur diagnosis dan tata laksana asma
Pasien dengan gejala: batuk, sesak napas disertai mengi, gejala malam hari, kumatan, ada riwayat alergi dan
pajanan, Pemeriksaan fisik dan penunjang

Tidak ada ronkhi atapun Px fisik paru : inspeksi normal atau ditemukan retraksi, palpasi: fremitus
wheezing, raba kanan simetris dengan kiri atau adanya peningkatan fremitus, perkusi:
sonor atau tergantung klinis pasien, auskultasi:: suara dasar dapat
vesikuler, bronkovesikuler, ataupun bronkial, dapat ditemukan RBK ,
Cek darah rutin, wheezing sering ada, pada kasus silent chest ditemukan tidak adanya
SGOT/SGPT, wheezing
Ureum/Kreatinin, AGD, EKG
Foto toraks PA untuk
menyingkirkan penyakit lain, Periksa peak flow meter atau spirometri untuk menilai: reversibilitas (≥ 15%)
Tes alergi variabilitas (≥ 15%)
Kadar eosinofil total meningkat

Tatalaksana
Diagnosa lain & Tidak berhasil Berikan bronkodilator
evaluasi lebih lanjut
Berhasil

Mungkin Asma, tentukan derajatnya

Intermiten Persisten Ringan Persisten sedang Persisten berat


Gejala < 1x seminggu Gejala> 1 x seminggu, < Gejala setiap hari serangan
Gejala terus menerus,
Tanpa gejala diluar 1x/ hari, serangan mengganggu aktivitas tidur,
sering kambuh, aktivitas
serangan, serangan mengganggu aktivitas membutuhkan bronkodilator
fisik terbatas
singkat tidur setiap hari
Gejala malam: ≤ 2x Gejala malam: > 2x Gejala malam:> 1x/ seminggu Gejala malam: sering
sebulan sebulan
VEP1 ≥ 80% nilai VEP1 ≥ 80% nilai prediksi VEP1 60 - 80% nilai prediksi VEP1 ≤ 60% nilai
prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik APE 60 - 80% nilai terbaik prediksi,
APE ≥ 80% nilai terbaik Variabiliti APE 20% - 30% Variabiliti APE > 30% APE ≤ 60% nilai terbaik,
Variabiliti APE < 20% Variabiliti APE > 30%

Penatalaksanaan
Jangka panjang Saat serangan
Non Medikamentosa: Non Medikamentosa:
o Mengenali dan menghindari faktor pencetus o Oksigen (bila berat membutuhkan ventilator)
o Fisioterapi o Terapi cairan pengobatan asma
o Senam asma dan Edukasi tentang pengobatan asma Medika mentosa
Medika mentosa o Bronkodilator inhalasi, Bronkodilator IV
o Anti inflamasi, Steroid inhalasi, Steroid oral dosis o Kortikosteroid sistemik atau oral
rendah, Teofilin lepas lambat, Obat lain (mukolitik o Antibiotik (sesuai indikasi)
sesuai indikasi)

Gambar 9. Alur Diagnosis dan Tata Laksana Asma


Dikutip dari (5)

16
VENTILASI MEKANIK

Definisi
Ventilasi mekanik atau ventilator merupakan alat pernapasan yang
menghasilkan tekanan baik positif ataupun negatif yang berfungsi untuk
mengembangkan paru dan pemberian oksigen sehingga dapat mempertahankan
fungsi paru dalam hal ventilasi. Bantuan ventilasi yang diberikan mesin ventilator
dapat berupa pemberian volume, tekanan, atau gabungan keduanya. Ventilasi
mekanik merupakan terapi definitif pada pasien kritis yang mengalami hipoksemia
dan hiperkapnia.28 Ventilasi mekanik sering digunakan sebagai profilaktik pada
pasien paska bedah,operasi besar seperti operasi bedah thorak, tumor otak, operasi
abdominal, bedah jantung dan keadaan kritis lainnya dengan tujuan untuk
mempertahankan oksigen dan eliminasi CO2 yang adekuat.28, 29

Klasifikasi

Ventilasi mekanik diklasifikasikan berdasarkan cara alat tersebut


mendukung ventilasi, dua kategori umum adalah ventilator tekanan negatif dan
tekanan positif.28

1. Ventilator Tekanan Negatif


Ventilator tekanan negatif mengeluarkan tekanan negatif pada dada
eksternal. Dengan mengurangi tekanan intratoraks selama inspirasi
memungkinkan udara mengalir ke dalam paru sehingga memenuhi
volumenya. Ventilator jenis ini digunakan terutama pada gagal napas kronik
yang berhubungan dengan kondisi neurovaskular seperti poliomyelitis,
distrofimuscular, sklerosisi lateral amiotrifik dan miastenia gravis.
Penggunaan tidak sesuai untuk pasien yang tidak stabil atau pasien yang
kondisinya membutuhkan perubahan ventilasi sering.
2. Ventilator Tekanan Positif
Ventilator tekanan positif menggembungkan paru dengan mengeluarkan
tekanan positif pada jalan napas dengan demikian mendorong alveoli untuk
mengembang selama inspirasi. Pada ventilator jenis ini diperlukan intubasi

