Anda di halaman 1dari 57

ASUHAN KEPERAWATAN

KISTA OVARIUM

Dosen Pengampu : Siti Mulidah, Spd, S.Kep, Ns, M.Kes

Disusun Oleh :

1. Dicki Nanda Prasetya P17420213090


2. Dwi Yuli Astuti P17420213092
3. Erik Febri Romadoni P17420213093
4. Fadiah Hasanah P17420213094

Kelas : IIC

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

PRODI DIII KEPERAWATN PURWOKERTO

2015
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Seiring meningkatnya ilmu pengetahuan di Indonesia, berkembang pula upaya
peningkatan pelayanan kesehatan terhadap wanita yang semakin membaik. Sarana dan
prasarana di pelayanan kesehatan menunjang terdeteksinya penyakit wanita yang
bermacam-macam, termasuk penyakit ginekologi. Berbagai macam penyakit sistem
reproduksi yang memiliki efek negatif pada kualitas kehidupan wanita dan keluarganya
dengan gejala salah satunya gangguan menstruasi seperti menarche yang lebih awal,
periode menstruasi yang tidak teratur, panjang siklus menstruasi yang pendek, paritas
yang rendah, dan riwayat infertilitas (Heffner & Danny, 2008).
Nyeri yang berlebih pada saat haid juga dapat terjadi akibat adanya massa pada
organ reproduksi seperti kista atau tumor. Kista adalah bentuk gangguan adanya
pertumbuhan sel-sel otot polos yang abnormal. Pertumbuhan otot polos abnormal yang
terjadi pada ovarium disebut kista ovarium. Kista ovarium secara fungsional adalah kista
yang dapat bertahan dari pengaruh hormonal dengan siklus menstruasi (Bobak,
Lowdermilk & Jensen. 2005).
1 dapat terjadi akibat adanya massa pada
Nyeri yang berlebih pada saat haid juga
organ reproduksi seperti kista atau tumor. Kehamilan tumor ovarii yang dijumpai
paling sering ialah kista dermoid, kista coklat atau kista lutein. Tumor ovarium yang
cukup besar dapat menyebabkan kelainan letak janin dalam rahim atau dapat
menghalang-halangi masuknya kepala kedalam panggul. Oophorektomy adalah operasi
pengangkatan dari ovarium atau indung telur. Tetapi istilah ini telah digunakan
secara tradisional dalam penelitian ilmu dasar yang menggambarkan operasi
pengangkatan indung telur (Wiknjosastro, 2005).
Selama tahap kehidupan, massa yang biasanya disebabkan oleh kista ovarium
fungsional, neoplasma ovarium jinak, atau perubahan pasca infeksi pada tuba fallopii
(Heffner & Danny, 2008). Kista ovarium yang bersifat ganas disebut juga kanker
ovarium. Kanker ovarium merupakan penyebab kematian dari semua kanker ginekologi.
Di Amerika Serikat pada tahun 2001 diperkirakan jumlah penderita kanker ovarium
sebanyak 23 .400 dengan angka kematian sebesar 13.900 orang. Tingginya angka
kematian karena penyakit ini sering tanpa gejala dan tanpa menimbulkan keluhan,
sehingga tidak diketahui dimana sekitar 60% - 70% penderita datang pada stadium
lanjut. Maka penyakit ini disebut juga silent killer. Angka kejadian kanker ovarium di
Indonesia belum diketahui secara pasti karena pencatatan dan pelaporan di negeri kita
kurang baik. Sebagai gambaran di RSU, kanker Dharmais ditemukan penderita kanker
ovarium sebanyak 30 kasus setiap tahun. Studi epidemologi menyatakan beberapa faktor
resiko nullipara, melahirkan pertama kali pada usia di atas 35 tahun dan wanita yang
mempunyai keluarga dengan riwayat kehamilan pertama terjadi pada usia di bawah 25
tahun. Penggunaan pil kontrasepsi dan menyusui akan menurunkan kanker ovarium
sebanyak 30–60%.
Penanganan dan pengobatan kanker ovarium yang telah dilakukan dengan
prosedur yang benar namun hasil pengobatannya sampai saat ini belum begitu ada
manfaatnya termasuk pengobatan yang dilakukan di pusat kanker terkemuka di dunia
sekalipun. Sebagai perawat dalam menangani masalah klien dengan kista ovarium atau
kanker ovarium maka perlu memperhatikan aspek biopsikososialspiritual dalam
pemberian asuhan keperawatannya, sehingga hal ini yang menarik penulis untuk
membahas asuhan keperawatan pada klien dengan kista ovarium.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian kista ovarium ?
2. Apa sajakah klasifikasi kista ovarium ?
3. Apa penyebab kista ovarium ?
4. Bagaimana manifestasi klinis klien dengan kista ovarium ?
5. Bagaimana pathofisiologi kista ovarium ?
6. Bagaimana pathway kista ovarium ?
7. Apa komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan kista ovarium ?
8. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat dilakuakan pada klien dengan kista
ovarium ?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan kista ovarium ?
C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian kista ovarium
2. Mengetahui klasifikasi kista ovarium
3. Mengetahui penyebab kista ovarium
4. Mengetahui manifestasi klinis klien dengan kista ovarium
5. Mengetahui pathofisiologi kista ovarium
6. Mengetahui pathway kista ovarium
7. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan kista ovarium
8. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang dapat dilakuakan pada klien dengan kista
ovarium
9. Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan kista ovarium
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Kista ovarium merupakan suatu tumor, baik kecil maupun besar, kistik maupun
solid, jinak maupun ganas (Wiknjosastro, 2007: 346).
Kista ovarium (kista indung telur) berarti kantung berisi cairan, normalnya
berukuran kecil, yang terletak di indung telur (ovarium) (Nugroho, 2010: 101)
Kista ovarium (atau kista indung telur) berarti kantung berisi cairan,normalnya
berukuran kecil, yang terletak di indung telur (ovarium). Kistaindung telur dapat
terbentuk kapan saja, pada masa pubertas sampaimenopause, juga selama masa
kehamilan (Bilotta. K, 2012).
Kista indung telur adalah rongga berbentuk kantong berisi cairan di dalam
jaringan ovarium. Kista ini disebut juga kista fungsional karena terbentuk setelah telur
dilepaskan sewaktu ovulasi (Yatim, 2005: 17)

Gambar : Rahim normal dan kiata ovarium


Sumber : http://kistaovarium.org/
B. KLASIFIKASI
Menurut Nugroho (2010), klasifikasi kista ovarium adalah :
1. Tipe Kista Normal
Kista fungsional ini merupakan jenis kista ovarium yang paling banyak
ditemukan. Kista ini berasal dari sel telur dan korpus luteum, terjadi bersamaan
dengan siklus menstruasi yang normal.
Kista fungsional akan tumbuh setiap bulan dan akan pecah pada masa
subur, untuk melepaskan sel telur yang pada waktunya siap dibuahi oleh sperma.
Setelah pecah, kista fungsional akan menjadi kista folikuler dan akan hilang saat
menstruasi. Kista fungsional terdiri dari: kista folikel dan kista korpus luteum.
Keduanya tidak mengganggu, tidak menimbulkan gejala dan dapat menghilang
sendiri dalam waktu 6 – 8 minggu.

Gambar : kista ovarium fungsional


Sumber : http://kistamioma.com/tag/kista-ovarium-fungsional

2. Tipe Kista Abnormal


a. Kistadenoma
Merupakan kista yang berasal dari bagian luar sel indung telur. Biasanya
bersifat jinak, namun dapat membesar dan dapat menimbulkan nyeri.
b. Kista coklat (endometrioma)
Merupakan endometrium yang tidak pada tempatnya. Disebut kista coklat
karena berisi timbunan darah yang berwarna coklat kehitaman.
c. Kista dermoid
Merupakan kista yang berisi berbagai jenis bagian tubuh seperti kulit,
kuku, rambut, gigi dan lemak. Kista ini dapat ditemukan di kedua bagian
indung telur. Biasanya berukuran kecil dan tidak menimbulkan gejala.
d. Kista endometriosis
Merupakan kista yang terjadi karena ada bagian endometrium yang berada
di luar rahim. Kista ini berkembang bersamaan dengan tumbuhnya lapisan
endometrium setiap bulan sehingga menimbulkan nyeri hebat, terutama saat
menstruasi dan infertilitas.
e. Kista hemorhage
Merupakan kista fungsional yang disertai perdarahan sehingga
menimbulkan nyeri di salah satu sisi perut bagian bawah.
f. Kista lutein
Merupakan kista yang sering terjadi saat kehamilan. Kista lutein yang
sesungguhnya, umumnya berasal dari korpus luteum haematoma.

Gambar : kista corpus luteum


Sumber : http://www.ladycarehealth.com/causes-of-different-ovarian-
cysts/
g. Kista polikistik ovarium
Merupakan kista yang terjadi karena kista tidak dapat pecah dan
melepaskan sel telur secara kontinyu. Biasanya terjadi setiap bulan. Ovarium
akan membesar karena bertumpuknya kista ini. Kista polikistik ovarium yang
menetap (persisten), operasi harus dilakukan untuk mengangkat kista tersebut
agar tidak menimbulkan gangguan dan rasa sakit.
Gambar : kista polikistik ovarium
Sumber : http://pcos-disease.blogspot.com/2010/11/polycystic-ovarian-
syndrome_06.html

C. ETIOLOGI
Menurut Nugroho (2010: 101), kista ovarium disebabkan oleh gangguan
(pembentukan) hormon pada hipotalamus, hipofisis dan ovarium (ketidakseimbangan
hormon). Kista folikuler dapat timbul akibat hipersekresi dari FSH dan LH yang gagal
mengalami involusi atau mereabsorbsi cairan. Kista granulosa lutein yang terjadi
didalam korpus luteum indung telur yang fungsional dan dapat membesar bukan karena
tumor, disebabkan oleh penimbunan darah yang berlebihan saat fase pendarahan dari
siklus menstruasi. Kista theka-lutein biasanya bersifay bilateral dan berisi cairan bening,
berwarna seperti jerami. Penyebab lain adalah adanya pertumbuhan sel yang tidak
terkendali di ovarium, misalnya pertumbuah abnormal dari folikel ovarium, korpus
luteum, sel telur.

