Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

ASMA

Pembimbing :
dr. Suryono Wibowo, Sp.A

Disusun Oleh :
Ari Aripin
2015730014

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN


ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis
dapat menyelesaikan tugas referat “asma bronkial” ini tepat pada waktunya. Terima kasih
kepada dr.Suryono Wibowo, Sp.A yang telah membimbing penulis dalam pembuatan laporan
kasus ini sehingga laporan kasus ini dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak yang membaca, agar penulis dapat mengkoreksi diri dan dapat
membuat laporan kasus yang lebih baik di lain kesempatan.

Demikianlah laporan kasus mengenai asma ini dibuat sebagai pemenuhan tugas
individu dari kegiatan klinis stase pediatri/ilmu kesehatan anak di RSIJ Cempaka Putih, serta
untuk menambah pengetahuan bagi penulis dan khususnya bagi pembaca pada umumnya.

Jakarta, 4 September 2019

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang
mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi.
Menifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang

2
timbul secara kronik dan atau berulang, reversible, cenderung memberat pada malam hari
atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus. Mengacu pada data WHO, saat ini ada
sekitar 300.000.000 orang yang menderita asma di seluruh dunia dan terdapat 250.000
kematian yang disebabkan oleh serangan asma setiap tahunnya. Jumlah terbanyak terdapat di
negara dengan ekonomi rendah sedang. RISKESDAS tahun 2013 melaporkan prevalensi
asma di Indonesia adalah 4,5% dari populasi dengan jumlah kumulatif kasus asma sekitar
11.179.032.

Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian asma, berat
ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Beberapa faktor tersebut sudah
disepakati oleh para ahli, sedangkan sebagian lain masih dalam penelitian. Faktor-faktor
tersebut antara lain adalah jenis kelamin, usia, sosio-ekonomi, allergen, infeksi, atopi,
lingkungan. Sel-sel inflamasi (sel mast, eosinofil, limfosit T, neutrofil), mediator kimia (histamin,
leukotrien, platelet activating factor, bradikinin), dan faktor kemotaktik (sitokin, eotaksin)
memerantarai proses inflamasi yang sering terjadi pada saluran respiratori penderita asma. Inflamasi
menyebabkan terjadinya hiperresponsif saluran respiratori yaitu kecenderungan saluran respiratori
mengalami kontriksi sebagai respons terhadap alergen, iritan, infeksi virus, dan olahraga. Hal ini juga
menyebabkan terjadinya edema, peningkatan produksi mukus di paru, masuknya sel-sel inflamasi ke
saluran respiratori, dan kerusakan sel epitel.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang
mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat
bervariasi. Menifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada
tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversible, cenderung memberat
pada malam hari atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.

3
GINA mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas
dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang
yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas,
rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut
biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi,
yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas
terhadap berbagai rangsangan.
Selain definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional asma untuk
kepentingan klinis yang lebih praktis, Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA)
menggunakan batasan operasional asma yaitu mengi berulang dan/atau batuk
persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada
malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya
aktivitas fisis, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan,
serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya.
Eksaserbasi (serangan asma) adalah episode perburukan gejala-gejala asma
secara progresif. Gejala yang dimaksud adalah sesak napas, batuk, mengi, dada terasa
tertekan, atau berbagai kombinasi gejala tersebut. Pada umumnya eksaserbasi disertai
distres pernapasan. Serangan asma ditandai oleh penurunan PEF atau FEV. Derajat
serangan asma bervariasi mulai dari yang ringan, sedang, berat dan serangan yang
mengancam jiwa, perburukan dapat terjadi dalam beberapa menit, jam atau hari.
Serangan akut biasanya timbul akibat pajanan terhadap faktor pencetus (paling sering
infeksi virus atau alergen), sedangkan serangan berupa perburukan yang bertahap
mencerminkan kegagalan pengelolaan jangka panjang penyakit.

B. EPIDEMIOLOGI

Mengacu pada data WHO, saat ini ada sekitar 300.000.000 orang yang
menderita asma di seluruh dunia dan terdapat 250.000 kematian yang disebabkan oleh
serangan asma setiap tahunnya. Jumlah terbanyak terdapat di negara dengan ekonomi
rendah sedang. RISKESDAS tahun 2013 melaporkan prevalensi asma di Indonesia
adalah 4,5% dari populasi dengan jumlah kumulatif kasus asma sekitar 11.179.032
Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada laki-laki 3 kali lebih banyak
dibanding perempuan, selama masa remaja prevalensinya hampir sama dan pada

4
dewasa laki-laki lebih banyak menderita asma dibanding wanita. Saat ini Asma
termasuk dalam 14 besar penyakit yang menyebabkan disabilitas di seluruh dunia.
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada
anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di negara berkembang
dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi.
Di Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan
untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National Center for Health
Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per
1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah 38 per 1000
(jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada laki-laki 3 kali
lebih banyak dibanding perempuan, selama masa remaja prevalensinya hampir sama
dan pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita asma dibanding wanita.
Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade
terakhir. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan urbanisasi. WHO
memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Berdasarkan laporan
NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu. Sedangkan, laporan
dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma yang meninggal pada usia 0-17 tahun
atau 0.3 kematian per 100,000 anak. Namun secara umum kematian pada anak akibat
asma jarang.

C. FAKTOR RISIKO
Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian asma, berat
ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Beberapa faktor tersebut
sudah disepakati oleh para ahli, sedangkan sebagian lain masih dalam penelitian.
Faktor-faktor tersebut antara lain adalah jenis kelamin, usia, sosio-ekonomi, allergen,
infeksi, atopi, lingkungan.

1. Jenis kelamin

Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens asma pada
anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak perempuan.
Menurut laporan MMH, prevalens asma pada anak laki-laki lebih tinggi daripada
anak perempuan, dengan rasio 3:2 pada usia 6-11 tahun dan meningkat menjadi 8:5
pada usia 12-17 tahun. Pada orang dewasa, rasio ini berubah menjadi sebanding
antara laki-laki dan perempuan pada usia 30 tahun.

