Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asma
1. Definisi Asma

Asma adalah gangguan kronik pada saluran napas yang mengalami

peradangan kronik bersifat hiperresponsif bila terangsang oleh faktor

resiko tertentu sehingga membuat jalan napas terhambat dan membuat

aliran udara pun ikut terhambat karena adanya konstriksi bronkus, mukus,

dan adanya proses peradangan yang meningkat (Almazini, 2012).

Menurut data World Health Organization tahun 2021, penyakit asma

merupakan salah satu penyakit pernapasan tidak menular yang ditandai

dengan serangan sesak napas dan mengi yang berulang. Gejala dapat

terjadi beberapa kali dalam sehari atau minggu pada penderita. Ketika

terjadi serangan asma, saluran bronkial akan membengkak, sebingga

menyebabkan saluran udara akan mengalami penyempitan dan

mengurangi aliran udara yang masuk dan keluar dari paru-paru. Gejala

penyakit asma yang sering mengalami kekambuhan akan menyebabkan

seseorangan mengalami kesulititan untuk tidur, sehingga terjadi kelelahan

di siang hari yang akan mengakibatkan berkurangnya tingkat aktivitas,

serta memberikan efek untuk absen dari kegiatan di sekolah dan kerja.

Namun, demikian penyakit asma memiliki tingkat kematian yang tidak

terlalu tinggi jika dibandingkan dengan penyakit kronis lainnya. Faktor

risiko terbesar pada perkembangan penyakit asma adalah kombinasi dari

kecenderungan genetik dan juga paparan dari lingkungan.

6
7

Menurut Global Initiative for Asthma (2020) penyakit asma

merupakan penyakit pernapasan kronis yang umum menyerang 1-18%

populasi di berbagai negara. Penyakit asma ditandai dengan berbagai

gejala mengi, sesak napas, dada, dan batuk, serta terbatasnya aliran

pernapasan.

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018

penyakit asma merupakan kondisi peradangan kronik pada saluran napas

yang mengakibatkan menyempitnya saluran napas (hiperaktivitas

bronkus) sehingga terjadi gejala episodik berulang seperti mengi, sesak

napas, dada terasa berat, dan batuk terutama pada malam atau dini hari,

namun penyebab pasti dari penyakit asma belum diketahui.

2. Etiologi Penyakit Asma


Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NIH) (2020)

penyebab pasti penyakit asma tidak diketahui dan mungkin berbeda pada

tiap individu. Namun, penyakit asma sering kali menjadi respon dari

sistem imun terhadap paru-paru, secara normal sistem imun tubuh

memberikan respon terhadap zat yang terdapat di lingkungan atau yang

disebut dengan alergen. Ketika seseorang menghirup alergen, sistem imun

pada saluran pernapasan memberikan reaksi terhadap alergen dengan

menimbulkan peradangan. Peradangan menyebabkan saluran pernapasan

membengkak dan menyempit, serta mungkin menghasilkan lendir lebih

banyak, sehingga hal-hal tersebut dapat menyebabkan kesusahan

bernapas.
8

Gambar 1. 1 Penyempitan jalan napas penderita asma (NIH, 2020)

3. Faktor Resiko Penyakit Asma


Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2018) penyebab

pasti dari penyakit asma belum diketahui. Para peneliti menyatakan bahwa

beberapa interaksi dari faktor genetik dan lingkungan dapat menyebabkan

dideritanya penyakit asma. Namun penyakit ini paling sering diderita pada

awal masa kehidupan atau pada masa usia anak. Faktor resiko asma

meliputi:

a. Atopi: Kecenderungan yang mengembangkan alergi.

b. Genetik: Diturunkan oleh keluarga atau orangtua yang memiliki

riwayat asma.

c. ISPA: Infeksi saluran pernapasan tertentu terutama selama masa usia

kanak-kanak.

d. Alergen: Kontak dengan beberapa alergen di udara atau paparan

beberapa infeksi virus ketika sistem kekebalan tubuh sedang dalam

masa perkembangan.

Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute (2020) penyakit

asma dapat diderita oleh semua rentang usia namun sering kali mulai
9

dialami ketika usia anak. Terkadang penyakit asma berkembang ketika

usia dewasa, terutama pada wanita. Meskipun demikian, faktor penyebab

munculnya penyakit asma antara lain adalah

a. Lingkungan

b. Riwayat keluarga atau genetik

c. Kondisi medis lain

d. Ras atau etnis

e. Jenis kelamin

4. Patogenesis dan Patofisiologi Penyakit Asma


Menurut Rahajoe et al., (2016) penyakit asma merupakan proses

perkembangan alergen-IgE spesifik di awal kehidupan dan menjadi faktor

resiko munculnya asma, di negara-negara maju. Terjadi karena inflamasi

kronik yang khas pada dinding saluran pernapasan, sehingga

menyebabkan reaktivitas saluran pernapasan dan mengakibatkan

terhambatnya aliran udara yang menyempit. Perubahan terjadi karena

adanya inflamasi pada saluran pernapasan berupa aktivitas sel mast,

eosinophil, magrofag, dan sel limposit T pada mukosa dan lumen dan bisa

terjadi meskipun asma tidak menunjukan gejala. Gambaran klinis tersebut

berkaitan dengan derajat keparahan asma. Dengan adanya inflamasi

kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi saluran

pernapasan dan menyebabkan perubahan fungsional dan struktural atau

penebalan yang tidak normal di saluran pernapasan yang disebut

remodelling.
10

a. Patogenesis

1) Mekanisme Imunologi Inflamasi Saluran Pernapasan

Sebanyak 40% penderita asma umumnya dikaitkan dengan

atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Terdapat dua macam T-

hyeper (Th1 dan Th2), limfosit subtype CD4+ dalam produksi

sitokin. Walau, limfosit T mensekresi interleukin-3 (IL-3) dan

granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF),

Th1 memproduksi IL-2, IF-γ dan TNF ꞵ dan Th2 yang

memproduksi sitokin berperan terjadinya asma seperti IL-4, IL-

5, IL-9, IL-13, dan IL-16 bertanggung jawab terhadap reaksi

hipersensitivitas tipe fase lambat atau cell-mediated.