17
endotrakeal atau trakeostomi. Ventilator ini secara luas digunakan pada
pasien dengan penyakit paru primer. Terdapat tiga jenis ventilator tekanan
positif yaitu tekanan bersiklus, waktu bersiklus dan volume bersiklus.
Ventilator tekanan bersiklus adalah ventilator tekanan positif yang
mengakhiri inspirasi ketika tekanan preset telah tercapai. Dengan kata lain
siklus ventilator hidup mengantarkan aliran udara sampai tekanan tertentu
yang telah ditetapkan seluruhnya tercapai, dan kemudian siklus mati.
Ventilator tekanan bersiklus dimaksudkan hanya untuk jangka waktu
pendek di ruang pemulihan. Ventilator waktu bersiklus adalah ventilator
mengakhiri atau mengendalikan inspirasi setelah waktu ditentukan. Volume
udara yang diterima pasien diatur oleh kepanjangan inspirasi dan frekuensi
aliran udara . Ventilator ini digunakan pada neonatus dan bayi. Ventilator
volume bersiklus yaitu ventilator yang mengalirkan volume udara pada
setiap inspirasi yang telah ditentukan. Jika volume preset telah dikirimkan
pada pasien, siklus ventilator mati dan ekshalasi terjadi secara pasif.
Ventilator volume bersiklus sejauh ini adalah ventilator tekanan positif yang
paling banyak digunakan.

Prinsip Kerja
Prinsip utama kerja ventilator dalam memberikan bantuan ventilasi adalah
hubungan timbal balik antara volume dan tekanan. Pemberian volume udara ke
dalam paru, mengakibatkan pertambahan volume udara serta tekanan di dalam
paru, begitupun sebaliknya apabila diberikan tekanan udara ke dalam paru, maka
akan mengakibatkan bertambahnya volume dan juga tekanan udara di dalam ruang
paru. Bantuan ventilasi yang diberikan oleh mesin ventilator dapat berupa
pemberian volume, tekanan (pressure) atau gabungan keduanya volume dan
tekanan. Sesuai dengan prinsip kerja dari ventilator adalah memberikan tekanan
positif ke dalam paru yang akan mengakibatkan pengembangan ruang di dalam paru
sehingga volume dan tekanan udara di dalam paru pun ikut bertambah.28, 29

18
Gambaran ventilator mekanik yang ideal adalah28:
a. Sederhana, mudah dan murah.
b. Dapat memberikan volume tidak kurang 1500 cc dengan frekuensi napas
hingga 60x/menit dan dapat diatur ratio I/E.
c. Dapat digunakan dan cocok digunakan dengan berbagai alat penunjang
pernapasan yang lain.
d. Dapat dirangkai dengan PEEP.
e. Dapat memonitor tekanan, volume inhalasi, volume ekshalasi, volume tidal,
frekuensi napas, dan konsentrasi oksigen inhalasi.
f. Mempunyai fasilitas untuk humidifikasi serta penambahan obat.
g. Mempunyai fasilitas untuk SIMV, CPAP, pressure support.
h. Mudah membersihkan dan mensterilkannya.

Perbedaan antara pernapasan normal dengan ventilator


Pada pernapasan normal, udara dapat masuk ke paru disebabkan adanya
perbedaan tekanan negatif antara alveolus dengan atmosfir. Tekanan di dalam paru
lebih rendah dari pada atmosfir, sehingga udara secara pasif akan bergerak menuju
ke dalam paru. Sementara pada ventilator, udara masuk menuju paru karena
dimasukkan dengan paksa oleh mesin ventilator sesuai dengan jumlah yang
dibutuhkan. Jumlah disini meliputi besarnya tekanan udara inspirasi, besarnya
volume udara, serta jumlah napas dalam semenit 29, 30

Indikasi
Tindakan intubasi dan memulai ventilasi mekanik merupakan hal yang
rumit untuk diputuskan. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik harus
dipertimbangkan dengan baik. Ada kecenderungan untuk menunda intubasi dan
ventilasi mekanik sebisa mungkin dengan harapan hal tersebut tidak perlu
dilakukan. Namun, intubasi yang terencana lebih kurang bahayanya dibandingkan
intubasi emergensi, di samping itu penundaan intubasi dapat menyebabkan bahaya
bagi pasien yang sebenarnya dapat dihindari. Bila kondisi pasien dinilai cukup

