Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PRAKTIK LAPANGAN HOME VISIT

STOMATITIS DAN ISPA DENGAN RIWAYAT HIPERTENSI PRIMER

Oleh:
Sang Aji Samudra Anugrah (G1A015069)
Katarina Frenka Nadya Wijaya (G1A015096)
Elma Wiliandini (G1A015105)

Pembimbing Fakultas:
dr. Fajar Wahyu Pribadi, M.Sc
(NIP 19800719 200501 1 001)

PUSKESMAS KEDUNGBANTENG
BLOK FAMILY AND OCCUPATIONAL MEDICINE
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2018
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN HOME VISIT


STOMATITIS DAN ISPA DENGAN RIWAYAT HIPERTENSI PRIMER

Oleh:
Sang Aji Samudra Anugrah (G1A015069)
Katarina Frenka Nadya Wijaya (G1A015096)
Elma Wiliandini (G1A015105)

Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas Blok Mental Health, Family, and
Occupational Medicine, serta telah diperiksa, disetujui, disahkan, dan
dipresentasikan pada:
hari : Selasa
tanggal : 5 Juni 2018

Disetujui oleh,
Pembimbing Fakultas

dr. Fajar Wahyu Pribadi. M.Sc


(NIP 19800719 200501 1 001)
I. KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA

A. Identitas Kepala Keluarga dan Pasangan Kepala Keluarga


1. Kepala Keluarga
a. Nama : Maryati
b. Usia : 51 tahun
c. Jenis kelamin : perempuan
d. Agama : Islam
e. Pendidikan : Sekolah Menengah Pertama (SMP)
f. Alamat lengkap : Desa Keniten RT 002/RW 003, Kecamatan
Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, Jawa
Tengah.
g. Bentuk keluarga : keluarga orang tua tunggal (single parent
family)
2. Pasangan Kepala Keluarga
a. Nama : Poniman (almarhum)
b. Usia : 48 tahun
c. Jenis kelamin : laki-laki
d. Agama : Islam
e. Pendidikan : Sekolah Teknik Mesin (STM)
B. Daftar Anggota Keluarga yang Tinggal Satu Rumah
Daftar anggota keluarga Ibu Maryati yang tinggal dalam satu rumah
dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah berikut.

Tabel 1.1 Daftar Anggota Keluarga yang Tinggal Satu Rumah


Nama Kedudukan L/P Usia Pendidikan Pekerjaan Keterangan
Maryati Kepala P 51 SMP Pedagang Ibu
keluarga Maryati
Ircham Anak kedua L 21 SMP - Anak Ibu
Faozi Maryati,
tinggal
satu-
satunya
II. STATUS PENDERITA

A. Identitas Penderita
1. Nama : Maryati
2. Usia : 51 tahun
3. Jenis kelamin : perempuan
4. Status : janda
5. Agama : Islam
6. Suku bangsa : Jawa
7. Kewarganegaraan : Warga Negara Indonesia (WNI)
8. Pekerjaan : Pedagang
9. Pendidikan : SMP
10. Penghasilan/bulan : Rp1.000.000-1.500.000,00/bulan
11. Alamat : Desa Keniten RT 002/RW 003, Kecamatan
Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas,
Jawa Tengah.
12. Pengantar : Ibu Maryati tidak diantar
13. Hubungan dengan Ibu Maryati : -
B. Hasil Anamnesis
1. Keluhan Utama
Ibu Maryati datang dengan keluhan utama sariawan yang perih
sejak sehari yang lalu dan batuk serta pilek sejak 4-5 hari yang lalu.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Sariawan atau Ulkus Aptosa
Sariawan yang dikeluhkan Ibu Maryati terletak pada
pangkal lidah bagian kanan. Sariawan dirasakan setelah Ibu
Maryati tidak sengaja menggigit lidahnya ketika makan berbuka
puasa pada sehari sebelum beliau datang ke puskesmas. Sariawan
dirasakan sangat perih dan mengganggu aktivitas, seperti sulit
bicara dan sulit makan. Saat ini Ibu Maryati makan untuk buka
dan sahur dengan sayur bening saja untuk mengurangi gesekan-
gesekan pada tempat sariawan. Keluhan dirasa semakin berat
ketika beliau sedang makan. Progresivitas memburuk sehingga
beliau memutuskan untuk berobat ke Puskesmas Kedungbanteng
pada Rabu, 23 Mei 2018 pukul 08.00. Keluhan penyerta adalah
berupa batuk dan pilek.
b. Batuk dan Pilek
Ibu Maryati sudah mengalami batuk dan pilek sejak hari
Kamis, 17 Mei 2018 (6 hari sebelum ke puskesmas). Pada waktu
itu, keluhan batuk dan pilek dirasakan sangat mengganggu
aktivitas, seperti sulit bernapas ketika berbaring dan sulit tidur.
Batuk yang dialami Ibu Maryati tidak berdahak. Pilek (rinore)
tidak banyak mengeluarkan sekret, tidak berwarna, serta tidak
berbau, namun sering terjadi pembengkakan concha nasalis pada
malam hari sehingga mengurangi aliran jalan napas pada cavum
nasi. Selama 6 hari tersebut, keluhan dirasa membaik walau
belum berobat.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Ibu Maryati memiliki riwayat hipertensi derajat satu dan dua yang
fluktuatif selama 25 tahun dan patuh meminum obat Amlodipin 1
kali/hari. Walaupun patuh minum obat, nampaknya keluhan pusing dan
sempoyongan karena tekanan darah meningkat sering terjadi pada
pasien. Hipertensi dideteksi pertama kali setelah melahirkan anak
pertama pada tahun 1993 dan tetap berlangsung sampai saat ini. Ibu
Maryati tidak mengingat apakah selama kehamilan juga hipertensi atau
tidak karena tidak ada keluhan. Tidak diketahui pula apakah
sebelumnya sudah menderita hipertensi atau belum. Sampai saat ini,
beliau belum pernah menderita penyakit serius selain hipertensi urgensi
asimptomatik.. Data rekam medik pada tanggal 20 April 2016
didapatkan tekanan darah Ibu Maryati 180/110 disertai pusing, batuk,
dan pilek.
Riwayat alergi tidak diketahui baik terhadap obat, makanan, zat,
serta alergen lain.. Berdasarkan rekam medik beliau, keluhan yang
sering dialami Ibu Maryati adalah pusing, batuk, dan pilek. Pasien
mengaku tidak memiliki riwayat kencing manis (diabetes mellitus).
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Orang tua Ibu Maryati keduanya memiliki riwayat hipertensi.
Suami Ibu Maryati juga telah meninggal pada tahun 2011 dengan
penyakit gagal ginjal kronik stadium akhir.
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Ibu Maryati bekerja sebagai seorang pedagang atau penjual
makanan di kantin SD Keniten 2. Kondisi sosial ekonomi tidak begitu
baik dengan penghasilan satu hari kurang lebih Rp50.000,00. Ibu
Maryati adalah tulang punggung keluarga karena sang anak tidak mau
bekerja. Pasien memiliki satu asuransi kesehatan BPJS atas nama
dirinya.
Lokasi tempat kerja dekat dengan rumah beliau, dapat dijangkau
dengan berjalan kaki. Biasanya beliau bersiap-siap memasak di rumah
dari pukul 03.00 dini hari kemudian ke sekolah pukul 07.00 dan
kembali pukul 10.00-12.00. Alat masak di rumah masih menggunakan
tungku kayu bakar. Makanan yang didagangkan adalah ketupat serta
gorengan. Pasien mengaku sering memakan dagangannya sendiri,
menyukai makanan asin dan bersantan.
Rumah yang ditinggali Ibu Maryati dan Ircham adalah rumah
peninggalan orang tua Ibu Maryati. Luas rumah 175m2 berbentuk
persegi panjang dan memiliki dua kamar utama. Lingkungan rumah
terlihat kurang terawat, namun bersih dan ventilasi udara cukup baik.
Lantai masih berupa ubin dan perabotan rumah tampak tua. Anak
pasien memelihara beberapa ekor burung hias dan ikan hias di rumah,
yang diletakkan di ruang tamu serta dapur. Bagian belakang rumah,
yaitu dapur, kamar mandi, dan toilet tampak luas. Di salah satu sisi
dapur terdapat tempat penyimpanan kayu bakar sebagai bahan bakar
tungku api. Kondisi lingkungan tidak bising, tidak banyak polusi,
kelembapan cukup, dan udara segar. Di sekitar rumah, banyak terdapat
tanaman pangan dan obat-obatan yang dirawat oleh pasien serta
tetangga.
C. Pemeriksaan Fisik
Data pemeriksaan fisik Ibu Maryati didapatkan dari hasil rekam medik
dan pemeriksaan saat home visit. Berikut adalah hasil pemeriksaan fisik
pasien:
1. Keadaan umum dan kesadaran, pasien tampak sehat dan compos mentis
2. Antropometri:
a. Tinggi badan : 155 cm
b. Berat badan : 52 kg
c. IMT : 21,64 kg/m2 (normal)
3. Tanda Vital:
a. Denyut nadi : 80 kali/menit
b. Laju respirasi : 20 kali/menit
c. Tekanan darah : 150/100 mmHg
d. Suhu tubuh : 37oC
4. Pemeriksaan Kepala dan Leher:
a. Mata : Konjungtiva anemis (-/-)
b. Hidung : dalam batas normal (dbn)
c. Telinga : dbn
d. Mulut : dbn
e. Leher : dbn, pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
5. Pemeriksaan Thoraks
a. Inspeksi : bentuk thoraks dbn, pengembangan dada dbn
b. Palpasi : vokal fremitus dbn
c. Perkusi : dbn, sonor pada seluruh lapang paru, redup
pada bagian jantung, batas paru jantung
normal
d. Auskultasi : vesikuler pada seluruh lapang paru, suara
jantung S1 dan S2 normal.
6. Pemeriksaan Abdomen, yaitu dbn
7. Pemeriksaan Ekstremitas, yaitu dbn
8. Pemeriksaan Status Lokalis
Dilakukan pemeriksaan lokalis ulkus aptosa pada pangkal lidah
ujung kanan, tampak ulkus bulat hiperemis ukuran sedang (<1cm).
9. Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan genitalia, anorektal, dan neurologis tidak dilakukan
karena tidak merujuk pada keluhan pasien serta tidak dimungkinkan
untuk dilakukan di rumah pasien.
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan karena penyakit sudah
dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.
III. IDENTIFIKASI FUNGSI-FUNGSI KELUARGA

