Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI


PASIEN Ny. T DILAKUKAN TINDAKAN OPERASI KISTATECTOMY
DENGAN TINDAKAN ANESTESI REGIONAL (SAB)
DI RUANG OK RS EMANUEL BANJARNEGARA
PADA TANGGAL 2/2/2024

Disusun Oleh:
Nama: Jovanca Christy Amara Wibowo
NIM: 210106087

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(Roro Lintang S., S. Kep., Ners, M. Kep) (Heru Purnawan J. W., S. Kep, M.M)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA
2024
A. KONSEP DASAR
1. Definisi

Salah satu jenis penyakit repoduksi yang paling umum dialami oleh wanita adalah
kista ovarium. Adanya pertumbuhan sel-sel otot polos pada ovarium yang jinak dikenal
sebagai gangguan yang disebut kista atau tumor. Namun, tidak menutup kemungkinan
bahwa itu dapat berubah menjadi tumor ganas atau kanker (Susanti, 2017). Kista ovarium
adalah pembesaran cairan dalam indung telur. Berbedanya mulai dari kurang dari 5 cm
hingga mencapai rongga perut, menyebabkan sesak napas (Manuaba, 2009). Perjalanan
penyakit ini, yang sering disebut sebagai pembunuh sillent atau secara diam-diam,
menyebabkan banyak wanita tidak menyadari bahwa mereka memiliki kista ovarium.
Mereka hanya mengetahuinya ketika kista telah teraba dari luar atau membesar (Susanti,
2017). Oleh karena itu, kista ovarium adalah tumor jinak yang menyebabkan benjolan
yang tidak biasa di bagian bawah perut dan berisi cairan abnormal berupa udara, nanah,
dan cairan kental.

2. Etiologi
Anggapan (pembentukan) hormon di hipotalamus, hipofisis, dan ovarium
menyebabkan kista ovarium (Setyorini, 2014 dalam Nurmansyah, 2019). Selain infeksi
bakteri dan virus yang menyebabkan penyumbatan pada saluran yang berisi cairan, zat
dioksin dari asap pabrik dan pembakaran gas bermotor adalah penyebab utama
tumbuhnya kista. Faktor makanan: lemak berlebihan atau tidak sehat yang menghambat
metabolisme, meningkatkan risiko timbulnya kista, dan faktor genetik. Menurut
Kurniawati et al. (2009), ada sejumlah penyebab yang mungkin terjadi, seperti:
a. Faktor internal
1) Faktor genetik: Makanan yang bersifat karsinogen, polusi, dan paparan radiasi
dapat menyebabkan gen protoonkogen di dalam tubuh manusia yang dapat
menyebabkan kanker.
2) Gangguan hormon: Orang dengan kelebihan hormon estrogen atau progesteron
dapat mengembangkan penyakit kista.
3) Riwayat kanker kolon: Orang dengan riwayat kanker kolon berisiko
mengembangkan penyakir kista. Dalam hal ini, kanker dapat menyebar secara
merata ke bagian alat reproduksi lainnya.

b. Faktor eksternal
1) Olahraga sangat penting untuk kesehatan manusia. Apabila Anda tidak berolahraga
sering, lemak akan tersimpan di dalam tubuh dan menumpuk di jaringan tubuh,
menghalangi peredaran darah karena jaringan lemak yang tidak dapat berfungsi.
2) Merokok dan konsumsi alkohol: Setiap orang merokok dan mengkonsumsi
alkohol, yang merupakan gaya hidup yang tidak sehat. Gaya hidup ini dapat
menyebabkan masalah kesehatan seperti kanker, peredaran darah tersumbat,
kemandulan, cacat janin, dan banyak lagi.
3) Mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan serat: Gaya hidup yang tinggi lemak dan
serat, bersama dengan merokok dan alkohol, adalah gaya hidup yang tidak sehat.
Makanan yang tinggi serat dan lemak dapat menghambat saluran pencernaan dalam
peredaran darah atau sel-sel darah tubuh manusia, menyebabkan sistem kerja tubuh
tidak berfungsi dengan baik.
4) Sosial Ekonomi Rendah: Sosial ekonomi rendah adalah salah satu faktor penyebab
kista, tetapi sosial ekonomi yang tinggi juga memungkinkan terkena penyakit kista.
Namun, baik sosial ekonomi rendah maupun tinggi, pola hidup sehat dapat
meningkatkan risiko terkena kista.
5) Risiko penyakit kista meningkat sebagai akibat dari stres sering. Ini karena dalam
situasi stres, orang cenderung melakukan hal-hal yang tidak sehat, seperti merokok,
minum alkohol, dan berhubungan seks bebas, antara lain.

