Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

“HEMOROID”

Pembimbing
dr. Lizaldi Ushan, Sp.B

Disusun oleh :
Fiqham Muhamad Putra G4A020045

SMF ILMU BEDAH


RSUD AJIBARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

2021
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui referat dengan judul:


“ HEMOROID ”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian


Departemen Bedah Program Profesi Dokter Universitas Jenderal Soedirman
di RSUD Ajibarang, Banyumas

Disusun Oleh :

Fiqham Muhamad Putra G4A020045

Purwokerto, 24 September 2021

Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Lizaldi Ushan, Sp.B


BAB I
PENDAHULUAN

Hemoroid merupakan kasus yang sering ditemui dimasyarakat, namun


prevalensi secara pasti tidak dapat diketahui karena seringkali pasien tidak
menjumpai gejala sehingga tidak mengunjungi fasilitas kesehatan. WHO
mencatat jumlah penderita hemoroid di dunia pada tahun 2014 mencapai 230
juta jiwa dan diperkirakan meningkat di tahun 2030 menjadi 350 juta jiwa.
Sedangkan menurut Riskesdas (2015), prevalensi hemoroid di Indonesia
adalah sekitar 12,5 juta pasien.1
Hemoroid adalah protusi abnormal dari bantalan anus disertai dengan
kondisi patologis seperti perdarahan dari anus dan prolaps dari benjolan
anus.2 Hemoroid berkembang ketika drainase vena di anus mengalami
perubahan menyebabkan plexus venosus dan jaringan ikat berdilatasi
sehingga berkembang keluar dari dinding mukosa anus.3 Tanda khas dari
penyakit hemoroid adalah kongesti sinusoid yang disebabkan peningkatan
tekanan intra-abdomen dan penurunan aliran balik vena selama defekasi.
Hemoroid dibagi menjadi 2 berdasarkan asal protusi yaitu eksterna dan
interna.
Faktor yang diduga mendukung teori tersebut antara lain kebiasaan
makan rendah serat, obesitas, tonus sfingter ani, massa feses keras,
mengedan, hamil, BAB dengan WC duduk, BAB lama, dan pekerjaan beban
berat. Faktor diatas menyebabkan gangguan aliran balik vena diikuti dengan
edema dan protusi anal cushion, kemudian tonus sfingter ani yang lemah
meningkatkan prolaps anal cushion.2 Pada referat kali ini, penulis akan
membahas beberapa materi diatas.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi


Anus merupakan bagian dari saluran pencernaan bagian bawah.
Panjang dari anus terbentang antara cincin anorektal (bagian paling distal
rektum) hingga kulit yaitu 4 cm.4 Secara sintopi, struktur yang berada
diposterior adalah coccygeus, di sebelah anterior terdapat ada perineum,
vagina, dan uretra, serta di sebelah lateral ada fossa ischiorektal. Kanalis
analis bagian proksimal tersusun atas epitel kolumner sedangkan dibagian
distal tersusun atas epitel skuamuous yaitu antara linea dentata hingga lubang
anus paling distal. Mukosa di atas linea dentata yang tampak seperti lipatan
longitudal disebut kolumna Morgagni yang didasarnya terdapat kripte saluran
dari kelenjar analis yang membantu lubrikasi saat defekasi, dan apabila
duktus tersumbat benda asing dapat terjadi abses perianal. 4
Pada submukosa di area distal kanalis analis membentuk jaringan
tebal diskontinuitas seperti bantalan yang ditemukan di lateral sinistra,
anterior dekstra, dan posterior dekstra (arah jarum jam 3, 7, dan 11). Jaringan
tersebut (anal cushion) menerima vaskularisasi dari 6 arteri hemoroidal yang
terdistribusi di sepanjang anus dan rektum distal sedangkan pembuluh vena
hemoroidal yang tersusun secara superior, media, dan inferior merupakan
penghubung dengan sirkulasi vena portal dan vena sistemik. Hubungan secara
langsung arteriovenous dalam jaringan ini yang menjadi alasan perdarahan
hemoroid lebih banyak disebabkan kebocoran arteri daripada vena. 5 Bantalan
anus tersebut disusun atas jaringan mukosa, submukosa, jaringan fibroelastis,
pleksus vaskuler, dan otot polos yang terikat dengan sfingter ani oleh
ligament Treitz dan Park.2
Pintu anal dan kanalis analis posisi tertutup saat istirahat akibat dari
kontraksi tonik sfingter ani interna dan eksterna, serta kompresi oleh bantalan
anus. Sfingter ani eksterna dikontrol oleh sistem saraf otonom dan sistem
saraf somatic yaitu ketika terjadi peningkatan tekanan intra-abdomen atau

