Anda di halaman 1dari 3

Latar Belakang

Dewasa ini, penyakit tuberkulosis paru (TB), dengan angka kejadian dan
kematian yang tinggi sudah menjadi prioritas utama masalah kesehatan di dunia,
bahkan kasus ini sudah menjadi bagian “PR” masyarakat dunia untuk
mewujudkan tujuan eliminasi TB yang telah dicanangkan dalam Sustainability
Development Goals (SDGs), tak terkecuali pula di Indonesia, karena pada tahun
2016 menjadi lima negara tertinggi dalam insiden kasus TB yaitu dengan 10,4 juta
kasus insiden TB yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk (Kemenkes
RI, 2016).

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri


Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang organ paru,
namun juga dapat menyerang organ lainnya. Akibat faktor kekuatan kuman
tersebut, pasien TB dengan BTA positif dapat dengan cepat dan mudah
menularkan ke orang lain sehingga data menunjukkan bahwa setiap tahunnya rata-
rata 10 orang dari 1000 penduduk terinfeksi kuman TB.

Selain jumlah kasus TB yang menjadi masalah, pengobatan TB juga


menjadi masalah yang serius terkhusus di Indonesia. Tidak seperti penyakit pada
umumnya, yang mana durasi pengobatan TB cenderung lama yakni minimal 6
bulan dan dengan syarat tidak boleh berhenti serta rutin, ditambah lagi efek
samping obat yang kadang terasa tidak nyaman mengakibatkan pasien TB
melakukan putus obat di tengah perjalanan pengobatan TB. Hal tersebut memberi
dampak yang serius yaitu kuman akan lebih resisten terhadap beberapa obat anti
TB (OAT) atau kasus ini biasa disebut TB-MDR (Multi Drug Resistent) sehingga
penatalaksanaannya akan jauh lebih mahal dan rumit serta harapan kesembuhan
akan lebih menurun. Pada akhirnya, beban kesehatan di Indonesia akan semakin
meningkat terkait kasus TB-MDR.

Usaha yang telah dilaksanakan oleh pemerintah terkait tingginya angka


putus obat di Indonesia adalah dengan menggunakan strategi DOTS (Directly
Observed Treatmen Shortcourse) yaitu strategi pengobatan penyakit TB yang
komprehensif dan berkesinambungan. Menurut Bank Dunia, strategi tersebut
menjadi strategi yang cost effective dan cost benefit dalam memutuskan penularan
dan penuntasan TB. Salah satu permasalahan yang timbul dalam komponen
DOTS adalah terbatasnya PMO (Pengawas Menelan Obat) baik dari segi sumber
daya, tingkat pendidikan, latar belakang keluarga, dan kurangnya motivasi.
Keberadaan PMO dalam penuntasan kasus TB sangatlah vital karena terkait
dengan monitoring pengobatan pasien TB dan evaluasi pengobatan TB di layanan
kesehatan setempat. Maka dari itu, perlunya inovasi untuk meningkatkan peran
PMO, salah satunya dengan menggunakan teknologi berbasis aplikasi. Bentuk
layanan kesehatan masyarakat berbasis aplikasi dinilai efektif dan efisien dalam
menangani masalah kesehatan. Teknologi aplikasi gawai PMO mengambil
rujukan dari Buku Panduan Pengawas Menelan Obat Tuberculosis di Komunitas
(Penulis : Erwin Kurniasih, M.Kep. dan Hamidatus Daris S. M.Kep.) yang
nantinya disusun menjadi kueisoner dengan harapan memudahkan pasien TB dan
petugas kesehatan untuk monitoring pengobatan TB.

Tuberkulosis (TB)

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh


bakteri Mycobacterium tuberculosis yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan
Asam (BTA). Gejala utama pasien TB paru yaitu batuk berdahak selama 2
minggu atau lebih dapat juga disertai dengan keluhan sesak nafas, batuk
bercampur darah, nafsu makan turun, badan lemas, berat badan menurun
progresif, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, dan demam
meriang lebih dari satu bulan. Selain paru, kuman TB juga menyerang organ lain
seperti tulang, kulit, otak, saraf dan lain-lain yang mengakibatkan terjadinya
proses inflamasi pada organ yang diserang.

Faktor risiko penderita TB di Indonesia yang sering terjadi menurut hasil


penelitian Nurjana (2015) antara lain yaitu usia produktif, tingkat pendidikan yang
rendah, tingkat pengetahuan yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, faktor
lingkungan yang terpajan polusi bahan bakar, sanitasi yang buruk, rumah dengan
pencahayaan yang kurang, dan kebiasaan merokok.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Indonesia per 17 Mei 2018,
jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017
dengan perbandingan laki-laki 1,4 kali lebih banyak dibandingkan perempuan.
Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar asap rokok dan
kurangnya kepatuhan minum obat.

Anda mungkin juga menyukai