Disusun Oleh:
Nama: Jovanca Christy Amara Wibowo
NIM: 210106087
Mengetahui,
(Roro Lintang S., S. Kep., Ners, M. Kep) (Heru Purnawan J. W., S. Kep, M.M)
Salah satu jenis penyakit repoduksi yang paling umum dialami oleh wanita adalah
kista ovarium. Adanya pertumbuhan sel-sel otot polos pada ovarium yang jinak dikenal
sebagai gangguan yang disebut kista atau tumor. Namun, tidak menutup kemungkinan
bahwa itu dapat berubah menjadi tumor ganas atau kanker (Susanti, 2017). Kista ovarium
adalah pembesaran cairan dalam indung telur. Berbedanya mulai dari kurang dari 5 cm
hingga mencapai rongga perut, menyebabkan sesak napas (Manuaba, 2009). Perjalanan
penyakit ini, yang sering disebut sebagai pembunuh sillent atau secara diam-diam,
menyebabkan banyak wanita tidak menyadari bahwa mereka memiliki kista ovarium.
Mereka hanya mengetahuinya ketika kista telah teraba dari luar atau membesar (Susanti,
2017). Oleh karena itu, kista ovarium adalah tumor jinak yang menyebabkan benjolan
yang tidak biasa di bagian bawah perut dan berisi cairan abnormal berupa udara, nanah,
dan cairan kental.
2. Etiologi
Anggapan (pembentukan) hormon di hipotalamus, hipofisis, dan ovarium
menyebabkan kista ovarium (Setyorini, 2014 dalam Nurmansyah, 2019). Selain infeksi
bakteri dan virus yang menyebabkan penyumbatan pada saluran yang berisi cairan, zat
dioksin dari asap pabrik dan pembakaran gas bermotor adalah penyebab utama
tumbuhnya kista. Faktor makanan: lemak berlebihan atau tidak sehat yang menghambat
metabolisme, meningkatkan risiko timbulnya kista, dan faktor genetik. Menurut
Kurniawati et al. (2009), ada sejumlah penyebab yang mungkin terjadi, seperti:
a. Faktor internal
1) Faktor genetik: Makanan yang bersifat karsinogen, polusi, dan paparan radiasi
dapat menyebabkan gen protoonkogen di dalam tubuh manusia yang dapat
menyebabkan kanker.
2) Gangguan hormon: Orang dengan kelebihan hormon estrogen atau progesteron
dapat mengembangkan penyakit kista.
3) Riwayat kanker kolon: Orang dengan riwayat kanker kolon berisiko
mengembangkan penyakir kista. Dalam hal ini, kanker dapat menyebar secara
merata ke bagian alat reproduksi lainnya.
b. Faktor eksternal
1) Olahraga sangat penting untuk kesehatan manusia. Apabila Anda tidak berolahraga
sering, lemak akan tersimpan di dalam tubuh dan menumpuk di jaringan tubuh,
menghalangi peredaran darah karena jaringan lemak yang tidak dapat berfungsi.
2) Merokok dan konsumsi alkohol: Setiap orang merokok dan mengkonsumsi
alkohol, yang merupakan gaya hidup yang tidak sehat. Gaya hidup ini dapat
menyebabkan masalah kesehatan seperti kanker, peredaran darah tersumbat,
kemandulan, cacat janin, dan banyak lagi.
3) Mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan serat: Gaya hidup yang tinggi lemak dan
serat, bersama dengan merokok dan alkohol, adalah gaya hidup yang tidak sehat.
Makanan yang tinggi serat dan lemak dapat menghambat saluran pencernaan dalam
peredaran darah atau sel-sel darah tubuh manusia, menyebabkan sistem kerja tubuh
tidak berfungsi dengan baik.
4) Sosial Ekonomi Rendah: Sosial ekonomi rendah adalah salah satu faktor penyebab
kista, tetapi sosial ekonomi yang tinggi juga memungkinkan terkena penyakit kista.
Namun, baik sosial ekonomi rendah maupun tinggi, pola hidup sehat dapat
meningkatkan risiko terkena kista.
5) Risiko penyakit kista meningkat sebagai akibat dari stres sering. Ini karena dalam
situasi stres, orang cenderung melakukan hal-hal yang tidak sehat, seperti merokok,
minum alkohol, dan berhubungan seks bebas, antara lain.
