Disusun Oleh:
Nama: Jovanca Christy Amara Wibowo
NIM: 210106087
Mengetahui,
(Roro Lintang S., S. Kep., Ners, M. Kep) (Heru Purnawan J. W., S. Kep, M.M)
2. Etiologi
Hemoroid timbul karena dilatasi, pembengkakan atau inflamasi vena
hemoroidalis yang disebabkan oleh faktor-faktor risiko/pencetus, seperti:
a. Mengedan pada buang air besar yang sulit
b. Pola buang air besar yang salah (lebih banyak menggunakan jamban duduk, lebih
lama duduk dijamban sambil membaca,merokok)
c. Peningkatan penekanan intra abdomen karena tumor (tumor udud, tumor abdomen.
d. Kehamilan (disebabkan tekanan jenis pada abdomen dan perubahan hormonal)
e. Usia tua
f. Konstipasi kronik
g. Diare akut yang berlebihan dan diare kronik
h. Hubungan seks peranal
i. Kurang minum air putih makan makanan berserat (sayur dan buah)
j. Kurang olahraga/imobisasi Berdasarkan gambaran klinis hemoroid interna dibagi
atas:
1) Derajat 1 : Pembesaran hemoroid yang tidak prolaps ke luar kanal anus, hanya
dapat dilihat dengan anorektoskop 2.
2) Derajat 2 : Pembesaran hemoroid yang prolaps dan menghilang atau masuk
sendiri ke dalam anus secara spontan. 3.
3) Derajat 3 : Pembesaran hemoroid yang prolapse dapat masuk lagi ke dalam
anus dengan bantuan dorongan jari 4.
4) Derajat 4 : Prolaps hemoroid yang permanen. Rentan dan cenderung untuk
mengaladami thrombosis dan infark. Secara anoskopi hemoroid dapat dibagi atas:
• Hemoroid eksterna (diluar/dibawah linea dentate)
• Hemoroid interna (didalam/diatas linea dentate)
3. Klasifikasi
Hemoroid diklasifikasikan berdasarkan asalnya, dimana dentte line menjadi batas
hisologis. Klasifikasi hemoroid yaitu:
a. Hemoroid eksterna, berasal dari bagian distal dentate line dan dilapisi oleh epitel
skuamos yang telah termodifikasi serta banyak persyarafan serabut saraf nyeri
somatic.
b. Hemoroid internal, berasal dari bagian proksimal dentate line dan dilapisi mukosa.
b. Hemoroid internal-eksternal dilapisi oleh mukosa dibagian superior dan kulit pada
bagian inferior serta memiliki serabut saraf nyeri
5. Patofisiologi
Patofisiologi yang tepat dari perkembangan hemoroid kurang dipahami. Selama
bertahun-tahun teori varises, yang mendalilkan bahwa wasir disebabkan oleh varises di
saluran anus, telah populer tetapi sekarang sudah usang karena wasir dan varises
anorektal terbukti menjadi entitas yang berbeda. Faktanya, pasien dengan hipertensi
portal dan varises tidak memiliki peningkatan insiden wasir.
Saat ini, teori geser lapisan saluran anus diterima secara luas. Ini mengusulkan bahwa
wasir berkembang ketika jaringan pendukung bantal hancur atau memburuk. Oleh
karena itu, wasir adalah istilah patologis untuk menggambarkan perpindahan ke bawah
yang abnormal dari bantal anus yang menyebabkan dilatasi vena. Biasanya ada tiga
bantal anal utama, terletak di anterior kanan, posterior kanan dan aspek lateral kiri
saluran anus, dan berbagai jumlah bantal minor terletak di antara mereka. (Bantal
pasien dengan wasir menunjukkan perubahan patologis yang signifikan. Perubahan ini
termasuk dilatasi vena abnormal, trombosis vaskular, proses degeneratif pada serat
kolagen dan jaringan fibroelastik, distorsi dan pecahnya otot subepitel anal (Gambar
Selain temuan di atas, reaksi inflamasi parah yang melibatkan dinding pembuluh darah
dan jaringan ikat sekitarnya telah ditunjukkan pada spesimen hemoroid, dengan ulserasi
mukosa, iskemia dan trombosis terkait.
Beberapa enzim atau mediator yang melibatkan degradasi jaringan pendukung di bantal
anus telah dipelajari. Di antaranya, matriks metalloproteinase (MMP), proteinase yang
bergantung pada seng, adalah salah satu enzim yang paling kuat, yang mampu
mendegradasi protein ekstraseluler seperti elastin, fibronektin, dan kolagen. MMP-9
ditemukan diekspresikan secara berlebihan dalam wasir, sehubungan dengan
pemecahan serat elasti. Aktivasi MMP-2 dan MMP-9 oleh trombin, plasmin atau
proteinase lainnya mengakibatkan gangguan tempat tidur kapiler dan promosi aktivitas
angioproliferatif mengubah faktor pertumbuhan β (TGF-β).