3. Klasifikasi
Klasifikasi Menurut Anwar (2017), tumor kista ovarium yang jinak dibagi menjadi
dua kategori: non-neoplastik (bukan neoplastik) dan neoplastik (bukan neoplastik). Kista
ovarium non-neoplastik dapat diklasifikasikan sebagai:
a. Kista Ovarium Non-neoplastik
1) Kista Folikel: Kista folikel adalah struktur fisiologis normal yang muncul karena
folikel tidak dapat menyerap cairan secara sempurna. Kista folikel dapat tumbuh
menjadi besar setiap bulannya sehingga banyak folikel mati dan ovum mati. Ini
dapat terjadi pada wanita muda yang masih menstruasi. Kista folikel berdiameter
2 cm dan biasanya tidak menimbulkan gejala. Mereka dapat menghilang dalam
waktu 4 cm atau hilang sendiri dengan penggunaan kontrasepsi oral selama 48
minggu.
2) Kista lutein: Kista ini dapat muncul selama kehamilan, tetapi lebih jarang terjadi di
luar kehamilan. Kista luteum sebenarnya biasanya berasal dari corpus luteum
hematoma. Selama proses vaskularisasi, ruang corpus selalu mengalami
perdarahan. Dalam kasus perdarahan yang sangat besar, terbentuk hematoma di
korpus leteum yang berdinding tipis dan berwarna kekuning-kuningan. Gejala
biasanya mirip dengan kehamilan ektopik.
3) Kista stain levental ovarium: Biasanya kedua ovarium membesar, bersifat
polykistik, memiliki permukaan rata dan berdinding tebal. Tunika yang tebal dan
fibrotik akan terlihat saat diperiksa dengan mikroskop. Korpus luteum tidak terlihat
di bawahnya, tetapi folikel dalam berbagai stadium terlihat. Secara klinis
menunjukkan gejala yang disebut stain-leventhal syndrome, dan kondisi ini adalah
penyakit autosomal dominant yang dibawa dari nenek moyang.
4) Kista Korpus Luteum: Jenis kista ini jarang terjadi. Kista korpus luteum
berdiameter 10 cm dan lebih dari 3 cm. Selama pelepasan sel telur, dapat terjadi
perdarahan, yang menyebabkan pembentukan kista, yang seringkali memerlukan
operasi untuk menyembuhkannya. Selama 1460 hari setelah periode menstruasi
terakhir, rasa sakit yang parah di rongga panggul adalah gejala yang paling umum
dari kista tersebut.

b. Kista Ovarium Neoplastik


1) Kistoma Ovarium Simpleks Kista ini memiliki permukaan yang halus dan rata,
seringkali bertangkai, dan dapat menjadi besar. Di dalam kista, dinding tipis dan
cairan berwarna putih. Pengangkatan kista bersama dengan reseksi ovarium adalah
bagian dari terapi. Namun, jaringan yang dikeluarkan harus segera diperiksa secara
histologik untuk memastikan apakah ada keganasan (Setiati, 2009 dalam
Dzahiruddin, 2012).
2) Kista Dermoid: Ini adalah terotoma kistik yang jinak. Stuktur ektodermal, seperti
epital kulit, rambut, gigi, dan produk glandula sebasea berwarna putih kuning
menyerupai lemak, lebih menonjol daripada struktur entoderm dan mesoderm.
Kista dermoid tidak memiliki tanda-tanda tertentu. Dinding kista agak tipis dan
berwarna putih keabu-abuan. Tumor pada bagian tertentu padat dan kistik kenyal.
Menurut Anwar (2017), itu tampak seperti kista berongga satu.
3) Kista Endometriois: Kista ini muncul bersamaan dengan pertumbuhan lapisan
endometrium setiap bulan, menyebabkan nyeri yang signifikan, terutama saat
menstruasi dan infertilitas (Setyorini, 2014).
4) Kista Denoma Ovarium Musinosum: Sumber tumor ini belum diketahui. Namun,
kista tersebut dapat berasal dari teroma, yaitu ketika satu elemen menghancurkan
elemen lain selama pertumbuhan. Lapisan germinativum juga menyebabkan kista
tersebut. Penangan mencakup pemotongan tumor. Pengangkatan ovarian dan tuba
biasanya dilakukan (salpingo-ooforektomi) jika tumor sudah cukup besar untuk
meninggalkan sisa ovarium yang normal (Rasjidi, 2010).
5) Kista denoma Ovarium Serosum: Kista ini biasanya tidak begitu besar jika
dibandingkan dengan kista denoma musinosum. Permukaan tumor biasanya licin,
dan kista serosum dapat berbentuk multilokuler, meskipun biasanya hanya
memiliki satu lubang. Terapi untuk kista denoma musinosum biasanya sama. Untuk
mengurangi kemungkinan keganasan, tumor yang dikeluarkan harus dievaluasi
secara menyeluruh. Dalam beberapa kasus, bahkan diperlukan untuk memeriksa
sediaan yang dibekukan selama prosedur operasi untuk menentukan langkah-
langkah selanjutnya yang harus diambil selama prosedur (Rasjidi, 2010).

