Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN KASUS KELOMPOK (SEMINAR KASUS)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NEONATUS DENGAN


MENINGOKEL + SINDROM PATAU + LABIOPALATOSCHIZIS DI
RUANG NEONATUS RUMAH SAKIT Dr. SOETOMO SURABAYA

Dosen Pembimbing Akademik


Nuzul Qur’aniati, S.Kep., Ns., M.Ng., Ph.D
Dosen Pembimbing Klinik
Peni Indrarini, S.Kep., Ns
Oleh :
KELOMPOK D Stase Keperawatan Anak :
Rahmadanti Nur Fadilla, S.Kep (132023143001)
Ranee Dewi Aneke, S.Kep (132023143018)
Ulfa Nafi’atuzzakiyah, S.Kep (132023143019)
Intan Faizatun Nafisa, S.Kep (132023143030)
Farah Aulia Nughraini, S.Kep (132023143031)
Wilhelmus Petrus Gua, S.Kep (132023143050)
Yeni Siswanti, S.Kep (132023143036)
Maria Theresia Diu, S.Kep (132023143038)

PRAKTIK PROFESI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Masa neonatal adalah bayi baru lahir yang berusia 0 sampai 28 hari,
dimana pada masa ini terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan di
dalam rahim menjadi di luar rahim. Pada masa neonatal bayi memilki risiko
gangguan kesehatan paling tinggi, karena tubuh bayi yang masih rentan.
Komplikasi yang terjadi pada masa neonatal dapat berupa infeksi, BBLR,
asfiksia, dan lain sebagainya yang dapat menyebabkan kematian (Azizah &
Handayani, 2017).
Meningokel merupakan salah satu jenis dari spina brifida. Spina
brifida adalah terbelahnya arcus vertebra yang bisa melibatkan jaringan saraf
di bawahnya atau tidak akibat dari kegagalan perkembangan kaudal dari
badan vertebra dan medula spinalis, yaitu gagalnya penutupan tuba neural
dengan sempurna. Meningokel menonjol melalui vertebra yang tidak utuh
dan teraba sebagai suatu tonjolan berisi cairan di bawah kulit. Spina brifida
merupakan kelainan bawaan yang terbentuk sejak dalam kandungan. Ada
komponen tulang belakang yang tidak terbentuk. Jadi tidak ada tulang lamina
yang menutupi sumsum atau susunan sistem saraf pusat di tulang belakang.
Terjadinya kelainan ini dimulai sejak dalam masa pembentukan bayi dalam
kandungan, terutama pada usia minggu 3-4 minggu kehamilan.
Data dari WHO lebih dari 8 juta bayi di seluruh dunia lahir dengan
kelainan bawaan setiap tahunnya. Kelainan bawaan adalah salah satu
penyebab utama dari kematian bayi. Hal ini dikemukakan oleh WHO bahwa
dari 2,68 juta kematian bayi, 11,3% diantaranya disebabkan oleh kelainan
bawaan. Hasil survei di Indonesia yang dilakukan selama periode September
2014 sampai Maret 2018 pada bayi yang lahir dengan kelainan bawaan
menunjukkan bahwa NTD berada di urutan ketiga terbanyak dari total kasus
bayi laahir dengan kelainan bawaan dengan presentase 18,4%. Delapan jenis
kelainan bawaan terbanyak yang dilaporkan pada periode ini adalah
Talipes/kaki pengkor dan Orofacial cleft defect/kelainan celah bibir dan
langit-langit, Neural tube defect, Abdominal wall defect, atresia ani,
Hypospadias, Epispadias, Kembar siam, dan mikrosefali (Kementerian
Kesehatan RI, 2018).
Kelainan bawaan dapat diidentifikasi sebelum kelahiran, saat lahirm
maupun di kemudian hari setelah bayi lahir. Kelainan bawaan pada bayi dapat
memengaruhi bentuk organ, fungsi organ, maupun keduanya. Kelainan
bawaan pada bayi bervariasi dari tingkat ringan hingga berat. Kelainan
bawaan dapat terjadi dalam setiap fase kehamilan dan umumnya terjadi pada
trimester pertama. Sekitar 50% kelainan bawaan tidak diketahui
penyebabnya, namun ada faktor risiko yang memengaruhi, seperti faktor
genetik, faktor sosial ekonomi dan demografi, faktor lingkungan, infeksi, dan
status gizi. Pada spina brifida penyebab utamanya belum jelas. Bisa
dikarenakan kekurangan asam folat, terutama pada awal kehamilan. Faktor
genetik dan lingkungan seperti nutrisi yang terpapar bahan berbahaya juga
dapat menyebabkan resiko melahirkan dengan spina brifida sebelumnya,
risiko mendapatkan bayi kedua yang terkena adalah 3-5% dan ketiga adalah
5-10%, dan nutrisi.
Meningokel umumnya terdapat pada lambosakral atau sakral. Banyak
ahli percaya bahwa defek primer pada NTD (Neural Tube Defect) merupakan
kegagalan penutupan tuba neural selama perkembangan awal embrio. Akan
tetapi ada bukti bahwa defek ini merupakan akibat dari pemisahan tubaneural
yang sudah menutup karena peningkatan abnormal tekanan cairan
serebrospinal selama trimester pertama. Selama kehamilan, otak, tulang
belakang manusia bermula dan sel yang datar kemudian membentuk silinder
yang disebut neural tube. Jika bagian tersebut gagal menutup atau terdapat
daerah yang terbuka (cacat neural tube) terbuka. Daerah yang terbuka ini
kemungkinan 80% terpapar atau 20% tertutup tulang atau kulit. Gejala yang
muncul pada umumnya adalah penonjolan seperti kantung di punggung
tengah sampai bawah pada bayi baru lahir. Kelumpuhan atau kelemahan pada
pinggul, tungkai atau kaki, penurunan sensasi, inkontenensia uri maupun
inkontenensia tinja. Korda pada spinalis juga rentan terhadap infeksi misalnya
meningitis. Dengan demikian, diperlukan asuhan keperawatan neonatus
dengan meningocle untuk mendukung proses penatalaksaan medis, sehingga
gangguan tumbuh kembang di masa mendatang dapat diminimalkan.

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana konsep penyakit meningokel ?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada kasus meningokel ?
1.3 Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui konsep penyakit meningokel
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada kasus meningokel
BAB II
TINJAUAN TEORI
KONSEP TUMBUH KEMBANG PADA ANAK

2.1 Definisi Tumbuh Kembang


Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan perubahan dalam besar,
jumlah, ukuran, atau dimensi tingkat sel organ, maupun individu yang bisa
diukur dengan ukuran berat (gram, pon, kilogram), ukuran panjang (cm,
meter), umur tulang, dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan
nitrogen tubuh). Dengan kata lain pertumbuhan adalah bertambahnya
ukuran fisik (anatomi) dan struktur tubuh baik sebagian atau seluruhnya
karena adanya multiplikasi sel-sel tubuh dan besarnya sel (Yuliastati &
Arnis, 2016).
Sedangkan perkembangan (development) adalah bertambahnya
skill (kemampuan) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks
dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses
pematangan. Disini menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel
tubuh, jaringan tubuh, organ-organ, dan sistem organ yang berkembang
sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya.
Dalam hal ini perkembangan juga termasuk perkembangan emosi,
intelektual, dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya
(Yuliastati & Arnis, 2016).
2.2 Ciri – Ciri Pertumbuhan dan Perkembangan
Ciri – ciri pertumbuhan menurut (Yuliastati & Arnis, 2016) adalah sebagai
berikut
1. Perubahan proporsi tubuh yang dapat diamati pada masa bayi dan
dewasa misalnya bertambah besar, panjang, dan berat tubuh.
2. Hilangnya ciri-ciri tanggalnya gigi susu dan tumbuhnya gigi permanen,
hilangnya reflek primitif (gerakan spontan yang secara alami dilakukan
bayi ketika ia mendapatkan rangsang tertentu, timbulnya tanda seks
sekunder dan perubahan lainnya.
3. Kecepatan pertumbuhan tidak teratur. Hal ini ditandai dengan adanya
masa-masa tertentu dimana pertumbuhan berlangsung cepat yang
terjadi pada masa prenatal, bayi dan remaja. Pertumbuhan berlangsung
lambat pada masa prasekolah dan sekolah.
Proses pertumbuhan dan perkembangan anak bersifat individual. Namun
demikian pola perkembangan setiap anak mempunyai ciri-ciri yang sama,
yaitu (Yuliastati & Arnis, 2016) :
1. Perkembangan menimbulkan perubahan.
Perkembangan terjadi bersamaan dengan pertumbuhan. Setiap
pertumbuhan disertai dengan perubahan fungsi. Misalnya
perkembangan intelegensia pada seorang anak akan menyertai
pertumbuhan otak dan serabut saraf. Pertumbuhan dan perkembangan
pada tahap awal menentukan perkembangan selanjutnya. Seorang anak
tidak bisa melewati satu tahap perkembangan sebelum ia melewati
tahapan sebelumnya.
2. Perkembangan awal ini merupakan masa kritis karenakan menentukan
perkembangan selanjutnya.
3. Pertumbuhan dan perkembangan mempunyai kecepatan yang berbeda.
Sebagaimana pertumbuhan, perkembangan juga mempunyai kecepatan
yang berbedabeda baik dalam pertumbuhan fisik maupun
perkembangan fungsi organ. Kecepatan pertumbuhan dan
perkembangan setiap anak juga berbeda-beda.
4. Pertumbuhan berkorelasi dengan perkembangan.
Pada saat pertumbuhan berlangsung, maka perkembanganpun
mengikuti. Terjadi peningkatan kemampuan mental, memori, daya
nalar, asosiasi dan lain-lain pada anak, sehingga pada anak sehat
seiring bertambahnya umur maka bertambah pula tinggi dan berat
badannya begitupun kepandaiannya.
5. Perkembangan mempunyai pola yang tetap.
Perkembangan fungsi organ tubuh terjadi menurut hukum yang tetap,
yaitu:
a. Perkembangan terjadi lebih dahulu di daerah kepala, kemudian
menuju ke arah kaudal/anggota tubuh (pola sefalokaudal).
b. Perkembangan terjadi lebih dahulu di daerah proksimal (gerak
kasar) lalu berkembang ke bagian distal seperti jari-jari yang
mempunyai kemampuan gerak halus (pola proksimodistal).
c. Perkembangan memiliki tahap yang berurutan.
Tahap perkembangan seorang anak mengikuti pola yang teratur dan
berurutan. Tahap-tahap tersebut tidak bisa terjadi terbalik, misalnya
anak mampu berjalan dahulu sebelum bisa berdiri.
2.3 Tahap Pertumbuhan dan Perkembangan
Tahap pertumbuhan dan perkembangan pada anak dibagi menjadi
beberapa tahap, namun pada makalah ini fokus pembahasan pada masa
neonatus. Berikut penjelasannya (Yuliastati & Arnis, 2016) :
1. Masa bayi (infancy) umur 0-11 bulan.
Masa ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu:
a. Masa neonatal, umur 0-28 hari.
Pada masa ini terjadi adaptasi terhadap lingkungan dan terjadi
perubahan sirkulasi darah serta mulai berfungsinya organ-
organ. Masa neonatal dibagi menjadi dua periode:
1) Masa neonatal dini, umur 0-7 hari.
2) Masa neonatal lanjut, umur 8-28 hari.
b. Masa post neonatal, umur 29 hari sampai 11 bulan.
Pada masa ini terjadi pertumbuhan yang pesat dan proses
pematangan berlangsung secara terus-menerus terutama
meningkatnya fungsi sistem saraf. Selain itu untuk menjamin
berlangsungnya proses tumbuh kembang optimal, bayi membutuhkan
pemeliharaan kesehatan yang baik termasuk mendapatkan ASI
eksklusif selama 6 bulan, diperkenalkan pada makanan pendamping
ASI sesuai dengan umurnya, mendapatkan imunisasi sesuai jadwal
serta mendapatkan pola asuh yang sesuai. Masa ini juga masa dimana
kontak ibu dan bayi berlangsung sangat erat, sehingga dalam masa
ini pengaruh ibu dalam mendidik anak sangat besar.
KONSEP PENYAKIT MENINGOKEL

