Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asma
2.1.1 Definisi
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis pada mukosa
bronkus yang menyebabkan hiperesponsif bronkus, konstriksi jalan
napas dan obstruksi aliran udara yang bervariasi dan reversible
(Huether, 2017). Asma merupakan gangguan inflamasi kronis saluran
napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronis
menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas,
dada terasa berat, dan batuk terutama malam dan atau dini hari.
Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang
luas, bervariasi, dan sering kali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan (Sudrajat et al, 2016).

2.1.2 Epidemiologi
Mengacu pada data WHO, saat ini ada sekitar 300 juta orang
yang menderita asma di seluruh dunia. Terdapat sekitar 250.000
kematian yang disebabkan oleh serangan asma setiap tahunnya,
dengan jumlah terbanyak di negara dengan ekonomi rendah-sedang.
Prevalensi asma terus mengalami peningkatan terutama di negara-
negara berkembang akibat perubahan gaya hidup dan peningkatan
polusi udara. Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, melaporkan
prevalensi asma di Indonesia adalah 4,5% dari populasi, dengan
jumlah kumulatif kasus asma sekitar 11.179.032. Asma berpengaruh
pada disabilitas dan kematian dini terutama pada anak usia 10-14
tahun dan orang tua usia 75-79 tahun. Diluar usia tersebut kematian
dini berkurang, namun lebih banyak memberikan efek disabilitas. Saat

3
ini, asma termasuk dalam 14 besar penyakit yang menyebabkan
disabilitas di seluruh dunia (PDPI, 2018).

2.1.3 Etiologi
Serangan asma adalah episode dimana otot yang mengelilingi
saluran udara dipicu untuk mengencang. Pengencangan otot napas ini
disebut bronkospasme. Selama serangan itu, lapisan saluran udara
meradang dan sel-sel yang melapisi saluran udara menghasilkan lebih
banyak lendir dari biasanya. Bronkospasme, peradangan dan produksi
lendir merupakan penyebab gejala asma (PDPI, 2018).

2.1.4 Faktor Pencetus


Menurut Rohman (2015), ada beberapa hal yang merupakan
faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma yaitu
sebagai berikut.
1. Faktor predisposisi
Resiko orang tua dengan asma mempunyai anak dengan asma
adalah tiga kali lipat lebih tinggi jika riwayat keluarga dengan
asma disertai dengan salah satu atopi. Faktor ibu lebih kuat
menurunkan asma dibandingkan ayah. Orang tua kemungkinan 8-
16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang
tidak asma, terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau debu
rumah.
2. Faktor presipitasi
a. Alergen, dibagi menjadi 3 yaitu inhalan, ingestan dan
kontaktan.
1) Inhalan yaitu masuk melalui saluran pernapasan
misalnya debu, bulu hewan, serbuk bunga, spora jamur,
bakteri dan polusi.
2) Ingestan yaitu masuk melalui mulut misalnya makanan
dan obat-obatan.

4
3) Kontaktan yaitu yang masuk melalui kontak dengan kulit
misalnya perhiasan, logam dan jam tangan.
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin
merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-
kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim
hujan, musim kemarau ataupun musim bunga. Hal ini
berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
c. Stress
Stress atau gangguan emosi menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah
ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati,
penderita asma yang alami stress perlu diberi nasehat untuk
menyelesaiakan masalah pribadinya. Karena juka stresnya
belum diatasi maka gejala asma belum bisa diobati.
d. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja mempunyai hubungan langsung dengan
sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan
dimana pasien bekerja. Misalnya orang yang bekerja di
laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes atau polisi
lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
e. Olahraga atau aktivitas berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan asma
jika melakukan aktifitas jasmani atau olahraga yang berat.
Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah
selesai aktifitas tersebut.
Menurut PDPI (2018), asma dapat terjadi terutama karena
faktor lingkungan dan faktor genetik. Faktor-faktor yang memicu
reaksi asma adalah sebagai berikut.

5
1. Paparan zat seperti serbuk sari, debu, bulu hewan, pasir dan
bakteri yang dapat memicu reaksi alergi.
2. Infeksi virus seperti pilek dan flu, atau pneumonia.
3. Polusi udara, asap, asap kendaraan dan lain sebagainya.
4. Stress dan kecemasan.
5. Aktivitas fisik atau olahraga yang diinduksi asma.
6. Obat-obatan seperti aspirin dan ibuprofen.
7. Penyakit gastroesophageal reflux (GERD).
8. Parfum dan wewangian.
9. Cuaca, khususnya perubahan suhu ekstrim.
10. Bahan tambahan makanan, misalnya MSG.

2.1.5 Patogenesis
Ada dua fase eksaserbasi asma, yaitu fase awal dan fase akhir.
Fase awal diprakarsai oleh antibodi IgE yang disensitisasi dan
dilepaskan oleh sel plasma. Antibodi ini merespons pemicu tertentu di
lingkungan. Antibodi IgE kemudian mengikat sel mast dan basofil
berafinitas tinggi. Ketika polutan atau faktor risiko terhirup, sel mast
melepaskan sitokin dan akhirnya mengalami degranulasi. Sel mast
melepaskan histamin, prostaglandin, dan leukotrien. Sel-sel ini, pada
gilirannya, berkontraksi pada otot polos dan menyebabkan
pengencangan jalan napas. Limfosit Th2 menghasilkan serangkaian
interleukin (IL-4, IL-5, IL-13) dan GM-CSF, yang membantu
komunikasi dengan sel lain dan mempertahankan peradangan. IL-3
dan IL-5 membantu kerja eosinofil dan basofil. IL-13 dikaitkan
dengan renovasi, fibrosis dan hiperplasia. Dalam beberapa jam
berikutnya, fase akhir terjadi, di mana eosinofil, basofil, neutrofil, sel
T helper dan memori semuanya terlokalisasi ke paru-paru dan
menyebabkan bronkokonstriksi dan peradangan. Sel mast juga
memainkan peran penting dalam membawa reaktan fase akhir ke
tempat yang meradang (Sinyor et al, 2020).