A. Fungsi Holistik
1. Fungsi Biologis
a. Saat ini Ibu Maryati menderita ulkus aptosa, ISPA, disertai
dengan riwayat hipertensi derajat satu.
b. Riwayat keluarga ditemui hipertensi ayah (alm.) dan ibu (alm.).
c. Tidak ditemukan gejala-gejala penyakit menular.
2. Fungsi Psikologis
Dari hasil penggalian informasi, hubungan psikologis
antaranggota keluarga kurang sehat.
3. Fungsi Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi Ibu Maryati tergolong rendah, akana
tetapi berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ibu
Maryati adalah tulang punggung keluarga dengan penghasilan perbulan
Rp1.000.000,00-1.500.000,00.
B. Fungsi Fisiologis
Menghitung keberhasilan fungsi fisiologis keluarga dapat dilakukan
dengan wawancara menggunakan metode APGAR family score. Hal yang
diukur adalah:
1. Adaptation, merupakan tingkat kepuasan anggota keluarga dalam
menerima bantuan yang dibutuhkannya dari angggota keluarga lainnya.
2. Partnership, adalah tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap
komunikasi, urun rembug dalam mengambil suatu keputusan dan atau
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan anggota
keluarga.
3. Growth, merupakan tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap
kebebasan yang diberikan keluarga dalam mematangkan pertumbuhan
dan atau kedewasaan setiap anggota keluarga.
4. Affection, adalah tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih
sayang serta interaksi emosional yang berlangsung dalam keluarga.
5. Resolve, merupakan tingkat kepuasan anggota keluarga dalam
kebersamaan membagi waktu dan ruang antar anggota keluarga.
Masing-masing komponen APGAR dinilai dalam tiga tingkatan
penilaian yaitu sering, kadang-kadang, dan jarang. Sering memegang poin 2,
kadang-kadang 1 poin, dan jarang 0 poin. Interpretasi total skor APGAR
dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Skor 7-10 berarti fungsi keluarga dinilai sehat
2. Skor 4-6 berarti fungsi keluarga dinilai kurang sehat
3. Skor 0-3 berarti fungsi keluarga dinilai tidak sehat
Tabel APGAR family score dapat dilihat pada Tabel 3.1 di bawah
berikut ini.

Tabel 3.1 APGAR Family Score bahasa Indonesia


PERNYATAAN SERING KADANG JARANG
(2) (1) (0)
A Saya puas bahwa saya dapat
kembali kepada keluarga saya,
bila saya menghadapi masalah.
P Saya puas dengan cara-cara
keluarga saya membahas serta
membagi masalah dengan
saya.
G Saya puas bahwa keluarga
saya menerima & mendukung
keinginan saya melaksanakan
kegiatan & ataupun arah hidup
yang baru.
A Saya puas dengan cara-cara
keluarga saya menyatakan rasa
kasih sayang & menanggapi
emosi.
R Saya puas dengan cara-cara
keluarga saya membagi waktu
bersama.

Pada kondisi keluarga Ibu Maryati, skor APGAR untuk Ibu Maryati
adalah 6 sedangkan untuk Ircham adalah 2. Hal ini menunjukkan bahwa bagi
Ibu Maryati, fungsi keluarganya kurang sehat dan bagi Ircham, fungsinya
tidak sehat. Rata-rata fungsi keluarga untuk seluruh anggota keluarga bernilai
4, sehingga fungsi keluarga ini kurang sehat.
C. Fungsi Keturunan/Genetik
Kondisi fungsi genetik keluarga Ibu Maryati dapat dilihat pada Gambar
3.1 di bawah berikut.

Bapak Ibu
1921-1978 1927-2003
hipertensi hipertensi

Menikah 1992

Isnandi Maryati Poniman


Musriah Juni 1963-2011
1966
Hipertensi meninggal
karena GGK

Suwanto

Anak Pertama Ircham Faozi Anak Ketiga


1993-2016 1996 2004
Meninggal Meninggal saat
karena Lupus neonatus
karena aspirasi
mekoneum
Gambar 3.1 Genogram Keluarga Ibu Maryati

Berdasarkan Gambar 3.1 di atas, diketahui bahwa terdapat riwayat


penyakit hipertensi pada orang tua Ibu Maryati. Keluarga Ibu Maryati hanya
tinggal 3 orang saudara kandung dan satu orang anak kandung. Ibu Maryati
menolak memberi tahu identitas anggota keluarganya yang sudah meninggal.
D. Fungsi Interaksi
Fungsi interaksi dalam keluarga Ibu Maryati kurang baik. Ibu Maryati
senang bercerita dengan anaknya dan cukup puas dengan kehadiran anaknya
di dalam rumah, walaupun penyelesaian masalah keluarga biasanya meminta
tolong solusi dari kakaknya. Walaupun demikian, anak Ibu Maryati, yaitu
Ircham, tidak merasa cukup puas dengan kondisi fungsi keluarganya, jarang
berkomunikasi dan hanya berbicara secukupnya dengan sang ibu.
Fungsi interaksi Ibu Maryati dengan tetangga amat baik. Ibu Maryati
sering menghampiri rumah tetangganya untuk bersilahturahmi. Ibu Maryati
memiliki beberapa teman dekat di lingkungan tetangganya.
E. Fungsi Perilaku
Aspek ini meliputi pengetahuan tentang kesehatan, kesadaran akan
pentingnya kesehatan serta tindakan yang mencerminkan pola hidup sehat.
Ketika mengetahui bahwa Ibu Maryati mengalami sariawan, beliau segera
memasak makanan yang lembut dan tidak menyebabkan gesekan berlebih
pada rongga mulut. Ketika pada tanggal 8 Mei 2018, beliau mengalami
kenaikan tekanan darah (170/110mmHg) kemudian datang ke dokter
puskesmas untuk berobat, Ibu Maryati menuruti nasihat dokter untuk
mengurangi konsumsi garam, minyak, penyedap rasa, dan santan.
Ibu Maryati juga menanam tanaman herbal walaupun pengamat tidak
mengetahui apakah tanaman tersebut baik untuk kesehatan dan berkhasiat.
Ada dua jenis tanaman yang dirawat Ibu Maryati yaitu “daun Afrika” dan
daun yang satu keluarga dengan pepaya. Menurut sumber yang didapat Ibu
Maryati, tanaman “daun Afrika” tersebut berkhasiat menurunkan gejala
pusing karena hipertensinya, sedangkan tanaman yang satu lagi dikonsumsi
oleh anak pertamanya saat sakit lupus. Walaupun pengetahuan akan ilmu
kesehatan tanaman herbal kurang, Ibu Maryati berusaha mencari cara
menyembuhkan penyakit yang diderita keluarganya. Demi mencegah efek
samping yang tidak diharapkan, pengamat menyarankan agar Ibu Maryati
mengonsultasikan tanaman yang dikonsumsi tersebut kepada dokter
puskesmas.
F. Fungsi Nonperilaku
Aspek ini meliputi adanya kepedulian memeriksakan diri ke tempat
pelayanan kesehatan. Sarana dan prasarana pelayanan kesehatan tersedia di
wilayah tersebut, serta jarak rumah dengan Puskesmas Kedungbanteng + 3
km. Puskesmas dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi angkutan
umum yang dapat diakses dengan mudah. Dari hasil pengamatan pada rekam
medik pasien, Ibu Maryati rutin memeriksakan tekanan darahnya. Beliau juga
selalu datang ke puskesmas ketika mengalami keluhan kesehatan.
IV. IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
KESEHATAN