2.1 Definisi Penyakit Meningokel


Meningokel merupakan kelainan bawaan dimana terjadi pemburutan
selaput otak dan isi kepala keluar melalui lubang pada tengkorak atau
tulangbelakang. Meningokel merupakan salah satu dari tiga kelainan bawaan
spina bifida dan merupakan meningen yang menonjol melalui vertebra yang
tidak utuh dan teraba sebagai benjolanyang berisi cairan dibawah kulit.
Meningokel merupakan penonjolan dan pembungkus medulla spinalis melalui
spina bifida dan terlihat sebagai benjolan pada permukaan (Muslihatun, 2010).
2.2 Etiologi Meningokel
Faktor yang menunjang menurut terjadinya meningokel diantaranya
(Muslihatun, 2010) :
1. Keturunan
2. Lingkungan ( ibu terpapar sinar ultraviolet atau X berlebihan atau bahan
kimia)
3. Kadar vitamin maternal rendah, asam folat rendah,
4. Konsumsi klomifen dan asam valfroat
5. Hipertermia selama kehamilan
2.3 Patofisiologi Meningokel
Terdapat dua jenis kegagalan penyatuan lamina vertebra dan kolumna
spinalis (spina bifida olkuta dan spina bifida sistika). Spina bifida olkuta
adalah defect penutupan dengan meningen tidak terpajan di permukaan kulit.
Defect vertebra nya kecil umumnya pada daerah lumbosacral. Spina bifida
sistika adalah defect penutupan yang menyebabkan penonjolan medulla
spinalis dan pembungkusnya . Meningokel adalah penonjolan yang terdiri dari
meningen dan sebuah kantong yang berisi cairan serebrospinal dan tertutup
kulit biasa. Tidak ada kelainan neurologi saat dan medulla spinalis tidak
terkena. Hidrosepalus terdapat pada 20% kasus spina bifida . Meningokel
umumnya terdapat pada lumbosacral atau sacral. Defect primer pada NTD
adalah kegagalan penutupan tuba neural selama perkembangan awal embrio.
Defect ini akibat pemisahan tubaneural yang sudah menutup karena
peningkatan abnormal tekanan cairan serebrospinal selama trimester 1
(Muslihatun, 2010). Selama kehamilan, otak dan tulang belakang manusia
berawal dati selyang datar kemudian berbentuk silinder (neural tube). Jika
bagian ini gagal menutup atau terdapat daerah yang terbuka . Daerah yang
terbuka 80% terpapar atau 20% tertutup tulang atau kulit (Ernawati, 2011).
2.4 Tanda dan Gejala Meningokel
Gejala tergantung beratnya kerusakan pada korde spinalis dan akar saraf
yang terkena. Beberapa bayi memilikigejala ringan bahkantanpa gejala,
sedangkan yang lainnya mengalami kelumpuhan pada daerah yang dipersarafi
oleh korda spinalis atau akar saraf yang terkena (Muslihatun, 2010). Gejala
pada umumnya adalah penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai
bawah , kelumpuhan atau kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki ,
penurunan sensasi , inkontinensia urine ataupun tinja. Gejala yang biasanya
muncul diantaranya (Rachmawati & Krisnana, 2017) :
1. Seberkas rambut pada sacral (panggul bagian belakang)
2. Abnormalitas pada lower spine selalu bersamaan atau dengan upper spine
sehingga menimbulkan masalah koordinasi
3. Obesitas akibat inaktivitas
4. Deformitas pada spine, hip, foot dan leg karena imbalance kekuatan
ototdan fungsi
5. Gangguan persarafan
6. Gangguan tingkat kesadaran
7. Penurunan sensasi
8. Lekukan pada sakrum
2.5 Pemeriksaan Penunjang Meningokel
1. Pemeriksaan Alpha-fetoprotein (AFP)
Defect neural tube dapat dideteksi dengan pemerikasaan Alpha-fetoprotein
(AFP) pada cairan amnion ataupun darah ibu hamil. Alpha-fetoprotein
(AFP) adalah protein serum utama yang terdapat pada awal kehidupan
embrio dan 90% total globulin serum. Nilai normal pada ibu hamil <
500ng/ml. Apabila nilai > 1000ng/ml mengindikasi mengalami defect
neural tube
2. RO tulang belakang untuk menunjukkan kelainan pada kordae spinalis
ataupun vertebra
3. CT-Scan atau MRI tulang belakang untk menentukan lokasi dan luasnya
kelainan, mengevaluasi dan memonitor keadaan bayi post pembedahan
akibat defct neural tube, memonitor apakah terdapat timbunan cairan di
kepala bayi atau tidak.
2.6 Penatalaksanaan Meningokel
Tujuan dari pengobatan meningokel adalah mengurangi kerusakan saraf,
meminimalkan komplikasi (infeksi)serta membantu keluarga dalam
menghadapi gangguan ini (Muslihatun, 2010). Penatalaksanaan yang dapat
dilakukan adalah (Rachmawati & Krisnana, 2017):
1. Pembedahan
Dilakukan secepatnya untuk mengembalikan pada posisi yang benar ,
menutup kulit yang terbuka dan mencegah infeksi. Pembedahan dilakukan
pada periode neonatal untuk mencegah rupture.
2. Terapi urologi
a. Terapi disfungsi blader dimulai pada periode neonatal sampai
sepanjang hidup
b. Mengontrol inkontinensia
c. Mencegah dan mengontrol infeksi
d. Mempertahankan fungsi ginjal
3. Terapi orthopedi
a. Tujuannya memelihara stabilitas spine dengan koreksi yang terbaik dan
mencapai anatomi aligment yang baik pada sendi ekstremitas bawah
b. Terapi skoilosis dapat dengan pemberian ortesa body jacket atau
Milwaukee brace
c. Latihan luas gerak sendi pasif pada semua sendi sejak bayi baru lahir
dilakukan seterusnya untuk mencegah deformitas muskuloskeletal
2.7 Komplikasi
Berikut adalah komplikasi meningokel (Muslihatun, 2010) :
1. Hidrocepalus
2. Meningitis akibat infeksi pada korde spinalis
3. Hidrosiringomielia
4. Intraspinal tumor
5. Kiporliosis
6. Kelemahan permanen atau paralisis pada ekstremitas bawah
7. Serebral palsy disfungsi batang otak
8. Infeksi pada organ lain
9. Sindroma Arnold chian
10. Gangguan tumbuh kembang
WOC MENINGOKOKEL

Kelainan Genetik Kelainan Infeksi Rubela


Faktor Ibu
(Dominan Trant) Mekanik TORCH

Tekanan pada janin Gangguan Defisiensi asam folat,demam


saat intauteri pembentukan saat kehamilan
organ pada
timester I
Kelainan bentuk Kegagalan pembentukan
organ organ secara sempurna

Deformitas Organ

MENINGOKOKEL

Keluar serabut saraf dan Abnormalitas pada lower Tonjolan pada korda
selaput meningen & upperspine spinalis pecah

Kelainan sistem saraf


area Lumbosakral Port de entri kuman dan
Gangguan koordinasi mikroorganisme

Kelemahan pada
panggul dan Ketidakmampuan
Kelemahan pada MK: Resiko Infeksi
tungkai pengaturan MK;Gangguan
spingter ani atau (D.0142)
spimgter uri tumbuh Kembang
penurunan sensasi
(D.0106)
Bayi sulit bergerak ingin BAB
Inkontinensia Uri

Resiko Luka akibat


Inkontinensia alvi
inaktivitas
MK:Gangguan
eliminasi Urine
(D.0040)
MK:Resiko gangguan
integrtitas Kilit (D.0139) MK:Inkontinensia MK:Resiko gangguan
MK:Gangguan Mobilitas fekal (D.0041) integritas kulit/jaringan
Fisik (D.0054) (D.0139)
KONSEP SINDROM PATAU (TRISOMI 13)