2
distensi rektum maka sfingter ani eksterna bersama m. puborektalis secara
refleks dan volunteer meningkatkan kontraksi maksimal untuk menahan feses
keluar. Namun, sfingter ani eksterna cenderung memiliki mempertahankan
kontraksi volunteer maksimal hanya 30 – 60 detik.5
Sfingter ani interna diinervasi oleh percabangan saraf simpatis (L5)
dan saraf parasimpatis (S2, S3, dan S4). Sfingter ani eksterna diinvervasi oleh
cabang rektus inferior dari saraf pudendus yang berperan kontrol somatic (S2
dan S3) dan oleh cabang perineal dari S4. Cabang dari nervus pudendus
mentransmisikan rangsang sensorik yang berperan pada kontinensia ani.
Kanalis analis mengandung banyak ujung serabut saraf terutama di daerah
anus.4

Gambar 2.1. Anatomi Rektum dan Anus6

3
B. Definisi Hemoroid
Secara definisi, hemoroid merupakan jaringan normal berbentuk
bantalan di lapisan submukosa dan mengandung venula, arteriol, dan serat
otot polos di kanalis analis yang berperan menyempurnakan penutupun
saluran anus saat istirahat.5,7 Menurut Panduan Praktis Klinis IDI (2017),
hemoroid adalah pelebaran vena-vena didalam pleksus hemoroidalis.8
Hemoroid berkembang ketika drainase vena di anus mengalami perubahan
menyebabkan plexus venosus dan jaringan ikat berdilatasi sehingga
berkembang keluar dari dinding mukosa anus.3 Hemoroid adalah protusi
abnormal dari bantalan anus disertai dengan kondisi patologis seperti
perdarahan dari anus dan prolaps dari benjolan anus.2

C. Epidemiologi
Hemoroid merupakan kasus yang sering ditemui dimasyarakat, namun
prevalensi secara pasti tidak dapat diketahui karena seringkali pasien tidak
menjumpai gejala sehingga tidak mengunjungi fasilitas kesehatan. Penelitian
pada pasien yang dilakukan skrining kanker kolorektal ditemukan 39% subjek
mengalami hemoroid dengan 55% tidak bergejala. WHO mencatat jumlah
penderita hemoroid di dunia pada tahun 2014 mencapai 230 juta jiwa dan
diperkirakan meningkat di tahun 2030 menjadi 350 juta jiwa. Sedangkan
menurut Riskesdas (2015), prevalensi hemoroid di Indonesia adalah sekitar
12,5 juta pasien.1

D. Patomekanisme
Teori hemoroid 2
1. Varises vena dan hipertensi portal
John Hunter (1848) mengungkapkan bahwa hemoroid merupakan
dilatasi vena sekunder akibat dari peningkatan lokal tekanan intravena
yang menyebabkan defek endotel vena. Bendungan berlebihan dari
volume intravena disebabkan oleh disfungsi atau tidak adanya katup vena
yang berhubungan dengan sistem vena anus, seperti vena portal. Pada

4
akhirnya, hal tersebut dapat menyebabkan pembengkakan jaringan yaitu
anal cushion.
Stasis dari vaskuler memicu marginalisasi dari leukosit, kemudian
adhesi ke endotel dan merangsang mediator inflamasi seperti
prostaglandin dan radikal bebas yang berakibat peningkatan permeabilitas
kapiler, fragilitas endotel, hingga nekrosis dinding vaskuler.
2. Hiperplasia vaskuler
Teori ini menjelaskan protusi anal dapat dicurigai sebagai
metaplasia jaringan. Patomekanisme menyerupai dengan hemangioma
kavernosa.
3. Prolaps anal cushion
Prolaps anal cushion disebabkan oleh degenerasi, fragmentasi
jaringan penyokong kanalis analis seperti otot polos, ligamen yang
mengikat diikuti dengan peningkatan tekanan intraabdomen seperti
sering mengedan.