6
Hiperresponsivitas jalan nafas merupakan gambaran penting
dari asma, yang merupakan respons bronkokonstriktor yang
berlebihan, biasanya terhadap rangsangan yang berbeda. Ada berbagai
mekanisme yang menyebabkan hiperresponsif jalan napas. Beberapa
penyebabnya adalah karena peningkatan histamin dari sel mast atau
peningkatan massa otot polos saluran napas. Selain itu, peningkatan
tonus vagal dan kalsium bebas intraseluler akan mengakibatkan
peningkatan kontraktilitas sel otot polos saluran napas (Sinyor et al,
2020).
Semua mekanisme ini bersama-sama mengubah sedikit
kepatuhan paru-paru untuk meningkatkan kerja pernapasan. Dalam
kombinasi dengan peradangan, sel darah putih granular, eksudat, dan
lendir yang menempati bronkiolar menyebabkan penderita dapat
semakin sulit bernapas secara normal. Banyaknya miofibroblas yang
menimbulkan kolagen akan menyebabkan peningkatan epitel yang
mempersempit lapisan otot polos dan lamina reticulari. Akibatnya,
terjadi penebalan pada membran basal. Penderita dapat mengalami
obstruksi aliran udara yang tidak dapat dipulihkan, yang diyakini
karena renovasi saluran napas (Sinyor et al, 2020).
Renovasi terjadi oleh sel-sel epitel yang bertransisi ke
mesenkim, meningkatkan kandungan otot polos. Sel epitel kehilangan
adhesi sel dan polaritas fungsional dengan sambungan yang rapat,
memformat ulang selnya untuk berkembang menjadi sel
mesenkim. Selain itu, eosinofil dapat memperburuk renovasi saluran
napas karena pelepasan TGF-B dan sitokinnya melalui interaksi sel
mast. Mekanisme renovasi saluran napas ini dapat memperburuk
peradangan dan memperburuk asma dari waktu ke waktu jika tidak
ditangani dan dikelola dengan benar (Sinyor et al, 2020).

2.1.6 Klasifikasi

7
Asma adalah penyakit heterogen, dengan proses penyakit yang
mendasarinya berbeda. Kelompok karakteristik dermografik, klinis
dan atau patofisiologis yang dapat dikenali sering disebut 'fenotipe
asma'. Pada pasien dengan asma yang lebih parah, tersedia beberapa
pengobatan dengan panduan fenotipe. Namun, sampai saat ini, tidak
ada hubungan yang kuat yang ditemukan antara gambaran patologis
spesifik dan pola klinis atau respons pengobatan tertentu. Penelitian
lebih lanjut diperlukan untuk memahami kegunaan klinis dari
klasifikasi fenotipik pada asma (GINA, 2019).
Banyak fenotipe klinis asma telah diidentifikasi. beberapa yang
paling umum termasuk (GINA, 2019):
1. Asma alergi: Fenotipe asma yang paling mudah dikenali, yang
sering muncul di masa kanak-kanak dan dikaitkan dengan riwayat
penyakit dahulu alergi dan atau riwayat keluarga seperti eksim,
rinitis alergi maupun alergi makanan atau obat. Pemeriksaan
sputum yang diinduksi pasien ini sebelum pengobatan sering
menunjukkan peradangan saluran napas eosinofilik. Pasien dengan
fenotipe asma ini biasanya merespon dengan baik terhadap
pengobatan kortikosteroid inhalasi (ICS).
2. Asma non-alergi: Beberapa pasien menderita asma yang tidak
berhubungan dengan alergi. Profil seluler dahak pasien ini
didapatkan neutrofilik, eosinofilik atau hanya mengandung sedikit
sel inflamasi (paucigranulocytic). Pasien dengan asma non-alergi
sering menunjukkan respon ICS jangka pendek yang lebih sedikit.
3. Asma onset dewasa (onset lambat): Beberapa orang dewasa,
terutama wanita, datang dengan asma untuk pertama kali dalam
kehidupan dewasa. Pasien ini cenderung non-alergi, dan seringkali
memerlukan dosis ICS yang lebih tinggi atau relatif refrakter
terhadap pengobatan kortikosteroid. Asma okupasional (asma
akibat paparan di tempat kerja) harus disingkirkan pada pasien
dengan asma onset dewasa.

8
4. Asma dengan keterbatasan aliran udara persisten: Beberapa pasien
dengan asma yang sudah berlangsung lama mengalami
keterbatasan aliran udara yang persisten atau tidak dapat
sepenuhnya pulih. Ini diperkirakan karena renovasi dinding
saluran napas.
5. Asma dengan obesitas: Beberapa pasien obesitas dengan asma
memiliki gejala pernapasan yang menonjol dan sedikit peradangan
saluran napas eosinofilik.

2.1.7 Manifestasi Klinis


Di antara serangan, individu tidak bergejala, dan uji fungsi
paru normal. Pada permulaan serangan, individu mengalami konstriksi
dada, mengi saat ekspirasi, sesak napas, batuk tidak produktif,
ekspirasi memanjang, takikardia dan takipnea. Serangan yang berat
melibatkan otot pernapasan tambahan dan mengi terdengar saat
inspirasi dan ekspirasi. Pada respons asma lanjut (late asthma
response), gejala dapat lebih berat daripada serangan awal. Jika
bronkospasme tidak kembali normal dengan terapi biasa, maka
seseorang dianggap mengalami bronkospasme berat atau status
asthmaticus. Jika status asmatikus berlanjut, maka keadaan
hipoksemia memburuk, aliran dan volume ekspirasi terus menurun,
serta ventilasi yang efektif juga menurun. Terjadi asidosis ketika nilai
PaCO2 mulai meningkat. Asma dapat mengancam nyawa jika pada
titik ini terapi tidak dapat mengembalikan proses dengan cepat. Silent
chest (tidak terdengar pergerakan udara) dan PaCO 2 >70 mmHg
menandakan prognosis buruk (Huether, 2017).
Menurut PDPI (2018), gejala dari serangan asma adalah
sebagai berikut.
1. Kesulitan bernapas, sesak napas.
2. Mengi ketika inspirasi dan ekspirasi.
3. Batuk yang tidak akan berhenti.

9
4. Kesulitan melalukan aktivitas sehari-hari.
5. Pernapasan sangat cepat.
6. Nyeri dada.
7. Tarikan otot bantu pernapasan seperti otot leher, otot dada dan
tulang rusuk yang tampak naik turun akibat upaya napas yang
berlebih.
8. Kesulitan berbicara.
9. Perasaan cemas atau panik.
10. Pucat, keringat dingin.
11. Bibir atau kuku biru.