A. Pengertian
Trisomi 13 merupakan kelainan jumlah kromosom 13 yang menyebabkan
defek struktural pada fetus(Edelweishia Melissa, 2019).Kromosom 13 yang
harusnya hanya sepasang,pada kelainan ini menjadi 3 buah.
B. Faktor Resiko
Faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya trisomi 13 adalah
peningkatan usia ibu. Semakin tua usia ibu, dapat meningkatkan kejadian trisomi
13 akibat non-disjunction. Jenis kelamin fetus dapat mempengaruhi risiko
kejadian trisomi 13. Laki-laki lebih banyak mengalami aneuploidi daripada
perempuan. Trisomi 13 juga berasosiasi dengan berat bayi lahir rendah (BBLR),
prematuritas, dan intra uterine growth retardation (IUGR) (Susmitha et al., 2018)
C. Klasifikasi (Susmitha et al., 2018)
Terdapat 3 tipe pada trisomi 13 diantaranya adalah:
1. Trisomi 13 klasik dimana pada tipe ini, sel telur atau sperma menerima ekstra
copy kromosom 13. Bila sel telur atau sperma menerima 2 copy kromosom 13
dengan sel telur atau sperma yang memiliki 1 copy, maka akan terbentuk
trisomi 13 yang ditemukan di seluruh sel.
2. Trisomi 13 translokasi. Pada tipe ini, potongan atau seluruh bagian ekstra copy
kromosom 13 berikatan dengan kromosom lain. Hasilnya dapat terlihat adanya
bagian ekstra kromosom 13 di dalam sel
3. Trisomi 13 Mosaik. Pada tipe ini, terdapat 2 grup sel yaitu sel dengan tipikal 46
kromosom dan sel dengan ekstra copy kromosom 13.
D. Patofisiologi
Trisomi 13 termasuk dalam kelainan jumlah kromosom (aneuploidi).
Aneuploidi dapat terjadi akibat non-disjunction. Non-disjunction merupakan
kegagalan 1 pasang atau lebih kromosom homolog untuk berpisah saat
pembelahan miosis I atau miosis II. Trisomi 13 biasanya berhubungan dengan
non-disjunction miosis maternal dan sisanya terjadi saat miosis paternal. Trisomi
non-disjunction lebih banyak terjadi pada ibu yang berusia > 35 tahun. Ketika
reduksi tidak terjadi, akan terdapat tambahan kromosom pada seluruh sel yang
menghasilkan trisomi.
Non-disjunction pada fase mitosis (post fertilisasi), tegantung pada fasenya
yaitu pada sel pertama zigot atau setelah terjadi mitosis zigot. Hasilnya dapat
terjadi trisomi dan monosomi bila terjadi pada sel pertama atau sel dengan
kromosom normal, sel dangan trisomi dan monosomi bila terjadi setelah mitosis
normal terjadi beberapa tahap. Gabungan sel ini dinamakan mosaik sel. Trisomi
13 tipe mosaik.
Translokasi kromosom dapat terjadi pada mutasi baru sporadik. Translokasi
adalah berpindahnya materi genetik salah satu 1 kromosom ke kromosom yang
lain. Selama translokasi, kromosom misalign dan bergabung dengan bagian
sentromernya yang berjenis akrosentris (jenis kromosom yang lengan pendeknya
atau sangat pendek dan tidak mengandung gen)(Susmitha et al., 2018)
E. Pemeriksaan Penunjang
1. USG
Pemeriksaan pada trimester I kehamiln menunjukan trisomi 13 dapat
ditemukan peningkatan penebalan nuchal, polihidramnion atau
oligohidramnion, bukti IUGR, hidrops fetalis, usus echogenik, dan corda
tendinea echogenik. (Edelweishia Melissa, 2019)
2. Skrining marker serum maternal
Merupakan tes darah yang dilakukan pada ibu hamil pada kehamilan
trimester 1 dan 2 untuk mengetahui adanya kelainan kromosom atau tidak.
3. Amniosentesis
Merupakan prosedur diagnostik prenatal yang paling banyak dipakai dan
bertujuan untuk mendapatkan sampel pemeriksaan kromosom Pemeriksaan ini
dilakukan untuk memastikan adanya kelainan kromosom pada janin yang
ditemukan pada pemeriksaan prenatal sebelumnya (USG dan serum marker).
4. Biopsi Vili Korialis
Biopsi vili korialis dilakukan pada akhir TM I, antara 10-13 minggu
yang dilakukan dengan tuntunan USG. Jaringan yang diambil pada
pemeriksaan ini adalah jaringan korion dari plasenta yang sedang tumbuh
(Susmitha et al., 2018)
F. Manifestasi Klinis
Trisomi 13 dapat menyebabkan gangguan perkembangan janin. Sindrom
ini membuat bayi terlahir dengan berat badan rendah dan menderita berbagai
gangguan kesehatan.
Biasanya, bayi yang menderita trisomi 13 juga memiliki gangguan struktur
otak holoprosencephaly (HPE), yaitu kondisi di mana otak tidak terbagi menjadi
dua bagian. Hal ini dapat berdampak pada fitur wajah bayi sehingga
menimbulkan gejala berupa:
1. Bibir sumbing
2. Gangguan struktur mata (coloboma)
3. Mata yang salah satu atau keduanya berukuran lebih kecil (microphthalmia)
4. Salah satu atau kedua bola mata tidak ada (anopthalmia)
5. Jarak antara kedua mata terlalu dekat (hypotelorism)
6. Gangguan perkembangan saluran hidung
7. Rahang bagian bawah berukuran lebih kecil dari normalnya (micrognathia)
Selain gejala-gejala di atas, beberapa kondisi berikut juga bisa terjadi saat
bayi mengalami trisomi 13 :
1. Mikrosefalus, yaitu ukuran kepala bayi yang lebih kecil dibandingkan ukuran
kepala bayi normal
2. Aplasia cutis, yaitu kondisi sebagian kulit kepala hilang atau tidak ada
3. Tuli dan kelainan bentuk telinga
4. Hemangioma, yaitu adanya tanda lahir yang berwarna merah dan menonjol
5. Polidaktili, yaitu jumlah jari tangan atau kaki berlebih
6. Hernia, yaitu penonjolan organ atau bagian tubuh tertentu akibat adanya
kelemahan
7. Omfalokel, yaitu keluarnya organ yang ada di rongga perut bayi
8. Rocker bottom feet,  yaitu bentuk telapak kaki membulat dan tumit menonjol
9. Kriptorkismus dan ukuran penis yang sangat kecil pada bayi laki-laki
10. Klitoris berukuran besar pada bayi perempuan

G. Penatalaksanaan (Susmitha et al., 2018)


1. Medis
Tidak ada terapi spesifik atau pengobatan untuk trisomi 13. Intervensi
bedah umumnya ditunda untuk beberapa bulan pertama kehidupan karena
tingginya angka kematian.
2. Keperawatan
Kebanyakan bayi yang ahir dengan trisomi 13 memiliki masalah fisik
yang berat Terapi yang dilakukan fokus untuk membuat bayi lebih nyaman.
Anak yang tetap bertahan sejak lahir mungkin membutuhkan terapi bicara,
terapi fisik

H. Komplikasi (Susmitha et al., 2018)


Komplikasi hampir terjadi sesegera mungkin. Kebanyakan bayi dengan
trisomi 13 memiliki kelainan jantung kongenital. Komplikasi yang mungkin
terjadi : Sulit bernapas atau apnea, ketulian, gagal jantung, kejang , gangguan
penglihatan, masalah dalam pemberian makanan.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN MENINGOKEL

2.1 Pengkajian
1. Identitas klien (bayi) dan orang tua
Angka kejadian meningokekel biasanya 1/1000 kelahiran atau jarang
2. Keluhan utama
Biasanya bayi dengan meningokokel menunjukan gejala terdapat benjolan pada tulang
belakan atau punggung belakang,belakang kepala disertai keluhan lain misalnya BAB
atauBAK terus menerus
3. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya ibu yang mengalamidefisiensi asam folatselama kehamilan,terpapar bahan
kimia maupun mengalami demam selamakehamilan
4. Riwayat prenatal (ANC)
Biasanya ibu klien (bayi) tidak rutin melakukan pemeriksaaan selama kehamilan ke
fasilitas pelayanan kesehatan.Bisa juga ditemukan kadar alfa-feto dalam protein serum
ibu dan cairan amnion meningkat (>500mg/ml) pada usia 16-18 minggu.Komplikasi
kehamilan juga bisa dialami oleh ibu misalnya demam saat hamil.
5. Riwayat persalinan (intranatal)
Bisa melalui Sectio-caecarea (SC) yang direncanakan maupun pervaginam
6. Riwayat kelahiran
Anak sebelumnya mengalami spinabifida atau meningekokel.Tempat melahirkan bisa
di rumah atau di fasilitas kesehatan seperti Rumah sakit dan puskesmas serta bidan
praktek
7. Pemeriksaan fisik
a. Refleks
Bayi dengan meningokokel cenderung mengalami gangguankoordinasi akibat
penonjolan pada spina atau korda spinalis atau sum-sum tulang belakang sehingga
berakibat pada refleks bayi.Biasanya bayi tidak dapat melakukan satu atau dua
refleks
b. Tonus Aktivitas
Biasanya bayi dengan meningokokel sulit menggerakan tubuhnya atau inaktivitas
c. Kepala atau leher
Biasanya terdapat penonjolan pada daerah belakan kepala atau vetebra.
d. Mata
Biasanya tidak ditemukan masalah
e. THT
Biasanya tidak ditemukan masalah
f. Toraks
Biasanya tidak ditemukan masalah
g. Paru-Paru
Suara napas vesikuler,tidak ada dispnea dan bunyi suara napas tambahan
h. Jantung
Bunyi suara jantung SI dan S2 tunggal
i. Abdomen
Biasanya ditemukan inkontinensia urine dan alvi akibat kelainan sistem saraf atau
lumbosakral yang mengakibatkan ketidakmampuan pengaturan sfingter alvi dan
urine.
j. Ekstremitas
Bayi cenderung sulit bergerak atau inaktivitas akibat kelemahan pada panggul
dan tungkai
k. Genital
Biasanya tidak ditemukan masalah
l. Spina
Biasanya terdapat penonjolan di punggung bawah berisi cairan serebrospinal
m. Kulit
Biassanya ditemukan luka tekan atau lecet di area tubuh bayi yang tertekan akibat
inaktivitas.Bisa juga lesi akibat cairan feses atau sering BAB.
2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Inkontonensia fekal (D.0041) berhubungan dengan kehilangan fungsi pengendalian
sfingter rektum ditandai dengan tidak mampumengontrol feses,feses keluar sedikit-
sedikit dan sering.
2. Gangguan eliminasi urine ( D.0040) berubungan dengan penurunan kemampuan
menyadari tanda-tanda gangguan kandung kemih ditandai dengan sering buang air
kecil,mengompol.
3. Gangguan mobilitas fisik (D.0054) berhubungan dengan kerusakan integritas struktur
tulang,gangguan sensori persepsi ditandai dengan rentang gerak menurun,gerak
terbatas.
4. Gangguan tumbuh kembang (D.0156) berhubungan dengan efek ketidakmampuan
fisik,defisiensi stimulus ditandai dengan tidak mampu
melakukanketrampilan,pertumbuhan fisik terganggu.
5. Resiko gangguan integritas kulit/jaringan 9D.0139) dibuktikan dengan penurunan
mobilitas.
6. Resiko infeksi (D.0142) dibuktikan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer
yaitu kerusakan integritas kulit