Awal terjadainya respon imun karena aktivitasi limfosit T

oleh antigen yang melibatkan molekul major histocompability

complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas 1 di sel

T CD8+). Sel dendritik Antigen Presenting Cell (APC) dalam

saluran pernapasan, terbentuk oleh prekursornya sumsum tulang

belakang, membentuk jaringan luas dan sel yang saling terhubung

di epitel saluran pernapasan. Setelah itu, sel-sel berpindah ke

daerah sel limfoid berkumpul di bawah oleh pengaruh GM-CSF

adalah sitokin yang terjadi karena aktivitas sel epitel, fibroblast,

sel T, magrofag, dan sel mast. Kemudian antigen ditangkap, sel

dendritik berpindah ke lokasi yang memiliki banyak kandungan


11

limfosit. Di lokasi tersebut, karena adanya pengaruh sitokin yang

lainnya, sel dendritik matang sebagai APC efektif. Sel dendritic

mendorong polarisasi sel T naïve-Th0 ke Th2 mengkoordinir

sekresi sitokin yang masuk dalam cluster gen 5q31-33 (IL-4

genecluster).

Gambar 1. 2 Patogenesis asma (GINA, 2002; Raharjoe et al., 2016)

Karena eosinophil dan limfosit yang teraktivasi pada biopsi

bronkus pada pasien asma atopi dan non-atopi wheezing

mengindikasi ada interaksi sel limfosit T-eosinofil sangat penting

dan diperkuat adanya temuan sel yang mengekspresikan IL-5 pad

biopsy bronkus pada seseorang yang memiliki asma atopi.

Adanya jumlah mukosa pada saluran pernapasan berkaitan

dengan aktivitas sel limfosit T dan eosinophil (Rahajoe et al.,

2016).
12

2) Inflamasi Akut dan Kronik

Pasien dengan alergi yang terkena paparan alergen inhalasi

akan mengalami respon alergi fase cepat kemudian dapat

menimbulkan respon fase lambat. Respon fase cepat disebabkan

oleh aktifnya sel yang sensitive karena alergen IgE-spesifik

terutama pada sel must dan magrofag.

Penderita asma yang memiliki alergi kuat terhadap

munculnya asma, basophil juga turut berperan. Hubungan sel

dengan IgE menjadi reaksi biokimia serial yang mampu

menghasilkan sekresi preteolitik, enzim glikolitik, mediator

newly generated, heparin, dan histamine, seperti oksigen reaktif,

adenosine, leukotriene, prostaglandin. Sehingga menyebabkan

kontraksi yang terdapat pada otot polos saluran napas dan

menstimulus hipersekresi mucus, saraf aferen, kebocoran

mikrovaskuler, dan vasodilatasi.

Pada reaksi fase lambat selama terjadinya pajanan alergen,

aktivitas sel pada saluran pernapasan menghasilkan sitokin

menuju sirkulasi sehingga terjadinya rangsangan yang

menyebabkan lepasnya leukosit proinfalamasi terutama pada sel

prekursornya dan eosinophil dari sumsum tulang belakang

menuju sirkulasi (Rahajoe et al., 2016).


13

3) Remodelling Saluran Pernapasan

Suatu rangkaian yang mengakibatkan deposisi jaringan yang

menghubungkan dan merubah struktur di saluran napas melalui

suatu proses maturasi struktur sel dan diferensiasi. Kombinasi

kerusakan sel epitel, perbaikan epitel berlanjut, produksi yang

lebih faktor pertumbuhan profibrotik/transforming growth

factors (TGF-ꞵ), proliferasi serta diferensiasi fibroblast yang

berubah menjadi miofibroblas dipercaya menjadi proses

terpenting tejadinya remodelling.

Umumnya, saluran pernapasan pada penderita asma

menunjukan terjadinya perubahan stuktur yang bervariasi dan

menyebankan adanya penebalan dinding pada saluran

pernapasan. Asma dipercaya sebagai salah satu obstruksi saluran

pernapasan yang bersifat revesible. Reversibilitas yang

menyeluruh dapat dilihat dengan mengunakan spirometri pasca

terapi inhalasi steroid. Namun, terdapat beberapa pasien

penderita asma mengalami obstruksi saluran pernapasan residual

yang bisa terjadi dan tidak menunjukan gejala, ini menunjukan

adanya remodelling saluran pernapasan (Rahajoe et al., 2016).

b. Patofisiologis Asma

1) Obstruksi Saluran Pernapasan

Adanya inflamasi pada saluran pernapasan membuat

terganggunya fungsi pada penderita asma. Gangguan tersebut


14

mengakibatkan penyumbatan pada saluran pernapasan sehingga

menyebabkan terbatasnya aliran udara yang mampu kembali,

baik secara spontan ataupun pasca pengobatan.

Faktor utama yang mempengaruhi obstruksi saluran

pernapasan disebabkan oleh kontraksi otot polos bronkus yang

terprovokasi oleh lepasnya agonis (tripatase, histamine,

leukotriene C4 dan prostaglandin D2 dari sel mast, asetikolin dari

saraf eferen postganglionic, dan neuroeotida dari saraf aferen)

dari sel inflamasi. Adanya penebalan dinding saluran pernapasan

memperkuat kontrasi otot polos yang terjadi karena edema akut,

hyperplasia, infiltasi sel inflamasi, remodelling dan hipertrofi

kronik otot polos, sel-sel sekretori, vascular, serta deposisi

matriks diding saluran pernapasan. Hambatan lainnya yang

disebabkan oleh sel goblet dan protein plasma, kelenjar

submukosa yang keluar melalui mikrovaskuler bronkus, dan

debris selular yaitu jumlah produksi secret yang berlebihan,

lengket, dan kental. Perubahan patologis pada bronkus terjadi di

saluran pernapasan. Penyebab timbulnya inflamasi terjadi karena

banyak faktor seperti stress, aktivitas fisik, alergen, dll (Rahajoe

et al., 2016).

