KISTA OVARIUM
Disusun Oleh :
Kelas : IIC
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seiring meningkatnya ilmu pengetahuan di Indonesia, berkembang pula upaya
peningkatan pelayanan kesehatan terhadap wanita yang semakin membaik. Sarana dan
prasarana di pelayanan kesehatan menunjang terdeteksinya penyakit wanita yang
bermacam-macam, termasuk penyakit ginekologi. Berbagai macam penyakit sistem
reproduksi yang memiliki efek negatif pada kualitas kehidupan wanita dan keluarganya
dengan gejala salah satunya gangguan menstruasi seperti menarche yang lebih awal,
periode menstruasi yang tidak teratur, panjang siklus menstruasi yang pendek, paritas
yang rendah, dan riwayat infertilitas (Heffner & Danny, 2008).
Nyeri yang berlebih pada saat haid juga dapat terjadi akibat adanya massa pada
organ reproduksi seperti kista atau tumor. Kista adalah bentuk gangguan adanya
pertumbuhan sel-sel otot polos yang abnormal. Pertumbuhan otot polos abnormal yang
terjadi pada ovarium disebut kista ovarium. Kista ovarium secara fungsional adalah kista
yang dapat bertahan dari pengaruh hormonal dengan siklus menstruasi (Bobak,
Lowdermilk & Jensen. 2005).
1 dapat terjadi akibat adanya massa pada
Nyeri yang berlebih pada saat haid juga
organ reproduksi seperti kista atau tumor. Kehamilan tumor ovarii yang dijumpai
paling sering ialah kista dermoid, kista coklat atau kista lutein. Tumor ovarium yang
cukup besar dapat menyebabkan kelainan letak janin dalam rahim atau dapat
menghalang-halangi masuknya kepala kedalam panggul. Oophorektomy adalah operasi
pengangkatan dari ovarium atau indung telur. Tetapi istilah ini telah digunakan
secara tradisional dalam penelitian ilmu dasar yang menggambarkan operasi
pengangkatan indung telur (Wiknjosastro, 2005).
Selama tahap kehidupan, massa yang biasanya disebabkan oleh kista ovarium
fungsional, neoplasma ovarium jinak, atau perubahan pasca infeksi pada tuba fallopii
(Heffner & Danny, 2008). Kista ovarium yang bersifat ganas disebut juga kanker
ovarium. Kanker ovarium merupakan penyebab kematian dari semua kanker ginekologi.
Di Amerika Serikat pada tahun 2001 diperkirakan jumlah penderita kanker ovarium
sebanyak 23 .400 dengan angka kematian sebesar 13.900 orang. Tingginya angka
kematian karena penyakit ini sering tanpa gejala dan tanpa menimbulkan keluhan,
sehingga tidak diketahui dimana sekitar 60% - 70% penderita datang pada stadium
lanjut. Maka penyakit ini disebut juga silent killer. Angka kejadian kanker ovarium di
Indonesia belum diketahui secara pasti karena pencatatan dan pelaporan di negeri kita
kurang baik. Sebagai gambaran di RSU, kanker Dharmais ditemukan penderita kanker
ovarium sebanyak 30 kasus setiap tahun. Studi epidemologi menyatakan beberapa faktor
resiko nullipara, melahirkan pertama kali pada usia di atas 35 tahun dan wanita yang
mempunyai keluarga dengan riwayat kehamilan pertama terjadi pada usia di bawah 25
tahun. Penggunaan pil kontrasepsi dan menyusui akan menurunkan kanker ovarium
sebanyak 30–60%.
Penanganan dan pengobatan kanker ovarium yang telah dilakukan dengan
prosedur yang benar namun hasil pengobatannya sampai saat ini belum begitu ada
manfaatnya termasuk pengobatan yang dilakukan di pusat kanker terkemuka di dunia
sekalipun. Sebagai perawat dalam menangani masalah klien dengan kista ovarium atau
kanker ovarium maka perlu memperhatikan aspek biopsikososialspiritual dalam
pemberian asuhan keperawatannya, sehingga hal ini yang menarik penulis untuk
membahas asuhan keperawatan pada klien dengan kista ovarium.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian kista ovarium ?
2. Apa sajakah klasifikasi kista ovarium ?
3. Apa penyebab kista ovarium ?
4. Bagaimana manifestasi klinis klien dengan kista ovarium ?
5. Bagaimana pathofisiologi kista ovarium ?
6. Bagaimana pathway kista ovarium ?
7. Apa komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan kista ovarium ?
8. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat dilakuakan pada klien dengan kista
ovarium ?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan kista ovarium ?
C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian kista ovarium
2. Mengetahui klasifikasi kista ovarium
3. Mengetahui penyebab kista ovarium
4. Mengetahui manifestasi klinis klien dengan kista ovarium
5. Mengetahui pathofisiologi kista ovarium
6. Mengetahui pathway kista ovarium
7. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan kista ovarium
8. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang dapat dilakuakan pada klien dengan kista
ovarium
9. Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan kista ovarium
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Kista ovarium merupakan suatu tumor, baik kecil maupun besar, kistik maupun
solid, jinak maupun ganas (Wiknjosastro, 2007: 346).
Kista ovarium (kista indung telur) berarti kantung berisi cairan, normalnya
berukuran kecil, yang terletak di indung telur (ovarium) (Nugroho, 2010: 101)
Kista ovarium (atau kista indung telur) berarti kantung berisi cairan,normalnya
berukuran kecil, yang terletak di indung telur (ovarium). Kistaindung telur dapat
terbentuk kapan saja, pada masa pubertas sampaimenopause, juga selama masa
kehamilan (Bilotta. K, 2012).
