Anda di halaman 1dari 72

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep Biomedik

2.1.1 Pengertian Benigna Prostat Hiperplasi

BPH adalah suatu kondisi yangs sering terjadi sebagai hasil dari

pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat (Yuliana elin, 2011).

BPH adalah pembesarak kelenjar prostat non kanker (Corwin, 2011).

Menurut Sabiston, David C. BPH adalah pembesaran prostat

yang jinak dan bervariasi berupa hiperplasi kelenjar atau hiperplasi

fibromuscular. Namun sering orang menyebutkan dengan hipertropi

prostat namun secara histologi, yang dominan adalah hiperplasi.

Menurut Smeltzer dan Bare, BPH adalah suatu keadaan dimana

kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang keatas, kedalam

kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium

uretra, BPH merupakan kondisi yang patologis yang terjadi pada pria.

BPH adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh

karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi

jaringan kelenjar/jaringan fibromoskuler yang menyebabkan

penyumbatan uretra pars prostatic pembesaran progresif dari kelenjar

prostatic (secara umum pada pria lebih dari 50 tahun) menyebabkan

9
10

sebagian derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius

(Purwanto Hadi, 2016).

Pendapat beberapa ahli tentang BPH diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa BPH adalah suatu kondisi pembesaran pada kelenjar

prostat yang penyebabnya belum diketahui ,tetapi beberapa kondisi

dipengaruhi usia.

Adapun dari penjelasan diatas dapat dilihat lebih jelas pada

gambaran prostat di bawah.

Gambar 2.1 BPH (Benigna Prostatic Hyperplasia)

Sumber : http://www.ipkeperawatan.com

2.1.2 Anatomi Fisiologi

Prostat adalah organ genetalia pria yang terletak dibawah dari

buli-buli, depan rectum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya


11

seperti buah kemiri dengan ukuran 4 cm x 3 cm x 2,5 cm dan beratnya

kurang lebih 20 gram (Purnomo, 2012).

Menurut Tangho prostat merupakan organ yang terdiri atas

jaringan fibromuscular dan glandular yang tersembunyi dibawah

kandung kemih. Dalam keadaan normal, prostat mempunyai berat 20

gram dan Panjang 2,5 cm yang terletak pada uretra posterior. Dibagian

depan prostat disokong oleh ligamentum prostatic dan dibagian

belakang oleh diafragma urogenital, Dalam klasifikasi of lowsley,

prostat terdiri dari lima lobus yaitu anterior, posterior, median, lateral

kanan dan lateral kiri. Sedangkan menurut McNeal, prostat terbagi atas

zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona anterior, dan zona

preprostatik sfingter.

Prostat memiliki kapsula fibrosa yang padat dan dilapisi oleh

jaringan ikat prostat seabagai bagian fascia pelvis visceralis. Pada

bagian superior dari prostat berhubungan dengan vesika urinaira,

sedangkan bagian inferior bersandar pada diafragma urogenital.

Permukaan ventral prostat terpisah dari simpisis pubis oleh lemak

retroperitoneal dalam spatium retropubicum dan permukaan dorsal

berbatas pada ampula recti (moore & Agur, 2002).


12

Gambar 2.2 Anatomi Kelenjar Prostat

Sumber: Kumar dkk,2010

Kelenjar prostat terdiri atas jaringan kelenjar dinding ureter

yang mulai menonjol pada masa pubertas. Biasanya kelenjar prostat

dapat tumbuh seumur hidup. Secara anatomi, prostat berhubungan

erat dengan kandung kemih, ureter, vas deferens, dan vesika

seminalis. Prostat terletak diatas diafragma panggul sehingga uretra

terfiksasi pada diafragma tersebut, dapat robek bersama diafragma

bila terjadi cedera. Prostat juga dapat diraba pada pemeriksaan colok

dubur (Sjamsuhidajat dkk, 2012).

Selain mengandung jaringan kelenjar, kelenjar prostat

mengandung cukup banyak jaringan fibrosa dan jaringan otot polos.

Kelenjar ini ditembus oleh uretra dan kedua ductus ejakulatorius dan

dikelilingi oleh suatu pleksus vena. Kelenjar limfe regionalnya ialah

kelenjar limfe hipogastrik, sacra, obturator dan iliaka eksterna

(Sjamsuhidajat dkk,2012).
13

Arteri-arteri untuk prostat terutama berasal dari arteri

vesicalis inferior dan arteri rectalis media, cabang arteria iliaca

interna. Vena-vena bergabung membentuk plexus venosus prostticus

sekeliling sisi-sisi dan alas prostat. Plexus venosus prostaticus yang

terletak antara kapsula fibrosa dan sarung prostat, ditampung oleh

vena iliaka interna. Plexus venosus prostaticus juga berhubungan

dengan plexus venosus vesicalis dan plexus venosus vertebrales.

Pembuluh limfe terutama berakhir pada nodi lymphoidei iliaci interni

dan lymphoedi externi (Moore dan Agur, 2002). Persarafan otonom

pada testis, ductus deferens, prostat dan vesikula seminalis.

Adapun persarafan otonom pada testis, suktus deferens,

prostat dan vesikula seminalis dapat dilihat pada gambar dibawah.

Gambar 2.3 Persarafan otonom pada testis, suktus


deferens, prostat dan vesikula seminalis

Sumber : Moore & Agur, 2002

Secara histologi, prostat terdiri dari kelenjar yang dilapisi dua

lapis sel, bagian basal adalah epitel kuboid yang ditutupi oleh lapisan

sel sekretori kulmonar. Pada beberapa daerah dipisahkan oleh stroma


14

fibromuscular. Hormon androgen testis berfungsi untuk mengontrol

pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel-sel prostat (Kumar, 2007).

Secara histologi prostat merupakasn suatu kumpulan 30-50

kelenjar tubuloalveolar yang bercabang, Duktusnya bermuara ke

dalam uretra pors prostatika. Prostat mempunyai tiga zona sentral

yang berbeda. Pertama adalah zona sentral yang meliputi 25% dari

volume elenjar. Kedua adalah zona perifer yang meliputi 70% dari

volume kelenjar dan merupakan tempat predileksi timbulnya kanker

prostat. Ketiga adalah zona transisional yang merupakan tempat asal

bahian hyperplasia prostat jinak (Junqueira, 2007).

Kelenjar tubuloalveolar prostat dibentuk oleh epitel

bertingkat silindrisatau kuboid. Stroma tubulomuskular mengelilingi

kelenjar-kelenjar. Prostat dikelilingi suatu simpai fibroelsatis dengan

otot polos. Septa dari simpai ini menembus kelenjar dan membaginya

dalam lobus-lobus yang tidak terbatas pada orang dewasa

(Junqueira,2007).
15

Gambar 2.4 Histologi Kelenjar Prostat Normal

Sumber : School of Anatomy and Human Biology, 2009

Secara fisiologis klenjar prostat menyekresi cairan encer,

seperti susu yang mengandung kalsiom, ion sitrat, ion fosfat, enzim

pembekuan dan profimbrinolisin. Selama pengisian, simpai kelenjar

prostat berkontraksi sejalan dengan kontraksi vas deferens sehingga

cairan encer seperti susu yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat

menambah semen lebih banyak lagi. Sifat cairan prostat yang sedikit

basa mungkin penting untuk keberhasilan fertilisasi ovum, karena

cairan vas deferens relatif asam akibat adanya asam sitrat dan hasil

akhir metabolisme sperma dan sebagai akibatnya akan menghambat

fertilisasi sperma. Selain itu secret vagina bersifat asam dengan

derajat keasaman sekitar 3,5-4. Sperma tidak dapat bergerak secara

optimal sampai pH sekitar nya meningkat menjadi 6-6,5. Akibatnya

cairan prostat yang sedikit basa mungkin dapat menetralkan sifat


16

asam cairan seminalis lainnya selama ejakulasi dan juga

meningkatkan motilitas dan fertilitas sperma (Guyton dan Hall,

2008;Sherwood, 2012).

2.1.3 Etiologi Benigna Prostat Hiperplasi

Menurut Prunomo dalam Muttaqin 2012, penyebab terjadi nya

BPH secara pasti belum diketahui secara pasti, tetapi beberapa hipotesis

menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan kadar

dehidrotestosteron dan penuaan. Perubahan mikroskopik pada prostat

telah terjadi pada pria usia sekitar 30-40 tahun, bila perubahan

mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi

(Kapita Selekta Kedokteran,2000).

Selain faktor tersebut ada beberapa hipotesis yang diduga sebagai

penyebab timbulnya hiperplasi prostat , yaitu sebagai berikut

2.1.3.1 Teori Dihidrotestosteron

Aksis hipofisis testis dan reduksi testosterone menjadi

dihidrotestosteron (DHT) dalam sel prostat menjadi faktor terjadinya

penetrasi DHT ke dalam inti sel yang dapat mengakibatkan inskripsi

pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesis protein, proses

reduksi ini difasilitasi oleh enzim 5-a-reduktase (Kapita Selekta

Kedokteran, 2000).
17

Dihidrotestosteron duhasilkan dari reaksi perubahan

testosterone didalam sel prostat oleh enzim 5a-reduktase dengan

bantuan koenzim NADPH. Dihidrotestosteron yang

telah berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks

DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth

factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat (Purnomo, 2012).

Perubahan testosterone menjadi dihidrotestosteron oleh enzim

5a-reduktase disajikan pada gambar.

Gambar 2.5 Perubahan testosterone menjadi

dihidrotestosteron oleh koenzim

5a-reduktase

Testosteron Dihidrotestodteron

NADPH NADP

Sumber : Purnomo, 2012

Suatu penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak

jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada

BPH, aktivitas enzim 5a-reduktase dan jumlah reseptor androgen kebih

banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel prostat pada BPH lebih

sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi

dibandingkan dengan prostat normal (Purnomo, 2012).


18

Berdasarkan hal diatas dapat dikatakan peningkatan 5 alfe

reductase dan reseptor adrogen menyebabkan epitel dan stroma dari

kelenjar prostat mengalami hiperplasi.

2.1.3.2Teori Perubahan Keseimbangan Hormon Estrogen-Testosteron

Proses penuaan yang dialami pria terjadi peningkatan hormon

estrogen dan penurunan hormon testosteron yang menyebabkan

hiperplasi prostat.

Estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi

sel-sel prostat terhadap rangsanga hormon androgen meningkatkan

jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel

prostat (apoptosis). Meskipun rengsangan terbentuknya sel-sel baru

akibat rangsanga testosterone menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah

ada mempunyai umur lebih Panjang sehingga masa prostat menjadi

lebih besar (Purnomo,2012).

2.1.3.3 Teori Interaksi Stroma dan Epitel

Peningkatan epidermal growth faktor atau fibroblast growth dan

penurunan transforming growth faktor beta menyebabkan hiperplasi

stroma dan epitel.

Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak

langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth


19

factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT

dan estradiol, sel-sel epitel secara parenkim. Stimulasi itu menyebabkan

terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma (Purnomo, 2012).

2.1.3.4 Teori Berkurangnya Sel Prostat yang Mati

Estrogen yang meningkat menyebabkan peningatan lama hidup

stroma dan epitel dari kelenjar prostat. Kematian sel (apoptosis) pada

sel prostat adalah mekanisme fisiologi untuk mempertahankan

homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan

diafagositosis oleh sel-sel di sekitarnya kemudian didegradasi oleh

enzim lisosom (Purnomo, 2012).

Kondisi jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju

proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan

prostat sampai pada prostat dewasa. Penambahan jumlah sel-sel prostat

baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurang nya jumlah

sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan pertambahan

masa prostat. Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat

proses kematian sel, estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-

sel prostat ,sedangkan factor pertumbuhan TGF-beta berperan dalam

proses apoptosis (Purnomo, 2012).


20

2.1.3.5 Teori Kebangkitan Kembali (reawakening)

Teori kebangkitan kembali (reawakening) atau reduksi dari

kemampuan mesenkim sinus urogenital untuk berproliferasi dan

membentuk jaringan prostat (Kapita Selekta Kedokteran, 2000).

Proses mengganti sel-sel yang telah mengalami kematian atau

apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru. Didalam kelenjar prostat dikenal

dengan sel yang bernama steam sel, yaitu sel yang mempunyai

kemampuan untuk berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini

sangat bergantung pada keberadaan hormon androgen, sehingga jika

hormon ini kadarnya menurun, menyebabkan terjadinya apoptosis.

Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai

ketidaktepatnya aktivitas sel steam seihingga terjadi prosuksi yang

berlebihan sel stroma maupun sel kelenjar (Purnomo, 2012).


21

2.1.4 Faktor Risiko Benigna Prostat Hiperplasi

Penelitian terakhir pengaruh makanan terhadap pembesaran

prostat telah menjadi kontroversi. Menurut sebuah studi yang

menganalisis data dari kelompok placebo dalam Prostate cancer

Prevention Trial (PCPT), yang terdaftar 18.880 pria berusia lebih dari 50

tahun, tingginya konsumsi daging merah dan diet tinggi lemak dapat

meningkatkan risiko BPH. Lycopene dan suplemen dengan vitamin D

bisa menurunkan risiko pembesaran prostat, tetapi vitamin C, vitamin E,

dan selenium dilaporkan tidak ada hubungannya dengan pembesaran

prostat dan Lower Urinary Tract Symptom (LUTS). Dalam meta-analisis

yang terdaftar 43.083 klien laki-laki, intensitas latihan itu terkait dengan

pengurangan risiko pembesaran prostat. Sebuah korelasi negatife antara

asupan alkohol dan pembesaran prostat telah ditunjukkan dalam banyak

sudi penelitian (Yoo & Cho, 2012).

Pria yang mengkonsumsi alcohol secara sedang memiliki risiko

30% lebih kecil kemungkinan terjadi gejala BPH, 40% lebih kecil

kemingkinan untuk mengalami gejala nocturia. Namun, dalam meta-

analisis dari 19 studi terakhir, menggabungkan 120.091 klien, pria yang

mengkonsumsi 35 gram atau lebih alcohol perhari dapat menurunkan

risiko BPH sebesar 35% tetapi peningkatan risiko LUTS dibandingkan

dengan pria yang tidak mengkonsumsi alcohol (Yoo & Cho, 2012).
22

2.1.5 Klasifikasi Benigna Prostat Hiperplasi

Organisai kesehatan dunia (WHO) menganjurkan kalsifikasi

untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO Prosatte

Symptom Score (PSS). Derajat ringan skor 0-7, sedang 8-19, dan berat

skor 20-35 (Sjamsuhidayat dkk, 2012). Selain itu ada juga yang membagi

nya berdasarkan gambaran klinis penyakit BPH. Derajat penyakit BPH

disajikan pada tabel berikut.

Tabel 2.1
Derajat Penyakit BPH

Sisa Volume
Derajat Colok Dubur
Urine
Penonjolan
I prostat atas, atas < 50 ml
mudah diraba
Penonjolan
II prostat jelas, batas 50 – 100 ml
atas dapat dicapai
Batas atas prostat
III ➢ 100 ml
tidak dapat diraba
Batas ats prostat Retensi urin
IV
tidak dapat diraba total
Sumber : Sjamsuhidayat dkk, 2012

Tabel 2.2
Skor Internasional gejala-gejala Prostat WHO (IPSS)

Jawaban dan skor


Pertanyaan

Lebih
Tidak <1 >5
Keluhan pada 15 dari Hampir
sama sampai sampai
bulan terakhir kali 15 selalu
sekali 5 kali 15 kali
kali

Adakah anda
merasa buli-
buli tidak 0
kosong setelah
buang air kecil
23

Berapa kali
anda hendak
buang air kecil 5
lagi dalam 0 1 2 3 4
waktu 2 jam
setelah buang
air kecil
Berapa kali
terjadi kencing 5
berhenti 0 1 2 3 4
setelah buang
air kecil
Berapa kali
anda tidak 5
dapat menahan 0 1 2 3 4
keinginan
buang air kecil
Berapa kali
arus air seni 5
lemah sekali 0 1 2 3 4
sewaktu buang
aair kecil
Berapa kali
terjadi anda
mengalami 5
kesulitan 0 1 2 3 4
memulai buang
air kecil (harus
mengejan)
Berapa kali
anda bangun 5
untuk buang air 0 1 2 3 4
kecil diwaktu
malam
Andaikata hal
yang anda
alami sekarang
akan tetap 5
0 1 2 3 4
berlangsung
seumur hidup,
bagaimana
perasaan anda
Jumlah Nilai:

0 = baik sekali
1 = baik
2 = kurang baik
3 = kurang
4 = buruk
5 = buruk sekali

Sumber: Kapita selekta kedokteran, 2000

2.1.6 Patofisiologi Benigna Prostat Hiperplasi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra

prostatika dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan


24

penekanan tekanan intravesikal. Untuk dapat menegluarkan urin, buli-

buli halus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi

yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomi buli-nbuli

berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuk nya selula, dan

sakula dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-bbuli

tersebut, oleh klien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah

bawah atau LUTS yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus

(Purnomo, 2012).

Tekanan intravesical yang tingggi diteruskan ke seluruh bagian

buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua

muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke

ureter atau terjadi refluks vesikoureter, keadaan ini jika berlangsung terus

akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat

jatuh kedalam gagal ginjal (Purnomo, 2012).

Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan

berkurangnya atau tidak adanya aliran kemih, dan ini memerlukan

intervensi untuk membuka jalan keluar urin. Metode yang mungkin

adalah prostatektomi parsial, Transurethral Recetion of Prostate (TURP)

atau insisi prostatektomi terbuka, untuk mengangkat jaringan periurethral

hiperplasia insisi transurethral melalui serat otot leher kandung kemih

untuk memperbesar jalan keluar urin, dilatsi balon pada prostat untuk

memperbesar lumen uretra dan terapi antiandrogen untuk membuat atrofi

kelenjar prostat (Price and Wilson, 2012).


25

BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap

kelenjar. Pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan kelenjar

adalah 2:1, pada BPH, rasio nya menjadi 4:1 hal ini menyebabkan pada

BPH terjadi peningkatan tonus otot polos prostat dibandingkan dengan

prostat normal. Dalam hal masa prostat yang menyebabkan obstruksi

komponen static sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen

dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat (Purnomo, 2012).

2.1.7 Patologi Benigna Prostat Hiperplasi

Patologis BPH ditandai dengan pertumbuhan kelenjar hiperplastik

dan stroma yang bergabung menjadi nodul mikroskopis dan makroskopis

di kelenjar prostat. Ada lima jenis umum nodul BPH, yaitu

Fibromyoadenomatous (umum), Fibroadenomatous,

Fibrous/fibrovascular, Fibromuskular dan Muskuar (jarang). Umumnya

BPH terdiri dari kelanjar (mengandung sebagian besar sel kelenjar

prostat), campuran (mengandung stroma dan se epitel kelenjar), dan

stroma (yang hanya berisi sel stroma). Nodul awal yang berkembang pada

BPH ditemukan didaerah periuretra dan bisanya stroma terdiri dari

jaringan fibrosa dan beberapa otot polos. Pada beberapa kasus, nodul

BPH dapat ditemukan di zona perifer, yang dapat teraba dengan

pemeriksaan colok dubur, dan biasanya terdiri dari unsur-unsur kelenjar

epitel. Kurang nya unsur kelenjar di nodul stroma BPH dan pengamatan

perbedaan zona di awal nodul BPH menyebabkan etiologic yang berbeda

dari nodul stroma dibandingkan dengan BPH komponen kelenjar. Ketika


26

zona transisi membesar secara makroskopik, karena pertumbuhan BPH

nodular dan karenanya menjadi LUTS (Nicholson dan Ricke, 2012).


27

2.1.7 Pathway Benigna Prostat Hiperplasi

Sel prostat Proliferasi abnormal


umur panjang
sel steam
Hormon Faktor usia
estrogen &
testosterone
tidak Sel stroma
Sel yang
seimbang pertumbuhan mati Produksi stroma dan
bersatu kurang epitel berlebihan

Menghambat Gangguan Eliminasi urin


aliran urin pre TURP Prostat membesar

Risiko perdarahan
Penyempitan Penekanan serabut post TURP TURP
lumen ureter serabutsaraf
prostatika (nyeri) pre TURP

Perubahan dalam gaya


Iritasi mukosa kandung hidup (pola seksualitas)
Peningkatan Kerusakan kencing, terputusnya
resistensi leher V.U mukosa jaringan, trauma bekas
dan daerah V.U urogenital Reseksi
Ansietas post
TURP
Rentan terhadap
Peningkatan invasi bakteri bekas
ketebalan otot reseksi
destructor (fase
28

Risiko Kurang
infeksi
Rangsangan
informsasi
post TURP syaraf nyeri
terhadap
Terbentuknya pembedahan
sakula/trabekular

Respon balik nyeri


Media
Kelemahan otot pertumbuhan
terhadap tubuh Ansietas pre
dekstruktor kuman TURP

Penurunan kemampuan Nyeri akut


fungus V.U Residu urin
berlebih post TURP

Refluks urine
Hidronefrosis

Sumber: NANDA NIC NOC, 2016


29

2.1.9 Manifestasi Klinis Benigna Prostat Hiperplasi

Gejala klinis hanya terjadi sekitar 10% pada laki-laki yang

mengidap kelainan ini. Hal ini dikarenakan BPH mengenai bagian dalam

prostat, manifestasinya yang tersering adalah saluran kemih bawah

(Kumar, 2007).