D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi Klinis Kista Ovarium Menurut Nugroho (2010: 104), kebanyakan
wanita yang memiliki kista ovarium tidak memiliki gejala sampai periode tertentu.
Namun beberapa orang dapat mengalami gejala ini :
1. Nyeri saat menstruasi.
2. Nyeri di perut bagian bawah.
3. Nyeri saat berhubungan seksual.
4. Nyeri pada punggung terkadang menjalar sampai ke kaki.
5. Terkadang disertai nyeri saat berkemih atau BAB.
6. Siklus menstruasi tidak teratur, bisa juga jumlah darah yang keluar banyak.
E. PATHOFISIOLOGI
Fungsi ovarium yang abnormal dapat menyebabkan penimbunan folikel yang
terbentuk secara tidak sempurna didalam ovarium. Folikel tersebut gagal mengalami
pematangan dan gagal melepaskan sel telur, terbentuk secara tidak sempurna didalam
ovarium karena itu terbentuk kista di dalam ovarium. Setiap hari, ovarium normal
akan membentuk beberapa kista kecil yang disebut Folikel de Graff. Pertengahan
siklus, folikel dominan dengan diameter lebih dari 2.8 cm akan melepaskan oosit
mature. Folikel yang ruptur akan menjadi korpus luteum, yang pada saat matang
memiliki struktur 1,5 – 2 cm dengan kista ditengah- tengah. Bila tidak terjadi
fertilisasi pada oosit, korpus luteum akan mengalami fibrosis dan pengerutan secara
progresif. Namun bila terjadi fertilisasi, korpus luteum mula-mula akan membesar
kemudian secara gradual akan mengecil selama kehamilan. Kista ovari yang berasal
dari proses ovulasi normal disebut kista fungsional dan selalu jinak (Nugroho,
2010).
F. PATHWAY

Etiologi :
 Ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron
 Pertumbuhan folikel tidak seimbang
 Degenerasi ovarium
 Infeksi ovarium

Gangguan reproduksi

Tanda dan gejala : Diagnosa : Komplikasi :


 Tanpa gejala  Anamnesa  Pembenjolan perut
 Nyeri saat menstruasi  Pemeriksaan fisik  Pola haid berubah
 Nyeri di perut bagian bawah  Pemeriksaan  Perdarahan
 Nyeri saat berhubungan penunjang  Torsio (putaran tangkai)
seksual  Infeksi
 Nyeri saat berkemih atau BAB  Dinding kista robek
 Siklus menstruasi tidak teratur Kista ovarium  Perubahan keganasan

Kista fungsional Kista non fungsional

Konservatif :
 Observasi 1-2 bulan
Laparatomi Laparoskopi

Keluhan tetap :
 Aktivitas hormon Ovarian Salpingo-
 Discomfort cystectomy oophorectomy

Perawatan post operasi : Penyulit post operasi :


 Obat analgetik  Nyeri
 Mobilisasi  Perdarahan
 Personal hygiene
 Infeksi

Bagan 2.1 Pathway Kista Ovarium (Taufan Nugroho, 2010)


G. KOMPLIKASI
Menurut Wiknjosastro (2007: 347-349), komplikasi yang dapat terjadi pada kista
ovarium diantaranya:
1. Akibat pertumbuhan kista ovarium
Adanya tumor di dalam perut bagian bawah bisa menyebabkan pembesaran
perut. Tekanan terhadap alat-alat disekitarnya disebabkan oleh besarnya tumor atau
posisinya dalam perut. Apabila tumor mendesak kandung kemih dan dapat
menimbulkan gangguan miksi, sedangkan kista yang lebih besar tetapi terletak bebas
di rongga perut kadang-kadang hanya menimbulkan rasa berat dalam perut serta
dapat juga mengakibatkan edema pada tungkai.
2. Akibat aktivitas hormonal kista ovarium
` Tumor ovarium tidak mengubah pola haid kecuali jika tumor itu sendiri
mengeluarkan hormon.
3. Akibat komplikasi kista ovarium
a. Perdarahan ke dalam kista
Biasanya terjadi sedikit-sedikit sehingga berangsur-angsur menyebabkan
kista membesar, pembesaran luka dan hanya menimbulkan gejala-gejala klinik
yang minimal. Akan tetapi jika perdarahan terjadi dalam jumah yang banyak
akan terjadi distensi yang cepat dari kista yang menimbukan nyeri di perut.
b. Torsio atau putaran tangkai
Torsio atau putaran tangkai terjadi pada tumor bertangkai dengan
diameter 5 cm atau lebih. Torsi meliputi ovarium, tuba fallopi atau ligamentum
rotundum pada uterus. Jika dipertahankan torsi ini dapat berkembang menjadi
infark, peritonitis dan kematian. Torsi biasanya unilateral dan dikaitkan dengan
kista, karsinoma, TOA, massa yang tidak melekat atau yang dapat muncul pada
ovarium normal. Torsi ini paling sering muncul pada wanita usia reproduksi.
Gejalanya meliputi nyeri mendadak dan hebat di kuadran abdomen bawah, mual
dan muntah. Dapat terjadi demam dan leukositosis. Laparoskopi adalah terapi
pilihan, adneksa dilepaskan (detorsi), viabilitasnya dikaji, adneksa gangren
dibuang, setiap kista dibuang dan dievaluasi secara histologis.
c. Infeksi pada tumor
Jika terjadi di dekat tumor ada sumber kuman patogen.
d. Robek dinding kista
Terjadi pada torsi tangkai, akan tetapi dapat pula sebagai akibat trauma,
seperti jatuh atau pukulan pada perut dan lebih sering pada saat bersetubuh. Jika
robekan kista disertai hemoragi yang timbul secara akut, maka perdarahan bebas
berlangsung ke uterus ke dalam rongga peritoneum dan menimbulkan rasa nyeri
terus menerus disertai tanda-tanda abdomen akut.
e. Perubahan keganasan
Setelah tumor diangkat perlu dilakukan pemeriksaan mikroskopis yang
seksama terhadap kemungkinan perubahan keganasannya. Adanya asites dalam
hal ini mencurigakan. Massa kista ovarium berkembang setelah masa
menopause sehingga besar kemungkinan untuk berubah menjadi kanker
(maligna). Faktor inilah yang menyebabkan pemeriksaan pelvik menjadi
penting.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak jarang tentang penegakkan diagnosis tidak dapat diperolehkepastian
sebelum dilakukan operasi, akan tetapi pemeriksaan yang cermat dan analisis yang tajam
dari gejala-gejala yang ditemukan dapat membantudalam pembuatan differensial
diagnosis. Beberapa cara yang dapatdigunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
adalah (Bilotta, 2012 :1)
1. Laparaskopi
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengetahui apakah sebuahtumor berasal dari
ovarium atau tidak, serta untuk menentukan sifat-sifat tumor itu.
2. Ultrasonografi (USG)
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan letak dan batas tumor,apakah tumor berasal
dari uterus, ovarium, atau kandung kencing,apakah tumor kistik atau solid, dan dapat
pula dibedakan antara cairandalam rongga perut yang bebas dan yang tidak.
Gambar : USG kista ovarium
Sumber : http://forum.detik.com/niwana-sod-mampu-menyembuhkan-penyakit-
kronis-seperti-kanker-kista-dll-t137091.html

3. Foto Rontgen
Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan adanya hidrotoraks.Selanjutnya, pada
kista dermoid kadang-kadang dapat dilihat adanyagigi dalam tumor.
4. Parasintesis
Pungsi ascites berguna untuk menentukan sebab ascites. Perludiperhatikan bahwa
tindakan tersebut dapat mencemarkan kavum peritonei dengan isi kista bila dinding
kista tertusuk.

I. PENATALAKSANAAN
1. Observasi
Jika kista tidak menimbulkan gejala, maka cukup dimonitor (dipantau) selama
1 -2 bulan, karena kista fungsional akan menghilang dengan sendirinya setelah satu
atau dua siklus haid. Tindakan ini diambil jika tidak curiga ganas (kanker) (Nugroho,
2010: 105).
2. Terapi bedah atau operasi
Bila tumor ovarium disertai gejala akut misalnya torsi, maka tindakan operasi
harus dilakukan pada waktu itu juga, bila tidak ada 22 gejala akut, tindakan operasi
harus dipersiapkan terlebih dahulu dengan seksama.
Kista berukuran besar dan menetap setelah berbulan-bulan biasanya
memerlukan operasi pengangkatan. Selain itu, wanita menopause yang memiliki
kista ovarium juga disarankan operasi pengangkatan untuk meminimalisir resiko
terjadinya kanker ovarium. Wanita usia 50-70 tahun memiliki resiko cukup besar
terkena kenker jenis ini. Bila hanya kistanya yang diangkat, maka operasi ini disebut
ovarian cystectomy. Bila pembedahan mengangkat seluruh ovarium termasuk tuba
fallopi, maka disebut salpingo oophorectomy.
Faktor-faktor yang menentukan tipe pembedahan, antara lain tergantung pada
usia pasien, keinginan pasien untuk memiliki anak, kondisi ovarium dan jenis kista.

Kista ovarium yang menyebabkan posisi batang ovarium terlilit (twisted) dan
menghentikan pasokan darah ke ovarium, memerlukan tindakan darurat pembedahan
(emergency surgery) untuk mengembalikan posisi ovarium menurut Yatim, (2005:
23)

Prinsip pengobatan kista dengan pembedahan (operasi) menurut Yatim, (2005: 23)
yaitu:

a. Apabila kistanya kecil (misalnya, sebesar permen) dan pada pemeriksaan


sonogram tidak terlihat tanda-tanda proses keganasan, biasanya dokter melakukan
operasi dengan laparoskopi. Dengan cara ini, alat laparoskopi dimasukkan ke
dalam rongga panggul 23 dengan melakukan sayatan kecil pada dinding perut,
yaitu sayatan searah dengan garis rambut kemaluan.
b. Apabila kistanya besar, biasanya pengangkatan kista dilakukan dengan
laparatomi. Teknik ini dilakukan dengan pembiusan total. Dengan cara
laparotomi, kista bisa diperiksa apakah sudah mengalami proses keganasan
(kanker) atau tidak. Bila sudah dalam proses keganasan, operasi sekalian
mengangkat ovarium dan saluran tuba, jaringan lemak sekitar serta kelenjar limfe.
PEMBAHASAN ANESTESI

Anestesi Spinal

Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan


obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga
sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila
kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang sub arachnoid di daerah antara
vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5

Indikasi:

1. Bedah ekstremitas bawah

2. Bedah panggul

3. Tindakan sekitar rektum perineum

4. Bedah obstetrik-ginekologi

5. Bedah urologi

6. Bedah abdomen bawah

7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan

anesthesia umum ringan

Kontra indikasi absolut:

1. Pasien menolak

2. Infeksi pada tempat suntikan

3. Hipovolemia berat, syok

4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan


5. Tekanan intrakranial meningkat

6. Fasilitas resusitasi minim

7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

Kontra indikasi relatif:

1. Infeksi sistemik

2. Infeksi sekitar tempat suntikan

3. Kelainan neurologis

4. Kelainan psikis

5. Bedah lama

6. Penyakit jantung

7. Hipovolemia ringan

8. Nyeri punggung kronik

Persiapan analgesia spinal

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia
umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya
ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba
tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:

1. Informed consent

Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal

2. Pemeriksaan fisik

Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung

3. Pemeriksaan laboratorium anjuran


Hb, ht,pt,ptt,ct,bt

Peralatan analgesia spinal

1. Peralatan monitor: tekanan darah,pulse oximetri,ekg

2. Peralatan resusitasi

3. Jarum spinal

Jarum spinal dengan ujung tajam(ujung bamboo runcing, quinckebacock) atau jarum
spinal dengan ujung pinsil(pencil point whitecare)

Teknik analgesia spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah
lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam
30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien
membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka, misal L2-
L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla
spinalis.

Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.

Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml

Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G
dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser
sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock)
irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel
mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar
arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan
kateter.

Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir)
dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm.

Posisi

Posisi Duduk

Pasien duduk di atas meja operasi

Dagu di dada

Tangan istirahat di lutut

Posisi Lateral

Bahu sejajar dengan meja operasi

Posisikan pinggul di pinggir meja operasi

Memeluk bantal/knee chest position

Tinggi blok analgesia spinal

Faktor yang mempengaruhi:

 Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
 Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
 Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah
analgetik.
 Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.
Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
 Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan akibat
batas analgesia bertambah tinggi.
 Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung berkumpul
ke kaudal(saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung menyebar ke cranial.
 Berat jenis larutan: hiper,iso atau hipo barik
 Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas analgesia
yang lebih tinggi.
 Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis
yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
 Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetik sudah
menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.

Anastetik lokal untuk analgesia spinal

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008.


Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut isobaric. Anastetik local dengan
berat jenis lebih besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih
kecil dari css disebut hipobarik. Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis
hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis
hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.

Anestetik local yang paling sering digunakan:

1. Lidokaine(xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20-100mg


(2-5ml)
2. Lidokaine(xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat
hyperbaric, dose 20-50mg(1-2ml)
3. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg
4. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,
dosis 5-15mg(1-3ml)

Penyebaran anastetik local tergantung:

1. Factor utama:
 berat jenis anestetik local(barisitas)
 posisi pasien
 Dosis dan volume anestetik local

2. Faktor tambahan
 Ketinggian suntikan
 Kecepatan suntikan/barbotase
 Ukuran jarum
 Keadaan fisik pasien
 Tekanan intra abdominal

Lama kerja anestetik local tergantung:

1. Jenis anestetia local

2. Besarnya dosis

3. Ada tidaknya vasokonstriktor

4. Besarnya penyebaran anestetik local

Komplikasi anestesia spinal

Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi delayed.

Komplikasi tindakan
1. Hipotensi berat

Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum tindakan.

2. Bradikardia

Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai T-2

3. Hipoventilasi
 Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
 Trauma pembuluh saraf
 Trauma saraf
 Mual-muntah
 Gangguan pendengaran
 Blok spinal tinggi atau spinal total
4. Komplikasi pasca tindakan
 Nyeri tempat suntikan
 Nyeri punggung
 Nyeri kepala karena kebocoran likuor
 Retensio urine
 Meningitis
5. Komplikasi intraoperatif

Komplikasi kardiovaskular

Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi
karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan
arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan
berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati
dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin
atau fenilefedrin. Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat
dilakukan anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi
bradikardia yang berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus
seperti ini, hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi
ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-
Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan
kristaloid(NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera
setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi
hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19mg diulang
setiap 3-4menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi
karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas
atropine 1/8-1/4 mg IV.

Blok spinal tinggi atau total

Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan dosis
yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah
hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa
menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan
kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada
anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital
terutama otak dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke
serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal
total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi
akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenik biasanya
dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong terjadinya penurunan
kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya
menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya
menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya
keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen
bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan
normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang disebabkan
oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.

Komplikasi respirasi

1. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-paru
normal.
2. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.
3. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena hipotensi
berat dan iskemia medulla.
4. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-tanda tidak
adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.

6. Komplikasi postoperatif

Komplikasi gastrointestinal

Nausea dan muntah karena hipotensi,hipoksia,tonus parasimpatis berlebihan,pemakaian


obat narkotik,reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta komplikasi
delayed,pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa
lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam
pasca pungsi lumbal,dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada
kehamilan meningkat.

Nyeri kepala

Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala. Nyeri
kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada anestesi epidural.
Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum yang
digunakan. Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala.
Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang
dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 – 48 jam selepas suntikan
anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar
ke retro orbital, dan sering disertai dengan tanda meningismus, diplopia, mual, dan muntah.
Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien
dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang
atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 – 48 jam harus di
coba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena),
analgesic, dan suport yang kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava akan
menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya
menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural.
Jika terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin kedalam epidural
untuk menghentikan kebocoran.

Nyeri punggung

Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari tusukan
jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur ligament dengan
atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma suntikan jarum
dapat di obati secara simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang singkat
sahaja.

Komplikasi neurologik

Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah. Komplikasi
neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam waktu
24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia.
Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan
menghilang dalam beberapa hari.

Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini
mungkin dapat menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu
atau bulan. Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan
fekal, dan derajat yang bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah.

Komplikasi neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini
biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini
ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan motorik pada tungkai yang progresif. Pada
penyakit ini terdapat reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature
korda spinal.

Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama.
Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke korda spinal.
Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma tusukan jarum pada spinal maupun
epidural, kateter epidural atau suntikan solution anestesi lokal intraneural adalah jarang, tapi
tetap berlaku.

Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang berlaku
karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang subaraknoid. Hanya
pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh darah besar di area lumbar yang
menyebar ke ruang subaraknoid dari akar saraf. Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari
anesthesia adalah jarang. Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai bawah
karena iskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal. Kehilangan sensoris biasanya tidak
merata dan adalah sekunder dari nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukannya
akibat dari kerusakan didalam korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom
spinal-arteri : kekurangan bekalan darah ke arteri spinal anterior karena terjadi gangguan
bekalan darah dari arteri-arteri yang diganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah dari
arteri karena hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti
vena mahu pun obstruksi aliran. Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang
menyebabkan terjadinya sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya
anestesi spinal menggunakan obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi
kemungkinan epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal anterior atau
pembuluh darah yang memberikan bekalan darah. Hipotensi yang kadang timbul setelah
anestesi regional dapat menyebabkan kekurangan aliran darah. Infeksi dari spinal adalah
sangat jarang kecuali dari penyebaran bacteria secara hematogen yang berasal dari fokal
infeksi ditempat lain. Jika anestesi spinal diberikan kepada pasien yang mengalami
bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi penyebaran ke bakteri ke spinal. Oleh yang
demikian, penggunaan anestesi spinal pada pasien dengan bakteremia merupakan kontra
indikasi relatif. Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan menyebabkan
araknoiditis. Tanda dan symptom yang paling prominen pada komplikasi ini adalah nyeri
punggung yang berat, nyeri lokal, demam, leukositosis, dan rigiditas nuchal. Oleh itu, adalah
tidak benar jika menggunakan anestesi regional pada pasien yang mengalami infeksi kulit
loka pada area lumbar atau yang menderita selulitis. Pengobatan bagi komplikasi ini adalah
dengan pemberian antibiotik dan drenase jika perlu.

Retentio urine / Disfungsi kandung kemih


Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun regional.
Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali paling akhir pada
analgesia spinal,umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf pemanen merupakan
komplikasi yang sangat jarang terjadi.

Pencegahan:

1. Pakailah jarum lumbal yang lebih halus


2. Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater
3. Hidrasi adekuat,minum/infuse 3L selama 3 hari

Pengobatan:

1. Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam


2. Hidrasi adekuat
3. Hindari mengejan
4. Bila cara diatas tidak berhasil berikan epidural blood patch yakni penyuntikan darah
pasien sendiri 5-10ml ke dalam ruang epidural.

Kesimpulan

Walaupun komplikasi-komplikasi yang timbul ini bisa mengancam jiwa, tetapi harus
di ingat bahwa insiden komplikasi ini adalah sangat rendah. Dengan tehnik modern dan
persiapan yang rapih, insiden sequel neural mayor selepas anestesi subarakanoid telah
dilaporkan kurang dari 1 dalam 10,000 pasien. Ramai anestesiologi berpendapat bahwa jika
dibandingkan dengan anestesi umum, komplikasi yang muncul dari anestesi regional adalah
minimum sehingga anestesi regional menjadi pilihan utama jika sesuai dengan kebutuhan
pada saat operasi.

ANESTESI EPIDURAL

PENDAHULUAN
       Anestesia epidural dihasilkan dengan  menyuntikkan obat anestesi local kedalam ruang
epidural. Blok saraf terjadi pada akar nervus spinalis  yang  berasal dari medula spinalis  dan
melintasi ruang epidural. Anestetik local melewati duramater memasuki cairan cerebro spinal
sehingga menimbulkan efek anestesinya.  Efek anesthesia yang dihasilkan lebih lambat dari
anesthesia spinal dan terbentuk secara segmental.

      Anesthesia epidural dapat digunakan mulai dari analgesia dengan  blok motorik minimal
sampai  anesthesia dengan blok motorik penuh. Variasi ini dapat dikontrol dengan  pemilihan
obat, konsentrasi dan dosis. Pengunaan analgesia post operasi secara kontinu dengan
narkotik  atau local  anestesi melalui kateter epidural  semakin popular saat ini.

ANATOMI

      Daerah epidural tersusun atas bagian dasar oleh membran sacrococcygeal, bagian


posterior dibatasi oleh ligamentum flavum dan daerah anterior dari lamina dan  processus
articularis, bagian anterior dibatasi oleh ligamentum longitudinal posterior yang membungkus
tulang vertebra dan discus intervertebralis. Bagian lateral dibatasi oleh foramen
intervertebralis dan pedikel

                        

Ruang epidural berisi lemak dan jaringan limphatik maupun vena epidural. Vena tidak
memiliki katub dan berhubungan langsung dengan vena intracranial. Vena juga berhubungan
dengan vena thorasik dan vena abdominal. Vena pada foramen intervertebralis, berlanjut
pada pelvis yaitu pada pleksus vena sacralis. Daerah paling luas didaerah tengah dan runcing
pada bagian lateralnya. Pada daerah lumbal luasnya  5-6 mm dan pada daerah thoraks 
luasnya 3-5 mm.
FISIOLOGI.