Kista indung telur adalah rongga berbentuk kantong berisi cairan di dalam
jaringan ovarium. Kista ini disebut juga kista fungsional karena terbentuk setelah telur
dilepaskan sewaktu ovulasi (Yatim, 2005: 17)
C. ETIOLOGI
Menurut Nugroho (2010: 101), kista ovarium disebabkan oleh gangguan
(pembentukan) hormon pada hipotalamus, hipofisis dan ovarium (ketidakseimbangan
hormon). Kista folikuler dapat timbul akibat hipersekresi dari FSH dan LH yang gagal
mengalami involusi atau mereabsorbsi cairan. Kista granulosa lutein yang terjadi
didalam korpus luteum indung telur yang fungsional dan dapat membesar bukan karena
tumor, disebabkan oleh penimbunan darah yang berlebihan saat fase pendarahan dari
siklus menstruasi. Kista theka-lutein biasanya bersifay bilateral dan berisi cairan bening,
berwarna seperti jerami. Penyebab lain adalah adanya pertumbuhan sel yang tidak
terkendali di ovarium, misalnya pertumbuah abnormal dari folikel ovarium, korpus
luteum, sel telur.
D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi Klinis Kista Ovarium Menurut Nugroho (2010: 104), kebanyakan
wanita yang memiliki kista ovarium tidak memiliki gejala sampai periode tertentu.
Namun beberapa orang dapat mengalami gejala ini :
1. Nyeri saat menstruasi.
2. Nyeri di perut bagian bawah.
3. Nyeri saat berhubungan seksual.
4. Nyeri pada punggung terkadang menjalar sampai ke kaki.
5. Terkadang disertai nyeri saat berkemih atau BAB.
6. Siklus menstruasi tidak teratur, bisa juga jumlah darah yang keluar banyak.
E. PATHOFISIOLOGI
Fungsi ovarium yang abnormal dapat menyebabkan penimbunan folikel yang
terbentuk secara tidak sempurna didalam ovarium. Folikel tersebut gagal mengalami
pematangan dan gagal melepaskan sel telur, terbentuk secara tidak sempurna didalam
ovarium karena itu terbentuk kista di dalam ovarium. Setiap hari, ovarium normal
akan membentuk beberapa kista kecil yang disebut Folikel de Graff. Pertengahan
siklus, folikel dominan dengan diameter lebih dari 2.8 cm akan melepaskan oosit
mature. Folikel yang ruptur akan menjadi korpus luteum, yang pada saat matang
memiliki struktur 1,5 – 2 cm dengan kista ditengah- tengah. Bila tidak terjadi
fertilisasi pada oosit, korpus luteum akan mengalami fibrosis dan pengerutan secara
progresif. Namun bila terjadi fertilisasi, korpus luteum mula-mula akan membesar
kemudian secara gradual akan mengecil selama kehamilan. Kista ovari yang berasal
dari proses ovulasi normal disebut kista fungsional dan selalu jinak (Nugroho,
2010).
F. PATHWAY
Etiologi :
Ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron
Pertumbuhan folikel tidak seimbang
Degenerasi ovarium
Infeksi ovarium
Gangguan reproduksi
Konservatif :
Observasi 1-2 bulan
Laparatomi Laparoskopi
Keluhan tetap :
Aktivitas hormon Ovarian Salpingo-
Discomfort cystectomy oophorectomy
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak jarang tentang penegakkan diagnosis tidak dapat diperolehkepastian
sebelum dilakukan operasi, akan tetapi pemeriksaan yang cermat dan analisis yang tajam
dari gejala-gejala yang ditemukan dapat membantudalam pembuatan differensial
diagnosis. Beberapa cara yang dapatdigunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
adalah (Bilotta, 2012 :1)
1. Laparaskopi
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengetahui apakah sebuahtumor berasal dari
ovarium atau tidak, serta untuk menentukan sifat-sifat tumor itu.
2. Ultrasonografi (USG)
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan letak dan batas tumor,apakah tumor berasal
dari uterus, ovarium, atau kandung kencing,apakah tumor kistik atau solid, dan dapat
pula dibedakan antara cairandalam rongga perut yang bebas dan yang tidak.
Gambar : USG kista ovarium
Sumber : http://forum.detik.com/niwana-sod-mampu-menyembuhkan-penyakit-
kronis-seperti-kanker-kista-dll-t137091.html
3. Foto Rontgen
Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan adanya hidrotoraks.Selanjutnya, pada
kista dermoid kadang-kadang dapat dilihat adanyagigi dalam tumor.
4. Parasintesis
Pungsi ascites berguna untuk menentukan sebab ascites. Perludiperhatikan bahwa
tindakan tersebut dapat mencemarkan kavum peritonei dengan isi kista bila dinding
kista tertusuk.
I. PENATALAKSANAAN
1. Observasi
Jika kista tidak menimbulkan gejala, maka cukup dimonitor (dipantau) selama
1 -2 bulan, karena kista fungsional akan menghilang dengan sendirinya setelah satu
atau dua siklus haid. Tindakan ini diambil jika tidak curiga ganas (kanker) (Nugroho,
2010: 105).
2. Terapi bedah atau operasi
Bila tumor ovarium disertai gejala akut misalnya torsi, maka tindakan operasi
harus dilakukan pada waktu itu juga, bila tidak ada 22 gejala akut, tindakan operasi
harus dipersiapkan terlebih dahulu dengan seksama.
Kista berukuran besar dan menetap setelah berbulan-bulan biasanya
memerlukan operasi pengangkatan. Selain itu, wanita menopause yang memiliki
kista ovarium juga disarankan operasi pengangkatan untuk meminimalisir resiko
terjadinya kanker ovarium. Wanita usia 50-70 tahun memiliki resiko cukup besar
terkena kenker jenis ini. Bila hanya kistanya yang diangkat, maka operasi ini disebut
ovarian cystectomy. Bila pembedahan mengangkat seluruh ovarium termasuk tuba
fallopi, maka disebut salpingo oophorectomy.
Faktor-faktor yang menentukan tipe pembedahan, antara lain tergantung pada
usia pasien, keinginan pasien untuk memiliki anak, kondisi ovarium dan jenis kista.