Baru-baru ini, peningkatan kepadatan mikrovaskular ditemukan di jaringan hemoroid,
menunjukkan bahwa neovaskularisasi mungkin merupakan fenomena penting lain dari
penyakit hemoroid. Pada tahun 2004, Chung et al, melaporkan bahwa endoglin
(CD105), yang merupakan salah satu situs pengikatan TGF-β dan merupakan penanda
proliferatif untuk neovaskularisasi, diekspresikan dalam lebih dari setengah spesimen
jaringan hemoroid dibandingkan dengan tidak ada yang diambil dari mukosa anorektal
normal. Penanda ini secara mencolok ditemukan di venula yang lebih besar dari 100
μm. Selain itu, para pekerja ini menemukan bahwa kepadatan mikrovaskular meningkat
pada jaringan hemoroid terutama ketika trombosis dan faktor pertumbuhan endotel
vaskular stroma (VEGF) hadir. Han et al, juga menunjukkan bahwa ada ekspresi
protein terkait angiogenesis yang lebih tinggi seperti VEGF pada wasir.
Mengenai studi morfologi dan hemodinamik bantal anus dan wasir, Aigner et al
menemukan bahwa cabang terminal arteri rektum superior yang memasok bantal pada
pasien dengan wasir memiliki diameter yang jauh lebih besar, aliran darah yang lebih
besar, kecepatan puncak dan kecepatan percepatan yang lebih tinggi, dibandingkan
dengan sukarelawan yang sehat. Selain itu, peningkatan kaliber dan aliran arteri
berkorelasi baik dengan kadar wasir. Temuan abnormal ini masih tetap ada setelah
operasi pengangkatan wasir, mengkonfirmasikan hubungan antara hipervaskularisasi
dan perkembangan wasir.
Menggunakan pendekatan imunohistokimia, Aigner et al juga mengidentifikasi struktur
seperti sfingter, dibentuk oleh media tunika menebal yang mengandung 5-15 lapisan sel
otot polos, antara pleksus vaskular dalam ruang subepitel zona transisi anal pada
spesimen anorektal normal. Berbeda dengan spesimen normal, wasir mengandung
pembuluh darah yang sangat melebar dan berdinding tipis di dalam pleksus
arteriovenosa submukosa, dengan penyempitan seperti sfingter yang tidak ada atau
hampir rata pada pembuluh. Para peneliti ini menyimpulkan bahwa sfingter otot polos
di pleksus arteriovenosa membantu mengurangi aliran arteri, sehingga memfasilitasi
drainase vena yang efektif. Aigner et al kemudian mengusulkan bahwa, jika mekanisme
ini terganggu, hiperperfusi pleksus arteriovenosa akan menyebabkan pembentukan
wasir.
Berdasarkan temuan histologis dilatasi vena abnormal dan distorsi pada wasir,
disregulasi tonus vaskular mungkin memainkan peran dalam perkembangan hemoroid.
Pada dasarnya, otot polos pembuluh darah diatur oleh sistem saraf otonom, hormon,
sitokin dan endotelium di atasnya. Ketidakseimbangan antara faktor relaksasi yang
diturunkan endotelium (seperti oksida nitrat, prostasiklin, dan faktor hiperpolarisasi
yang diturunkan dari endotelium) dan faktor vasokonstriksi yang diturunkan dari
endotelium (seperti radikal oksigen reaktif dan endotelin) menyebabkan beberapa
gangguan pembuluh darah. Pada wasir, nitrat oksida sintase, enzim yang mensintesis
oksida nitrat dari L-arginin, dilaporkan meningkat secara signifikan.
Beberapa perubahan fisiologis pada saluran anus pasien dengan wasir telah diamati.
Sun et al, mengungkapkan bahwa tekanan anus istirahat pada pasien dengan wasir non-
prolaps atau prolaps jauh lebih tinggi daripada subjek normal, sedangkan tidak ada
perubahan signifikan pada ketebalan sfingter internal. Ho et al, melakukan studi
fisiologis anorektal pada 24 pasien dengan wasir prolaps dan dibandingkan dengan
hasil pada 13 subjek normal yang cocok dengan jenis kelamin dan usia. Sebelum
operasi, mereka yang menderita wasir memiliki tekanan anal istirahat yang jauh lebih
tinggi, kepatuhan rektal yang lebih rendah, dan keturunan perineum yang lebih banyak.