2) Hiperreaktivasi Saluran Pernapasan

Mekanisme yang bertanggung jawab terjadinya reaktivitas

yang berlebih atau hiperraktivitas belum diketahui. Namun,


15

berhungungan dengan adanya perubahan pada otot polos saluran

pernapasan (hipertrofi dan hiperplasi) yang terjadi secara

sekunder dan menyebabkan terjadinya perubahan kontraktilitas.

Hal lain, adanya inflamasi di dinding saluran penapasan terutama

daerah peribronkial dapat memperparah penyempitan saluran

pernapasan selama terjadi kontraksi otot polos.

Hipereaktivitas bronkus dapat dites dengan stimulus aerosol

histamine atau metakolin dengan dosis ditinggikan secara

progresif dan setelah itu dilakukan pengukuran perubahan fungsi

paru (PFR atau FEV1). Jika hasilnya menunjukan adanya

penurunan FEV1 20% pada konsentrasi histamine kurang dari 8

mg% maka bisa dikatakan hiperreaktif (Rahajoe et al., 2016).

5. Manifestasi Klinis Asma


Menurut Padila (2013), manifestasi klinis yang dapat ditemui pada

penderita asma, antara lain:

a. Stadium Dini

1) Faktor-Faktor Hipersekresi Lebih Menonjol

a) Batuk berdahak baik disertai dengan pilek atau tidak

b) Wheezing belum tampak

c) Ronchi basah halus di serangan kedua atau ketiga yang

biasanya hilang timbul

d) Adanya peningkatan eosinophil darah dan IgE


16

e) Belum tampak kelainan bentuk thorax

f) BGA belum patologis

2) Faktor Spasme Bronchioles dan Edema yang Lebih Dominan

a) Munculnya sesak napas disetai atau tidak disertai sputum

b) Wheezing

c) Penurunan tekanan parsial O2

d) Ronchi basah bila terdapat hipersekresi

b. Stadium Lanjut/Kronik

1) Batuk, ronchi

2) Sputum lengket dan sulit dikeluarkan

3) Sesak napas berat dan dada seperti tertekan

4) Suara napas lemah bahkan tak terdengar (silent chest)

5) Thorax tampak barel chest

6) Sianosis

7) Terlihat tarikan otot stenorkleidomastoideus

8) BGA Pa O2 kurang 80%

9) Hipokapea dan alkalosis hingga asidosis respiratorik

6. Klasifikasi Asma
a. Klasifikasi Fenotip Asma
17

Adapun klasifikasi fenotip asma menurut Global Initiative of

Asthma (2018), sebagai berikut:

1) Asma non alergi

2) Asma alergi

3) Asma dengan obesitas

4) Asma dengan hambatan aliran udara yang menetap

5) Asma onset lambat

b. Klasifikasi Asma Berdasarkan Gambaran Klinis

Menurut Global Initiative of Asthma (2018) klasifikasi asma

berdasarkan gambaran klinis adalah sebagai berikut:

Tabel 2. 1 Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum


pengobatan) (GINA, 2018).

Derajat Gejala Gejala Faal Paru


Asma Malam
I. Intermit- Bulanan APE ≥ 80%
en
▪ Gejala < 1 ≤ 2 kali/bulan ▪ VEP1 ≥ 80%
kali/minggu nilai prediksi
▪ Tanpa gejala ▪ APE ≥ 80%
diluar serangan nilai terbaik
▪ Serangan ▪ Variabilitas
singkat APE < 20%

II. Persisten Mingguan APE ≥ 80%


Ringan
▪ Gejala > 1 < 2 kali/bulan ▪ VEP1 ≥ 80%
kali/minggu, nilai prediksi
tetapi < 1
▪ APE ≥ 80%
kali/hari
nilai terbaik
▪ Serangan dapat
▪ Variabilitas
mengganggu
APE 20-30%
18

aktivitas &
tidur
▪ Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari

III. Persisten Harian APE 60-80%


Sedang
▪ Gejala setiap >1kali/ming- ▪ VEP1 60-80%
hari gu nilai prediksi
▪ Serangan dapat ▪ APE 60-80%
mengganggu nilai terbaik
aktivitas &
tidur ▪ Variabilitas
APE > 30%
▪ Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari

IV. Persisten Kontinyu APE ≤ 60%


Berat
▪ Gejala terus Sering ▪ VEP1 ≤ 60%
menerus nilai prediksi
▪ Sering kambuh ▪ APE ≤ 60%
nilai terbaik
▪ Aktivitas fisik
terbatas ▪ Variabilitas
APE > 30%

Tabel 2. 2 Klasifikasi derajat asma dalam pengobatan (GINA, 2018)

Gejala dan Faal Paru Tahap I Tahap 2 Tahap 3


dalam Pengobatan
Intermiten Pesisten Ringan Persisten
Sedang
Tahap I: Intermiten Intermiten Persisten Ringan Persisten
Sedang
▪ Gejala < 1 kali/minggu
▪ Serangan singkat
▪ Gejala malam <2
kali/bulan
▪ Faal paru normal di
luar serangan
Tahap II: Persisten Persisten Persisten Sedang Persisten
Ringan Ringan Berat
19

