Anda di halaman 1dari 60

HALAMAN PERSETUJUAN

Makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Benigna Prostat Hiperplasia


(BPH)”. Ditujukan sebagai pemenuhan tugas dan telah disetujui untuk diseminarkan
dalam mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II

Oleh
Dosen Pengampu :

(Priyanto, S.Kep., Ns)


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya
makalah ini dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Benigna Prostat Hiperplasia
(BPH)” sebagai penugasan mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II.
Penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu
dalam pembuatan makalah ini. Kiranya dapat berguna bagi pendidikan kesehatan
khususnya bagi perawat dan pembaca.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Kami
mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari seluruh pembaca sehingga
makalah ini menjadi lebih sempurna.

Ungaran, 10 Agustus 2007

(Penulis)
ANATOMI DAN FISIOLOGI PROSTAT
BAB I
ANATOMI DAN FISIOLOGI

A. Buli-buli
Buli-buli merupakan organ berongga yang terdiri atas tiga lapis otot destrusor
yang saling beranyaman. Disebelah dalam adalah otot sirkuler, ditengah merupakan
otot longitudinal, dan paling luar merupakan otot sirkuler. Mukosa buli-buli terdiri
atas sel-sel transisional. Pada dasar buli-buli kedua muara ureter dan meatus uretra
internum membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli. (Purnomo,
2000)
Secara anatomi bentuk buli-buli terdiri atas tiga permukaan , yaitu: permukaan
superior yang berbatasan dengan rongga peritonium, dua permukaan inferior lateral,
dan permukaan posterior. Pemukaan superior adalah merupakan lobus minoris
( daerah terlemah ) dinding buli-buli. (Purnomo, 2000)
Buli-buli berfungsi menampung urine dari ureter dan kemudian
mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme miksi ( berkemih ). Dalam
menampung urine, buli-buli mempunyai kapasitas maksimal yang volumenya untuk
orang dewasa kurang lebih adalah 300-450 ml, sedangkan kapasitas buli-buli pada
anak –anak menurut formula Koff adalah : (Purnomo, 2000)
Kapasitas buli-buli = { umur (tahun ) + 2 } x 30 ml
Pada saat kosong buli-buli terletak dibelakang simpisis pubis dan pada saat
penuh berada diatas simpisis sehingga dapat dipalpasi dan di perkusi. (Purnomo,
2000)
Buli-buli yang terisi penuh memberikan rangsangan pad syaraf aferen dan
menyebabkan aktivasi pusat miksi di medula spinalis segmen sakral S 2-4. Hal ini
akan menyebabkan kontraksi otot destruso, terbukanya leher buli-buli dan relaksasi
spingter uretra sehingga terjadilah proses miksi. (Purnomo, 2000)
B. Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari buli-buli
melalui proses miksi. Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan
mani. (Purnomo, 2000)
Uretra ini diperlengkapi dengan spingter uretra interna yang terletak pada
perbatasan buli-buli dan uretra, dinding terdiri atas otot polos yang disyarafi oleh
sistem otonomik dan spingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra
anterior dan posterior, dinding terdiri atas otot bergaris yang dapat diperintah sesuai
dengan keingian seseorang. Panjang uretra dewasa  23-25 cm. (Purnomo, 2000)
Secara anatomis uetra terdiri dari dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra
anterior. Kedua uretra ini dipisahkan oleh spingter uretra eksternal. (Purnomo, 2000)
Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian
uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea. Dibagian
posterior lumen uretra prostatika terdapat suatu tonjolan verumontanum, dan
disebelah kranial dan kaudal dari verumontanum ini terdapat krista uretralis. Bagian
akhir dari vasdeferen yaitu kedua duktus ejakulatorius terdapat dipinggir kanan dan
kiri verumontanum, sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara didalam duktus
prostatiks yang tersebar di uretra prostatika. (Purnomo, 2000)
Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum
penis. Uretra anterior terdiri atas: 1. Pars bulbosa, 2. Pars pendularis, 3. Fossa
navikulare, dan 4. Meatus uretra eksterna. Didalam lumen uretra anterior terdapat
beberapa muara kelenjar yang berfungsi dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar
Cowperi berada didalam diafragma urogenitalis bermuara diuretra pars bulbosa, serta
kelenjar Littre yaitu kelenjar para uretralis yang bermuara di uretra pars pendularis.
(Purnomo, 2000)
C. Kelenjar prostat
Prostat adalah suatu organ yang terdiri dari komponen kelenjar, stroma dan
muskular. Kelenjar ini mulai tumbuh pada kehamilan umur 12 minggu karena
pengaruh dari horman androgen yang berasal dari testis janin. Prostat merupakan
derivat dari jaringan embrional sinus urogenital. Kelenjar prostat bentuknya seperti
konnus terbalik yang terjepit ( kemiri ). (Hardjowijoto S.1999)
Letak kelenjar prostat disebelah inferior buli-bulu, didepan rektum dan
membungkus uretra posterior. Ukuran rata-rata prostat pada pria dewasa 4 x 3 x 2,5
cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. (Purnomo, 2000)
Pada tahun 1972 Mc. NEAL, mengemukakan konsep tantang zona anatomi
dari prostat. Menurut Mc. NEAL, komponen kelenjar dari prostat sebagian besar
terletak/membentuk zona perifer. Zona perifer ini ditambah dengan zona sentral yang
terkecil merupakan 95 % dari komponen kelenjar. Komponen kelenjar yang lain (5%)
membentuk zona transisi. Zona transisi ini terletak tepat di luar uretra di daerah
verumontanum. Proses hiperplasia dimulai di zona transisi ini. Sebagian besar proses
keganasan (60-70 % ) bermula di zona perifer, sebagian lagi dapat tumbuh di zona
transisi dan zona sentral. (Hardjowijoto S.1999)
Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari
cairan ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara
di uretra posterior untuk kemudian bersama cairan semen yang lain pada saat
ejakulasi. Cairan ini merupakan 25 % dari volume ejakulat. (Purnomo, 2000)
Jika kelenjar ini mengalami hiperplasia jinak atau berubah menjadi kanker
ganas dapat membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi
saluran kemih. (Purnomo, 2000)
Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi /
mengitari uretra posterior dan disebelah proximalnya berhubungan dengan buli-buli,
sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital
yang sering disebut sebagai otot dasar panggul. Kelenjar ini pada laki-laki dewasa
kurang lebih sebesar buah kemiri atau jeruk nipis. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6
cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm. Beratnya sekitar 20 gram.
Prostat terdiri dari :
 Jaringan Kelenjar  50 - 70 %
 Jaringan Stroma (penyangga)
30 - 50 %
 Kapsul/Musculer
Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang banyak mengandung enzym yang
berfungsi untuk pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi (penggumpalan) di
dalam testis yang membawa sel-sel sperma. Pada waktu orgasme otot-otot di sekitar
prostat akan bekerja memeras cairan prostat keluar melalui uretra. Sel – sel sperma
yang dibuat di dalam testis akan ikut keluar melalui uretra. Jumlah cairan yang
dihasilkan meliputi 10 – 30 % dari ejakulasi. Kelainan pada prostat yang dapat
mengganggu proses reproduksi adalah keradangan (prostatitis). Kelainan yang lain
sepeti pertumbuhan yang abnormal (tumor) baik jinak maupun ganas, tidak
memegang peranan penting pada proses reproduksi tetapi lebih berperanan pada
terjadinya gangguan aliran kencing. Kelainanyang disebut belakangan ini
manifestasinya biasanya pada laki-laki usia lanjut. (Subhan, 2002)
BAB II
BPH (BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)