19
parah dan membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik dengan segera, maka
jangan menunda untuk melakukan tindakan tersebut.28, 29
1. Gagal napas
Pasien dengan distres pernapasan gagal napas, henti napas (apnu) maupun
hipoksemia yang tidak teratasi dengan pemberian oksigen merupakan
indikasi ventilator mekanik. Idealnya pasien telah mendapat intubasi dan
pemasangan ventilator mekanik sebelum terjadi gagal napas yang
sebenarnya. Distres pernapasan disebabkan ketidakadekuatan ventilasi dan
atau oksigenasi. Prosesnya dapat berupa kerusakan paru (seperti pada
pneumonia) maupun karena kelemahan otot pernapasan dada (kegagalan
memompa udara karena distrofi otot).
2. Insufisiensi jantung
Tidak semua pasien dengan ventilator mekanik memiliki kelainan
pernapasan primer. Pada pasien dengan syok kardiogenik dan CHF,
peningkatan kebutuhan aliran darah pada sistem pernapasan (sebagai akibat
peningkatan kerja napas dan konsumsi oksigen) dapat mengakibatkan
jantung kolaps. Pemberian ventilator untuk mengurangi beban kerja sistem
pernapasan sehingga beban kerja jantung juga berkurang.
3. Disfungsi neurologis
Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang beresiko mengalami apneu berulang
juga mendapatkan ventilator mekanik. Selain itu ventilator mekanik juga
berfungsi untuk menjaga jalan napas pasien. Ventilator mekanik juga
memungkinkan pemberian hiperventilasi pada pasien dengan peningkatan
tekanan intra cranial.
4. Paska operasi besar yang memerlukan bantuan ventilasi untuk memperbaiki
homeostasis, gangguan keseimbangan asam basa serta keadaan anemia
5. Sepsis berat dimana pasien tidak dapat memenuhi peningkatan work of
breathing (WOB) akibat tingginya produksi CO2
6. Pengendalian kadar CO2 sebagai salah satu bagian dari pengelolaan
peningkatan tekanan intra kranial (TIK) misalnya akibat cedera kepala.

20
7. Sebagai bantuan ventilasi pada penderita yang diintubasi atas indikasi
mempertahankan jalan napas.

Kriteria objektif untuk penggunaan ventilasi mekanik adalah:31, 32


- Laju napas > 35 x./menit.
- Volume tidal < 5 ml/kg
- Kapasitas < 15 ml/kg.
- Oksigenasi: PaO2 < 50 mmHg dengan fraksi oksigen 60%.
- Ventilasi: PCO2 > 50 mmHg.

MODE VENTILASI

Mode ventilasi adalah istilah ringkas untuk menggambarkan bagaimana


ventilator bekerja dalam situasi tertentu. Istilah ini ditemukan oleh para dokter, ahli
terapi, atau produsen ventilator yang mengembangkan berbagai tipe ventilasi. Mode
adalah pengaturan khusus dari variable-variabel kontrol dan tahapan tahapan.
Dengan kata lain, kita dapat menggambarkan mode dengan bentuk-bentuk
gelombang tekanan, aliran dan volume yang diperoleh dari jenis mode ventilasi
yang diterapkan pada pasien.31, 32
Mekanisme trigger (pemicu) sering disebut dengan istilah mode. Mode
kontrol (pemicu waktu), mode assist (pemicu tekanan) dan mode assist/control
(pemicu waktu dan tekanan) adalah mode yang paling umum digunakan untuk
memicu ventilator saat inspirasi. Setelah itu, berkembang pula mode-mode ventilasi
lainnya seperti IMV (intermitten mandatory ventilation), SIMV (synchronize
intermitten mandatory ventilation), PEEP (positive end expiratory pressure), CPAP
(continuous positive airway pressure), pressure control, PS (pressure support), dan
APRV (airway pressure release ventilation).31, 32

Controlled Minute Ventilation (CMV)


Mode ventilasi ini sangat mirip dengan mode yang dipakai diruang operasi
dimana laju napas dan volume tidal ditentukan oleh klinisi. CMV digunakan bila

21
napas spontan tidak ada atau minimal, misalnya pada penderita dengan hipoksia
yang berat. 31, 32

Pressure Controlled Ventilasion (PCV)


Klinisi mengatur laju napas dan rasio inspirasi dan ekspirasi. PCV
digunakan untuk melimitasi tekanan pada jalan napas pada paru dengan komplians
yang rendah atau resistensi yang tinggi untuk mencegah risiko barotrauma. Dengan
demikian akan diperoleh volume tidal dan minute volume yang bervariasi sesuai
dengan perubahan komplians dan resistensi.31, 32

Assist-control ventilation (ACV)


Bila penderita sudah mempunyai napas spontan maka CMV atau PCV akan
menjadl ACV. Pada saat ini berisiko untuk terjadinya hiperventilasi.31, 32

Synchronised intermittent mandatory ventilation (SIMV)


Bila ada upaya napas, maka mesin ventilator akan memberikan volume
tidal, atau jika tak ada upaya napas maka mesin ventilator akan memberikan laju
napas. Dengan demikian minute volume akan selalu terjamin keberadaannya.
Selanjutnya setiap napas spontan tidak dibantu lagi, akan tetapi sirkuit akan
mengalirkan oksigen.31, 32
Pada SIMV, pengaturan volume tidal disesuaikan dg usaha napas spontan
penderita atau jika tidak ada napas spontan volume tidal yang dikeluarkan oleh
ventilator akan disesuaikan dengan nengaturan frekwensi napas (preset rate).
Sehingga volume minimal terpenuhi. Bila pasien bernapas spontan maka bantuan
ventilator untuk memberikan volume tidal tidak ada, akan tetapi mesin akan tetap
mengalirkan oksigen. Dengan demikian dapat dihasilkan volume semenit yang
lebih tinggi. SIMV digunakan untuk menyapih pasien dari CMV dengan
mengurangi secara bertahap frekwensi napas sehingga merangsang ventilasi
spontan. Pressure support dapat ditambahkan pada penderita yang sudah bernapas
spontan.31, 32