Beberapa diagnosa yang dapat muncul pada tahap preoperasi dan postoperasi klien dengn
meningekokel antara lain:

1. Pre operasi
a. Resiko infeksi (D.0142) dibuktikan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh
primer (kerusakan integritas kulit akibat pecahnya tonjolan yang berisi cairan
serebrospinal)
b. Menyusui tidak efektif (D.0029) berhubungan dengan hambatan pada neonatus
(sumbing),ketidakadekuatan refleks mengisap bayi ditandai dengan bayi
menghisap tidak terus-menerus.
c. Rsiko gangguan perkembangan (D.0107) dibuktikan dengan kelainan genetik atau
konginetal (meningekokel)
d. Resiko gangguan pertumbuhan (D.0108) dibuktikan dengan kelainan genetik atau
konginetal (meningekokel).
e. Gangguan integritas kulit/jaringan (D.0129) berhubungan dengan kelebihan
volume cairan pada tonjolan di kepala maupun punggung ditandai dengan
kerusakan jaringan dan atau lapisan kulit.
2. Post operasi
a. Resiko infeksi (D.0142) berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh
primer (kerusakan integritas kulit akibat tindakan pembedahan) dan
ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder (imunosupresi akibat tonjolan pada
punggung bawah yang mengenai sistem saraf)
2.3 Intervensi Keperawatan
1. Penatalaksanaan Secara Medis
a. Pre-Operatif
1) Gunakan sarung tangan steril saat merawat merawatanak
2) Posisikan anak secara hati-hati untuk mencegah penekanan meningen,posisi
pronasi.
3) Beri diapers di tonjolan untuk melindungi dan mencegah urine mengenai
tonjolan.
4) Beri gulungan handuk untuk membantu fleksi bahu,mengurangi tekanan
sacrum.
5) Kompres baah untuk membantu kelembapan tonjolan
6) Tempatkan di inkubator untuk mempertahankan kondisi hangat.
b. Post-Operatif
1) Bayi diletakan tengkurap sampai proses penyembuhan tercapai.
2) Cegah urine dan feses mengenai luka
1. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine ( D.0040) berubungan dengan penurunan kemampuan
menyadari tanda-tanda gangguan kandung kemih ditandai dengan sering buang air
kecil,mengompol.
1) Tujuan dan kriteria hasil I:setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X
24 jam maka eliminasi urine (L.04034 ) klien membaik dengan kriteria hasil:
a) Enuresis Menurun (5) bayi mampu mengontrol kemampuan berkemih
b) Frekuensi BAK membaik (5) normal:1-2 cc/Kg BB/jam
2) Tujuan dan kriteria hasil 2:setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 X
24 jam maka tingkat infeksi (L.14137) klien menurun dengan kriteria hasil:
a) Demam menurun (5) suhu tubuh dalam rentang normal:35,5 oC-37,5OC
b) Kemerahan pada area kulit atau penonjolan akibat meningekokel menurun
(5),Tidak terjadi
c) Nilai leukosit dalam rentang normal (5-19 X103/mm3)
3) Intervensi:
a) Dukungan perawatan diri :BAK (1.11349)
Observasi
- Observasi pola berkemih dan tingkat inkontinensia bayi
R/:Mamantau rentang berkemih dalam batas normal atau tidak
- Observasi integritas kulit bayi,terutama adanya ruam popok
R/:Sering Bak dan menggunakan popok dapat menyebabkan terjadinya
ruam popok
Therapeutik
- Periksa keadaan popok dan ganti popok serta pakaian setelah BAK
maupun ketika dirasa penuh
R/:Mencegah infeksi di area penonjolan tulang belakang
b) Perawatan inkontinensia urine (1.04163)
Therapeutik
- Berikan perawatan kulit pada bayi (bersihkan area genital bayi yang
basah karena urine seperti dilap dengan air hangat kemudian dilap
kering)
R/:mempertahankan integritas kulit
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli urologi terhadap kondisi bayi
R/:menentukan terapi yang sesuai
- Kolaborasi pemberian antikolinergik yang sesuai
R/:Menghilangkan kontraksi kandung kemih
b. Gangguan mobilitas fisik (D.0054) berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang,gangguan sensori persepsi ditandai dengan rentang gerak
menurun,gerak terbatas.
1) Tujuan dan kriteria hasil I:setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 10
X 24 jam maka mobilitas fisik (L.05042) klien meningkat dengan kriteria
hasil:
a) Pergerakan ekstremitas bayi meningkat (5)
b) Gerakan terbatas pada bayi menutun (5)

2) Intervensi:
a) Pengaturan posisi (1.01019)
Therapeutik
- Tempatkan pada posisi terapeutik (ditempatkan di nesting dan berikan
selimut jika perlu)
R/:memposisikan bayi seperti di dalm kandungan ibu
- Atur posisi bayi yang sesuai (bayi diposisikan pronasi jika tonjolan
pada tulang belakang bawah.Jika berada di kepala maka dimiringkan
ke arah yang tidak ada tonjolannya)
R/:mencegah penekanan pada tonjolan
- Minimalkan gerakan dan tarikan saat mengubah posisi
R/:Mencegah terjadinya cedera atau luka
- Berikan topangan berupa bantal pada area tonjolan
R/:mencegah penekanan pada tonjolan
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli ortophedi dalam terapi latihan gerak sendi pasif
atau terapi lainya yang sesuai
R/:Mencegah deformitas muskuluskeletal
- Kolaborasi dengan ahli ortophedi dalam pemeliharaan stabilitas spine
apabila tonjolan pada punggung bawah
R/:Mancapai anatomi aligment yang baik
c. Resiko infeksi (D.0142) dibuktikan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh
primer yaitu kerusakan integritas kulit
1) Tujuan dan kriteria hasil I:setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X
24 jam maka tingkat infeksi (L.14137) klien menurun dengan kriteria hasil:
a) Demam menurun (5) atau tidak terjadi.Suhu dalam batas normal yaitu
35,5 oC-37,5OC
b) Kemerahan pada area kulit bayi menurun (5) atau tidak terjadi
c) Nilai leukosit dalam rentang normal (5-19 X103/mm3)
2) Intervensi:
a) Pencegahan infeksi (1.14539)
Observasi
- Observasi tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik terutama pada
area penonjolan tulang belakang bawah.
R/:Memonitor tanda-tanda awal infeksi
Therapeutik
- Batasi jumlah pengunjung yang menjenguk ke bayi
R/:Mencegah kontaminasi dari luar
- Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien dan lingkungan
klien.
R/:Mencegah transmisi penularan atau infeksi
- Pertahankan teknik aseptik pada klien beresiko tinggi
R/:Mencegah terjadinya infeksi

Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian antibiotik,jika perlu.
R/:Menghentikan dan mencegah bakteri patogen berkembang biak
dalam tubuh
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN MENINGOKEL

3.1 PENGKAJIAN
Ruangan : Neonatus
Tanggal : 8 Juni 2021 (Pukul 12.00 WIB)
Nama Ibu : Ny. W
Umur/Pendidikan/Pekerjaan : 29 / SLTA / Ibu rumah tangga
Nama Ayah : Tn. C
Umur/Pendidikan/Pekerjaan : 31 / SLTA / Pekerja pabrik tandon angin
1. Anamnesis
a. Riwayat bayi
Rujukan Tidak √ Ya
Asal rujuan : Bukan pasien rujukan. Bayi lahir di OK IRD Lantai 5 RSUD
Dr. Soetomo secara sectio caesarea (SC) kemudian bayi berada
di NICU selama ± 2 hari. Setelah itu bayi dipindahkan ke
Ruang Neonatus RKL hingga saat ini.
Diagnosis rujukan : Tidak ada
Tanggal/Jam lahir : 20 Mei 2021 / Pukul 10.48 WIB (Usia saat ini : 20 hari)
Cara persalinan : SC (sectio caesarea)
Apgar score : 1’ 5 5’ 7
Usia gestasi : 38 minggu
Berat badan lahir : 3300 gram
Panjang badan lahir : 45 cm
Lingkar kepala lahir : 36 cm
Alasan masuk RS : Kelainan kongenital multiple + labiopalatoschizis + syndrome
patau
b. Riwayat antenatal
Kehamilan ke : 1 (G1P0000)
Tempat ANC : Rumah Sakit Krian
ANC teratur : Tidak Ya

Keputihan : Tidak √ Ya

c. Riwayat intranatal
Kehamilan : Tunggal √ Kembar
Ketuban pecah sebelum lahir : Tidak ada
Warna ketuban : Tidak ada
Pendarahan : Tidak ada
d. Riwayat penyakit ibu : DM gestasional (tidak terkontrol)
e. Riwayat post natal
IMD : Tidak √ Ya
ASI : Tidak √ Ya
Bayi mendapatkan susu formula jenis SGM 12 x 42 ml per
OGT