3. Klasifikasi
Klasifikasi Menurut Anwar (2017), tumor kista ovarium yang jinak dibagi menjadi
dua kategori: non-neoplastik (bukan neoplastik) dan neoplastik (bukan neoplastik). Kista
ovarium non-neoplastik dapat diklasifikasikan sebagai:
a. Kista Ovarium Non-neoplastik
1) Kista Folikel: Kista folikel adalah struktur fisiologis normal yang muncul karena
folikel tidak dapat menyerap cairan secara sempurna. Kista folikel dapat tumbuh
menjadi besar setiap bulannya sehingga banyak folikel mati dan ovum mati. Ini
dapat terjadi pada wanita muda yang masih menstruasi. Kista folikel berdiameter
2 cm dan biasanya tidak menimbulkan gejala. Mereka dapat menghilang dalam
waktu 4 cm atau hilang sendiri dengan penggunaan kontrasepsi oral selama 48
minggu.
2) Kista lutein: Kista ini dapat muncul selama kehamilan, tetapi lebih jarang terjadi di
luar kehamilan. Kista luteum sebenarnya biasanya berasal dari corpus luteum
hematoma. Selama proses vaskularisasi, ruang corpus selalu mengalami
perdarahan. Dalam kasus perdarahan yang sangat besar, terbentuk hematoma di
korpus leteum yang berdinding tipis dan berwarna kekuning-kuningan. Gejala
biasanya mirip dengan kehamilan ektopik.
3) Kista stain levental ovarium: Biasanya kedua ovarium membesar, bersifat
polykistik, memiliki permukaan rata dan berdinding tebal. Tunika yang tebal dan
fibrotik akan terlihat saat diperiksa dengan mikroskop. Korpus luteum tidak terlihat
di bawahnya, tetapi folikel dalam berbagai stadium terlihat. Secara klinis
menunjukkan gejala yang disebut stain-leventhal syndrome, dan kondisi ini adalah
penyakit autosomal dominant yang dibawa dari nenek moyang.
4) Kista Korpus Luteum: Jenis kista ini jarang terjadi. Kista korpus luteum
berdiameter 10 cm dan lebih dari 3 cm. Selama pelepasan sel telur, dapat terjadi
perdarahan, yang menyebabkan pembentukan kista, yang seringkali memerlukan
operasi untuk menyembuhkannya. Selama 1460 hari setelah periode menstruasi
terakhir, rasa sakit yang parah di rongga panggul adalah gejala yang paling umum
dari kista tersebut.
5. Patofisiologi
Banyak tumor tidak menunjukkan gejala, terutama tumor ovarium kecil. Sebagian
besar gejala dan tanda disebabkan oleh pertumbuhan, aktivitas endokrin, dan komplikasi
tumor.
a. Akibat pertumbuhan: Tumor di perut bagian bawah dapat menyebabkan pembenjolan
perut. Tumor menekan alat-alat di sekitarnya karena besarnya atau lokasinya di perut.
Apabila tumor mendesak kandung kemih dan dapat menyebabkan gangguan miksi,
sedangkan kista yang lebih besar tetapi tidak terikat di rongga perut kadang-kadang
hanya membuat perut berat dan dapat menyebabkan obstipasi edema pada tungkai.
b. Karena aktivitas hormonal tumor ovarium, pola haid tidak diubah kecuali tumor
mengeluarkan hormonnya sendiri.
c. Dampak dari Perubahan
1) Perdarahan ke dalam kista biasanya muncul secara bertahap, membengkak dan
tidak menimbulkan gejala. Akan tetapi banyak perdarahan dapat menyebabkan
sakit perut.
2) Putaran tangkai terjadi pada tumor dengan diameter 5 cm atau lebih. Ini menarik
peritoneum parietal melalui ligamentum infundibulopelvikum.
3) Sumber kuman pathogen yang dekat dengan tumor dapat menyebabkan infeksi.
Penanahan cenderung menyebabkan kista dermoid menjadi peradangan.
4) Dinding kista dapat robek jika tangkai tertekan. Ini juga dapat terjadi karena
trauma, seperti jatuh atau dipukul, yang lebih sering terjadi saat berhubungan
seksual. Jika robekan kista disertai dengan hemoragi yang cepat, perdarahan bebas
memasuki uterus ke dalam rongga peritoneum, menyebabkan nyeri dan gejala
abdomen akut.