Faktor yang diduga mendukung teori tersebut antara lain kebiasaan


makan rendah serat, obesitas, massa feses keras, mengedan, hamil, BAB
dengan WC duduk, BAB lama, dan pekerjaan beban berat . Faktor diatas
menyebabkan gangguan aliran balik vena diikuti dengan edema dan protusi
anal cushion, kemudian tonus sfingter ani yang lemah meningkatkan prolaps
anal cushion.4 Namun, menurut Margetis (2019) faktor diatas masih perlu
penelitian lebih lanjut karena kurang dibahas secara rinci.3
Patofisiologi hemoroid belum sepenuhnya dipahami. Menurut
Margetis (2019) teori yang berkembang dan diterima saat ini adalah prolaps
dari anal cushion. BAB mengedan yang dilakukan terus menerus
menyebabkan disintegrasi serat otot Treitz yang mana juga dapat ditemukan
pada penyakit otot pelvis atau peningkatan usia. Jika disintegrasi serat otot
longitudinal berlangsung permanen maka protusi dari anal cushion dapat
mencapai luar anus. Penurunan struktur dan fungsi dari integritas otot Treitz
(jaringan penyokong) juga dapat ditemui pada usia tua dan sindrom Ehlers-
Danlos yangmana terjadi penurunan jaringan kolagen. Peningkatan aktivitas
matrix metalloproteinases (MMP)-2 dan MMP-9, yang diketahui

5
menyebabkan degradasi serat elastik dan peningkatan remodeling jaringan,
terdeteksi pada pasien hemoroid. Jaringan ikat pelapis mukosa yang teregang,
jaringan fibrosa hipertrofi menghasilkan kehilangan elastisitas dan sebab itu
akan memendek setelah defekasi. Relaksasi jaringan ikat lokal oleh diare
kronis menyebabkan desakan tekanan pada sistem drainase vena sinusoid.
Bahkan, diare dipercaya menjadi faktor risiko lebih kuat untuk hemoroid
dibandingkan konstipasi.2,3
Tanda khas dari penyakit hemoroid adalah kongesti sinusoid yang
disebabkan peningkatan tekanan intra-abdomen dan penurunan aliran balik
vena selama defekasi. Selain itu, hiperperfusi arteri dari sinusoid (gangguan
mekanisme sfingter arteriol) dan penurunan tonus vaskuler (akibat dominansi
dari endothelium-derived relaxing nitric oxide mengalahkan endothelium-
derived vasoconstricting reactive oxygen radicals) meningkatan kongesti
sinusoid. Peningkatan aktivitas sfingter ani interna baik secara primer
maupun sekunder dapat mengganggu aliran balik vena.2,3
Pelebaran anal cushion adalah juga akibat hipertrofi jaringan fibrosa
dan oleh karena neovaskularisasi akibat proses inflamasi hemoroid yaitu
hiperaktif metalloproteinase memicu pemecahan bed kapiler, transformasi
growth factor beta (memicu efek angioproliferatif), dan aksi vascular
endothelial growth factor (memicu hipertrofi sinusoid).2,3
Secara ringkas, 2 mekanisme pasangan yang terjadi pada patologi
hemoroid antara lain kongesti sinusoid dengan hipertrofi jaringan ikat anal
cushion ; kongesti sinusoid dengan hipertonik sfingter ani. Hiperkongesti
yang telah prolaps dan terjepit oleh sempitnya kanalis analis ditambah dengan
inflamasi kronis di dalam nodul, menyebabkan strangulasi,
hiperkoagulabilitas, trombosis, iskemia, hingga nekrosis.2,3
Terhambatnya aliran balik vena menyebabkan darah kembali ke
arteriol, dan memicu dilatasi lamina propia arteriol serta karena tipis dan
rentan maka apabila mengalami inflamasi akan mudah pecah dan didukung
oleh kerasnya defekasi. Hal tersebut yang menyebabkan darah berwarna
merah segar dan berlendir akibat inflamasi dari mukosa.2,3