Gejala klinis berkembang lambat karena hipertrofi detrusor

kandung kemih mengkompensasi untuk kompresi uretra. Seiring dengan

obstruksi berkembang, kekuatan pancaran urin menurun dan terjadi

keragu-raguan dalam memulai berkemih dan menetes diakhir berkemih.

Disuria dan urgensi merupakan tanda klinis iritasi kandung kemih

(mungkin sebagai akibat peradangan atau tumor) dan biasanya tidak

terlihat pada hiperplasi prostat. Ketika residual pasca-miksi bertambah,

dapat timbul nocturia dan overflow incontinence (Saputra, 2009).

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih

maupun keluhan di luar saluran kemih yaitu :

2.1.9.1 Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) terdiri atas

gejala voiding, storage, dan pasca-miksi. Untuk menilai tingkat

keparahan dari keluhan pada saluran kemih bagian bawah beberapa ahli

dan organisasi urologi membuat sistem penilaian yang dianjurkan oleh

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah skor Internasional Gejala

Prostat atau International Prostatic Symptom Score (IPSS) (Purnomo,

2012).
30

Sistem penialian IPSS terdiri atas pertanyaan yang berhubungan

dengan keluhan miksi dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan

kualitas hidup klien. Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan

kualitas miksi klien diberi nilai 0-5, sedangkan keluhan yang

menyangkut kualitas hidup diberi nilai 1-7. Dari skor IPSS itu dapat

dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu ringan (skor 0-7),

sedang (skor 8-19), dan berat (skor 20-35) (Purnomo, 2012).

Timbulnya dekompensasi buli-buli biasanya didahului oleh

beberapa faktor pencetus, seperti volume kandung kemih tiba-tiba terisi

penuh, yaitu pada saat cuaca dingin, menahan kencing terlalu lama,

mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung

diuretikum (alcohol, kopi), dan air minum dalam jumlah yang

berlebihan, massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan

aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat akut, setelah

mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot

detrusor atau dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain ; golongan

antikolinergik atau adrenergic alfa (Purnomo, 2012).

2.1.9.2 Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat penyulit hiperplasi prostat pada saluran kemih

bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan

di pinggang ( yang merupakan tanda dari hidronefrosis), dan demam

yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis (Purnomo, 2012).


31

2.1.9.3 Gejala di luar saluran kemih

Klien tidak jarang berobat ke dokter karena mengeluh adanya

hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena

sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan

tekanan intra-abdominal (Purnomo, 2012)

Pemeriksaaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi

penuh dan teraba massa kristus di daerah supra simfisis akibat retensi

urin. Kadang-kadang didapatkan urin yang selalu menetes tanpa

disadari oleh klien yaitu merupakan tanda dari inkontinensia paradoksa.

Pada colok dubur yang diperhatikan adalah tonus sfingter ani/refleks

bulbo-kavemosus yang menyingkirkan adanya kelainan buli-buli

neurogenic, mukosa rectum, dan keadaan prostat, anatar lain :

kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi prostat, simetrisitas

antar lobus dan batas prostat (Purnomo, 2012).

Colok dubur pada pembesaran prostat jinak menunjukkan

konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan

dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul, sedangkan pada karsinoma

prostat, konsistensi prostat keras atau teraba nodul dan mungkin di

antara prostat tidak simetri (Purnomo, 2012).

Tanda dan gejala secara rasional menurut Marlene Hurst 2016,

ada beberapa tanda dan gejala ,diantaranya adalah nyeri panggul dan

peritonem, nyeri di dalam testis, area selangkangan, penis, dan skrotum


32

yang menyebar ke punggung bawah, keengganan berkemih dengan

aliran urine lemah saat berkemih, disfungsi seksual dengan ejakulasi

yang terasa nyeri dan nyeri pasca ejakulasi di rectum dan anus, gejala

sistemik: menggigil, demam, hipotensi.

Ketika prostatitis bersifat bersifat kronis, terdapat tanda dan

gejala perkemihan dan non perkemihan, urine menetes (dribbling),

nyeri Inguinal dan Perineal, rasa seperti terbakar uretral, tanda-tanda

umum : Diaforesis, keletihan dan kaki dingin (cold feet).

2.1.10 Komplikasi Benigna Prostat Hiperplasi

Kerusakan traktus urinarius bagian atsa akibat dari obstruksi

kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang

menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen yang akan

menimbulkan hernia dan haemorhoid. Stasis urin dalam vesika urinaria

akan membentuk batu batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan

hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan

media pertumbuhan mikroorganisme yan menyebabkan sistitis dan bila

terajadi refluks menyebabkan pyelonephritis (Sjamsuhidajat, 2005).


33

2.1.11 Pemeriksaan Penunjang

2.1.11.1 Endapan Urin

Pemeriksaan unsur-unsur pada endapan urin ini diperlukan

pemeriksaan sedimen urin. Pemeriksaan tersebut merupakan salah

satu dari tiga jenis pemeriksaan rutin urin yaitu pemeriksaan

makroskopis, pemeriksaan mikroskopis (pemeriksaan sedimen) dan

pemeriksaan kimia urin. Pada pemeriksaan makroskopik yang

diperiksa adalah volume, warna, kejernihan, berat jenis, bau dan pH

urin. Pemeriksaan kimia urin dipakai untuk pemeriksaan pH, protein,

glukosa, keton, bilirubin, darah, urobilinogen dan nitrit (Hapsari,

2010).

Sedangkan yang dimaksud dengam pemeriksaan urin yaitu

pemeriksaan sedimen urin. Ini penting untuk mengetahui adanya

kelainan pada ginjal dan saluran kemih serta berta ringannya

penyakit. Pada BPH sendiri, unsur sedimen yang paling banyak

terdapat antara kain adalah eritrosit, leukosit dan bakteri. Keberadaan

dari endapan urin ini mengiritasi dan dapat menyebabkan luka pada

dinding kandung kemih sehingga terjadi nya perdarahan mukosa. Hal

ini lanjut terlihat pada terjadinya hematuria makros (darah pada urin).

Terkumpulnya endapan urin yang lebih banyak dapat menyebabkan

obstruksi aliran kemih sehingga lama kelamaan menajdi tidak dapat

mengeluarkan urin sama sekali (Hapsari, 2010).


34

2.1.11.2 Urinalisa

Analisis urin dan mikroskopik uri penting untuk melihat adanya

sel leukosit, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat heaturi harus

diperhitungkan adanya etiologic lain seperti keganasan pada saluran

kemih, batu, infeksi saluran kemih walaupun BPH sendiri dapat

menyebabkan hematuri. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah

merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolic.

Adapun standar hasil normal pemeriksaan urin dapat dilihat

pada gambar dibawah.

Gambar 2.6 Tabel Pemeriksaan Nilai Urin

Jenis Nilai Normal


Volume 750-1800 cc/hari
pH 4,6-6,0
Tampilan Jernih
Warna Kuning muda
Berat Jenis 1,003-1,030
Osmolalitas 250-1000 mOsm/L
Albumin 10-100 mg/hari
Amilase < 17 U/ hari
Kalsium < 250 mg/hari
Kreatinin 0,75-1,5 g/hari
Glukosa < 500 mg/hari
Kalium 25-125 mEq/hari
Protein 0-6 mg/dl
Natrium 40-220 mEq/hari
Nitrogen urea 10-20 g/hari
Asam urat 250-750 mg/hari

Sumber : duniakeperawatan92.com
35

2.1.11.3 Pemeriksaan Prostate Specific Antigen

Prostate Spesific Anigen (PSA) disintesis oleh sel epitel kelenjar

prostat dan bersifat organ spesifik tetapi bukan kanker spesifik.

Serum PSA dapat dipakai untuk mengetahui perjalanan penyakit

dari BPH, dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti pertumbuhan

volume prostat lebih cepat.

Laju pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun

pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan

pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA

3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun. Kadar PSA didalam serum dapat

mengalami peningkatan pada peradangan, setelah memanipulasi

pada prosatat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urin akut,

kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua

(IAUI,2003).

Pemeriksaan prostatic specific antigen (PSA) dilakukan

sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau deteksi dini

keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan

bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung prostatic specific antigen

density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat.

Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian

pula bila nilai PSA > 10ng/ml.


36

2.1.11.4 Pemeriksaan Fungsi Ginjal

Obstruksi intravesikula pada BPH menyebabkan gangguan

pada traktus urinarius bawah maupun bagian atas. Dikatakan bahwa

gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 3-30% dengan rata-rata

13,6% gagal ginjal menyebabkan terjadinya komplikasi pasca bedah

(25%) lebih sering dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal

(17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih banyak. Klien LUTS

yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatsi sitem pelvikalis 0,8%

jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat

kelainan kadar kreatinin serum. Oleh karena pemeriksaan faal ginjal

ini berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan

pencitraan pada saluran kemih bagian atas (IAUI, 2003).

2.1.11.5 Uroflometri

Uroflometri adalah pencacatan tentang pancaran urin selama

proses miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukkan untuk

mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak

invasive. Dari uroflomrtri dapat diperoleh informasi mengenai

volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata

(Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum,

dan lama pancaran. Nilai Qmax dipengaruhi oleh: usia, jumlah urin

yang dikemihkan, serta terdapat variasi individual yang cukup besar.

Oleh karena itu hasil uroflometri menjadi bermakna jika volume urin

(>150 mL) dan diperiksa berulang kali pada kesempatan yang


37

berbeda. Spesifisitas dan niali prediksi positif Qmax untuk

menentukan (Direct Bladder Outlet Obstruction) (BOO) harus diukur

beberapa kali. Untuk menilai ada tidak nya BOO sebaiknya dilakukan

pengukuran pancaran urin 4 kali (IAUI, 2003).

2.1.11.6 Pemeriksaan darah lengkap

Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif

maka semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan

pernafasan biasanya menyertai penderita BPH karena usian nya yang

sudah tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji.

Pemeriksaan darah lengkap mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung

jenis leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN,

kreatinin serum.

2.1.11.7 Pemeriksaan radiologis

Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena,

USG, dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume

BPH, derajat disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos

dilihat adanya batu pada traktus urinarius , pembesaran ginjal atau

buli-buli. Dapat juga dilihat adanya lesi osteoblastic sebagai tanda

metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan

ginjal. Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari

fungsi renal, hidronefrosis dan hydroureter, gambaran ureter

berbelok-belok di vesika urinaria, residu urin. Dari USG dapat

diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendetaksi


38

residu urin dan batu ginjal. Pada pemeriksaan USG kelenjar prostat,

zona sentral dan perifer prostat terlihat abu-abu muda sampai gelap

hmogen. Sedangkan zona transisional yang terletak lebih anterior

terlihat hipoekogenik heterogen. Keheterogenan dan kehipogenikan

tergantung dari variasi jumlah sel setromal dan epitel kelenjar

(Hapsari, 2010). Zona transisional biasanya merupakan 5% bagian

pada prostat laki-laki muda. Akan tetapi dapat menjadi 90% bagian

prostat pada psien BPH. Dengan meningkatnya ukuran zona

transisional, zona perifer dan sentral prostat menjadi tertekan ke

belakang. Selain itu, zona transisional yang membesar juga melebar

ke arah distal sehingga menyebabkan overhanging apex zona perifer.