Riwayat resusitasi : Tidak Ya
Kelainan bawaan : Tidak Ya √
Jika ya, sebutkan : sindrom patau + non communicating hidrosefalus +
labiopalatoschizis
f. Riwayat psikososial orang tua
1) Perkembangan interprersonal
Pengasuh :
Ayah Ibu √ Nenek Orang lain
Negara / pemerintahan
Keterlibatan orang tua :
Berkunjung : Ada √ Tidak
Kontak mata : Ada √ Tidak
Menyentuh : Ada √ Tidak
PMK : Ada Tidak √
Berbicara : Ada Tidak √
Menggendong : Ada Tidak √
2) Respon orang tua
Ibu bayi mengatakan sedih saat mengetahui kondisi anaknya di usia kehamilan
6 bulan, namun ibu mengatakan perlahan sudah mulai menerima keadaan
bayinya dan akan merawat anaknya hingga tumbuh dewasa.
3) Adat / budaya yang dianut
Ada .................................................................................
√ Tidak
2. Pemeriksaan fisik
Diperiksa tanggal : 8 Juni 2021 Pukul 12.10 WIB (Usia bayi 20 hari)
Berat badan : 3380 gram
Panjang badan : 47 cm
Lingkar kepala : 38 cm
a. Kulit
Warna kulit : Pink √ Pucat Kuning Cutis marmorata
Sianosis : Sentral Perifer (Tidak ada)
Kemerahan (RASH) : Ada Tidak √
Tanda lahir : Ada : ................................ Tidak √
Turgor kulit : Elastis √ Tidak elastis
Suhu kulit : 36,8 oC
b. Kepala Leher
Fontanela lunak : Lunak Tegas Datar Menonjol
Cekung
Lingkar kepala bayi 39 cm, bagian benjolan pada kepala
teraba lunak
Sutura sagitalis : Tepat Terpisah Menjauh Tumpang tindih
Gambaran wajah : Simetris Asimetris √
Caput succadenum : Ada Tidak ada √
Cephal hematom : Ada Tidak ada √
Telinga : Normal √ Abnormal
Hidung : Simetris Asimetris √ deviasi septum nasi
sebesar +/- 0,8 cm ke sisi kanan
Napas cuping hidung Frekuensi : 45 x/menit
Sekret : Tidak ada
Mata : Sekret mata Ada Tidak ada √
Sklera mata Ikterus Perdarahan
(Anikterik)
Mulut : Kelainan Ada : labiopalatoschizis Tidak ada
---SHAL celah pada soft palate, hard palate,dan bibir
bagian kiri.
c. Dada dan Paru-paru
Bentuk : Simetris √ Asimetris
Down score : Score < 4 √ Score 4 – 5 Score ≥ 6
RR 44 x/menit, tidak ada retraksi intercostae, tidak ada sianosis dan tidak ada
gasping
Suara napas : Kanan kiri sama √ Tidak sama Bersih
Ronchi √ Wheezing

Respirasi : Spontan tanpa alat bantu √


Spontan dengan alat bantu
d. Jantung
CRT : < 3 detik √ > 3 detik
Denyut jantung : Frekuensi nadi 170 x/menit
Kuat √ Lemah Teratur √ Tidak teratur
e. Abdomen
Lingkar abdomen : 35 cm Supel √ Distended Kembung
Bising usus : Ada √ Tidak
Peristaltik usus : ± 7 x/menit
Tali pusat : Basah Kering √ Layu Segar
Bau
f. Genetalia
PEREMPUAN
√ Labia mayor menutup labia minor  klitoris sudah tertutup labia mayor dan
labia minor
Labia mayor belum menutup labia minor
SEKS AMBIGU
Ya Tidak √
g. Ekstremitas
Gerakan : Bebas √ Terbatas Tidak terkaji
Ekstremitas atas : Normal Abnormal √ Syndaktili D/S

Ekstremitas bawah : Normal Abnormal Syndaktili D/S
Kelainan tulang : Tidak ada √ Ada
Spinal / tulang belakang : Normal √ Abnormal
h. Reflek
Moro √ Babinski Tonik neck
Rooting : Kuat Lemah √
Menggenggam : Kuat Lemah √
Menghisap : Kuat Lemah √
i. Tonus atau aktivitas
Akivitas : Aktif Tenang √ Letargi Kejang
Menangis : Keras √ Lemah Melengking
Sulit menangis
j. Skrining Nyeri
Tidak √ Ya (asesmen skala nyeri / NIPS) skala nyeri 1 (sebentar-
sebentar menangis)
- Sebentar-sebentar menangis
- Pola napas teratur, RR 44 x/menit
- kekuatan otot lengan dan kaki ada
- gerakan tangan acak
- bayi tampak tenang dan tidak rewel
RINGKASAN KASUS
1. Identitas bayi
Bayi perempuan Ny. W lahir pada 20 Mei 2021 Pukul 10.48 WIB di OK IRD Dr.
Soetomo lantai 5 melalui sectio caesarea (SC). Orangtua bayi (ibu usia 29 tahun dan
ayah usia 31 tahun) berasal dari Jombang. Orangtua bayi sudah sekitar 3 tahun di
Sidoarjo karena bekerja.
2. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Ibu bayi mengatakan sejak hamil sudah selalu mengonsumsi asam folat dan kontrol rutin
ke klinik dokter. Ibu bayi mengatakan sudah sering melakukan pemeriksaan USG di
klinik tersebut namun dokter selalu mengatakan normal. Saat usia kehamilan 6 bulan, ibu
bayi memutuskan untuk cek kehamilan dan USG di Rumah Sakit daerah Krian
menyarankan ibu melahirkan di RSUD Dr. Soetomo secara sectio caesarea.
Pemeriksaan fisik :
a. Ekstremitas atas dan bawah (jari-jari tangan) mengalami syndaktili
b. Terdapat tonjolan atau benjolan pada kepala bagian atas dan luka di kepala belakang
c. Bentuk wajah asimetris, hidung asimetris
d. Terpasang OGT Fr 6
e. Terdapat luka di kepala bagian belakang tertutup hipafix tidak ada rembesan  luka
tampak mencapai lapisan kulit dermis, diameter luka di bagian kepala depan ± < 0,5
cm dan diameter luka di bagian kepala belakang ± 3 cm
f. Bayi mengalami labiopalatoschizis ---SHAL celah pada soft palate, hard palate,dan
bibir bagian kiri
g. Skala nyeri (NIPS) bayi 1  sebentar-sebentar menangis
h. Down score bayi < 4  RR 44 x/menit, tidak ada sianosis, tidak retraksi intercostae
dan tidak ada gasping
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium tanggal 7 Juni 2021
Albumin 3,3 g/dL (4,4 – 5,4)
Hb 16,1 g/dL (13,4 – 19,9)
PLT 504 103/uL (5 – 19)
WBC 12,4 103/mcL (150 – 450)
PTT 10,5
APTT 28,4
BUN 12 mg/dL (5 – 15)
Ca 10,3 mg/dL (4,8 – 5,52)
b. MRI tanggal 31 Mei 2021 Pukul 10.47 dengan kontras menunjukkan kesan
1) Gray macter differentiation tak tampak jelas
2) Non communicating hidrosefalus
3) Labiopalatoschizis disertai deviasi septum nasi +/- 0,8 cm ke sisi kanan
c. CT Scan tanggal 2 Juni 2021 Pukul 10.58 WIB tanpa kontras + 3D rekonstruksi
tulang menunjukkan kesan
1) Non communicating hidrosefalus curiga disebabkan obstruksi setinggi
aquadratus sylvii dominan sisi kanan
2) Labiopalatoschizis disertai deviasi septum nasi +/- 0,8 ke sisi kanan
4. Terapi
Tanggal 8 Juni 2021
1) Terapi cairan 150 ml/kgBB/hari
2) Susu formula 12 x 42 ml per OGT (sonde)  jenis susu formula SGM
A. ANALISIS DATA
MASALAH
TANGGAL DATA ETIOLOGI
KEPERAWATAN
8 Juni 2021 DS : - Kelainan kongenital, Risiko aspirasi
DO : infeksi pada (D.0006)
1. Klien mengalami kehamilan ibu, DM
labiopalatosckizis gestasional
(bibir sumbing)
2. Terpasang Kegagalan
orogastric tube pembentukan
(OGT) fr 6 mesoderm palatum
3. Klien (bayi) dengan dan bibir
kelainan kongenital
(meningokel) Terbentuk celah pada
4. Hasil MRI bibir/atau palatum
31/5/2021 pukul
10.47 menunjukkan Labio palate sckizis
labiopalatosckizis (Unilateral
disertai deviasi complete)
septum nasi sebesar
± 0,8 cm ke sisi Ketidakmampuan
kanan menetap bibir dan
5. Reflek hisap ada mulut serta
namun lemah penurunan fungsi
perlindungan
pernapasan dan
pencernaan
MASALAH
TANGGAL DATA ETIOLOGI
KEPERAWATAN
Makanan bayi masuk
ke saluran napas

Risiko aspirasi
8 Juni 2021 DS:- Kelainan kongenital, Menyusui tidak efektif
DO: DM gestasional (D.0029)
1. Bayi dengan
kelainan kongenital Kehamilan ibu, DM
(meningokel gestasional
labiopalatosckizis)
2. Bayi tidak memiliki Kegagalan
reflek menlan dan pembentukan
menghisap mesoderm palatum
3. Bayi terpasang dan bibir
OGT Fr 6
4. Hasil MRI Terbentuk celah pada
(31/5/2021 pukul bibir/palatum
10.47) dan CT-Scan
(2/6/2021 pukul Kemampuan
10.58 ) menghisap rendah
menunjukkan
labiopalatosckizis Bayi tidak emampu
disertai deviasi menyusu dengan
septum nasi sebesar adekuat
± 0,8 cm ke sisi
kanan Menyusu tidak
efektif