4. Anatomi dan Fisiologi


a. Anatomi Reproduksi Wanita
Alat reproduksi Wanita dibagi dua, yaitu:
• Alat reproduksi ekterna:
1) Mons Veneri
Daerah diatas simfisis yang akan ditumbuhi rambut kemaluan (Pubes) rambut
ini tumbuh membentuk sudut lengkung
2) Labia Mayora
Berada dibagian kanan dan kiri berbentuk lonjong yang pada Wanita menjelang
dewasa ditumbuhi juga oleh rambut kemaluan
3) Labia Minora
Bagian dalam dari bibir yang berwarna merah jambu, disini dijumpai frenulum,
klitoris, preputium dan prenulum prudanti
4) Klitoris
Besarnya kira-kira sekacang hijau dan ditutupi oleh frenulum klitoris. Glans
Klitoris berisi jaringan yang dapat berereksi sifatnya amat sensitive karena
banyak memiliki serabut saraf
5) Vulva
Alat kandungan luar yang berbentuk lonjong berukuran panjang mulai dari
klitoris dari kiri dibatasi bibir kecil sampai belakang dibatasi perineum
6) Vestibulum
Tertelak dibawah selaput lender vulva, terdiri dari bulbus vestibula dan kiri
disini dijumpau vestibule mayor (kelenjar barholini) dan kelenjar vestibulum
minor
7) Hymen
Merupakan selaput yang menutupi intrabus vagina berbentuk berlubang
membentuk semilunaris, anularis tapisan. Bila tidak berlubang disebut atresia
himenalis atau hymen impeforata
8) Lubang Kemih
Tempat keluarnya air kembih yang terletak dibagain bawah klitoris disekitar
lubang kemih bagian kiri dan kanan lubang kelenjar skene
9) Perineum
Terletak diantara vulva dan anus

• Alat reproduksi interna


1) Vagina
Liang atau saluran yang mebhubungkan vulva dengan Rahim terletak diantara
saluran kemih dan liang dubur. Dibagian ujung atasnya terletak mulut Rahim.
Ukuran panjang dinding depan 8 cm dan dinging belakang 10 cm. Bentuk
dinding dalamnya berlipat-lipat disebut rugae sedangkan ditengahnya ada
bagian yang lebih keras disebut kolumna ruganum. Dinding vagina terdiri dari
lapisan mukosa, lapiran otot dan lapisan jaringan ikat
2) Uterus
Suatu struktur otot yang kuat dengan peritoneum di bagian luarnya dan
mukosa rahim di bagian dalamnya. Rahim, yang mirip dengan bola lampu pijar
atau buah pear, memiliki rongga yang terdiri dari tiga bagian dasar: korpus
uteri (badan rahim) berbentuk segitiga, serviks uteri (leher rahim) dan kavum
uteri (rongga rahim). Tergantung pada usia dan apakah Anda pernah
melahirkan atau tidak, besar rahim berbeda. Seukuran telur ayam kampung.
Ukuran nulipara adalah 5,5–8 cm x 3,5–4 cm x 2–2,5 cm, sedangkan multipara
adalah 9–9,5 cm x 5,5–6 cm x 3–3,5 cm. Dinding rahim terdiri dari tiga lapisan
secara histologic. Lapisan serosa (peritoneum) di luar, lapisan otot
(miometrium) di tengah, dan lapisan mukosa (endometrium) di dalam. Baik
perspektif dan posisi rahim di rongga panggul diidentifikasi dengan baik
karena disokong dan dipertahankan oleh : Tonus rahim sendiri, tekanan intra
abdominal, otot-otot dasar panggul, ligamen-ligamen.
3) Tuba Fallopi
Saluran yang keluar dari kornu rahim kanan dan kiri panjangnya 12–13 cm
dan diameternya 3–8 mm. Peritoneum viseral merupakan bagian dari
ligamentum latum di bagian luarnya. Silia, yaitu rambut getar, melapisi bagian
dalam saluran. Silia berfungsi untuk mengangkut telur dan hasil konsepsi.
Saluran telur terdiri dari empat bagian: Paris intertisialis (intramularis), pars
ismika, yang merupakan bagian tengah saluran telur yang sempit, pars
ampularis, di mana biasanya terjadi pembuahan (konsepsi), dan infundibulum,
yang merupakan ujung saluran telur yang terbuka kerongga perut. Di
infudibulum terdapat fimbriae yang membantu menangkap sel telur (ovum)
untuk dimasukkan ke dalam tuba.
4) Ovarium
Dua indung telur tergantung di belakang lig latum di kanan dan kiri rahim,
tertutup mesovarium. Bentuknya mirip dengan buah almond, dan ukurannya
kira-kira 2,5 hingga 5 cm, 1,5 hingga 2 cm, dan 0,6 hingga 1 cm.
Mesovarium lig. Ovarika dan lig. Infundibulopelvikum mendukung posisi
indung telur ini.

b. Fisiologi Alat Reproduksi


a. Vagina
Fungsi penting vagina, yaitu: Saluran keluar untuk mengeluarkan darah haid dan
secret lain dari Rahim, alat untuk besenggama, jalan lahir pada waktu persalinan
secara normal.
b. Uterus
Fungsi utama uterus (Rahim), yaitu: setiap bulan berfungsi untuk siklus haid,
tempat janin tmbuh dan berkembang, dan berkontraksi terutama sewaktu bersalin
dan sesudah bersalin.
c. Tuba Fallopi
Fungsi utama saluran telur, yaitu: Sebagaian saluran telur menangkap dan
membawa ovum.
d. Ovarium
Fungsi utama indung telur, yaitu: menghasilkan sel telur (ovum), Menghasilkan
hormon-hormon (progesterone dan estrogen), dan ikut serta mengatur haid.