Hal tersebut dapat dilihat melalui TRUS. Selain itu melalui TAUS,

dapat dilihat terdapat pembesaran lobus median prostat kea rah intra-

vesikal (prostrusi) dan gambaran residu urin dalam jumlah banyak

(>40 cc) (Hapsari, 2010).

BNO/IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal

apakah terlihat bayangan radiopak daerah traktus urinarius. IVP untuk

melihat/mengetahui fungsi ginjal apakah hidronefrosis. Dengan IVP

buli-buli dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya

dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya refluks

urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.

Diantara pemeriksaan radiologis yang ada menurut Dongoes,

2018 adalah
39

a. Ultrasonografi prostat transrectal (TRUS) mengukur ukuran

prostat dan jumlah urin residu, menentukan lokasi lesi yang tidak

berkaitan dengan BPH. Untuk klien yang mengalami peningkatan

pada kadar PSA, biopi yang dipandu TRUS dapat diindikasikan

(Dongoes, 2018)

b. Pemeriksaan Rektal Digital Untuk mengkaji ukuran dan kontur

prostat, evaluasi nodul, dan area yang dicurigai malignasi dapat

dideteksi, juga membantu menentukan tonus dan fluktuasi dasar

panggul, seperti pada abses prostat, dan nyeri serta sensitivitas

kelenjar juga dapat dikaji (Dongoes, 2018)

c. Urografi dapat menunjukkan adanya sumbatan di saluran kemih

yang menyebabkan perlambatan pengosongan kandung kemih,

retensi urin, atau adanya pembesaran kelenjar prostat (Dongoes,

2018)

d. Sistouretrografi Dapat digunakan daripada IVP untuk

memvisualisasi kandung kemih dan uretra karena menggunakan

media kontras radiopaque terlokalisasi daripada sistemik

(Dongoes, 2018)

e. Sistouretroskopi dapat digunakan pada individu tertentu,

menunjukkan derajat pembesaran prostat dan perubahan dinding

kandung kemih yang berkaitan dengan trabekulasi kandung kemih


40

2.1.12 Penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasi

Penatalaksanaan pada klien BPH tidak semua langsung

melakukan tindakan medik. Gejala yang ringan dapat sembuh sendiri

tanpa mendapatkan terapi apapun. Tujuan pemberian terapi pada klien

BPH adalah mengembalikan kualitas hidup klien. Terapi yang

ditawarkan pada klien tergantung pada derajat keluhan, keadaan klien,

maupun kondisi objektif kesehatan klien yang diakibatkan oleh

penyakitnya. Pilihannya adalah mulai dari tanpa terapi (watchful

waiting), medikamentosa, dan terapi intervensi (IAUI, 2003).

2.1.12.1 Tanpa terapi (watchful waiting)

Pilihan tanpa terapi ini ditunjukan untuk klien BPH dengan

skor IPSS < 8 dan >8 terapi gejala LUTS tidak mengganggu aktivitas

sehari-hari. Klien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi

penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk

keluhannya, misal nya tidak boleh mengkonsumsi kopi atau alkohol

sebelum tidur malam, kurangi makanan atau minuman yang

mengiritasi buli-buli (kopi atau cokelat), dan hindari penggunaan obat

dekongestan atau antihistamin (McVary & Roeherborn, 2010;

Purnomo, 2012).

Secara periodic klien diminta untuk dating control dengan

ditanya keluhannya yang mungkin menjadi lebih baik (sebaiknya

memakai skor yang baku), disamping itu dilakukan pemeriksaan

laboratorium, residu urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi


41

bertahan buruk daripada sebelumnya, mungkin diperkirakan untuk

memilih terapi yang lain (Purnomo, 2012)

2.1.12.2 Terapi Medikamentosa

Tujuan terapi mediak mentosa adalah berusaha untuk

mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik

penyebab obstruksi intravesikula dengan obat-obatan penghambat

adrenergic-α (adrenergic α-blocker) dan mengurangi volume prostat

sebagai komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormone

testosterpon/dihidrotestosteron melalui penghambat 5 α-reduktse

(Kapita Selekta Kedokteran, 2000)..

a. Penghambat adrnergik α

Obat-obatan yang sering dipakai adalah prozasin, doxasozin,

terasozin, aflusozin, atau yang lebih selektif α 1a (tamsulosin).

Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-

0,4 mg/hari. Penggunaan antagonis α-1-adrenergik karena secara

selektif mengurangi obstruktif pada buli-buli tanpa merusak

kontraktilitas destrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor

yang ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat

dan kapsul prostat, sehingga terjadi relaksasi didaerah prostat. Hal

ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga

gangguan aliran air seni dan gejala-gejalanya berkurang. Biasanya

klien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam waktu 1-2

minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang


42

mungkin ditimbulkan adalah pusing-pusing (dizziness), capek,

sumbatan hidung, dan rasa lemah (Kapita Selekta Kedokteran,

2000)..

b. Penghambat enzim5- α-reduktase

Obat yang dipakai adalah finasteride (Proscar) dengan dosis 1 x 5

mg/hari. Obat ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga

prostat yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja

lebih lambat daripada golongan α bloker dan manfaatnya hanya

jelas pada prostat yang sangat besar. Efektivtasnya masih

diperdebatkan karena masih diperdebatkan karena baru

menunjukkan perbaikan sedikit dari keluhan klien setelah 6-12

bulan pengobatan bila dimakan terus menerus. Salah satu efek

samping obat ini adalah melemahkan libido, ginekomastia, dan

dapat menurunkan nilai PSA (masking effect) (Kapita Selekta

Kedokteran, 2000)..

C. Fitoterapi

Pengobatan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat.

Substansinya misalnya Pyegeum africanum, Saw palmetto,

Serenoa repeus, dll. Efeknya diharapkan terjadi setelah pemberian

selama 1-2 bulan (Kapita Selekta Kedokteran, 2000)..

2.1.12.3 Terapi Bedah

Jenis pengobatan terapi bedah paling tinggi efektifitasnya ,

intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi Transurethral


43

Resection of The Prostate (TUR P), Transurethral Insision of the

Prostate (TUI P), Prostatektomi terbuka, Prostatektomi dengan laser

dengan Nd-YAG atau Ho-YAG (Kapita Selekta Kedokteran, 2000).

TUR P masih merupakan standar yang paling sering

digunakan. Indikasi TUR P sendiri adalah gejala-gejala sedang

sampai berat, volume prostat kurang dari 90 g dan pasien cukup sehat

untuk menjalani operasi. Komplikasi TUR P jangka pendek adalah

perdarahan, infeksi, hyponatremia, atau retensio karena bekuan darah.

Sedangkan komplikasi jangka panjang ialah striktur uretra, ejakulasi

retrograde (50-90%), atau impotensi (4-40%) (Kapita Selekta

Kedokteran, 2000).

Bila volume prostat tidak terlalu besar atau ditemukan kontraktur

leher vesika atau prostat fibrotic dapat dilakukan Transurethral

Insision of the Prostate (TUI P). Indikasi TIU P adalah keluhan

sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil. Komplikasi

nya bisa ejakulasi retrograde (0-37%) (Kapita Selekta Kedokteran,

2000).

2.1.12.4 Terapi Infasiv Minimal

Terapi infasiv minimal diataranya ada Transurethral

Microwave Thermotherapy (TUMT), Dilatasi Balon Transurethral

(TUBD), High-intensity Focused Ultrasound, Ablasi jarum

transuretra (TUNA), dan stent prostat (Kapita Selekta Kedokteran,

2000).
44

Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT) hanya dapat

dilakukan di beberapa rumah sakit besar. Dilakukan pemansan prostat

dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui

suatu transducer yang diletakan di uretra pars prostatika (Kapita

Selekta Kedokteran, 2000).

2.1.13 Dampak Penyakit BPH Terhadap Kebutuhan Dasar Manusia

Teori yang berkaitan dengan konsep kebutuhan dasar manusia

salah satu diantaranya adalah teori dari Abraham Maslow yang

merupakan seorang psikolog dari Amerika yang mengembangkan teori

tentang kebutuhan dasar manusia yang lebih dikenal dengan istilah

Hierarki Kebutuhan Dasar Manusia Maslow, dikarenakan manusia

mempunyai kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi secara memuaskan

melalui proses homeostasis dan kehidupan itu sendiri. Banyak ahli

filsafat psikologis dan fisiologis menguraikan kebutuhan manusai dan

membahasnya dari berbagai segi. Hierarki tersebut meliputi lima

kategori kebutuhan dasar, yakni :

2.1.13.1 Kebutuhan fisiologis (physiologic Needs). Kebutuhan fisiologis memiliki

prioritas tertinggi dalam hierarki Maslow. Umumnya, seseorang yang

memiliki beberapa kebutuhan yang belum terpenuhi akan lebih dulu

memenuhi kebutuhan fisiologisnya dibandingkan kebutuhan yang lain.

Manusia memiliki delapan macam kebutuhan fisiologis, yaitu :

a. Kebutuhan oksigen dan pertukaran gas.


45

b. Kebutuhan cairan dan elektrolit.

c. Kebutuhan makanan.

d. Kebutuhan eliminasi urin dan alvi.

e. Kebutuhan istirahat dan tidur.

f. Kebutuhan aktivitas.

g. Kebutuhan kesehatan temperature tubuh.

h. Kebutuhan seksual.

2.1.13.2 Kebutuhan keselamatan dan rasa aman (Safety and Security Needs).

Kebutuhan keselamatan dan rasa aman yang dimaksud adalah aman dari

berbagai aspek, baik fisiologis, maupun psikologis. Kebutuhan ini

meliputi:

a. Kebutuhan perlindungan diri dari udara dingin, panas, kecelakaan, dan

infeksi.

b. Bebas dari rasa takut dan kecemasan.

c. Bebas dari perasaan terancam karena pengalaman yang baru ata asing.

2.1.13.3 Kebutuhan rasa cinta, memiliki dan dimiliki (Love and Belonging Needs).

Kebutuhan ini meliputi :

a. Memberi dan menerima kasih saying.

b. Perasaan dimiliki dan hubungan yang berarti dengan orang lain.

c. Kehangatan.

d. Persahabatan.

e. Mendapatkan tempat atau diakui dalam keluarga, kelompok serta

lingkungan sosial.
46

2.1.13.4 Kebutuhan harga diri (Self-Esteem Needs). Kebutuhan ini meliputi :

a. Perasaan tidak bergantung pada orang lain

b. Kompeten.

c. Penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain.