8 Juni 2021 DS :- Kelainan genetic, Gangguan integritas


DO : faktor ibu (defisiensi kulit
1. Terdapat luka bekas nurisi, asam folat), (D. 0129)
tapping di tonjolan DM gestasional
MASALAH
TANGGAL DATA ETIOLOGI
KEPERAWATAN
kepala depan yang
merembes Meningokel
2. Terdapat luka di
belakang kepala Tonjolan pada korda
karena tonjolan spinalis maupun cale
berisi cairan pecah yang rupture
sejak lahir
3. Bayi dengan Faktor mekanis :
kelainan kongenital gesekan dan
(meningokel) penekanan pada
4. Hasil MRI benjolan kepala
(31/5/2021 pukul
10.47) dan CT-Scan Terputusnya
(2/6/2021 pukul kontinuitas kulit dan
10.58 ) jaringan
menunjukkan kesan
non-communicating Adanya luka terbuka
hidrosefalus
5. Skala nyeri NIPS 1
(sebentar-sebentar
menangis)
B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Risiko aspirasi berhubungan dengan terpasang selang orogastrik, ketidakmatangan
koordinasi menghisap, menelan, dan bernapas (D.0006)
DS:-
DO:
a. Klien mengalami labiopalatosckizis (bibir sumbing)
b. Terpasang orogastric tube (OGT) fr 6
c. Bayi dengan kelainan kongenital (labiopalatosckizi dan meningokel)
d. Hasil MRI 31/5/2021 pukul 10.47 menunjukkan labiopalatosckizis disertai
deviasi septum nasi sebesar ± 0,8 cm ke sisi kanan
e. Reflek hisap bayi ada namun lemah
2. Menyusui tidak efektif berhubungan dengan hambatan pada neonatus (labiopalato
sckizis), ketidakadekuatan reflek menghisap (D.0029)
DS:-
DO:
a. Bayi dengan kelainan kongenital (meningokel labiopalatosckizis)
b. Bayi tidak memiliki reflek menelan dan menghisap
c. Bayi terpasang OGT Fr 6
d. Hasil MRI (31/5/2021 pukul 10.47) dan CT-Scan (2/6/2021 pukul 10.58 )
menunjukkan labiopalatosckizis disertai deviasi septum nasi sebesar ± 0,8 cm ke sisi
kanan
3. Gangguan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan faktor mekanis yaitu
gesekan pada benjolan kepala (D.0129)
DS :-
DO :
a. Terdapat luka bekas tapping di tonjolan kepala depan yang merembes tertutup
plester anti air
b. Terdapat luka di belakang kepala karena tonjolan berisi cairan pecah sejak lahir
c. Bayi dengan kelainan kongenital (syndrome patau + meningokel)
d. Hasil MRI (31/5/2021 pukul 10.47) dan CT-Scan (2/6/2021 pukul 10.58 )
menunjukkan kesan non-communicating hidrosefalus
e. Skala nyeri NIPS 1 (sebentar-sebentar menangis)
C. INTERVENSI
DIAGNOSIS
HARI/ KEPERAWATAN
WAKTU INTERVENSI RASIONAL
TANGGAL (Tujuan, Kriteria
Hasil)
Selasa, 8 Juni 12.15 Dx 1 Pencegahan aspirasi (I. 01018)
2021 WIB Risiko aspirasi Observasi
berhubungan dengan 1. Observasi status pernapasan 1. Bayi dengan
terpasang selang OGT, takipnea/dispnea
bayi (frekuensi napas, bunyi
ketidakmatangan cenderung berisiko
koordinasi menghisap, napas tambahan)
mengalami aspirasi
menelan, dan bernapas 2. Periksa kepatenan selang
2. Memastikan selang OGT
(D.0006) orogastric tube sebelum
terpasang dengan paten
Setelah diberikan tindakan pemberian asupan makan/ASI
keperawatan selama 1x24  perawatan OGT dengan
jam diharapkan tingkat mengganti plester fiksasi OGT
aspirasi (L. 01006)
3. Mencegah makanan
setiap 3 hari dan pastikan tanda masuk ke saluran napas
menurun dengan kriteria
hasil : pada selang OGT untuk
1. Kebersihan mulut mempertahankan lokasi selang 4. Menurunkan risiko
klien meningkat pada lambung dengan tepat aspirasi
(tidak ada kotoran Terapeutik
maupun secret/residu 3. Posisikan bayi supinasi dengan 5. Memudahkan asupan
2. Akumulasi secret head up 15-30 derajat makanan dicerna
menurun (jumlah
4. Hindari memberikan makan
menurun/berkurang)
3. Frekuensi napas (ASI) melalui OGT jika residu
membaik (RR = 30- banyak
60x/menit) 5. Berikan makanan dan obat oral
dalam bentuk cair melalui
OGT  observasi adanya
muntah, periksa adanya retensi

DIAGNOSIS
HARI/
WAKTU KEPERAWATAN INTERVENSI RASIONAL
TANGGAL
(Tujuan, Kriteria Hasil)
Selasa, 8 Juni 12.30 WIB Dx 2 Manajemen nutrisi (I. 03119)
2021 Menyusui tidak efektif b.d Observasi
hambatan pada neonatus 1. Observasi asupan makan 1. Memantau jumlah ASI yang
(labiopalato sckizis), (ASI) dikonsumsi bayi
ketidakadekuatan reflek 2. Monitor berat badan bayi 2. Memantau BB bayi apabila
menghisap (D.0029) setiap hari ada penurunan
Setelah diberikan tindakan 3. Albumin atauHb rendah
3. Monitor hasil pemeriksaan
keperawatan selama 3x24 mengindikasikan intake nutrisi
laboratorium (nilai albumin,
jam diharapkan status kurang
Hb)
menyusui (L.03029) bayi
Terapeutik
membaik dengan kriteria 4. Mencegah mulut kotor dan
hasil : 4. Lakukan oral hygiene kotoran tersebut masuk
sebelum makan, jika perlu bersama makanan ke sistem GI
1. Kemampuan ibu
memposisikan bayi 5. Memenuhi nutrisi bayi secara
dengan benar 5. Berikan makanan tinggi adekuat
meningkat  ibu kalori dan tinggi protein
mampu memahami (ASI)  susu formula 12 x
cara menyusui bayi 42 ml 6. Memenuhi nutrisi bayi secara
menggunakan sendok Edukasi adekuat
2. Berat badan bayi 6. Ajarkan pada ibu bayi untuk
meningkat memberikan ASI
menggunakan sendok secara
perlahan dan dengan posisi
kepala ditinggikan kurang
lebih 30 derajat atau kepala
bayi disangga tangan ibu 7. Memenuhi nutrisi bayi secara
Kolaborasi adekuat
7. Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah,
kalori, dan jenis nutrien yang
dibutuhkan bayi

HARI/ WAKTU DIAGNOSIS INTERVENSI RASIONAL


TANGGAL KEPERAWATAN
(Tujuan, Kriteria Hasil)
Selasa, 8 Juni 12.35 WIB Dx 3 Perawatan luka (I.14564)
2021 Gangguan integritas kulit Observasi
berhubungan dengan faktor 1. Observasi karakteristik luka 1. Memantau adanya rembesan
mekanik (gesekan pada pada bayi  benjolan pada atau keadaan balutan
benjolan kepala) (D.0142) kepala
Setelah diberikan tindakan 2. Observasi tanda-tanda infeksi 2. Memantau gejala awal tanda
keperawatan selama 3x24 pada luka bayi  adanya infeksi
jam diharapkan Integritas kemerahan, perdarahan, nyeri
kulit dan jaringan demam dan peningkatan WBC
meningkat dengan kriteria Terapeutik
hasil : 3. Jadwalkan perubahan posisi 3. Mencegah risiko luka tekan
Integritas kulit dan jaringan setiap 2 jam atau sesuai
(L.14125) kondisi pasien  sesuai
1. Suhu kulit membaik midline control posisi miring
(5)  (36,5-37,5o C) kanan-kiri dan supinasi
2. Perdarahan menurun Edukasi 4. Deteksi awal tanda infeksi
(5)  tidak terjadi 4. Jelaskan tanda dan gejala
3. Nekrosis menurun (5) infeksi pada ibu bayi 
 tidak terjadi apabila kulit bayi teraba panas,
4. Nyeri menurun (5)  suhu tubuh diatas normal (>
skala nyeri NIPS 0 – 2 37,5oC) dan kemerahan pada
5. Kerusakan lapisan kulit luka bayi atau sekitar luka bayi 5. Mempertahankan teknik aseptik
menurun (kondisi luka 5. Ajarkan pada ibu bayi cara
membaik)  tidak ada mencuci tangan menggunakan
tanda-tanda infeksi alkohol gliserin maupun air
dan sabun  cuci tangan
sebelum dan sesudah kontak
dengan bayi 6. Mengetahui keadaan luka secara
6. Ajarkan pada ibu bayi untuk mandiri
memeriksa kondisi luka pada
bayi  apabila tampak kotor
karena rembesan cairan atau
darah
Kolaborasi 7. Mempertahankan integritas kulit
7. Kolaborasi prosedur bayi
perawatan luka dengan dokter
bedah

D. IMPLEMENTASI
MASALAH WAKT IMPLEMENTASI WAKT EVALUASI
U U
Rabu, 9
Risiko aspirasi b.d terpasang Juni 14.00 S: -
selang OGT, ketidakmatangan 2021
koordinasi menghisap, menelan, 1. Memantau status pernapasan bayi O:
dan bernapas (D.0006) 11.00 (frekuensi napas, bunyi napas 1. mulut bayi sedikit kotor
tambahan) 2. frekuensi napas bayi
Hasil: RR bayi 45x/menit dengan 45x/menit dengan ronkhi halus
suara napas ronkhi halus 3. tidak ada residu di OGT
2. Memeriksa kepatenan selang
orogastric tube sebelum pemberian A : Masalah risiko aspirasi tidak
11.05 asupan makan/ASI terjadi
Hasil: selang OGT terpasang dengan P : Perahankan intervensi
baik, terfiksasi dengan hipafix serta 1. observasi status pernapasan
batas pemasangan masih terletak di (RR dan bunyi napas)
sudut bibir 2. periksa kepatenan selang
3. Memposisikan bayi supinasi OGT
11.10 dengan head up 15-30 derajat 3. pertahankan posisi bayi
Hasil: bayi dengan posisi 300 di dalam dalam nesting head up 30 o

nesting 4. berikan ASI melalui OGT


4. Memberikan makanan dan obat sesuai advice
11.30 oral dalam bentuk cair melalui OGT
Hasil: Tidak ada muntah, tidak ada
retensi dan bayi mendapatkan susu
formula 12x42 ml
Menyusui tidak efektif b.d Rabu, 9 S : Ibu bayi mengatakan takut untuk
hambatan pada neonatus Juni 14.10 menyusui dan menggendong bayi
(labiopalato sckizis), 2021
ketidakadekuatan reflek 1. Memantau asupan makan (susu O:
menghisap (D.0029) 11.35 formula) setiap waktu pemberian 1. BB bayi 3430 gram
Hasil: bayi mendapatkan susu formula 2. bayi mendapatkan ASI 12x42
melalui OGT ml per OGT