5. Patofisiologi
Banyak tumor tidak menunjukkan gejala, terutama tumor ovarium kecil. Sebagian
besar gejala dan tanda disebabkan oleh pertumbuhan, aktivitas endokrin, dan komplikasi
tumor.
a. Akibat pertumbuhan: Tumor di perut bagian bawah dapat menyebabkan pembenjolan
perut. Tumor menekan alat-alat di sekitarnya karena besarnya atau lokasinya di perut.
Apabila tumor mendesak kandung kemih dan dapat menyebabkan gangguan miksi,
sedangkan kista yang lebih besar tetapi tidak terikat di rongga perut kadang-kadang
hanya membuat perut berat dan dapat menyebabkan obstipasi edema pada tungkai.
b. Karena aktivitas hormonal tumor ovarium, pola haid tidak diubah kecuali tumor
mengeluarkan hormonnya sendiri.
c. Dampak dari Perubahan
1) Perdarahan ke dalam kista biasanya muncul secara bertahap, membengkak dan
tidak menimbulkan gejala. Akan tetapi banyak perdarahan dapat menyebabkan
sakit perut.
2) Putaran tangkai terjadi pada tumor dengan diameter 5 cm atau lebih. Ini menarik
peritoneum parietal melalui ligamentum infundibulopelvikum.
3) Sumber kuman pathogen yang dekat dengan tumor dapat menyebabkan infeksi.
Penanahan cenderung menyebabkan kista dermoid menjadi peradangan.
4) Dinding kista dapat robek jika tangkai tertekan. Ini juga dapat terjadi karena
trauma, seperti jatuh atau dipukul, yang lebih sering terjadi saat berhubungan
seksual. Jika robekan kista disertai dengan hemoragi yang cepat, perdarahan bebas
memasuki uterus ke dalam rongga peritoneum, menyebabkan nyeri dan gejala
abdomen akut.
5) Perubahan keganasan: Setelah tumor diangkat, pemeriksaan mikroskopis yang
cermat diperlukan untuk menemukan kemungkinan perubahan keganasan yang
mungkin terjadi. Bahwa ada asites dalam hal ini sangat mencurigakan
(Wiknjosastro, 2005 dalam nurmansyah, 2019). Kista dermoid adalah tumor yang
biasanya menghilang selama ovulasi dan diduga berasal dari bagian ovum. Mereka
terdiri dari sel-sel embrional yang pada awalnya tidak dapat diidentifikasi karena
tidak berdiferensiasi. Kista ini tumbuh dengan lambat dan muncul selama prosedur
pembedahan dengan material sebasea kental berwarna kuning yang timbul dari
lapisan kulit. Hanya satu jenis lesi yang dapat terjadi adalah kista dermoid. Banyak
jenis yang berbeda dapat terjadi, dan pengobatannya berbeda-beda (Smeltzer and
Bare, 2001).

6. Manifestasi Klinis
Sebagian besar kista ovarium tidak menimbulkan gejala, atau hanya sedikit nyeri
yang tidak berbahaya. Namun, kista yang berkembang menjadi besar dan sangat sakit.
Karena gejalanya mungkin mirip dengan kondisi lain seperti endometriosis, radang
panggul, kehamilan ektopik (di luar rahim) atau kanker ovarium, pemastian penyakit
tidak biasa didasarkan pada gejala saja. Meskipun demikian, sangat penting untuk
mengamati setiap perubahan atau gejala yang muncul di tubuh Anda untuk menentukan
apakah gejala tersebut serius atau tidak (Wiknjosastro, 2007 dalam Dzahiruddin, 2012).
Kista ovarium dapat menyebabkan gejala berikut:
1) Perut terasa penuh, berat, dan kembung.
2) Tekanan pada dubur dan kandung kemih, yang menyebabkan kesulitan buang air
kecil.
3) Haid yang tidak teratur.
4) Nyeri panggul yang menetap atau kambuhan yang dapat menyebar ke kepanggul
bawah dan paha.
5) Nyeri saat senggama.
6) Mual, ingin muntah, atau pergeseran payudara mirip seperti pada saat hamil.

7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada kista ovarium adalah sebagai berikut:
a. Perdarahan ke dalam kista, yang biasanya terjadi secara teratur dan sedikit-sedikit,
yang dapat menyebabkan pembesaran kista dan menyebabkan anemia (kurang darah).
b. Putaran tangkai: Ini dapat terjadi pada tumor bertangkai dengan diameter 5 cm atau
lebih. Ini mengganggu sirkulasi secara cepat dan menyebabkan nekrosis.
c. Robek dinding kista, yang terjadi karena torsi tangkai tetapi juga dapat terjadi karena
trauma, seperti jatuh atau dipukul pada perut, dan lebih sering terjadi saat
berhubungan seks.
d. Perubahan yang mengarah pada keganasan atau infeksi seperti merah, panas, bengkak,
dan nyeri.
e. Gejala penekanan tumor fibroid mungkin termasuk konstipasi.