2.1.8 Penegakan Diagnosis


Diagnosis asma melibatkan riwayat medis menyeluruh,
pemeriksaan fisik, dan penilaian objektif fungsi paru pada penderita
yang berusia ≥ 6 tahun untuk mendokumentasikan batasan aliran
udara ekspirasi variabel dan mengkonfirmasi diagnosis. Tes
bronkoprovokasi dan menilai penanda peradangan saluran napas juga
dapat membantu untuk mendiagnosis penyakit, terutama ketika
pengukuran objektif fungsi paru-paru normal meskipun ada gejala
asma (Quirt et al, 2018).
Riwayat kesehatan
1. Kaji gejala klasik asma : Wheezing, sesak napas, dada
sesak, batuk (dengan atau tanpa sputum)
2. Kaji pola gejala sugestif asma
a. Kambuh/episodik
b. Terjadi/memburuk pada malam hari atau dini hari
c. Terjadi/memburuk saat terpapar allergen (bulu binatang,
serbuk sari, tungau debu) atau iritan (olahraga, udara dingin,
asap tembakau, infeksi)
d. Menanggapi terapi asma yang sesuai
3. Kaji riwayat keluarga atau riwayat penyakit atopi (terutama
rhinitis alergi)

10
Pemeriksaan fisik
1. Periksa adanya mengi saat auskultasi
2. Periksa saluran pernapasan bagian atas dan kulit untuk mencari
tanda kondisi atopi lainnya
Tindakan objektif untuk memastikan batasan aliran udara
ekspirasi variable (spirometry)
1. Kriteria diagnostik : Setidaknya sekali selama proses diagnostik
ketika FEV 1 rendah, pastikan bahwa FEV 1 / FVC berkurang
(biasanya> 0,75-0,80 pada orang dewasa, > 0,90 pada anak-anak).
2. Variabilitas berlebihan yang didokumentasikan pada fungsi paru-
paru menggunakan satu atau lebih tes berikut (semakin besar
variasi, atau semakin sering variasi berlebih terlihat, semakin
yakin diagnosisnya):

Tes Kriteria Diagnostik


a. Tes reversibilitas bronko- 1) Dewasa: peningkatan FEV
dilator positif 1 > 12% dan >200 mL dari
(BD)a (lebih mungkin baseline, 10-15 menit
menjadi positif jika BD setelah 200-400 mg
ditahan sebelum tes: albuterol atau setara
SABA ≥ 4 jam, LABA ≥ (keyakinan yang lebih besar
15 jam) jika kenaikan adalah > 15%
dan >400 mL)
2) Anak: peningkatan
FEV1 dari > 12%
diprediksi
b. Variabilitas yang berle- 1) Dewasa: rata-rata
bihan pada PEF dua kali variabilitas PEF harian
sehari selama 2 minggua >10%b
2) Anak: rata-rata variabilitas
PEF harian >13%b
c. Peningkatan fungsi paru Orang dewasa meningkatkan

11
yang signifikan setelah 4 FEV 1 sebesar >12% dan >
minggu pengobatan anti- 200 mL (atau PEFc sebesar >
inflamasi 20%) dari baseline setelah 4
minggu pengobatan, diluar
pengobatan infeksi saluran
pernapasan
d. Tes tantangan latihan 1) Dewasa: FEV 1 >10% dan
positifa > 200 mL dari baseline
2) Anak: FEV 1 dari >12%
yang diprediksi, atau PEF
> 15%
e. Tes tantangan bronkial Penurunan FEV 1 dari nilai
positif (biasanya hanya dasar ≥ 20% dengan dosis
dilakukan pada orang standar metakolin atau
dewasa) histamin, atau ≥ 15% dengan
hiperventilasi standar, saline
hipertonik atau tantangan
manitol
f. Variasi fungsi paru yang 1) Dewasa: FEV 1 > 12% dan
berlebihan antar kunju- > 200 mL antara kunjungan,
ngan (kurang dapat di luar infeksi pernafasan
diandalkan)a 2) Anak: FEV 1 pada >12%
atau >15% pada PEFc antara
kunju-ngan (mungkin
termasuk infeksi
pernafasan)
FVC kapasitas vital paksa, FEV1 volume ekspirasi paksa dalam
1 detik, aliran ekspirasi puncak PEF, BD bronkodilator (SABA
ke-rja pendek atau LABA kerja cepat), LABA (long acting
beta 2-agonis), SABA (short acting beta 2-agonis).
a
Tes ini dapat diulangi selama gejala atau di pagi hari.
b
 Variabilitas PEF harian harian dihitung dari PEF dua kali

12
sehari sebagai ([hari tertinggi dikurangi hari terendah]/rata-rata
hari tertinggi dan terendah), dan dirata-rata selama 1 minggu.
c
 Untuk PEF, gunakan pengukur yang sama setiap kali, karena
PEF dapat bervariasi hingga 20% di antara pengukur yang
berbeda. Reversibilitas BD mungkin hilang selama eksaserbasi
parah atau infeksi virus. Jika reversibilitas bronkodilator tidak
ada pada presentasi awal, langkah selanjutnya tergantung pada
ketersediaan tes lain dan urgensi perlunya pengobatan. Dalam
situasi klinis yang mendesak, pengobatan asma dapat dimulai
dan pengujian diagnostik diatur dalam beberapa minggu ke
depan, tetapi kondisi lain yang dapat menyerupai asma harus
dipertimbangkan, dan diagnosis asma dipastikan sesegera
mungkin.
Tes alergi
Lakukan tes kulit untuk menilai status alergi dan mengidentifikasi
pemicu yang mungkin.
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis asma selain anamnesis dan pemeriksaan fisik
adalah sebagai berikut (Hashmi et al, 2021).
1. Pulse oximetry
2. Peakflow measurement
3. Laboratorium: cek fungsi ginjal (urea dan elektrolit), eosinofilia,
IgE serum, arterial blood gas
4. EKG
5. Imaging: chest X-ray, CT scan thorax
6. Spirometry

2.1.9 Komplikasi
Komplikasi dari asma memang ada meskipun komplikasi
jangka panjang tidak umum. Adapun komplikasi umum dari asma
adalah sebagai berikut (Chabra et al, 2020).
1. Gangguan pada aktivitas normal

13
2. Gangguan tidur
3. Waktu yang terlewat dari sekolah dan pekerjaan
4. Kunjungan gawat darurat dan rawat inap
Komplikasi jangka panjang dari asma dapat terjadi karena
peradangan kronis yang dapat menyebabkan kerusakan saluran
udara. Serangan asma yang sering terjadi dapat menyebabkan
peradangan saluran napas dan obat-obatan tidak dapat menembus
jalan napas. Kematian akibat asma jarang terjadi, risiko meningkat
pada pasien dengan penyakit paru-paru dan perokok (Chabra et al,
2020).
Asma menyebabkan hilangnya waktu kerja dan sekolah. Selain
itu juga menyebabkan banyak rawat inap di rumah sakit yang
meningkatkan biaya perawatan kesehatan. Asma yang tidak terkontrol
dapat melumpuhkan dan menyebabkan kualitas hidup yang buruk
(Hashmi et al, 2021).