▪ Gejala > 1
kali/minggu, tetapi < 1
kali/hari
▪ Gejala malam > 2
kali/bulan, tetapi 1
kali/minggu
▪ Faal paru normal di
luar serangan
Tahap III: Persisten Persiten Persisten Berat Persisten
Berat Sedang Berat
▪ Gejala setiap hari
▪ Serangan
mempengaruhi
aktivitas & tidur
▪ Gejala malam > 1
kali/minggu
▪ 60%<VEP1<80% nilai
prediksi
▪ 60%<VEP1<80% nilai
terbaik
Tahapan IV: Persisten Persisten Persisten Berat Persisten
Berat Berat Berat
▪ Gejala terus menerus
▪ Serangan sering
▪ Gejala malam sering
▪ VEP1 ≤ 60% nilai
prediksi, atau APE ≤
60% nilai terbaik

7. Penatalaksanaan Asma

a. Prinsip Penatalaksanaan Asma

Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute (2020)

penanganan yang dilakukan ditujukan untuk menangani dan

mencegah timbulnya serangan gejala penyakit asma. Penanganan


20

yang diberikan juga tergantung pada usia, tingkat penyakit asma yang

diderita, dan respon terhadap pemberian penanganan.

Penatalaksanaan asma menurut GINA (2002, dalam Yuliati &

Djajalaksana, 2017), yaitu

1) Medikasi/ Farmakologi (Obat-obatan)

a) Controllers (Pengontrol)

Diberikan kepada pasien guna mengontrol asma dalam

jangka panjang, diberikan setiap hari pada asma persisten.

Jenis-jenis controllers, antara lain:

(1) ICS (Inhaled Corticoseroids) untuk mengurangi respon

peradangan tubuh baik berupa hidup atau oral (pil)

(NHLBI, 2020).

(2) ICS/LABA (Long Acting Bronchodilator) guna menjaga

saluran udara tetap terbuka dengan mencegah adanya

penyempitan (NHLBI, 2020).

(3) LTRA (Leukotrine Receptor Antagonist) /Leukotrine

modifiers. Bertujuan untuk mengurangi peradangan dan

menjaga saluran napas tetap terbuka.

(4) Anti-IgE

(5) Metilsantin (Teofilin)

(6) Kortikosteroid sistemik


21

(7) Long Acting Anticholinergic

b) Reliever (Pelega)

Berguna untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot

polos dan menghambat bronkokonstriksi yang berlebih

namun tidak memperbaiki adanya inflamasi, contohnya yaitu

SABA (Short Acting Beta Agonist), short acting

anticholinergic, adrenalin, kortikosteroid sistemik,

aminofilin (PDPI 2007; Yuliati & Djajalaksana, 2017).

2) Terapi Non-Farmakologi

a) Tidak merokok

b) Aktifitas fisik secara kontinyu

c) Mencegah terjadinya paparan alergen di lingkungan sekitar

(dalam ruangan ataupun luar ruangan)

d) Mencegah penggunaan obat yang akan memperparah kondisi

asma

e) Menurunkan berat badan atau diet sehat/ menjaga pola hidup

sehat

f) Mencegah/mengatasi terjadinya stres

g) Latihan teknik pernapasan dengan baik dan benar seperti


22

B. Latihan Pernapasan

1. Definisi Latihan Pernapasan

Latihan pernapasan merupakan sebuah intervensi terapeutik yang

bertujuan mengatur pola pernapasan tertentu dan meningkatkan volume

paru-paru, membersihkan sekresi guna meningkatkan pertukan udara

sehingga mampu mengontrol sesak napas, meningkatkan kapasitas latihan,

mengurangi tekanan darah, obesitas, meredakan stress, serta mengontrol

rasa sakit ketika melahirkan (Solomen & Aaron, 2015).

Latihan pernapasan merupakan salah satu intervensi non-farmakologis

dalam pengobatan asma. Intervensi tersebut termasuk latihan pernapasan,

aktivitas fisik, dan strategi lain seperti berhenti merokok, menghindari

paparan alergen di lingkungan sekitar, penurunan berat badan, dan lain

sebagainya (GINA, 2018). Lebih lanjut, Holloway & Ram (2007, dalam

Warsono & Fahmi, 2016) menyatakan bahwa latihan pernapasan

merupakan salah satu teknik alternatif dalam teknik pernapasan pada asma

yang bertujuan untuk mengendalikan gejala asma, melatih teknik bernapas

dengan benar, mereleksasikan dan memperkuat otot-otot pernapasan, serta

mengefektikan ekspektorasi.

Latihan pernapasan dapat diklasifikasikan sebagai inspirasi dan

ekspirasi. Beberapa latihan pernapasan menekankan inspirasi sehingga

meningkatkan volume paru-paru, sedangkan yang lain menekankan pada

ekspirasi yang membantu pembersihan sekresi (Solomen & Aaron, 2015).


23

2. Jenis-Jenis Latihan Pernapasan

Menurut Thomas & Bruton (2014) latihan pernapasan untuk asma

secara garis besar terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu latihan yang

ditujukan untuk memanipulasi pola pernapasan (latihan pernapasan

ulang), latihan yang ditujukan guna meningkatkan kekuatan dan atau daya

tahan otot pernapasan (latihan otot penapasan) dan latihan yang bertujuan

untuk meningkatkan kelenturan sangkar dada serta memperbaiki postur

tubuh (latihan muskuloskeletal).

Adapun beberapa latihan pernapasan yang bisa dilakukan oleh pasien

asma menurut antara lain adalah teknik pernapasan Buteyko, pernapasan

diafragma, metode Papworth, yoga, atau intervensi sejenis yang dapat

memanipulasi pola pernapasan (Bailey et al., 2016) pulasi pola

pernapasan.

a. Teknik Pernapasan Buteyko

Dikutip dari Asthma Respiratory Foundation NZ dan laman

healthline, teknik pernapasan Buteyko dikembangkan pertama kali

oleh seorang dokter dari Ukraina bernama Konstantin Buteyko pada

tahun 1950an. Metode napas terapeutik ini digunakan sebagai latihan

pernapasan berulang untuk mengendalikan kecepatan dan volume

napas yang membantu napas agar lebih pelan, tenang, dan efektif.