2.1.13.5 Kebutuhan aktualisasi diri (Need for Self Actualization). Kebutuhan ini

meliputi :

a. Dapat mengenal diri sendiri dengan baik (mengenal dan memahami

potensi diri).

b. Belajar memenuhi kebutuhan diri sendiri.

c. Tidak emosional.

d. Mempunyai dedikasi yang tinggi.

e. Kreatif.

f. Mempunyai kepercayaan diri yang tinggi, dan sebagainya.

Klien dengan BPH (Benigna Prostat Hiperplasi) mengalami

gangguan pada kebutuhan fisiologisnya yaitu pada kebutuhan

eliminasi dimana terjadi gangguan pemenuhan eliminasi yakni klien

dengan BPH dapat mengalami retensi urin yakni penumpukan urin

dikandung kemih dan tidak mempunyai kemapuan untuk

mengosongkannya secara sempurna. Retensi urin pada BPH dapat

diakibatkan karena uretra pars prostatika yang diakubatkan karena

hiperplasi jaringan prostat. Hal tersebut dapat menyebabkan

gangguan pola aktivitas sehari-hari. Pada kebutuhan seksualitas juga

mungkin mengalami gangguan pada kebutuhan seksualitas menurut


47

penelitian yang dilakukan oleh Rofiul hamim sebanyak 60% dari

seluruh pasien yang diteliti yaitu sejumlah 40 orang. Sebanyak 24

orang mengalami disfungsi seksualitas yang menandakan terdapat

gangguan pada kebutuhan seksualitas.

Sedangkan kebutuhan keselamatan dan keamanan dari

ancaman psikososial klien dengan pre dan post operasi dapat

mengalami gangguan pada kebutuhan dasar pada tingkat ini yakni

klien mengalami ansietas dari ringan sampai sedang berkaitan dengan

ketegangan dan kekhawatiran pada operasi dapat disebablan kurang

pengetahuan tentang operasi yang akan dilalui.

Kemudian pada kebutuahn harga diri klien dapat juga

mengalami gangguan karena mengalami perubahan dalam

produktivitas sehari-hari dapat menjadi faktor presipitasi terjadinya

harga diri rendah situasional. Kemudian pada kebutuhan aktualisasi

diri pada klien dengan BPH dapat pula terganggu salah satunya

penerimaan terhadap diri sendiri dan orang lain. Secara khusus

aktualisasi diri difokuskan kepada kepuasan dalam pencapaian hasil

dari apa yang telah dicapai selama ini.

2.2 Konsep Masalah Keperawatan

Masalah keperawatan yang muncul pada klien dengan gangguan

sistem perkemihan: BPH yaitu retensi urin, nyeri akut, risiko kekurangan

volume cairan, ansietas, defisiensi pengatahuan (kebutuhan pembelajaran)


48

mengenai kondisi prognosis, terapi, perawatan diri, dan kebutuhan

pemulangan (Dongoes, 2018).

2.2.1 Retensi Urin

2.2.1.1 Definisi : Ketidaksempurnaan pengosongan kandung kemih (Judith,

2017)

2.2.1.2 Batasan Karakteristik

a. Subjektif : Disuria,Sensasi kandung kemih penuh

b. Objektif : Haluaran urin tidak ada, Distensi kandung

kemih, Urine menetes (dribbling), Inkontinensia overflow,

Urine residu, dan Haluaran urine sering dan sedikit atau

tidak ada.

2.2.1.3 Faktor yang berhubungan

Adapun factor yang berhubungan diantaranya adalah sumbatan,

tingginya tekanan uretra (mis., yang disebabkan oleh kelemahan

detrusor),Inhibisi arkus refleks, sfingter yang kuat (Judith, 2017).

2.2.2 Nyeri Akut

2.2.2.1 Definisi :Pengalaman sensori yang tidak menyenangkan akibat adanya

kerusakan jaringan yang actual atau potensial, atau digambarkan

dengan istilah seperti kerusakan (International Association for the study

of pain); awitan yang tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan

sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat

diramalkan dan dursainya kurang dari enam bulan.


49

2.2.2.2 Batasan Karakteristik

a. Subjektif : Melaporkan nyeri (mis,. dengan isyarat atau skala nyeri)

b. Objektif : Respon otonom (mis., diaforesis, perubahan tekanan

darah, perafasan atau denyut janting, dilatasi pupil), Perilaku

distraksi (mis., mondar-mandir, mencari orang atau aktivitas lain,

aktivias berulang), Perilaku ekspresif (mis., gelisah, merintih,

menangis, kewaspadaan berlebihan, peka terhadap rangsang, dan

menghela nafas Panjang), Wajah topeng, Sikap melindungi, Fokus

menyempit (mis., gangguan persepsi, waktu gangguan proses pikir,

interaksi dengan orang lain, atau lingkungan menurun), Bukti nyeri

yang dapat diamati, Posisi untuk menghindari nyeri, Perilaku

menjaga atau sikap melindungi, Gangguan tidur (mis., mata terlihat

kuyu, gerakan tidak teratur atau tidak menentu, dan menyeringai)

2.2.2.3 Faktor yang berhubungan

Adapun factor yang berhubungan adalah agen-agen penyebab cedera

(mis., distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi kemih dan terapi

radiasi)

2.2.3 Risiko kekurangan volume cairan

2.2.3.1 Definisi: Berisiko mengalami penurunan cairan intravaskuler,

interstisial, atau intrasel. Diagnosis ini merujuk pada dehindarasi yang

merupakan kehilangan cairan saja tanpa perubahan kadar natrium

2.2.3.2 Batasan Karakteristik

a. Subjektif : Haus
50

b. Objektif : Perubahan status mental, penurunan tekanan darah,

penurunan tekanan nadi dan penurunan volume, penurunan turgor

kulit dan lidah, penurunan haluaran urin, penurunan pengisian vena,

kulit dan menbran mukosa kering, hematokrit meningkat, suhu

tubuh meningkat, peningkatan frekuansi nadi, konsentrasi urin

meningkat, penurunan berat badan yang tiba-tiba, kelemahan

2.2.3.3 Faktor yang berhubungana

Adapun faktor yang berhubungan adalah kehilangan volume cairan

aktif (konsumsi alkohol yang berlebihan secara terus menerus) dan

kegagalan mekanisme pengaturan (seperti pada diabetes insipidus,

hiperaldosteronisme)

2.2.4 Ansietas

2.2.4.1 Definisi:Perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai

respons otonom (sumber seringkali tidak spesifik atau tidak diketahui

individu), perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap

bahaya. Perasaan ini merupakan isyarat kewaspadaan yang

menperingatkan bahaya yang akan terjadi dan memampukan individu

melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman.

2.2.4.2 Batasan karakteristik

a. Perilaku : Penurunan produktivitas, mengekspresikan

kekhawatiran akibat perubahan dalam peristiwa hidup, gerakan

yang tidak relevan (mis., menggeret kaki, gerakan lengan), gelisah,


51

resah, memandang sekilas, insomnia, kontak mata buruk,

menyelidik dan tidak waspada

b. Afektif : Gelisah, kesedihan yang mendalam, distress, ketakutan,

perasaan tidak adekuat, fokus pada diri sendiri, peningkatak

kekhawatiran, iritabilitas, gugup, gembira berlebihan, nyari atau

peningkatan ketidakberdayaan yang persisten, marah, menyesal

perasaan takut, ketidakpastian, khawatir

c. Fisiologis : Wajah tegang, insomnia, peningkatan keringat,

peningkatan ketegangan, terguncang, gemetar atau tremor ditangan,

suara tergetar,

Parasimpatis : nyeri abdomen, penurunan tekanan darah, diare,

pingsan, keletihan, mual, gangguan tidur kesemutan pada

ekstrimitas, sering berkemih, berkemih tidak lampias, urgensi

berkemih

Simpatis :Anoreksia, eksitasi kardiovaskular, diare, mulut kering,

wajah kemerahan, jantung berdebar debar, peningkatan tekanan

darah, peningkatan nadi, peningkatan refleks, peningkatan

pernafasan, dilatasi pupil, kesulitan bernafas, vasokontriksi

superfisial, kedutan otot,

Kelemahan kognitif, kesadaran terhadap gejala-gejala fisiologis,

blocking pikiran, konfusi, penurunan lapang pandang, kesulitan

berkonsentrasi, keterbatasan kemampuan untuk menyelesaikan

masalah, keterbatasan dalam belajar, mengekspresikan


52

kekhawatiran akibat perubahan pengalaman dalam pristiwa hidup,

takut terhadap konsekuensi yang tidak spesifik, mudah lupa,

gangguan dalam perhatian, tenggelam dalam dunia sendiri,

melamun, kecenderungan untuk menyalahkan orang lain

2.2.4.3 Faktor yang berhubungan

Adapun factor yang berhubungan adalah terpajan toksin, hubungan

keluarga atau hereditas, transmisi penularan intrapersonal, krisi

maturase dan situasi, stress, penyalahgunaan zat, ancaman kematian,

ancaman atau perubahan pada status, peran, fungsi peran, lingkungan

status kesehatan, status ekonomi atau pola interaksi, ancaman terhadap

konsep diri, konflik yang tidak disadari tentang nilai dan tujuan hidup

yang esensial, kebutuhan yang tidak terpenuhi.

2.2.5 Defisiensi Pengetahuan

2.2.5.1 Definisi:Tidak ada atau kurang informasi kognitif tentang topik tertentu

2.2.5.2 Batasan Karakterisktik

a. Subjektif : Mengungkap kan masalah

b. Objektif : Tidak mengikuti instruksi yang diberikan secara akurat,

performa uji tidak akurat, perilaku yang tidak sesuai atau berlebihan

sebagai contoh histeris, bermusuhan, agitasi atai apatis

2.2.5.3 Faktor yang berhubungan

Adapun factor yang berhubungan adalah keterbatasn kognitif,

kesalahan dalam memahami informasi yang ada, kurang pajanan,


53

kurang perhatian didalam belajar, kurang kemampuan mengingat

kembali, kurang familier dengan sumber-sumber informasi

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan

Proses keperawatan adalah proses yang terdiri dari lima tahapan,

yaitu pengkajian keperawatan, diagnose keperawatan, perencanaan,

implementasi dan evaluasi keperawatan. Proses keperawatan dapat

diuraikan dalam Kozier (2010), diantaranya

2.3.1 Pengkajian Pre TURP

Pengkajian pada pasien dengan penyakit BPH merupakan salah

satu aspek penting dalam proses keperawatan. Hal itu sangat penting agar

dapat merencanakan tindakan selanjutnya yakni pada intra dan post

TURP. Perawat mengumpulkan data dasar dan terkini melalui pengkajian

pada sistem perkemihan sebagai prioritas pengkajian. Pengkajian harus

dilakukan secara sistematis, mencakup riwayat sebelum dan saat ini

khususnya yang berhubungan dengan keluhan, tenda gejala dan juga

factor risiko (Haryono, 2013)

2.3.1.1 Identitas

Identitas klien mencakup: nama, umur, jenis kelamin,

Pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, nomor medik, status, diagnose

medis, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, dan alamat.

