Anda di halaman 1dari 20

TUGAS PAPER

ASMA

DISUSUN OLEH:

Dorthea Gohae 183307020029

Merta Meliana Lajira 183307020026

Monika Feronika Ndruru 183307020072

PEMBIMBING:

DR. SADARITA SITEPU Sp. P.

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR

ILMU PENYAKIT PARU

RUMAH SAKIT UMUM ROYAL PRIMA MEDAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat
ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu
aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktiviti menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan
dapat menimbulkan disability (kecacatan), sehingga menambah penurunan produktiviti serta
menurunkan kualiti hidup.
Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti dengan
kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari data berbagai negara yang menunjukkan
peningkatan kunjungan ke darurat gawat, rawat inap, kesakitan dan bahkan kematian karena
asma. Berbagai argumentasi diketengahkan seperti perbaikan kolektif data, perbaikan
diagnosis dan deteksi perburukan dan sebagainya. Akan tetapi juga disadari masih banyak
permasalahan akibat keterlambatan penanganan baik karena penderita maupun dokter
(medis).
Kesepakatan bagaimana menangani asma dengan benar yang dilakukan oleh National
Institute of Heallth National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) bekerja sama dengan
World Health Organization (WHO) bertujuan memberikan petunjuk bagi para dokter dan
tenaga kesehatan untuk melakukan penatalaksanaan asma yang optimal sehingga
menurunkan angka kesakitan dan kematian asma. Petunjuk penatalaksanaan yang telah dibuat
dianjurkan dipakai di seluruh dunia disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan negara
masing-masing (PDPI, 2003).
Pelayanan kesehatan primer memegang peranan penting pada penyakit asma dalam
hal penegakan diagnosis pertama kali, terapi yang tepat, dan edukasi terutama kepada pasien
dan keluarganya dalam pencegahan terjadinya kekambuhan penyakit dan menurunnya
kualitas hidup pasien asma. Pengetahuan tentang patologi, patofisiologi, dan imunologi asma
telah berkembang sangat pesat, khususnya untuk asma pada orang dewasa dan anak besar.
Pada anak kecil dan bayi, mekanisme dasar perkembangan penyakit ini masih belum
diketahui dengan pasti. Bayi dan balita yang mengalami mengi saat terkena infeksi saluran
napas akut, banyak yang tidak berkembang menjadi asma saat dewasanya (Setiawan L,
2010).
Di Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar dan
sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat
bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian
serius (Rengganis, 2008).

World Health Report di tahun 2000 menunjukkan asma menduduki peringkat ke-5
sebagai penyakit paru utama yang menyebabkan kematian di dunia. Saat itu penderita asma
di dunia mencapai 100-150 juta orang, dan terus bertambah sekitar 180 ribu orang pertahun
(WHO, 2000). Jumlah terkini di tahun 2008 mencapai 300 juta orang (GINA, 2008). Asma
mencapai perkembangan hingga dua kali lipat dari jumlah awal dalam 8 tahun terakhir.
Prevalensi asma di Indonesia sendiri berkisar antara 5-7% (Suyono, 2001). Asma juga
terbukti menurunkan kualitas hidup penderita. Riset terhadap 3207 kasus asma menunjukkan
44-51% penderita mengalami batuk malam dalam sebulan terakhir, bahkan 28,3% penderita
mengaku mengalami gangguan tidur paling tidak sekali dalam seminggu. Penderita yang
mengaku mengalami keterbatasan dalam berekreasi atau berolahraga sebanyak 52,7%,
aktivitas sosial 38%, aktivitas fisik 44,1%, cara hidup 37,1%, pemilihan karier 37,9%, dan
pekerjaan rumah tangga 32,6%. Absen dari sekolah maupun pekerjaan dalam setahun terakhir
dialami oleh 36,5% anak dan 26,5% orang dewasa (Arief, 2009).
BAB II
ASMA