6
Gambar 2.2. Patofisiologi Hemoroid Interna.3
E. Klasifikasi
1. Hemoroid Eksterna
Klasifikasi ini dibedakan berdasarkan hasil temuan pemeriksaan
fisik. Hemoroid eksterna terletak di sebelah distal dari linea dentate dan
terlapisi oleh epitel mukosa yang telah termodifikasi serta banyak
mengandung serabut saraf nyeri somatik. Oleh karena itu, trombosis pada
hemoroid eksterna akan terasa sangat nyeri sehingga perlunya pemberian
anestesi saat dilakukan tindakan operatif. Komplikasi hemoroid eksterna

7
dengan trombosis adalah terbentuknya skin tag persisten. Gejala
hemoroid eksterna dan skin tag yaitu gatal dan sulit untuk dibersihkan. 7
2. Hemoroid Interna
Hemoroid interna terletak di sebelah proksimal dari linea dentate
dan dilapisi oleh mukosa anorektal. Hemoroid interna menyebabkan
pasien mengeluhkan benjolan dan BAB berdarah pada onset yang sudah
lama dan derajat yang besar. Berikut adalah pembagian derajat hemoroid
interna :
Tabel 2.1. Klasifikasi Hemoroid Interna.4

3. Campuran
Hemoroid campuran berasal dari bagian distal maupun proksimal
linea dentate serta memiliki karakteristik hemoroid interna dan eksterna.

8
Gambar 2.3. (A) Hemoroid Eksterna dengan Trombosis. (B-E) Hemoroid Interna5

F. Diagnosis
1. Anamnesis3,7,8
- Perdarahan pada waktu defekasi, darah berwarna merah segar. Darah
dapat menetes keluar dari anus beberapa saat setelah defekasi.
- Prolaps benjolan pada waktu defekasi. Massa ini mula-mula dapat
kembali spontan sesudah defekasi, tetapi kemudian harus dimasukkan
secara manual dan akhirnya tidak bisa dimasukkan lagi.
- Pengeluaran lendir dan feses tanpa disadari.
- Iritasi di daerah kulit perianal.
- Gejala anemia sangat jarang apabila tidak disertai dengan lesi di kolon
proksimal.
- Nyeri terutama pada hemoroid eksternal dengan trombosis, hemoroid
interna inkaserkata.

9
- Faktor risiko yang berhubungan dapat digali seperti : konstipasi/diare,
sering mengedan, feses keras, usia tua, wanita hamil, diet rendah serat,
asupan cairan kurang, menggunakan toilet duduk dalam waktu yang
lama, dan hipertensi portal.
2. Pemeriksaan Fisik3,7,8
- Periksa tanda-tanda anemia.
- Pemeriksaan status lokalis
a) Inspeksi
Hemoroid eksternal dan hemoroid interna yang protusi terlihat
sangat jelas dari lubang anus dilapisi mukosa berwarna keunguan
atau merah. Inspeksi akan lebih mudah bila pasien mengedan.
b) Palpasi
Hemoroid interna stadium awal merupakan pelebaran vena yang
lunak dan mudah kolaps sehingga tidak dapat dideteksi dengan
palpasi.
c) Colok dubur
Pemeriksaan colok dubur memfokuskan ke tonus sfingter, eksklusi
dari massa lainnya terutama neoplasma.
d) Anoskopi
Anoskopi merupakan pemeriksaan yang efektif dalam
mengevaluasi adanya hemoroid interna yang tampak sebagai
penonjolan massa berwarna keunguan dan bertangkai. Setelah itu,
dapat mendeskripsikan benjolan di sebelah anterior/
posterior/kanan/kiri.
3. Pemeriksaan Penunjang3,7,8
- Darah rutin, untuk mengetahui adanya tanda anemia dan infeksi.
- Kolonoskopi/colon in loop/tumor marker untuk mengeliminasi adanya
keganasan di kolorektal.
- Feses rutin dapat dikerjakan untuk mengetahui darah samar dan
mengeliminasi adanya infeksi/investasi parasit.