1.     Blokade neural.

Anestesi local yang ditempatkan didaerah epidural bereaksi secara langsung  pada akar
nervus spinalis yang terdapat dibagian lateral dari ruang epidural.  Akar nervus tersebut
dibungkus dengan lapisan dural dan anestesi local mencapai cairan serebrospinal dengan
menyerap pada dura. 0nset blok lebih lama dibandingkan dengan anestesi spinal, dan
intensitas blok sensoris dan motorik rendah. 

2.     Kardiovaskuler.

Hipotensi akibat dari blokade simpatik mirip seperti  yang digambarkan pada anestesi spinal.
Dosis yang besar dari anestesi local yang digunakan  dapat diabsorbsi secara  sistemik,
mengakibatkan terjadinya depresi miokard. Epinefrin yang ditambahkan pada anestesi local
dapat diabsorbsi dan akan memberikan efek sitemik seperti takikardi dan hipertensi.

3.     Anesthesia epidural mengurangi terjadinya thrombosis vena dan embolisme pulmoner pada
pembedahan ortopedi. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan perfusi
keanggota gerak bagian bawah. Selain itu  terdapat kecenderungan terjadinya penurunan
koagulasi, penurunan agregasi platelet, dan perbaikan fungsi fibrinolitik selama anestesi
epidural.

4.     perubahan fisiologis lain serupa dengan yang dihasilkan oleh anestesi spinal.

INDIKASI.
      Pada umumnya indikasi epidural anestesi sama dengan spinal anestesi. Sebagai
keuntungan epidural anestesi adalah anestesi dapat diberikan secara kontinyu setelah
penempatan cateter epidural, oleh karena  itu tehnik ini cocok untuk  pembedahan yang lama
dan  analgesia  setelah pembedahan.

Indikasi Khusus :

A.    Pembedahan sendi panggul dan lutut.

Dibandingkan dengan anestesi umum, anestesi epidural untuk pembedahan panggul dan lutut
dapat mengurangi insidens trombosis vena. Penyebab kematian  pasien yang menjalani
pembedahan sendi yang total adalah  emboli paru. Lagi  pula  kehilangan darah selama
pembedahan sendi panggul  lebih kecil pada   pemakaian  tehnik  anestesi  epidural.

B.   Revaskularisasi ektremitas bawah

Penelitian menunjukkan bahwa anestesia  epidural pada pasien dengan penyakit pembuluh
darah periper ,  aliran darah kedistal  selama rekonstruksi pembuluh darah  anggota  gerak
bagian  bawah adalah baik dan  penyumbatan  cangkokan  pembuluh darah  setelah operasi
adalah kecil dibandingkan dengan anestesi umum. 

C.    Persalinan.

Pasien-pasien obsteric yang takut nyeri melahirkan dapat ditangani dengan epidural anestesi 
dan memperoleh bayi dengan riwayat biokemia yang baik dari pada bayi dilahirkan  pada ibu
yang diberikan opioid atau anetestetik lainnya secara intravena.

D.    Penanganan nyeri post operasi.  

Anestesi local konsentrasi rendah dan opoid atau kombinasi obat ini dengan analgesik lain
adalah manjur pada kontrol nyeri post operasi. Analgesia  post operasi ini memudahkan
ambulatory dini dan kerja sama yang baik dengan phisio terapi.

KONTRA INDIKASI                                

Absolut :

 Pasien tidak setuju


 Infeksi local pada daerah kulit yang akan ditusuk.
 Sepsis generalisata (seperti septicemia, bacteremia).
 Koagulopathi.
 Alergi terhadap suatu jenis anestetik local.
 Peningkatan tekanan intracranial.
Relatif :

 Hipovolemia
 Penyakit SSP
 Nyeri punggung kronik.
 Pasien yang mendapat obat penghambat platelet, termasuk aspirin, dripiridamol,  dan
NSAID

PROSEDUR
A.      Persiapan peralatan dan Jarum epidural.

       Seperti pada anestesi umum, obat-obatan  serta mesin anestesia disiapkan sebelum
penderita masuk ruangan ; begitu pula dengan monitor standar. Persiapan termasuk
vasopressor untuk mencegah hipotensi, oksigen suplemen melalui nasal kanula atau masker
untuk mengatasi depresi pernapasan akibat sedatif atau anestetik.

       Pada umumnya jarum weiss atau tuohy ukuran 17 yang digunakan untuk ideintifikasi
ruang epidural. Jarum ini mempunyai stylet dan ujungnya tumpul dengan lubang pada sisi
lateral dan mempunyai dinding tipis yang dapat dilalui kateter ukuran 20. Jarum ukuran 22
sering digunakan untuk tehnik dosis tunggal.

B.      Menentukan posisi pasien

Pasien dapat diposisikan pada posisi duduk, posisi lateral atau posisi prone dengan
pertimbangan yang sama dengan anestesi spinal.

C.    Identifikasi  Ruang epidural.

Ruang epidural  teridentifikasi setelah ujung jarum melewati ligamentum flavum dan
menimbulkan tekanan negatif pada ruang epidural.  Metode untuk identifikasi  ini dibagi
dalam dua kategori : loss of resistance tehnik dan hanging drop tehnik.

1.      Loss of resistence tehnik.


Tehnik ini  adalah  cara yang umum dipakai untuk identifikasi  ruang epidural. Cara ini
dengan  mengarahkan jarum melewati  kulit masuk kedalam ligamentum interspinosus,
dimana dibuktikan oleh adanya tahanan. Pada saat ini intraduser  dikeluarkan dan jarum
dihubungkan dengan spoit yang diisi dengan udara atau Nacl 0,9 %, kemudian tusukan
dilanjutkan  sampai keruang epidural.

Ada dua  cara mengendalikan kemajuan  penempatan jarum. Pertama menempatkan  dua jari
menggenggam  spoit dan jarum dengan  tekanan tetap  pada pangkalnya sehingga jarum
begerak   kedepan sampai jarum masuk kedalam ruang epidural.  Pendekatan lain dengan
menempatkan   jarum beberapa millimeter dan saat itu dihentikan dan kendalikan dengan
hati-hati. Dorsum tangan non dominan menyokong belakang pasien dengan ibu jari dan jari
tengah  memegang poros jarum. Tangan non dominan mengontrol masuknya jarum epidural
dan setelah itu ibu jari tangan dominan menekan fluger dari spoit. Ketika ujung jarum berada
dalam ligamentum fluger tidak bisa ditekan dan dipantulkan kembali, tetapi ketika jarum
masuk ruang epidural terasa kehilangan tahanan dan fluger mudah ditekan dan tidak
dipantulkan kembali. Cara yang kedua lebih cepat dan lebih praktis tetapi memerlukan
pengalaman sebelumnya untuk menghindari penempatan jarum epidural pada lokasi yang
salah.                                                                                                                                          

Apakah suntikan dengan Nacl 0,9 % atau udara yang dipakai pada loss of resistens tehnik
tergantung pada  pilihan praktisi. Ada  beberapa laporan  gelembung udara  menyebabkan
inkomplet  atau  blok tidak sempurna;  betapapun ini  terjadi hanya dengan  udara dalam
jumlah yang banyak.

Gambar.  Posisi tangan pada jarum epidural

2.     Hanging Drop tehnik.


Dengan tehnik ini jarum ditempatkan pada ligamentum intrspinosus , pangkal jarum  diisi
dengan cairan Nacl 0,9 % sampai  tetesan menggantung dari  pangkal jarum. Selama jarum
melewati struktur  ligamen  tetesan tidak bergerak; akan tetapi waktu ujung jarum melewati
ligamentum flavum dan masuk dalam ruang epidural, tetesan cairan ini terisap masuk oleh
karena adanya tekanan negatif dari ruang epidural.   Jika jarum menjadi  tersumbat, atau
tetesan cairan tidak akan terisap masuk maka jarum telah melewati ruang epidural yang
ditandai dengan cairan  serebrospinal pada pungsi dural. Sebagai konsekuensi tehnik hanging
drop biasanya  digunakan hanya oleh praktisi yang berpengalaman .

         

Gambar.  Cara memasukkan jarum kedalam ruang epidural

D.      Pilihan tingkat block.

Anestesia  epidural  dapat dilakukan pada salah satu dari empat segmen dari tulang belakang
(cervical, thoracic, lumbar, sacral). Anestesia epidural pada segmen sacralis biasanya disebut
sebagai anesthesia caudal.

1.      Lumbar epidural anesthesia.

a.     Midline  approach.

Pasien diposisikan, dipersiapkan dan ditutup kain steril dan diidentifikasi  interspace L4-5
sejajar Krista iliaka. Interspace dipilih dengan palpasi apakah level L3-4 atau L4-5. Jarum
ukuran 25 digunakan untuk anestesi local dengan infiltrasi dari suferfisial sampai kedalam
ligamentum interspinosa dan supraspinosa. Jarum ukuran 18 G dibuat tusukan kulit untuk
dapat dilalui jarum epidural. Jarum epidural dimasukkan  terus pada tusukan kulit dan
dilanjutkan kearah sedikit kecephalad untuk   memperkirakan lokasi ruang interlaminar dan
sebagai dasar adalah pada perocesus spinosus superior. Setelah jarum masuk pada struktur
ligamentum , spoit dihubungkan  dengan jarum dan tahanan diidentifikasi. Poin utama disini
bahwa adanya perasaan jarum masuk pada struktur ligamentum. Apabila perasaan kurang
jelas adalah akibat tahanan pada otot paraspinosus atau lapisan lemak mengakibatkan injeksi
local anestesi kedalam ruang lain dari pada ruang epidural dan terjadi gagal blok. Apabila ini
terjadi penempatan jarum pada ligamentum diperbaiki, kemudian jarum dilanjutkan masuk
keruang epidural dan loss of resistensi diidentifikasi dengan Hati-hati.

Gambar.  anestesi epidural lumbal: pendekatan median.

b.    Paramedian approach

Biasanya dipilih pada kasus dimana  operasi atau penyakit sendi degeratif sebelumnya ada
kontra indikasi dengan median approach. Tehnik ini lebih mudah bagi  pemula, karena saat
jarum bergerak kedalam ligamen dan perubahan  tahanan tidak terjadi, maka jarum masuk  ke
otot paraspinosus dan tahanan hanya dirasakan bila jarum sampai pada ligamentum flavum.