5) Perubahan keganasan: Setelah tumor diangkat, pemeriksaan mikroskopis yang
cermat diperlukan untuk menemukan kemungkinan perubahan keganasan yang
mungkin terjadi. Bahwa ada asites dalam hal ini sangat mencurigakan
(Wiknjosastro, 2005 dalam nurmansyah, 2019). Kista dermoid adalah tumor yang
biasanya menghilang selama ovulasi dan diduga berasal dari bagian ovum. Mereka
terdiri dari sel-sel embrional yang pada awalnya tidak dapat diidentifikasi karena
tidak berdiferensiasi. Kista ini tumbuh dengan lambat dan muncul selama prosedur
pembedahan dengan material sebasea kental berwarna kuning yang timbul dari
lapisan kulit. Hanya satu jenis lesi yang dapat terjadi adalah kista dermoid. Banyak
jenis yang berbeda dapat terjadi, dan pengobatannya berbeda-beda (Smeltzer and
Bare, 2001).
6. Manifestasi Klinis
Sebagian besar kista ovarium tidak menimbulkan gejala, atau hanya sedikit nyeri
yang tidak berbahaya. Namun, kista yang berkembang menjadi besar dan sangat sakit.
Karena gejalanya mungkin mirip dengan kondisi lain seperti endometriosis, radang
panggul, kehamilan ektopik (di luar rahim) atau kanker ovarium, pemastian penyakit
tidak biasa didasarkan pada gejala saja. Meskipun demikian, sangat penting untuk
mengamati setiap perubahan atau gejala yang muncul di tubuh Anda untuk menentukan
apakah gejala tersebut serius atau tidak (Wiknjosastro, 2007 dalam Dzahiruddin, 2012).
Kista ovarium dapat menyebabkan gejala berikut:
1) Perut terasa penuh, berat, dan kembung.
2) Tekanan pada dubur dan kandung kemih, yang menyebabkan kesulitan buang air
kecil.
3) Haid yang tidak teratur.
4) Nyeri panggul yang menetap atau kambuhan yang dapat menyebar ke kepanggul
bawah dan paha.
5) Nyeri saat senggama.
6) Mual, ingin muntah, atau pergeseran payudara mirip seperti pada saat hamil.
7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada kista ovarium adalah sebagai berikut:
a. Perdarahan ke dalam kista, yang biasanya terjadi secara teratur dan sedikit-sedikit,
yang dapat menyebabkan pembesaran kista dan menyebabkan anemia (kurang darah).
b. Putaran tangkai: Ini dapat terjadi pada tumor bertangkai dengan diameter 5 cm atau
lebih. Ini mengganggu sirkulasi secara cepat dan menyebabkan nekrosis.
c. Robek dinding kista, yang terjadi karena torsi tangkai tetapi juga dapat terjadi karena
trauma, seperti jatuh atau dipukul pada perut, dan lebih sering terjadi saat
berhubungan seks.
d. Perubahan yang mengarah pada keganasan atau infeksi seperti merah, panas, bengkak,
dan nyeri.
e. Gejala penekanan tumor fibroid mungkin termasuk konstipasi.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan medis yang dilakukan atas indikasi tertentu untuk memperoleh
ketarangan yang lebih lengkap dikenal sebagai pemeriksaan penunjang. Dalam kasus
kista ovarium, beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan, antara lain:
1) Laparaskopi: Menentukan asal dan sifat tumor, apakah itu berasal dari ovarium atau
tidak, dan apakah itu kistik atau solid.
2) Ultrasonografi (USG): Menentukan lokasi, batas, dan permukaan tumor melalui
abdomen atau vagina, apakah itu berasal dari ovarium, uterus, atau kandung kemih,
dan apakah itu kistik atau solid.
3) Foto rontgen: Menentukan apakah
4) Pemeriksaan darah: Protein CA 125, yang dikenal sebagai petanda tumor atau tumor
marker, terkonsentrasi tinggi pada sel tumor, terutama yang berkaitan dengan kanker
ovarium. Lalu, sel tersebut diproduksi oleh sel jinak sebagai respon terhadap
keganasan.