Teknik pernapasan ini berfokus pada pernapasan hidung, menahan

napas dan relaksasi. Teknik ini melatih pernapasan dengan cara

menahan napas dan mengontrol napas dengan teknik pola pernapasan


24

hidung atau diafargma normal. Hal ini ditujukan untuk menurunkan

volume menit pernapasan dan mengembalikan keseimbangan

metabolisme (Vagedes et al., 2020).

Manfaat dari teknik pernapasan ini adalah meningkatkan kontrol

pernapasan yang membantu untuk menghindari sesak napas dan

meningkatkan pola pernapasan yang lebih baik. Teknik ini dapat

memperbaiki dan mengelola berbagai kondisi termasuk penyakit

asma, gangguan kecemasan, dan masalah tidur.

b. Teknik Pernapasan Diafragma

Teknik pernapasan ini dapat membantu melatih penderita asma

untuk bernapas dengan memprioritaskan dan memaksimalkan

penggunaan otot perut ketika respirasi yang dapat meningkatkan

aliran udara yang keluar sehingga dapat meningkatkan puncak aliran

ekspirasi. Hal ini dapat meminimalkan CO2 yang terperangkap di

dalam alveoli yang menyebabkan difusi dan sesak napas. Selain itu,

teknik pernapasan diafragma tidak hanya memaksimalkan dan

meningkatkan aliran ekspirasi tetapi juga memaksimalkan hirupan

udara ketika inspirasi dengan penggunaan otot diafragma dan otot

perut agar proses ventilasi berjalan dengan lebih optimal (Wedri et al.,

2018). Manfaat dari teknik pernapasan ini adalah mengakibatkan

derajat keasaman (pH) menurun sehingga CO2 dalam arteri menurun

dan APE meningkat (Muttaqin, 2008; Kartikasari et al., 2019).

Teknik pernapasan ini juga dapat memelihara keseimbangan kadar


25

Imunoglobulin E (IgE) pada brokus serta menurunkan respon yang

berlebihan dari jalan napas (Widjanegara et al., 2015)

c. Teknik Pernapasan Papworth

Teknik pernapasan Papworth dikembangkan pertama kali pada

tahun 1960an. Teknik ini berfokus pada masalah disfungsional

pernapasan termasuk hiperventilasi dan hiperinflasi yang sering

dijumpai pada penderita asma. Siklus sesak napas dan mengi yang

sering kali disertai dengan kecemasan dan diperparah oleh mekanisme

fisiologis yang komplek. Teknik ini dapat mengurangi gejala asma,

kecemasan, dan gejala yang timbul akibat hipokapnia (Holloway &

West, 2007).

d. Yoga

Yoga merupakan teknik yang mengatur dan mengendalikan napas

(tarikan napas, hembusan napas, napas berhenti). Latihan yoga dapat

dilakukan secara duduk ataupun berbaring. Dalam latihan pernapasan

yoga (pranayama), seseorang hanya menghirup maupun

mengeluarkan napas melalui hidung, kecuali dalam situasi khusus.

Posisi/pose yang baik untuk melakukan latihan pernafasan yoga

(pranayama) adalah pose sukhasana, padmasana, sidhasana, dan

vajrasana. Dilakukan minimal 10-15 menit (Sindhu, 2015).

3. Prosedur Latihan Pernapasan

Latihan pernapasan pada dasarnya merupakan modifikasi dari pola

pernapasan yang dimaksudkan untuk membantu penderita asma dalam


26

kehidupan sehari-hari atau ketika mengalami gejala asma dengan

membantu bagaimana cara bernapas dengan pola pernapasan yang lebih

baik. Prosedur latihan pernapasan biasanya memperhatikan volume tidal

dan menit, relaksasi hembusan, olahraga di rumah, modifikasi pola

pernapasan, pernapasan hidung, menahan napas, serta pernapasan rusuk

bagian bawah dan perut (Courtney et al., 2019).

Target dari perlakuan latihan pernapasan yang tepat adalah dimensi

biokimia, biomekanik, atau psikofisiologis dari gangguan pernapasan,

pengendalian asma, penggunaan obat-obatan, gejala gangguan

pernapasan, dan kualitas hidup dapat ditingkatkan. Dimensi biokimia dan

biomekanik dapat merespons latihan pernapasan ketika mereka mencapai

hiperventilasi, kontrol volume pernapasan, relaksasi otot pernapasan

hipertonik, dan mengajari pasien untuk mengadopsi pola pernapasan yang

lebih normal, serta apakah mereka mengalami dispnea atau tidak.

Mengenai dimensi psikofisiologis pernapasan disfungsional, latihan

pernapasan berulang dapat mencakup aspek-aspek penting yang

melibatkan teknik relaksasi, alat regulasi diri emosional dan mental untuk

mengurangi hiperarousal dan kecemasan (Courtney, 2017).

Berikut merupakan penjabaran prosedur dari beberapa teknik

pernapasan untuk penderita asma:

a. Teknik Pernapasan Buteyko

Dilakukan untuk menormalkan pola pernapasan saat istirahat dan

untuk mengontrol pernapasan serta membatasi hiperventilasi ketika

sesak napas terjadi karena aktivitas, kontak dengan pemicu asma, atau
27

pada awal serangan asma atau disebut “pernapasan lambat” (Austin,

2013). Teknik pernapasan buteyko ini menggabungkan pernapasan

hidung, control pause, dan diafragma (Sutrisna et al., 2018).

Langkah 1: Tes pernapasan “control pause”

1) Duduk di kursi dengan posisi tegak dan memposisikan tubuh

dengan baik, merilekskan bahu dan sandarkan punggung ke

sandaran kursi.