A. DEFINISI
BPH adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan
penyebab paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun.
(Smeltzer : 2001 ; 1625).
BPH adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian mendesak
jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi kapsul bedah. (R. Sjamsuhidayat
dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, 1997)
Prostat Hiperplasia adalah pembesaran glandula dan jaringan seluler
kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin berkenaan dengan
proses penuaan. Kelenjar prostat mengitari leher kandung kemih dan urethra,
sehingga hipertropi prostat sering menghalangi pengosongan kandung kemih.
(Susan Martin Tucker, 1998)

B. ETIOLOGI
Belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasi prostat. Tetapi
beberapa hipotesis yang erat kaitannya dengan hiperplasi prostat adalah :
1. Peningkatan kadar dihidrotestoteron dan proses aging (menjadi tua)
2. Adanya ketidakseimbnagan estrogen – progesterone
3. Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat
4. Berkurangnya kematian sel
5. Teori stem sel (Purnomo : 2003 ; 70)
Beberapa teori yang menjelaskan tejadinya hiperplasia pada kelenjar
periurethral, yaitu :
 Teori Sel Stem (Isaac, 1984, 1987)
Berdasarkan teori ini pada keadaan normal kelenjaar periurethral dalam
keseimbangan antara yang tumbuh dengan yang mati (steadystate). Sel baru
biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena sesuatu sebab seperti faktor usia,
gangguan keseimbangan hormonal atau faktor pencetus yang lain maka sel
stem tersebut akan dapat berproliferasi lebih cepat sehingga terjadi hiperplasia
kelenjar periurethral.
 Teori Reawakening dari jaringan kembali seperti perkembangan seperti pada
masa tingkat embrionik, sehingga jaringan periurethral dapat tumbuh lebih
cepat dari jaringan sekitarnya.
 Teori yang mengatakan bahwa hiperplasia disebabkan oleh karena terjadinya
usia akan terjadi perubahan keseimbangan testoteron dan estrogen. Dengan
bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testoteron dan
estrogen, karena produksi testoteeron menurun dan terjadi konversi testoteron
menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Perubahan konsentraasi
relatif testoteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi
faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran
prostat.
Penyebab yang pasti dari terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia sampai
sekarang belum diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi
terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia yaitu testis dan usia lanjut.
Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang
diduga timbulnya Benign Prostatic Hyperplasia antara lain :
1. Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel
dan stroma dari kelenjar prostatmengalami hiperplasia.
2. Ketidak seimbangan estrogen – testoteron
Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen
dan penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat
menyebabkan terjadinya hyperplasia stroma.
3. Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan
penurunan transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma
dan epitel.
4. Penurunan sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan
epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem cell
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.
(Roger Kirby, 1994 : 38).