A. Aspek Faktor Risiko Internal


Faktor risiko internal meliputi faktor yang dapat diubah dan tidak dapat
diubah. Faktor yang dapat diubah seperti perilaku, sikap, dan gaya hidup.
1. Faktor Risiko Internal terhadap Stomatits
Faktor internal yang dapat diubah dari Ibu Maryati adalah
kebiasaan mengonsumsi makanan dengan tidak hati-hati sehingga lidah
tergigit.
2. Faktor Risiko Internal terhadap Batuk dan Pilek
Faktor internal yang dapat diubah berupa memelihara burung hias
di dalam rumah dan adanya perabotan rumah yang berdebu.
3. Faktor Risiko Internal terhadap Hipertensi
Ibu Maryati memiliki kebiasaan mengonsumsi makanan tinggi
garam, tinggi lemak, dan bersantan saat masih muda sampai beberapa
waktu silam. Ibu Maryati juga jarang berolahraga. Tingkat pengetahuan
pasien terhadap penyakit serta faktor risiko penyakitnya kurang baik.
Faktor risiko internal yang tidak dapat diubah, yaitu Ibu Maryati
memiliki riwayat hipertensi pada keluarga.
B. Aspek Faktor Risiko Eksternal
Faktor risiko eksternal berupa kondisi rumah yang kurang memenuhi
rumah sehat serta nilai fungsi APGAR seluruh anggota keluarga adalah 4,
yaitu fungsi keluarga kurang sehat. Kondisi sosial ekonomi pasien juga
kurang baik namun masih berkecukupan untuk hidup sehari-hari.
V. DIAGNOSIS HOLISTIK DAN PENANGANAN KOMPREHENSIF

A. Diagnosis Holistik
1. Aspek Personal
a. Keluhan utama pasien yaitu sakit saat mengunyah karena ada
sariawan di pangkal lidah.
b. Keluhan penyerta berupa batuk dan pilek sejak 6 hari yang lalu
dan sudah membaik.
c. Idea atau hal yang dipikirkan pasien adalah pasien memiliki
penyakit sariawan dan ingin berobat ke dokter puskesmas.
d. Anxiety atau hal yang dicemaskan pasien adalah nyeri saat makan
dengan concern (hal yang diperhatikan) yaitu dirinya sedang
berpuasa sehingga membutuhkan nutrisi yang cukup.
e. Expectation atau harapan pasien yaitu ingin cepat sembuh dan
nyaman saat beraktivitas dan nyaman saat makan.
2. Aspek Klinis
Diagnosis kerja dan diagnosis banding berupa:
a. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), dengan diagnosis
banding pneumonia, pneumonitis, dan rhinitis akut.
b. Stomatitis aptosa rekuren, dengan diagnosis banding ulkus oral
mayor.
c. Hipertensi derajat satu dengan diagnosis banding hipertensi
esensial dan preeklampsia pascamelahirkan yang berlanjut
sampai saat ini.
3. Aspek Faktor Risiko Internal (Intrinsik) sebagai Confounding Factors
a. Jenis kelamin perempuan karena stomatitis sering mengenai
wanita
b. Genetik yaitu ada kemungkinan penyakit hipertensi diturunkan
c. Perilaku individu sakit yaitu senang makan makanan bersantan,
asin, dan berminyak.
4. Aspek Faktor Risiko Eksternal (Ekstrinsik) sebagai determinant factors
a. Perilaku sakit anggota keluarga lain
Hanya tinggal dengan anaknya laki-lakinya. Sehari-hari
anaknya berada di rumah sambil memelihara beberapa ikan dan
burung. Memelihara burung atau unggas dapat menjadi faktor
resiko terjadinya ISPA.
b. Hubungan interpersonal
Hubungan interpersonal kurang baik dengan skor APGAR
4, sehingga merupakan sebagai faktor risiko.
c. Sosial ekonomi
Keluarga Ibu Maryati termasuk keluarga sosial ekonomi
menengah ke bawah dengan penghasilan total sekitar
Rp1.000.000,00-1.500.000,00 untuk 2 orang, hal ini terkait
dengan capaian pelayanan kesehatan dan pemenuhan nutrisi
sehari-hari.
d. Pendidikan
Ibu Maryati dan anaknya sama-sama memiliki tingkat
pendidikan sampai sekolah menengah pertama (SMP) sehingga
mempengaruhi beberapa hal seperti, pola diet yang tidak baik. Ibu
Maryati masih sering mngonsumsi makanan yang bersantan dan
makanan asin. Namun Ibu Maryati sudah baik dalam hal
memeriksakan diri ke layanan kesehatan apabila merasa ada
keluhan.
e. Lingkungan rumah
Sanitasi baik dan terjaga, ruang tamu cukup, dua kamar
tidur, satu kamar mandi, ruang santai, dapur terpisah, tidak dekat
dengan kandang hewan ternak, luas rumah 175 m2 untuk 2 orang,
ventilasi cukup, penerangan cukup, bangungan kayu, atap
genteng, lantai disemen, sehingga bukan merupakan faktor risiko.
Faktor risiko kondisi rumah berupa perabotan yang sudah tua dan
berdebu dan adanya peliharaan burung di dalam rumah.
f. Lingkungan lokal sekitar
Lingkungan tempat tinggal keluarga ini termasuk
pemukiman biasa, dekat jalan raya tepatnya di depan jalan raya,
jalan disemen, sinar matahari cukup, halaman sempit dengan
pohon rindang dan tanaman hijau disamping rumah, kebersihan
dan sampah terjaga dengan baik sehingga bukan sebagai faktor
risiko. Denah rumah pada Lampiran 2.
5. Aspek Skala Fungsi Sosial (Derajat Keparahan Penyakit)
Penilaian aspek skala fungsi sosial Ibu Maryati dapat dicocokkan
dengan menggunakan Tabel 5.1 di bawah berikut

Tabel 5.1 Skala Fungsi Sosial

Skala Aktivitas Menjalankan Ketergantungan


Fungsi terhadap Orang Lain
1 Melakukan pekerjaan seperti Mandiri dalam perawatan
sebelum sakit diri dan bekerja di dalam
dan luar rumah
2 Pekerjaan ringan sehari-hari, Aktivitas kerja mulai
di dalam dan luar rumah berkurang
3 Pekerjaan ringan dan bisa Pekerjaan ringan dan
melakukan perawatan diri perawatan diri masih
dikerjakan sendiri
4 Perawatan diri hanya Tidak melakukan aktivitas
keadaan tertentu, posisi kerja. Perawatan diri oleh
duduk dan berbaring keluarga
5 Perawatan diri oleh orang Sangat bergantung dengan
lain, posisi berbaring pasif orang lain (misal tenaga
medis)