G. Diagnosa Banding3,7,8

10
 Kondiloma akuminata perianal
 Proktitis
 Rektal prolaps
 Penyakit divertikel
 Fissura ani
 Kanker kolorektal
 Inflammatory bowel disease

H. Tatalaksana
1. Layanan Primer8
Penatalaksanaan hemoroid di layanan primer hanya untuk hemoroid grade
1 dengan terapi konservatif dan menghindari obat-obat anti-inflamasi
non-steroid, serta makanan pedas atau berlemak. Hal lain yang dapat
dilakukan adalah mengurangi nyeri dengan memberi analgetik/anti
hemoroid (Anusol, Borraginol suppostoria) dan mengurangi konstipasi
seperti golongan pysillum/isphagula husk/ laksatif (Bisakodil tablet/
suppostoria 5mg/12jam). Setelah itu, pasien dilakukan konseling dan
edukasi antara lain (PPK, 2017) :
 Konsumsi tinggi serat 25-30 gram/hari.
 Mencukupi kebutuhan minum sebanyak 6-8 gelas/hari.
 Hindari mengedan dan menahan BAB terlalu lama.
 Posisi BAB supaya menggunakan WC jongkok.
 Warm sits baths yaitu merendam rektum dengan air hangat
 Olahraga yang cukup
 Merujuk ke spesialis bedah apabila hemoroid derajat 2, 3, 4 dan
hemoroid eksterna.
2. Terapi Farmakologis9
Terdapat beberapa sediaan topikal yang meredakan gejala nyeri
untuk sementara dan belum ada bukti kuat keefektivitasan dalam
penggunaan jangka panjang. Adapun obat bebas yang dimaksud antara
lain, penggunaannya dapat dikombinasi : astringents (witch hazel),

11
protectants (zink oksida), dekongestan (fenilefrin), kortikosteroid, dan
anestesi topikal. Suplemen yang mengandung bioflavonoid seperti
hidrosmin, diosmin, hesperidin, rutosides sudah umum digunakan
sebagai pereda gejala hemoroid seperti hematocezia, gatal, pengeluaran
feses, dan gejala lainnya, namun tidak disetujui oleh Food and Drug
Administration U.S. untuk terapi hemoroid.9
Nitrogliserin 0,4% salep topikal dapat mengurangi nyeri rektum
yang disebabkan trombosis hemoroid, meskipun umumnya digunakan
untuk fissura ani. Nifedipin topikal juga efektif dalam mengurangi nyeri.
Injeksi toksin botulinum dosis tunggal di sfingter ani efektif untuk
mengurangi nyeri hemoroid eksterna dengan trombosis.9
3. Terapi Invasif (Office-based Procedures)4,5,7,9
Hemoroid interna derajat 1-3 diterapi dengan office-based
procedures , misalnya rubber band ligation yang paling sering dan
mudah dilakukan karena dianggap lebih superior dibandingkan
skleroterapi dan koagulasi inframerah. Prinsipnya adalah ligasi dari band
akan membuat strangulasi hemoroid sehingga menyebabkan nekrosis dari
mukosa yang prolaps dan diikuti pembentukan scar dinding rektum.
Tindakan tidak memerlukan sedasi dan dapat ditolerir oleh pasien karena
karet pengikat terletak di sebelah proksimal linea dentata yang,mana
menjauhi serabut saraf nyeri somatis di anus kemudian ligasi
menggunakan ligator dibantu dengan anoskop. Walaupun jarang, namun
pernah ada laporan sepsis perineal berat setelah tindakan tersebut., maka
pasien supaya dievaluasi peningkatan nyeri, demam, ketidakmampuan
BAB. Banding ini dapat mengurangi gejala hingga 80%. Kontraindikasi
relatif tindakan ini adalah pasien imunokomprimis (kemoterapi,
HIV/AIDS), koagulopati, pasien yang sedang konsumsi antikoagulan
atau antiplatelet (bukan termasuk aspirin).
Skleroterapi menggunakan injeksi 3-5 mL sklerosant (misal :
normal saline 3%, fenol 5% di almon atau minyak sayur dan natrium
tetradisil sulfat) di apeks submukosa hemoroid interna. Teknik ini
memiliki keberhasilan yang tinggi untuk jangka pendek, namun