2) Tidak mengubah pola pernapasan sebelum control pause. Tarik

napas perlahan (2 detik) dan keluarkan perlahan (3 detik). Tahan

hidung bila perlu pegang hidung untuk mencegah terjadinya

udara masuk ke saluran napas.

3) Hitung beberapa detik sampai dapat bertahan dengan nyaman

sebelum perlu mengambil napas kembali.

4) Hembuskan melalui hidung dan tarik kembali memalui hidung.

5) Tidak boleh menahan napas terlalu lama karena hal ini dapat

menyebabkan pasien mengambil napas dalam-dalam.

Langkah 2: Shallow Breathing/ Bernapas Dangkal

1) Duduk tegak

2) Pantau jumlah udara yang masuk melalui lubang hidung, dengan

meletakkan jari dibawah hidung secara horizontal. Jari harus

tepat dibawah bibir atas dan cukup dekat dengan lubang hidung,
28

hingga mampu merasakan aliran udara, tetapi tidak terlalu dekat

dan membuat aliran udara tesumbat.

3) Sekarang, hirup sedikit udara dari lubang hidung. Contohnya,

Tarik napas yang cukup untuk mengisi saluran udara. Tarik napas

dalam sekejap (1 cm) dalam setiap napas.

4) Saat mengeluarkan napas, anggap jari anda seperti bulu. Udara

yang keluar dengan lembut ke jari sehingga membuat bulu tidak

bergerak

5) Saaat menghembuskan napas, semakin hangat udara yang

dirasakan itu lebih besar dari napas anda. Konsentrasi untuk

mengurangi jumlah yang keluar dan merasakan pada jari.

6) Saat mengurangi jumlah udara hangat ke jari, anda mulai

merasakan kebutuhan atau keinginan akan udara.

7) Usahakan untuk mempertahankan kebutuhan udara selama kurang

lebih 4 menit.

Langkah 3: Menyatukan step 1 dan 2

1) Lakukan control pause

2) Mengurangi napas selama 4 menit

3) Tunggu 2 menit dan lakukan control pause

4) Mengurangi napas selama 4 menit

5) Tunggu 2 menit dan lakukan control pause


29

6) Mengurangi napas selama 4 menit

7) Tunggu 2 menit dan lakukan control pause

8) Mengurangi napas selama 4 menit

9) Tunggu 2 menit dan lakukan control pause

b. Teknik Pernapasan Diafragma (Kartikasari et al., 2019)

1) Teknik pernapasan diafragma dimulai dengan mengatur posisi

terlentang yang nyaman dengan bahu rileks

2) Tangan kiri diletakkan di tengah dada dan tangan kanan diletakkan

diperut (tepat di bawah iga)

3) Tarik napas melalui hidung dan biarkan perut menonjol sebesar

mungkin dan rasakan pergerakan tangan kanan terdorong ke atas

4) Hembuskan napas melalui bibir yang dirapatkan (dengan bibir

dimonyongkan seperti meniup lilin) sambil merasakan tangan kanan

menekan ke arah dalam dan atas abdomen

Gerakan tersebut diulang selama 1 menit diikuti masa istirahat 2

menit dan mengulangi sebanyak 5 kali selama 15 menit. Latihan

pernapasan diafragma dilakukan 2 kali/hari di pagi setelah sholat

shubuh dan setelah sholat ashar selama 2 minggu berturut-turut

dengan pengawasan motivator. Motivator ditunjuk dari keluarga

atau orang yang tinggal dalam satu rumah dengan pasien. Pada

minggu ke-2 subjek penelitian baik kelompok intervensi maupun

kelompok kontrol diukur kembali APE dan frekuensi kekambuhan.


30

c. Teknik Pernapasan Diafragma (Kartikasari et al., 2019)

1) Teknik pernapasan diafragma dimulai dengan mengatur posisi

terlentang yang nyaman dengan bahu rileks

2) Tangan kiri diletakkan di tengah dada dan tangan kanan diletakkan

diperut (tepat di bawah iga)

3) Tarik napas melalui hidung dan biarkan perut menonjol sebesar

mungkin dan rasakan pergerakan tangan kanan terdorong ke atas

4) Hembuskan napas melalui bibir yang dirapatkan (dengan bibir

dimonyongkan seperti meniup lilin) sambil merasakan tangan

kanan menekan ke arah dalam dan atas abdomen

Gerakan tersebut diulang selama 1 menit diikuti masa istirahat 2

menit dan mengulangi sebanyak 5 kali selama 15 menit. Latihan

pernapasan diafragma dilakukan 2 kali/hari di pagi setelah sholat

shubuh dan setelah sholat ashar selama 2 minggu berturut-turut

dengan pengawasan motivator. Motivator ditunjuk dari keluarga atau

orang yang tinggal dalam satu rumah dengan pasien. Pada minggu ke-

2 subjek penelitian baik kelompok intervensi maupun kelompok

kontrol diukur kembali APE dan frekuensi kekambuhan.

d. Teknik Pernapasan Papworth

Menurut Holloway & West (2007), merupakan teknik

pernapasan diafargma, terdiri atas beberapa jenis latihan pernapasan

dan relaksasi diafragma. Metode ini mengajarkan cara bernapas


31

secara perlahan, menghindari pernapasan terlalu dalam atau terlalu

cepat dari diafragma melalui hidung. Teknik pernapasan papworth

secara teknis mirip dengan pernapasan diafragma.

1) Duduk tegak dikursi

2) Tarik napas selama 4 detik (perut mengembang)

3) Tahan hingga tubuh rileks

4) Lalu hembuskan

e. Yoga

Dengan mengatur dan mengendalikan napas (tarikan napas,

hembusan napas, napas berhenti). Latihan yoga dapat dilakukan

secara duduk ataupun berbaring. Dalam latihan pernapasan yoga

(pranayama), seseorang hanya menghirup maupun mengeluarkan

napas melalui hidung, kecuali dalam situasi khusus. Posisi / pose yang

baik untuk melakukan latihan pernafasan yoga (pranayama) adalah

pose sukhasana, padmasana, sidhasana, dan vajrasana. Dilakukan

minimal 10-15 menit (Sindhu, 2015).