Berdasarkan pengamatan terhadap kondisi Ibu Maryati, aspek


skala sosial beliau terletak pada skala 1, karena masih dapat melakukan
aktivitas dan pekerjaan biasanya seperti sebelum sakit dan mandiri saat
berobat ke puskesmas dan perawatan diri.
B. Penanganan Komprehensif
Penanganan komprehensif meliputi penanganan pada fokus personal,
keluarga, dan komunitas.
1. Fokus Personal
a. Rencana Penegakan Diagnosis (Pemeriksaan penunjang)
1) Pemeriksaan profil lipid seperti kolesterol, LDL, HDL,
trigliserid
2) Pemeriksaan asam urat, kreatinin serum, kalium serum
3) EKG
b. Initial theraphy
1) Perbaiki gaya hidup
2) Amoxicilin 3x1
3) B Kompleks 3x1
4) Obat paten kombinasi untuk ISPA yaitu RanaFlu yang
diminum 3 kali/hari, yang terdiri dari:
a) Paracetamol 500mg sebagai antipiretik dan
antianalgesik.
b) Pseudoephedrine HCl 30mg sebagai dekongestan.
c) Dextromethorpan HBr 15mg sebagai antihistamin
dan supresi batuk untuk menangani gejala batuk,
pilek, gatal, dan bersin.
d) Chlorpheniramine maleate 2mg sebagai antihistamin
juga.
c. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)
1) Edukasi untuk penyakit yang diderita yaitu tentang
hipertensi, ISPA dan stomatitis
2) Beri keterangan yang jelas tentang jenis obat, cara
pemakaian, dan frekuensi pemakaiannya
3) Konsumsi obat secara teratur dan disiplin
4) Mengatur pola diet rendah garam dan rendah lemak,
panduan diet untuk hipertensi pada Ibu Maryati adalah diet
DASH, yaitu diet yang memperbanyak konsumsi buah-
buahan, sayur, susu bebas atau rendah lemak; konsumsi
biji-bijian, kacang-kacangan, ikan, minyak sayur; serta
membatasi konsumsi pemanis, garam, dan daging merah
(NIH, 2014). Berikut merupakan contoh komposisi diet
DASH untuk penderita hipertensi pada Gambar 5.1
Gambar 5.1 Contoh komposisi diet DASH (NIH, 2014)

Berdasarkan panduan asupan tersebut, Ibu Maryati


maksimal mengonsumsi sodium sekitar 100 mmol per hari
(2-4 gram sodium atau 6 gram sodium klorida). Diet rendah
sodium ini dimaksudkan juga untuk mengurangi makanan
yang asin, seperti ikan asin, dan makanan asin lainnya. Diet
rendah sodium berkontribusi dalam penurunan tekanan
darah sekitar 2-8 mmHg (U.S. Department of Health and
Human Services. 2010). Mudahnya, tidak lebih dari
setengah sendok teh perhari (Kemenkes RI, 2011).
5) Menyarankan aktifitas fisik semampunya seperti berjalan
kaki selama 3-4 kali dalam seminggu dengan durasi 30
menit.
6) Edukasi tentang penyakit familial.
7) Kontrol ke fasilitas pelayanan kesehatan secara rutin.
d. Monitoring dan Evaluasi
1) Medical check up rutin
2) Pemeriksaan tekanan darah rutin
3) Kontrol dan mengambil obat setiap bulan
4) Monitoring tekanan darah
2. Family Care/ Family Focus
a. Meminta suport dari anak dan keluarga untuk memberi semangat
dan nasihat segala hal, termasuk dalam menjaga kesehatan,
perilaku atau kebiasaan makannya. Keluarga diharapkan tidak
membiarkan Ibu Maryati mengonsumsi makanan-makanan yang
tidak seharusnya, seperti makanan tinggi garam dan makanan
berlemak.
b. Mengimbau Ibu Maryati dan anaknya untuk saling terbuka
tentang masalah yang dialami, sehingga Ibu Maryati tetap terjaga
secara emosional yang membantu proses pengobatan dan kualitas
hidupnya.
c. Ibu Maryati dan semua anggota keluarga harus menaati dan
menghormati aturan yang telah disepakati bersama.
d. Menyesuaikan diri dengan keadaan dan kondisi yang ada, karena
tinggal berdua, harus saling beradaptasi dengan segala perubahan
yang terjadi. Anak ibu Maryati harus selalu memperhatikan orang
tuanya dengan baik. Disarankan Ibu Maryati meluangkan lebih
banyak waktu untuk dihabiskan bersama komunitas yang disukai,
agar tidak merasa kesepian saat di rumah.
e. Meningkatkan komunikasi yang baik antaranggota keluarga,
terutama keluarga yang tinggal serumah, dalam hal ini adalah
anaknya. Ibu Maryati juga diimbau mengingatkan anaknya
supaya melakukan skrining dan perbaikan gaya hidup untuk
deteksi dini penyakit familial.
3. Local Community Care/ Focus Community
a. Edukasi penyakit stomatitis, ISPA, dan hipertensi beserta
pencegahannya pada orang-orang yang berisiko.
b. Edukasi masyarakat untuk mengubah pola hidangan pada hajatan
dan kegiatan-kegiatan sosial dengan makanan yang lebih sehat
dan bergizi.
c. Screening penyakit pada lokal komunitas.
VI. TINJAUAN PUSTAKA