5
2. Usia

Umumnya, pada kebanyakan kasus asma persisten, gejala seperti asma pertama
kali timbul pada usia muda, yaitu pada beberapa tahun pertama kehidupan. Dari
Australia, dilaporkan bahwa 25% anak dengan asma persisten mendapat serangan
mengi pada usia <6 bulan, dan 75% mendapat serangan mengi pertama sebelum
usia 3 tahun. Hanya 5% anak dengan asma persisten terbebas dari gejala asma
pada usia 28-35 tahun, 60% menetap menunjukkan gejala seperti saat anak-anak,
dan sisanya masih sering mendapat serangan meskipun lebih ringan daripada saat
masa kanak.

3. Riwayat atopi

Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya resiko asma persisten dan


beratnya asma. Pada anak usia 16 tahun dengan riwayat asma atau mengi, akan
terjadi serangan mengi dua kali lipat lebih banyak jika anak pernah megalami hay
fever, rhinitis alergi, eksema. Anak dengan mengi persisten dalam kurun waktu 6
bulan pertama kehidupan mempunyai kadar IgE lebih tinggi daripada anak yang
tidak pernah mengalami mengi, pada usia 9 bulan.

4. Lingkungan

Adanya alergen di lingkungan hidup anak meningkatkan resiko penyakit asma.


Allergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain adalah serpihan kulit
binatang piaraan, tungau debu rumah, jamur, dan kecoa.

5. Ras

Dilaporkan prevalens asma dan kejadian asma pada ras kulit hitam lebih tinggi
daripada kulit putih.

6. Asap rokok

Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak
yang tidak terpajan asap rokok. Resiko asap rokok sudah dimulai sejak janin
dalam kandungan, umumnya berlangsung terus setelah anak di lahirkan.

7. Outdoor air pollution

6
Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat oksida, karbon
monoksida, atau SO2 diduga berperan pada penyakit asma, meningkatkan gejala
asma, tetapi belum didapatkan bukti yang pasti.

8. Infeksi respiratorik

Beberapa penelitian mendapatkan bahwa adanya hubungan terbalik antara atopi


dengan infeksi respiratori.

D. ETIOLOGI
Sel-sel inflamasi (sel mast, eosinofil, limfosit T, neutrofil), mediator kimia
(histamin, leukotrien, platelet activating factor, bradikinin), dan faktor kemotaktik
(sitokin, eotaksin) memerantarai proses inflamasi yang sering terjadi pada saluran
respiratori penderita asma. Inflamasi menyebabkan terjadinya hiperresponsif saluran
respiratori yaitu kecenderungan saluran respiratori mengalami kontriksi sebagai respons
terhadap alergen, iritan, infeksi virus, dan olahraga. Hal ini juga menyebabkan
terjadinya edema, peningkatan produksi mukus di paru, masuknya sel-sel inflamasi ke
saluran respiratori, dan kerusakan sel epitel. Inflamasi kronik dapat menyebabkan
terjadinya remodelling saluran respiratori, akibat proliferasi protein matriks
ekstraselular dan hiperplasia vaskular yang dapat menybabkan terjadinya perubahan
struktur yang irreversibel dan penurunan fungsi paru yang progresif.

E. PATOGENESIS

Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang timbul
mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Mekanisme utama
timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama
asma adalah untuk mengatasi bronkospasme.
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas,
melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan
peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran
respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa
dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun asmanya ringan atau
tidak bergejala.

7
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan
dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada populasi diperkirakan
faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan dewasa.

Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya
menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh sel plasma. IgE
melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan
berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat (immediate asthma
reaction). Terjadi degranulasi sel mast dan dilepaskan mediator-mediator seperti histamin,
leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2 (PGD2), tromboksan A2 dan tryptase. Mediator-
mediator tersebut menimbulkan spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, edema,
peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran
klinis yang timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali
serangan asma hilang dengan pengobatan.

Mediator inflamasi yang berperan merupakan mediator inflamasi yang


meningkatkan proses keradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator inflamasi
tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah konstriksi,
kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi peningkatan permeabilitas bila
ada rangsangan spesifik maupun non spesifik. Secara klinis, gejala asma menjadi menetap,
penderita akan lebih peka terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi
irreversibel bila paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat.

8
Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang
proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan
fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah
remodeling atau repair. Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF
beta dan Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast
berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat
proses remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis
mukosa menebal (pseudothickening), hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel
radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis,
tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang persisten dan memberikan
gambaran klinis asma kronis.

Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan epitel
bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat
antiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi
berlangsung terus dan obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling
bertambah hebat. Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum
bermanifestasi sebagai asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina
retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa proses remodeling telah terjadi sebelum atau
bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila intervensi dini diberikan segera setelah gejala
asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat untuk mencegah terjadinya proses
remodeling.

9
F. PATOFISIOLOGI
Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang
mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi pada mukosa saluran napas pasien
asma ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang merupakan tanda utama asma. Pada
saat terjadi hiperreaktivitas saluran napas sejumlah pemicu dapat memulai gejala asma.
Pemicu ini meliputi respon hipersensitivitas tipe 1 (dimediasi 1gE) terhadap alergen debu
rumah dan serbuk sari yang tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau asap
rokok, infeksi virus, dan aktivitas fisik/olahraga.

Hiperreaktivitas saluran napas akan menyebabkan obstruksi saluran napas


menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah
pengobatan. Proses patologis utama yang mendukung obstruksi saluran napas adalah
edema mukosa, kontraksi otot polos dan produksi mukus.

Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas mengalami volume penutupan
dan menyebabkan gas di saluran napas terperangkap. Bahkan, pada asma yang berat dapat
mengurangi aliran udara selama inspirasi. Sejumlah karakteristik anatomi dan fisiologi
memberi kecenderungan bayi dan anak kecil terhadap peningkatan risiko obstruksi saluran
napas antara lain ukuran saluran napas yang lebih kecil, recoil elastic paru yang lebih
lemah, kurangnya bantuan otot polos saluran napas kecil, hiperplasia kelenjar mukosa
relatif dan kurangnya saluran ventilasi kolateral (pori cohn) antar alveolus.

G. MANIFESTASI KLINIS
Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak. Pada
anak yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas, dada terasa
berat gejala biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan infeksi
pernapasan dan inhalasi alergen.
Gejala lainnya dapat tersembunyi dan tidak spesifik seperti keterbatasan
aktivitas dan cepat lelah. Riwayat penggunaan bronkodilator dan atopi pada pasien
atau keluarganya dapat menunjang penegakan diagnosis. GINA, konsensus
Internasional dan PNAA menekankan diagnosis asma didahului batuk dan atau
mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan algoritme kemungkinan diagnosis
asma.

10
Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau mengi yang berulang (episodik),
nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan adanya riwayat atopi pada
penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau tanda yang patut diduga suatu
asma. Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil., khususnya
anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat bronkodilator dan steroid
sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain diagnosis asma menjadi lebih
definitif.
Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya
dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih
lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin,
latihan (exercise), udara kering dan dingin atau dengan NaCl hipertonis, sangat
menunjang diagnosis.

H. ALUR DIAGNOSIS
• Anamnesis
Untuk memperkuat dugaan asma, anamnesis harus dilakukan dengan cermat agar
didapatkan riwayat penyakit yang tepat mengenai gejala sulit bernapas, mengi,
atau dada terasa berat yang bersifat episodik dan berkaitan dengan musim, serta
adanya riwayat asma atau penyakit atopi pada anggota keluarga. Pertanyaan
berikut sangat berguna dalam pertimbangan diagnosis asma :
 Apakah anak mengalami serangan mengi atau serangan mengi berulang ?
 Apakah anak sering terganggu oleh batuk pada malam hari ?
 Apakah anak mengalami mengi atau batuk setelah berolahraga ?
 Apakah anak mengalami gejala mengi, dada terasa berat, atau batuk setelah
terpajan alergen atau polutan ?
 Apakah jika mengalami pilek, anak membutuhkan >10 hari untuk sembuh ?
 Apakah gejala klinisi membaik setelah pemberian pengobatan antiasma ?

Pola gejala harus dibedakan apakah gejala tersebut timbul pada saat infeksi
virus atau timbul tersendiri diantara batk pilek biasa. Pencetus yang spesifik dapat
berupa aktivitas, emosi, debu, makanan/minuman, pajanan terhadap hewan berbulu,
perubahan suhu lingkungan atau cuaca, aroma parfum yang kuat atau aerosol, asap

11
rokok atau asap dari perapian. Derajat berat ringannya gejala harus ditentukan untuk
mengarahkan pengobatan yang akan diberikan.

 Pemeriksaan fisik
 Kesadaran Suhu tubuh
 Sesak napas apakah
 Tanda gagal napas
 Tanda infeksi penyerta/komplikasi
 Penilaian derajat serangan asma: ringan/sedang/berat/mengancam jiwa
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisis pasien biasanya
tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak, dapat
terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang
terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada pasien
seperti dermatitis atopiatau rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti
allergic shiners atau geographictongue.
 Laboratorium
Pemeriksaan fungsi paru

Ada banyak cara yang digunakan untuk mengukur fungsi paru, tetapi tidak
banyak yang dapat dilakukan dengan mudah. Pemeriksaan fungsi paru mulai dari
pengukuran sederhana, yaitu peak expiratory flow rate (PEFR) atau arus puncak
ekspirasi (APE), pulse, oximetry,spirometry, sampai pengukuran kompleks yaitu
muscle strength testing, volume para absolut, serta kapasitas difusi. Pemeriksaan paru
yang objektif dan lengkap dapat bermanfaat dalam evaluasi diagnostic anak dengan
batuk, mengi rekuren, aktifitas terbatas, dan keadaan lain yang berkaitan dengan
system respiratorik. Pemeriksaan fungsi paru ini terutama bermanfaat apabila ada
manifestasi gejala asma yang tidak khas.

Kebanyakan uji fungsi paru mengevaluasi satu atau lebih aspek fungsi paru, yaitu:

1) volume paru

2) fungsi jalan napas

3) pertukaran gas.

12
Pengukuran volume paru bermanfaat pada penyakit paru restriktif seperti
kelemahan otot nafas, deformitas dinding dada, atau penyakit interstitial paru, serta
pada beberapa anak dengan kelainan obstruktif jalan nafas. Walau pemeriksaan
analisis gas darah merupakan baku emas untuk menilai parameter pertukaran gas,
pulse oximetry masih merupakan pemeriksaan yang berguna dan efisien.

Pada uji fungsi jalan nafas, hal yang paling penting adalah melakukan
maneuver ekspirasi paksa secara maksimal. Hal ini tertutama berguna pada penyakit
dengan obstruksi jalan nafas, misalnya asma dan fibrosis kistik. Pengukuran dengan
maneuver ini yang dapat dilakukan pada anak di atas 6 tahun adalah forced expiratory
volume in 1 second (FEV1) dan vital capacity (VC) dengan alat spirometer serta
pengukuran peak expiratory flow (PEF) atau arus puncak ekspirasi (APE) dengan
peak flow meter. Pengukuran variabilitas dan reversibilitas fungsi paru dalam 24 jam
sangat penting untuk mendignosis asma, melalui derajar berat penyakit asma dan
menjadi acuan dalam strategi pedoman pengelolaan asma.

Pengukuran PEF pada asma tidak selalu berkorelasi dengan pengukuran fungi
paru lainnya. Dengan alasan ini, pengukuran PEF harus dibandingkan dengan nilai
terbaik anak sendiri. Untuk menilai derajat asma dan respons terapi PEF harus diukur
secara serial dalam 24 jam. Bahkan jika perlu, diukur selama beberapa minggu,
karena derajat asma tidak ditentukan oleh nilai baseline melainkan oleh variabilitas,
terutama dalam 24 jam. Variabilitas harian adalah perbedaan nilai
(peningkatan/penurunan) PEF dalam 1 hari. Metode yang dianggap merupakan cara
mengukur nilai diural PEF terbaik adalah pengukuran selama paling sedikit 1 minggu
dan hasilnya dinyatakan sebagai persen nilai terbaik dari selisih nilai PEF pagi hari
terendah dan nilai PEF malam hari tertinggi.

Pemeriksaan peak flow meter merupakan hal yang penting dan perlu
diupayakan. Meskipun pemeriksaan ini digunakan salah satu parameter untuk
menentukan derejar penyakit asma, namun masih sedikit yang menggunakannya.

Pada pemeriksaan spirometry, adanya perbaikan FEV1 sebanyak minimal 12%


setelah pemberian bronkodilator inhalasi dengan atau tanpa glukokortikoid
mendukung diagnosis asma.

Pada PNAA, untuk mendukung diagnosis asma anak dipakai batasan:

13
1. Variabilitas PEF atau FEV1 ≥ 15%,

2. Kenaikan PEF atau FEV1 ≥ 15% setelah pemberian inhalasi bronkodilator,

3. Penurunan PEF atau FEV1 ≥ 20% setelah provokasi bronkus.

Pengukuran variabilitas sebaiknya dilakukan dengan mengukur selama ≥ 2 minggu.

Pemeriksaan hiperreaktivitas saluran nafas

Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, olahraga, udara kering dan
dingin, atau dengan salin hipertonik sangat menunjang diagnosis. Pada pasien yang
mempunyai gejala asma tetapi fungsi parunya tampak normal, penilaian respons
saluran nafas terhadap metakolin, histamine, atau olahraga dapat membantu
menegakkan diagnosis asma. Artinya hasil yang negative dapat membantu
menyingkirkan diagnosis asma persisten, sedangkan hasi positif tidak selalu berarti
bahwa pasien tersebut memiliki asma. Hal ini disebabkan Karena hiperreaktivitas
saluran nafas juga terdapat pada pasien rhinitis alergi dan kondisi lain seperti fibrosis
kistik, bronkieltasis, dan penyakit paru obstruksi menahun.

Pengukuran petanda inflamasi saluran nafas non-invasif

Penilaian terhadap inflamasi saluran nafas akibat asma dapat dilakukan


dengan cara memeriksa eosinophil sputum, baik yang spontan maupun yang
diindukso dengan garam hipertonik. Selain itu, pengukutan kadar NO ekshalasi juga
merupakan cara menilai petanda inflamasi yang noninvasive. Walaupun pada pasien
asma (yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi) didapatkan eosinosilia pada
sputum pasien dan peningkatan kadar NO ekshalasi dibandingkan dengan orang yang
tidak menderita asma, hasil ini tidak spesifik untuk asma dan belum terdapat penlitian
yang menyatakan bahwa hal yang dapat membatu dalam diagnosis asma.

Penilaian status alergi

Penilaian status alergi dengan uji kulit atau pemeriksaan IgE spesifik dalam
serum tidak banyak membantu diagnosis asma, tetapi pemeriksaan ini dapat
membantu menentukan faktor resiko atau pencetus asma. Tes alergi untuk kelompok
usia <5 tahun dapat digunakan:

1. Menentukan apakah anaknya atopi

14
2. Mengarahkan manupulasi lingkungan

3. Memprediksi prognosis anak dengan mengi.

Foto toraks

Pada asma umumnya tampak hiperareasi, bisa dijumpai komplikasi berupa


ateletaksis, pneumotoraks, dan pneumomediastinum.

Darah lengkap dan serum elektrolit

I. KLASIFIKASI
Asma merupakan penyakit yang sangat heterogen dengan variasi yang sangat luas. Atas
dasar itu, ada berbagai cara mengelompokkan asma.
Berdasarkan umur
• Asma bayi – baduta (bawah dua tahun)
• Asma balita (bawah lima tahun)
• Asma usia sekolah (5-11 tahun)
• Asam remaja (12-17 tahun)

Berdasarkan fenotip

Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan penampakan


yang serupa dalam aspek klinis, patofisologi atau demografis
• Asma tercetus infeksi virus
• Asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma)
• Asma terceetus alergen
• Asam terkait obesitas
• Asma dengan banyak tercetus (multiple triggered asthma)
Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala
• Asma intermiten
• Asma persisten ringan
• Asma persisten sedang
• Asam persisten berat
Berdasarkan derajat beratnya serangan

15
Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode gejala akut yang
memberat dengan progresif yang disebut sebagai serangan asma.
• Asma serangan ringan sedang
• Asma serangan berat
• Serangan asma dengan ancaman henti napas
Dalaman pedoman ini klasifikasi derajat serangan digunakan sebagai dasar penentuan
tatalaksana.
Berdasarkan derajat kendali
Tujuan utama tatalaksana asma adalah terkendalinya
penyakit. Asma terkendali adalah asma yang tidak bergejala, dengan
Atau tanpa obat pengendali dan kualitas hidup pasien baik.
• Asma terkendali penuh (well controlled)
o Tanpa obat pengendali: pada asma intermiten
o Dengan obat pengendali: pada asma persisten (ringan/
sedang/berat)
• Asma terkendali sebagian (partly controlled)
• Asma tidak terkendali (uncontrolled)
Dalam pedoman ini, klasifikasi derajat kendali dipakai untuk menilai
keberhasilan tatalaksana yang tengah dijalani dan untuk penentuan naik jenjang (step-
up), pemeliharaan (maintenance) atau turun jenjang (step-down) tatalaksana yang
akan diberikan.
Berdasarkan keadaan saat ini
• Tanpa gejala
• Ada gejala
• Serangan ringan-sedang
• Serangan berat
• Ancaman gagal napas
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif akut dari gejala-
gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari
gejala-gejala tersebut.

J. DIAGNOSIS BANDING
Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan asma.
Selain asma, penyebab umum lain dari gejala batuk berulang pada asma meliputi

16
rhinosinusitis dan gastro-esophageal reflux (GER). GER merupakan silent-disease
pada anak, sedangkan pada anak dengan sinusitis kronik tidak memiliki gejala yang
khas seperti dewasa dengan adanya nyeri tekan local pada daerah sinus yang terkena.
Selain itu, kedua penyakit ini merupakan penyakit komorbid yang sering pada asma,
sehingga membuat terapi spesifik pada asma tidak diberikan dengan tepat.
Pada masa-masa awal kehidupan, batuk kronis dan mengi dapat terjadi pada
keadaan aspirasi, tracheobronchomalacia, abnormalitas jalan napas congenital,
fibrosis kistik dan displasia bronkopulmoner. Pada anak usia 3 bulan, mengi biasanya
ditemukan pada keadaan infeksi, malformasi paru dan kelainan jantung dan
gastrointestinal.
Pada bayi dan batita, bronkiolitis yang disebabkan oleh respiratory syncitial
virus merupakan penyebab mengi yang umum.pada anak yang lebih besar, mengi
berulang dapat terjadi pada disfungsi pita suara. Selain itu, batuk berulang juga dapat
ditemukan pada tuberculosis terutama pada daerah dengan penyebaran tinggi
Tuberculosis.
Berikut ini diagnosis banding dari asma yang sering pada anak
- Rinosinusitis
- Refluks gastroesofageal
- Infeksi respiratorik bawah viral berulang
- bronkiolitis
- Displasia bronkopulmoner
- Tuberkulosis
- Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran
respiratorik
- Intratorakal
- Aspirasi benda asing
- Penyakit jantung bawaan

K. TATALAKSANA
1. Komunikasi, Informasi dan Edukasi terhadap pasien dan keluarga

Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu komunikasi, informasi dan
edukasi pada keluarga dalam mencegah, menilai, dan mengobati asma merupakan
kunci keberhasilan mengontrol asama:

17
- Komunikasi antara pasien dan dokter untuk mengetahui keluhan pasien.

- Pengertian terntang kenyataan yang mendasar, penyebab, dan pencetus asma.

- Mengidentifikasi dan mengontrol faktor-faktor yang memperburuk gejala asma


dan pencetus serangan.

- Pengertian tentang pentingnya penggunaan obat yang tepat dan benar dari spacer
dan inhaler untuk kontrol jangka panjang dan ketaatan pemakaian.

Berikut beberapa hal yang mendasar tentang edukasi asma yang dapat diberikan pada
pasien dan keluarganya:

- Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang sering kambuh

- Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan mengurangi paparan
terhadap faktor pencetus

- Ada dua macam obat yaitu reliever dan controller

- Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan keluarganya
mengenali kekambuhan dan segera mengambil tindakan guna mencegah asma
menjadi lebih berat. Pemantauan mandiri juga memungkinkan penderita dan dokter
menyesuaikan rencana pengelolaan asma guna mencapai pengendalian asma jangka
panjang dengan efek samping minimal.

Dokter harus menjelaskan tentang perilaku pokok guna membantu penderita


menerapkan anjuran penatalaksanaan asma dengan cara:

- penggunaan obat-obatan dengan benar

- pemantauan gejala, aktivitas dan PEF

- mengenali tanda awal memburuknya asma dan segera melakukan

rencana yang sudah diprogramkan;

- segera mencari pertolongan yang tepat dan berkomunikasi secara

efektifdengan dokter yang memeriksa;

- menjalankan strategi pengendalian lingkungan guna mengurangi paparan

18
alergen dan iritan;

Edukasi yang baik memupuk kerja sama antara dokter dan penderita (dan
keluarganya) sehingga penderita dapat memperoleh keterampilan pengelolaan mandiri
(self management) untuk berperan-serta aktif. Penelitian yang dilakukan Guevara
menunjukkan bahwa edukasi dapat meningkatkan fungsi paru dan perasaan mampu
mengelola diri secara mandiri, mengurangi hari absensi sekolah, mengurangi
kunjungan ke UGD dan berkurangnya gangguan tidur pada malam hari sehingga
sangat penting program edukasi sebagai salah satu penatalaksanaan asma pada anak.

2. Mengevaluasi klasifikasi/keparahan asma

Kriteria asma terkontrol

- Tidak ada gejala asma atau minimal

- Tidak ada gejala asma malam

- Tidak ada keterbatasan aktivitas

- Nilai APE/VEP1 normal

- Penggunaan obat pelega napas minimal

- Tidak ada kunjungan ke UGD

Klasifikasi

- Asma terkontrol total: bila semua kriteria asma terkontrol dipenuhi

- Asma terkontrol sebagian: bila terdapat 3 kriteria asma terkontrol

- Asma tak terkontrol: bila kriteria asma terkontrol tidak mencapai 3 buah

3. Menghindari pajanan terhadap faktor risiko

Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran yang cukup.


Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yang menyebabkan
terjadinya rangsangan terhadap saluran respiratorik yang berakibat terjadi
bronkokonstriksi, edema mukosa, dan hipersekresi. Penghindaran terhadap pencetus
diharapkan dapat mengurangi rangsangan terhadap saluran respiratorik.

19
4. Tatalaksana asma jangka panjang

Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya
potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci tujuan yang ingin
dicapai adalah :

1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan berolahraga.

2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.

3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.

4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.

5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.

6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Asma Episodik Jarang

Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda (reliever) seperti β2-
agonis dan teofilin. Penggunaan β2-agonis untuk meredakan serangan asma biasanya
digunakan dalam bentuk inhalasi. Namun, pemakaian obat inhalasi/hirupan (Metered
Dose Inhaler atau Dry Powder Inhaler) cukup sulit untuk anak usia kurang dari 5
tahun dan biasanya hanya diberikan pada anak yang sudah mulai besar (usia <5 tahun)
dan inipun memerlukan teknik penggunaan yang benar yang juga tidak selalu ada dan
mahal harganya. Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan, maka β-agonis
diberikan per oral. Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator semakin kurang
berperan dalam tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun
mengingat di Indonesia obat β-agonis oralpun tidak selalu ada maka dapat digunakan
teofilin dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping. Di samping itu
penggunaan β-agonis oral tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan efek
samping berupa palpitasi, dan hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi dosisnya
serta dikombinasikan dengan teofilin.

Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak tidak
menganjurkan pemberian anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma episodik
ringan. Hal ini juga sesuai dengan GINA yang belum perlu memberikan obat

20
controller pada Asma Intermiten, dan baru memberikannya pada Asma Persisten
Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan dosis rendah, atau
kromoglikat hirupan. Jika dengan pemakaian β2-agonis hirupan lebih dari 3x/minggu
(tanpa menghitung penggunaan pra-aktivitas fisik) atau serangn sedang/berat muncul
>1x/bulan atau pengobatan yang diberikan sudah adekuat dalam waktu 4-6 minggu,
namun tidak menunjukkan respon yang baik maka tatalaksananya berpindah ke asma
episodik sering.

Asma Episodik Sering

Jika penggunaan β2-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa


menghitung penggunaan praaktivitas fisis) atau serangan sedang/berat terjadi lebih
dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali sudah
terindikasi.Tahap pertama obat pengendali pada asma episodic sering adalah
pemberian steroid hirupan dosis rendah. Obat steroid hirupan yang sudah sering
digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis
rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-200 ug/hari budesonid (50-100
ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400 ug/hari
budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Dalam
penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200 ug/hari, atau setara
flutikason 50-100 ug belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang.
Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat pengendali berupa
anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Oleh karena itu
penilaian efek terapi dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang diperlukan
untuk mengendalikan inflamasinya. Jika setelah pengobatan selama 6-8 minggu
dengan steroid hirupan dosis rendah tidak menunjukkan respons (masih terdapat
gejala asma atau atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan
dengan tahap kedua yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400 ug/hari
yang termasuk dalam tatalaksana Asma Persisten. Jika tatalaksana dalam suatu derajat
penyakit asma sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu,
maka derajat tatalaksanya berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika
asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan
(step-down). Bila memungkinkan steroid hirupan dihentikan penggunaannya.

21
Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran
pencetus, cara penggunaan obat, faktor komorbid yang mempersulit pengendalian
asma seperti rintis dan sinusitis.dan dengan penatalaksanaan rinitis dan sinusitis
secara optimal dapat memperbaiki asma yang terjadi secara bersamaan.

Asma Persisten

Pada penatalaksanaan asma persisten terdapat dua alternative yaitu dengan


menggunakan steroid hirupan dosis medium dengan memberikan budenoside 200-400
ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12
tahun, 400-600 ug/hari budesonid (200-300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di
atas 12 tahun. Selain itu, dapat digunakan alternatif pengganti dengan menggunakan
steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (Long Acting β-2 Agonist) atau
ditambahkan Theophylline Slow Release (TSR) atau ditambahkan Anti-Leukotriane
Receptor (ALTR.).

Apabila dengan pengobatan tersebut selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala
asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan dosis
kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi pada pemberian >400 ug/hari budesonid
(>200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan >600 ug/hari
budesonid (>300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun atau tetap
dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau ALTR. Penambahan
LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan keberhasilannya yaitu dapat
memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan memperbaiki kualitas
hidupnya.

Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 ug/hari namun tetap tidak
mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan
kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir setelah
penggunaan steroid hirupan atau alternatif di atas telah dijalankan. Langkah ini
diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping
obat. Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis
kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari.
Penggunaan steroid secara sistemik harus berhati-hati karena mempunyai efek
samping yang cukup berat.

22
Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya
peningkatan enzim hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan kontraindikasi.
Mengenai pemantauan uji fungsi hati pada pemberian antileukotrien belum ada
rekomendasi.

Mengenai obat antihistamin generasi baru non-sedatif (misalnya ketotifen dan


setirizin), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak dengan asma tipe rinitis,
hanya untuk menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini penggunaan kototifen sebagai
obat pengendali (controller) pada asma anak tidak lagi digunakan karena tidak
mempunyai manfaat yang berarti.

Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal
atau perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapat
dikurangi bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan
asmanya. Sementara itu penggunaan β-agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan.

Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena
perbedaan kemampuan menggunanakan alat inhalasi. Demikian juga kemauan anak
perlu dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan
biasa (Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali.
Berikut tabel anjuran pemakaian alat inhalasi disesuakan dengan usia.

5. Pengobatan eksaserbasi akut

Eksaserbasi (serangan asma) adalah episode perburukan gejala-gejala asma secara


progresif. Serangan akut biasanya muncul akibat pajanan terhadap faktor pencetus,
sedangkan serangan berupa perburukan bertahap mencerminkan kegagalan pengobatan
jangka panjang. Menurut buku Pedoman Nasional Asma Anak UKK Pulmonologi IDAI
2002, penyakit asma dibagai dalam 3 kelompok berdasarkan frekuensi serangan dan
kebutuhan obat, yaitu asma ringan, sedang, dan berat. Selain klasifikasi derajat penyakit
asma di atas, asma juga dapat dinilai berdasarkan derajat serangannya, yaitu serangan
ringan, sedang, dan berat. Jadi perlu dibedakan antara derajat penyakit asma (aspek
kronik) dengan derajat serangan asma (aspek akut). Seorang penderita asma berat
(persisten) dapat mengalami serangan ringan saja. Sebaliknya seorang penderita asma
ringan (episodik/jarang) dapat mengalami serngan asma berat, atau bahkan serangan

23
ancaman henti nafas yang dapat mengakibatkan kematian. Terapi yang diberikan
bergantung pada beratnya derajat serangan asma.

Tatalaksana serangan asma dilakukan dengan tujuan untuk meredakan


penyempitan jalan nafas secepat mungkin, mengurangi hipoksemia, mengembalikan
fungsi paru ke keadaan normal secepatnya, dan merenacanakan tatalaksana mencegah
kekambuhan.

Tatalaksana Serangan

1. Tatalaksana di rumah

Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan beta 2 agonis atau teofilin.
Bila tersedia, lebih baik digunakan obat inhalasi karena onsetnya lebih cepat dan efek
samping sistemiknya minimal. Obat golongan beta 2 agonis inhalasi yang dapat
digunakan yaitu MDI dengan atau tanpa spacer atau nebulizer.

Bila dalam waktu 30 menit setelah inhalasi tidak ada perbaikan atau bahkan terjadi
perburukan harus segera dibawa ke rumah sakit.

2. Tatalaksana di ruang emergency

Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat serangannya.
Tatalaksana awal adalah pemberian beta agonis secara nebulisasi. Garam fisiologis
dapat ditambahkan dalam cairan nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dengan
selang 20 menit. Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik.
Tatalaksana awal ini sekaligus berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan
derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan
dengan cepat dan jelas.

Berikut ini pentalaksanaan serangan asma sesuai derajat serangan:

1. Serangan Asma ringan sedang

Pada pasien yang memenuhi kriteria gejala klinis untuk Serangan asma ringan
sedang, sebagai tindakan awal pasien diberikan agonis β2 kerja pendek lewat
nebulisasi atau MDI dengan spacer, yang dapat diulang hingga 2 kali dalam 1 jam,
dengan pertimbangan untuk menambahkan ipratropium bromida pada nebulisasi
ketiga

24
Sebelum pulang pasien dibekali obat ß2-agonis (hirupan atau oral) yang harus
diberikan tiap 4-6 jam dan jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat
ditambahkan steroid oral jangka pendek selama 3-5 hari.

Pasien juga dianjurkan kontrol ulang ke klinik rawat jalan dalam waktu 3-5 hari
untuk evaluasi ulang tatalaksana dan jika sebelum serangan pasien sudah mendapat
obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga evaluasi ulang yang dilakukan di
klinik rawat jalan.

2. Serangan Asma berat

Pasien dengan gejala dan tanda klinis yang memenuhi kriteria serangan asma berat
harus dirawat di ruang rawat inap. Nebulisasi yang diberikan pertama kali adalah
agonis β2 dengan penambahan ipratropium bromida. Oksigen 2-4 liter per menit
diberikan sejak awal termasuk pada saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral pada
pasien dan lakukan pemeriksaan rontgen toraks. Steroid sebaiknya diberikan secara
arenteral.

Apabila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus
langsung dirawat di ruang rawat intensif. Pemeriksaan rontgen toraks dilakukan untuk
mendeteksi adanya komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum.

Preparat terapi :

I. Bronkodilator

a. Beta adrenergic kerja pendek (short acting)

Golongan obat ini terdiri dari epinefrin/adrenalin dan b2 agonis selektif.

Epinefrin/adrenalin

Digunakan jika tidak terdapat obat b2-agonis selektif. Epinefrin terutama diberikan
jika ada reaksi anafilaksis atau angioudem. Obat ini dapat diberikan secara subkutan
atau dengan inhalasi aerosol. Pemberian subkutan adalah sebagai berikut: larutan
epinefrin 1:1000 (1mg/ml) dengan dosis 0,01 ml/kgbb (maksimum 0,3 ml), dapat
diberikan 3 kali dengan selang waktu 20 menit.

Β2-agonis selektif

25
Obat yang sering dipakai adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol. Dosis salbutamol
oral adalah 0,1-0,15 mg/kgBB/kali diberikan setiap 6 jam, dosis terbutalin oral adalah
0,05-0,1 mg/kgBB/kali diberikan setiap 6 jam. Pemberian secara peroral akan
memberikan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dalam 2-4 jam dan
lama kerjanya adalah 5 jam.

Pemberian secara noninvasive(inhalasi) lebih disukai daripada pemebrian


subkutan/intravena karena dapat mengurangi rasa nyeri dan kegelisahan pasien. Untuk
serangan ringan dapat diberikan metered dosed inhaler (MDI) 2-4 semprotan tiap 3-4
jam, serangan sedang diberikan 6-10 semprotan tiap 1-2 jam sedangkan serangan
berat diberikan 10 semprotan. Pemberian MDI lebih dari 6 semprotan harus dibawah
pengawasan dokter.

Salbutamol dapat diberikan dengan nebulizer dengan dosis 0,1-0,15 mg/kgBB(dosis


maksimum 5 mg/kali), dengan interval 20 menit atau nebulisasi secara kontiniu
dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam). Nebulisasi
terbutalin dapat diberikan dengan dosis 2,5 mg atau 1 respules/nebulisasi.

Pemberian intravena dapat dipertimbangkan jika pasien tidak berespon dengan


nebulisasi b2 agonis, kortikosteroid IV, dan teofilin serta ipratropium bromide.
Salbutamol iv dapat diberikan dengan dosis mulai dari 0,2mcg/kgBB/menit dan
dinaikkan 0,1mcg/kgBB setiap 15 menit dengan dosis maksimal 4mcg/kgBB/menit.
Terbutalin IV dapat diberikan dengan dosis 10mcg/kgBB melalui infuse selama 10
menit, dilanjutkan dengan 0,1-4 µg/kgBB/jam dengan infuse kontiniu.

Methyl xanthine (teofilin kerja cepat): dosis dan sedian dapat dilihat pada penjelasan
tatalaksana serangan asma berat diatas.

LABA (long acting β2-agonis)

Ada 2 preparat inhalasi yaitu salmeterol dan formoterol, dan 1 obat oral yaitu
procaterol. Tersedia kombinasi steroid hirupan dengan LABA, yaitu kombinasi
fluticasone propionate dan salmeterol menjadi seretide, kombinasi budesonide dan
formoterol menjadi Symbicort. Seretide dalam MDI (Metered Dosed Inhaler)
sedangkan Symbicort dalam DPI(Dry Powder Inhaler).

II. Antikolinergik

26
Ipratropium bromide

Dosis yang dianjurkan adalah 0,1 ml/kgBB, nebulisasi setiap 4 jam. Dapat juga
diberikan dalam larutan 0,025% dengan dosis sebagai berikut: untuk anak usia>6
tahun: 8-20 tetes; usia < 6 tahun: 4-10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan
minimal atau rasa tidak enak di mulut (dosis oral 0,6-8mg/kgBB pada orang dewasa)
secara umum tidak ada efek samping yang berarti.

III. Kortikosteroid

Preparat oral yang dipakai adalah prednisone, prednisolon atau triamsinolon dengan
dosis 1-2 mg/kgBB/hari diberikan 2-3 kali sehari selama 3-5 hari. Kortikosteroid IV
diberikan pada kasus asma yang dirawat di rumah sakit. Metilprednisolon merupakan
pilihan yang utama karena memiliki kemampuan penetrasi ke jaringan paru yang
lebih baik, efek antiinflamasi yang lebih besar, serta efek mineralokortikoid minimal.
Dosis yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB, diberikan tiap 4-6 jam. Deksametason
diberikan secara bolus intravena, dengan dosis ½-1 mg/kgBB, dilanjutkan 1
mg/kgBB/hari , diberikan setiap 6-8 jam.