2.1.10 Prognosis
Asma bukanlah penyakit jinak dan menyebabkan 1 kematian
per 100.000 orang di beberapa negara. Kematian terkait dengan fungsi
paru-paru dan diperburuk oleh merokok. Faktor yang mempengaruhi
mortalitas antara lain usia lebih dari 40 tahun, merokok lebih dari 20
pack/tahun, eosinofilia darah, FEV1 40-70% yang diprediksi, dan
reversibilitas yang lebih besar (Hashmi et al, 2021).
Prognosis asma bervariasi antara orang dewasa dan anak-
anak. Anak-anak mengalami resolusi lengkap lebih dari orang
dewasa. Namun, perkembangan penyakit parah tidak mungkin terjadi
kecuali ada penyakit paru-paru lain yang mendasari seperti penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK) atau penyalahgunaan tembakau. Pasien
yang pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya, serta intubasi yang
diklasifikasikan sebagai asma berat, memiliki prognosis yang lebih
buruk. Pasien yang merokok dan menderita PPOK memiliki prognosis

14
yang lebih buruk juga dalam subset pasien ini dapat terjadi kerusakan
paru permanen. Jika steroid hirup dimulai pada awal perjalanan
penyakit serta secara terus menerus memiliki efek menguntungkan
dan dapat meningkatkan fungsi paru-paru (Chabra et al, 2020).

2.1.11 Standar Kompetensi Dokter Umum


Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) merupakan
standar minimal kompetensi lulusan dan bukan merupakan merupakan
standar kewenangan dokter layanan primer. Kompetensi dibangun
dengan pondasi yang terdiri atas profesionalitas yang luhur, mawas
diri dan pengembangan diri, serta komunikasi efektif, dan ditunjang
oleh pilar berupa pengelolaan informasi, landasan ilmiah ilmu
kedokteran, keterampilan klinis, dan pengelolaan masalah kesehatan
(KKI, 2019).
Pada SKDI terdapat daftar penyakit yang disusun dengan
tujuan untuk menjadi acuan bagi institusi pendidikan dokter agar
dokter yang dihasilkan memiliki kompetensi yang memadai untuk
membuat diagnosis yang tepat, memberi penanganan awal atau tuntas,
dan melakukan rujukan secara tepat dalam rangka penatalaksanaan
pasien. Tingkat kompetensi setiap penyakit merupakan kemampuan
yang harus dicapai pada akhir pendidikan dokter. Untuk asma yang
merupakan daftar penyakit pada sistem respirasi memiliki Standar
Kompetensi Dokter Umum (SKDU) sebagai berikut (KKI, 2019).
Asma bronkial/Asma akut :4
Tingkat Kemampuan 4 : Mendiagnosis, melakukan
penata-laksanaan secara mandiri dan tuntas
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan penunjang, serta

15
mengusulkan penatalaksanaan penyakit atau melakukan
penatalaksanaan penyakit secara mandiri sesuai tugas klinik yang
dipercayakan (entrustable professional activity) pada saat pendidikan
dan pada saat penilaian kemampuan.

2.2 Obat-Obat Asma Secara Umum


Tujuan perawatan asma adalah untuk mengurangi gangguan, yaitu
frekuensi dan intensitas gejala dan keterbatasan fungsional, serta mengurangi
risiko serangan asma di masa mendatang, penurunan fungsi paru-paru, atau
efek samping pengobatan (Chabra et al, 2020).
Step-up theraphy: Tujuan pengendalian asma (Chabra et al, 2020)
1. Langkah 1: Untuk asma intermiten, terapi yang disukai adalah beta-2-
agonis hirup kerja pendek. Untuk asma persisten, pengobatan harian
dianjurkan.
2. Langkah 2: Perawatan yang disukai adalah kortikosteroid hirup dosis
rendah.
3. Langkah 3: Dianjurkan untuk menggunakan kortikosteroid inhalasi dosis
rendah ditambah beta-2-agonis inhalasi yang bekerja lama, atau
kortikosteroid inhalasi dosis sedang. 
4. Langkah 4: Perawatan yang disukai adalah kortikosteroid hirup dosis
sedang ditambah beta-2-agonis kerja panjang.
5. Langkah 5: Perawatan yang disukai adalah kortikosteroid hirup dosis
tinggi ditambah beta-2-agonis kerja lama dan mempertimbangkan
omalizumab untuk orang dengan alergi.  
6. Langkah 6: Pengobatan yang disukai adalah kortikosteroid hirup dosis
tinggi ditambah beta-2-agonis kerja lama ditambah kortikosteroid oral;
pertimbangkan omalizumab dengan orang yang alergi.
Menurut GINA (2019), kortikosteroid hirup yang digunakan untuk
menatalaksana asma dibagi menjadi dosis rendah, medium dan tinggi dengan
perbedaan antara dosis untuk dewasa dan remaja dengan anak-anak.