C. MANIFESTASI KLINIS
Komplek gejala obstruktif dan iritatif (Prostatisme) mencakup :
 Peningkatan frekuensi berkemih
 Nocturia
 Dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan
 Abdomen tegang
 Penurunan volume urine dan harus mengejan saat berkemih
 Urine terus menetes setelah berkemih ( dribbling )
 Retensi urine, kekambuhan ISK ( Infeksi Saluran Kemih )
 Anureksia, mual muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik. (Smeltzer: 2001;
1625)
 Keluhan pada saluran kemih bagian bawah :
- Obstruksi :
 Hesistensi (harus menunggu lama bila mau miksi)
 Pancaran miksi lemah
 Intermitten (Miksi terputus)
 Miksi tidak puas
- Iritasi : frekuensi sering, nokturia, urgensi, disuria
- Gejala di luar saluran kemih :
Keluhan pada penyakit hernia/hemoroid sering meikuti penyakit hipertropi
prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat
miksi sehingga mengakibatkan penigkatan tekanan intra abdominal.
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan
teraba massa kistus di daerah supra sympisis akibat retensi urine, kadang-
kadang didapatkan urine yang selalu menetes tanpa disadari oleh pasien dan
keadaan ini merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksal (Basuki,
2000)
Derajat Benigne Prostat Hyperplasia
Benign Prostatic Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan
klinisnya :
1. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 – 2 cm, sisa
urine kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.
2. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah
berat, panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih
menonjol, batas atas masih teraba, sisa urine 50 – 100 cc dan beratnya + 20 –
40 gram.
3. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa
urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3 – 4 cm, dan beratnya 40 gram.
4. Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit
keginjal seperti gagal ginjal, hydroneprosis.
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benign Prostatic Hyperplasia disebut
sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a.Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli
memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal
guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan
karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan
intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c.Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e.Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
2. Gejala Iritasi yaitu :
a.Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi
pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c.Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
(Basuki, 2000)
D. PATOFISIOLOGI

Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami


hiperplasia, jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam
mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini
dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan
uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk
dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan
perubahan anatomi dari buli-buli berupa : Hipertropi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-
buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau
Lower Urinary Tract Symptom/LUTS yang dahulu dikenal dengan gejala
prostatismus. (Basuki, 2000 : 76).
Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus
destrusor berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak
banyak berubah. Pada fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata.
Lama kelamaan kemampuan kompensasi menjadi berkurang dan pola serta
kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus destrusor
menjadi tidak adekuat sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses
miksi berakhir seringkali Prostat Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan
jalan meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang
disertai timbulnya hernia dan haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi
adalah tidak berhasilnya melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine,
keadaan ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia Dekompensata. Fase
Dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari
menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan mengalir
sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh
karena buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari
kegagalan kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan
menjadi retensi urine. Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran
fungsi ginjal (Sunaryo, H. 1999 : 11)
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluk
vesikoureter. Keadaan ini jika berlangsung terus-menerus mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak hanya
disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi
juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul
prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut
simpatis yang berasal dari nervus pudendus.
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel.
Kalau pada prostat normal rasio stroma disbanding dengan epitel adalah 2:1, pada
BPH meningkat menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan
tonus otot polos prostat dibandigkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa
prostat yang menyebabkan komponen static sedangkan tonus otot polos yang
merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat. (Purnomo :
2003 ; 72)
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Urinalisa: warna , PH urine, dan menunjukkan infeksi.
 Kultur urine: menunjukkan stapilococcus aureus, proteus, klebsiela,
pseudomonas, atau escherichia coli.
 BUN/kreatinin
 IVP ( intra venous pielography ): menunjukkan perlambatan pengosongan
kandung kemih.
 Sistouretroskopi: penggambaran derajat pembesaran prostat.
 Sistometri : mengevaluasi fungsi otot destrusor dan tonusnya.
 Ultrasound transrektal: mengetahui ukuran prostat, jumlah residu.
(Doenges : 1999 ; 672)
1. Pemeriksaan Fisik
 Perhatian khusus pada abdomen ; Defisiensi nutrisi, edema, pruritus,
echymosis menunjukkan renal insufisiensi dari obstruksi yang lama.
 Distensi kandung kemih
 Inspeksi : Penonjolan pada daerah supra pubik  retensi urine
 Palpasi : Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan pasien
ingin buang air kecil  retensi urine
 Perkusi : Redup  residual urine
 Pemeriksaan penis : uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya
stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis.
 Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur)  posisi knee chest
Syarat : buli-buli kosong/dikosongkan
Tujuan : Menentukan konsistensi prostat
Menentukan besar prostat
COLOK DUBUR
• UKURAN
• SIMETRI
• KEKENYALAN