12
cenderung mengalami relaps. Teknik ini juga lebih cocok bagi pasien
yang memiliki kecenderungan perdarahan atau pengobatan antikoagulan
jangka panjang (sehinga tidak bisa operasi atau rubber band ligation).
Inframerah dan koagulasi laser merupakan teknik yang menggunakan
bantuan energi cahaya inframerah untuk membuat fibrosis, koagulasi
hingga nekrosis pada submukosa di daerah hemoroid imterna grade 1-2.
Efek samping tindakan ini adalah nyeri bila di sebelah distal, retensi urin
(1%) karena ligasi terkena sfingter ani, infeksi, dan perdarahan akibat
lepasnya pedikel.
Hemoroid eksterna dengan trombosis yang memiliki klinis nyeri
akut akan mengalami resolusi gejala dalam 72 jam onset setelah
perawatan konservatif, seperti sitz baths, salep lidokain, dan pencahar
karena dapat terreabsorbsi. Trombektomi, evakuasi dari bekuan darah
sering dilakukan di ruang gawat darurat, sedangkan eksisi elips juga
mempercepat resolusi gejala dan lebih dapat menurunkan rekurensi.
Tindakan tersebut memerlukan anestesi lokal sehigga tidak perlu rawat
inap.
Bila dibandingkan, keberhasilan jangka panjang lebih sesuai pada
tindakan rubber band ligation, namun untuk perbaikan nyeri lebih sesuai
pada fotokoagulasi inframerah karena tidak melakukan mukopeksi
(menarik mukosa dan serabut somatik keatas dari bawah linea dentata)

D 13
Gambar 2.4. (A,B) Rubber band ligation. (C) Hemoroid eksterna dengan
trombosis . (D) Eksisi hemoroid eksterna.4

4. Terapi di Kamar Bedah4,5,7,9


a) Hemoroidektomi
Hemoroidektomi dikerjakan bila terapi konservatif dan invasif
(office based procedure) tidak membaik, dan terapi tersebut dinilai
sangat efektif pada pasien hemoroid campuran derajat III-IV atau
dengan skin tag. Hemoroidektomi konvensional ini memiliki teknik
tertutup (Park atau Ferguson) meliputi reseksi jaringan hemoroid dan
dilanjutkan penjahitan luka dengan benang absorbable. Bila garis
pascahecting mengalami perdarahan, maka bisa ditambah jahitan
figure-of-eight. Pasien diposisikan litotomi atau proning dibawah
anestesi lokal, regional, atau general. Kanalis analis diperiksa
dibantu alat spekulum. Eksisi elips dimulai dari distal permukaan
anus menuju ke proksimal cincin anorektal. Identifikasi serat otot
sfingter ani interna untuk menghindari terkena trauma. Bagian apeks
pleksus hemoroid diligasi dan semua hemoroid (tiga hemorrhoidal
cushion) dieksisi. Perhatian untuk menghindari diseksi terlalu luas di
kulit perianal untuk mencegah stenosis anus.
Selain itu, teknik terbuka (Milligan dan Morgan) yaitu
prinsipnya hampir sama dengan eksisi, namun lukanya dibiarkan
terbuka dan mendukung penyembuhan dengan rencana sekunder.
Teknik tertutup lebih sering dipilih karena nyeri pascaoperasi lebih
rendah, penyembuhan luka lebih cepat, risiko perdarahan
pascaoperasi lebih rendah daripada teknik terbuka.