Kista ovarium yang menyebabkan posisi batang ovarium terlilit (twisted) dan
menghentikan pasokan darah ke ovarium, memerlukan tindakan darurat pembedahan
(emergency surgery) untuk mengembalikan posisi ovarium menurut Yatim, (2005:
23)
Prinsip pengobatan kista dengan pembedahan (operasi) menurut Yatim, (2005: 23)
yaitu:
Anestesi Spinal
Indikasi:
2. Bedah panggul
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan
1. Pasien menolak
1. Infeksi sistemik
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia
umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya
ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba
tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Informed consent
2. Pemeriksaan fisik
2. Peralatan resusitasi
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam(ujung bamboo runcing, quinckebacock) atau jarum
spinal dengan ujung pinsil(pencil point whitecare)
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah
lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam
30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien
membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka, misal L2-
L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla
spinalis.
Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml
Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G
dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser
sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock)
irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel
mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar
arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan
kateter.
Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir)
dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm.
Posisi
Posisi Duduk
Dagu di dada
Posisi Lateral
Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah
analgetik.
Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.
Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan akibat
batas analgesia bertambah tinggi.
Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung berkumpul
ke kaudal(saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung menyebar ke cranial.
Berat jenis larutan: hiper,iso atau hipo barik
Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas analgesia
yang lebih tinggi.
Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis
yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetik sudah
menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.
1. Factor utama:
berat jenis anestetik local(barisitas)
posisi pasien
Dosis dan volume anestetik local
2. Faktor tambahan
Ketinggian suntikan
Kecepatan suntikan/barbotase
Ukuran jarum
Keadaan fisik pasien
Tekanan intra abdominal
2. Besarnya dosis
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi delayed.
Komplikasi tindakan
1. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum tindakan.
2. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai T-2
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
Trauma pembuluh saraf
Trauma saraf
Mual-muntah
Gangguan pendengaran
Blok spinal tinggi atau spinal total
4. Komplikasi pasca tindakan
Nyeri tempat suntikan
Nyeri punggung
Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Retensio urine
Meningitis
5. Komplikasi intraoperatif
Komplikasi kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi
karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan
arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan
berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati
dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin
atau fenilefedrin. Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat
dilakukan anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi
bradikardia yang berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus
seperti ini, hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi
ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-
Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan
kristaloid(NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera
setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi
hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19mg diulang
setiap 3-4menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi
karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas
atropine 1/8-1/4 mg IV.
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan dosis
yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah
hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa
menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan
kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada
anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital
terutama otak dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke
serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal
total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi
akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenik biasanya
dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong terjadinya penurunan
kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya
menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya
menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya
keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen
bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan
normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang disebabkan
oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.
Komplikasi respirasi
1. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-paru
normal.
2. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.
3. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena hipotensi
berat dan iskemia medulla.
4. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-tanda tidak
adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.
6. Komplikasi postoperatif
Komplikasi gastrointestinal
Nyeri kepala
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala. Nyeri
kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada anestesi epidural.
Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum yang
digunakan. Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala.
Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang
dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 – 48 jam selepas suntikan
anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar
ke retro orbital, dan sering disertai dengan tanda meningismus, diplopia, mual, dan muntah.
Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien
dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang
atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 – 48 jam harus di
coba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena),
analgesic, dan suport yang kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava akan
menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya
menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural.
Jika terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin kedalam epidural
untuk menghentikan kebocoran.
Nyeri punggung
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari tusukan
jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur ligament dengan
atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma suntikan jarum
dapat di obati secara simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang singkat
sahaja.
Komplikasi neurologik
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah. Komplikasi
neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam waktu
24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia.
Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan
menghilang dalam beberapa hari.
Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini
mungkin dapat menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu
atau bulan. Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan
fekal, dan derajat yang bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah.
Komplikasi neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini
biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini
ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan motorik pada tungkai yang progresif. Pada
penyakit ini terdapat reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature
korda spinal.
Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama.
Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke korda spinal.
Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma tusukan jarum pada spinal maupun
epidural, kateter epidural atau suntikan solution anestesi lokal intraneural adalah jarang, tapi
tetap berlaku.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang berlaku
karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang subaraknoid. Hanya
pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh darah besar di area lumbar yang
menyebar ke ruang subaraknoid dari akar saraf. Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari
anesthesia adalah jarang. Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai bawah
karena iskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal. Kehilangan sensoris biasanya tidak
merata dan adalah sekunder dari nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukannya
akibat dari kerusakan didalam korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom
spinal-arteri : kekurangan bekalan darah ke arteri spinal anterior karena terjadi gangguan
bekalan darah dari arteri-arteri yang diganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah dari
arteri karena hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti
vena mahu pun obstruksi aliran. Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang
menyebabkan terjadinya sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya
anestesi spinal menggunakan obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi
kemungkinan epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal anterior atau
pembuluh darah yang memberikan bekalan darah. Hipotensi yang kadang timbul setelah
anestesi regional dapat menyebabkan kekurangan aliran darah. Infeksi dari spinal adalah
sangat jarang kecuali dari penyebaran bacteria secara hematogen yang berasal dari fokal
infeksi ditempat lain. Jika anestesi spinal diberikan kepada pasien yang mengalami
bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi penyebaran ke bakteri ke spinal. Oleh yang
demikian, penggunaan anestesi spinal pada pasien dengan bakteremia merupakan kontra
indikasi relatif. Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan menyebabkan
araknoiditis. Tanda dan symptom yang paling prominen pada komplikasi ini adalah nyeri
punggung yang berat, nyeri lokal, demam, leukositosis, dan rigiditas nuchal. Oleh itu, adalah
tidak benar jika menggunakan anestesi regional pada pasien yang mengalami infeksi kulit
loka pada area lumbar atau yang menderita selulitis. Pengobatan bagi komplikasi ini adalah
dengan pemberian antibiotik dan drenase jika perlu.