16
Dewasa dan Remaja (>12 tahun)
Dosis Harian (mcg)
Obat
Low Medium High
Beclometasone
200-500 >500-1000 >1000
dipropionate (CFC)
Beclometasone
100-200 >200-400 >400
dipropionate (HFA)
Budesonide (DPI) 200-400 >400-800 >800
Ciclesonide (HFA) 80-160 >160-320 >320
Fluticasone furoate
100 n.a. 200
(DPI)
Fluticasone
100-250 >250-500 >500
propionate (DPI)
Fluticasone
100-250 >250-500 >500
propionate (HFA)
Mometasone furoate 110-220 >220-440 >440
Triamcinolone
400-1000 >1000-2000 >2000
acetonide
Anak-anak 6-11 tahun
Beclometasone
100-200 >200-400 >400
dipropionate (CFC)
Beclometasone
50-100 >100-200 >200
dipropionate (HFA)
Budesonide (DPI) 100-200 >200-400 >400
Budesonide (nebules) 250-500 >500-1000 >1000
Ciclesonide 80 >80-160 >160
Fluticasone furoate
n.a. n.a. n.a.
(DPI)
Fluticasone
100-200 >200-400 >400
propionate (DPI)
Fluticasone
100-200 >200-500 >500
propionate (HFA)
Mometasone furoate 110 >220->440 >440
Triamcinolone
400-800 >800-1200 >1200
acetonide
Adapun jenis obat asma berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 adalah sebagai
berikut.

17
Bentuk/Kemasan
Jenis Obat Golongan Nama Generik
Obat
Flutikason
Steroid IDT
propionat
inhalasi
Budesonide IDT, turbuhaler
Anti-
Zafirlukast Oral (tablet)
leukokotrin
Kortikosteroid Metilprednisolon Oral, injeksi
Pengontrol (Anti- sistemik Prednisone Oral
inflamasi) Agonis beta-2 Prokaterol Oral
Formoterol Turbuhaler
kerja lama Salmeterol IDT
Kombinasi Flutikason +
IDT
steroid dan Salmeterol
agonis beta-2 Budesonide +
Turbuhaler
kerja lama Formoterol
Oral, IDT, rotacap
Salbutamol
solution
Oral, IDT,
Agonis beta-2 turbuhaler,
Terbutaline
kerja cepat solution, ampul
(injeksi)
Pelega Prokaterol IDT
Fenoterol IDT, solution
(Bronkodilator) Ipratropium
Antikolinergik IDT, solution
bromide
Teofilin Oral
Aminofilin Oral, injeksi
Metilsantin Teofilin lepas
Oral
lambat
Kortikosteroid Metilprednisolon Oral, inhaler
Sistemik Prednisone Oral
Keterangan
Inhalasi dosis terukur = Metered dose inhaler/MDI,
 IDT
dapat digunakan bersama dengan spacer
 Solution Larutan untuk penggunaan nebulasi dengan nebulizer
 Oral Dapat berbentuk sirup, tablet
 Injeksi Dapat untuk penggunaan subkutan, IM dan IV

18
Pasien harus dididik tentang asma tentang penggunaan obat-
obatan. Mereka harus memahami cara minum obat dan juga perbedaan antara
obat yang bekerja cepat dan obat pemeliharaan seperti kortikosteroid hirup.
Pasien juga harus didorong untuk menggunakan rencana tindakan asma,
sehingga mereka memahami bila gejala mereka parah, dan mereka perlu
menghubungi dokter atau pergi ke ruang gawat darurat (Chabra et al, 2020).
Pengendalian lingkungan sangat penting jika seseorang ingin
menghindari serangan berulang. Menghindari alergen dapat meningkatkan
kualitas hidup secara signifikan. Ini berarti menghindari tembakau, tungau
debu, hewan dan serbuk sari. Penurunan berat badan pada penderita asma
obesitas mengarah pada peningkatan kontrol. Berhenti merokok, perubahan
pekerjaan, dan swa-monitor semuanya penting dalam mencegah
perkembangan penyakit dan mengurangi jumlah serangan akut (Hashmi et al,
2021).
Pasien asma membutuhkan tindak lanjut seumur hidup untuk
memantau penyakit, kualitas hidup, dan status fungsional. Pada setiap
kunjungan, kepatuhan terhadap pengobatan harus ditekankan. Asma bukanlah
kelainan yang dapat disembuhkan, dan pasien membutuhkan pemantauan
seumur hidup. Pasien harus dididik tentang perlunya pemantauan penyakit
dan kepatuhan terhadap pengobatan. Pasien harus diberi rencana tindakan
asma tertulis (Hashmi et al, 2021).
Meskipun penyakit ini sangat disadari, asma masih menyebabkan
morbiditas yang tinggi dan bahkan mortalitas. Ada pedoman universal untuk
menangani gangguan ini, tetapi kepatuhan pasien terhadap pengobatan tetap
menjadi masalah besar. Oleh karena itu, semua petugas layanan kesehatan
memiliki tanggung jawab untuk mendorong kepatuhan pengobatan dan tindak
lanjut yang dekat dengan dokter perawatan primer (Hashmi et al, 2021).

2.3 Obat-Obat Asma yang Aman untuk Ibu Menyusui


Wanita dengan asma harus disarankan untuk terus melanjutkan
perawatan sambil menyusui. Jarak antara dosis dan waktu menyusui mungkin

19
diperlukan saat menggunakan kortikosteroid (Lim et al, 2013). Adapun obat-
obat asma yang aman digunakan untuk ibu menyusui adalah sebagai berikut.
2.3.1 Kortikosteroid
1. Farmakokinetik
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral
diabsorpsi dengan cukup baik. Untuk mencapai kadar tinggi
dengan cepat dalam cairan tubuh, ester kortisol dan derivat
sintetiknya diberikan secara intravena. Untuk mendapatkan efek
yang lama kortisol dan esternya diberikan secara intramuskular.
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan
absorpsi, mula kerja dan lama kerja (Ganiswarna, 2016).
Pada keadaan normal, 90% kortisol terikat pada dua jenis
protein plasma yaitu globulin pengikat kortikosteroid dan albumin.
Afinitas globulin tinggi tetapi kapasitas ikatnya rendah sebaliknya
afinitas albumin rendah tetapi kapasitas ikatnya relatif tinggi.
Karena itu pada kadar rendah atau normal, sebagian besar
kortikosteroid terikat globulin. Bila kadar kortikosteroid meningkat
jumlah hormon yang terikat albumin dan yang bebas juga
meningkat, sedangkan yang terikat globulin sedikit mengalami
perubahan. Kortikosteroid berkompetisi sesamanya untuk berikatan
dengan globulin pengikat kortikosteroid; kortisol mempunyai
afinitas tinggi sedangkan metabolit yang terkonjugasi dengan asam
glukoronat dan aldosterone afinitasnya rendah (Ganiswarna, 2016).
Kehamilan atau penggunaan estrogen dapat meningkatkan
kadar globulin pengikat kortikosteroid,  plasma total dan kortisol
bebas sampai beberapa kali. Belum diketahui Apakah hal ini dapat
mempengaruhi fungsi tubuh (Ganiswarna, 2016).