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan medis yang dilakukan atas indikasi tertentu untuk memperoleh
ketarangan yang lebih lengkap dikenal sebagai pemeriksaan penunjang. Dalam kasus
kista ovarium, beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan, antara lain:
1) Laparaskopi: Menentukan asal dan sifat tumor, apakah itu berasal dari ovarium atau
tidak, dan apakah itu kistik atau solid.
2) Ultrasonografi (USG): Menentukan lokasi, batas, dan permukaan tumor melalui
abdomen atau vagina, apakah itu berasal dari ovarium, uterus, atau kandung kemih,
dan apakah itu kistik atau solid.
3) Foto rontgen: Menentukan apakah
4) Pemeriksaan darah: Protein CA 125, yang dikenal sebagai petanda tumor atau tumor
marker, terkonsentrasi tinggi pada sel tumor, terutama yang berkaitan dengan kanker
ovarium. Lalu, sel tersebut diproduksi oleh sel jinak sebagai respon terhadap
keganasan.

9. Penatalaksanaan Medis
Pilihan pengobatan yang mungkin disarankan adalah sebagai berikut:
1) Pendekatan, di mana pasien memilih pengobatan nyeri dengan analgetik atau tindakan
kenyamanan, seperti kompres hangat pada abdomen dan teknik relaksasi napas dalam
(Prawirohardjo, 2011 dalam Laelati, 2017).
2) Pasien dengan penyakit kista dapat diberi obat anti inflamasi non steroid, seperti ibu
profen (Manuaba, 2009 dalam Laelati, 2017).
3) Pembedahan: Jika kista tidak menghilang setelah beberapa episode menstruasi yang
lebih lama, dokter harus mengangkatnya setelah pemeriksaan ultrasound. Laparatomi
dan laparaskopi adalah dua prosedur pembedahan utama (Yatim, 2008).

Prinsip-prinsip pengobatan kista dengan operasi adalah sebagai berikut:


1) Dokter biasanya melakukan operasi dengan laparaskopi jika kistanya kecil (misalnya
sebesar permen) dan tidak ada tanda-tanda keganasan pada pemeriksaan sonogram.
Menurut Yatim (2008), alat laparaskopi dimasukkan ke dalam rongga panggul melalui
sayatan kecil pada dinding perut. Sayatan ini dilakukan searah dengan garis rambut
kemaluan.
2) Pengangkatan kista yang agak besar (lebih dari 5 cm) biasanya dilakukan dengan
laparatomi. Metode ini melibatkan pembiusan total. Kista dapat diperiksa dengan
laparatomi untuk mengetahui apakah ada proses keganasan, atau kanker, di dalamnya.
Operasi mengangkat ovarium, saluran tuba, jaringan lemak sekitar, dan kelenjar limfe
jika sudah berada dalam fase keganasan (Yatim, 2008).
3) Perawatan luka insisi/pasca operasi Beberapa prinsip yang perlu diimplementasikan
antara lain:
a. Pada hari pertama setelah operasi, balutan dari kamar operasi dapat dibuka.
b. Pasien harus mandi di kamar mandi bila memungkinkan.
c. Luka harus diperiksa setelah operasi dan setiap hari selama masa pasca operasi
sampai ibu pulang atau dirujuk.
d. Jika dibutuhkan, balutan yang digunakan harus sesuai dan tidak lengket.
e. Pembalutan dilakukan melalui pendekatan aseptic.