Kelainan yang ditemukan kembali ke kisaran normal dalam waktu 3 bulan setelah
hemoroidektomi, menunjukkan bahwa perubahan fisiologis ini lebih mungkin menjadi
efek, daripada penyebab, penyakit hemoroid.
6. Manifestasi Klinis
Menurut (Jitowiyono & Kristiyanasari, 2012) tanda dan gejala pada hemoroid yaitu :
a. Rasa gatal dan nyeri, bersifat nyeri akut. Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah
cedera akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki proses yang cepat dengan
intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan yang berlangsung sangat
singkat. (Andarmoyo, 2013).
b. Pendarahan berwarna merah terang pada saat pada saat BAB.
c. Pada hemoroid eksternal, sering timbul nyeri hebat akibat inflamasi dan edema yang
disebabkan oleh thrombosis (pembekuan darah dalam hemoroid) sehingga dapat
menimbulkan iskemia dan nekrosis pada area tersebut.
7. Komplikasi
Rektum akan relaksasi dan harsat untuk defekasi hilang apabila defekasi tidak
sempurna. Air tetap terus di absorsi dari masa feses yang menyebabkan feses menjadi
keras, sehingga defekasi selanjutnya lebih sukar. Tekanan fases berlebihan
menyebabkn kongesti vena hemoroidalis interna dan eksterna, dan merupakan salah
satu penyebab hemoroid (vena varikosa rektum). Daerah anorektal sering merupakan
tempat abses dan fistula, kanker kolon dan rektum merupakan kanker saluran cerna
yang paling sering terjadi pada penderita konstipasi. Komplikasi lain yang dapat terjadi
adalah: hipertensi arterial, impaksi fekal, fisura, serta mengakolon (Smeltzer & Bare,
2010)
a. Inkontinensia
b. Retensio urine
c. Nyeri luka operasi
d. Stenosisani
e. Perdarahan fistula & abses
f. Operasi= Infeksi dan edema pada luka bekas sayatan yang dapat menyebabkan
fibrosis
g. Non Operasi= Bila mempergunakan obat-obat flebodinamik dan sklerotika dapat
menyebabkan striktur ani.
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan colok dubur
Diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan karsinoma rektum, pada hemoroid
interna tidak dapat diraba sebab tekanan vena didalamnya tidak cukup tinggi dan
biasanya tidak nyeri
b. Anoskop
Diperlukan untuk melihat hemoroid interna yang tidak menonjol keluar
c. Proktokoresigmoidoskopi
Untuk memastikan bahwa keluhan bukan di sebabkan oleh proses radang atau proses
keganasan di tingkat yang lebih tinggi.
9. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan Konservatif
1) Koreksi konstipasi jika ada, meningkatkan konsumsi serat, laksatif, dan
menghindari obat-obatan yang dapat menyebabkan kostipasi seperti kodein.
(Daniel, W.J)
2) Perubahan gaya hidup lainya seperti meningkatkan konsumsi cairan, menghindari
konstipasi dan mengurangi mengejan saat buang air besar.
3) Kombinasi antara anestesi lokal, kortikosteroid, dan antiseptic dapat mengurangi
gejala gatal-gatal dan rasa tak nyaman pada hemoroid. Penggunaan steroid yang
berlama-lama harus dihindari untuk mengurangi efek samping. Selain itu
suplemen flavonoid dapat membantu mengurangi tonus vena, mengurangi
hiperpermeabilitas serta efek anti inflamasi meskipun belum diketahui bagaimana
mekanismenya (Acheson,A.G).
b. Pembedahan
Apabila hemoroid internal derajat 1 yang tidak membaik dengan penatalaksanaan
konservatif maka dapat dilakukan tindakan pembedahan. HIST (hemorrhoid institute
of south texas) menetapkan indikasi tatalaksana pembedahan hemoroid antara lain:
• Hemoroid internal derajat II berulang.
• Hemoroid derajat III dan IV dengan gejala.
• Mukosa rectum menonjol keluar anus.
• Hemoroid derajat I dan II dengan penyakit penyerta seperti fissure
a. Kontraindikasi relatif
• Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi).
• Infeksi sekitar tempat suntikan.
• Kelainan neurologis
• Kelainan psikis
• Penyakit jantung
• Hipovolemia ringan
• Nyeri punggung kronis
• Pasien tidak kooperatif
b. Kontraindikasi kontroversial
• Tempat penyuntikan yang sama pada operasi sebelumnya
• Ketidakmampuan komunikasi dengan pasien
• Komplikasi operasi
• Operasi yang lama
• Kehilangan darah yang banyak
• Manuver pada kompromi pernapasan
7. Rumatan Anestesi
Pilihan anestesi yang diambil untuk tindakan hemoroidektomi yaitu Anestesi
Spinal. Penyuntikan anestesi lokal ke dalam ruang subaraknoid disegmen lumbal 3-4
atau lumbal 4-5. Untuk mencapai ruang subaraknoid, jarum spinal menembus kulit
subkutan lalu menembus ligamentum supraspinosum, ligamen interspinosum,
ligamentum flavum, ruang epidural, durameter, dan ruang subaraknoid. Tanda
dicapainya ruang subaraknoid adalah dengan keluarnya liquor cerebrospinalis (LCS).