A. Stomatitis Aftosa Rekuren


1. Definisi
Stomatitis Afosa Rekuren (SAR) yang disebut juga canker sore,
apthous ulcer atau recurrent aphthae, merupakan salah satu penyakit
rongga mulut yang paling sering terjadi.(Woo, 2008). SAR ditandai
dengan ulser oval atau bulat yang terjadi secara rekuren (Neville, 2008).
SAR merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri tetapi dapat
menyebabkan sensasi nyeri dan terbakar. Hal ini dapat mengganggu
fungsi rongga mulut penderitanya (Bruch, 2010).
2. Epidemiologi
Prevalensi terjadinya SAR bervariasi tergantung pada populasi
yang diteliti. Pada umumnya, SAR dapat mengenai sekitar 20%
populasi dengan peningkatan dapat mencapai lebih dari 60%. Insiden
SAR pada populasi dunia sekitar 2-66% SAR mengenai lebih dari 100
juta penduduk Amerika. Satu dari lima orang di Amerika terkena SAR
setiap tahunnya. Prevalensi SAR lebih tinggi pada tingkat
sosioekonomi tinggi daripada sosioekonomi rendah (Bruch, 2010).
Berdasarkan jenis kelamin, insiden SAR lebih tinggi terjadi pada
wanita. Pada umumnya, SAR terjadi pada dekade pertama dan kedua
kehidupan. Insiden SAR akan meningkat seiring pertambahan usia
dalam dekade ketiga dan keempat kehidupan dengan tingkat rekurensi
SAR akan berkurang memasuki dekade ketiga kehidupan (Ragezi,
2008).
Sekitar 80% pasien mengalami SAR di bawah usia 30 tahun. Pada
beberapa kasus, frekuensi dan keparahan SAR akan meningkat seiring
bertambahnya usia. SAR jarang terjadi pada usia lanjut (Cawson,
2008).
3. Faktor Predisposisi
Sampai saat ini, etiologi SAR masih belum diketahui dengan
pasti. Ulser pada SAR bukan karena satu faktor saja tetapi
multifaktorial yang memungkinkannya berkembang menjadi ulser.
Faktor-faktor ini terdiri dari genetik, trauma, obat-obatan, siklus
menstruasi, alergi, defiensi nutrisi, stres, dan penyakit sistemik. Dokter
gigi sebaiknya mempertimbangkan bahwa faktor-faktor tersebut dapat
memicu perkembangan ulser SAR (Neville, 2008).
a. Genetik
Faktor ini dianggap mempunyai peranan yang sangat besar
pada pasien yang menderita SAR. Faktor genetik SAR diduga
berhubungan dengan peningkatan jumlah human leucocyte
antigen (HLA), namun hal tersebut baru terbukti pada beberapa
grup etnik (Cawson, 2008).
Faktor predisposisi genetik juga berhubungan dengan
variasi Deoxyribonucleic Acid (DNA) yang tersebar pada gen
manusia. Hal ini khususnya yang berhubungan dengan
metabolisme dari sitokin yaitu interleukin (IL-1β, IL-2, IL-4, IL-
5, IL-6, IL-10, IL-12), interferon γ (IFN-γ), dan Tumor Necrosis
Factor Alpha (TNF-α) (Slebioda, 2014).
b. Trauma
Trauma yang dapat mengakibatkan SAR biasanya karena
menyikat gigi dan trauma dari bulu sikat gigi. Setelah terjadi
trauma akan diikuti dengan adanya edema dan inflamasi. Gejala
ini langsung disertai oleh munculnya ulser pada daerah trauma.
Tidak semua trauma dapat mengakibatkan terjadinya SAR.
Trauma dapat menyebabkan SAR hanya pada pasien yang
sebelumnya telah mempunyai riwayat SAR (Yogasedara,2015)
c. Obat-obatan
Obat-obatan tertentu berhubungan dengan terjadinya SAR
pada rongga mulut. Penggunaan obat-obatan seperti Nonsteroidal
Anti-Inflammantory Drugs (NSAID), beta blocker, calsium
channel blocker, alendronate, dan obat kemoterapi dapat
meningkatkan risiko terjadinya SAR pada seseorang. Mekanisme
bagaimana obat-obatan dapat menyebabkan SAR belum jelas,
namun respon imunologi diduga berkaitan erat dalam hal ini
(Jinba, 2014).
d. Siklus menstuasi
Jaringan lunak mulut sensitif terhadap perubahan kadar
hormon seks steroid dalam darah wanita. Saat siklus menstruasi,
kadar hormon akan mengalami perubahan. Kadar hormon akan
meningkat lalu menurun secara bermakna pada fase luteal dari
siklus menstruasi. Penurunan kadar hormon progesteron akan
menghambat maturasi sel epitel yang akan memudahkan
terjadinya invasi bakteri sehingga SAR terjadi (Tandadjaja,
2015).
e. Alergi
Beberapa makanan yang diduga dapat menyebabkan SAR
adalah kacang, coklat, kentang goreng, keju, susu, terigu,
gandum, kopi, sereal, almond, stoberi, tomat, lemon, dan nenas.
Selain itu, berdasarkan American Academy of Oral Medicine
(AAOM), makanan yang paling sering berhubungan dengan
terjadinya SAR adalah kayu manis dan asam benzoat (dapat
ditemukan pada beberapa makanan dan minuman ringan) (Suling
et al, 2013).
Terjadinya SAR juga diduga disebabkan oleh reaksi alergi
Sodium Lauryl Sulfate (SLS) yang biasanya ditemukan pada pasta
gigi sebagai detergen pembersih. Reaksi yang ditimbulkan karena
penggunaan SLS adalah terkikisnya lapisan terluar mukosa yang
mengakibatkan jaringan epitel terpapar yang dapat
mengakibatkan terjadinya SAR. Alergi terhadap piranti nikel
pesawat ortodonti juga dapat menimbulkan SAR (Beguerie,
2015).
Alergi berhubungan dengan respon imunopatologis. Proses
imunopatologis akan melibatkan respon yang diperantarai oleh
sel T dan TNF terhadap antigen. Dalam hal ini antigen tersebut
adalah alergen (Langlais et al, 2013).
f. Defisiensi nutrisi
Defisiensi nutrisi dapat menyebabkan menipisnya mukosa
dan memicu SAR. Faktor nutrisi yang berpengaruh pada
timbulnya SAR adalah asam folat, zat besi, vitamin B1, B2, B6,
B12, dan zink. Defisiensi kalsium dan vitamin C juga dapat
menimbulkan SAR namun hal ini juga berhubungan dengan
defisiensi vitamin B1. Peranan nutrisi sebagai salah satu faktor
terjadinya SAR sekitar 5-10%. Defisiensi vitamin B12, asam
folat, dan zat besi terjadi pada 20% pasien SAR. Defisiensi nutrisi
diduga erat dapat menurunkan sistem imun dan menghambat
sintesis protein pada jaringan (Slebioda, 2010).
5. Gambaran Klinis
SAR ditandai dengan ulser oval atau bulat dengan dasar keabu-
abuan/kekuning-kuningan dan dikelilingi oleh eritema halo. Beberapa
literatur menyatakan bahwa SAR dapat terjadi pada daerah mukosa
tidak berkeratin yaitu mukosa bukal, labial, lidah, palatum lunak, dan
dasar mulut. Sebenarnya SAR dapat terjadi dimanapun dalam rongga
mulut. Namun, SAR jarang terjadi pada gingiva cekat dan palatum
keras (Bruch, 2010).
SAR diklasifikasikan menjadi tiga tipe berdasarkan gambaran
klinisnya, yaitu SAR minor, mayor, dan herpetiform. Setiap tipe
mempunyai karakteristik, efek, durasi, dan tingkat keparahan yang
berbeda (Langlais,2013).
a. SAR Minor
SAR minor (Mikulicz’s aphthae) merupakan tipe SAR yang
paling sering terjadi dengan insiden hampir 80%. Pada umumnya,
SAR minor mengenai mukosa tidak berkeratin. Gambaran klinis
SAR minor berupa ulser oval atau bulat, tunggal atau multipel,
diameter kurang dari 10 mm, ditutupi oleh membran abu
kekuningan, dan dikelilingi oleh eritema halo. Durasi SAR minor
selama 7-14 hari dan sembuh tanpa meninggalkan skar. Tingkat
rekurensi SAR minor bervariasi pada setiap individu. Satu sampai
lima lesi dapat terjadi pada setiap episodenya (Neville, 2008).
b. SAR Mayor
SAR mayor disebut juga Sutton’s disease atau Periadenitis
Mucosa Necrotica Recurrens. Insiden kejadian SAR mayor lebih
sedikit dari pada SAR minor yaitu sekitar 10%. SAR mayor
mempunyai diameter lebih dari 10 mm serta lebih sakit dan
mempunyai durasi yang lebih lama daripada SAR minor.
Inflamasi yang ditimbulkan SAR mayor juga lebih dalam dari
pada SAR minor. Durasi terjadinya SAR mayor sekitar 2-6
minggu dan sembuh dengan dapat meninggalkan skar atau bekas
di jaringan. Pada umumnya SAR mayor dapat mengenai mukosa
tidak berkeratin dan berkeratin (Cawson, 2008).
c. SAR Herpetiform
SAR herpetiform adalah tipe SAR yang paling jarang
terjadi dengan insiden 5-10%. SAR herpetiform mempunyai ulser
berukuran kecil yaitu sekitar 1-2 mm.28 Ulser yang ditimbulkan
SAR herpetiform multipel yaitu berkisar 5-100 dan dapat muncul
pada waktu yang sama. Ulser dapat bergabung dengan ulser yang
lainnya dan menjadi ulser yang lebih besar. Durasi untuk SAR
herpetiform sembuh adalah lebih dari 1-2 minggu dan pada
umumnya tidak meninggalkan skar. SAR herpetiform dapat
berlokasi di mukosa tidak berkeratin maupun berkeratin (Ujevic,
2013).

Tabel 6.1 Karakteristik setiap tipe SAR


Karakteristik Tipe SAR
Minor Mayor Herpetiform
Onset terjadi Kedua Pertama dan Ketiga
(dekade) kedua
Jumlah ulser 1-5 1-3 5-20
Durasi 7-14 hari 2-6 minggu 7-14 hari
Skar Tidak Ya Tidak
Lokasi Mukosa tidak Mukosa Mukosa tidak
berkeratin, berkeratin dan berkeratin
khususnya tidak berkeratin
mukosa labial
dan bukal