10. Pencegahan Kista Ovarium


Menurut Nugroho (2014), ada beberapa cara untuk mencegah penyakit kista:
a. Mengonsumsi banyak sayuran dan buah karena mengandung banyak vitamin dan
mineral yang meningkatkan stamina tubuh.
b. Menjaga pola hidup sehat, terutama menghindari rokok dan berolahraga secara teratur.
Menjaga kebersihan area kewanitaan, karena ini membantu mencegah infeksi bakteri
dan mikroorganisme.
c. Mengurangi makanan berkadar lemak tinggi. Konsumsi makanan berkadar lemak
tinggi dapat menyebabkan gangguan hormon, terutama gangguan hormon kortisol,
yang dapat menyebabkan stres dan obesitas.
d. Penggunaan pil KB oral yang mengandung hormon estrogen dan progesteron dapat
mengurangi risiko kista karena mampu mencegah produksi sel telur.
11. Web of Caution (WOC)
B. TEKNIK ANESTESI
1. Regional Anestesi
Tindakan Anestesi adalah suatu tindakan medis, yang dikerjakan secara sengaja
pada pasien sehat ataupun disertai penyakit lain dengan derajat ringan sampai berat
bahkan mendekati kematian. Tindakan ini harus sudah memperoleh persetujuan dari
dokter Anestesi yang akan melakukan tindakan tersebut dengan mempertimbangkan
kondisi pasien, dan memperoleh persetujuan pasien atau keluarga, sehingga tercapai
tujuan yang diinginkan yaitu pembedahan, pengelolaan nyeri, dan life support yang
berlandaskan pada “patient safety”.
Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis kegunaannya dibagi
menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran, sedangakan anestesi regional
dan anestesi local menghilangya rasa nyeri disatu bagian tubuh saja tanpa menghilangnya
kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012).
2. Jenis Regional Anestesi
a. Regional Anestesi
Anestesi regional merupakan suatu metode yang bersifat sebagai analgetik.
Anestesi regional hanya menghilangkan nyeri tetapi pasien tetap dalam keadaan sadar.
Oleh sebab itu, teknik ini tidak memenuhi trias anestesi karena hanya menghilangkan
persepsi nyeri saja (Pramono, 2017). Jenis Anestesi Regional menurut Pramono
(2017) digolongkan sebagai berikut:
• Anestesi Spinal
Penyuntikan anestesi lokal ke dalam ruang subaraknoid disegmen lumbal 3-4 atau
lumbal 4-5. Untuk mencapai ruang subaraknoid, jarum spinal menembus kulit
subkutan lalu menembus ligamentum supraspinosum, ligamen interspinosum,
ligamentum flavum, ruang epidural, durameter, dan ruang subaraknoid. Tanda
dicapainya ruang subaraknoid adalah dengan keluarnya liquor cerebrospinalis
(LCS).
Menurut Latief (2010) anestesi spinal menjadi pilihan untuk operasi abdomen
bawah dan ekstermitas bawah. Teknik anestesi ini popular karena sederhana,
efektif, aman terhadap sistem saraf, konsentrasi obat dalam plasma yang tidak
berbahaya serta mempunyai analgesi yang kuat namun pasien masih tetap sadar,
relaksasi otot cukup, perdarahan Iuka operasi lebih sedikit, aspirasi dengan
lambung penuh lebih kecil, pemulihan saluran cerna lebih cepat (Longdong, 2011).
Anestesi spinal memiliki komplikasi. Beberapa komplikasi yaitu hipotensi terjadi
20-70% pasien, nyeri punggung 25% pasien, kegagalan tindakan spinal 317%
pasien dan post dural punture headache di Indonesia insidensinya sekitar 10% pada
pasien paska spinal anestesi (Tato, 2017).
b. Anestesi Epidural
Anestesi yang menempatkan obat di ruang epidural (peridural, ekstradural).
Ruang ini berada di antara ligamentum flavum dan durameter. Bagian atas berbatasan
dengan foramen magnum di dasar tengkorak dan bagian bawah dengan selaput
sakrokoksigeal. Kedalaman ruang rata-rata 5 mm dan di bagian posterior kedalaman
maksimal terletak pada daerah lumbal. Anestetik lokal di ruang epidural bekerja
langsung pada saraf spinal yang terletak di bagian lateral. Onset kerja anestesi epidural
lebih lambat dibanding anestesi spinal. Kualitas blokade sensoris dan motoriknya
lebih lemah. (Tato, 2017).
3. Teknik Anestesi
Anestesi Spinal Penyuntikan anestesi lokal ke dalam ruang subaraknoid disegmen
lumbal 3-4 atau lumbal 4-5. Untuk mencapai ruang subaraknoid, jarum spinal menembus
kulit subkutan lalu menembus ligamentum supraspinosum, ligamen interspinosum,
ligamentum flavum, ruang epidural, durameter, dan ruang subaraknoid. Tanda dicapainya
ruang subaraknoid adalah dengan keluarnya liquor cerebrospinalis (LCS).
Menurut Latief (2010) anestesi spinal menjadi pilihan untuk operasi abdomen
bawah dan ekstermitas bawah. Teknik anestesi ini popular karena sederhana, efektif,
aman terhadap sistem saraf, konsentrasi obat dalam plasma yang tidak berbahaya serta
mempunyai analgesi yang kuat namun pasien masih tetap sadar, relaksasi otot cukup,
perdarahan Iuka operasi lebih sedikit, aspirasi dengan lambung penuh lebih kecil,
pemulihan saluran cema lebih cepat (Longdong, 2011).
Anestesi spinal memiliki komplikasi. Beberapa komplikasi yaitu hipotensi terjadi
20-70% pasien, nyeri punggung 25% pasien, kegagalan tindakan spinal 3-17% pasien
dan post dural punture headache di Indonesia insidensinya sekitar 10% pada pasien paska
spinal anestesi (Tato, 2017).
4. Indikasi Regional Anestesi
Anestesi Menurut Latief (2010) indikasi dari tindakan spinal anestesi sebagai
berikut:
• Pembedahan pada ektermitas bawah.
• Pembedahan pada daerah panggul
• Tindakan sekitar rektum-perineum
• Pembedahan perut bagian bawah
• Pembedahan obstetri-ginekologi
• Pembedahan urologi
• Pada bedah abdomen bagian atas dan bedah pediatrik, dikombinasikan dengan
anestesi umum ringan
5. Kontraindikasi Regional Anestesi
a. Menurut Morgan (2013) kontraindikasi spinal anestesi digolongkan sebagai berikut:
• Kontraindikasi absolut
• Pasien menolak
• Infeksi pada tempat daerah penyuntikan
• Hipovolemia berat, syok.
• Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
• Tekanan intrakranial meninggi
• Fasilitas resusitasi minim
• Kurang pengalaman / tanpa didampingi konsultan anestesia

a. Kontraindikasi relatif
• Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi).
• Infeksi sekitar tempat suntikan.
• Kelainan neurologis
• Kelainan psikis
• Penyakit jantung
• Hipovolemia ringan
• Nyeri punggung kronis
• Pasien tidak kooperatif

b. Kontraindikasi kontroversial
• Tempat penyuntikan yang sama pada operasi sebelumnya
• Ketidakmampuan komunikasi dengan pasien
• Komplikasi operasi
• Operasi yang lama
• Kehilangan darah yang banyak
• Manuver pada kompromi pernapasan