Pasien diposisikan, dipersiapkan dan  ditutupi kain streril seperti pada mid line approach.
Jarum ditusukkan kira-kira 2-4 cm kelateral garis tengah pada bagian bawah processus
spinosus  superior. Tusukan kulit dibuat dan jarum epidura langsung  diarahkan kecephalad 
seperti pada median approach dan kemudian jarum dilanjutkan kearah midline.  Setelah
strukur dermal ditembusi spoit dihubungkan dengan jarum dan  selanjutnya jarum masuk
masa otot psraspinosus akan terasa tahanan minimal dan kemudian sampai   ada peningkatan
tahanan yang tiba-tiba ketika jarum sampai pada ligamentum flavum. Jika jarum telah
melewati ligamentum flavum dan setelah loss of resiten teridentifikasi maka jarum telah
masuk kedalam ruang epidural.

Gambar.  Anestesia epidural lumbal : pendekatan paramedian

2.       Thoracic epidural anesthesia.

Thoracic epidural anesthesia adalah tehnik yang lebih sulit  dari pada lumbar epidural
anesthesia , dan kemungkinan untuk  trauma pada medulla spinalis adalah besar. OLeh
karena itu, yang penting bahwa praktisi  sepenuhnya familiar dengan  lumbar epidural
anesthesia sebelum  mencoba thoracic epidural block.

a.   Midline approach

Interspase lebih sering diidentifikasi  dengan  pasien pada posisi duduk. Pada segmen atas
thoracic, sudut  processus spinosus lebih miring dan  curam  kearah kepala. Jarum
dimasukkan melewati jarak yang relatif pendek mencapai ligamentum supraspinous dan 
interspinous, dan ligamentum flavum diidentifikasi biasanya tidak lebih dari 3-4 cm dibawah
kulit. Kehilangan tahanan yang tiba-tiba adalah  tanda masuk dalam ruang epidural. Semua
tehnik epidural anesthesia  diatas regio lumbal kemungkinan  kontak langsung dengan
medulla spinalis  harus dipertimbangkan selama mengidentifikasi ruang epidural. Jika 
didapatkan nyeri yang membakar kemungkinan bahwa jarum epidural kontak langsung
dengan medulla spinalis harus dipertimbangkan dan jarum  harus dengan segera dipindahkan.
Kontak berulang dengan tulang dan tidak didapatkan ligamentum atau ruang epidural adalah
indikasi untuk merubah pada pendekatan paramedian.

Gambar. Epidural anestesia thorakal : pendekatan median.

b.     Paramedian approach.

Pada pendekatan paramedian , interspase diidentifikasi dan jarum ditusukkan kira-kira 2 cm


kelateral garis tengah pada pinggir kaudal prosesus spinosus superior. Pada tehnik ini jarum
ditempatkan hampir tegak lurus pada kulit dengan  sudut minimal  10-15 derajat kearah
midline  dan dilanjutkan sampai lamina  atau pedikle dari tulang belakang disentuh. Jarum
ditarik kebelakang  dan ditujukan kembali  agak kecephalad. Jika tehnik ini sempurna  ujung
jarum akan kontak dengan ligamentum flavum. Spoit dihubungkan dengan jarum, dan pakai
tehnik loss of resistence atau hanging drop untuk mengidentifikasi ruang epidural. Sama
dengan paramedian approach pada regio lumbar, jarum harus  dilanjutkan sebelum
ligamentum flavum dilewati dan ruang epidural didapatkan.

                                               

Gambar. Anestesi epidural thorakal : pendekatan paramedian.


3.       Cervical epidural anesthesia.

Tehnik ini khusus dilakukan  dengan pasien pada posisi duduk dan leher  difleksikan. Jarum
epidural dimasukkan pada midline khususnya pada interspase C5-C6 atau C6-C7  dan
ditusukkan secara relatif datar  kedalam ruang epidural dengan memakai tehinik  loss of
resistence dan lebih sering dengan hanging drop.

                            Gambar. Anestesia epidural cervical : pendekatan median.

E.     Penempatan  kateter.

Kateter epidural  digunakan untuk injeksi ulang  anestesi local pada operasi yang lama dan
pemberian analgesia post operasi.

(1). Kateter radiopaq ukuran 20 disusupkan melalui jarum epidural, ketika bevel diposisikan
kearah cephalad. Jika kateter berisi stylet kawat, harus ditarik kembali1-2 cm untuk
menurunkan insiden parestesia dan pungsi dural atau vena.

(2). Kateter dimasukkan 2-5 cm ke dalam ruang epidural. Pasien dapat mengalami parasthesia
yang tiba-tiba dan biasanya terjadi dalam waktu yang singkat. Jika kateter tertahan, kateter
harus direposisikan. Jika kateter harus ditarik kembali, maka kateter dan jarum dikeluarkan
bersama-sama.

(3). Jarak dari permukaan belakang pasien diberi tanda pada pengukuran kateter.

(4). Jarum ditarik kembali secara hati-hati melalui kateter dan jarak dari bagian belakang pasien
yang diberi tanda pada kateter diukur lagi. Jika kateter telah masuk, kateter ditarik kembali 2-
3 cm dari ruang epidural.
(5). Bila kateter sudah sesuai kemudian dihubungkan dengan spoit. Aspirasi dapat dilakukan
untuk mengecek adanya darah atau cairan serebrospinal, dan kemudian kateter diplester
dengan kuat pada bagian belakang pasien dengan ukuran yang besar, bersih dan diperkuat
dengan pembalutan.

F.      Obat-obatan untuk anestesi  epidural.

Anestetik local.

Pilihan obat  anestetik local untuk anesthesia epidural ditentukan oleh lamanya prosedur
operasi  dan intensitas blok motoris yang dikehendaki.  kloroprokain  adalah kerja singkat,
mevipakain adalah kerja sedang, buvipakain dan etidokain adalah kerja lama. Buvipakain
konsentrasi rendah tidak cocok digunakan pada prosedur yang membutuhkan blok motoris
untuk setiap blok sensorik dibandingkan dengan  obat lainnya.

  Tabel.  Anestetik local  untuk anesthesia  epidural


Obat Konsentrasi Lama anesthesia dengan
epinefrin (menit)

  Chloroprokain   2 – 3  % 60

  Lidokain   1,5  % 60 – 90

  Mepivakain   1,5  % 90 – 120


  Bupivakain   0,5  % >  180

  Etidokain   1,0  % >  150

Epinefrin.

Penambahan epinefrin (5 g/ml)  kedalam anestesi local yang disuntikkan kedalam  ruang
epidural tidak hanya memperpanjang efeknya  dengan cara menekan absorbsi, menurunkan
konsentrasi obat dalam darah dan juga mengurangi keracunan sitemik. Epinefrin juga
mengurangi suatu kelainan akibat penyuntikan intravaskuler.  Sejumlah kecil epinefrin
diabsorbsi dari ruang epidural yang akan  membentuk efek beta adrenergik, peningkatan
tahanan pembuluh darah sistemik dan peningkatan denyut jantung.

Tes dosis
Karena anestesi epidural termasuk meninjeksikan sejumlah besar obat anestesi local,
pemasangan kateter mesti berada pada tempat yang benar. Aspirasi pluger dari spoit dapat
menarik darah atau CSS. Kateter epidural ditarik kembali dan ditempatkan pada tempat lain
apabila terdapat darah atau CSS dalam kateter. Tes dosis selalu diperlukan, hal ini terdiri  dari
3 ml anestesi local dari konsentrasi yang sama untuk anestesi spinal dan mengandung 5  g
epinefrin  (lidokain 1,5 % dan epinefrin 1 : 200.000  yang sering digunakan). Bila jarum  atau
kateter masuk kedalam vena epidural mengakibatkan peningkatan denyut jantung 20 denyut
permenit atau lebih besar dalam dua menit. Jika jarum atau kateter terletak diruang epidural ,
hal tersebut tidak terjadi dan tidak ada perubahan tekanan darah atau denyut jantung.

Sering sejumlah kecil cairan teraspirasi sebelum obat anestesia diinjeksikan. Adanya cairan
ini adalah cairan serebrospinal atau anestesia lokal yang diinjeksikan sebelumnya. Dipstick
test membedakan adanya glukosa, dimana cariran serebrospinal mengandung glukosa dan
tidak ada pada cairan anestesi lokal.

Dosis  anestesi.

Penyebaran obat anestetik local dalam ruang epidural hanya tergantung pada volume yang
dinjeksikan . sedang konsentrasi anestetik local dalam larutan hanya berpengaruh pada
derajat dan densitas  dari blok. Onset anestesi epidural labih lambat walaupun  ditambahkan
sodium bikarbonat kedalam anestesi local untuk mempercepat onsetnya.

Volume larutan anestetik yang tepat untuk anesthesia epidural lumbal berkisar dari 15 – 25
ml. Studi pada sukarelawan muda menunjukkan kebutuhan rata-rata adala 1,6  ml per
segemen spinal yang dianestesi. Pada ruang epidural torakal yang sempit kurang lebih
dibutuhkan setengahnya. Pasien yang tua, pasien hamil, dan pasien dengan tekanan intra 
abdominal  yang meningkat diperlukan volume anestetik local lebih sedikit untuk mencapai
distribusi yang diberikan.

Penambahan anestetik local yang dibutuhkan ditentukan oleh pilihan ahli anestesiologi pada
observasi klinik. Bila anestetik dihabiskan untuk dua dermatom , penambahan sepertiga
sampai setengah dari jumlah anestetik local semula  akan diperoleh anesthesia yang adekuat.
Bilamana menggunakan anestetik epidural dan anestesi umum bersama-sama, penambahan
dosis diberikan pada interval waktu yang sesuai dengan karakteristik obat anestesi local.

Opioid.

Dibandingkan dengan spinal opioid , epidural opioid menghasilkan efek yang hampir sama
dan dibutuhkan perhatian yang sama, karena diberikan jumlah yang lebih besar. Opioid
mempunyai kerja sinergis dengan anestetik local yaitu memepertinggi efektivitas konsentrasi
yang kecil dari obat anestetik local.

KOMPLIKASI

1.     Intra Operatif
a.    Pungsi dural

Pungsi dural yang tidak disengaja terjadi pada 1 % injeksi epidural.  Jika hal ini terjadi, ahli
anestesi mempunyai sejumlah pilihan tergantung pada kasusnya. Perubahan keanestesi spinal
dapat terjadi oleh injeksi sejumlah anestesi kedalam aliran cairan serebrospinal. Kemudian
anestesi spinal dapat dikerjakan dengan menyuntikkan sejumlah anestesi lokal  keruang
subarachnoid melalui jarum. Jika anestesi epidural diperlukan  ( misalnya untuk analgesia
post operasi), kateter akan direposisikan keda-lam interspace diatas   pungsi dengan demikian
ujung dari kateter epidural berada jauh  dari tempat pungsi dural. Kemungkinan anestesi
spinal dengan injeksi  kateter epidural dapat dipertimbangkan.

  

b.    Komplikasi kateter

(1).  Kegagalan  pemasangan kateter epidural adalah kesulitan yang lazim.. hal ini lebih sering 
ditemukan apabila jarum  epidural diinsersikan pada bagian lateral dibandingkan apabila
jarum diinsersikan pada median atau ketika bevel dari jarum secara cepat  ditusukkan
kedalam ruang epidural. Hal tersebut dapat juga terjadi apabila bevel  dari jarum hanya
sebagian yang melewati ligamentum flavum  sewaktu penurunan resistensi terjadi. Pada
kasus  terakhir , pergerakan yang hati-hati dari jarum  sejauh 1 mm kedalam ruang epidural
dapat memudahkan insersi kateter. Kateter dan jarum sebaiknya ditarik dan direposisikan
bersama-sama jika terjadi  tahanan.

(2). Kateter dapat terinsersi masuk kedalam pembuluh darah epidural sehingga darah teraspirasi
oleh kateter atau takikardia ditemukan dengan dosis test. Kateter  seharusnya ditarik secara
perlahan-lahan sampai darah tidak ditemukan pada aspirasi dari pengetesan. Penarikan
penting agar dapat segera dipindahkan dan diinsersikan kembali.

(3).  Keteter dapat rusak atau menjadi terikat dalam ruang epidural. Jika tidak terjadi infeksi,
tetap memakai kateter tidak lebih banyak memberikan reaksi dibandingkan dengan
pembedahan. Pasien seharusnya dinformasikan dan diterangkan mengenai masalah  yang
terjadi. Komplikasi dari eksplorasi bedah serta pengeluaran kateter lebih besar dibandingkan
dengan komplikasi  dari penanganan secara konservatif.

c.    Injeksi subarachnoid yang tidak disengaja . Injeksi dengan sejumlah    basar volume
anestesi local kedalam ruang subarachnoid dapat menghasilkan anestesi spinal yang total.

d.     Injeksi intravaskuler anestesi local kedalam vena epidural menyebabkan toksisitas


pada sistim saraf pusat dan kardiovaskuler yang menyebabkan konvulsi dan kardiopulmonary
arrest.

e.     Overdosis anestesi local. Toksisitas anestesi local secara sistemik kemungkinan


disebabkan oleh adanya penggunaan obat  yang jumlahnya relatif basar pada anesthesia
epidural.
f.       Kerusakan spinal cord.  Dapat terjadi jika injeksi epidural  diatas lumbal 2. Onset
parestesia unilateral menandakan insersi jarum secara lateral  masuk kedalam ruang epidural.
Selanjutnya  injeksi atau insersi kateter pada bagian ini dapat menyebabkan trauma pada
serabut saraf. Saluran kecil arteri pada arteri spinal anterior juga masuk kedalam area ini
dimana melewati celah pada foramen intervertebral. Trauma pada arteri tersebut  dapat
menyebabkan iskemia spinal cord anterior atau hematoma epidural.

g.      Perdarahan. Perforasi pada vena oleh jarum dapat menyebabkan suatu perdarahan
yang emergensi dan mematikan. Jarum seharusnya dipindahkan dan direposisikan. Lebih baik
mereposisikan jarum pada ruang yang berbeda, dimana jika terdapat perdarahan pada tempat
itu maka dapat meyebabkan kesulitan dalam  penempatan jarum secara tepat.

2.     Post Operasi 

a. Sakit kepala post pungsi dural. Jika dural dipungsi dengan jarum epidural ukuran 17,
menyebabkan sebanyak  75 % dari pasien muda untuk menderita sakit kepala post punsi
dural .  
b. Infeksi. Abses epidural adalah suatu komplikasi yang sangat jarang timbul akibat
anestesi epidural. Sumber infeksi dari sebagian besar kasus berasal dari  penyebaran
secara hematogen pada ruang epidural dari suatu infeksi pada bagian yang lain . Infeksi
dapat juga timbul dari kontaminasi sewaktu insersi, kontaminasi kateter yang
dipergunakan untuk pertolongan nyeri post operasi  atau melalui suatu infeksi kulit pada
tempat insersi. Pasien akan mengalami demam, nyeri punggung yang hebat dan lemah
punggung secara local. Selanjutnya dapat terjadi nyeri serabut saraf dan paralisis. Pada
awalnya pemeriksaan laboratorium ditemukan suatu lekosit dari lumbal pungsi.
Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan Myelography atau Magnetik Resonance
Imaging (MRI). Penanganan yang dianggap penting adalah dekompresi laminektomi dan
pemberian antibiotik. Penyembuhan neurologik yang baik adalah berhubungan dengan
cepatnya penegakan diagnosis dan penanganan. 
c. Hematoma epidural  adalah suatu komplikasi yang sangat jarang dari anestesi epidural.
Trauma pada vena epidural  menimbulkan koagulophati yang dapat menyebabkan suatu
hematoma epidural  yang besar. Pasien akan merasakan nyeri punggung yang hebat dan
defisit neurologi yang persisten setelah anestesi epidural. Diagnosis dapat segera
ditegakkan dengan computered tomographi atau MRI. Decompresi laminektomy penting
dilakukan untuk memelihara fungsi neurologi.

ASUHAN KEPERAWATAN
KLIEN KISTA OVARIUM
A. PENGKAJIAN
1. Langkah I (pertama) :
Pengumpulan Data Dasar Pada langkah pertama ini dikumpulkan semua
informasi yang akurat dari semua sumber yang berkaitan dengan kondisi klien.
Perawat mengumpulkan data dasar awal yang lengkap. Bila klien mengalami
komplikasi yang perlu dikonsultasikan kepada dokter dalam 30 manajemen
kolaborasi perawat akan melakukan konsultasi. Pengkajian atau pengumpulan data
dasar adalah mengumpulkan semua data yang dibutuhkan untuk mengevaluasi
keadaan pasien. (Muslihatun, dkk. 2009: 115).
a. Data subyektif
1) Identitas pasien
a) Nama : Dikaji untuk mengenal atau memanggil agar tidak keliru
dengan pasien-pasien lain.
b) Umur : Untuk mengetahui apakah pasien masih dalam masa
reproduksi.
c) Agama : Untuk mengetahui pandangan agama klien mengenai
gangguan reproduksi.
d) Pendidikan : Dikaji untuk mengetahui sejauh mana tingkat intelektualnya
sehingga bidan dapat memberikan konseling sesuai dengan pendidikannya.
e) Suku/bangsa : Dikaji untuk mengetahui adat istiadat atau kebiasaan sehari-
hari pasien.
f) Pekerjaan : Dikaji untuk mengetahui dan mengukur tingkat sosial
ekonominya.
g) Alamat : Dikaji untuk mempermudah kunjungan rumah bila diperlukan.

2) Alasan Kunjungan Alasan apa yang mendasari ibu datang.


Tuliskan sesuai uangkapan.
a) Keluhan Utama
Dikaji dengan benar-benar apa yang dirasakan ibu untuk mengetahui
permasalahan utama yang dihadapi ibu mengenai kesehatan reproduksi.
b) Riwayat Kesehatan
(1) Riwayat kesehatan yang lalu
Dikaji untuk mengetahui penyakit yang dulu pernah diderita yang dapat
mempengaruhi dan memperparah penyakit yang saat ini diderita.
(2) Riwayat kesehatan sekarang
Data ini dikaji untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit yang
diderita pada saat ini yang berhubungan dengan gangguan reproduksi
terutama kista ovarium.
(3) Riwayat kesehatan keluarga
Data ini dikaji untuk mengetahui kemungkinan adanya pengaruh
penyakit keluarga terhadap gaangguan kesehatan pasien.
c) Riwayat Perkawinan
Untuk mengetahui status perkawinan, berapa kali menikah, syah atau tidak,
umur berapa menikah dan lama pernikahan.
d) Riwayat menstruasi
Untuk mengetahui tentang menarche umur berapa, siklus, lama menstruasi,
banyak menstruasi, sifat dan warna darah,
disminorhoe atau tidak dan flour albus atau tidak. Dikaji untuk mengetahui
ada tidaknya kelainan system reproduksi sehubungan dengan menstruasi.
e) Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu
Bertujuan untuk mengetahui apabila terdapat penyulit, maka bidan harus
menggali lebih spesifik untuk memastikan bahwa apa yang terjadi pada ibu
adalah normal atau patologis.
f) Riwayat KB
Dikaji untuk mengetahui alat kontrasepsi yang pernah dan saat ini
digunakan ibu yang kemungkinan menjadi penyebab atau berpengaruh pada
penyakit yang diderita saat ini.
g) Pola Pemenuhan Kebutuhan Sehari-hari
(1) Nutrisi
Dikaji tentang kebiasaan makan, apakah ibu suka memakan makanan
yang masih mentah dan apakah ibu suka minum minuman beralkohol
karena dapat merangsang pertumbuhan tumor dalam tubuh.
(2) Eliminasi
Dikaji untuk mengetahui pola fungsi sekresi yaitu kebiasaan buang air
besar meliputi frekuensi, jumlah, konsistensi dan bau serta kebiasaan air
kecil meliputi frekuensi, warna, jumlah.
(3) Hubungan seksul
Dikaji pengaruh gangguan kesehatan reproduksi tersebut apakah
menimbulkan keluhan pada hubungan seksual atau sebaliknya.
(4) Istirahat
Dikaji untuk mengetahui apakah klien beristirahat yang cukup atau
tidak.
(5) Personal hygiene
Dikaji untuk mengetahui apakah ibu selalu menjaga kebersihan tubuh
terutama pada daerah genetalia.
(6) Aktivitas
Dikaji untuk menggambarkan pola aktivitas pasien sehari hari. Pada
pola ini perlu dikaji pengaruh aktivitas terhadap kesehatannya.
b. Data Objektif
Seorang perawat harus mengumpulkan data untuk memastikan bahwa keadaan
klien dalam keadaan stabil. Yang termasuk dalam komponen-komponen
pengkajian data obyektif ini adalah:
1) Pemeriksaan umum
a) Keadaan umum
Dikaji untuk menilai keadaan umum pasien baik atau tidak.
b) Kesadaran
Dikaji untuk menilai kesadaran pasien.
c) Vital sign
Dikaji untuk mengetahui keadaan ibu berkaitan dengan kondisi yang
dialaminya, meliputi : Tekanan darah, temperatur/ suhu, nadi serta
pernafasan
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dari ujung rambut sampai ujung kaki.
a) Kepala : Dikaji untuk mengetahui bentuk kepala, keadaan rambut
rontok atau tidak, kebersihan kulit kepala.
b) Muka : Dikaji untuk mengetahui keadaan muka oedem atau tidak,
pucat atau tidak.
c) Mata : Dikaji untuk mengetahui keadaan mata sklera ikterik atau
tidak, konjungtiva anemis atau tidak.
d) Hidung : Dikaji untuk mengetahui keadaan hidung simetris atau tidak,
bersih atau tidak, ada infeksi atau tidak.
e) Telinga : Dikaji untuk mengetahui apakah ada penumpukan sekret atau
tidak.
f) Mulut : Dikaji untuk mengetahui apakah bibir pecah-pecah atau tidak,
stomatitis atau tidak, gigi berlubang atau tidak.
g) Leher : Dikaji untuk mengetahui apakah ada pembesaran kelenjar
tiroid, limfe, vena jugularis atau tidak.
h) Ketiak : Dikaji untuk mengetahui apakah ada pembesaran kelenjar
limfe atau tidak.
i) Dada : Dikaji untuk mengetahui apakah simetris atau tidak, ada
benjolan atau tidak.
j) Abdomen : Dikaji untuk mengetahui luka bekas operasi dan pembesaran
perut.
k) Ekstermitas atas : Dikaji untuk mengetahui keadaan turgor baik atau
tidak, ikterik atau tidak, sianosis atau tidak.
l) Ekstermitas bawah : Dikaji untuk mengetahui keadaan turgor baik atau
tidak, sianosis atau tidak, oedem atau tidak, reflek patella positif atau
tidak.
m) Genitalia : Untuk mengetahui apakah ada kelainan, abses ataupun
pengeluaran yang tidak normal.
n) Anus : Dikaji untuk mengetahui apakah ada hemorrhoid atau tidak.
3) Pemeriksaan khusus
a) Inspeksi
Inspeksi adalah proses pengamatan dilakukan untuk melihat keadaan
muka, payudara, abdomen dan genetalia.
b) Palpasi
Palpasi adalah pemeriksaan dengan indera peraba atau tangan, digunakan
untuk memeriksa payudara dan abdomen.
4) Pemeriksaan Penunjang
Mendukung diagnosa medis, kemungkinan komplikasi, kelainan dan penyakit.