2. Memantau berat badan bayi A : Masalah menyusui tidak efektif


11.40 setiap hari belum teratasi
Hasil: BB Bayi 3550 gram
3. Melakukan oral hygiene sebelum P : Lanjutkan intervensi
13.10 pemberian susu formula 1. observasi asupan susu
Hasil: bayi di oral hygiene formula bayi
menggunakan nistatin drop + kapas 2. observasi berat badan bayi
lidi setiap hari
3. lakukan oral hygiene setiap
13.30 4. Melakukan pemberian susu hari
formula untuk bayi melalui OGT 4. lakukan pemberian susu
Hasil: bayi mendapatkan susu formula formula melalui OGT
SGM 12 x 42 ml

13.45 5. Mengajarkan pada ibu bayi untuk


memberikan ASI atau susu formula
menggunakan sendok secara perlahan
dan dengan posisi kepala ditinggikan
kurang lebih 30 derajat atau kepala
bayi disangga tangan ibu
Gangguan integritas kulit Rabu, 9 14.20 S : ibu bayi mengatakan sudah
berhubungan dengan faktor Juni memahami cara mencuci tangan,
mekanik (gesekan pada benjolan 2021 tanda gejala infeksi dan kondisi luka
kepala) (D.0142) bayi apabila ada tanda infeksi
1. Mengobservasi karakteristik luka
12.10 pada benjolan kepala bayi O:
Hasil : 1. kepala bayi masih terdapat
- Luka benjolan kepala bagian
tonjolan pro VP Shunt hari
depan (untuk tindakan tapping)
tertutup plester anti-air kamis (14 Juni 2021)
- Luka benjolan kepala bagian 2. Suhu bayi 36,7 oC
belakang tertutup hipafix tidak 3. Skala nyeri NIPS 0
ada rembesan 4. Terdapat rembesan bekas
tapping cairan di tonjolan
2. Mengobservasi tanda-tanda infeksi kepala tertutup plester anti air
pada luka bayi  adanya kemerahan,
12.20
perdarahan, demam dan peningkatan
WBC A : Masalah gangguan integritas
Hasil : kulit belum teratasi
- TTV bayi :
S : 36,7 oC P : Pertahankan intervensi
N : 140 x/menit 1. Observasi tanda dan gejala
RR : 44 x/menit infeksi pada luka bayi
- Tidak ada kemerahan
2. Ubah posisi bayi setiap 2 jam
- Tidak ada perdarahan
- Skala nyeri NIPS 0  miring kanan-kiri dan
supinasi
3. Mengubah posisi bayi setiap 2 jam 3. Kolaborasi tindakan
12.30 yaitu posisi miring kanan-kiri dan perawatan luka dengan
supinasi dokter bedah setiap hari

4. Menjelaskan pada ibu bayi tanda-


tanda infeksi yaitu apabila kulit bayi
12.40 teraba panas, suhu tubuh diatas
normal (> 37,5oC) dan kemerahan
pada luka bayi atau sekitar luka bayi
Hasil : ibu bayi memahami

5. Mengajarkan ibu bayi cara mencuci


tangan menggunakan alkohol gliserin
12.45 maupun air dan sabun  cuci tangan
sebelum dan sesudah kontak dengan
bayi
Hasil : ibu bayi memahami

6. Mengajarkan pada ibu bayi untuk


memeriksa kondisi luka pada bayi 
12.50 apabila tampak kotor karena
rembesan cairan atau darah
Hasil : ibu bayi memahami

7. Melakukan kolaborasi prosedur


perawatan luka dengan dokter bedah
(bedah NS)
12.55
Hasil :
Bayi dilakukan perawatan luka
dengan bedah NS setiap 3 hari sekali
pukul 07.00 WIB
MASALAH WAKT IMPLEMENTASI WAKT EVALUASI
U U
Kamis,
Risiko aspirasi b.d terpasang 10 Juni 11.00 S: -
selang OGT, ketidakmatangan 2021
koordinasi menghisap, menelan, O:
dan bernapas (D.0006) 08.00 1. Memantau status pernapasan bayi 1. mulut bayi dalam keadaan
(frekuensi napas, bunyi napas bersih
tambahan) 2. frekuensi napas bayi
Hasil: RR bayi 44x/menit dengan 44x/menit tanpa O2 tambahan
suara napas ronkhi halus berkurang 3. tidak ada residu di OGT

08.05 2. Memeriksa kepatenan selang A : Masalah risiko aspirasi tidak


orogastric tube sebelum pemberian terjadi
asupan makan/ASI P : Perahankan intervensi
Hasil: selang OGT terpasang dengan 1. observasi status pernapasan
baik, terfiksasi dengan hipafix dan (RR dan bunyi napas)
ukuran Fr 6 serta batas pemasangan 2. periksa kepatenan selang
masih terletak di sudut bibir OGT
3. pertahankan posisi bayi
o
3. Mempertahankan posisi bayi dalam nesting head up 30
08.10 supinasi dengan head up 15-30 derajat 4. berikan susu formula melalui
dan di dalam nesting OGT sesuai advice
Hasil: bayi dengan posisi 300 di dalam
nesting
09.25 4. Memantau jumlah residu OGT
Hasil: tidak ada residu
5. Memberikan makanan dan obat
09.30 oral dalam bentuk cair melalui OGT
Hasil: Tidak ada muntah, tidak ada
retensi dan bayi mendapatkan susu
formula SGM 12x42 ml
Menyusui tidak efektif b.d Kamis, 11.40 S : Ibu tidak mengunjungi bayi
hambatan pada neonatus 10 Juni
(labiopalato sckizis), 2021 O:
ketidakadekuatan reflek 1. BB Bayi 3430 gram
menghisap (D.0029) 2. Bayi mendapat susu formula
09.35 1. Memantau berat badan bayi setiap 12x42 ml per OGT per hari
hari
Hasil: BB bayi 3460 gram A : Masalah menyusu tidak efektif
2. Memberikan susu formula belum teratasi
melalui OGT sesuai advice
09.40 Hasil: bayi mendapatkan susu formula P: Lanjutkan intervensi
12 x 42 ml per hari 1. observasi asupan susu
formula
2. monitor BB bayi tiap hari
3. lakukan oral hygiene
sebelum pemberian ASI, bila
perlu

Gangguan integritas kulit Kamis, 14.20 S:-


berhubungan dengan faktor 10 Juni
mekanik (gesekan pada benjolan 2021 O:
kepala) (D.0142)
1. kepala bayi masih terdapat
09.05 1. Mengobservasi karakteristik luka tonjolan pro VP Shunt hari
pada benjolan kepala bayi kamis (14 Juni 2021)
Hasil : 2. Suhu bayi 36,7 oC
1. Luka benjolan kepala bagian
depan (untuk tindakan tapping) 3. Skala nyeri NIPS 0
tertutup plester anti-air 4. Terdapat rembesan bekas
2. Luka benjolan kepala bagian tapping cairan di tonjolan
belakang tertutup hipafix tidak kepala tertutup plester anti
ada rembesan
air
2. Mengobservasi tanda-tanda infeksi
pada luka bayi  adanya kemerahan, A : Masalah gangguan integritas
09.10
perdarahan, demam dan peningkatan kulit belum teratasi
WBC
Hasil : P : Pertahankan intervensi
- TTV bayi : 1. Observasi tanda dan gejala
S : 36,7 oC
infeksi pada luka bayi
N : 144 x/menit
RR : 45 x/menit 2. Ubah posisi bayi setiap 2 jam
- Tidak ada kemerahan  miring kanan-kiri dan
- Tidak ada perdarahan supinasi
- Skala nyeri NIPS 0 3. Kolaborasi tindakan perawatan
luka dengan dokter bedah
09.15 3. Mengubah posisi bayi setiap 2 jam setiap hari
yaitu posisi miring kanan-kiri dan
supinasi

09.20 4. Melakukan kolaborasi prosedur


perawatan luka dengan dokter bedah
(bedah NS)

Hasil :
Bayi dilakukan perawatan luka
dengan bedah NS setiap hari pukul
07.00 WIB

MASALAH WAKT IMPLEMENTASI WAKT EVALUASI


U U
Menyusui tidak efektif b.d 14.30 S : ibu mengunjungi bayi namun
hambatan pada neonatus Jum’at, tidak menyusui
(labiopalato sckizis), 11 Juni
ketidakadekuatan reflek 2021 O:
menghisap (D.0029) 1. Memantau berat badan bayi 1. BB Bayi 3430 gram
11.05 setiap hari 2. Bayi mendapatkan susu
Hasil : BB Bayi 3450 gram formula 12x42 ml perhari via
OGT
2. Memberikan susu formula
melalui OGT A : Masalah menyusu tidak efektif
11.30 Hasil : Tidak ada muntah, tidak ada belum teratasi
retensi dan bayi mendapatkan susu
formula 12x42 ml
P: Lanjutkan intervensi
1. observasi asupan ASI pada
bayi
2. monitor berat badan bayi
setiap hari
Gangguan integritas kulit Jumat, 14.20 S:-
berhubungan dengan faktor 11 Juni
mekanik (gesekan pada benjolan 2021 O:
kepala) (D.0142)
1. kepala bayi masih terdapat
09.05 1. Mengobservasi karakteristik luka tonjolan pro VP Shunt hari
pada benjolan kepala bayi kamis (14 Juni 2021)
Hasil :
3. Luka benjolan kepala bagian 2. Suhu bayi 36,6 oC
depan (untuk tindakan tapping) 3. Skala nyeri NIPS 0
tertutup plester anti-air
4. Terdapat rembesan bekas
4. Luka benjolan kepala bagian
belakang tertutup hipafix tidak tapping cairan di tonjolan
ada rembesan kepala tertutup plester anti air