2.1 Defenisi

Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya “ sulit bernafas”. Asma adalah
gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya.
Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan
gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk
terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan
napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan
(PDPI, 2018).
2.2 Epidemiologi
Asma menjadi salah satu masalah kesehatan utamabaikdi negara maju maupun di
negara berkembang. Menurut data dari laporan Global Initiatif for Asthma (GINA) tahun
2017 dinyatakan bahwa angka kejadian asma dari berbagai negara adalah 1-18% dan
diperkirakan terdapat 300 juta penduduk di dunia menderita asma.1Prevalensi asma
menurut World Health Organization (WHO) tahun 2016 memperkirakan 235 juta penduduk
dunia saat ini menderita penyakit asma dan kurang terdiagnosis denganangka kematian
lebih dari 80% di negara berkembang.2Di Amerika Serikat menurut National Center
Health Statistic(NCHS) tahun 2016 prevalensi asma berdasarkan umur, jenis kelamin,
dan ras berturut-turut adalah 7,4% pada dewasa,8,6% pada anak-anak, 6,3% laki-laki,
9,0% perempuan, 7,6% ras kulit putih,dan 9,9% ras kulit hitam.
Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita bergejala pada umur 1
tahun, sedangkan 80-90% anak yang menderita asma gejala pertamanya muncul sebelum
umur 4-5 tahun. Prevalensi asma menurun sebanding dengan bertambahnya usia terutama
setelah usia sepuluh tahun. Hal ini yang menyebabkan prevalensi asma pada orang dewasa
lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi asma pada anak. Sebagian besar anak yang
terkena kadang-kadang hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, yang relatif mudah
ditangani. Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya lebih banyak
yang terus menerus daripada yang musiman sehingga menjadikan anak tidak mampu dan
mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, serta fungsi dari hari ke hari
(Sundaru, 2006).
2.3 Etiologi
Sebagian besar penyempitan pada saluran nafas disebabkan oleh semacam reaksi
alergi. Alergi adalah reaksi tubuh normal terhadap allergen, yakni zat-zat yang tidak
berbahaya bagi kebanyakan orang yang peka. Alergen menyebabkan alergi pada orang-orang
yang peka. Alergen menyebabkan otot saluran nafas menjadi mengkerut dan selaput lendir
menjadi menebal. Selain produksi lendir yang meningkat, dinding saluran nafas juga menjadi
membengkak. Saluran nafas pun menyempit, sehingga nafas terasa sesak. Alergi yang
diderita pada penderita asma biasanya sudah ada sejak kecil. Asma dapat kambuh apabila
penderita mengalami stres dan hamil merupakan salah satu stress secara psikis dan fisik,
sehingga daya tahan tubuh selama hamil cenderung menurun, daya tahan tubuh yang
menurun akan memperbesar kemungkinan tersebar infeksi dan pada keadaan ini asma dapat
kambuh.

2.4 Faktor-faktor Risiko Asma


Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor)
dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang
mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) ,
hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu
dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan
terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam
faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara,
infeksi pernapasan (virus), diet, status social ekonomi dan besarnya keluarga.

Gambar 1. Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kejadian asma


2.5 Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau
pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai
derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat
ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan
asma yang dicetuskan aspirin.
1. INFLAMASI AKUT
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara
lain alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang
terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi
asma tipe lambat.
a. Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan
terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan
preformed mediator seperti histamin, protease dan newly generated
mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan
kontraksiotot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
b. Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan
melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil
dan makrofag.
2. INFLAMASI KRONIK
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut
ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot
polos bronkus.
a. Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2).
Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan
mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-
4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13
menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF
berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil.
b. Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada
penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti
molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin.
Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya
masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil
granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzymdan
metaloprotease sel epitel.
c. Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak
spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah
dalam keadaanteraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis
sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta
mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-
CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil cationic
protein(ECP), major basic protein(MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan
eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran
napas.
d. Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi.Cross-
linkingreseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast.
Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediatorseperti
histamin dan protease sertanewly generated mediators antara lain prostaglandin
D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3,
IL-4, IL-5 dan GM-CSF.

e. Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang
normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh
percabangan bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara
lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain berperan dalam
prosesinflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway remodeling. Peran
tersebut melalui a.l sekresi growth-promoting factors untuk fibroblast,
sitokin, PDGF dan TGF-β.
AIRWAY REMODELING
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan yang
secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang
menghasilkan perbaikan (repair)dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel-sel yang
baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan
yangrusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang
rusak/injuri dengan jaringan peyambung yang menghasilkan jaringan skar.
Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan
inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai
mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan airway
remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat
dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana
deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau
perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos
dan kelenjar mukus.Pada asma terdapat saling ketergantungan antara prosesinflamasi dan
remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen
lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstisial,
fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos,
kelenjar mukus.
Perubahan struktur yang terjadi :
1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
3. Penebalan membran reticular basal
4. Pembuluh darah meningkat
5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
6. Perubahan struktur parenkim
7. Peningkatan fibrogenic growth factormenjadikan fibrosis
2.6 Patofisiologi dan Mekanisme terjadinya Asma

Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi
bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus.

Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya aktivitas bronkus ini
dapat diukursecara tidak langsung. Pengukuran ini merupakan parameter objektif untuk
menentukan beratnya hiperaktivitas bronkus yang ada pada seseorang pasien. Berbagai cara
digunakan untuk mengukur hiperaktivitas bronkus ini, antara lain dengan uji provokasi beban
kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen maupun zat nonspesifik.
Pencetusan serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah factor antara lain allergen,
virus dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma
dini dan reaksi asma lambat. Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma merupakan
suatu hal yang kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast. Inhalasi
allergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan
mungkin juga epitel jalan nafas (KEMENKES RI, 2008).
2.7 Manifestasi Klinis
1. Batuk berulang
2. Mengi
3. Sesak napas
4. Dada terasa berat
5. Gejala biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan infeksi pernapasan
dan inhalasi alergen.
6. Nafsu makan berkurang

2.8 Diagnosis
Secara umum untuk menegakkan diagnosis asma diperlukan anamnesa, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
a. Keluhan batuk kering berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan
b. Gejala timbul secara episodik atau berulang
c. Timbul bila ada faktor pencetus (Iritan,Alergen,Infeksi saluran nafas,aktivitas)
d. Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya
e. Variabilitas
f. Reversibilitas
2. Pemeriksaan Fisik
a. Ekspirasi memanjang
b. Mengi (wheezing)
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
b. Rontgen toraks
c. Arus Puncak Ekspirasi (APE)
d. Uji reversibilitas (bronkodilator)
e. Skin prick test
f. Uji Provokasi Bronkus

2.9. Diagnosis Banding


Diagnosis banding asma antara lain sbb :
Dewasa
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik
2. Bronkitis kronik
3. Gagal Jantung Kongestif
4. Batuk kronik akibat lain-lain
5. Disfungsi larings
6. Obstruksi mekanis (misal tumor)
7. Emboli Paru
Anak
a. Benda asing di saluran napas
b. Laringotrakeomalasia
c. Pembesaran kelenjar limfe
d. Tumor
e. Stenosis trakea
f. Bronkiolitis
2.10. Klasifikasi Asma
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara.

Gambar 3. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis


Gambar 4. Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan
2.11 Penatalaksanaan

Pengobatan asma berdasarkan derajat beratnya :