Transformasi steroid terjadi didalam dan diluar hati.


Metabolitnya merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah.
Semua kortikosteroid yang aktif memiliki ikatan rangkap pada

20
atom C4,5 dan gugus keton pada Atom C3. Reduksi ikatan rangkap
C4,5 terjadi di dalam hati dan jaringan ekstrahepatik serta
menghasilkan senyawa inaktif. Perubahan gugus keton menjadi
gugus hidroksil hanya terjadi di hati. Sebagian besar hasil reduksi
gugus keton pada atom C3 melalui gugus hidroksilnya secara
enzimatik bergabung dengan asam sulfat atau asam glukoronat
membentuk ester yang mudah larut dan kemudian diekskresi.
Reaksi ini terutama terjadi di hepar dan sebagian kecil di ginjal
(Ganiswarna, 2016).
Oksidasi gugus 11-hidroksil yang reversibel terjadi secara
cepat di hepar dan secara lambat di jaringan ekstrahepatik. Untuk
aktivitas biologiknya kortikosteroid dengan gugus keton pada atom
C11 harus direduksi menjadi senyawa 11-hidroksil sedangkan
reduksi gugus keton pada atom C20 hanya memberikan senyawa
dengan aktivitas biologis yang lemah. Kortikosteroid dengan gugus
hidroksil pada Atom C17 akan dioksidasi menjadi 17-ketosteroid
yang tidak mempunyai aktivitas kortikosteroid tetapi bersifat
androgenik. Adanya ekskresi 17-ketosteroid dalam urine dapat
dipakai sebagai ukuran aktivitas hormon kortikosteroid dalam
tubuh. Setelah penyuntikan IV steroid radioaktif, sebagian besar
dalam waktu 72 jam diekskresi dalam urine, sedangkan di feses dan
empedu hampir tidak ada. Diperkirakan paling sedikit 70% kortisol
yang diekskresi mengalami metabolisme di hepar. Masa paruh
eliminasi kortisol sekitar 1,5 jam. Adanya ikatan rangkap pada
atom C1-2 atau substitusi atom fluor memperlambat proses
metabolisme dan karenanya dapat memperpanjang masa paruh
eliminasi (Ganiswarna, 2016).

2. Farmakodinamik
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan
sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel jaringan melalui

21
membran plasma secara difusi pasif di jaringan target, kemudian
bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel
jaringan dan membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini
mengalami perubahan konformasi lalu bergerak menuju nukleus
dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi
RNA dan sintesis protein spesifik.  Induksi sintesis protein ini
merupakan perantara efek fisiologis steroid. Pada beberapa jaringan
misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis
protein spesifik pada jaringan lain misalnya sel limfoid dan
fibroblas, hormon ini bersifat katabolik. Beberapa peneliti
menunjukkan bahwa hormon steroid merangsang sintesis protein
yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal
inilah mungkin yang menimbulkan efek kataboliknya (Ganiswarna,
2016).
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau
menekan timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat
kimia, mekanik atau allergen. Gejala ini umumnya berupa
kemerahan, rasa sakit dan panas serta pembengkakan di tempat
radang. Secara mikroskopik, obat ini selain menghambat fenomena
inflamasi dini, udem, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi
leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis juga
menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut (proliferasi
kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan
sikatriks) (Ganiswarna, 2016).
Penggunaan klinik kortikosteroid sebagai anti-inflamasi
merupakan terapi paliatif, dalam hal ini penyebab penyakit tetap
ada hanya gejalanya yang dihambat. Sebenarnya hal inilah yang
menyebabkan obat ini banyak digunakan untuk berbagai penyakit,
bahkan sering disebut life saving drug, tetapi juga mungkin
menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Karena gejala inflamasi
ini sering digunakan sebagai dasar evaluasi terapi inflamasi, maka

22
pada penggunaan glukokortikoid kadang-kadang terjadi masking
effect, dari luar penyakit nampaknya sudah sembuh tetapi infeksi di
dalam masih terus menjalar (Ganiswarna, 2016).
Glukokortikoid dapat mengatasi gejala klinik reaksi
hipersensitivitas. Belum dapat dipastikan apakah dosis terapi
kortikosteroid mempunyai efek yang berarti pada titer antibody IgG
atau IgE yang berperan pada reaksi alergi dan reaksi autoimun.
System komplemen nampaknya tidak dipengaruhi. Glukokortikoid
hanya mengatasi gejala penyakit, tetapi tidak mempengaruhi reaksi
antigen-antibodi. Pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat (cell-
mediated), misalnya penolakan jaringan, glukokortikoid tidak
menghambat sel limfosit yang berperan pada system imun yang
dapat menimbulkan respons inflamasi bila bersentuhan dengan
antigen. Kortikosteroid menghambat reaksi inflamasi dengan
menghambat migrasi leukosit ke daerah inflamasi (Ganiswarna,
2016).

2.3.2 Agonis Adrenoseptor Beta-2 Selektif


1. Farmakokinetik
Ketika terbutaline digunakan secara inhalasi, kurang dari
10% obat ini diserap dalam saluran napas. Sisanya ditelan dan
diserap di saluran pencernaan secara bervariasi. Bioavailabilitas
puasa setelah dosis oral dilaporkan sekitar 14-15% dab dikurangi
dengan adanya makanan. Terbutaline mengalami ekstensif
metabolism lintas pertama oleh sulfat (dan beberapa glukoronida)
konjugasi di hati dan dinding usus kemudian diekskresikan dalam
urin dan tinja. Waktu paruh setelah penggunaan tunggal dan
beberapa dosis dilaporkan antara 16 dan 20 jam. Obat ini dapat
menembus plasenta dan didistribusikan ke dalam ASI. Jika
diberikan melalui rute inhalasi OOA (onset of action) 5-30 menit
dan DOA (duration of action) 3-6 jam (Carima, 2016).