Pencegahan:
Pengobatan:
Kesimpulan
Walaupun komplikasi-komplikasi yang timbul ini bisa mengancam jiwa, tetapi harus
di ingat bahwa insiden komplikasi ini adalah sangat rendah. Dengan tehnik modern dan
persiapan yang rapih, insiden sequel neural mayor selepas anestesi subarakanoid telah
dilaporkan kurang dari 1 dalam 10,000 pasien. Ramai anestesiologi berpendapat bahwa jika
dibandingkan dengan anestesi umum, komplikasi yang muncul dari anestesi regional adalah
minimum sehingga anestesi regional menjadi pilihan utama jika sesuai dengan kebutuhan
pada saat operasi.
ANESTESI EPIDURAL
PENDAHULUAN
Anestesia epidural dihasilkan dengan menyuntikkan obat anestesi local kedalam ruang
epidural. Blok saraf terjadi pada akar nervus spinalis yang berasal dari medula spinalis dan
melintasi ruang epidural. Anestetik local melewati duramater memasuki cairan cerebro spinal
sehingga menimbulkan efek anestesinya. Efek anesthesia yang dihasilkan lebih lambat dari
anesthesia spinal dan terbentuk secara segmental.
Anesthesia epidural dapat digunakan mulai dari analgesia dengan blok motorik minimal
sampai anesthesia dengan blok motorik penuh. Variasi ini dapat dikontrol dengan pemilihan
obat, konsentrasi dan dosis. Pengunaan analgesia post operasi secara kontinu dengan
narkotik atau local anestesi melalui kateter epidural semakin popular saat ini.
ANATOMI
Ruang epidural berisi lemak dan jaringan limphatik maupun vena epidural. Vena tidak
memiliki katub dan berhubungan langsung dengan vena intracranial. Vena juga berhubungan
dengan vena thorasik dan vena abdominal. Vena pada foramen intervertebralis, berlanjut
pada pelvis yaitu pada pleksus vena sacralis. Daerah paling luas didaerah tengah dan runcing
pada bagian lateralnya. Pada daerah lumbal luasnya 5-6 mm dan pada daerah thoraks
luasnya 3-5 mm.
FISIOLOGI.
1. Blokade neural.
Anestesi local yang ditempatkan didaerah epidural bereaksi secara langsung pada akar
nervus spinalis yang terdapat dibagian lateral dari ruang epidural. Akar nervus tersebut
dibungkus dengan lapisan dural dan anestesi local mencapai cairan serebrospinal dengan
menyerap pada dura. 0nset blok lebih lama dibandingkan dengan anestesi spinal, dan
intensitas blok sensoris dan motorik rendah.
2. Kardiovaskuler.
Hipotensi akibat dari blokade simpatik mirip seperti yang digambarkan pada anestesi spinal.
Dosis yang besar dari anestesi local yang digunakan dapat diabsorbsi secara sistemik,
mengakibatkan terjadinya depresi miokard. Epinefrin yang ditambahkan pada anestesi local
dapat diabsorbsi dan akan memberikan efek sitemik seperti takikardi dan hipertensi.
3. Anesthesia epidural mengurangi terjadinya thrombosis vena dan embolisme pulmoner pada
pembedahan ortopedi. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan perfusi
keanggota gerak bagian bawah. Selain itu terdapat kecenderungan terjadinya penurunan
koagulasi, penurunan agregasi platelet, dan perbaikan fungsi fibrinolitik selama anestesi
epidural.
4. perubahan fisiologis lain serupa dengan yang dihasilkan oleh anestesi spinal.
INDIKASI.
Pada umumnya indikasi epidural anestesi sama dengan spinal anestesi. Sebagai
keuntungan epidural anestesi adalah anestesi dapat diberikan secara kontinyu setelah
penempatan cateter epidural, oleh karena itu tehnik ini cocok untuk pembedahan yang lama
dan analgesia setelah pembedahan.
Indikasi Khusus :
Dibandingkan dengan anestesi umum, anestesi epidural untuk pembedahan panggul dan lutut
dapat mengurangi insidens trombosis vena. Penyebab kematian pasien yang menjalani
pembedahan sendi yang total adalah emboli paru. Lagi pula kehilangan darah selama
pembedahan sendi panggul lebih kecil pada pemakaian tehnik anestesi epidural.
Penelitian menunjukkan bahwa anestesia epidural pada pasien dengan penyakit pembuluh
darah periper , aliran darah kedistal selama rekonstruksi pembuluh darah anggota gerak
bagian bawah adalah baik dan penyumbatan cangkokan pembuluh darah setelah operasi
adalah kecil dibandingkan dengan anestesi umum.
C. Persalinan.
Pasien-pasien obsteric yang takut nyeri melahirkan dapat ditangani dengan epidural anestesi
dan memperoleh bayi dengan riwayat biokemia yang baik dari pada bayi dilahirkan pada ibu
yang diberikan opioid atau anetestetik lainnya secara intravena.
Anestesi local konsentrasi rendah dan opoid atau kombinasi obat ini dengan analgesik lain
adalah manjur pada kontrol nyeri post operasi. Analgesia post operasi ini memudahkan
ambulatory dini dan kerja sama yang baik dengan phisio terapi.
KONTRA INDIKASI
Absolut :
Hipovolemia
Penyakit SSP
Nyeri punggung kronik.
Pasien yang mendapat obat penghambat platelet, termasuk aspirin, dripiridamol, dan
NSAID
PROSEDUR
A. Persiapan peralatan dan Jarum epidural.
Seperti pada anestesi umum, obat-obatan serta mesin anestesia disiapkan sebelum
penderita masuk ruangan ; begitu pula dengan monitor standar. Persiapan termasuk
vasopressor untuk mencegah hipotensi, oksigen suplemen melalui nasal kanula atau masker
untuk mengatasi depresi pernapasan akibat sedatif atau anestetik.
Pada umumnya jarum weiss atau tuohy ukuran 17 yang digunakan untuk ideintifikasi
ruang epidural. Jarum ini mempunyai stylet dan ujungnya tumpul dengan lubang pada sisi
lateral dan mempunyai dinding tipis yang dapat dilalui kateter ukuran 20. Jarum ukuran 22
sering digunakan untuk tehnik dosis tunggal.
Pasien dapat diposisikan pada posisi duduk, posisi lateral atau posisi prone dengan
pertimbangan yang sama dengan anestesi spinal.
Ruang epidural teridentifikasi setelah ujung jarum melewati ligamentum flavum dan
menimbulkan tekanan negatif pada ruang epidural. Metode untuk identifikasi ini dibagi
dalam dua kategori : loss of resistance tehnik dan hanging drop tehnik.
Ada dua cara mengendalikan kemajuan penempatan jarum. Pertama menempatkan dua jari
menggenggam spoit dan jarum dengan tekanan tetap pada pangkalnya sehingga jarum
begerak kedepan sampai jarum masuk kedalam ruang epidural. Pendekatan lain dengan
menempatkan jarum beberapa millimeter dan saat itu dihentikan dan kendalikan dengan
hati-hati. Dorsum tangan non dominan menyokong belakang pasien dengan ibu jari dan jari
tengah memegang poros jarum. Tangan non dominan mengontrol masuknya jarum epidural
dan setelah itu ibu jari tangan dominan menekan fluger dari spoit. Ketika ujung jarum berada
dalam ligamentum fluger tidak bisa ditekan dan dipantulkan kembali, tetapi ketika jarum
masuk ruang epidural terasa kehilangan tahanan dan fluger mudah ditekan dan tidak
dipantulkan kembali. Cara yang kedua lebih cepat dan lebih praktis tetapi memerlukan
pengalaman sebelumnya untuk menghindari penempatan jarum epidural pada lokasi yang
salah.
Apakah suntikan dengan Nacl 0,9 % atau udara yang dipakai pada loss of resistens tehnik
tergantung pada pilihan praktisi. Ada beberapa laporan gelembung udara menyebabkan
inkomplet atau blok tidak sempurna; betapapun ini terjadi hanya dengan udara dalam
jumlah yang banyak.
Anestesia epidural dapat dilakukan pada salah satu dari empat segmen dari tulang belakang
(cervical, thoracic, lumbar, sacral). Anestesia epidural pada segmen sacralis biasanya disebut
sebagai anesthesia caudal.
a. Midline approach.
Pasien diposisikan, dipersiapkan dan ditutup kain steril dan diidentifikasi interspace L4-5
sejajar Krista iliaka. Interspace dipilih dengan palpasi apakah level L3-4 atau L4-5. Jarum
ukuran 25 digunakan untuk anestesi local dengan infiltrasi dari suferfisial sampai kedalam
ligamentum interspinosa dan supraspinosa. Jarum ukuran 18 G dibuat tusukan kulit untuk
dapat dilalui jarum epidural. Jarum epidural dimasukkan terus pada tusukan kulit dan
dilanjutkan kearah sedikit kecephalad untuk memperkirakan lokasi ruang interlaminar dan
sebagai dasar adalah pada perocesus spinosus superior. Setelah jarum masuk pada struktur
ligamentum , spoit dihubungkan dengan jarum dan tahanan diidentifikasi. Poin utama disini
bahwa adanya perasaan jarum masuk pada struktur ligamentum. Apabila perasaan kurang
jelas adalah akibat tahanan pada otot paraspinosus atau lapisan lemak mengakibatkan injeksi
local anestesi kedalam ruang lain dari pada ruang epidural dan terjadi gagal blok. Apabila ini
terjadi penempatan jarum pada ligamentum diperbaiki, kemudian jarum dilanjutkan masuk
keruang epidural dan loss of resistensi diidentifikasi dengan Hati-hati.
Biasanya dipilih pada kasus dimana operasi atau penyakit sendi degeratif sebelumnya ada
kontra indikasi dengan median approach. Tehnik ini lebih mudah bagi pemula, karena saat
jarum bergerak kedalam ligamen dan perubahan tahanan tidak terjadi, maka jarum masuk ke
otot paraspinosus dan tahanan hanya dirasakan bila jarum sampai pada ligamentum flavum.
Pasien diposisikan, dipersiapkan dan ditutupi kain streril seperti pada mid line approach.
Jarum ditusukkan kira-kira 2-4 cm kelateral garis tengah pada bagian bawah processus
spinosus superior. Tusukan kulit dibuat dan jarum epidura langsung diarahkan kecephalad
seperti pada median approach dan kemudian jarum dilanjutkan kearah midline. Setelah
strukur dermal ditembusi spoit dihubungkan dengan jarum dan selanjutnya jarum masuk
masa otot psraspinosus akan terasa tahanan minimal dan kemudian sampai ada peningkatan
tahanan yang tiba-tiba ketika jarum sampai pada ligamentum flavum. Jika jarum telah
melewati ligamentum flavum dan setelah loss of resiten teridentifikasi maka jarum telah
masuk kedalam ruang epidural.
Thoracic epidural anesthesia adalah tehnik yang lebih sulit dari pada lumbar epidural
anesthesia , dan kemungkinan untuk trauma pada medulla spinalis adalah besar. OLeh
karena itu, yang penting bahwa praktisi sepenuhnya familiar dengan lumbar epidural
anesthesia sebelum mencoba thoracic epidural block.
Interspase lebih sering diidentifikasi dengan pasien pada posisi duduk. Pada segmen atas
thoracic, sudut processus spinosus lebih miring dan curam kearah kepala. Jarum
dimasukkan melewati jarak yang relatif pendek mencapai ligamentum supraspinous dan
interspinous, dan ligamentum flavum diidentifikasi biasanya tidak lebih dari 3-4 cm dibawah
kulit. Kehilangan tahanan yang tiba-tiba adalah tanda masuk dalam ruang epidural. Semua
tehnik epidural anesthesia diatas regio lumbal kemungkinan kontak langsung dengan
medulla spinalis harus dipertimbangkan selama mengidentifikasi ruang epidural. Jika
didapatkan nyeri yang membakar kemungkinan bahwa jarum epidural kontak langsung
dengan medulla spinalis harus dipertimbangkan dan jarum harus dengan segera dipindahkan.
Kontak berulang dengan tulang dan tidak didapatkan ligamentum atau ruang epidural adalah
indikasi untuk merubah pada pendekatan paramedian.
b. Paramedian approach.
Tehnik ini khusus dilakukan dengan pasien pada posisi duduk dan leher difleksikan. Jarum
epidural dimasukkan pada midline khususnya pada interspase C5-C6 atau C6-C7 dan
ditusukkan secara relatif datar kedalam ruang epidural dengan memakai tehinik loss of
resistence dan lebih sering dengan hanging drop.
Kateter epidural digunakan untuk injeksi ulang anestesi local pada operasi yang lama dan
pemberian analgesia post operasi.
(1). Kateter radiopaq ukuran 20 disusupkan melalui jarum epidural, ketika bevel diposisikan
kearah cephalad. Jika kateter berisi stylet kawat, harus ditarik kembali1-2 cm untuk
menurunkan insiden parestesia dan pungsi dural atau vena.
(2). Kateter dimasukkan 2-5 cm ke dalam ruang epidural. Pasien dapat mengalami parasthesia
yang tiba-tiba dan biasanya terjadi dalam waktu yang singkat. Jika kateter tertahan, kateter
harus direposisikan. Jika kateter harus ditarik kembali, maka kateter dan jarum dikeluarkan
bersama-sama.
(3). Jarak dari permukaan belakang pasien diberi tanda pada pengukuran kateter.
(4). Jarum ditarik kembali secara hati-hati melalui kateter dan jarak dari bagian belakang pasien
yang diberi tanda pada kateter diukur lagi. Jika kateter telah masuk, kateter ditarik kembali 2-
3 cm dari ruang epidural.
(5). Bila kateter sudah sesuai kemudian dihubungkan dengan spoit. Aspirasi dapat dilakukan
untuk mengecek adanya darah atau cairan serebrospinal, dan kemudian kateter diplester
dengan kuat pada bagian belakang pasien dengan ukuran yang besar, bersih dan diperkuat
dengan pembalutan.
Anestetik local.
Pilihan obat anestetik local untuk anesthesia epidural ditentukan oleh lamanya prosedur
operasi dan intensitas blok motoris yang dikehendaki. kloroprokain adalah kerja singkat,
mevipakain adalah kerja sedang, buvipakain dan etidokain adalah kerja lama. Buvipakain
konsentrasi rendah tidak cocok digunakan pada prosedur yang membutuhkan blok motoris
untuk setiap blok sensorik dibandingkan dengan obat lainnya.
Chloroprokain 2 – 3 % 60
Lidokain 1,5 % 60 – 90
Epinefrin.
Penambahan epinefrin (5 g/ml) kedalam anestesi local yang disuntikkan kedalam ruang
epidural tidak hanya memperpanjang efeknya dengan cara menekan absorbsi, menurunkan
konsentrasi obat dalam darah dan juga mengurangi keracunan sitemik. Epinefrin juga
mengurangi suatu kelainan akibat penyuntikan intravaskuler. Sejumlah kecil epinefrin
diabsorbsi dari ruang epidural yang akan membentuk efek beta adrenergik, peningkatan
tahanan pembuluh darah sistemik dan peningkatan denyut jantung.
Tes dosis
Karena anestesi epidural termasuk meninjeksikan sejumlah besar obat anestesi local,
pemasangan kateter mesti berada pada tempat yang benar. Aspirasi pluger dari spoit dapat
menarik darah atau CSS. Kateter epidural ditarik kembali dan ditempatkan pada tempat lain
apabila terdapat darah atau CSS dalam kateter. Tes dosis selalu diperlukan, hal ini terdiri dari
3 ml anestesi local dari konsentrasi yang sama untuk anestesi spinal dan mengandung 5 g
epinefrin (lidokain 1,5 % dan epinefrin 1 : 200.000 yang sering digunakan). Bila jarum atau
kateter masuk kedalam vena epidural mengakibatkan peningkatan denyut jantung 20 denyut
permenit atau lebih besar dalam dua menit. Jika jarum atau kateter terletak diruang epidural ,
hal tersebut tidak terjadi dan tidak ada perubahan tekanan darah atau denyut jantung.
Sering sejumlah kecil cairan teraspirasi sebelum obat anestesia diinjeksikan. Adanya cairan
ini adalah cairan serebrospinal atau anestesia lokal yang diinjeksikan sebelumnya. Dipstick
test membedakan adanya glukosa, dimana cariran serebrospinal mengandung glukosa dan
tidak ada pada cairan anestesi lokal.
Dosis anestesi.
Penyebaran obat anestetik local dalam ruang epidural hanya tergantung pada volume yang
dinjeksikan . sedang konsentrasi anestetik local dalam larutan hanya berpengaruh pada
derajat dan densitas dari blok. Onset anestesi epidural labih lambat walaupun ditambahkan
sodium bikarbonat kedalam anestesi local untuk mempercepat onsetnya.
Volume larutan anestetik yang tepat untuk anesthesia epidural lumbal berkisar dari 15 – 25
ml. Studi pada sukarelawan muda menunjukkan kebutuhan rata-rata adala 1,6 ml per
segemen spinal yang dianestesi. Pada ruang epidural torakal yang sempit kurang lebih
dibutuhkan setengahnya. Pasien yang tua, pasien hamil, dan pasien dengan tekanan intra
abdominal yang meningkat diperlukan volume anestetik local lebih sedikit untuk mencapai
distribusi yang diberikan.
Penambahan anestetik local yang dibutuhkan ditentukan oleh pilihan ahli anestesiologi pada
observasi klinik. Bila anestetik dihabiskan untuk dua dermatom , penambahan sepertiga
sampai setengah dari jumlah anestetik local semula akan diperoleh anesthesia yang adekuat.
Bilamana menggunakan anestetik epidural dan anestesi umum bersama-sama, penambahan
dosis diberikan pada interval waktu yang sesuai dengan karakteristik obat anestesi local.
Opioid.
Dibandingkan dengan spinal opioid , epidural opioid menghasilkan efek yang hampir sama
dan dibutuhkan perhatian yang sama, karena diberikan jumlah yang lebih besar. Opioid
mempunyai kerja sinergis dengan anestetik local yaitu memepertinggi efektivitas konsentrasi
yang kecil dari obat anestetik local.
KOMPLIKASI
1. Intra Operatif
a. Pungsi dural
Pungsi dural yang tidak disengaja terjadi pada 1 % injeksi epidural. Jika hal ini terjadi, ahli
anestesi mempunyai sejumlah pilihan tergantung pada kasusnya. Perubahan keanestesi spinal
dapat terjadi oleh injeksi sejumlah anestesi kedalam aliran cairan serebrospinal. Kemudian
anestesi spinal dapat dikerjakan dengan menyuntikkan sejumlah anestesi lokal keruang
subarachnoid melalui jarum. Jika anestesi epidural diperlukan ( misalnya untuk analgesia
post operasi), kateter akan direposisikan keda-lam interspace diatas pungsi dengan demikian
ujung dari kateter epidural berada jauh dari tempat pungsi dural. Kemungkinan anestesi
spinal dengan injeksi kateter epidural dapat dipertimbangkan.
b. Komplikasi kateter
(1). Kegagalan pemasangan kateter epidural adalah kesulitan yang lazim.. hal ini lebih sering
ditemukan apabila jarum epidural diinsersikan pada bagian lateral dibandingkan apabila
jarum diinsersikan pada median atau ketika bevel dari jarum secara cepat ditusukkan
kedalam ruang epidural. Hal tersebut dapat juga terjadi apabila bevel dari jarum hanya
sebagian yang melewati ligamentum flavum sewaktu penurunan resistensi terjadi. Pada
kasus terakhir , pergerakan yang hati-hati dari jarum sejauh 1 mm kedalam ruang epidural
dapat memudahkan insersi kateter. Kateter dan jarum sebaiknya ditarik dan direposisikan
bersama-sama jika terjadi tahanan.
(2). Kateter dapat terinsersi masuk kedalam pembuluh darah epidural sehingga darah teraspirasi
oleh kateter atau takikardia ditemukan dengan dosis test. Kateter seharusnya ditarik secara
perlahan-lahan sampai darah tidak ditemukan pada aspirasi dari pengetesan. Penarikan
penting agar dapat segera dipindahkan dan diinsersikan kembali.
(3). Keteter dapat rusak atau menjadi terikat dalam ruang epidural. Jika tidak terjadi infeksi,
tetap memakai kateter tidak lebih banyak memberikan reaksi dibandingkan dengan
pembedahan. Pasien seharusnya dinformasikan dan diterangkan mengenai masalah yang
terjadi. Komplikasi dari eksplorasi bedah serta pengeluaran kateter lebih besar dibandingkan
dengan komplikasi dari penanganan secara konservatif.
c. Injeksi subarachnoid yang tidak disengaja . Injeksi dengan sejumlah basar volume
anestesi local kedalam ruang subarachnoid dapat menghasilkan anestesi spinal yang total.
g. Perdarahan. Perforasi pada vena oleh jarum dapat menyebabkan suatu perdarahan
yang emergensi dan mematikan. Jarum seharusnya dipindahkan dan direposisikan. Lebih baik
mereposisikan jarum pada ruang yang berbeda, dimana jika terdapat perdarahan pada tempat
itu maka dapat meyebabkan kesulitan dalam penempatan jarum secara tepat.
2. Post Operasi
a. Sakit kepala post pungsi dural. Jika dural dipungsi dengan jarum epidural ukuran 17,
menyebabkan sebanyak 75 % dari pasien muda untuk menderita sakit kepala post punsi
dural .
b. Infeksi. Abses epidural adalah suatu komplikasi yang sangat jarang timbul akibat
anestesi epidural. Sumber infeksi dari sebagian besar kasus berasal dari penyebaran
secara hematogen pada ruang epidural dari suatu infeksi pada bagian yang lain . Infeksi
dapat juga timbul dari kontaminasi sewaktu insersi, kontaminasi kateter yang
dipergunakan untuk pertolongan nyeri post operasi atau melalui suatu infeksi kulit pada
tempat insersi. Pasien akan mengalami demam, nyeri punggung yang hebat dan lemah
punggung secara local. Selanjutnya dapat terjadi nyeri serabut saraf dan paralisis. Pada
awalnya pemeriksaan laboratorium ditemukan suatu lekosit dari lumbal pungsi.
Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan Myelography atau Magnetik Resonance
Imaging (MRI). Penanganan yang dianggap penting adalah dekompresi laminektomi dan
pemberian antibiotik. Penyembuhan neurologik yang baik adalah berhubungan dengan
cepatnya penegakan diagnosis dan penanganan.
c. Hematoma epidural adalah suatu komplikasi yang sangat jarang dari anestesi epidural.
Trauma pada vena epidural menimbulkan koagulophati yang dapat menyebabkan suatu
hematoma epidural yang besar. Pasien akan merasakan nyeri punggung yang hebat dan
defisit neurologi yang persisten setelah anestesi epidural. Diagnosis dapat segera
ditegakkan dengan computered tomographi atau MRI. Decompresi laminektomy penting
dilakukan untuk memelihara fungsi neurologi.
ASUHAN KEPERAWATAN
KLIEN KISTA OVARIUM
A. PENGKAJIAN
1. Langkah I (pertama) :
Pengumpulan Data Dasar Pada langkah pertama ini dikumpulkan semua
informasi yang akurat dari semua sumber yang berkaitan dengan kondisi klien.
