Disusun Oleh:
Nama:
NIM:
Mengetahui,
( ) ( )
B. ETIOLOGI
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui.
Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen.
Faktor lain yang erat kaitannya dengan terjadinya BPH adalah proses penuaan
Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain:
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunantransforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma
dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan
epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori sel stem
Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam
sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan (Poernomo, 2000, hal 74-75).atau Sel stem yang
meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit (Roger Kirby, 1994 : 38).
D. KOMPLIKASI
Pada Hendria dkk (2011) komplikasi yang dapat terjadi antara lain :
1. Selulitis aadalah lesi kanker yang terkontaminasi bakteri, tanda-tanda yang
dapat dilihat pada kulit adalah tanda-tanda inflamasi seperti rubor, kalor,
dolor, dan functiolesa.
2. Abses pada kulit.
3. Penyebaran kanker ke organ lain terutama pada jenis Melanoma Maligna
yang merupakan tipe yang paling sering bermetasis ke organ lain dan
dengan jarak yang jauh.
4. Peningkatan resiko infeksi diakibatkan oleh kurangnya higienitas saat
perawatan lesi maupun saat proses pembedahan.
5. Terjadi efek samping akibat radioterapi seperti kulit terbakar, susah menelan,
lemah, kerontokan rambut, nyeri kepala, mual muntah, berat badan menurun,
kemerahan pada kulit.
6. Terjadi efek samping akibat kemoterapi seperti anorexia, anemia plastik,
trombositopeni, leukopeni, diare, rambut rontok, mual muntah, mulut kering,
dan rasa lelah.
E. PATOFISIOLOGI
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah
kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal
(1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat
dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional,
zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat
(2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan
keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan
terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer.
Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat
tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat
hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan
enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu
m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga
terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya
perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan
patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh
kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan
kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem
parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis.
Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi
yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan
mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor
menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok).
Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang
kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase
penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih.
Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi
dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu
permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah,
rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang
tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih,
sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai
hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit
ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak
mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari
tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox
(overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter
dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal.
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan
yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam
vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonephritis.
F. MANIFESTASI KLINIK
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun
keluhan di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract
Symptoms (LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.
Gejala iritatif meliputi:
(frekuensi) yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
(nokturia), terbangun untuk miksi pada malam hari
(urgensi) perasaan ingin miksi yang sangat mendesak dan sulit di tahan
(disuria).nyeri pada saat miksi
1. Hemorogi
Hematuri
Peningkatan nadi
Tekanan darah menurun
Gelisah
Kulit lembab
Temperatur dingin
2. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
3. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
bingung
agitasi
kulit lembab
anoreksia
mual
muntah
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering
dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena
urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran
kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal.
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan
yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam
vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonephritis.
H. PENATALAKSAAN MEDIS
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis:
a. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti
alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera
terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat.
Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian
lama.
b. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan
prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam.
Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat
dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari
retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu,
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian
terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat
penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
2. Jenis Anestesi
a. Regional Anestesi
Anestesi regional merupakan suatu metode yang lebih bersifat sebagai
analgesik. Anestesi regional hanya menghilangkan nyeri tetapi pasien tetap
dalam keadaan sadar. Oleh sebab itu, teknik ini tidak memenuhi trias anestesi
karena hanya menghilangkan persepsi nyeri saja (Pramono, 2017). Jenis
Anestesi Regional menurut Pramono (2017) digolongkan sebagai berikut:
1) Anestesi Spinal Penyuntikan anestesi lokal ke dalam ruang subaraknoid
disegmen lumbal 3-4 atau lumbal 4-5. Untuk mencapai ruang subaraknoid,
jarum spinal menembus kulit subkutan lalu menembus ligamentum
supraspinosum, ligamen interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural,
durameter, dan ruang subaraknoid. Tanda dicapainya ruang subaraknoid adalah
dengan keluarnya liquor cerebrospinalis (LCS). Menurut Latief (2010) anestesi
spinal menjadi pilihan untuk operasi abdomen bawah dan ekstermitas bawah.
Teknik anestesi ini popular karena sederhana, efektif, aman terhadap sistem
saraf, konsentrasi obat dalam plasma yang tidak berbahaya serta mempunyai
analgesi yang kuat namun pasien masih tetap sadar, relaksasi otot cukup,
perdarahan luka operasi lebih sedikit, aspirasi dengan lambung penuh lebih
kecil, pemulihan saluran cerna lebih cepat (Longdong, 2011). Anestesi spinal
memiliki komplikasi. Beberapa komplikasi yaitu hipotensi terjadi 20-70%
pasien, nyeri punggung 25% pasien, kegagalan tindakan spinal 3-17% pasien
dan post dural punture headache di Indonesia insidensinya sekitar 10% pada
pasien paska spinal anestesi (Tato, 2017).
4) Rumatan Anestesi
Obat-obatan anestesi spinal yang dipakai adalah
a. Buvipakain 15 mcg
b. Fentanyl 25 mcg
c. Tramadol 100 mg
d. Ondansentron 4 mg
e. Epidrin 10 mg
f. Dexamethasone 5 mg
5) Resiko
Efek sistemik utama yang diamati setelah anestesi spinal umumnya bersifat
kardiovaskuler dan disebabkan oleh blok praganglion simpatis oleh anestetik
lokal. Hipotensi arteri sering terjadi, dan derajatnya berhubungan langsung
dengan ketinggian blok simpatis. Bradikardi terjadi akibat paralisis serabut
kardioakselerator (T1-4) yang menuju ke jantung. Paralisis serabut saraf
simpatis akan mengurangi aliran balik vena akibat venodilatasi (Gruendemann
& Fernsebner 2006).
Penurunan tekanan darah yang signifikan dan menetap disebabkan oleh
penurunan bermakna preload ventrikel atau penurunan ventrikel dapat
disebabkan oleh vasodilatasi yang terkait dengan kedalaman anestesi atau
deplesi volume akibat perdarahan, hilangnya ruang ketiga, pengeluaran urine
yang tidak diganti, atau septikemia disertai kebocoran kapiler. Adanya embolus
paru akut dapat menyebabkan penurunan preload yang bermakna akibat
sumbatan aliran darah ke sisi kiri jantung (Gruendemann & Fernsebner 2006).
Kontraktilitas miokardium yang hilang dapat disebabkan oleh efek obat
anestesi, disfungsi ventrikel yang sudah ada, atau infark miokardium
perioperative (Gruendemann & Fernsebner 2006)
I. Rencana Intervensi
A. Pra – Anestesi
1. Prioritas tinggi : RK Cedera Anestesi
2. Prioritas sedang : RK Gangguan fungsi Perkemih
3. Prioritas rendah : Tidak ada
B. Intra – Anestesi
1. Daftar masalah I : RK Spinal Hematoma
2. Daftar masalah II : Risiko Cedera Trauma Fisik Pembedahan
3. Daftar masalah III : RK Gangguan Fungsi Kardiovaskular
C. Pasca – Anestesi
1. Daftar masalah I : Risiko Jatuh
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan :
Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.
Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lab / UPF Ilmu Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya, Fakultas
Kedokteran Airlangga / RSUD. dr. Soetomo.