6. Resiko Regional Anestesi


a. Resiko yang terjadi post anestesi spinal yaitu :
1) Rasa nyeri dan sakit kepala
2) Hipotensi
3) Penurunan suhu tubuh hingga hipotermia
4) Perdarahan
5) Keracunan bahan anestetik
6) Reaksi alergi
7) Infeksi tulang belakang
8) Infeksi selubung otak (meningitis)
9) Kegagalan fungsi sistem pernapasan

7. Rumatan Anestesi
Pilihan anestesi yang diambil untuk tindakan kistatektomi yaitu Anestesi Spinal.
Penyuntikan anestesi lokal ke dalam ruang subaraknoid disegmen lumbal 3-4 atau lumbal
4-5. Untuk mencapai ruang subaraknoid, jarum spinal menembus kulit subkutan lalu
menembus ligamentum supraspinosum, ligamen interspinosum, ligamentum flavum,
ruang epidural, durameter, dan ruang subaraknoid. Tanda dicapainya ruang subaraknoid
adalah dengan keluarnya liquor cerebrospinalis (LCS).
Menurut Latief (2010) anestesi spinal menjadi pilihan untuk operasi abdomen
bawah dan ekstermitas bawah. Teknik anestesi ini popular karena sederhana, efektif,
aman terhadap sistem saraf, konsentrasi obat dalam plasma yang tidak berbahaya serta
mempunyai analgesi yang kuat namun pasien masih tetap sadar, relaksasi otot cukup,
perdarahan luka operasi lebih sedikit, aspirasi dengan lambung penuh lebih kecil,
pemulihan saluran cerna lebih cepat (Longdong, 2011).
a. Buvipicain 12,5 mg
b. Paracetamol 500 mg
c. Ondansetron 4 mg
d. Oxytocin 20 mg
e. Methylergometrine 0,2 mg
f. Ketorolac 30 mg
g. Tramadol 50 mg
h. Sedacum

C. Tinjauan Teori Askan Pembedahan Khusus


1. Pengkajian
Pada anamnesis yang dikaji adalah keluhan utama, riwayat penyakit sekarang dan
riwayat terdahulu Riwayat kesehatan pasien, yang terdiri atas:
• Riwayat penyakit sekarang
• Riwayat pembedahan
• Pengkajian AMPLE
• keadaan umum, pemeriksaan 6B meliputi: BREATH, BOOD, BRAIN, BLADDER,
BOWEL dan BONE: dalam batas normal
• Pemeriksaan laboratorium
• Pemeriksaan Radiologi
• Terapi saat ini: RL
• Kesimpulan status fisik ASA 2
• Pertimbangan Anestesi

2. Masalah Kesehatan Anestesi


a. Pre Anestesi
Cemas: Keadaan Ketika individua tau mengalami perasaan gelisah (Kekhawatiran)

dan aktivitasi sistem saraf otonom sebagai respons terhadap ancaman yang tidak

jelas dan non-spesifik.

- RK Cedera Anestesi: Kondisi yang sedang dan atau beresiko yang tidak
dikehendaki sehingga menyebabkan gangguan fungsi tubuh akibat anestesi.
b. Intra Anestesi
- Risiko Cedera Trauma Fisik Pembedahan: Kondisi Ketika individu beresiko
mengalami kerusakan jaringan selama intra anestesi.
- RK gangguan fungsi Kardiovaskular: Kondisi yang sedang dan atau beresiko
mengalami ketidakmampuan fungsi jantung dan pembuluh darah dalam
pencapaian homeostatis.
RK Perdarahan: Kondisi yang sedang dan/atau beresiko mengalami terjadinya

penurunan volume darah sehingga menggangu hemodinamik.

c. Pasca Anestesi
- Risiko Jatuh: Kondisi ketidak individu rentan untuk terjatuh yang menyebabkan
kerusakan fisik.
- RK gangguan fungsi Kardiovaskular: Kondisi yang sedang dan atau beresiko
mengalami ketidakmampuan fungsi jantung dan pembuluh darah dalam
pencapaian homeostatis.
- RK Shivering: Kondisi yang sedang dan atau berisiko terjadi peningkatan aktivitas
otot yang tidak terkendali dan atau berulang-ulang.
3. Rencana Intervensi
a. Pre Anestesi:
- Cemas
Tujuan: Setelah dilakukan Askan selama fase pre anestesi, diharapkan cemas
berkurang/hilang.
Rencana Intervensi:
1) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman cemas
pasien.
2) Ajarkan teknik non-farmakologi (relaksasi napas dalam, distraksi, spiritual
emotional freedom technique (SEFT), genggam jari, terapi music, terapi
murotal, TENS, terapi benson, bimbingan imiginasi, dll)
3) Identidikasi tanda verbal nonverbal
4) Identifikasi Tingkat kecemasan
5) Identifikasi situasi yang membuat cemas
6) Kolaborasi pemberian obat anti cemas