2. Mengobservasi tanda-tanda infeksi A : Masalah gangguan integritas


pada luka bayi  adanya kulit belum teratasi
09.10 kemerahan, perdarahan, demam
dan peningkatan WBC
P : Pertahankan intervensi
Hasil :
- TTV bayi : 1. Observasi tanda dan gejala
S : 36,7 oC infeksi pada luka bayi
N : 144 x/menit 2. Ubah posisi bayi setiap 2 jam
RR : 45 x/menit  miring kanan-kiri dan
- Tidak ada kemerahan supinasi
- Tidak ada perdarahan
3. Kolaborasi tindakan perawatan
- Skala nyeri NIPS 0
luka dengan dokter bedah
3. Mengubah posisi bayi setiap 2 jam setiap hari
09.15
yaitu posisi miring kanan-kiri dan
supinasi

4. Melakukan kolaborasi prosedur


09.20 perawatan luka dengan dokter bedah
(bedah NS)

Hasil :
Bayi dilakukan perawatan luka
dengan bedah NS setiap 3 hari sekali
pukul 07.00 WIB
BAB IV
PEMBAHASAN

Bayi Ny. W mengalami kelainan kongenital dimana kelainan kongenital menjadi salah
satu penyebab kematian pada bayi (Azizah & Handayani, 2017). Angka Kematian Neonatal
(AKN) merupakan jumlah kematian bayi pada masa neonatal per 1.000 kelahiran hidup yang
dihitung dalam kurun waktu satu tahun. Kematian neonatal ini menggambarkan tingkat
pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk antenatal care, pertolongan persalinan, dan
postnatal ibu hamil. Jadi, semakin tinggi Angka Kematian Neonatal, berarti semakin rendah
tingkat pelayanan kesehatan ibu dan anak (Azizah & Handayani, 2017). Bayi Ny. W
mengalami kelainan kongenital yaitu sindrom patau. Kelainan kongenital yang dialami bayi
Ny. W diduga karena DM gestasional yang dialami oleh ibu.
Dari data laboratorium yaitu
Grafik Berat Badan bayi Ny. W
MRI dan CT Scan didapatkan

3460 bahwa bayi Ny. W mengalami non


3450 3450
communicating hidrosefalus,
labiopalatoschizis disertai deviasi
septum nasi +/- 0,8 ke sisi kanan.
3380 Sedangkan dari data klinis
didapatkan bayi Ny. W mengalami
8 Juni 2021 9 Juni 2021 10 Juni 2021 11 Juni 2021 syndaktili pada ekstremitas atas dan
bawah, labiopalatoschizis, benjolan
Series 1
pada kepala bagian atas dan terdapat
luka dibagian belakang kepala. Keadaan luka pada kepala bayi tertutup hipafix dan plester
anti air, serta bayi terpasang OGT Fr 6 (keadaan paten, batas pemasangan berupa hipafix
masih terletak di sudut bibir dan tidak ada retensi). Dari kondisi bayi Ny. W tersebut
(sindrom patau) sesuai dengan jurnal oleh Okta Della Susmitha bahwa sindrom patau (trisomi
13) memiliki karakteristik anomali multipel yang berat termasuk anomali sistem saraf pusat,
anomali wajah, defek jantung, anomali ginjal, dan anomali ekstremitas. Manifestasi klinisnya
dapat berupa mikrosefal, cyclops (mata tunggal), struktur nasal abnormal, cleft bibir dan
palatum, low set ears, dan polidaktili (Susmitha et al., 2018). Berikut grafik berat badan bayi
Ny. W :
Diagnosis keperawatan yang sesuai dengan kondisi bayi Ny. W diantaranya risiko
aspirasi, menyusui tidak efektif dan gangguan integritas kulit jaringan. Pemilihan diagnosis
risiko aspirasi dan menyusui tidak efektif berdasarkan data bayi Ny. W mengalami
labiopalatoschizis, terpasang OGT, reflek hisap ada namun lemah dan menurut pemeriksaan
laboratorium terdapat deviasi septum nasi dominan ke kanan. Pemilihan diagnosis gangguan
integritas kulit berdasarkan data terdapat luka di kepala bagian belakang (tertutup hipafix)
dan kepala bagian depan bekas tapping (tertutup plester anti air), tidak ada tanda-tanda
infeksi (tidak ada demam, nyeri, kemerahan maupun peningkatan WBC atau leukosit).
Intervensi yang dapat diberikan pada bayi dengan labiopalatoschizis yaitu botol khusus dan
teknik pemberian ASI yang khusus. Teknik pemberian dapat dengan bayi diposisikan head up
30 derajat atau didudukkan untuk mencegah risiko aspirasi. Selain itu, di ruangan Neonatus
ibu bayi dapat diedukasi untuk memberikan ASI maupun susu formula menggunakan sendok
secara perlahan dengan posisi bayi didudukkan atau kepala ditinggikan. Cara menyusui dan
penggunaan botol yang umum sangat tidak mungkin. Kurangnya pengetahuan tentang
teknik ini dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan (Sianturi, 2018). Selain intervensi
tersebut dapat dilakukan tindakan pembedahan untuk memperbaiki keadaan
labiopalatoschizis maupun meningokel pada kepala (Sinta et al., 2019). Intervensi untuk
diagnosis gangguan integritas kulit dapat dilakukan dengan kolaborasi tindakan perawatan
luka untuk mempertahankan integritas kulit dan mencegah risiko infeksi.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Asuhan keperawatan pada bayi dengan kelainan kongenital multiple (meningokel) +
sindrom patau + labiopalatoschizis di ruang Neonatus (RKL) Rumah Sakit Dr. Soetomo
Surabaya, penulis dapat mengambil kesimpulan dan saran yang dibuat berdasarkan pada
laporan studi kasus sebagai berikut :
1. Hasil pengkajian pada ibu bayi didapatkan bahwa bayi mengalami kelainan bawaan
(kongenital) dan diketahui sejak usia kehamilan 6 bulan.
2. Diagnosis keperawatan pada asuhan keperawatan diatas diantaranya risiko aspirasi
berhubungan dengan terpasang selang OGT, ketidakmatangan koordinasi
menghisap, menelan, dan bernapas ; menyusui tidak efektif berhubungan dengan
hambatan pada neonatus (labiopalato sckizis), ketidakadekuatan reflek menghisap
dan gangguan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanis yaitu gesekan
pada benjolan kepala.
3. Intervensi yang dilakukan menyesuaikan masing-masing diagnosis keperawatan
yang ditemukan diantaranya pencegahan aspirasi, manajemen nutrisi dan perawatan
luka. Intervensi pencegahan aspirasi diantaranya memposisikan bayi head up 30
derajat di dalam nesting inkubator, mengobservasi status pernapasan (frekuensi
pernapasan, ada tidaknya penggunaan otot bantu pernapasan dan adanya suara napas
tambahan), mengobservasi adanya muntah serta mengecek kepatenan selang OGT
dan residu cairan lambung. Intervensi manajemen nutrisi diantaranya pemberian
susu formula jenis SGM sesuai advice (12 x 42 ml) melalui OGT, mengedukasi ibu
bayi untuk memberikan susu formula melalui sendok secara perlahan dengan posisi
kepala bayi ditinggikan atau bayi didudukkan, mengobservasi berat badan bayi dan
hasil pemeriksaan laboratorium. Intervensi perawatan luka diantaranya
mengobservasi keadaan luka bayi, mengobservasi tanda-tanda infeksi dan kolaborasi
tindakan rawat luka dengan dokter bedah.
4. Implementasi pada bayi dengan diagnosis keperawatan risiko aspirasi, menyusui
tidak efektif dan gangguan integritas kulit sesuai tindakan yang telah direncanakan
dan dilakukan secara menyeluruh.
5. Evaluasi pada bayi tersebut yaitu bayi mendapatkan susu formula melalui OGT, bayi
tidak sesak (frekuensi napas rata-rata 44 – 46 x/menit, tidak ada suara napas
tambahan dan penggunaan otot bantu pernapasan), bayi dirawat di box terbuka
Ruang RKL, bayi mendapat tindakan rawat luka oleh dokter bedah setiap pagi Pukul
07.00 WIB serta bayi akan mendapatkan tindakan pemasangan VP Shunt untuk
mengurangi jumlah cairan di kepala pada 14 Juni 2021.

5.2 Saran
Selalu memberikan edukasi pada keluarga terkait pencegahan risiko infeksi dengan
mencuci tangan menggunakan handwash maupun handrub sebelum dan sesudah kontak
dengan bayi.
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, I., & Handayani, O. K. (2017). Kematian Neonatal di Kabupaten Grobogan.


Techniques of Pain Reduction in the Normal Labor Process : Systematic Review, 1(3),
84–94. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia
Edelweishia Melissa, I. W. A. P. (2019). Ultrasonography Feature and Clinical Finding of
Trisomy 13 ( Patau Syndrome ): A Case Report Gambaran Ultrasonografi dan Klinis
Kehamilan dengan Janin Trisomi 13 ( Sindrom Patau ): Laporan Kasus. Indonesian
Journal of Obstetrics & Gynecology Science, 13, 17–23.
Ernawati. (2011). Spina Bifida : Meningokel. Jurnal Ilmiah Kedokteran, I(1), 88.
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Infodatin Kelainan Bawaan.
Muslihatun, W. N. (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Fitramaya.
Rachmawati, P. D., & Krisnana, I. (2017). Modul : Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan
Gangguan Sistem Persyarafan.
Sianturi, A. H. (2018). Gambaran Angka Kejadian Labiopalatoschizis dari Ibu Hamil Yang
Mengonsumsi Asam Folat Selama Kehamilan di RSUP H. Adam Malik. In Analisis
Kesadahan Total dan Alkalinitas pada Air Bersih Sumur Bor dengan Metode Titrimetri
di PT Sucofindo Daerah Provinsi Sumatera Utara.
Sinta, L. El, Andriani, F., Yulizawati, & Insani, A. A. (2019). Buku Ajar : Asuhan Kebidanan
Pada Neonatus, Bayi dan Balita. Indomedia Pustaka.
Susmitha, O. Della, Rukmi, R., Perdani, W., & Bustomi, E. C. (2018). Sindrom Patau
( Trisomi Kromosom 13 ). Medical Journal of Lampung University, 7(1), 288–294.
Yuliastati, N., & Arnis, A. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak : Keperawatan Anak
Komprehensif. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia
Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai