HEMOROID
Pembimbing :
Dr. dr. Basuki Supartono, Sp.OT
Disusun Oleh :
Rr. Hanna Puspitaningrum
1820221063
Oleh :
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang,
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan
Karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Hemoroid”. Referat ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat kepaniteraan
klinik bagian Ilmu Bedah.
Penulis mendapatkan banyak bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk
itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Dr. dr. Basuki Supartono, Sp.OT selaku pembimbing dan seluruh
teman kepaniteraan klinik Ilmu Bedah atas kerjasamanya selama penyusunan referat ini.
Penulis mengharapkan tanggapan, kritik, dan saran. Semoga referat ini dapat
bermanfaat baik bagi penulis, pembaca, dan semua pihak yang berkepentingan.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Hemoroid merupakan gangguan sirkulasi darah yang berupa pelebaran
pembuluh (dilatasi) vena. Pelebaran pembuluh vena yang terjadi di daerah anus sering
terjadi. Pelebaran tersebut disebut venecsia atau varises daerah anus dan perianus.
Pelebaran tersebut disebabkan oleh bendungan darah dalam susunan pembuluh vena.
Pelebaran pembuluh vena di daerah anus sering disebut wasir, ambeien atau
hemorrhoid.
Hemorrhoid dapat dibagi atas hemorrhoid interna dan hemorrhoid eksterna.
Hemorrhoid dapat disebabkan karena bendungan sentral seperti bendungan susunan
portal pada sirosis hepatic, herediter atau penyakit jantung koroner, serta pembesaran
kelenjar prostate pada pria tua, atau tumor pada rektum (Patologi F.K.UI, 1999).
Hemorrhoid dapat dicegah dengan minum air putih yang cukup, makan sayuran
yang banyak, dan buah-buahan yang banyak, sehingga membuat feces tidak mengeras.
Apabila banyak memakan makanan yang mengandung serat dan banyak minum air
putih yang banyak dapat meperlancar defekasi, selain itu ginjal menjadi sehat (Gotera,
2006). Selain itu hemorrhoid dapat dicegah dengan cara olah raga yang cukup, duduk
tidak terlalu lama dan berdiri tidak terlalu lama (Merdikoputro, 2006).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.1.
Anatomi anal canal yang memperlihatkan pleksus hemoroid internal dan
eksternal ( Penninger dan Zainea, 2001).
A. Skleroterapi
Skleroterapi adalah penyuntikan larutan kimia yang merangsang, misalnya
5% fenol dalam minyak nabati atau larutan quinine dan urea 5% . Penyuntikan
diberikan ke submukosa dalam jaringan areolar yang longgar di bawah hemoroid
interna dengan tujuan menimbulkan peradangan steril yang kemudian menjadi
fibrotik dan meninggalkan parut. Penyuntikan dilakukan di sebelah atas dari
garis mukokutan dengan jarum yang panjang melalui anoskop. Apabila
penyuntikan dilakukan pada tempat yang tepat maka tidak ada nyeri. Penyulit
penyuntikan termasuk infeksi, prostatitis akut jika masuk dalam prostat, dan
reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang disuntikan. Terapi ini cocok untuk
hemorrhoid interna grade I yang disertai perdarahan Kontra indikasi teknik ini adalah
pada keadaan inflammatory bowel desease, hipertensi portal, kondisi
immunocomprommise, infeksi anorectal, atau trombosis hemorrhoid yang prolaps.
Komplikasi sklerotherapy biasanya akibat penyuntikan cairan yang tidak tepat atau
kelebihan dosis pada satu tempat. Komplikasi yang paling sering adalah pengelupasan
mukosa, kadang bisa menimbulkan abses.
Terapi suntikan bahan sklerotik bersama nasehat tentang makanan
merupakan terapi yang efektif untuk hemoroid interna derajat I dan II, tidak
tepat untuk hemoroid yang lebih parah atau prolaps.
F. Generator galvanis
Jaringan hemoroid dirusak dengan arus listrik searah yang berasal dari
baterai kimia. Cara ini paling efektif digunakan pada hemoroid interna.
G. Bipolar Coagulation / Diatermi bipolar
Prinsipnya tetap sama dengan terapi hemoroid lain di atas yaitu
menimbulkan nekrosis jaringan dan akhirnya fibrosis. Namun yang digunakan
sebagai penghancur jaringan yaitu radiasi elektromagnetik berfrekuensi tinggi.
Pada terapi dengan diatermi bipolar, selaput mukosa sekitar hemoroid dipanasi
dengan radiasi elektromagnetik berfrekuensi tinggi sampai akhirnya timbul
kerusakan jaringan. Cara ini efektif untuk hemoroid interna yang mengalami
perdarahan.
3. Bedah konvensional
Saat ini ada 3 teknik operasi yang biasa digunakan yaitu :
1. Teknik Milligan – Morgan
Basis massa hemoroid tepat diatas linea mukokutan dicekap dengan hemostat dan
diretraksi dari rektum. Kemudian dipasang jahitan transfiksi catgut proksimal terhadap
pleksus hemoroidalis. Penting untuk mencegah pemasangan jahitan melalui otot sfingter
internus.
Hemostat kedua ditempatkan distal terhadap hemoroid eksterna. Suatu incisi elips
dibuat dengan skalpel melalui kulit dan tunika mukosa sekitar pleksus hemoroidalis
internus dan eksternus, yang dibebaskan dari jaringan yang mendasarinya. Hemoroid
dieksisi secara keseluruhan. Bila diseksi mencapai jahitan transfiksi cat gut maka
hemoroid ekstena dibawah kulit dieksisi. Setelah mengamankan hemostasis, maka
mukosa dan kulit anus ditutup secara longitudinal dengan jahitan jelujur sederhana.
Biasanya tidak lebih dari tiga kelompok hemoroid yang dibuang pada satu waktu.
Striktura rektum dapat merupakan komplikasi dari eksisi tunika mukosa rektum yang
terlalu banyak. Sehingga lebih baik mengambil terlalu sedikit daripada mengambil
terlalu banyak jaringan.
2. Teknik Whitehead
Teknik operasi yang digunakan untuk hemoroid yang sirkuler ini yaitu dengan
mengupas seluruh hemoroid dengan membebaskan mukosa dari submukosa dan
mengadakan reseksi sirkuler terhadap mukosa daerah itu. Lalu mengusahakan
kontinuitas mukosa kembali.
3. Teknik Langenbeck
Pada teknik Langenbeck, hemoroid internus dijepit radier dengan klem. Lakukan
jahitan jelujur di bawah klem dengan cat gut chromic no 2/0. Kemudian eksisi jaringan
diatas klem. Sesudah itu klem dilepas dan jepitan jelujur di bawah klem diikat. Teknik
ini lebih sering digunakan karena caranya mudah dan tidak mengandung resiko
pembentukan jaringan parut sekunder yang biasa menimbulkan stenosis.
A. Bedah Laser
Pada prinsipnya, pembedahan ini sama dengan pembedahan konvensional, hanya
alat pemotongnya menggunakan laser. Saat laser memotong, pembuluh jaringan terpatri
sehingga tidak banyak mengeluarkan darah, tidak banyak luka dan dengan nyeri yang
minimal. Pada bedah dengan laser, nyeri berkurang karena syaraf rasa nyeri ikut
terpatri. Di anus, terdapat banyak syaraf. Pada bedah konvensional, saat post operasi
akan terasa nyeri sekali karena pada saat memotong jaringan, serabut syaraf terbuka
akibat serabut syaraf tidak mengerut sedangkan selubungnya mengerut.
Sedangkan pada bedah laser, serabut syaraf dan selubung syaraf menempel jadi
satu, seperti terpatri sehingga serabut syaraf tidak terbuka. Untuk hemoroidektomi,
dibutuhkan daya laser 12 – 14 watt. Setelah jaringan diangkat, luka bekas operasi
direndam cairan antiseptik. Dalam waktu 4 – 6 minggu, luka akan mengering. Prosedur
ini bisa dilakukan hanya dengan rawat jalan
B. Bedah Stapler
Teknik ini juga dikenal dengan nama Procedure for Prolapse Hemorrhoids (PPH)
atau Hemoroid Circular Stapler. Teknik ini mulai diperkenalkan pada tahun 1993 oleh
dokter berkebangsaan Italia yang bernama Longo sehingga teknik ini juga sering
disebut teknik Longo. Di Indonesia sendiri alat ini diperkenalkan pada tahun 1999. Alat
yang digunakan sesuai dengan prinsip kerja stapler. Bentuk alat ini seperti senter, terdiri
dari lingkaran di depan dan pendorong di belakangnya.
Pada dasarnya hemoroid merupakan jaringan alami yang terdapat di saluran anus.
Fungsinya adalah sebagai bantalan saat buang air besar. Kerjasama jaringan hemoroid
dan m. sfinter ani untuk melebar dan mengerut menjamin kontrol keluarnya cairan dan
kotoran dari dubur. Teknik PPH ini mengurangi prolaps jaringan hemoroid dengan
mendorongnya ke atas garis mukokutan dan mengembalikan jaringan hemoroid ini ke
posisi anatominya semula karena jaringan hemoroid ini masih diperlukan sebagai
bantalan saat BAB, sehingga tidak perlu dibuang semua.
Gambar.2.2 Dilator
Gambar. 2.3 Purse String
Gambar. 2.4 Closing PPH
Burkitt, D.P, 1972. Varicose Veins, Deep Vein Trombosis, and Haemorrhoids:
Epidemiology and Suggested Aetiology. British Medical Journal: 556-561
Chong, P.S. & Bartolo, D.C.C., 2008. Hemorrhoids and Fissure in ano.
Gastroenterology Clinics of North America 37: 627-644.
Cintron, J.R. & Abcarian, H., 2007. Benign Anorectal: Hemorrhoid. In: Wolff,
B.G., Fleshman, J.W., and Beck, D.E., ed. The ASCRS Textbook of Colon and
Rectal Surgery. Newyork: Springer, 156-172.
Corman, M.L, 2004. Hemorrhoids. Colon & Rectal Surgery. 5th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. 177-253.
Daniel, W.J., 2010. Anorectal Pain, Bleeding, and Lumps. Australian Family
Physician 39 (6): 376-381.
Dorland, 2002. Kamus Saku kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC.
Everheart, J.E., 2004. Digestive Disease in The United States: Epidemiology and
Impact, National Institute of Health. Washington, DC: US government Printing
Office.
Hemorrhoid Institute of South Texas, 2009. Hemorrhoids Summary. Available
from: http://hemorrhoidinstituteofst.com. [Accesed 6 May 2011].
Osborn, N.K., King, K.H., and Adeniji, O.A., 2009. Hemorroid Treatment in
Outpatient Gastroenterology Practice Using The O’Regan Disposable Hemorrhoid
Banding System is Safe and Effective. The Journal of Medicine 2 (5): 251.
Snell, R.S., 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Ed.6. Jakarta:
EGC.
World Gastroenterological Organisation. World Gastroenterological Organisation
Practice Guidelines: Constipation. World Gastroenterological Organisation.
Available from:
http://www.worldgastroenterology.org/assets/downloads/en/pdf/guidelines/05
_constipation.pdf [Accessed 7 January 2012]