C. Kualitas Hidup

1. Definisi Kualitas Hidup

Kualitas hidup merupakan konsep yang sulit diukur dan didefiniskan,

namun secara umum dapat dipandang sebagai konsep multidimensi yang

menekankan mengenai persepsi diri dari keadaan pikiran individu saat ini.

(Bonomi, et al., 2000; Theofilou, 2013). Adapun konsep kualitas hidup


32

secara luas meliputi bagaimana individu mengukur kebaikan dari berbagai

macam aspek dalam hidup. Hal ini mencakup reaksi emosional individu

terhadap kehidupan, disposisi, rasa kepuasan dan kepuasan hidup, serta

kepuasan dengan pekerjaan dan hubungan pribadi (Diener, et al., 1999

dalam Theofilou, 2013).

World Health Organization (2012) mendefinisikan kualitas hidup

merupakan presepsi seseorang tentang posisi mereka dalam kehidupan baik

dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tumbuh dan hidup

yang berkaitan dengan tujuan, harapan, standar, dan kekhawatiran mereka.

Sedangkan menurut Post (2014) mengemukakan kualitas hidup merupakan

tingkatan kebutuhan dan kepuasan dalam bidang fisik, psikologi, sosial,

aktivitas, material, dan struktual.

Hakim et al., (2019), mengemukakan batasan kualitas hidup

berdasarkan definisi sehat jiwa, fisik, dan sosial kepada setiap individu yang

berbeda-beda karena dipengaruhi oleh kepercayaan, keinginan,

pengalaman, dan persepsi individu tersebut.

2. Dimensi-Dimensi Kualitas Hidup

Menurut Aaronson (1988, dalam Post, 2014), terdapat 4 dimensi

kesehatan yang sering dibahas dalam kualitas hidup, antara lain:

a. Kesehatan Fisik

Sensasi somatik, gejala penyakit, efek samping pengobatan.

b. Kesehatan Mental
33

Mulai dari perasaan sejahtera yang positif hingga bentuk-bentuk

non-patologis hingga gangguan kejiwaan yang dapat didiagnosis.

c. Kesehatan Sosial

Termasuk penilaian aspek kuantitatif dan kualitatif dari kontak dan

interksi sosial.

d. Kesehatan Fungsional

Termasuk fungsi fisik dalam hal perawatan diri, mobilitas, dan

tingkat aktivitas fisik, serta fungsi peran sosial dalam hubungannya

dengan keluarga dan pekerjaan.

Adapun pandangan lain menurut De Haan, et al., (2002, dalam

Rahmi, 2011), dimensi kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan,

yaitu

1) Dimensi sosial yang mencakup aspek interaksi dan kontak sosial

secara kuantitatif dan kualitatif.

2) Dimensi fungsional yang mencakup mobilitas, perawatan diri, serta

tingkat aktivitas fisik seperti kapasitas untuk turut serta dalam

kehidupan di keluarga maupun pekerjaan.

3) Dimensi psikologis yang mencakup status emosi, presepsi

mengenai kebahagiaan, kesehatan, kepuasan hidup serta fungsi

kognitif.

4) Dimensi fisik yang berkaitan dengan gejala penyakit dan

pengobatan yang sedang dijalani.


34

3. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Penderita Asma

Menurut Afiani et al., (2017), fakor-faktor yang mempengaruhi kualitas

hidup antara lain adalah sebgai berikut:

a. Usia

Berdasarkan data statistik Center for Disease Control and

Prevention (CDC) dan Nation Center for Health Statistic (NCHS)

menyatakan bahwa pasien dengan usia diatas 18-64 tahun memiliki

prevalensi terbesar mengidap asma. Usia produktif memiliki rasio

kejadian asma tertinggi dibanding usia lanjut yang dihubungkan oleh

infeksi saluran napas, faktor merokok, tepaparnya pajanan alergen,

fluktuasi hormonal, inflamasi

b. Lama Menderita Asma

Tingkat kualitas hidup penderita asma akan semakin parah apabila

seseorang sudah lama menderita asma dan biasanya akan beradsaptasi

terhadap asma yang diderita sebagai gaya hidup sehingga merasa tidak

adanya gangguan pada aktivitas sehari-hari.

c. Derajat Keparahan Asma

Derajat keparahan sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup

penderita asma. Semakin berat derajat penyakit asma yang diderita,

semakin kecil juga tingkat kualitas hidupnya atau semakin buruk.

d. Tingkat Kontrol Asma


35

Penderita asma yang memiliki tingkat kontol asma tidak terkontrol

akan memiliki kualitas hidup lebih buruk dibanding penderita asma

terkontrol. Sebab, bisa dikarenakan pasien asma memiliki tingkat

kepatuhan pengobatan yang rendah, mengakibatkan keparahan gelaja

asma dan meningkatkan masalah risiko kesehatan yang berpengaruh

pada kualitas hidup penderita asma.

e. Indeks Massa Tubuh (IMT)

Penderita asma yang memiliki IMT lebih berat dibanding penderita

asma IMT nomal akan memiliki derajat dan gejala asma lebih serta

terjadi penurunan aktivitas fisik yang berpengaruh terhadap kualitas

hidupnya. Peningkatan IMT juga dapat menyebabkan tekanan intra

thorax di sepanjang jalan pernapasan yang dapat menyebabkan

terjadinya peningkatan serangan asma.

4. Kuesioner Kualitas Hidup Pada Asma

a. Asthma Quality of Life Questionnaire (AQLQ)

Kuesioner Kualitas Hidup pada Pasien Asma atau Asthma Quality

of Life Questionnaire (AQLQ) merupakan kuesioner kualitas hidup

yang di kembangkan oleh Juniper yang terdiri dari 32 item dalam empat

domain kesehatan: batas aktivitas (11 item), gejala (12 item), fungsi

emosional (5 item) dan paparan lingkungan (4 item). Mengukur

kualitas hidup selama dua minggu, setiap item AQLQ memiliki bobot

yang sama (Alpaydin et al., 2012).

b. Asthma Quality of Life Questionnaire-Strandardized (AQLQ-S)


36

AQLQ-S didasarkan pada Asthma Quality of Life Questionnaire

(AQLQ) yang memilik 32 item instrumen, dibagi menjadi 4 domain:

gejala (12 item), batasan aktivitas (11 item), fungsi emosional (5 item),

dan paparan lingkungan (4 item). Ditujukan untuk orang dewasa,

membutuhkan waktu sekitar 4-15 menit untuk mengisi. AQLQ-S

didasarkan pada Asma Quality of Life Questionnaire (AQLQ) yang

dikembangkan sebelumnya oleh penulis yang sama, E.F. Juniper.

AQLQ-S berbeda dari AQLQ asli karena terdapat aktivitas standar

yang mungkin terbatas oleh asma. Selain itu, isinya identik dengan

AQLQ asli dan item kedua instrumen topik perhatian yang berasal dari

studi Kinsman, pasien asma dan kekhawatiran mereka, secara umum

mengukur kualitas hidup terkait masalah kesehatan, diskusi dengan

dokter, dan wawancara dengan pasien. Topik yang berisi seperti sesak

napas, ketidak mampuan untuk melakuakan aktivitas fisik, mengalami

gejala akibat terpapar asap rokok, ketakutan akan tidak tersedianya

obat-obatan, dan gangguan tidur karena asma (Wilson et al., 2012).

c. Mini-Asthma Quality of Life Questionnaire (Mini-AQLQ)

Mini-Asthma Quality of Life Questionnaire (Mini-AQLQ) yang

terdiri dari 15 poin instrument, membutuhkan waktu 3-4 menit untuk

menyelesaikannya. Mengukur kualitas hidup orang dewasa memiliki 4

domain; frekuensi gejala (5 item), skala aktivitas (4 item) untuk

mengukur sejauh mana asma membatasi kemampuan seseorang untuk

terlibat dalam berbagai macam aktivitas, skala emosional (3 item)


37

mencerminkan sejauh mana asma individu memicu perasaan frustasi,

takut atau perhatian, skala lingkungan (3 item) mencerminkan sejauh

mana individu terganggu dan harus menghindari rangsangan

lingkungan (debu, asap rokok, dan polusi udara). Mini-AQLQ

dikembangkan sebagai alternatif dari AQLQ original dan untuk

memenuhi kebutuhan uji klinis besar dan pemantauan jangka panjang

(Wilson et al., 2012).

5. Kriteria Instrumen Kualitas Hidup

Menurut Endarti (2015), untuk memperoleh instrumen kualitas hidup

yang digunakan ada beberapa kriteria yang dibutuhkan dan ditetapkan yaitu

a. Akseptabililtas (acceptability)

Penilaian yang digunakan dalam instrument kualitas hidup harus

bisa diterima oleh pasien/responden dan peneliti sesuasi dengan kondisi

yang ditentukan untuk digunakan dalam instrumen.

b. Reliabilitas (reliability)

Merupakan tingkat kebebasan instrumen/kuesioner dari random

error. Random error diakibatkan karena kelelahan, kurang teliti dan

kurang akurat alat yang berakibat pada hasil pengukuran yang menjadi

tidak sesuai pada nilai sesungguhnya. Dapat diartikan reliabilitas yaitu

kemampuan instrumen mendapatkan hasil konsisten pada pengukuran

berulang (berbeda responden, berbedawaktu pengukuran dan berbeda

pada pemeriksa).
38

c. Beban (burden)

Kriteria beban merupakan instrumen yang mengarah pada tingkat

konsentrasi dan kesulitan pasien/responden pada saat mengisi kuisioner.

Instrumen yang baik ialah instrumen yang mempunyai beban minimal

atau burden.

d. Validitas (validity)

Validitas merupakan suatu tingkatan kemampuan instrument

mengukur apa yang perlu diukur. Saat menguji validitas instrumen,

terdapat tiga jenis validitas yang diukur, yaitu validitas construct

(construct validity), validitas kriteria (criterion validity) dan validitas

konten (content validity).

e. Responsif (responsiveness)

Responsiveness atau responsif yaitu kemampuan instrumen untuk

mengetahui perubahan setiap saat atau sepanjang waktu. Pada kriteria

ini penting jika kualitas hidup diperlukan mengukur luaran pada uji

klinis. Umumnya suatu tingkat respon pada instrumen kualitas hidup

memiliki sifat generik yaitu lebih tinggi dari instrumen yang spesifik,

oleh karena itu sangat sesuai terhadap penilaian pada dampak intervensi,

menyederhanakan penilaian luaran dan mengurangi beban responden.

f. Pemanfaatan (usefulness)
39

Berpengaruh terhadap kemampuan dalam mengambil keputusan,

diantarnya alokasi sumber, memformulasikan kebijakan klinis dan

pengaturan individu.

g. Kemampuan untuk diinterprestasikan (interpretability)

Merupakan suatu pemahaman terhadap skor yang diperoleh dan

dipengaruhi dari akumulasi bukti empiris dan pengalaman. Pada saat

memberi interpretasi harus mampu memberikan penjelasan megenai

besarnya perbedaan atau perubahan yang penting secara klinis. Tidak

ada batasan terkait baik atau buruknya kualitas hidup namun harus

dilihat konteks yang tekait norma berlaku pada konten/kriteria eksternal,

populasi.

Anda mungkin juga menyukai