- RK Cedera Anestesi
Tujuan: Setelah dilakukan askan pada fase pra anestesi, cedera akibat anestesi tidak
terjadi di intra anestesi dan pasca anestesi
Rencana Intervensi:
1) OBS TTV
2) Kaji kesiapan pasien sebelum operasi, seperti: puasa, ganti baju, Latihan
pra anestesi, pastikan IV line lancer
3) Siapkan mesin anestesi
4) Identifikasi Hasil laboratorium
5) Edukasi persiapan tentang Tindakan anestesi Kepada pasien dan keluarga
pasien
6) Siapkan obat-obatan dna cairan sesuai jenis anestesi dan Statics

a. Intra Anestesi:
- Risiko Cedera Trauma Fisik Pembedahan
Tujuan: Setelah dilakukan Askan selama fase intra anestesi, cedera trauma fisik
pembedahan tidak terjadi
Rencana Intervensi:
1) Obs kedalaman anestesi sesuai dengana plana 1-4
2) Obst rias anestesi
3) Pemberian O2 100% (pre oksigenasi)
4) Lakukan pengaturan posisi pasien
5) Kolaborasi dalam asuhan Tindakan anestesi umum

- RK Gangguan fungsi Kardiovaskular


Tujuan: Setelah dilakukan Askan selama fase pasca anestesi, komplikasi gangguan
fungsi kardiovaskular teratasi/tidak terjadi
Rencana Intervensi:
1) Monitor tanda dan gejala penurunan curah jantung
2) Observasi tekanan darah dan MAP, nadi, respirasi, dan SpO2
3) Observasi bunyi, irama, dan frekuensi jantung
4) Kolaborasikan pemberian oksigenasi sesuai program
5) Kolaborasi pemberian obat anti aritmia

- RK Perdarahan
Tujuan: Setelah dilakukan Askan selama fase pasca anestesi, diharapkan Tingkat
perdarahan berkurang.
Rencana Intervensi:
1) Mengidentifikasi Riwayat kehilangan darah
2) Mengidentifikasi penyebab perdarahan
3) Mengidentifikasi warna, jumlah, konsistensi, dan bau perdarahan
4) Memonitor gejala dan tanda perdarahan
5) Mengoberservasi TTV atau Monitor status Kardioplumonal
6) Memonitor nilai hematoktrit dan hemoglobin
7) Memonitor status O2

a. Pasca Anestesi:
- Risiko Jatuh
Tujuan: Setelah dilakukan Askan selama fase pasca anestesi, resiko jatuh tidak
terjadi.
Rencana Intervensi:
1) Identifikasi faktor risiko jatuh
2) Identifikasi karakteristik lingkungan yang dapat meningkatkan risiko jatuh
3) Identifikasi Riwayat dan indikasi penggunaan sedasi
4) Monitor Tingkat kesadaran
5) Monitor tanda-tanda vital
6) Pasang pengaman tempat tidur

- RK gangguan fungsi Kardiovaskular


Tujuan: Setelah dilakukan Askan selama fase pasca anestesi, komplikasi gangguan
fungsi kardiovaskular teratasi/tidak terjadi
Rencana Intervensi:
1) Monitor tanda dan gejala penurunan curah jantung
2) Observasi tekanan darah dan MAP, nadi, respirasi, dan SpO2
3) Observasi bunyi, irama, dan frekuensi jantung
4) Kolaborasikan pemberian oksigenasi sesuai program
5) Kolaborasi pemberian obat anti aritmia

- RK Shivering
Tujuan: Setelah dilakukan Askan selama fase pasca anestesi, shivering pasien
teratasi.
Rencana Intervensi:
1) Identifikasi suhu ruangan kamar
2) Identifikasi kebutuhan oksigen
3) Identfiikasi lamanya operasi
4) Identifikasi frekunesi napas
5) Kolaborasi pemberian oksigen
6) Kolaborasi pemberian obat pethidine
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal- Bedah. Jakarta: EGC.
Yuyuk, E. (2015). Asuhan keperawatan pada Ny. S Dengan Diagnosis Medis Kista Ovarium
Pre & Post Laparatomi di Ruang E 2 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya
Shiyamika, D. (2014). Asuhan Keperawatan pada Nn.F dengan post Operasi Kistektomi
Laparatomi oleh karna Kista Coklat di Ruang Anggrek RSUD Banyumas.
Laelati. (2017). Asuhan Kebidanan Gangguan Reproduksi pada Ny.S Umur 29 tahun dengan
Kista Ovarium di Ruang Ginekologi RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang.
Putri, Meylani Anita. (2022). Asuhan Keperawatan Perioperatif pada pasien kista Ovarium
dengan tindakan kistektomi Laparatomi diruang operasi RS Mardi Waluyo Kota Metro
Tahun 2020. Thesis Poltekkes Tanjungkarang.

Anda mungkin juga menyukai