9. Penatalaksanaan Medis
Pilihan pengobatan yang mungkin disarankan adalah sebagai berikut:
1) Pendekatan, di mana pasien memilih pengobatan nyeri dengan analgetik atau tindakan
kenyamanan, seperti kompres hangat pada abdomen dan teknik relaksasi napas dalam
(Prawirohardjo, 2011 dalam Laelati, 2017).
2) Pasien dengan penyakit kista dapat diberi obat anti inflamasi non steroid, seperti ibu
profen (Manuaba, 2009 dalam Laelati, 2017).
3) Pembedahan: Jika kista tidak menghilang setelah beberapa episode menstruasi yang
lebih lama, dokter harus mengangkatnya setelah pemeriksaan ultrasound. Laparatomi
dan laparaskopi adalah dua prosedur pembedahan utama (Yatim, 2008).
a. Kontraindikasi relatif
• Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi).
• Infeksi sekitar tempat suntikan.
• Kelainan neurologis
• Kelainan psikis
• Penyakit jantung
• Hipovolemia ringan
• Nyeri punggung kronis
• Pasien tidak kooperatif
b. Kontraindikasi kontroversial
• Tempat penyuntikan yang sama pada operasi sebelumnya
• Ketidakmampuan komunikasi dengan pasien
• Komplikasi operasi
• Operasi yang lama
• Kehilangan darah yang banyak
• Manuver pada kompromi pernapasan
7. Rumatan Anestesi
Pilihan anestesi yang diambil untuk tindakan kistatektomi yaitu Anestesi Spinal.
Penyuntikan anestesi lokal ke dalam ruang subaraknoid disegmen lumbal 3-4 atau lumbal
4-5. Untuk mencapai ruang subaraknoid, jarum spinal menembus kulit subkutan lalu
menembus ligamentum supraspinosum, ligamen interspinosum, ligamentum flavum,
ruang epidural, durameter, dan ruang subaraknoid. Tanda dicapainya ruang subaraknoid
adalah dengan keluarnya liquor cerebrospinalis (LCS).
Menurut Latief (2010) anestesi spinal menjadi pilihan untuk operasi abdomen
bawah dan ekstermitas bawah. Teknik anestesi ini popular karena sederhana, efektif,
aman terhadap sistem saraf, konsentrasi obat dalam plasma yang tidak berbahaya serta
mempunyai analgesi yang kuat namun pasien masih tetap sadar, relaksasi otot cukup,
perdarahan luka operasi lebih sedikit, aspirasi dengan lambung penuh lebih kecil,
pemulihan saluran cerna lebih cepat (Longdong, 2011).
a. Buvipicain 12,5 mg
b. Paracetamol 500 mg
c. Ondansetron 4 mg
d. Oxytocin 20 mg
e. Methylergometrine 0,2 mg
f. Ketorolac 30 mg
g. Tramadol 50 mg
h. Sedacum
dan aktivitasi sistem saraf otonom sebagai respons terhadap ancaman yang tidak
- RK Cedera Anestesi: Kondisi yang sedang dan atau beresiko yang tidak
dikehendaki sehingga menyebabkan gangguan fungsi tubuh akibat anestesi.
b. Intra Anestesi
- Risiko Cedera Trauma Fisik Pembedahan: Kondisi Ketika individu beresiko
mengalami kerusakan jaringan selama intra anestesi.
- RK gangguan fungsi Kardiovaskular: Kondisi yang sedang dan atau beresiko
mengalami ketidakmampuan fungsi jantung dan pembuluh darah dalam
pencapaian homeostatis.
RK Perdarahan: Kondisi yang sedang dan/atau beresiko mengalami terjadinya
c. Pasca Anestesi
- Risiko Jatuh: Kondisi ketidak individu rentan untuk terjatuh yang menyebabkan
kerusakan fisik.
- RK gangguan fungsi Kardiovaskular: Kondisi yang sedang dan atau beresiko
mengalami ketidakmampuan fungsi jantung dan pembuluh darah dalam
pencapaian homeostatis.
- RK Shivering: Kondisi yang sedang dan atau berisiko terjadi peningkatan aktivitas
otot yang tidak terkendali dan atau berulang-ulang.
3. Rencana Intervensi
a. Pre Anestesi:
- Cemas
Tujuan: Setelah dilakukan Askan selama fase pre anestesi, diharapkan cemas
berkurang/hilang.