2. Langkah II (kedua): Interpretasi Data Dasar


Pada langkah ini dilakukan interpretasi data yang benar terhadap diagnosa atau
masalah dan kebutuhan klien berdasarkan interpretasi yang benar atas data-data yang
telah dikumpulkan (Muslihatun, dkk. 2009: 115).
Dalam langkah ini data yang telah dikumpulkan di interpretasikan menjadi
diagnosa keperawatan dan masalah.
a. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan dapat ditegakkan yang berkaitan dengan nama ibu, umur
ibu dan keadaan gangguan reproduksi. Data dasar meliputi:
1) Data Subyektif
Pernyataan ibu tentang keterangan umur serta keluhan yang dialami ibu.
2) Data Obyektif
Hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.
b. Masalah
Permasalahan yang muncul berdasarkaan pernyataan pasien Data dasar meliputi:
1) Data Subyektif
Data yang di dapat dari hasil anamnesa pasien.
2) Data Obyektif
Data yang didapat dari hasil pemeriksaan.
3. Langkah III (ketiga): Mengidentifikasikan Diagnosa atau Masalah Potensial
Pada langkah ini, perawat mengidentifikasi masalah atau diagnosis potensial
lain berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosis yang sudah diidentifikasi. Langkah
ini membutuhkan antisipasi. Jika memungkinkan, dilakukan pencegahan. Sambil
mengamati kondisi klien, bidan diharapkan dapat bersiap jika diagnosis atau masalah
potensial benar-benar terjadi. Langkah ini menentukan cara perawat melakukan
asuhan yang aman (Purwandari, 2008:79).
4. Langkah IV (keempat): Mengidentifikasi dan Menetapkan Kebutuhan yang
Memerlukan Penanganan Segera
Langkah keempat mencerminkan kesinambungan dari proses manajemen
keperawatann. Data baru mungkin saja perlu dikumpulkan dan dievaluasi. Beberapa
data mungkin mengindikasikan situasi yang gawat dimana bidan harus bertindak
segera untuk kepentingan keselamatan jiwa ibu (Muslihatun, dkk. 2009: 117).
Dari data yang dikumpulkan dapat menunjukan satu situasi yang memerlukan
tindakan segera sementara yang lain harus menunggu intervensi dari seorang dokter.
Situasi lainya bisa saja tidak merupakan kegawatan tetapi memerlukan konsultasi
atau kolaborasi dengan dokter (Muslihatun, dkk. 2009: 117).
5. Langkah V (kelima): Merencanakan Asuhan yang Menyeluruh
Pada langkah ini, direncanakan asuhan yang menyeluruh ditentukan oleh
langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan kelanjutan manajemen terhadap
diagnosis atau masalah yang telah diidentifikasi atau diantisipasi. Pada langkah ini
informasi atau data dasar yang tidak lengkap dapat dilengkapi(Purwandari, 2008: 81).
Rencana asuhan yang menyeluruh tidak hanya meliputi apa yang sudah
teridentifikasi dari kondisi klien atau dari setiap masalah yang berkaitan, tetapi juga
dari kerangka pedoman antisipasi terhadap wanita tersebut tentang apa yang akan
terjadi berikutnya, apakah dibutuhkan penyuluhan untuk masalah sosial ekonomi,
budaya, atau 40 psikologis. Dengan kata lain, asuhan terhadap wanita tersebut sudah
mencakup setiap hal yang berkaitan dengan semua aspek asuhan. Setiap rencana
asuhan harus disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu perawat dan klien, agar dapat
dilaksanakan dengan efektif karena klien merupakan bagian pelaksanaan rencana
tersebut. Oleh karena itu, pada langkah ini tugas perawat adalah merumuskan
rencana asuhan sesuai hasil pembahasan rencana bersama klien, kemudian membuat
kesepakatan bersama sebelum melaksanakannya (Purwandari, 2008: 81).
6. Langkah VI (keenam): Melaksanakan perencanaan
Pada langkah keenam ini rencana asuhan menyeluruh seperti yang telah
diuraikan pada langkah ke 5 dilaksanakan secara efisien dan aman. Perencanaan ini
bisa dilakukan oleh perawat atau sebagian dilakukan oleh bidan dan sebagian lagi
oleh klien, atau anggota tim kesehatan yang lain. Jika perawat tidak melakukannya
sendiri ia tetap memikul tanggung jawab untuk mengarahkan pelaksanaanya.
Manajemen yang efisien akan menyingkat waktu dan biaya serta meningkatkan mutu
dari asuhan klien (Muslihatun, dkk. 2009: 118).
7. Langkah VII (terakhir): Evaluasi
Pada langkah ke-7 ini dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang sudah
diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan bantuan yang diidentifikasi dalam masalah
dan diagnosis. Ada kemungkinan rencana tersebut efektif, sedang sebagian yang lain
belum efektif. Mengingat proses manajemen asuhan ini merupakan suatu kontinum,
perlu mengulang kembali dari awal setiap asuhan yang tidak efektif melalui proses
manajemen tidak efektif serta melakukan penyesuaian pada rencana asuhan tersebut
(Purwandari, 2008: 82).
Langkah proses manajemen pada umumnya merupakan pengkajian yang
memperjelas proses pemikiran dan mempengaruhi tindakan serta orientasi proses
klinis. Karena proses manajemen tersebut berlangsung di dalam situasi klinis dan dua
langkah yang terakhir tergantung pada klien dan situasi klinis, tidak mungkin
manajemen ini dievaluasi dalam tulisan saja (Purwandari, 2008: 83).

Data Perkembangan
Menurut Muslihatun, (2009: 123-124) pendokumentasian atau catatan
manajemen keperawatan dapat deterapkan dengan metode SOAP, yang merupakan
singkatan dari:
1) S (Subjektif)
Merupakan pendokumentasian manajemen keperawatan langkah pertama
(pengkajian data), terutama data yang diperoleh dari anamnesis.
2) O (Objektif)
Merupakan pendokumentasian manajemen keperawatan langkah pertama
(pengkajian data, terutama data yang diperoleh dari pemeriksaan fisik pasien,
pemeriksaan laboratorium) pemeriksaan diagnostik lain.
3) A (Assessment)
Merupakaan pendokumentasian hasil analisis dan interpretasi (kesimpulan) dari data
subjektif dan objektif.
4) P (Planning)
Berisi tentang rencana asuhan yang disusun berdasarkan hasil analisis dan
interpretasi data. Rencana asuhan ini bertujuan untuk mengusahakan tercapainya
kondisi pasien seoptimal mungkin dan mempertahankan kesejahteraannya.
B. DIAGNOSA
Herdman (2011), kemungkinan diagnosa yang muncul pada pasien dengan kista ovarium
adalah :
Pre Operasi
1. Nyeri akut b.d agen cedera biologi
2. Ansietas b.d perubahan status kesehatan
Post Operasi
1. Nyeri akut b.d agen cedera biologi
2. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan
3. Hambatan mobilisasi fisik b.d kelemahan fisik

C. INTERVENSI
Pre Operasi

RENCANA KEPERAWATAN

DIANGOSA
NO TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
KEPERAWATAN

1. Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan asuhan keperawatan NIC :


cidera biologi selama 3x24 jam diharapkan nyeri Pain Management
pasien berkurang - Lakukan pengkajian nyeri secara
NOC : komprehensif termasuk lokasi,
 Pain Level, karakteristik, durasi, frekuensi,
 Pain control, kualitas dan faktor presipitasi