Perawat mengumpulkan data dasar awal yang lengkap. Bila klien mengalami
komplikasi yang perlu dikonsultasikan kepada dokter dalam 30 manajemen
kolaborasi perawat akan melakukan konsultasi. Pengkajian atau pengumpulan data
dasar adalah mengumpulkan semua data yang dibutuhkan untuk mengevaluasi
keadaan pasien. (Muslihatun, dkk. 2009: 115).
a. Data subyektif
1) Identitas pasien
a) Nama : Dikaji untuk mengenal atau memanggil agar tidak keliru
dengan pasien-pasien lain.
b) Umur : Untuk mengetahui apakah pasien masih dalam masa
reproduksi.
c) Agama : Untuk mengetahui pandangan agama klien mengenai
gangguan reproduksi.
d) Pendidikan : Dikaji untuk mengetahui sejauh mana tingkat intelektualnya
sehingga bidan dapat memberikan konseling sesuai dengan pendidikannya.
e) Suku/bangsa : Dikaji untuk mengetahui adat istiadat atau kebiasaan sehari-
hari pasien.
f) Pekerjaan : Dikaji untuk mengetahui dan mengukur tingkat sosial
ekonominya.
g) Alamat : Dikaji untuk mempermudah kunjungan rumah bila diperlukan.
Data Perkembangan
Menurut Muslihatun, (2009: 123-124) pendokumentasian atau catatan
manajemen keperawatan dapat deterapkan dengan metode SOAP, yang merupakan
singkatan dari:
1) S (Subjektif)
Merupakan pendokumentasian manajemen keperawatan langkah pertama
(pengkajian data), terutama data yang diperoleh dari anamnesis.
2) O (Objektif)
Merupakan pendokumentasian manajemen keperawatan langkah pertama
(pengkajian data, terutama data yang diperoleh dari pemeriksaan fisik pasien,
pemeriksaan laboratorium) pemeriksaan diagnostik lain.
3) A (Assessment)
Merupakaan pendokumentasian hasil analisis dan interpretasi (kesimpulan) dari data
subjektif dan objektif.
4) P (Planning)
Berisi tentang rencana asuhan yang disusun berdasarkan hasil analisis dan
interpretasi data. Rencana asuhan ini bertujuan untuk mengusahakan tercapainya
kondisi pasien seoptimal mungkin dan mempertahankan kesejahteraannya.
B. DIAGNOSA
Herdman (2011), kemungkinan diagnosa yang muncul pada pasien dengan kista ovarium
adalah :
Pre Operasi
1. Nyeri akut b.d agen cedera biologi
2. Ansietas b.d perubahan status kesehatan
Post Operasi
1. Nyeri akut b.d agen cedera biologi
2. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan
3. Hambatan mobilisasi fisik b.d kelemahan fisik
C. INTERVENSI
Pre Operasi
RENCANA KEPERAWATAN
DIANGOSA
NO TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
KEPERAWATAN
Post Operasi
RENCANA KEPERAWATAN
DIANGOSA
NO TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
KEPERAWATAN
Bobak, Lowdermilk, & Jensen. (2004). Buku Ajar Keperawatan Maternitas, alih bahasa
Maria A. Wijayarini, Peter I. Anugrah (Edisi 4). Jakarta: EGC.
Benson Ralp C dan Martin L. Pernoll. 2008. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi.
Jakarta: EGC
Bilotta, Kimberli. 2012. Kapita Selekta Penyakit: Dengan Implikasi Keperawatan. Edisi 2.
Jakarta : EGC
Heardman. (2011). Diagnosa Keperawatan. Jakarta. EGC.
Heffner, Linda J. & Danny J.Schust. (2008). At a Glance Sistem Reproduksi Edisi II.
Jakarta : EMS, Erlangga Medical Series.
Lowdermil, Perta. 2005. Maternity Women’s Health Care. Seventh edit.
Wilkinson, Judith M. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 9. Jakarta : EGC
Yatim, Faisal. 2005. Penyakit Kandungan, Myom, Kista, Indung Telur, Kanker
Rahim/Leher Rahim, serta Gangguan lainnya. Jakarta: Pustaka Populer Obor
REFERENSI
1. Gaiser RR. Spinal, Epidural, and Caudal anesthesia. In : Introducton to anesthesia, editor :
Longnecker DE, Murphy FL, ed 9 th, WB Saunders Company, 1997.
2. Molnar R. Spinal, aepidural, and Caudal anesthesia. In : Clinical Anesthesia Procedures of the
Massachusetts General Hospital, editor Davison JK, Eukhardt WF, Perese DA, ed 4 th, London, Little brown and
Company, 1993.
3. Tetlaff JE, Spinal, Epidural and Caudal Block. In : Clynical Anestesiolgy. Editor : Morgan GE, Mikhail MS,
ed 2 nd, USA , Appleton & Lange, 1996.
4. Mulroy MF, Epidural Anesthesia. In : Regional anesthesia, ed 2 nd, USA, Little, Brown and Company,
1996.
5. Conachie I, Geachie J. Reginal anaesthetic Technique. In A Practice of Anesthesi, editor : Healy TEJ,
Cohen PJ, ed 6 th, London, Edward Arnold, 1995.
6. Brown DL, Spinal, Epidural and Caudal anesthesia. In : Anesthesia, editor : Miller RD, ed 5 th, Volume
1, California, Churchill Livingstone, 2000.
7. Bernards CM, Epidural and Spinal Anesthesia. In : Handbook of Clinical Ansthesia, editor : Barrash PG,
Gullen BF, Stoelting RK, Philadelpia, Lippincott Williams and Wilkins, 2001.
8. Dalens B, Lumbar Epidural Anesthesia . In Regional Anesthesia in infans, children and adolescents,
editor : Garner J, USA, Williams & Wilkins wevwerly Europe, 1995.
9. Dalens B and Khandwala R, Thoracic and Cervical Epidural Anesthesia . In : Regional Anesthesia in
Infans, Children, and Adolescents, editor : Garner J, USA, Eilliams Weverly Europe, 1995.
10. Katz J, Spinal and Epidural. In : Atlas of RegionalAneasthesia, ed 2 nd, California, USA, Appleton &
Lange, 1994.