Menurut Latief (2010) anestesi spinal menjadi pilihan untuk operasi abdomen
bawah dan ekstermitas bawah. Teknik anestesi ini popular karena sederhana, efektif,
aman terhadap sistem saraf, konsentrasi obat dalam plasma yang tidak berbahaya serta
mempunyai analgesi yang kuat namun pasien masih tetap sadar, relaksasi otot cukup,
perdarahan luka operasi lebih sedikit, aspirasi dengan lambung penuh lebih kecil,
pemulihan saluran cerna lebih cepat (Longdong, 2011).
a. Buvipicain 12,5 mg
b. Paracetamol 500 mg
c. Ondansetron 4 mg
d. Oxytocin 20 mg
e. Methylergometrine 0,2 mg
f. Ketorolac 30 mg
g. Tramadol 50 mg
h. Sedacum
3. Rencana Intervensi
a. Pre Anestesi:
- Nyeri
Tujuan: Setelah dilakukan Askan selama fase pre anestesi, nyeri berkurang
Rencana Intervensi:
1) lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif (lokasi, karakteristik,
onset/durasi, frekuensi, kualitas dan intensitas nyeri).
2) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri
pasien.
3) Ajarkan teknik non-farmakologi (relaksasi napas dalam, distraksi, spiritual
emotional freedom technique (SEFT), genggam jari, terapi music, terapi
murotal, TENS, terapi benson, bimbingan imiginasi, dll)
4) Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgetik sesuai indikasi.
- RK Cedera Anestesi
Tujuan: Setelah dilakukan askan pada fase pra anestesi, cedera akibat anestesi
tidak terjadi di intra anestesi dan pasca anestesi
Rencana Intervensi:
1) OBS TTV
2) Kaji kesiapan pasien sebelum operasi, seperti: puasa, ganti baju, Latihan pra
anestesi, pastikan IV line lancer
3) Siapkan mesin anestesi
4) Identifikasi Hasil laboratorium
5) Edukasi persiapan tentang Tindakan anestesi Kepada pasien dan keluarga
pasien
6) Siapkan obat-obatan dna cairan sesuai jenis anestesi dan Statics
- RK Perdarahan
Tujuan: Setelah dilakukan askan pada fase pra anestesi, perdarahan tidak terjadi
atau teratasi.
Rencana Intervensi:
1) OBS TTV
2) Identfikasi Riwayat perdarahan
3) Monitor tanda dan gejala perdarahan
4) Monitor status oksigenasi pasien
5) Posisi daerah pedarahan lebih tinggi, Trendelenburg
6) Kolaborasi pemberian pengontrol perdarahan
b. Intra Anestesi:
- Risiko Cedera Trauma Fisik Pembedahan
Tujuan: Setelah dilakukan Askan selama fase intra anestesi, cedera trauma fisik
pembedahan tidak terjadi
Rencana Intervensi:
1) Obs kedalaman anestesi sesuai dengana plana 1-4
2) Obst rias anestesi
3) Pemberian O2 100% (pre oksigenasi)
4) Lakukan pengaturan posisi pasien
5) Kolaborasi dalam asuhan Tindakan anestesi umum
c. Pasca Anestesi:
- Risiko Jatuh
Tujuan: Setelah dilakukan Askan selama fase pasca anestesi, resiko jatuh tidak
terjadi.
Rencana Intervensi:
1) Identifikasi faktor risiko jatuh
2) Identifikasi karakteristik lingkungan yang dapat meningkatkan risiko jatuh
3) Identifikasi Riwayat dan indikasi penggunaan sedasi
4) Monitor Tingkat kesadaran
5) Monitor tanda-tanda vital
6) Pasang pengaman tempat tidur
- RK Perdarahan
Tujuan: Setelah dilakukan askan pada fase pra anestesi, perdarahan tidak terjadi
atau teratasi.
Rencana Intervensi:
1) OBS TTV
2) Identfikasi Riwayat perdarahan
3) Monitor tanda dan gejala perdarahan
4) Monitor status oksigenasi pasien
5) Posisi daerah pedarahan lebih tinggi, Trendelenburg
6) Kolaborasi pemberian pengontrol perdarahan
DAFTAR PUSTAKA