IV. Antileukotrien (Leukotriene receptor antagonist, LTRA)

Montelukast

Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Obat ini dapat diberikan
sejak usia 2 tahun. Dosis peroral hanya 1 kali sehari sehingga memudahkan
penggunaan dan meningkatkan ketaatan pemakaian obat.

Zafirlukast

Preparat ini terdapat di Indonesia (Accolate, Astra Zeneca), digunakan untuk anak > 7
tahun.bekerja dengan menekan produksi cystenil leukotriene yang setara dengan
montelucast. Sayangnya obat ini dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan
tranaminase), sehingga pada bulan-bulan pertama penggunaannya diperlukan
pemeantauan terhadap fusngsi hati. Dosis dibagi menjadi 2 kali dalam sehari,
diberikan saat perut kosong

L. KOMPLIKASI

27
Sebagian besar eksaserbasi asma dapat berhasil ditatalaksana di rumah. Status
asmatikus merupakan eksaserbasi akut asma yang tidak berespons adekuat terhadap
pengobatan dan memerlukan rawat inap di rumah sakit. Eksaserbasi dapat berlanjut
hingga beberapa hari atau terjadi tiba-tiba dan bervariasi dalam beratnya penyakit ulai
dari ringan hingga mengancam jiwa. Distress napas berat, dispnea, mengi, batuk, dan
penurunan aliran puncak eksoirasi (peak expiratory flow atau PEF) merupakan ciri-
ciri kemunduran dalam kontrol asma.
Selama episode mengi berat, pulse oximetry bermanfaat dalam memantau
oksigenasi. Pada status asmatikus, analisis gas darah mungkin diperlukan untuk
mengukur ventilasi. Sejalan dengan bertambah beratnya obstruksi saluran respiratori
dan menurunnya komplains paru, retensi karbon dioksida dapat terjadi. Pada keadaan
takipnea, kadar PCO normal (40 mmgHg) henti napas. Tatalaksana lini pertama
eksaserbasi asma antara lain pemberian oksigen, pemberian bronkodilator kerja
pendek secara berulang atau kontinu, dan pemberian kortikosteroid oral atau
intravena.
Pemberian obat antikolinergik (ipratropium) bersama dengan bronkodilator
menurunkan angka rawat inap dan durasi tatalaksana di unit gawat darurat. Pemberian
segera kortikosteroid oral penting untuk mengobati proses inflamasi yang mendasari.
Penggunaan magnesium sulfat mulai dipakai di unit gawat darurat pada anak dengan
eksaserbasi berat dan pada anak dengan eksaserbasi sedang yang menunjukkan
gambaran perburukan klinis meskipun telah mendapatkan Pragonis, ipratropium, dan
kortikosteroid sistemik. Dosis fum yang digunakan adalah 25-75 mg/kg (maksimum 2
gram) secara intravena diberikan selama 20 menit. Epinefrin ramuskular) atau
terbutalin (subkutan) jarang digunakan merupakan petunjuk ancaman kecuali apabila
terdapat asma berat yang disertai anafilaksis atau tidak berespons dengan pemberian
bronkodilator kerja pendek yang kontinu.
M. PENCEGAHAN
Kontrol lingkungan merupakan upaya pencegahan untuk menghindari pajanan
alergen dan polutan, baik untuk mencegah sensitisasi maupun penghindaran pencetus.
Para peneliti umumnya menyatakan bahwa alergen utama yang harus dihindari adalah
tungau debu rumah, kecoak, bulu hewan peliharaan terutama kucing, spora jamur, dan
serbuk sari bunga. Polutan harus dihindari adalah asap tembakau sehingga mutlak
dilarang merokok dalam rumah.

28
Polutan yang telah diidentifikasi berhubungan dengan eksaserbasi asma adalah
asap kendaraan, kayu bakar, ozon, dan SO2. Penghindaran maksimal harus dilakukan
di tempat anak biasa berada, terutama kamar tidur dan tempat bermain sehari-hari.
Untuk Indonesia, walaupun belum ada data yang menyokong, agaknya kita harus
menghindari obat nyamuk dan asap lampu minyak

N. PROGNOSIS
Pada umumnya bila segera di tangani dan adekuat, prognosis asma adalah
baik. Mortalitas akibat asma sedikit nilainnya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang
berjumlah kira-kira 10 juta. Informasi mengenai perjalanan klinis asma mengatakan
bahwa prognosis baik ditemukan pada 50 sampai 80 persen pasien, khususnya pasien
yang penyakitnya ringan timbul pada masa kanak-kanak.

DAFTAR PUSTAKA

29
1. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and prevention
asthma in children. 2011

2. PNAA.Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta :IDAI.2015

3. Supriyanto, B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak. Majalah


Kedokteran Indonesia, Volume: 55, Nomor: 3, Maret 2005. FKUI

4. Asma Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru


Indonesia. 2003.

5. Supriyatno B. Tatalaksana Serangan Asma Pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM, Jakarta.

6. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrhman RE. Nelson ilmu kesehatan
anak esensial. Singapore: Elsevier; 2011. 339-49.

7. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
Jakarta: ikatan dokter anak Indonesia; 2012. 71- 158.

8. Hendarto A, Trihono P, Oswari H, Gunardi H. State of art:common problems in


hospitalized children. Jakarta: Ikatan dokter anak Indonesia cabang DKI Jakarta;
2011.32-9.

9. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Dapertemen Kesehatan RI. 2009.

10. Matondang MA, Lubis HM, Daulay RMpe. Peran Komunikasi, Informasi, dan
Edukasi pada Asma Anak. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 10, Nomor:5, 5
Februari. Sari Pediatri.

11. Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Jakarta: FKUI, RSCM; 2008.

12. Akib, Arwin.Asma Pada Anak. Jakarta: Saripediatri: 2002.

13. Pedoman Pelayanan Medik IDAI.Serangan Asma Akut. Jakarta:2011

30

Anda mungkin juga menyukai