6. Tatalaksana
Penatalaksanaan dari SAR didahului dengan edukasi karena
kebanyakan pasien tidak mengetahui SAR, penyebab, dan bagaimana
menangani gejalanya. Edukasi pasien adalah kunci penting untuk
mengontrol SAR (Woo, 2008). Adapun terapi perawatan yang
diberikan kepada penderita SAR adalah
a. Terapi Lokal
Pada SAR ringan, perawatan yang dapat diberikan adalah
obat kumur campuran sodium biokarbonat dan air hangat untuk
menjaga rongga mulut tetap bersih. Obat kumur dengan
kandungan antibiotik seperti Tertrasiklin dapat mengurangi
ukuran, durasi, dan rasa sakit. Klorheksidin glukonat juga adalah
obat kumur yang dapat mengurangi jumlah bakteri dan
mempercepat penyembuhan SAR (Matute, 2011).
Terapi lokal dapat juga berupa obat topikal dengan
kandungan analgesik, antimikroba, dan anti-inflamasi (steroid
dan nonsteroid).43 Steroid topikal dapat mempercepat waktu
penyembuhan dan mengurangi jumlah lesi. Steroid topikal yang
dapat digunakan adalah fluocinonide, betamethasone, clobetasol,
dan lain-lain. Steroid topikal diaplikasikan 2-3 kali dalam sehari
setelah makan dan sebelum tidur (Vijayabala et al, 2013).
b. Terapi Sistemik
Terapi sistemik bukan merupakan pilihan perawatan utama
yang diberikan untuk pasien SAR. Terapi sistemik hanya
diberikan jika SAR yang dialami parah dan terapi topikal tidak
efektif. Obat-obatan yang dapat diberikan adalah NSAID,
prednisolone, pentoxyphyline, dapsone dan lain sebagainya
(Woo, 2008).
B. Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA)
1. Definisi
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan istilah yang
diadaptasi dari istilah bahasa inggris Acute Respiratory Infections
(ARI) yaitu penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu atau lebih
dari saluran pernapasan, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli
(saluran bawah) beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga
telinga tengah dan pleura (Hartono dan Rahmawati, 2012). Istilah ISPA
meliputi tiga unsur penting yaitu infeksi, saluran pernafasan, dan akut.
Dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah masuknya kuman
atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak
sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan adalah
organ yang mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya
seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Dengan demikian
ISPA secara otomatis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran
pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ
adneksa saluran pernapasan.
2. Etiologi
Depkes (2004) menyatakan penyakit ISPA dapat disebabkan oleh
berbagai penyebab seperti bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan lain-
lainnya. ISPA bagian atas umumya disebabkan oleh virus, sedangkan
ISPA bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri, umumnya
mempunyai manifestasi klinis yang berat sehingga menimbulkan
beberapa masalah dalam penanganannya.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah genus Streptococcus,
Stapilococcus, Pneumococcus, Haemophyllus, Bordetella dan
Corynobacterium. Virus penyebab ISPA antara lain golongan
Paramykovirus (termasuk di dalamnya virus Influenza, virus
Parainfluenza dan virus campak), Adenovirus, Coronavirus,
Picornavirus, Herpesvirus dan lain-lain. Di negara-negara berkembang
umumnya kuman penyebab ISPA adalah Streptocococcus pneumonia
dan Haemopylus influenza.
Jumlah penderita infeksi pernapasan akut kebanyakan pada anak.
Etiologi dan infeksinya mempengaruhi umur anak, daya tahan, musim,
kondisi tempat tinggal, dan masalah kesehatan yang ada. Banyaknya
patogen pada sistem pernapasan yang muncul dalam wabah selama
musim semi dan dingin, tetapi mycoplasma sering muncul pada musim
gugur dan awal musim semi. (Hartono dan Rahmawati, 2012). Virus
dan bakteri penyebab ISPA menurut lokasi anatomi dapat dilihat pada
Gambar 6.1

Gambar 6.1 Virus dan Bakteri Pentebab ISPA menurut Lokasi


Anatomi
3. Klasifikasi
Menurut Depkes (2004) penyakit ISPA dapat dibagi dua
berdasarkan lokasi anatominya, yaitu: ISPA atas (ISPaA) dan ISPA
bawah (ISPbA). Contoh ISPA atas adalah batuk pilek (Common cold),
Pharingitis, Otitis, Flusalesma, Sinusitis, dan lain-lain. ISPA bawah
diantaranya Bronchiolitis dan Pneumonia yang sangat berbahaya
karena dapat mengakibatkan kematian.
4. Patogenesis
Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkhus dilapisi oleh
membran mukosa bersilia, udara yang masuk melalui rongga hidung
disaring, dihangatkan dan dilembutkan. Partikel debu yang kasar dapat
disaring oleh rambut yang terdapat dalam hidung, sedangkan partikel
debu yang halus akan terjerat dalam membran mukosa. Gerakan silia
mendorong membran mukosa ke posterior ke rongga hidung dan ke
arah superior menuju faring.
Penyebaran melalui kontak langsung atau tidak langsung dari
benda yang telah dicemari virus dan bakteri penyebab ISPA (hand to
hand transmission) dan dapat juga ditularkan melalui udara tercemar
(air borne disease) pada penderita ISPA yang kebetulan mengandung
bibit penyakit melalui sekresi berupa saliva atau sputum, bibit penyakit
masuk kedalam tubuh melalui pernapasan (Depkes, 2007).
Mikroorganisme penyebab ISPA ditularkan melalui udara.
mikroorganisme yang ada diudara akan masuk kedalam tubuh melalui
saluran pernapasan dan menimbulkan infeksi dan penyakit ISPA.
Selain itu mikroorganisme penyebab ISPA berasal dari penderita yang
kebetulan terinfeksi, baik yang sedang jatuh sakit maupun yang
membawa mikroorganisme di dalam tubuhnya (Hartono dan
Rahmawati, 2012).
Mikroorganisme di udara umumnya berbentuk aerosol yakni
suatu suspensi yang melayang di udara, dapat seluruhnya berupa bibit
penyakit atau hanya sebagian. Adapun bentuk aerosol dari penyebab
penyakit ISPA tersebut yakni droplet nuclei dan dust. Droplet nuclei
adalah partikel yang sangat kecil sebagai sisa dari sekresi saluran
pernapasan yang mengering dan melayang di udara. Pembentukannya
melalui evaporasi droplet yang dibatukkan atau dibersinkan ke udara,
karena ukuran sangat kecil, dapat bertahan diudara untuk waktu yang
cukup lama dan dapat dihirup pada waktu bernapas dan masuk ke
saluran pernapasan. Dust adalah partikel dengan berbagai ukuran
sebagai hasil dari resuspensi partikel yang menempel di lantai, di
tempat tidur serta dapat tertiup angin bersama debu lantai/tanah.
C. Hipertensi Esensial/Primer
1. Definisi
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90
mmHg. Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial)
(90-95%) dan hipertensi sekunder (5-10%). Dikatakan hipertensi
primer bila tidak ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah
tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh
penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme primer
(sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan
renovaskuler, serta akibat obat (Bakri, 2008).
2. Etiologi
Hipertensi primer merupakan hipertensi dimana etiologi
patofisiologinya tidak diketahui. Hipertensi jenis ini tidak dapat
disembuhkan tetapi dapat dikontrol. Berdasarkan literatur > 90% pasien
dengan hipertensi merupakan hipertensi primer. Beberapa mekanisme
yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah
diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan
patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turuntemurun
dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor
genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer.
Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi
keseimbangan natrium, tetapi juga didokumentasikan adanya mutasi-
mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric
oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen
(Messerli, et al., 2007) .
3. Faktor Risiko
Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul
terutama karena interaksi faktor-faktor risiko tertentu. Faktor-faktor
risiko yang mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah tersebut
adalah faktor risiko seperti diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas,
merokok, genetis, sistem saraf simpatis (tonus simpatis dan variasi
diurnal), keseimbangan modulator vasodilatasi dan vasokontriksi, serta
pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin,
angiotensin dan aldosteron. (Yogiantoro, 2009).
4. Patomekanisme
Tekanan darah dipengaruhi oleh cardiac output dan resistensi
perifer. Cardiac output sendiri dipengaruhi oleh stroke volume dan
heart rate. Stroke volume dipegaruhi kontraktibilitas miokardium dan
ukuran kompartemen pembuluh darah. Heart rate dipengaruhi oleh
aktivitas saraf otonom simpatis-parasimpatis. Sedangkan resistensi
perifer dipengaruhi oleh struktur anatomi pembuluh darah yang
meliputi panjang, diameter, dan ada tidaknya kerusakan pembuluh
darah, juga fungsional vaskuler, serta viskositas darah itu sendiri
(Guyton, 2007).
Mekanisme pengaturan tekanan darah dibagi menjadi 2 yaitu
intrinsik dan ekstrinsik. Kontrol intrinsik yaitu disesuaikan dengan
kebutuhan tubuh, seperti kebutukan akan metabolisme. Kontrol
ekstrinsik yaitu pengaturan tekanan darah melalui aktifasi saraf
simpatis dan parasimpatis (Guyton, 2007).
Selain itu, peran penting dari sistem renin-angiotensin-aldosteron
(RAA). Sistem ini bekerja di ginjal, yaitu pengaturan aktivasi renin.
Secara fisiologis, saat tekanan darah menurun, maka renin teraktivasi.
Renin tersebut akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I
yang merupakan vasokonstriktor lemah. Selanjutnya Angiotensin I
dikonversi menjadi Angiotensin II yang merupakan vasokonstriktor
kuat oleh Angiotensin Converting Enzym (ACE). Sehingga
meningkatkan vasokonstriksi pembuluh darah, meningkatkan tahanan
perifer, dan akan meningkatkan tekanan darah. Begitu pula sebaliknya,
saat tekanan darah tinggi, maka renin akan dihambat (Guyton, 2007).
Selain itu, Angiotensin II juga merangsang aldosteron dan ADH
untuk meningkatkan intake air dan retensi air dan garam, sifat Na+ yang
menarik cairan intrasel ke ekstrasel sehingga viskositas darah naik,
tahanan perifer selanjutnya akan naik juga, dan hasilnya tekanan darah
menjadi naik (Guyton, 2007).
Gangguan mekanisme di atas, dan juga akibat life style yang
mendukung akan menyebabakan hipertensi.