Sedangkan identitas penanggung jawab meliputi: nama, umur,

pekerjaan, agama hubungan dengan klien, sumber biaya dan alamat.


54

2.3.1.2 Keluhan utama

Keluhan utama pada kasus BPH adalah gangguan eliminasi urin

seperti: buang air kecil tidak lancer, pancaran urin lemah, urin selalu

tersisa, dll. Nyeri juga dapat terjadi pada kondisi pasien BPH

2.3.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama keluhan terjadi,

bagaimana sifat dan hebatnya keluhan, dimana keluhan timbul, keadaan

apa yang memperberat dan memperingan keluhan pada klien BPH.

2.3.1.4 Riwayat Kesehatan Dahulu

Kaji apakah klien pernah mengalami keluhan pada saat

kencingnya dan sejak kapan klien mengalami hal tersebut.

2.3.1.5 Riwayat Kesehatan Keluarga

Kaji apakah dikeluarga memiliki penyakit yang sama dengan

klien

2.3.1.6 Riwayat Psikologi

Perubahan integritas ego terjadi bila klien menyangkal, takut

akan penyakitnya, merasa tidak lagi bergairah, marah pada penyakitnya

atau pada perawatannya, khawatir pada keluarganya, pekerjaan dan

ekonomi. Perubahan integritas ego yang dapat dikaji adalah ditandai

dengan klien menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata,

gelisah, marah dan fikus pada diri sendiri. Pada pasien pre TURP dapat

saja terjadi ansietas akibat belum terpaparnya informasi prosedur

penatalaksanaan TURP kepada klien.


55

2.3.1.7 Riwayat Sosial

Kaji hubungan klien dengan keluarga, klien lain dan tenaga

kesehatan. Hubungan yang baik terhadap keluarga dan tenaga

kesehatan dapat menjadi support sistem yang baik bagi klien yang akan

menjalani tindakan TURP.

2.3.1.8 Riwayat Spiritual

Kaji pandangan klien terhadap penyakitnya, dorongan semangat

dan keyakinan klien akan kesembuhannya dan secara umum klien

berdoa untuk kesembuhannya. Spirirual yang baik akan membuat klien

lebih tenang dalam menjalani persiapan TURP.

2.3.1.9 Kebiasaan Sehari-hari

Mengkaji kegiatan atau kebiasaan sehari-hari klien bandingkan

dengan kebiasaan di rumah sakit. Hal ini yang perlu dikaji klien dengan

BPH meiputi:

a. Nutrisi: makan (jenis, jumlah, porsi dan pantangan). Minum (jenis,

jumlah dan pantangan). Klien BPH dapat mengalami penurunan

pada unsur nutrisi ini

b. Eliminasi: Pola BAB (frekuensi, konsistensi, warna, jumlah, dan

gangguan). Pola BAK (frekuensi, warna, jumlah, dan gangguan).

Pada klien dengan BPH dapat terjadi perubahan pada pola BAK

karena gangguan pada haluaran urinnya


56

c. Istirahat dan tidur: kaji lamanya tidur siang dan malam. Klien

dengan BPH biasanya mengalami gangguan pada tidur malam

karena gejala nocturia yang dialami.

d. Personal hygiene: meliputi mandi dengan memakai sabun atau

tidak, gosok gigi, keramas, gunting kuku dan gangguan personal

hygiene

e. Ketergantungan: kaji tingkat ketergantungann klien terhadap

alkohol, rokok ataupun obat-obatan.

2.3.1.10 Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum

Pemeriksaan keadaan umum, kesadaran klien dengan BPH

biasanya baik atau compocmentis.

b. Sistem Pernafasan

Klien dengan BPH biasanya tidak mengalami gangguan pada

sistem ini, tetapi tetap perlu dikaji data tentang pernafasan

menggunakan metode inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.

c. Sistem Kardiovaskular

Klien dengan BPH pada sistem kardiovaskular perlu dikaji

tekanan darah, nadi, dan suhu. Nadi dapat meningkat pada

keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok

pada retensi urin serta urosepsis sampai syok sepsis.


57

Pemeriksaan tekanan darah juga perlu dilakukan untuk menilai

adanya hipertensi yang berpengaruh pada hemodinamik intra dan

pascaoperasi.

Kaji juga nadi perifer, waktu pengisian kapiler, dan warna serta

suhu ekstrimitas untuk menentukan status sirkulasi perifer klien

pre TURP.

d. Sistem Pencernaan

Kaji sistem pencernaan dengan melakukan inspeksi terhadap

bentuk abdomen adanya laserasi atau tidak, melakukan palpasi

untuk mengetahui adanya pembesaran abdomen juga

menggunakan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya

hidronefrosis dan pielonefrosis. Daerah suprasimfisis pada

keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi akan teraba adanya

ballotemen dan pasien akan merasa ingin miksi. Perkusi untuk

mengetahui suara pada abdomen juga untuk mengetahui ada

tidaknya residual urin dan melakukan auskultasi pada untuk

mengetahui suara bising usus.

e. Sistem Perkemihan dan Genetalia

Penis dan uretra juga perlu diperiksa untuk mendeteksi

kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra,

karsinoma, maupun fimosis. Pemeriksaan skrotum perlu

dilakukan untuk mengetahui adanya epididimitis. Perlu dikaji

juga adanya nyeri tekan pada daerah pangkal penis


58

f. Sistem Persarafan

Tingkat kesadaran kemungkinan composmentis, klien dengan

BPH kemungkinan mengalami gangguan pada reflek berkemih.

Pemeriksaan fungsi dan kekuatan motorik kasar penting

dilakukan seperti pemeriksaan pada otot paha dan otot betis

karena pada tindakan TURP klien akan diberikan anastesi spinal

menyebabkan ekstrimitas bawah mengalami paralisis sementara.

Pengkajian sensibilitas prabedah juga perlu dilakukan sebagai

bahan evaluasi pada saat nanti pasca bedah.

g. Sistem Muskuloskeletal

Perlu dikaji kekuatan otot klien, dengan kondisi klien dengan

BPH munculnya gejala nyeri bisa saja mengganggu ekstrimitas

bagian bawah

Pemeriksaan adanya deformitas pada seluruh ekstrimitas, meliputi

benjolan, ketidaksejajaran, dan kemampuan dalam rentang gerak

sendi. Periksa juga adanya kondisi kelemahan / kelumpuhan dari

fungsi ekstrimitas sebagai data dasar untuk pemenuhan informasi

pasca TURP.

h. Sistem Integumen

Inspeksi kulit seluruh permukaan tubuh secara teliti terutama pada

daerah sebagai tumpuan pada posisi litotomi, sehingga pasien

akan terhindar dari lecet atau luka terutama apabila kulit pasien
59

tipis, kering dan turgor kulit buruk.Lakukan dengan tehnik palpasi

yakni mencubit kulit klien.

2.3.1.11 Pemeriksaan Diagnostik

a. Urinalisa analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk

melihat adanya sel leukosit, eritrosit, bakteri dan infeksi. Urin

berwarna kuning, cokelat kehitaman, hitam atau merah terang

(darah); tampilan urin dapat keruh, pH 7 atau lebih besar

menunjukkan infeksi dan bakteri sel darah putih dan sel darah

merah dapat ada secara mikroskopis

b. Pemeriksaan Prostate Specific Antigen dilakukan sebagai dasar

penentuan perlunya biopsi atau deteksi dini keganasan. Bila nilai

PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsy. Sedangkan bila nilai PSA 4-10

ng/ml, dihitung Prostatic specific antigen density (PSAD) yaitu

PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15,

sebaiknya dilakukan biopsy prostat,, demikian pula bila nilai PSA

> 10ng/ml

c. Pemeriksaan Fungsi Ginjal ini berguna sebagai petunjuk perlu

tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih

bagian atas (IAUI, 2003)

d. Uroflometri hasil uroflometri menjadi bermakna jika volume urin

(>150 mL) dan diperiksa berulang kali pada kesempatan yang

berbeda. Spesifisitas dan niali prediksi positif Qmax untuk

menentukan (Direct Bladder Outlet Obstruction) (BOO) harus


60

diukur beberapa kali. Untuk menilai ada tidak nya BOO sebaiknya

dilakukan pengukuran pancaran urin 4 kali (IAUI, 2003).

Mengukur jumlah urin dan kecepatan aliran urin melalui alat

pengumpul dan skala. Peralatan menciptakan gambaran yang

menunjukkan perubahan dalam kecepatan aliran tiap detik,

mengukur kecepatan aliran puncak, dan waktu yang diperlukan

untuk mencapai puncak (Dongoes, 2018).

e. Pemeriksaan darah lengkap pemeriksaan darah lengkap

mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT, BT,

golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.

f. Pemeriksaan radiologis biasanya dilakukan foto polos abdomen,

pielografi intravena, USG, dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk

memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi buli, dan volume

residu urin. Pada pemeriksaan USG kelenjar prostat, zona sentral

dan perifer prostat terlihat abu-abu muda sampai gelap homogen.

Sedangkan zona transisional yang terletak lebih anterior terlihat

hipoekogenik heterogen. Keheterogenan dan kehipogenikan

tergantung dari variasi jumlah sel setromal dan epitel kelenjar

(Hapsari, 2010)

g. Pemeriksaan EKG pada pasien usia lebih dari 40 tahun untuk

menyingkirkan adanya gangguan jantung dan tb paru.


61

2.3.2 Diagnosa Keperawatan Pre TURP

Diagnosa keperawatan adalah sebuah label singkat yang

menggambarkan kondisi klien yang diobservasi dalam praktik. Kondisi

ini dapat berupa msalah-masalah actual atau potensial atau diagnosis

sejahtera (Wilkinson, 2016).

Arif Mutaqin dan Kumalasari (2009) mengatakan diagnosa

keperawatan pada klien dengan BPH dengan Pre TURP yaitu:

2.3.2.1 Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi uretra

sekunder dari pembesaran prostat

2.3.2.2 Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf,

disuria, resistensi otot prostat.

2.3.2.3 Ansietas berhubungan dengan prosedur penatalaksanaan tindakan

TURP
62

2.3.3 Pengkajian Post TURP

Pengkajian pada pasien dengan penyakit BPH dengan post

TURP secara definisi tidak ada perbedaan. Hanya saja pada post TURP

lebih berfokus pada pengembalian fungsi fisiologis klien pada seluruh

sistem secara normal, tidak terjadi komplikasi pasca bedah, dapat

beristirahat dan memiliki rasa nyaman, menghilanghkan kecemasan,

dan meningkatkan konsep diri klien (Mutaqin & Kumalasari, 2009).