2. Pemeriksaan Radiologi
Pada Pemeriksaan Radiologi ditujukan untuk
a. Menentukan volume Benign Prostatic Hyperplasia
b. Menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residual urine
c. Mencari ada tidaknya kelainan baik yang berhubungan dengan Benign
Prostatic Hyperplasia atau tidak
Beberapa Pemeriksaan Radiologi
a. Intra Vena Pyelografi ( IVP ) : Gambaran trabekulasi buli (buli-buli dilihat
sebelum, saat dan sesudah isinya dikosongkan), adanya refluks urine dan
residual urine post miksi, dipertikel buli, fungsi ekskresi ginjal dan adanya
hidronefrosis.
Indikasi : disertai hematuria, gejala iritatif menonjol disertai urolithiasis
Tanda BPH : Impresi prostat, hockey stick ureter
b. BOF (Bulk Overzich Fottomeeter) : Untuk mengetahui adanya kelainan
pada renal, batu dan metastase pada tulang.
c. Retrografi dan Voiding Cystouretrografi : untuk melihat ada tidaknya
refluk vesiko ureter/striktur uretra.
d. USG : Untuk menentukan volume urine, volume residual urine dan menilai
pembesaran prostat jinak/ganas. Pemeriuksaan dapat dilakukan secara
transrektal, transuretal dan suprapubik.
3. Pemeriksaan Endoskopi : inspeksi visual setiap rongga tubuh dengan alat
endoskop.
4. Pemeriksaan Uroflowmetri
Berperan penting dalam diagnosa dan evaluasi klien dengan obstruksi leher
buli-buli
Q max : > 15 ml/detik  non obstruksi
10 - 15 ml/detik  border line
< 10 ml/detik  obstruktif
5. Pemeriksaan Laborat
 Urinalisis (test glukosa, bekuan darah, UL, DL, RFT, LFT, Elektrolit, Na,/K,
Protein/Albumin, pH dan Urine Kultur)
Jika infeksi:pH urine alkalin, spesimen terhadap Sel Darah Putih, Sel Darah
Merah atau PUS.
 RFT  evaluasi fungsi renal
 Serum Acid Phosphatase  Prostat Malignancy.
Trauma bedah yang direncanakan, menimbulkan rentang respon fisiologis
dan psikologis pada klien, tergantung pada individu dan pengalaman masa
lalu yang unik, pola koping, kekuatan dan keterbatasan. Kebanyakan klien
dan keluarganya memandang setiap tindakan bedah merupakan peristiwa
besar dan mereka bereaksi dengan takut dan ansietas pada tingkat tertentu.
(Subhan, 2002)
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan adalah :
1 Memperbaiki keluhan miksi
2 Meningkatkan kualitas hidup
3 Mengurangi obstruksi intravesika
4 Menurunkan volume residu urine setelah miksi
5 Mencegah progesifitas penyakit
6 Klien tidak akan mengalami berbagai komplikasi dari pengobatan retensi urine.
Pilihan penatalaksanaan BPH
Observasi Medikamentosa Operasi Invansif
minimal

Watchful -penghambat  Prostatektomi  TUMT


waiting adrenergik_a  Endourologi  TUBD
- Penghambat - TURP  Stent
reduktase_a - TUIP uretra
-Fitoterapi - TULP  TUNA
- Hormonal
(Purnomo : 2003 ; 78)
Pengobatan
Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradasi, yaitu :
Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan protatismus, pada DRE (colok dubur)
ditemukan penonjolan prostat dan sisa urin kurang daari 50 ml.
Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih
menonjol, bataas ataas masih teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml
tetapi kurang dari 100 ml.
Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa
urine lebih dari 100 ml.
Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.
Pada derajat 1 belum memerlukan tindakan operatif, dapat diberikan
pengobatan secara konservaatif , misal alfa bloker, prazozin, terazozin 1-5 mg per
hari.
Pada derajat 2 sudah ada indikasi untuk inteervensi operatif dan sampai
ssekarang masihh dianggap sebagai cara terpilih adlah trans urethral resection
(TURP)
Pada derajaat 3 TURP masih dapat dilakukan akan tetapi bila diperkirakan
reseksi tidak selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka.
Intervensi:
A. Non Pembedahan
1. Memperkecil gejala obstruksi  hal-hal yang menyebabkan pelepasan
cairan prostat, misalnya: prostatic massage, frekuensi coitus meningkat,
masturbasi
2. Menghindari minum banyak dalam waktu singkat, menghindari alkohol
dan diuretic mencegah oven distensi kandung kemih akibat tonus otot
detrussor menurun.
3. Menghindari obat-obat penyebab retensi urine seperti : anticholinergic,
anti histamin, decongestan.
4. Observasi Watchfull Waiting
Yaitu pengawasan berkala/follow – up tiap 3 – 6 bulan kemudian setiap
tahun tergantung keadaan klien
Indikasi: BPH dengan IPPS Ringan, Baseline data normal, Flowmetri non
obstruksi
5. Terapi medikamentosa pada Benigne Prostat Hyperplasia
Terapi ini diindikasikan pada Benigne Prostat Hyperplasia dengan
keluhan ringan, sedang dan berat tanpa disertai penyulit serta indikasi
pembedahan, tetapi masih terdapat kontra indikasi atau belum “well
motivated”. Obat yang digunakan berasal dari Fitoterapi, Golongan
Supressor Androgen dan Golongan Alfa Bloker.
a.Fito Terapi
a) Hypoxis rosperi (rumput)
b) Serenoa repens (palem)
c) Curcubita pepo (waluh )
b. Pemberian obat Golongan Supressor Androgen/anti androgen :
a) Inhibitor 5 alfa reduktase
b) Anti androgen
c) Analog LHRH
c.Pemberian obat Golongan Alfa Bloker/obat penurun tekanan diuretra-
prostatika : Prazosin, Alfulosin, Doxazonsin, Terazosin
6. Bila terjadi retensi urine
a. Kateterisasi  Intermiten
Indwelling
b. Dilakukan pungsi blass
c. Dilakukan cystostomy
7. Prostetron (Trans Uretral Microwave Thermoterapy/TUMT)
B. Pembedahan
1. Trans Uretral Reseksi Prostat : 90 - 95 %
2. Open Prostatectomy : 5 - 10 %
BPH yang besar (50 - 100 gram)  Tidak habis direseksi dalam 1 jam.
Disertai batu buli buli besar (>2,5cm), multiple. Fasilitas TUR tak ada.
Mortalitas Pembedahan BPH
0 - 1 % KAUSA : Infark Miokard
Septikemia dengan Syok
Perdarahan Massive
Kepuasan klien : 66 – 95 %
Indikasi Pembedahan BPH
 Retensi urine akut
 Retensi urine kronis
 Residual urine lebih dari 100 ml
 BPH dengan penyulit
 Hydroneprosis
 Terbentuknya Batu Buli
 Infeksi Saluran Kencing Berulang
 Hematuri berat/berulang
 Hernia/hemoroid
 Menurunnya Kualitas Hidup
 Retensio Urine
 Gangguan Fungsi Ginjal
 Terapi medikamentosa tak berhasil
 Sindroma prostatisme yang progresif
 Flow metri yang menunjukkan pola obstruktif
 Flow. Max kurang dari 10 ml
 Kurve berbentuk datar
 Waktu miksi memanjang
Kontra Indikasi
 IMA
 CVA akut
Tujuan :
 Mengurangi gejala yang disertai dengan obstruksi leher buli-buli
 Memperbaiki kualitas hidup.
1) Trans Uretral Reseksi Prostat  90 - 95 %
Dilakukan bila pembesaran pada lobus medial.
Keuntungan :
 Lebih aman pada klien yang mengalami resiko tinggi pembedahan
 Tak perlu insisi pembedahan
 Hospitalisasi dan penyebuhan pendek
Kerugian :
 Jaringan prostat dapat tumbuh kembali
 Kemungkinan trauma urethra  strictura urethra.
2) Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
 Prostat terlalu besar tetapi tak ada masalah kandung kemih.
3) Perianal Prostatectomy
 Pembesaran prostat disertai batu buli-buli
 Mengobati abces prostat yang tak respon terhadap terapi conservatif
 Memperbaiki komplikasi : laserasi kapsul prostat
4) Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
(Subhan, 2002)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Riwayat Keperawatan
- Suspect BPH  umur > 60 tahun
- Pola urinari : frekuensi, nocturia, disuria.
- Gejala obstruksi leher buli-buli : prostatisme (Hesitansi, pancaran,
melemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa) Jika frekuensi
dan noctoria tak disertai gejala pembatasan aliran non Obstruktive seperti
infeksi.
- BPH  hematuri
Pemahaman klien tentang kejadian
- Ahli bedah bertanggung jawab, untuk menjelaskan sifat operasi, semua
pilihan alternatif, hasil yang diperkirakan dan kemungkinan komplikasi
yang dapat terjadi. Ahli bedah mendapatkan dua consent (ijin) satu untuk
prosedur bedah dan satu untuk anestesi. Perawat bertanggung jawab
untuk menentukan pemahaman klien tentang informasi, lalu
memberitahu ahli bedah apakah diperlukan informasi lebih banyak
(informed consent).
Kondisi akut dan kronis :
- Untuk mengkompensasi pengaruh trauma bedah dan anestesi, tubuh
manusia membutuhkan fungsi pernafasan, sirkulasi, jantung, ginjal, hepar
dan hematopoetik yang optimal. Setiap kondisi yang mengganggu fungsi
sistem ini (misalnya: DM, gagal jantung kongestif, PPOM. Anemia,
sirosuis, gagal ginjal) dapat mempengaruhi pemulihan. Disamping itu
faktor lain, misalnya usia lanjut, kegemukan dan penyalahgunaan obat /
alkohol membuat klien lebih rentan terhadap komplikasi.
Pengalaman bedah sebelumnya
- Perawat mengajukan pertanyaan spesifik pada klien tentang pengalaman
pembedahan masa lalu. Informasi yang didapatkandigunakan untuk
meningkatkan kenyamanan (fisik dan psikologis) untuk mencegah
komplikasi serius.
Status Nutrisi
- Status nutrisi klien praoperatif secara langsung mempengaruhi responnya
pada trauma pembedahan dan anestesi. Setelah terjadi luka besar, baik
karena trauma atau bedah, tubuh harus membentuk dan memperbaiki
jaringan serta melindungi diri dari infeksi. Untuk membantu proses ini,
klien harus meningkatkan masukan protein dan karbohidrat dengan
cukup untuk mencegah keseimbangan nitrogen negatif,
hipoalbuminemia, dan penurunan berat badan. Status nutrisi merupakan
akibat masukan tidak adekuat, mempengaruhi metabolik atau
meningkatkan kebutuhan metabolik.
Status cairan dan elektrolit
- Klien dengan gangguan keseimbangan cairan dan elektolit cenderung
mengalami shock, hipotensi, hipoksia, dan disritmia, baik pada
intraoperatif dan pascaoperatif. Fluktuasi valume cairan merupakan
akibat dari penurunan masukan cairan atau kehilangan cairan abnormal.
Status emosi.
- Respon klien, keluarga dan orang terdekat pada tindakan pembedahan
yang direncanakan tergantung pada pengalaman masa lalu, strategi
koping, signifikan pembedahan dan sistem pendukung.
- Kebanyakan klien dengan pembedahan mengalami ancietas dan
ketakutan yang disebabkan penatalaksanaan tindakan operasi, nyeri, dan
immobilitas.

PERIODE PREOPERATIF CARE


Mengkaji kecemasan klien, mengoreksi miskonsepsi tentang pembedahan
dan memberikan informasi yang akurat pada klien
 Type pembedahan
 Jenis anesthesi  TUR – P, general / spina anesthesi
 Cateter : folly cateter, Continuous Bladder Irigation (CBI).
Persiapan operasi lainnya yaitu :
 Pemeriksaan lab. Lengkap : DL, UL, RFT, LFT, pH, Gula darah,
Elektrolit
 Pemeriksaan EKG
 Pemeriksaan Radiologi : BOF, IVP, USG, APG.
 Pemeriksaan Uroflowmetri  Bagi penderita yang tidak memakai
kateter.
 Pemasangan infus dan puasa
 Pencukuran rambut pubis dan lavemen.
 Pemberian Anti Biotik
 Surat Persetujuan Operasi (Informed Concern).

PERIODE INTRAOPERATIF CARE


Pengelolaan Keamanan:
a. Jaminan penghitungan kasa, jarum, instrumen dan alat lain, cocok untuk
pemakaian.
b. Mengatur posisi pasien
- Posisi fungsional
- Membuka daerah untuk operasi
- Mempertahankan posisi selama prosedur.
c. Memasang alat grounding
d. Menyiapkan bantuan fisik
Pemantauan fisiologis
a. Mengkalkulasi pengaruh terhadap pasien akibat kekurangan cairan
b. Membandingkan data normal dan abnormal dari cardiopulmonal.
c. Melaporkan perubahan-perubahan tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan
darah dan RR.)
Pemantauan psikologi sebelum induksi dan bila pasien sadar
a. Menyiapkan bantuan emosional
b. Melanjutkan observasi status emosional
c. Mengkomunikasikan status emosional pasien kepada anggota tim.
Manajemen Keperawatan
a. Menyelamatkan keselamatan fisik pasien.
b. Mempertahankan aseptis pada lingkungan yang terkendali
c. Mengelola dengan efektif sumber daya manusia.
Anggota Tim Fase intraoperatif
a. Tim bedah utama steril
- Ahli bedah utama
- Asisten ahli bedah
- Perawat instrumentator.
b. Tim anestesi:
- Ahli anestesi atau pelaksana anestesi
- Circulating nurse
- Lain-lain (tehnisi, ahli aptologi dll.)
Tugas perawat instrumentator
a. Persiapan pengadaan bahan-bahan dan alat steril yang diperlukan untuk
operasi.
b. Membantu ahli bedah dan asisten bedah waktu melakukan prosedur
c. Pendidikan bagi staf baru yang berkualifikasi bedah
d. Membantu jumlah kebutuhan jarum, pisau bedah, kasa atau instrumen yang
diperlukan untuk prosedur, menurut jumlah yang biasa digunakan. Untuk
pelaksanaan kegiatan yang efektif perawat instrumen harus memiliki
pengetahuan tehnik aseptik yang baik, ketrampilan tangan dan ketangkasan,
stamina fisik, tahan terhadap berbagai desakan, sangat menghayati
kecermatan dan memperhitungkan prilaku yang menuntaskan asuhan pasien
yang optimal.
Tugas Perawat Circulating
Perawat keliling memegang peranan dalam keseluruhan pengelolaan ruang
operasi, perawat ini dipercaya untuk koordinasi semua aktivitas di dalam ruangan
dan harus mengelola asuhan keperawatan yang diperluikan pasien.
PERIODE PEMULIHAN PASCAANESTESI
Trauma bedah dan anestesi mengganggu semua fungsi utama sistem tubuh, tetapi
kebanyakan klien mempunyai kemampuan kompensasi untuk memulihkan
homeostasis. Namun klien tertentu berisiko lebih tinggi untuk mengalami
kompensasi tak efektif terhadap efek merugikan dari pembedahan dan anestesi
pada jantung, sirkulasi, pernafasan dan fungsi lain.
Secara Umum Diagnosa Keperawatan yang muncul pada fase /periode pemulihan
pasca anrestesi adalah :
a. Resiko terhadap aspirasi yang berhubungan dengan samnolen dan
peningkatan sekresi sekunder terhadap intubasi.
b. Ansietas yang berhubungan dengan nyeri sekunder terhadap trauma pada
jaringan dan syaraf.
c. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan samnolen sekunder
terhadap anestesia
d. Resiko terhadap hipotermia yang berhubungan dengan pemaparan pada suhu
ruang operasi yang dingin.
Kriteria umum syarat pasien dipindahkan dari ruang pemulihan pasca anestesi ke
unit perawatan adalah sbb. :
a. Kemampuan memutar kepala
b. Ekstubasi dengan jalan nafas bersih.
c. Sadar, mudah terbangun.
d. Tanda-tanda vital stabil
e. Balutan kering dan utuh
f. Haluaran urine sedikitnya 30 ml/jam.
g. Drain, selang , jalur intravena paten dan berfungsi.
h. Persetujuan ahli anestesi untuk pindah ke ruangan.

PERIODE POSTOPERATIF CARE


Post operatif care pada dasarnya sama seperti pasien lainnya yaitu monitoring
terhadap respirasi, sirkulasi dan kesadaran pasien :
1. Airway : Bebaskan jalan fafas
Posisi kepala ekstensi
Breathing: Memberikan O2 sesuai dengan kebutuhan
Observasi pernafasan
Cirkulasi : mengukur tensi, nadi, suhu tubuh, pernafasan, kesadaran dan
produksi urine pada fase awal (6jam) paska operasi harus
dimonitor setiap jam dan harus dicatat.
Bila pada fase awal stabil, monitor/interval bisa 3 jam sekali
Bila tensi turun, nadi meningkat (kecil), produksi urine merah
pekat harus waspada terjadinya perdarahan  segera cek Hb dan
lapor dokter.
Tensi meningkat dan nadi menurun (bradikardi), kadar natrium
menurun, gelisah atau delir harus waspada terjadinya syndroma
TUR  segera lapor dokter.
Bila produksi urine tidak keluar (menurun) dicari penyebabnya
apakah kateter buntu oleh bekuan darah  terjadi retensi urine
dalam buli-buli  lapor dokter, spoling dengan PZ tetesan
tergantung dari warna urine yang keluar dari Urobag. Bila urine
sudah jernih tetesan spoling hanya maintennens/dilepas dan bila
produksi urine masih merah spoling diteruskan sampai urine
jernih.
Bila perlu Analisa Gas Darah
Apakah terjadi kepucatan, kebiruan.
Cek lab : Hb, RFT, Na/K dan kultur urine.
2. Pemberian Anti Biotika
 Antibiotika profilaksis, diberikan bila hasil kultur urine sebelum operasi
steril. Antibiotik hanya diberikan 1 X pre operasi + 3 – 4 jam sebelum
operasi.
 Antibiotik terapeutik, diberikanpada pasien memakai dower kateter dari
hasil kultur urine positif. Lama pemberian + 2 minggu, mula-mula
diberikan parenteral diteruskan peroral. Setiap melepas kateter harus
diberikan antibiotik profilaksis untuk mencegah septicemia.
3. Perawatan Kateter
Kateter uretra yang dipasang pada pasca operasi prostat yaitu folley kateter 3
lubang (treeway catheter) ukuran 24 Fr.
Ketiga lubang tersebut gunanya :
1. untuk mengisibalon, antara 30 – 40 ml cairan
2. untuk melakukan irigasi/spoling
3. untuk keluarnya cairan (urine dan cairan spoling).
Setelah 6 jam pertama sampai 24 jam kateter tadi biasanya ditraksi dengan
merekatkan ke salah satu paha pasien dengan tarikan berat beban antara 2 – 5
kg. Paha ini tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
Paling lambat pagi harinya traksi harus dilepas dan fiksasi kateter
dipindahkan ke paha bagian proximal/ke arah inguinal agar tidak terjadi
penekanan pada uretra bagian penosskrotal. Guna dari traksi adalah untuk
mencegah perdarahan dari prostat yang diambil mengalir di dalam buli-buli,
membeku dan menyumbat pada kateter.
Bila terlambat melepas kateter traksi, dikemudian hari terjadi stenosis leher
buli-buli karena mengalami ischemia.
Tujuan pemberian spoling/irigasi :
1. Agar jalannya cairan dalam kateter tetap lancar.
2. Mencegah pembuntuan karena bekuan darah menyumbat kateter
3. Cairan yang digunakan spoling H2O / PZ
Kecepatan irigasi tergantung dari warna urine, bila urine merah spoling
dipercepat dan warna urine harus sering dilihat. Mobilisasi duduk dan
berjalan urine tetap jernih, maka spoling dapat dihentikan dan pipa spoling
dilepas.
Kateter dilepas pada hari kelima. Setelah kateter dilepas maka harus
diperhatikan miksi penderita. Bisa atau tidak, bila bisa berapa jumlahnya
harus diukur dan dicatat atau dilakukan uroflowmetri.
Sebab-sebab terjadinya retensio urine lagi setelah kateter dilepas :
1. Terbentuknya bekuan darah
2. Pengerokan prostat kurang bersih (pada TUR) sehingga masih terdapat
obstruksi.