22
Ventilasi dengan rasio terbalik (Inverse ratio ventilation)
Siklus respirasi adalah satuan waktu yang diperlukan untuk memasukkan
dan mengeluarkan udara pada setiap tarikan napas yang dihasilkan oleh ventilator.
Siklus ini dibagi menjadi waktu inspirasi dan ekspirasi .Rasio inspirasi dan
ekspirasi yang normal adalah 1:2-3.Pemanjangan relatif waktu inspirasi [invers
rasio ventilasi ] sering digunakan untuk memperbaiki pertukaran gas pada pasen
dengan oksigenasi kurang. Umumnya dipakai ratio 1:1. Cara ini digunakan baik
pada mode pressure control maupun volume control ventilation.31, 32

PRESSURE SUPPORT
Pada keadaan ini terdapat napas spontan pasen dan tidak ada pengaturan
frekuensi napas. Ventilator akan memberikan tekanan positif pada jalan napas
sebagai respon terhadap upaya pernapasan. Volume tidal bervariasi sesuai dengan
komplain rongga dada dan resistensi jalan napas . Biasanya dimulai dengan
tekanan 20-30 cm H2O dan diturunkan bila gerakan respirasi pasen membaik.
Kadang dapat dikombinasikan dengan SIMV untuk membantu frekuensi
pernapasan spontan. Sesuai dengan usaha inspirasi pasen, maka ventilator akan
memberikan bantuan tekanan inspirasi. Volume assured pressure support adalah
suatu modifikasi alternatif dimana ventilator secara otomatis dapat mpngatur
tekanan inspirasi yang harus diberikan untuk mencapai tidal volume minimal yang
diinginkan.31, 32

Positive End Expiratory Pressure (PEEP) dan Continous Positive Airway


Pressure ( CPAP)
Pada mode ini tekanan jalan napas dibuat selalu lebih tinggi dari based line
baik pada saat ventilasi mekanik (PEEP) maupun saat ventilasi spontan (CPAP).
Dengan cara ini oksigenasi dan pergerakan napas dinding dada akan tetap baik
karena volume alveolus pada akhir expirasi tetap dipertahankan. Hal ini akan
memperbaiki volume paru yang tadinya berkurang pada saat akhir expirasi menjadi
normal kembali.31, 32

23
BANTUAN VENTILASI NON INVASIF

Saat ini telah tersedia berbagai modifikasi ventilator yang dapat


memberikan tekanan positif pada jalan napas dengan cara menggunakan masker
yang melekat erat dengan wajah atau nasal. Masker ini dapat berupa masker nasal
atau full face masker. Dengan cara ini dapat digunakan CPAP atau tanpa tambahan
tekanan positif pada saat inspirasi. Penderita dapat juga memakai semacam helm
kemudian bantuan insprasi diberikan melalui mouthpiece. Ventilator jenis ini ada
yang dapat dipakai untuk penderita yang diintubasi tapi dapat bernapas spontan.
Tujuannya adalah untuk menghindari atau mencegah penderita dari tindakan
intubasi endotracheal.31, 32

Indikasi
a. Hipoksia sehingga kebutuhan laju napas, upaya napas dan FiO2 meningkat.
b. Hiperkapni dan tampak kelelahan.
c. Mencegah supaya jangan sampai diintubasi bila misalnya pada pasien
dengan yang mengalami keterbatasan aliran udara secara kronis, pemakaian
imunosupresi.
d. Mengurangi beban otot pernapasan pada penderita dengan PEEP yang
tinggi (asma, chronic airflow limitasi). Dipergunakan dengan hati2 dan
pengawasan ketat.
e. Teknik fisioterapi untuk untuk meningkatkan Functional Residual Capasity
(FRC).
f. Sleep apnea.
g. Suatu tahapan dalam proses penyapihan.

Inspiratory support
Tekanan inspirasi yang di berikan oleh ventilator dicetuskan oleh napas
pasien. Besarnya tekanan ini disesuaikan dengan upaya napas yang dimiliki pasien.
Beberapa mesin akan memberikan frekuensi napas dengan rasio inspirasi: ekspirasi
(I:E) secara otomatis sesuai dengan kebutuhan. Volume tidal yang dihasilkan
tergantung dari komplian paru.31, 32

24
BiPAP (Bi-level Positif Airways Pressure)
Mesin ventilator ini dapat mengatur PS dan PEEP. Laju napas bisa berasal
dari pasien dan/atau mesin. Beberapa mesin BiPAP menggunakan udara luar untuk
meningkatkan FiO2, sedangkan pemberian O2 dapat dilakukan melalui lubang
masuk yang berada pada masker.31, 32