2.3.3.1 Identitas

Identitas klien pada post TURP secara garis besar sama dengan

pengkajian identitas pada pre TURP. Identitas dipakai setiap tahap dari

pre, intra dan post TURP sebagai identitas klien dan verifikasi terhadap

kebenaran klien.

2.3.3.2 Keluhan utama

Keluhan utama pada kasus BPH dengan post TURP adalah

Nyeri pada bagian pangkal penis atau daerah uretra yang dilakukan

TURP

2.3.3.3 Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama keluhan terjadi,

bagaimana sifat dan hebatnya keluhan, dimana keluhan timbul, keadaan

apa yang memperberat dan memperingan keluhan pada klien BPH

dengan Post TURP.


63

2.3.3.4 Riwayat Kesehatan Dahulu

Kaji apakah klien pernah mengalami keluhan pada saat

kencingnya dan sejak kapan klien mengalami hal tersebut

2.3.3.5 Riwayat Kesehatan Keluarga

Kaji apakah dikeluarga memiliki penyakit yang sama dengan

klien ayah atau saudara laki-lakinya.

2.3.3.6 Riwayat Psikologi

Pasien yang telah melakukan tindakan TURP dapat juga

mengalami kecemasan pasca TURP dikarenakan kemungkinan

perubahan dalam gaya hidup dan perubahan konsep diri, dikarenakan

pada komplikasi jangka Panjang dari TURP ini disebutkan klien

mungkin mengalami gangguan dalam ejakulasi retrogard yang

mengakibatkan gangguan pada pola seksual klien.

2.3.3.7 Riwayat Sosial

Kaji hubungan klien dengan keluarga, klien lain dan tenaga

kesehatan. Hubungan yang baik dengan keluarga dan tenaga kesehatan

dapat memberi dorongan pada klien untuk cepat pulih dari kondisi Post

TURPnya.

2.3.3.8 Riwayat Spiritual

Kaji pandangan klien terhadap penyakitnya, dorongan semangat

dan keyakinan klien akan kesembuhan nya dan secara umum klien

berdoa untuk kesembuhannya. Dorongan spiritual yang baik juga


64

mendorong klien untuk fokus kepada kesembuhan disamping ibadah

yang dilakukan,

2.3.3.9 Kebiasaan Sehari-hari

Mengkaji kegiatan atau kebiasaan sehari-hari klien pasca TURP

bandingkan dengan kebiasaan sebulum TURP. Hal ini yang perlu dikaji

klien dengan BPH meiputi:

a. Nutrisi: makan (jenis, jumlah, porsi dan pantangan). Minum (jenis,

jumlah dan pantangan). Klien BPH dengan post TURP dapat

mengalami penurunan pada unsur nutrisi ini dikarenakann motilitas

usus yang masih belum normal karena efek anastesi.

b. Eliminasi: Pola BAB (frekuensi, konsistensi, warna, jumlah, dan

gangguan). Pola BAK (frekuensi, warna, jumlah, dan gangguan).

Pada klien dengan BPH post TIRP dapat terjadi perubahan pada

pola BAK karena efek anastesi spinal.

c. Istirahat dan tidur: kaji lamanya tidur siang dan malam. Pada post

TURP perlu banyak istirahat dan jam tidur yang cukup untuk proses

penyembuhan.

d. Personal hygiene: meliputi mandi dengan memakaisabun atau tidak,

gosok gigi, keramas, gunting kuku dan gangguan personal hygiene.

Pada pasien post TURP mungkin akan mengalami gangguan pada

pemenuhan personal hygienenya karena efek anastesi dan nyerinya

yang mungkin masih ada.


65

e. Ketergantungan: kaji tingkat ketergantungann klien terhadap

alkohol, rokok ataupun obat-obatan.

2.3.3.10 Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum

Pemeriksaan keadaan umum, kesadaran klien dengan post TURP

biasanya mengalami perubahan pada kesadaran tetapi seiring efek

anastesi yang mulai hilang, kesadaran klien akan kembali seperti

semula.

b. Sistem Pernafasan

Klien post TURP perlu dikaji frekuensi, irama, kedalaman

ventilasi pernafasan, kesimetrisan dinding dada, bunyi napas

untuk menilai depresi pernafasan yang mungkin ada karena efek

anastesi. Pastikan juga kepatenan jalan nafas klien dengan baik

dan terhindar dari sumbatan.

c. Sistem Kardiovaskular

Klien dengan post TURP perlu dikaji TTV, denyut dan irama

jantung. Pemeriksaan sirkulasi perlu dibandingkan dengan pre

TURP. Peningkatan kecepatan denyut jantung dan pernafasan

denyut nadi lemah, kulit dingin lembab, pusat serta gelisah

merupakann tanda perdarahan pasca TURP.

Posisi litotomi klien selama TURP berlangsung berisiko

mengalami thrombosis vena provunda yang dapat dilihat dari


66

tanda homan yaitu dengan lutut fleksi, pasien akan mengeluh

nyeri pada beds saat dorsofleksi kaki.

d. Sistem Pencernaan

Anasesi mengakibatkan penurunan motilitas gastrointestinal

normalnya selama tahap pemulihan bising usus akan terdengar

lemah atau hilang pada keempat kuadran

e. Sistem Perkemihan dan Genetalia

Klien post TURP pemasangan kateter sudah dilakukan selama pra

dan intra TURP. Pada pasca TURP melanjutkan perawatan kateter

dan observasi. Obsevasi warna dan bau urin klien, kontrol juga

jumlah pengeluaran urin apabila klien terpasang kateter, urin

harus mengalir sedikitnya 2 ml/kg/jam. Pembedahan pada saluran

kemih biasanya menyebabkan urin mengandung darah kurang

lebih selama 12-24 jam setelah pembedahan termasuk TURP.

f. Sistem Persarafan

Refleks, kekuatan otot, dan tingkat orientasi pasien akan kembali

normal seiring hilangnya efek anstesi. Dilakukan dengan

memanggil nama pasien dengan suara sedang

g. Sistem Muskuloskeletal

Perlu dikaji kekuatan otot klien, dengan kondisi klien post TURP

dengan anastesi spinal ekstrimitas bagian bawah mengalami

paralisis sementara yang akan hilang seiring hilangnya efek

anastesi
67

2.3.3.11 Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan darah lengkap pemeriksaan darah lengkap

mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT,

golongan darah, Ht, trombosit, BUN, kreatinin serum.

b. Pemeriksaan radiologis biasanya dilakukan foto polos abdomen,

pielografi intravena, USG, dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk

memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi buli, dan volume

residu urin. Pada pemeriksaan USG kelenjar prostat, zona sentral

dan perifer prostat terlihat abu-abu muda sampai gelap homogen.

Sedangkan zona transisional yang terletak lebih anterior terlihat

hipoekogenik heterogen. Keheterogenan dan kehipogenikan

tergantung dari variasi jumlah sel setromal dan epitel kelenjar

(Hapsari, 2010).

2.3.4 Diagnosa Keperawatan Post TURP.

Diagnosa keperawatan adalah sebuah label singkat yang

menggambarkan kondisi klien yang diobservasi dalam praktik. Kondisi

ini dapat berupa msalah-masalah actual atau potensial atau diagnosis

sejahtera (Wilkinson, 2016).

Arif Mutaqin dan Kumalasari (2009) diagnosa keperawatan pada

klien dengan post TURP yaitu:

2.3.4.1 Nyeri akut berhubungan dengan cedera jaringan lunak bedah

urogenital, kerusakan neuromuscular pascabedaah (TURP)


68

2.3.4.2 Risiko Infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan sebagai efek

sekunder dari prosedur pembedahan (TURP), kerentanan invasi bakteri

2.3.4.3 Risiko perdarahan berhubungan dengan efek samping pembedahan

(TURP)

2.3.4.4 Ansietas berhubungan dengan kemungkinan perubahan dalam gaya

hidup dan perubahan konsep diri pasca TURP.


69

2.3.5 Intervensi Keperawatan

Tabel 2.4
Intervensi Keperawatan Pre dan Post TURP

Perencanaan
Diagnosa
No.
keperawatan
Tujuan Intervensi Rasional

(1) (2) (3) (4) (5)

1. Gangguan eliminasi Tujuan Umum: 1. Lakukan penilaian kemih 1. Untuk mengatahui status
urin berhubungan yang komprehensif (misal keparahan pengeluaran urin
dengan obstruksi uretra Pengeluaran urin baik output urin, pola berkemih,
sekunder dari selama persiapan fungsi kognitif)
pembesaran prostat TURP
2. Sediakan waktu yang 2. Menilai pengeluaran dan
(Pre TURP ) Menunjukkan cukup untuk pengosongan pengsosongan urin.
eliminasi urin selama kandung kemih (10 menit)
DS :
persiapan TURP
- Klien mengatakan
Tujuan Khusus: 3. Memasang kateter urin. 3. Memfasilitasi pengeluaran urin
kesulitan dalam
mengeluarkan urin pada klien.
Setelah dilakukan
- Klien mengatakan tindakan keperawatan 4. Memantau pemasukan dan
nyeri saat berkemih 4. Mengetahui keseimbangan
selama 1 x 24 jam pengeluaran urin klien.
menunjukkan cairan klien
70

(1) (2) (3) (4) (5)

- Klien mengatakan eliminasi urin baik 5. Ajarkan klien tentang tanda 5. Membuat pasin paham akan
berkeinginan untuk dengan kriteria hasil: dan gejala infeksi saluran pemeliharaan eliminasi dan
miksi tetapi tidak kemih melaporkan apabila tanda
terkontrol gejala muncul untuk diatasi
- Secara subyek klien
dapat mengontrol
DO : pengeluaran urin
- Klien nampak - Tidak ada residu urin
>100-200 cc
sering berkemih
- Klien tidak dapat - Tidak ada hematuria
mengontrol kencing - Balance cairan
nya seimbang
- Klien Nampak - Protein, glukosa,
sering berkemih keton, pH, dan
pada malam hari elektrolit urin dalam
- Retensi urin batas normal

2. Nyeri akut berhubungan Tujuan Umum 1. Observasi tanda-tanda vital 1. Sebagai tolak ukur fungsi tubuh
dengan peregangan dari klien
terminal saraf, dysuria, Nyeri berkurang atau 2. Kaji skala nyeri dengan
resistensi otot prostat. hilang selama pendekatan PQRST 2. Pendekatan komprehensif untuk
persiapan TURP menentukan rencana intervensi
71

(1) (2) (3) (4) (5)

(Pre TURP) Tujuan Khusus : 3. Atur posisi ternyaman klien 3. Posisi yang nyaman dapat
Setelah dilakukan menghindari pergerakan yang
DS : 4. Ajarkan tehnik relaksasi : dapat membuat nyeri
tindakan keperawatan Tehnik nafas dalam 4. Mengalihkan perhatian klien
- Klien mengatakan selama 1x24 jam nyeri terhadap nyeri kehal-hal yang
nyeri pada saat miksi berkurang/hilang atau menyenangkan
beradaptasi dengan 5. Kolaborasikan pemberian
DO : kriteria hasil: analgetik 5. Analgetik akan memblok
lintasan nyeri sehingga nyeri
- Klien Nampak - Secara subjektif akan berkurang
meringis nyeri berkurang
- Skala nyeri klien atau dapat
dirasakan antara 3-4 beradaptasi dengan
(1-5) dan 7-9 (0-10) sakla 3 (1-10)
- Adanya perubahan - Tanda-tanda vital
tanda-tanda vital dalam rentang
- Klien nampak normal
melokalisir nyeri ( Tekanan darah
pada daerah pangkal 120/80 mmHg
penis) Nadi 60-100
x/menit
RR 16-20 x/menit
- Mampu
mengontrol nyeri
72

(1) (2) (3) (4) (5)

(tahu penyebab
nyeri, mampu
menggunakan
tehnik
farmakologi)
3. Ansietas berhubungan Tujuan Umum 1. Kaji tanda verbal dan 1. Reaksi verbal atau nonverbal
dengan prosedur :Ansietas berkurang nonverbal ansietas, dapat menunjukkan rasa
penatalaksanaan atau hilang selama dampingi klien, dan agitasi, marah, dan gelisah.
tindakan TURP persiapan TURP lakukan tindakan bila klien
menunjukkan perilaku
(Pre TURP) Tujuan Khusus : merusak.