Gambar 6.2 Mekanisme pengaturan tekanan darah (Guyton, 2007).


5. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis (Corwin, 2007; Panggabean, 2009)
1) Sakit kepala ketika terjaga, leher terasa tegang kadang
disertai mual dan muntah karena peningkatan tekanan
intrakranial.
2) Penglihatan kabur karena kerusakan hipertensif pada retina.
3) Cara berjalan tidak mantap karena kerusakan susunan saraf
pusat.
4) Nokturia karena penimgkatan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerulus.
5) Edema dependen (bengkak pada kaki atau perut) karena
peningkatan tekanan kapiler.
6) Berdebar-debar.
7) Rasa melayang (dizziness).
8) Impotensi.
9) Mudah lelah, sesak nafas dan sakit dada.
10) Epistaksis, hematuria, dan transient cerebral ischemia.
11) Ditanya lama penyakit (biasanya sudah lama).
12) Gaya hidup dan faktor risiko, sering makan makanan yang
mengandung natrium (garam) dan kebiasaan merokok.
13) Ditanya apakah pasien sebelumnya mengkonsumsi obat-
obatan tertentu, karena mungkin tekanan darah yang tinggi
yang terjadi merupakan efek samping dari suatu obat.
b. Pemeriksaan fisik
Hal-hal yang perlu diperiksa adalah (Panggabean, 2009):
1) Keadaan umum, tinggi badan dan berat badan.
2) Tekanan darah diukur minimal dua kali dalam satu waktu
pengukuran kemudian diambil rata-ratanya. Positif
hipertensi apabila didapatkan minimal dua kali hasil positif
hipertensi pada tiga kali pengukuran pada waktu yang
berbeda dalam waktu dua sampai empat minggu. Pada
pasien usia muda, perlu diukur tekanan darah pada daerah
betis.
3) Pemeriksaan funduskopi dengan klasifikasi Keith-
Wagener-Barker untuk menilai prognosis.
4) Pemeriksaan leher yaitu palpasi dan auskultasi arteri karotis
untuk melihat adanya stenosis atau oklusi.
5) Pemeriksaan ekstremitas (a. radialis, a. femoralis, a.
dorsalis pedis).
6) Pemeriksaan paru untuk memeriksa adanya bunyi ronki
atau tidak
c. Pemeriksaan jantung
1) Mencari ada tidaknya kardiomegali, menilai HVK dan
gagal jantung.
2) Auskultasi jantung, dapat ditemukan:
a) Bunyi S2 yang meningkat karena kerasnya penutupan
katup aorta.
b) Bunyi S3 karena tekanan akhir diastolik ventrikel kiri
yang meningkat akibat dilatasi.
c) Bunyi S4 atau gallop atrial atau presistolik karena
peningkatan tekanan atrium kiri.
d) Murmur diastolik karena regurgitasi aorta.
e) Apabila didapatkan bunyi S3 dan S4 dinamakan
summation gallop
d. Pemeriksaan abdomen
1) Mencari adanya aneurisma, pembesaran hati, limpa, ginjal
dan asites.
2) Auskultasi dapat ditemukan bising sekitar kiri dan kanan
umbilicus. Hal ini menandakan adanya renal artery stenosis
e. Pemeriksaan penunjang (Panggabean, 2009)
1) Pemeriksann laboratorium
a) Urinalisa: protein, dan lain-lain untuk mengetahui
adanya penyakit ginjal.
b) Darah: hemoglobin, hematokrit, platelet, fibrinogen,
GDS.
c) Biokimia: potassium, sodium, kreatinin, profil lipid
(untuk melihat risiko penyakit kardiovaskular
mendatang).
2) Pemeriksaan tambahan
a) Foto toraks dada.
b) EKG 12 lead, menilai ada tidaknya hipertrofi
ventrikel kiri.
c) Mikroalbuminuria.
d) Ekokardiografi.
6. Penatalaksanaan
a. Nonfarmakologis
Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat
menurunkan tekanan darah, dan secara umum sangat
menguntungkan dalam menurunkan risiko permasalahan
kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1,
tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup
sehat merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani
setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut,
tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang diharapkan atau
didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat
dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi (PERKI, 2015).
Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak
guidelines adalah:
1) Penurunan berat badan.
Mengganti makanan tidak sehat dengan
memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat
memberikan manfaat yang lebih selain penurunan tekanan
darah, seperti menghindari diabetes dan dislipidemia.
2) Mengurangi asupan garam.
Di negara kita, makanan tinggi garam dan lemak
merupakan makanan tradisional pada kebanyakan daerah.
Tidak jarang pula pasien tidak menyadari kandungan garam
pada makanan cepat saji, makanan kaleng, daging olahan
dan sebagainya. Tidak jarang, diet rendah garam ini juga
bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi
pada pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan
garam tidak melebihi 2 gr/ hari.
3) Olah raga.
Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30-
60 menit/ hari, minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong
penurunan tekanan darah. Terhadap pasien yang tidak
memiliki waktu untuk berolahraga secara khusus,
sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk berjalan kaki,
mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam aktifitas
rutin mereka di tempat kerjanya.
4) Mengurangi konsumsi alcohol. Walaupun konsumsi
alcohol belum menjadi pola hidup yang umum di negara
kita, namun konsumsi alcohol semakin hari semakin
meningkat seiring dengan perkembangan pergaulan dan
gaya hidup, terutama di kota besar. Konsumsi alcohol lebih
dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada
wanita, dapat meningkatkan tekanan darah. Dengan
demikian membatasi atau menghentikan konsumsi alcohol
sangat membantu dalam penurunan tekanan darah.
5) Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum
terbukti berefek langsung dapat menurunkan tekanan darah,
tetapi merokok merupakan salah satu faktor risiko utama
penyakit kardiovaskular, dan pasien sebaiknya dianjurkan
untuk berhenti merokok (PERKI, 2015).
b. Medika mentosa
1) Diuretik
Obat diuretik yang dapat digunakan antara lain
(Gunawan et al., 2009):
a) Golongan Tiazid, contoh hidroklorotiazid.
b) Diuretik Kuat, contoh adalah furosemid, torsemid,
bumetanid, asam etakrinat.
c) Diuretik Hemat Kalium, yang bekerja dengan cara
menghambat reabsorpsi sodium dan sekresi kalium
dengan jalan antagonis kompetitif atau secara
langsung di tubulus distal. Amilorid, triamteren, dan
spironolakton merupakan diuretik lemah.
Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan
diuretik lain untuk mencegah hipokalemia..
2) Penghambat Sistem Adrenergik(Gunawan et al., 2009)
a) β-bloker, contoh adalah atenolol, metoprolol,
karvedilol, labetolol
b) α-bloker, contoh prazosin, terazosin, bunazosin,
doksasozin.
3) Centrally Acting Sympathoplegic Drugs
Obat jenis ini bekerja dengan menurunkan sinyal
simpatis pada pusat vasomotor di otak, lalu menahan kerja
dari baroreseptor, contoh obatnya yaitu metildopa dan
klonidin (Gunawan et al., 2009).
4) Vasodilator
Mekanisme kerja obat ini secara umum bekerja
langsung pada pembuluh darah, meberikan efek relaksasi
pada otot polos pembuluh darah, menurunkan resistensi
vascular. Contoh vasodilator adalah hidralazin, minoksidil,
diazoksid, dan natrium nitroprusid (Gunawan et al., 2009).
5) Renin-Angiotensin-Aldosteron Inhibitor(Gunawan et a.l,
2009)
a) Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor,
contohnya adalah kaptopril, enalapril, lisinopril,
imidapril.
b) Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Ada dua tipe reseptor angiotensin II, yaitu AT1
dan AT2. AT1 terdapat di otot polos jantung,
pembuluh darah, ginjal, otak, dan kelenjar adrenal.
Reseptor AT1 jika berikatan dengan angiotensin II
dapat memicu sekresi aldosteron dan memicu
vasokontriksi. Sedangkan kerja reseptor AT2
mekanismenya belum jelas.
ARB dapat menghambat vasokontriksi, sekresi
aldosteron, aktivitas saraf simpatis, efek sentral
Angiotensin II, serta menghambat stimulasi jantung.
Contoh ARB adalah losartan, valsartan, irbesartan,
telmisartan.
Efek samping dari ARB antara lain adalah
hipotensi, hipovolemia, gagal jantung, hipertensi
renovaskular, hiperkalemia, serta bersifat fetotoksik.
Oleh karena itu, ARB dikontraindikasikan bagi ibu
hamil dan ibu menyusui.
6) Antagonis Kalsium (Nifedipin, dihidropirin, diltiazem,
verapamil)
Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada
sel otot vaskular dan miokardium. Antagonis kalsium juga
dapat bekerja langsung di pembuluh darah, dapat
menimbulkan relaksasi arteriol, serta dapat menunkan
resisrensi perifer. Penurunan resistensi perifer ini sering
diikuti oleh reflek takikardia dan vasokontriksi (nifedipin)
(Gunawan et al., 2009).
Sebagai monoterapi, antagonis kalsium terbukti
efektif pada hipertensi dengan kadar renin rendah, seperti
pada usia lanjut. Antagonis kalsium sering dikombinasi
bersama ACE-inhibitor, metildopa, atau beta-bloker
(Gunawan et al., 2009).
7. Komplikasi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak
endothel arteri dan mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari
hipertensi termasuk rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal,
otak, dan pembuluh darah besar. Hipertensi adalah faktor resiko utama
untuk penyakit serebrovaskular (stroke, transient ischemic attack),
penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal ginjal, dementia,
dan atrial fibrilasi. Bila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor
resiko kardiovaskular lain, maka akan meningkatkan mortalitas dan
morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya tersebut. Menurut Studi
Framingham, pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan resiko
yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer
dan gagal jantung (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
VII. PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ibu Maryati datang ke puskesmas pada Rabu, 23 Mei 2018 dan
didiagnosis menderita stomatitis aptosa rekuren, ISPA, disertai
hipertensi derajat satu yang diduga adalah hipertensi esensial karena
penyebab jelas belum diketahui.
2. Telah dilakukan diagnosis holistik yang meliputi aspek personal, klinis,
faktor risiko internal dan eksternal, sert skala fungsi sosial dari Ibu
Maryati.
3. Telah dilakukan pembahasan penanganan komprehensif bagi Ibu
Maryati, keluarga, dan komunitas untuk menangani ketiga keluhan dan
penyakit yang dialami Ibu Maryati
B. Saran
1. Disarankan bagi Ibu Maryati untuk mempertahankan kebiasaan makan
yang baik
2. Disarankan bagi keluarga Ibu Maryati untuk memperbaiki hubungan
keluarga dan dapat meminta bantuan konseling kepada dokter.
3. Disarankan agar Ircham, sang anak, mulai merintis pekerjaan untuk
mengurangi beban keluarga.
4. Disarankan agar pemerintah Kabupaten Banyumas memperhatikan
kondisi ibu yang tidak memiliki kepala keluarga lagi seperti Ibu
Maryati.
DAFTAR PUSTAKA