 Comfort level - Observasi reaksi nonverbal dari

Kriteria Hasil : ketidaknyamanan

- Mampu mengontrol nyeri (tahu - Gunakan teknik komunikasi

penyebab nyeri, mampu terapeutik untuk mengetahui

menggunakan tehnik pengalaman nyeri pasien

nonfarmakologi untuk mengurangi - Kaji kultur yang mempengaruhi

nyeri, mencari bantuan) respon nyeri

- Melaporkan bahwa nyeri berkurang - Evaluasi pengalaman nyeri masa

dengan menggunakan manajemen lampau


nyeri - Evaluasi bersama pasien dan tim
- Mampu mengenali nyeri (skala, kesehatan lain tentang
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) ketidakefektifan kontrol nyeri masa
- Menyatakan rasa nyaman setelah lampau
nyeri berkurang - Bantu pasien dan keluarga untuk
- Tanda vital dalam rentang normal mencari dan menemukan dukungan
- Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
- Kurangi faktor presipitasi nyeri
- Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, non farmakologi dan
inter personal)
- Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
- Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
- Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri
- Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
- Tingkatkan istirahat
- Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil
2. Kecemasan bd Setelah dilakukan asuhan keperawatan NIC :
diagnosis dan selama 3x 24 jam diharapakan cemasi Anxiety Reduction (penurunan
pembedahan terkontrol kecemasan)
NOC : - Gunakan pendekatan yang
 Anxiety control menenangkan
 Coping - Nyatakan dengan jelas harapan
Kriteria Hasil : terhadap pelaku pasien
- Klien mampu mengidentifikasi dan - Jelaskan semua prosedur dan apa
mengungkapkan gejala cemas yang dirasakan selama prosedur
- Mengidentifikasi, mengungkapkan - Temani pasien untuk memberikan
dan menunjukkan tehnik untuk keamanan dan mengurangi takut
mengontol cemas - Berikan informasi faktual mengenai
- Vital sign dalam batas normal diagnosis, tindakan prognosis
- Postur tubuh, ekspresi wajah, - Dorong keluarga untuk menemani
bahasa tubuh dan tingkat aktivitas anak
menunjukkan berkurangnya - Lakukan back / neck rub
kecemasan - Dengarkan dengan penuh perhatian
- Identifikasi tingkat kecemasan
- Bantu pasien mengenal situasi yang
menimbulkan kecemasan
- Dorong pasien untuk mengungkapkan
perasaan, ketakutan, persepsi
- Instruksikan pasien menggunakan
teknik relaksasi
- Barikan obat untuk mengurangi
kecemasan

Post Operasi

 RENCANA KEPERAWATAN

DIANGOSA
NO TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
KEPERAWATAN

1. Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan asuhan NIC :


injuri fisik keperawatan selama 3x24 jam Pain Management
diharapkan nyeri pasien - Lakukan pengkajian nyeri secara
berkurang komprehensif termasuk lokasi,
NOC : karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
 Pain Level, dan faktor presipitasi
 Pain control, - Observasi reaksi nonverbal dari

 Comfort level ketidaknyamanan

Kriteria Hasil : - Gunakan teknik komunikasi terapeutik


- Mampu mengontrol nyeri untuk mengetahui pengalaman nyeri
(tahu penyebab nyeri, mampu pasien
menggunakan tehnik - Kaji kultur yang mempengaruhi respon
nonfarmakologi untuk nyeri
mengurangi nyeri, mencari - Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
bantuan) - Evaluasi bersama pasien dan tim
- Melaporkan bahwa nyeri kesehatan lain tentang ketidakefektifan
berkurang dengan kontrol nyeri masa lampau
menggunakan manajemen - Bantu pasien dan keluarga untuk mencari
nyeri dan menemukan dukungan
- Mampu mengenali nyeri - Kontrol lingkungan yang dapat
(skala, intensitas, frekuensi mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
dan tanda nyeri) pencahayaan dan kebisingan
- Menyatakan rasa nyaman - Kurangi faktor presipitasi nyeri
setelah nyeri berkurang - Pilih dan lakukan penanganan nyeri
- Tanda vital dalam rentang (farmakologi, non farmakologi dan inter
normal personal)
- Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
- Ajarkan tentang teknik non farmakologi
- Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
- Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
- Tingkatkan istirahat
- Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
2. Resiko infeksi b.d Setelah dilakukan asuhan NIC :
penurunan keperawatan selama 3x 24 jam Infection Control (Kontrol infeksi)
pertahanan primer diharapakan infeksi terkontrol - Bersihkan lingkungan setelah dipakai
NOC : pasien lain
 Immune Status - Pertahankan teknik isolasi
 Knowledge : Infection - Batasi pengunjung bila perlu
control - Instruksikan pada pengunjung untuk
 Risk control mencuci tangan saat berkunjung dan
Kriteria Hasil : setelah berkunjung meninggalkan pasien
- Klien bebas dari tanda dan - Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci
gejala infeksi tangan
- Mendeskripsikan proses - Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
penularan penyakit, factor tindakan kperawtan
yang mempengaruhi - Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
penularan serta pelindung
penatalaksanaannya, - Pertahankan lingkungan aseptik selama
- Menunjukkan kemampuan pemasangan alat
untuk mencegah timbulnya - Ganti letak IV perifer dan line central dan
infeksi dressing sesuai dengan petunjuk umum
- Jumlah leukosit dalam batas - Gunakan kateter intermiten untuk
normal menurunkan infeksi kandung kencing
- Menunjukkan perilaku hidup - Tingktkan intake nutrisi
sehat - Berikan terapi antibiotik bila perlu

Infection Protection (proteksi terhadap


infeksi)
- Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik
dan lokal
- Monitor hitung granulosit, WBC
- Monitor kerentanan terhadap infeksi
- Batasi pengunjung
- Saring pengunjung terhadap penyakit
menular
- Partahankan teknik aspesis pada pasien
yang beresiko
- Pertahankan teknik isolasi k/p
- Berikan perawatan kuliat pada area
epidema
- Inspeksi kulit dan membran mukosa
terhadap kemerahan, panas, drainase
- Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
- Dorong masukkan nutrisi yang cukup
- Dorong masukan cairan
- Dorong istirahat
- Instruksikan pasien untuk minum
antibiotik sesuai resep
- Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan
gejala infeksi
- Ajarkan cara menghindari infeksi
- Laporkan kecurigaan infeksi
- Laporkan kultur positif
3. Hambatan Setelah Dilakukan Tindakan NIC :
mobilisasi fisik Keperawatan selama 3x24 jam Terapi latihan fisik : Mobilitas sendi
berhubungan diharapkan hambatan mobilitas - Monitoring vital sign sebelm/sesudah
dengan kelemahan fisik dapat teratasi. latihan dan lihat respon pasien saat
fisik NOC : Mobilitas latihan
Kriteria Hasil : - Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan
1. Klien meningkat dalam lain tentang teknik ambulasi
aktivitas fisik - Kaji kemampuan pasien dalam
2. Mengerti tujuan dari mobilisasi
peningkatan mobilitas - Latih pasien dalam pemenuhan
3. Memverbalisasikan perasaan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai
dalam meningkatkan kemampuan
kekuatan dan kemampuan - Ajarkan pasien bagaimana merubah
berpindah posisi dan berikan bantuan jika
diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA

Bobak, Lowdermilk, & Jensen. (2004). Buku Ajar Keperawatan Maternitas, alih bahasa
Maria A. Wijayarini, Peter I. Anugrah (Edisi 4). Jakarta: EGC.

Benson Ralp C dan Martin L. Pernoll. 2008. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi.

Jakarta: EGC
Bilotta, Kimberli. 2012. Kapita Selekta Penyakit: Dengan Implikasi Keperawatan. Edisi 2.
Jakarta : EGC
Heardman. (2011). Diagnosa Keperawatan. Jakarta. EGC.
Heffner, Linda J. & Danny J.Schust. (2008). At a Glance Sistem Reproduksi Edisi II.
Jakarta : EMS, Erlangga Medical Series.
Lowdermil, Perta. 2005.  Maternity Women’s Health Care. Seventh edit.

Muslihatun, Nur Wafi. 2009. Dokumentasi Keperawatan. Yogyakarta: Fitramaya

Nugroho, Taufan. 2010. Kesehatan Wanita, Gender dan Permasalahannya. Yogyakarta :


Nuha Medika

Purwandari Atik. 2008. Konsep Keperawatan. Jakarta: EGC

Wilkinson, Judith M. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 9. Jakarta : EGC

Winkjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kandungan Ed.2. Jakarta: Yayasan Bina

Pustaka Sarwomo Prawirohardjo

Yatim, Faisal. 2005. Penyakit Kandungan, Myom, Kista, Indung Telur, Kanker
Rahim/Leher Rahim, serta Gangguan lainnya. Jakarta: Pustaka Populer Obor

REFERENSI

1. Gaiser RR. Spinal, Epidural, and Caudal anesthesia. In : Introducton to anesthesia,    editor :
Longnecker DE, Murphy FL, ed  9 th, WB Saunders Company, 1997.
2. Molnar R. Spinal, aepidural, and Caudal anesthesia. In : Clinical Anesthesia Procedures of the
Massachusetts General Hospital, editor Davison JK, Eukhardt WF, Perese DA, ed  4 th, London, Little brown and
Company, 1993.
3. Tetlaff JE, Spinal, Epidural and Caudal Block. In : Clynical Anestesiolgy. Editor : Morgan GE, Mikhail MS,
ed  2 nd, USA , Appleton & Lange, 1996.
4. Mulroy MF, Epidural Anesthesia. In : Regional anesthesia, ed  2 nd, USA, Little, Brown and Company,
1996.
5. Conachie I, Geachie J. Reginal anaesthetic Technique. In A Practice of Anesthesi, editor : Healy TEJ,
Cohen PJ, ed  6 th,  London, Edward Arnold, 1995.
6. Brown DL, Spinal, Epidural and Caudal anesthesia. In : Anesthesia, editor : Miller RD, ed  5 th, Volume
1, California, Churchill Livingstone, 2000.
7. Bernards CM, Epidural and Spinal Anesthesia. In : Handbook of Clinical Ansthesia, editor : Barrash PG,
Gullen BF, Stoelting RK, Philadelpia, Lippincott Williams and Wilkins, 2001.
8. Dalens B, Lumbar Epidural Anesthesia . In Regional Anesthesia in infans, children and adolescents,
editor : Garner J, USA, Williams & Wilkins wevwerly Europe, 1995.
9. Dalens B and Khandwala R, Thoracic and Cervical Epidural Anesthesia . In : Regional Anesthesia  in
Infans, Children, and Adolescents, editor : Garner J, USA, Eilliams Weverly Europe, 1995.
10. Katz  J, Spinal and Epidural. In : Atlas of RegionalAneasthesia, ed  2 nd, California, USA, Appleton &
Lange, 1994.

Anda mungkin juga menyukai