Penatalaksanaan
a. Pilih tipe dan mode bantuan ventilasi yang sesuai
b. Gunakan masker yang paling sesuai ukurannya sehingga kedap udara dan
penderita merasa nyaman. Pada awal pemasangan dapat diberikan tekanan
10 -15 cmH2O yang kemudian disesuaikan dengan respon pasien (laju
napas, derajat kelelahan, kenyamanan pasien serta hasil AGD.
c. Expiratory pressure support biasanya berkisar sekitar 5-12cmH2O. Pada
awalnya penderita dengan resplratory distress biasanya tidak toleran
dengan cara ini. Diperlukan pengamatan yang ketat dan terus menerus untuk
membiasakan pasien memakai masker. Sementara itu kita terus mencari
mode support dan rasio I : E yang paling optimal.
d. Dosis rendah opiat (diamorfin 2.5mg) untuk menenangkan pasien tanpa
menyebabkan depresi napas harus diberikan secara hati-hati.
e. Pada beberapa pasien setelah memakai masker yang melekat erat selama
beberapa hari dapat timbul gejala clautrophobia . Hal ini dapat diatasi
dengan jalan mengistirahatkan beberapa saat secara berkala.
f. Daerah yang mendapat tekanan seperti batang hidung harus dilindungi
untuk mencegah perlukaan.

VENTILASI PROTEKTIF PARU (LUNG-PROTECTIVE VENTILATION)

Risiko timbulnya cedera paru yang disebabkan pemberian volume inflasi


yang besar telah mendorong dilakukannya penelitian klinis yang mengevaluasi
pemberian volume tidal yang lebih rendah pada ventilasi tekanan positif. Penelitian
terbesar yang pernah dilakukan terhadap 800 pasien dengan ARDS dan
membandingkan ventilasi dengan pemberian volume tidal 6 ml/kg dengan 12 ml/kg

25
berat badan perkiraan (berat badan dengan volume paru yang normal). Ventilasi
dengan volume tidal yang rendah berhubungan dengan penurunan absolut dari
angka kematian yaitu 9% pada end-inspiratory plateau pressure di bawah 30
cmH2O.33, 34 Ventilasi dengan volume rendah atau ventilasi protektif paru saat ini
telah direkomendasikan untuk semua pasien dengan ARDS. Ventilasi protektif paru
dengan volume tidal rendah dipertimbangkan sebagai strategi yang bermanfaat
untuk semua pasien dengan gagal napas akut. Tata cara ini dirancang untuk
mencapai dan mempertahankan volume tidal 6 ml/kg berat badan perkiraan.33

Tata Cara Ventilasi Protektif Paru


1. Pilih mode assist-control dan FiO2 100%.
2. Atur volume tidal awal (VT) 8 ml/kg berat badan perkiraan (predicted
body weight/PBW):
a. Laki-laki : PBW = 50 + 0,91 kg (perkiraan tinggi badan 152,4 cm).
b. Wanita : PBW = 45,5+ 0,91 kg (perkiraan tinggi badan 152,4 cm).
3. Pilih laju respirasi untuk mencapai minute ventilation (MV) pra ventilator,
namun jangan melebihi 35x/menit.
4. Tambahkan PEEP 5-7 cm H2O.
5. Kurangi VT sebanyak 1 ml/kg setiap 2 jam sampai VT 6 ml/kg.
6. Sesuaikan FiO2 dan PEEP untuk mempertahankan PaO2 >55 mmHg atau
SaO2 >88%.
7. Bila VT turun menjadi 6 ml/kg, ukur:
a. Plateau pressure (Ppl).
b. PCO2 dan pH arterial.
8. Jika Ppl> 30 cm H2O atau pH< 7,30 ikuti rekomendasi tata cara ventilasi
volume rendah pada ARDS.

26
WEANING VENTILASI MEKANIK

a. Pasien yang mendapatkan ventilasi mekanik dalam waktu singkat


misalnya setelah operasi besar sering kali dapat disapih dengan cepat
seperti yang dilakukan diruangan operasi yaitu mengakhiri sedasi,
kemudian dengan cepat memakai T-piece lalu diekstubasi.
b. Kondisi ini berbeda sekali dengan pasen sakit kritis yang kadang dalam
proses penyapihan ventilator mengalami hambatan.
c. Perubahan kondisi pasen dari hari kehari pada masa pemulihan fungsi organ
pernapasan seringkali secara temporer membutuhkan bantuan ventilasi
mekanik kembali.

Pengukuran fungsi sistem pernapasan sehubungan dengan keberhasilan


proses penyapihan dari ventilasi mekanik adalah: 31, 32
1. Volume tidal > 5 ml/kg.
2. Kapasitas vital > 10-15 ml/ kg.
3. Fungsional Residual Capacity >50 % nilai prediksi.
4. Kekuatan inspirasi maksimal > -25 cmH2O.
5. Laju napas < 30x/ menit.
6. Minute Volume < 10 L/ menit.
7. PH > 7,3.
8. Peningkatan PaCO2 pada respirasi spontan < 1,5 kPa.
9. PaO2 > 8 kPa pada kadar oksigen ≤40 %.

Hal terpenting pada penilaian ini adalah keberhasilan pertukaran gas. Oleh
karena itu penilaian klinis menjadi sangat penting dan dapat memberikan petunjuk
adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan bantuan ventilasi. Faktor-faktor
yang berhubungan denga kesulitan saat menyapih dari ventilator mekanik adalah:
31, 32

1. Kelainan patologi primer yang menetap.


2. Gagal ginjal atau kardiovaskular yang tidak dapat diobati
3. Malnutrisi

27
4. Sepsis atau pireksia (peningkatan kebutuhan metabolik).
5. Kelebihan cairan
6. Residual dari zat sedatif
7. Ketidakseimbangan elektrolit (terutama Ca, Mg, K, PO4)
8. Anemia
9. Nyeri
10. Distensi abdommen

Trakeostomi merupakan salah cara proses penyapihan, terutama pada pasien


yang telah lama sakit. Keuntungan trakeostomi adalah:
a. Mengurangi kebutuhan zat sedatif. Kebanyakan pasien yang ditracheostomi
membutuhkan hanya sedikit atau tidak sama sekali sedatif dibandingkan
dengan pemasangan ETT (karena lebih mengakibatkan stimulasi). Karena
penderita menjadi lebih tenang maka metabolisme menjadi lebih efisien dan
nutrisi lebih mudah diperbaiki.
b. Memperbaiki oropharingeal toilet sehingga dapat mengurangi kejadian
infeksi nosokomial.
c. Mengurangi resistensi jalan napas.
d. Mempermudah pengeluaran sekret dari saluran napas bagian bawah.
e. Memberikan kemudahan dalam mengganti sistem bantuan pernapasan
(misalnya penderita perlu ventilator lagi).

VENTILASI MEKANIK PADA ASMA BERAT


Penderita asma berat yang tidak respons terapi medis dapat segera diberikan
intervensi dalam upaya memberikan oksigenasi dan ventilasi yang memadai.
Intervensi dilakukan dengan cara pemberian non invasive positive pressure
ventilation (NIPPV) atau ventilasi mekanik tekanan positif invasif. Pasien asma
memiliki kecenderungan mengalami keterbatasan aliran udara yang parah sehingga
sulit untuk menghembuskan napas semua gas yang terinspirasi. Hal ini
mengakibatkan terjadinya gas trapping yang mengarah pada hiperinflasi dinamis

28
dan disebut sebagai positive end expiratory pressure (PEEP dan auto-PEEP).
Mekanisme hiperinflasi dinamis digambarkan oleh gambar 9.9

Gambar 9. Mekanisme Hiperinflasi Dinamis


Dikutip dari (9)
Hiperinflasi dinamis didefinisikan sebagai kegagalan paru untuk kembali ke
volume rileks atau ke kapasitas residu fungsionalnya pada akhir ekspirasi. Gas
trapping dianggap sebagai komponen hiperinflasi yang disebabkan oleh oklusi
jalan napas. Hiperinflasi dapat beradaptasi dengan peningkatan volume paru yang
lebih tinggi, peningkatan diameter jalan napas dan tekanan elastis rekoil yang
meningkatkan aliran ekspirasi. Hiperinflasi dinamis yang berlebihan berisiko
menyebabkan hipotensi dan barotrauma selama pemasangan ventilasi mekanik
pada asma berat. Hal ini merupakan penyebab umum morbiditas dan mortalitas
akibat pemasangan ventilasi mekanik pada pasien asma.9
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa NIPPV pada pasien asma berat
dapat memperbaiki fungsi paru dan menurunkan masa rawat inap. Penelitian lain
menunjukkan bahwa NIPPV mengurangi pemasangan intubasi endotrakeal serta
menurunkan morbiditas dan mortalitas.9 Penggunaan NIPPV pada pasien anak
harus hati-hati. Kontraindikasi NIPPV adalah cardiac respiratory arrest,
ensefalopati berat, ketidakstabilan hemodinamik, operasi maupun deformitas
wajah, risiko tinggi aspirasi, kegagalan organ non respirasi, perdarahan berat
gastrointestinal bagian atas, aritmia tidak stabil, dan obstruksi jalan napas bagian
atas.9

29
Keputusan intubasi harus didasarkan pada pertimbangan klinis. Penanda
kerusakan meliputi meningkatnya karbon dioksida (termasuk normalisasi keadaan
hipokapnik pasien sebelumnya), kelelahan, depresi status mental, ketidakstabilan
hemodinamik dan hipoksemia refrakter. Pertimbangan klinis sangat penting karena
banyak pasien yang mengalami hiperkapnia tetapi tidak memerlukan intubasi.
Keputusan intubasi tidak hanya berdasarkan gas darah. Keterbatasan aliran udara
yang berat selalu dikaitkan dengan eksaserbasi asma berat dan terjadi akibat
bronkokonstriksi, edema jalan napas dan obstruksi mukosa. Kerja napas secara
signifikan meningkat. Meningkatnya kerja terjadi karena proses pasif ekspirasi
menjadi aktif sebagai usaha memaksa gas yang terinspirasi keluar dari paru.9
Inspirasi meningkat akibat tingginya resistensi jalan napas dan hiperinflasi.
Hiperinflasi menyebabkan paru dan dinding dada bekerja pada kondisi suboptimal
yang ditunjukkan pressure-volume curves (overstretched) sehingga meningkatkan
kerja untuk meregangkannya lebih lanjut dalam usaha mencukupi ventilasi. Gas
trapping terjadi karena rendahnya laju arus ekspirasi dan pemanjangan waktu
ekspirasi yang diperlukan untuk mengeluarkan seluruh volume udara terinspirasi.
Gas trapping mengakibatkan penambahan tekanan pada akhir ekspirasi (auto-
PEEP atau PEEP intrinsik) lebih tinggi daripada PEEP yang diberikan dan
mengarah ke hiperinflasi dinamis. PEEP Otomatis, PEEP intrinsik dan hiperinflasi
dinamis adalah istilah yang sering digunakan secara bergantian.9
Pertimbangan untuk pengaturan ventilator awal pada penderita asma berat
menggunakan volume tidal rendah dan laju pernapasan, memperpanjang waktu
ekspirasi sebanyak mungkin, mempersingkat waktu inspirasi sebanyak mungkin
serta memonitor perkembangan hiperinflasi dinamis. Ventilator awal digunakan
dalam tekanan mode kontrol, mengatur tekanan untuk mencapai volume tidal 6-8
ml/kg, laju pernapasan 11-14 kali tiap menit dan PEEP pada 0-5 cmH2O.
Pengaturan ini bertujuan mendapatkan pH di atas 7.2 dan plateau airway pressure
(Pplat) kurang dari 30 cmH20. Evaluasi kondisi pasien apabila kadar Pplat kurang
dari 30 cmH2O tidak dapat dipertahankan. Evaluasi meliputi pneumotoraks, salah
letak tabung endotrakeal, edema paru, serta kemungkinan pengembangan
hiperinflasi dinamis.9

30
Evaluasi dilakukan apabila kondisi hiperkapnia permisif dengan pH kurang
dari 7.2 terjadi. Evaluasi meliputi pertimbangan peningkatan sedasi maupun
paralisis dan metode penurunan produksi karbon dioksida misalnya dengan
mengurangi demam, mencegah over-feeding, menurunkan usaha pasien. Pemberian
sodium bikarbonat untuk mempertahankan pH 7,2 pada pasien dengan status
asthmaticus tidak terbukti menunjukkan manfaat apapun. Keputusan tentang
pengelolaan ventilator yang sedang berjalan harus didasarkan pada prinsip-prinsip
yang digariskan dalam tinjauan ini.9

31
SIMPULAN
1. Asma merupakan penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi
kronik saluran napas yang menimbulkan gejala pernapasan yaitu mengi,
sesak napas, dada terasa berat, dan batuk yang berat gejala dan
intensitasnya berbeda-beda dari waktu ke waktu disertai keterbatasan aliran
udara ekspirasi yang bervariasi.
2. Tata laksana asma dalam eksaserbasi meliputi pemberian oksigenasi
hingga tercapai saturasi ≥ 90% pada dewasa dan ≥ 95% pada anak,
bronkodilator agonis β-2 kerja singkat secara nebulisasi setiap 20 menit
dalam satu jam pertama atau agonis β-2 injeksi, dan kortikosteroid sistemik
apabila tidak respons pengobatan.
3. Intubasi mekanik dan ventilasi mekanik dapat diberikan pada pasien asma
yang tidak respons pengobatan dan mengalami gagal napas.
4. Insidensi pasien asma yang dirawat di intensive care unit (ICU) sekitar 10%
dan 2% terpasang intubasi.
5. Ventilasi mekanik atau ventilator merupakan alat pernapasan yang
menghasilkan tekanan baik positif ataupun negatif yang berfungsi untuk
mengembangkan paru dan pemberian oksigen sehingga dapat
mempertahankan fungsi paru dalam hal ventilasi.
6. Penderita asma berat yang tidak respons terapi medis dapat segera diberikan
intervensi dengan non invasive positive pressure ventilation (NIPPV)
maupun invasive positive pressure ventilation.
7. Pasien asma memiliki kecenderungan mengalami keterbatasan aliran udara
yang berat sehingga mengakibatkan terjadinya gas trapping yang mengarah
pada hiperinflasi dinamis.
8. Ventilasi mekanik pasien asma yang tidak respons terapi direkomendasikan
pemsangan non invasive positive pressure ventilation (NIPPV).

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Jackson DJ, Sykes A, Mallia P, Johnston SL. Asthma exacerbations: Origin,


effect, and prevention. J Allergy Clin Immunol. 2011;128(6):116-174.
2. Afandi S, Yunus F, Andarini S, A AK. Tingkat kontrol pasien asma di
Rumah Sakit Persahabatan berdasarkan asthma control test beserta
hubungannya dengan tingkat morbiditas dan faktor risiko. Respirology
Indonesia. 2013;33(4):230-243.
3. Eder W, Ege MJ, Mutius EV. The Asthma Epidemic. N Engl J Med.
2006;355:2226-2235.
4. Ratnawati. Epidemiologi asma. J Respir Indo. 2011;31:172-174.
5. PDPI. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma: pedoman diagnosis dan
tatalaksana di Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. p. 3-79.
6. Sutoyo DK, Setyanto DB, Rengganis I, Yunus F, Sundaru H. Manajemen
dan pencegahan In: Wiyono WH, Supriatno B, Rogayah R, Munasir Z,
Antariksa B, Ratnawati, editors. Pedoman tata laksana asma. Jakarta:
Dewan Asma Indonesia; 2011. p. 27-51.
7. Syafiuddin T, Tarigan A. Asma. In: Syafiuddin T, Tarigan A, editors. Buku
Ajar Respirasi. Medan: USU Press; 2017. p. 244-279.
8. Syarani F. Gagal napas. In: Syarani F, editor. Buku ajar respirasi. Medan:
USU Press; 2017. p. 551-571.
9. Stather DR, Stewart TE. Clinical review: mechanical ventilation in severe
asthma. BioMed. 2005:581-587.
10. GINA. Definition and overview. Global initiative for asthma Global
strategy for asthma management and prevention: NHLBI/WHO Workshop
report; 2017. p. 1-14.
11. Barnes PJ. Pathophysiology of asthma. Eur Respir Journal. 2003;23:84-
113.
12. Olin JT, Wechsler ME. Asthma: pathogenesis and novel drugs for treatment.
BMJ. 2014;349:1-11.
13. Humbert M, Kay AB. Chronic inflammation in asthma. Eur Respir Journal.
2003;23:126-137.
14. Khan MA. Inflammation signals airway smooth muscle cell proliferation in
asthma pathogenesis. Multidiscip Respir Med. 2013;8:1-5.
15. Weinberger ES, Cockrill B, Mandel J. Asthma. In: Weinberger ES, Cockrill
B, Mandel J, editors. Principles Pulmo Medicine 6th ed. Philadelphia:
Elsevier; 2008. p. 73-90.
16. Currie GP, Ayres JG. Occupational asthmagens. Prim Care Respir J.
2005;14(2):72-77.
17. WHO. European academy of allergy and clinical immunology. Global
atlas of asthma: World Health Organization.; 2013. p. 2-160.
18. Grimm LJ. Asthma imaging. 2016. [cited on 2018 Jan 5th]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/353436-overview.html.

33
19. Zang XY, Simpson JL, Powell H, Yang IA, Upham JW, Reynold PN. Full
blood count parameters for the detection of asthma inflammatory
phenotypes. Clin Ext Ellergy. 2014;44:1137-1145.
20. Szefler SJ, Wenzel S, Brown R, Erzurum SC, Fahy JV, Hamilton RG.
Asthma outcomes: biomarkers. J Allergy Clin Immunol. 2012;129:1-33.
21. Reddel HK, Bateman ED, Becker A, Boulet LP, Cruz AA, Drazen JM. A
summary of the new GINA strategy: a roadmap to asthma control. Eur
Respir Journal. 2015;46:622-639.
22. Barisione G, Baroffio M, Crimi E, Brusasco V. Beta adrenergik agonists.
Pharm Res. 2010;3:1016-1044.
23. Gardenhire. Herbal Pharmacology. Rau’s respiratory care
pharmacology. Philadelphia: Elsevier; 2012. p. 33-44.
24. Tilley SL. Methylxanthines in asthma. Handb Ext Pharmacol. 2011;17:440-
451.
25. Brusasco V. Reducing cholinergic constriction: the major reversible
mechanism in COPD. Eur Respir Rev. 2006;15:32-36.
26. Scullion JE. The development of anticholinergics in the management of
COPD. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis. 2007;3(1):33-40.
27. Busse W, Bell MC. Asthma. In: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi
M, Senior R, Pack A, editors. Fishman’s Pulmonary Diseases And
Disorders Vol 1 & 2. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 673-741.
28. Shaila S. Practical Application of Mechanical Ventilation. New York:
McGraw-Hill; 2010.
29. Sundana K. Ventilator Pendekatan Praktis di Unit Perawatan Kritis.
Bandung: CICU RSHS; 2008.
30. Latief S. Petunjuk praktis anestesiologi Edisi ke 2. Jakarta: bagian
anestesiologi dan terapi intensif FK UI; 2007.
31. Wijayanti V, A AN. Ventilasi Mekanik. Bandung: Bagian Anestesiologi
dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2012.
32. Pranggono EM. Ventilasi Mekanik. Bandung: Subbagian Pulmonologi,
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS Dr. Hasan Sadikin/FK Unpad 2012.
33. Marino PL. Principles of mechanical ventilation. In: Marino PL, editor. The
Icu Book 3rd ed. New York: Lippincott Williams and Wilkins,Inc; 2007. p.
457-511.
34. Pilbeam SP. History of resuscitation, intubation and early mechanical
ventilation. In: Pilbeam SP, editor. Mechanical Ventilation; Physiological
and Clinical Applications 3rd ed. St.Louis Missouri: Mosby Inc; 2004. p.
4-17.

34

Anda mungkin juga menyukai