DS : Setelah dilakukan 2. Beri lingkungan yang 2. Mengurangi rangsangan


tindakan keperawatan tenang dan suasana penuh eksternal yang tidak perlu.
- Klien mengatakan selama 1 x 24 jam istirahat.
khawatir akan ansietas berkurang
prosedur TURP Kriteria hasil: 3. Tingkatkan kontrol sensasi 3. Kontrol sensasi klien (dalam
- Klien mengenal klien. mengurangi ketakutan) dengan
DO : perasaannya, dapat cara memberikan informasi
mengidedntifikasi 4. Berikan kesempatan klien tentang keadaan klien.
- Klien nampak penyebab atau faktor
untuk mengungkapkan
banyak melamun yang ansietasnya. 4. Dapat menghilangkan
- memengaruhinya, ketegangan terhadap
- dan menyatakan
73

(1) (2) (3) (4) (5)

- Klien mengalami ansietas berkurang 5. Beri penjelasan tentang kekhawatiran yang tidak
peningkatan pada atau hilang jaminan kesehatan:BPJS diekspresikan.
TD, RR dan nadi
- Klien nampak 5. Mengurangi cemas dalam
gelisah saat status ekonomi.
persiapan TURP

4. Nyeri akut berhubungan Tujuan Umum 1. Observasi tanda-tanda vital 1. Sebagai tolak ukur fungsi tubuh
dengan cedera jaringan klien
lunak bedah urogenital, Nyeri berkurang atau 2. Kaji skala nyeri dengan
kerusakan hilang pendekatan PQRST 2. Pendekatan komprehensif untuk
neuromuscular pasca menentukan rencana intervensi
bedah TURP Tujuan Khusus :
Setelah dilakukan 3. Atur posisi ternyaman klien
(Post TURP) tindakan keperawatan 3. Posisi yang nyaman dapat
selama 3x24 jam 4. Ajarkan tehnik relaksasi : menghindari pergerakan yang
DS : nyeri tehnik nafas dalam dapat membuat nyeri
berkurang/hilang atau
- Klien mengatakan beradaptasi dengan
nyeri pada daerah kriteria hasil: 4. Mengalihkan perhatian klien
pangkal penis terhadap nyeri kehal-hal yang
(daerah yang - Secara subjektif 5. Kolaborasikan pemberian menyenangkan
diTURP) nyeri berkurang analgetik
atau dapat
74

(1) (2) (3) (4) (5)

DO : beradaptasi dengan 5. Analgetik akan memblok


sakla 3 (1-10) lintasan nyeri sehingga nyeri
- Klien Nampak - Tanda-tanda vital akan berkurang
meringis dalam rentang
- Skala nyeri klien normal
dirasakan antara 3-4 Tekanan darah
(1-5) dan 7-9 (0-10) 120/80 mmHg
- Adanya perubahan Nadi 60-100
tanda-tanda vital x/menit
- Klien nampak RR 16-20 x/menit
melokalisir nyeri - Mampu
mengontrol nyeri
(tahu penyebab
nyeri, mampu
menggunakan
tehnik
nonfarmakologi)
5. Risiko Infeksi Tujuan Umum : 1. Kaji dan pantau daerah 1. Mendeteksi secara dini gejala-
berhubungan dengan urogenital setiap hari (pagi, gejala inflamasi yang mungkin
kerusakan jaringan Infeksi tidak terjadi siang dan sore) dan timbul sekunder akibat adanya
sebagai efek sekunder selama perawatan pemeriksaan diagnostik luka pada bekas pembedahan
dari prosedur
pembedahan (TURP) 2. Mengurangi risiko kontak
infeksi dari orang lain
75

(1) (2) (3) (4) (5)

dan kerentanan invasi Tujuan Perawatan : 2. Pantau dan batasi 3. Menunjukkan kemampuan
bakteri Setelah dilakukan kunjungan secara umum, kekuatan otot, dan
merangsang pengambilan sistem
(Post TURP) tindakan keperawatan imun
selama 3 x 24 jam 3. Bantu perawatan diri dan
DS : setelah diberikan keterbatasan aktifitas sesuai
intervensi, klien tidak toleransi. Bantu program
- Klien mengatakan mengalami infeksi. latihan
mengatakan tidak
nyaman pada daerah Kriteria hasil :
yang telah dilakukan 1. Klien mengenal
TURP faktor-faktor risiko,
mengenal tindakan
DO : pencegahan atau

- Klien nampak mengurai factor risiko


mengalami kenaikan infeksi, dan
suhu menunjukkan atau
- Klien nampak tidak mendemonstrasikan
nyaman pada bagian
yang telah dilakukan Teknik-teknik untuk
tindakan TURP meningkatkan
lingkungan yang
aman.
76

(1) (2) (3) (4) (5)

6. Risiko Perdarahan Tujuan Umum : 1. Monitor ketat tanda-tanda 1. Mengetahui tanda-tanda


berhubungan dengan perdarahan perdarahan lebih dini agar dapat
efek samping Perdarahan tidak mencegah lebih cepat
pembedahan (TURP) terjadi selama
perawatan 2. Catat Hb, Ht, sebelum dan 2. Niali Hb dan Ht yang abnormal
(Post TURP) sesudah TURP sebagai masih mengindikasikan risiko
Tujuan Khusus : pembanding perdarahan yang nyata
DS :
Setelah dilakukan
3. Monitor status cairan yang 3. Mengetahuai balance cairan
- Klien mengatakan tindakan keperawatan
meliputi intake output
haus selama 3 x 24 jam
setelah diberikan
DO : intervensi, klien tidak 4. Instruksikan klien
mengalami membatasi aktivitas 4. Mencegah terjadinya pergerakan
- Turgor kulit klien perdarahan.
yang dapat meningkatkan risiko
megalami penurunan
perdarahan
- Pada pemeriksaan Ht Kriteria hasil :
, suhu tubuh, dan
nadi mengalami - Tidak ada
peningkatan hematuria dan
hematemesis
- Kehilangan darah
yang terlihat
- Tidak ada distensi
abdominal
77

(1) (2) (3) (4) (5)

7. Ansietas berhubungan Tujuan Umum : 1. Kaji tanda verbal dan 1. Reaksi verbal atau nonverbal
dengan kemungkinan nonverbal ansietas, dapat menunjukkan rasa
perubahan dalam gaya Ansietas berkurang dampingi klien. agitasi, marah, dan gelisah.
hidup dan perubahan atau hilang
konsep diri post TURP 2. Mengurangi rangsangan
Tujuan Khusus : 2. Beri lingkungan yang eksternal yang tidak perlu.
(Post TURP) tenang dan suasana penuh
Setelah dilakukan istirahat.
DS : tindakan keperawatan
selama 2 x 24 jam
- Klien mengatakan ansietas berkurang 3. Tingkatkan kontrol sensasi 3. Kontrol sensasi klien (dalam
khawatir akan Kriteria hasil: klien. mengurangi ketakutan) dengan
dampak jangka - Klien mengenal cara memberikan informasi
panjang prosedur perasaannya, dapat tentang keadaan klien.
TURP mengidedntifikasi 4. Berikan kesempatan klien
penyebab atau untuk mengungkapkan 4. Dapat menghilangkan
DO : faktor yang ansietasnya. ketegangan terhadap
memengaruhinya, kekhawatiran yang tidak
- Klien nampak dan menyatakan 5. Beri penjelasan tentang diekspresikan.
banyak melamun ansietas berkurang kondisi pasca TURP dan
- Klien mengalami atau hilang efek terhadap gaya hidup 5. Mengurangi cemas akibat
peningkatan pada dan konsep diri kekhawatiran perubahan gaya
TD, RR dan nadi
hidup dan perubahan konsep
-
diri pasca TURP
-
78

(1) (2) (3) (4) (5)

- Klien nampak
gelisah setelah
tindakan TURP
79

2.3.6 Implementasi

Implementasi adalah fase ketika perawat melakukan tindakan yang

merupakan tindakan keperawatan khusus yang diperlukan untuk

melaksanakan intervensi (Kozier, 2010).

Tahap implementasi dilakukan dengan cara pelaksanaan tindakan

keperawatan dan observasi respon klien, yang berarti :

2.3.6.1 Tindakan adalah suatu hal yang perawat lakukan kepada klien sesuai dengan

kondisi klien dan perencanaan yang sebelumnya sudah dibuat untuk klien

tersebut.

2.3.6.2 Respon adalah sebuah ungkapan yang diutarakan klien atau keluargaya

setelah perawat melakukan tindakan.

2.3.7 Evaluasi

Evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana

tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan

dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan

tenaga kesehatan lainya. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat

kemampuan klien dalam mencapai tujuan yang disesuaikan dengan

kriteria hasil pada tahap perencanaan. Format yang digunakan adalah

SOAPIER (Setiadi, 2012).

2.3.7.1 S: Data subjektif

Perkembangan keadaan yang didasarkan pada apa yang

dirasakan, dikeluhkan, dan dikemukakan klien.


80

2.3.7.2 O: Data objektif

Perkembangan objektif yang bisa diamati dan diukur oleh

perawat atau tim kesehatan lain.

2.3.7.3 A: Analisa

Penilaian dari kedua jenis data (baik subjektif maupun

objektif) apakah berkembang ke arah perbaikan atau kemunduran.

2.3.7.4 P: Perencanaan

Rencana penanganan klien didasarkan pada hasil analisa

diatas yang berisi melanjutkan perencanaan sebelumnya apabila

keadaan atau masalah belum teratasi.

Anda mungkin juga menyukai