14
Gambar 2.5. Hemoroidektomi Teknik Ferguson.4
Hemoroidektomi konvensional telah mengalami modifikasi
menggunakan dua alternatif media, yaitu Ligasure dan Harmonic
Scalpel, yang secara berturut menggunakan diatermi/energi elektrik
dan energi ultrasonik. Keuntungannya ialah membatasi kehilangan
darah, mengurangi nyeri pascaoperasi, dan untuk prosedur Ligasure
membutuhkan durasi operasi yang lebih singkat.
Komplikasi hemoroidektomi relatif rendah, yaitu meliputi
perdarahan pascaoperasi (1-2%), retensi urin (1-15%), dan sangat
jarang sepsis pelvis.
b) Stapler Hemorrhoidopexy
Teknik ini memanfaatkan alat stapler yang dirancang khusus
untuk membuat anastomosis mukosa ke mukosa. Selanjutnya,
dilakukan eksisi secara sirkumferensial di mukosa-submukosa
lebihan yang prolaps 3-4 cm di atas linea dentata dengan
menggunakan alat stapler yang sirkular sekaligus langsung ligasi
pleksus venosus hemoroidalis dan arteri hemoroidalis sehingga
hemorrhoidal cushion secara efektif tertarik keatas sebelah
proksimal kanalis analis.
Komplikasi yang dapat terjadi akibat teknik ini antara lain,
fistula rektovagina akibat jarum yang terlalu agresif, nyeri
berat/kronis akibat penjahitan/jarum yang terlalu dekat dengan linea
dentata, perdarahan di garis stapler, striktur di garis stapler.
Dalam review Cochrane, 12 penelitian menunjukkan hemoroid
rekuren 3,22 kali lipat lebih sering terjadi (CI = 95%, 1,59 – 6,51)
setelah stapled hemorrhoidopexy dibandingkan hemoroidektomi
konvensional. Kelebihan dari stapled hemorrhoidopexy antara lain
lebih cepat dalam resolusi fungsi pencernaan (bowel movement),

15
lebih singkat rawat inap, lebih singkat waktu penyembuhan
dibandingkan hemoroidektomi konvensional.

Gambar 2.6. Prosedur Stappler Hemorrhoidopexy5

c) Hemorrhoidal Artery Ligation with Recto-Anal Repair (HAL-RAR)


Teknik ini juga disebut transanal hemorrhoidal
dearterialization yang menggunakan Doppler probe untuk
mengidentifikasi arteri superfisial yang mensuplai pleksus
hemoroidalis, kemudian diligasi. Teknik tidak memerlukan eksisi
jaringan, namun mukopeksi dilakukan bagi pasien yang terdapat
keluhan prolaps anal cushion. Pada praktiknya, beberapa klinis lebih
memilih modifikasi dari beberapa teknik diatas menyesuaikan
sumber daya dan kondisi pasien. Beberapa studi menunjukkan
hemorrhoidal artery ligation with recto-anal repair (HAL-RAR)
hasil jangka pendek yang menguntungkan, yaitu lebih mengurangi
nyeri pascaoperasi, dan beberapa hampir sama dengan
hemoroidektomi tertutup namun untuk respon jangka panjang masih
perlu penelitian lebih lanjut.9
Nyeri pascaoperasi dapat diminimalisir dengan anestesi lokal di
nervus pudendus atau sfingterektomi interna lateral saat
hemoroidektomi.9