23
Salmeterol ketika digunakan secara inhalasi mempunyai
OAA (onset of action) dalam 20 menit dan DOA (duration of
action) selama 12 jam. Konsentrasi plasma dari salmeterol tidak
berarti setelah pemberian pada dosis terapi secara inhalasi. Obat ini
terikat pada protein 96%, dimetabolisme di hati dan hidroksilasi via
CYP3A4 yang kemudian dieksresikan 60% melalui fases dan 25%
melalui urin (Carima, 2016).
Inhalasi formoterol sangat cepat di absorbs dengan OOA
(onset of action) cepat dalam 3 menit dan DOA (duration of action)
panjang seperti salbutamol yaitu 12 jam. Banyak dimetabolisme
oleh glukuronidasi dan O-demetilasi serta diekskresikan melalui
urin dalam bentuk obat utuh. Obat ini memiliki t1/2 eliminasi
setelah pemakaian secara inhalasi yaitu 10 jam. Sebanyak 40-60%
obat terikat oleh protein dan 31-38% terikat oleh albumin (Carima,
2016).
2. Farmakodinamik
Agonis adrenoseptor beta-2 selektif merupakan
simpatomimetik yang paling luas digunakan untuk mengobati
bronkokonstriksi asma saat ini. Obat ini efektif jika diberikan
secara inhalasi atau oral serta memiliki masa kerja yang lama
(Katzung et al, 2013). Melalui aktivitas reseptor Beta-2, obat-obat
ini akan menimbulkan relaksasi otot polos bronkus (Ganiswarna,
2016).
Terbutaline tersedia dalam bentuk metered-dose inhaler. Jika
diberikan melalui inhalasi, obat ini menyebabkan bronkodilatasi
maksimal dalam 15-30 menit dan menetap selama 3-4 jam. Agonis
beta-2 selektif dari generasi yang lebih baru adalah salmeterol
(agonis parsial) dan formoterol (agonis penuh). Kedua obat ini
merupakan agonis beta-2 selektif yang poten dengan masa kerja
lama (12 jam atau lebih) karena tingginya kelarutan dalam lemak.
Hal ini memungkinkan obat tersebut larut dalam membrane sel otot

24
polos dalam konsentrasi tinggi atau mungkin melekat ke molekul-
molekul di sekitar adrenoseptor. Obat ini tampaknya berinteraksi
dengan kortikosteroid inhalan untuk meningkatkan control asma.
Karena tidak memiliki efek anti-inflamasi, obat ini tidak dianjurkan
sebagai monoterapi untuk asma (Katzung et al, 2013).
Preparat kerja singkat dapat digunakan sementara untuk
terapi akut gejala asma. Untuk pengobatan asma kronik pada orang
dewasa, perlu digunakan agonis beta-2 kerja lama sebagai
tambahan untuk steroid karena obat ini dapat meningkatkan
morbiditas joka digunakan sendiri (Katzung et al, 2013).

2.3.3 Inhibitor Jalur Leukotrien


1. Farmakokinetik
Montelukast diabsorbsi secara cepat dan mencapai kadar
puncak plasma dalam 3-4 jam. Bioavailabilitas obat ini adalah 64%
pada pemberian dengan dosis 10 mg secara oral. Untuk dosis 5 mg,
konsentrasi puncak dicapai dalam 2-2.5 jam dengan bioavailabilitas
sebesar 73% pada saat puasa dan 63% saat diberikan dengan
makanan. Lebih dari 99% obat ini terikat protein plasma dengan
distribusi minimal melalui darah-otak. Metabolism terjadi di hati
dengan bantuan enzim CYP3A4 dan CYP2C9. Ekskresi
montelukast dan metabolitnya hampir secara eksklusif terjadi
malelui empedu dengan waktu paruh 2.7-5.5 jam pada orang
dewasa sehat (Ganiswarna, 2016).
2. Farmakodinamik
Leukotriene dihasilkan dari kerja 5-lipoksigenase pada asam
arakidonat dan disintesis oleh berbagai sel radang di saluran napas,
termasuk eosinophil, sel mast, makrofag dan basophil. Leukotriene
B4 (LTB4) adalah kemoatraktan neutrophil yang kuat, LTC4 dan
LTD4 menimbulkan banyak efek yang diketahui terjadi pada asma,
termasuk bronkokonstriksi, peningkatan reaktivitas bronkus, edema

25
mukosa dan hipersekresi mucus. Inhibisi 5-lipoksigenase, untuk
mencegah pembentukan leukotriene dan inhibisi pengikatan LTD4
ke reseptornya di jaringan sasaran, untuk mencegah efeknya
(Katzung et al, 2013).

2.3.4 Antikolinergik
1. Farmakokinetik
Alkaloid belladonna mudah diserap dari semua tempat,
kecuali kulit. Dari sirkulasi darah, atropine cepat memasuki
jaringan dan kebanyakan mengalami hidrolisis enzimatik oleh
hepar. Sebagian diekskresi melalui ginjal dalam bentuk asal.
Efektivitas obat mencapai puncaknya antara 1-2 jam setelah
inhalasi dan bertahan 3-5 jam. Toleransi tidak terjadi dalam
pemakaian sampai 5 tahun (Ganiswarna, 2016).
Alkaloid alami dan sebagian besar obat antimuskarinik tersier
diserap baik dari usus dan membrane konjungtiva. Hanya 10-30%
dari dosis obat antimuskarinik kuartener yang diserap setelah
pemberian oral, yang mencerminkan kurangnya kelarutan molekul
bermuatan dalam lemak. Atropine dan obat tersier lainnya
terdistribusi luas di tubuh. Dalam 30 menit sampai 1 jam kadar di
SSP sudah signifikan dan hal ini dapat membatasi dosis yang dapat
ditoleransi ketika obat digunakan untuk efek perifernya. Turunan
kuartener kurang diserap oleh otak dan karenanya relative bebas—
pada dosis rendah—dari efek SSP. Setelah pemberian, eliminasi
atropine dari darah terjadi dalam dua fase: t1/2 dari fase cepat
adalah 2 jam dan bahwa fase lambat adalah sekitar 13 jam. Sekitar
50% dari dosis diekskresikan tanpa berubah di urin. Sebagian besar
sisanya muncul di urin sebagai produk hidrolisis dan konjugasi.
Efek obat pada fungsi parasimpatis cepat turun di semua organ
kecuali mata (Katzung et al, 2013).