Bakri, S., Lawrence, G.S., 2008. Genetika Hipertensi. Dalam: Lubis, H.R., dkk.,
eds. 2008. Hipertensi dan Ginjal: Dalam Rangka Purna Bakti Prof. Dr. Harun
Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH. Medan: USU Press, 19-31.

Beguerie JR, Sabas M. Recurrent aphthous stomatitis. J Dermatology Nurses Assoc


2015; 7 (1): 8-12.

Bruch JM, Treister NS. Clinical oral medicine and pathology. New York: Humana
Press, 2010: 53.

Cawson RA, Odell EW. Oral pathology and oral medicine. Ed 7. Philadelphia:
Elsevier, 2008: 220-4.

Depkes RI. 2010. Jumlah kasus pneumonia pada balita menurut Provimsi dan
kelompok umur (http://www.depkes.go.id diakses tanggal 28 Mei 2018)

Departemen Kesehatan RI. 2004. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit


ISPA untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Jakarta: Depkes RI.

Depkes RI, 2006, Pharmaceutical Care untuk Hipertensi, Departemen Kesehatan


RI, Jakarta.

Depkes RI, 2007, Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut
Yang Cenderung Menjadi Epidemi Dan Pandemi Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan, http://www.who.int/esr/resouseces/puplications/csrpublications/
en/index7.html (diakses tanggal 28 Mei 2018)Jinba Y, Demitsu T. Oral
ulceration due to drug medication. J Dent Sci Review 2014; 50: 40-6.

Gunawan, S.G., R.S. Nafrialdi, dan Elysabeth. 2011. Farmakologi dan Terapi. Edisi
Ke-5 (cetak ulang dengan tambahan). Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Guyton, Arthur C. 2007 . Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta; EGC.

Langlais RP, Miller CS, Nield GJS. Lesi mulut yang sering ditemukan. Edisi 4.
Jakarta: EGC, 2013: 172.

Matute GR, Alonso ER. Recurrent aphthous stomatitis in rheumatology. Reumatol


Clin 2011; 7 (5): 323-8.

Messerli FH, Williams B, Ritz E. Essential hypertension. Lancet. 2007;


370(9587):591-603.Notoatmodjo, S. 2011. Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
Rineka Cipta

Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouquot JE. Oral and maxillofacial pathology.
Ed 3. Philadelphia: W. B. Saunders, 2008: 240, 331-6.
Panggabean, Marulam M. 2009. Penyakit Jantung Hipertensi dalam Ilmu Penyakit
Dalam : Edisi IV, Jilid II, Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI.

PERKI, 2015, Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular,


edisi pert., Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Jakarta.

Rahmawati, Hartono. 2012. Gangguan Pernafasan Pada Anak: ISPA. Yogyakarta:


Nuha Medika.

Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. Oral pathology: clinical pathologic correlation.
Ed 5. Philadelphia : Elsevier, 2008: 38-42.

Slebioda Z, Szponar E. Etiopathogenesis of recurrent aphthous stomatitis and the


role of immunologic aspect: literature review. Arch Immunol Ther Exp 2014;
62: 205-15.

Suling PL, Tumewo E, Soewantoro J, Y Anom, Darmanto AY. Angka kejadian lesi
yang diduga sebagai stomatitis aftosa rekuren pada mahasiswa program studi
kedokteran gigi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. J e-Gigi
2013;11 (2): 1-8.

Tandadjaja AK, Hernawan I, Jusri M. Pravalensi stomatitis aftosa rekuren pada


wanita yang masih mengalami menstruasi dengan siklus normal di RSGM
Universitas Airlangga bulan Juli-September 2014. O Med Dent J 2015; 7 (1):
61-5.

Ujevic A, Lugovic-Mihic L, Situm M, Ljubesic L, Mihic J, Troskot N. Aphthous


ulcers as a multifactorial problems. Acta Clin Croat 2013; 52: 213-21.

Vijayabala GS, Kalappanavar AN, Annigeri RG, Sudarshan R. Past and present
concept in the management of recurrent aphthous ulcers: a review. J Pharm
Biomed Sci 2013; 30(30): 40-9.

Woo SB, Greenberg MS. Ulcerative, vesicular, and bullous lesions. In: Burket’s
oral medicine. Edisi 11. Hamilton: DC Decker Inc, 2008: 57-60.

Yogasedara MA, Mariati NW, Leman MA. Angka kejadian stomatitis aftosa
rekuren (SAR) ditinjau dari faktor etiologi di RSGMP FK UNSRAT tahun
2014. J e-Gigi 2015; 3 (2): 278-4.

Yogiantoro, M., 2009. Hipertensi Esensial. In: Sudoyo, A.W., et al eds. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam 5th ed. Jilid II. Jakarta: Interna Publishing, 1079-1085
LAMPIRAN

Sudah di print dan acc oleh preseptor puskesmas, nanti akan digabung

Anda mungkin juga menyukai