Rencana Intervensi:
1) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman cemas
pasien.
2) Ajarkan teknik non-farmakologi (relaksasi napas dalam, distraksi, spiritual
emotional freedom technique (SEFT), genggam jari, terapi music, terapi
murotal, TENS, terapi benson, bimbingan imiginasi, dll)
3) Identidikasi tanda verbal nonverbal
4) Identifikasi Tingkat kecemasan
5) Identifikasi situasi yang membuat cemas
6) Kolaborasi pemberian obat anti cemas
- RK Cedera Anestesi
Tujuan: Setelah dilakukan askan pada fase pra anestesi, cedera akibat anestesi tidak
terjadi di intra anestesi dan pasca anestesi
Rencana Intervensi:
1) OBS TTV
2) Kaji kesiapan pasien sebelum operasi, seperti: puasa, ganti baju, Latihan
pra anestesi, pastikan IV line lancer
3) Siapkan mesin anestesi
4) Identifikasi Hasil laboratorium
5) Edukasi persiapan tentang Tindakan anestesi Kepada pasien dan keluarga
pasien
6) Siapkan obat-obatan dna cairan sesuai jenis anestesi dan Statics
a. Intra Anestesi:
- Risiko Cedera Trauma Fisik Pembedahan
Tujuan: Setelah dilakukan Askan selama fase intra anestesi, cedera trauma fisik
pembedahan tidak terjadi
Rencana Intervensi:
1) Obs kedalaman anestesi sesuai dengana plana 1-4
2) Obst rias anestesi
3) Pemberian O2 100% (pre oksigenasi)
4) Lakukan pengaturan posisi pasien
5) Kolaborasi dalam asuhan Tindakan anestesi umum
- RK Perdarahan
Tujuan: Setelah dilakukan Askan selama fase pasca anestesi, diharapkan Tingkat
perdarahan berkurang.
Rencana Intervensi:
1) Mengidentifikasi Riwayat kehilangan darah
2) Mengidentifikasi penyebab perdarahan
3) Mengidentifikasi warna, jumlah, konsistensi, dan bau perdarahan
4) Memonitor gejala dan tanda perdarahan
5) Mengoberservasi TTV atau Monitor status Kardioplumonal
6) Memonitor nilai hematoktrit dan hemoglobin
7) Memonitor status O2
a. Pasca Anestesi:
- Risiko Jatuh
Tujuan: Setelah dilakukan Askan selama fase pasca anestesi, resiko jatuh tidak
terjadi.
Rencana Intervensi:
1) Identifikasi faktor risiko jatuh
2) Identifikasi karakteristik lingkungan yang dapat meningkatkan risiko jatuh
3) Identifikasi Riwayat dan indikasi penggunaan sedasi
4) Monitor Tingkat kesadaran
5) Monitor tanda-tanda vital
6) Pasang pengaman tempat tidur
- RK Shivering
Tujuan: Setelah dilakukan Askan selama fase pasca anestesi, shivering pasien
teratasi.
Rencana Intervensi:
1) Identifikasi suhu ruangan kamar
2) Identifikasi kebutuhan oksigen
3) Identfiikasi lamanya operasi
4) Identifikasi frekunesi napas
5) Kolaborasi pemberian oksigen
6) Kolaborasi pemberian obat pethidine
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal- Bedah. Jakarta: EGC.
Yuyuk, E. (2015). Asuhan keperawatan pada Ny. S Dengan Diagnosis Medis Kista Ovarium
Pre & Post Laparatomi di Ruang E 2 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya
Shiyamika, D. (2014). Asuhan Keperawatan pada Nn.F dengan post Operasi Kistektomi
Laparatomi oleh karna Kista Coklat di Ruang Anggrek RSUD Banyumas.
Laelati. (2017). Asuhan Kebidanan Gangguan Reproduksi pada Ny.S Umur 29 tahun dengan
Kista Ovarium di Ruang Ginekologi RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang.
Putri, Meylani Anita. (2022). Asuhan Keperawatan Perioperatif pada pasien kista Ovarium
dengan tindakan kistektomi Laparatomi diruang operasi RS Mardi Waluyo Kota Metro
Tahun 2020. Thesis Poltekkes Tanjungkarang.