26
2. Farmakodinamik
Antagonis muskarinik secara kompetitif menghambat efek
asetilkolin di reseptor muskarinik. Di saluran napas, asetilkolin
dikeluarkan dari ujung-ujung eferen saraf vagus, dan antagonis
muskarinik menghambat kontraksi otot polos saluran napas dan
peningkatan sekresi mucus yang terjadi sebagai respon terhadap
aktivitas vagus. Dibutuhkan konsentrasi yang sangat tinggi—jauh
diatas kadar yang dicapai bahkan dengan terapi maksimal—untuk
menghambat respon otot polos saluran napas terhadap stimulasi
non-muskarinik. Obat antimuskarinik adalah bronkodilator yang
efektif. Selektivitas efek atropine dapat ditingkatkan lebih lanjut
dengan memberikan obat melalui inhalasi atau menggunakan
turunan ammonium kuaterner atropine yang lebih selektif,
ipratropium bromide. Ipratropium yang diberikan dalam dosis
tinggi melalui rute ini karena kurang diserap ke dalam sirkulasi
serta tidak mudah masuk ke susunan saraf pusat. Obat
antimuskarinik berguna bagi pasien yang intoleran terhadap obat
agonis beta inhalan. Meskipun obat antimuskarinik tampaknya
kurang efektif dibandingkan dengan obat agonis beta dalam
menghilangkan bronkospasme. Ipratropium tidak menghambat
auto-down-regulation pengeluaran asetilkolin yang diperantarai
oleh M2, oleh sebab itu sedikit banyak memiliki selektivitas
reseptor (Katzung et al, 2013).
Alkaloid belladona mengurangi secret hidung, mulut, faring
dan bronkus. Pemakaiannya ialah pada medikasi preanestetik untuk
mengurangi sekresi lender pada jalan napas. Sebagai bronkodilator,
atropine tidak berguna dan jauh lebih lemah daripada epinefrin atau
aminofilin. Ipratropium bromide merupakan antimuskarinik yang
memperlihatkan bronkodilatasi berarti secara khusus (Ganiswarna,
2016).

27
Antikolinergik dapat berguna untuk mengurangi ekskresi
lendir hidung dan saluran napas secara simptomatis. Ipratropium
bromide efektivitasnya sebagai bronkodilator bila diinhalasi tidak
sekuat beta-agonis. Obat ini diindikasikan untuk mengatasi
brokokonstriksi yang tidak dapat diatasi lagi dengan teofilin atau
beta-2 agonis atau bila kedua obat tidak terterima oleh pasien. Pada
pemberikan secara inhalasi, ipratropium bromide tidak
mempengaruhi kekentalan, produksi maupun proses pembersihan
mucus. Obat ini juga praktis diserap sehingga jarang menimbulkan
efek samping sistemik (Ganiswarna, 2016).

2.3.5 Metilxantin
1. Farmakokinetik
Metilxantin cepat diabsorpsi setelah pemberian oral, rektal
atau parenteral. Sediaan bentuk cair atau tablet tidak bersalut akan
direabsorpsi secara cepat dan lengkap. Absorpsi juga berlangsung
lengkap untuk beberapa jenis sediaan lepas lambat misalnya
teofilin. Dalam keadaan perut kosong, sediaan teofilin bentuk cair
atau tablet tidak bersalut dapat menghasilkan kadar puncak plasma
dalam waktu 2 jam sedangkan kafein dalam waktu 1 jam. Saat ini
tersedia teofilin lepas lambat yang dibuat sedemikian rupa agar
dosis teofilin dapat diberikan dengan interval 8, 12, atau 24 jam.
Pada umumnya, adanya makanan dalam lambung akan
memperlambat kecepatan absorpsi teofilin tetapi tidak
mempengaruhi derajat besarnya absorpsi (Ganiswarna, 2016).
Metilxantin didistribusikan ke seluruh tubuh melewati
plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasi metilxantin
terutama melalui metabolisme dalam hati. Sebagian besar
diekskresi bersama urin dalam bentuk asam metilurat atau
metilxantin. Kurang dari 20% teofilin dan 5% kafein akan
ditemukan dalam urin dalam bentuk utuh. Waktu plasma kafein

28
antara 3-7 jam. Waktu paruh teofilin pada orang dewasa 8-9 jam
dan pada anak muda kira-kira 3,5 jam. Pada pasien sirosis hati atau
edema paru akut, kecepatan eliminasi sangat bervariasi dan
berlangsung lebih lambat dan pernah dilaporkan lebih dari 60 jam.
Pada bayi prematur, kecepatan eliminasi teofilin dan kafein sangat
menurun. Waktu paruh kafein rata-rata 50 jam sedangkan teofilin
berkisar anatara 20-36 jam (Ganiswarna, 2016).
2. Farmakodinamik
Pada konsentrasi tinggi, obat golongan ini in vitro terbukti
menghambat beberapa anggota family enzim fosfodiesterase
(PDE). Karena fosfodiesterase menghidrolisis nukleotida siklik,
inhibisi ini menyebabkan meningkatnya konsentrasi cAMP intersel
dan di sebagian jaringan, cGMP. AMP siklik memiliki efek pada
beragam fungsi sel, tetapi tidak terbatas pada stimulasi fungsi
jantung, relaksasi otot polos dan penekanan aktivitas imun dan
inflamatorik sel-sel tertentu. Dari berbagai isoform fosfodiesterase
yang terlah diketahui, PDE4 di sel-sel radang mengurangi
pengeluaran sitokin dan kemokin, yang pada gilirannya
menyebabkan penurunan migrasi dan pengaktifan sel imun
(Katzung et al, 2013).
Mekanisme lain yang diperkirakan berperan dalam inhibisi
reseptor adenosine di permukaan sel. Reseptor ini memodulasi
aktivitas adenilil siklase, dan adenosine terbukti memicu kontraksi
isolate otot polos saluran napas dan pelepasan histamine dari sel
mast saluran napas (Katzung et al, 2013).
Bronkodilatasi yang ditimbulkan oleh metilxantin merupakan
efek terapetik utama dalam asma. Selain itu, obat golongan ini—
dalam konsentrasi yang memadai—menghambat pengeluaran
histamine imbas-antigen dari jaringan paru, sedangkan efek pada
transport mukosilia belum diketahui (Katzung et al, 2013).

29
30

Anda mungkin juga menyukai