16
Tabel 2.2. Perbandingan Outcome Teknik Tindakan Terapi Hemoroid.9

5. Perawatan Pascaoperasi
Nyeri bekas operasi dan terasa penuh merupakan efek yang umum
pada 1 minggu pascaoperasi hemoroid. Manajemen nyeri pascaoperasi
dapat menggunakan obat seperti nitrogliserin topikal/salep yang memiliki
bukti keefektifitasan yang kuat. Manajemen nyeri lainnya adalah NSAID,
muscle relaxant, analgesic topikal, sitz baths.9
Komplikasi pascaoperasi yang umum antara lain perdarahan
(inadekuat ligasi, lepasnya mukosa nekrotik 7-10 hari pasca
hemoroidektomi), retensi urin (hindari cairan intravena berlebih pada
intraoperatif dan perioperatif, berikan analgesik), hemoroid eksternal
dengan trombosis, dan yang sangat jarang adalah abses, sepsis,
perdarahan masif, hingga peritonitis. Sedangkan komplikasi jangka
panjang yang perlu diperhatikan antara lain hemoroid rekuren, ektropion
(Whitehead deformity), stenosis anus, skin tag, konstipasi (karena
narkotika), dan inkontinensia alvi.

I. PROGNOSIS

17
Secara umum, prognosa dari semua tipe dan derajat hemoroid bonam,
hanya saja untuk komponen ad sanationam dubia ad bonam dengan alasan
masih ada kemungkinan rekuren pada beberapa pasien.8,9

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perdefinisi, hemoroid adalah protusi abnormal dari bantalan anus disertai
dengan kondisi patologis seperti perdarahan dari anus dan prolaps dari
benjolan anus.

18
2. Faktor risiko hemoroid antara lain penuaan, kebiasaan makan rendah
serat, obesitas, tonus sfingter ani lemah, massa feses keras, mengedan,
batuk kronis, massa intra-abdomen, hamil, BAB dengan WC duduk, BAB
lama, kurang olahraga, dan pekerjaan beban berat.
3. Hemoroid dibedakan berdasarkan lokasinya, interna yaitu di sebelah
proksimal linea dentata dan dibagi lagi menjadi 4 derajat. Selain itu,
hemoroid eksterna berasal dari sebelah proksimal linea dentata.
4. Teori patomekanisme hemoroid : kongesti sinusoid/varises
vena/hipertensi portal, hyperplasia vaskuler, dan pembengkakan dan
prolaps anal cushion.
5. Diagnosis berdasarkan anamnesis keluhan benjolan di anus dan
hematocezia, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
6. Tatalaksana dapat berupa : konservatif farmakologis, konservatif non-
farmakologis, edukasi gaya hidup, office based procedure, surgical
procedure.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rani, S. 2019. Pengembangan Celana Dalam Khusus Untuk Mengurangi


Nyeri pada Penderita Hemoroid. Skripsi. Program Studi Ilmu Keperawatan,
Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Purwokerto.

19
2. Lalisang, T. J. M. 2016. Hemorrhoid : Pathophysiology and Surgical
Management A Literature Review
3. Margetis, N. 2019. Pathophysiology of Internal Hemorrhoids. Annals of
Gastroenterology. 32(3) : 264-272.
4. Hyman, N., Umanskiy, K. 2021. Anus. Dalam : Townsend, C.M.,
Beauchamp, R.D., Evers, B. M., Mattox, K. L. Sabiston Textbook of Surgery
21st edition. Elsevier : Philadelphia, Canada.
5. Larson, D.W., Merchea, A. 2017. . Anus. Dalam : Townsend, C.M.,
Beauchamp, R.D., Evers, B. M., Mattox, K. L. Sabiston Textbook of Surgery
20th edition. Elsevier : Philadelphia, Canada.
6. Netter, F. 2016. Atlas Anatomi Manusia Edisi 6. Elsevier : Philadelphia,
Canada.
7. Dunn, K, M, B., Rothenberger, D. A. 2015. Hemorrhoid. Dalam : Brunicardi,
F.C. et al. Schwartz’s Principles of Surgery Tenth Edition. McGraw Hill
Education : U.S.A.
8. Ikatan Dokter Indonesia (IDI). 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Edisi 1. PB IDI : Jakarta.
9. Mott, T., Latimer, K., Edwards, C. 2018. Hemorrhoids : Diagnosis and
Treatment Options. American Family Physician. 97(3) : 173 -178.

20

Anda mungkin juga menyukai