1. Asma Intermiten
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma Di Indonesia. Serangan berat
umumnya jarang pada asma intermiten walaupun mungkin terjadi. Bila terjadi
serangan berat pada asma intermiten, selanjutnya penderita diobati sebagai asma
persisten sedang. Pengobatan yang lazim adalah agonis beta-2 kerja singkat hanya
jika dibutuhkan (bukti A), atau sebelum exercise pada exercise-induced asthma,
dengan alternatif kromolin atau leukotriene modifiers; atau setelah pajanan alergen
dengan alternatif kromolin. Bila terjadi serangan, obat pilihan agonis beta-2 kerja
singkat inhalasi, alternatif agonis beta-2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja
singkat dan agonis beta-2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi. Jika
dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama 3 bulan, maka sebaiknya
penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan.
2. Asma Persisten Ringan
Penderita asma persisten ringan membutuhkan obat pengontrol setiap
hari untuk mengontrol asmanya dan mencegah agar asmanya tidak bertambah
bera; sehingga terapi utama pada asma persisten ringan adalah antiinflamasi
setiap hari dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah . Dosis yang
dianjurkan 200-400 ug BD/ hari atau 100-250 ug FP/hari atau ekivalennya,
diberikan sekaligus atau terbagi 2 kali sehari.
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika
dibutuhkan sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Bila penderita
membutuhkan pelega/ bronkodilator lebih dari 4x/ sehari, pertimbangkan
kemungkinan beratnya asma meningkat menjadi tahapan berikutnya.
3. Asma Persisten Sedang
Penderita dalam asma persisten sedang membutuhkan obat pengontrol
setiap hari untuk mencapai asma terkontrol dan mempertahankannya. Idealnya
pengontrol adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/ hari
atau 250-500 ug FP/ hari atau ekivalennya) terbagi dalam 2 dosis dan agonis
beta-2 kerja lama 2 kali sehari. Jika penderita hanya mendapatkan
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (≤ 400 ug BD atau ekivalennya) dan
belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis beta-2 kerja lama inhalasi
atau alternatifnya. Jika masih belum terkontrol, dosis glukokortikosteroid
inhalasi dapat dinaikkan. Dianjurkan menggunakan alat bantu/ spacer pada
inhalasi bentuk IDT/MDI atau kombinasi dalam satu kemasan (fix combination)
agar lebih mudah. Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat
inhalasi) jika dibutuhkan , tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari.
Alternatif agonis beta-2 kerja singkat inhalasi sebagai pelega adalah agonis beta-2
kerja singkat oral, atau kombinasi oral teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja
singkat. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah
menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol.
4. Asma Persisten Berat
Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik mungkin,
gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru
(APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek
samping obat seminimal mungkin. Untuk mencapai hal tersebut umumnya
membutuhkan beberapa obat pengontrol tidak cukup hanya satu pengontrol.
Terapi utama adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800
ug BD/ hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari.
Kadang kala kontrol lebih tercapai dengan pemberian glukokortikosteroid inhalasi
terbagi 4 kali sehari dari pada 2 kali sehari.
Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene modifiers
dapat sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam perannya
sebagai kombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi juga dapat
sebagai tambahan terapi selain kombinasi terapi yang lazim (glukokortikosteroid
inhalasi dan agonis beta-2 kerja lama inhalasi). Jika sangat dibutuhkan, maka
dapat diberikan glukokortikosteroid oral dengan dosis seminimal mungkin,
dianjurkan sekaligus single dose pagi hari untuk mengurangi efek samping.
Pemberian budesonid secara nebulisasi pada pengobatan jangka lama untuk
mencapai dosis tinggi glukokortikosteroid inhalasi adalah menghasilkan efek
samping sistemik yang sama dengan pemberian oral, padahal harganya jauh lebih
mahal dan menimbulkan efek samping lokal seperti sakit tenggorok/ mulut.
Sehngga tidak dianjurkan untuk memberikan glukokortikosteroid nebulisasi
pada asma di luar serangan/ stabil atau sebagai penatalaksanaan jangka panjang.
J. Penjegahan
K. Komplikasi
1. Status asmatikus
2. Atelektasis
3. Hipoksemia
4. Pneumothoraks
5. Emfisema
DAFTAR PUSTAKA

Arief, 2009. Asma Bronkial, Journal Allergy and Clinical Immunology.


Global Initiative For Asthma. Global Strategy For Asthma Management and Prevention.
Available from: http://www.ginasthma.org/documents/4. Diunduh tanggal 12
Maret 2017.
Global Initiative For Asthma. 2018. Global Strategy For Asthma Management and
Prevention. Available from: http://www.ginasthma.org/documents/4. Diunduh
tanggal 12 April 2018
KEMENKES RI, 2008 Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
National Heart, Lung, and Blood Institute. Expert Panel 2: Guidelines For The Diagnosis and
Management of Asthma, 1997.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Asma : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia.2006.
Rengganis, Iris, 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Maj Kedokt Indon. 2008;
58 (11):444-51.
Sundaru, 2006. Asma Bronkial, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, Hal; 247.
World Health Organization. 2000. Diunduh November 4, 205, dari Asthma:
http://www.who.int
World Health Organization. 2016. Diunduh november4, 2017, dari Asthma:
http://www.who.int

Anda mungkin juga menyukai