A. TUR – P
Setelah TUR – P klien dipasang tree way folley cateter dengan retensi balon
30 – 40 ml. Kateter di tarik untuk membantu hemostasis
Intruksikan klien untuk tidak mencoba mengosongkan bladder Otot bladder
kontraksi  nyeri spasme
CBI (Continuous Bladder Irigation) dengan normal salin  mencegah
obstruksi atau komplikasi lain CBI – P. Folley cateter diangkat 2 – 3 hari
berikutnya
Ketika kateter diangkat timbul keluhan : frekuensi, dribbling, kebocoran 
normal
Post TUR – P : urine bercampur bekuan darah, tissue debris  meningkat 
intake cairan minimal 3000 ml/hari  membantu menurunkan disuria dan
menjaga urine tetap jernih.

B. OPEN PROSTATECTOMY
Resiko post operative bleeding pada 24 jam pertama oleh karena bladder
spsme atau pergerakan
Monitor out put urine tiap 2 jam dan tanda vital tiap 4 jam
Arterial bleeding  urine kemerahan (saos) + clotting
Venous bleeding  urine seperti anggur  traction kateter
Vetropubic prostatectomy
Observasi : drainage purulent, demam, nyeri meningkat  deep wound
infection, pelvic abcess
Suprapubic prostatectomy
 Perlu Continuous Bladder Irigation via suprapubic  klien
diinstruksikan tetap tidur sampai Continuous Bladder Irigation
dihentikan
 Kateter uretra diangkat hari 3 – 4 post op
 Setelah kateter diangkat, kateter supra pubic di clamp dan klien disuruh
miksi dan dicek residual urine, jika residual urine ± 75 ml, kateter
diangkat
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

PREOPERASI
1. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi urinari,
disuria, inkontinensia, retensi urin, kehilangan fungsi tonus
otot/neurologis
2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan refluk urine dalam VU
3. Nyeri akut berhubungan dengan iritasi mukosa VU
4. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan penyakit BPH
5. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
kemungkinan prosedur bedah
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi.

POSTOPERASI
1. Nyeri akut berhubungan dengan luka insisi jaringan prostat, trauma
pemasangan kateter.
2. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan prosedur pembedahan,
pemasangan kateter.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif,
insisi bedah, dan terbukanya jaringan dengan dunia luar.
4. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ancaman konsep
diri/perubahan status kesehatan setelah pengangkatan prostat.
C. INTERVENSI

PREOPERASI
NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN
1. Perubahan pola Setelah dilakukan tindakan - Kaji pola sebelumnya dan - Memberikan informasi
eliminasi urine keperawatan 3 x 24 jam bandingkan dengan pola mengenai perubahan yang
berhubungan dengan diharapkan pola eliminasi yang sekarang mungkin selanjutnya
obstruksi urinari, lien kembali normal. memerlukan
disuria, inkontinensia, KH : pengkajian/intervensi
- Buat program latihan
retensi urin, kehilangan - Berkemih dengan - Menstimulasi kesadaran
defekasi/kandung kemih.
fungsi tonus jumlah normal klien, meningkatkan
Tingkatkan partisipasi klien
otot/neurologis - Menunjukkan perilaku pengaturan fungsi tubuh dan
sesuai tingkat
yang meningkatkan membantu menghindari
kemampuannya
kontrol kandung kecelakaan
- Hindari perasaan yang
kemih/ urinaria. - Hal tersebut dapat diterima
diburu-buru
sebagai suatu instruksi yang
menimbulkan keadaan marah
dan tidak kooperatif dengan
aktivitas
- Sadari adanya tanda-tanda - Dapat menunjukkan
nonverbal seperti gelisah, dorongan, tidak ada perhatian
memegang diri sendiri, atau terhadap tanda tersebut,
membuka-buka baju dan/atau tidak mampu
menentukan letak kamar
mandi
Kolaborasi:
- Berikan obat pelembek
- Diperlukan untuk
feses, metamacil, gliserin
memfasilitasi/menstimulasi
supositoria sesuai indikasi
defekasi yang teratur
2. Resiko tinggi infeksi Setelah dilakukan tindakan - Catat karakteristik urine - Urine keruh dan bau
berhubungan dengan keperawatan diharapkan dan perhatikan apakah menunjukkan infeksi
refluk urine dalam VU klien tidak mengalami perubahan berhubungan (pielonefritis).
infeksi dengan keluhan nyeri
KH : panggul
- Urine secara normal asam,
- Tidak tampak tanda- - Tes pH urine dengan kertas
yang menghambat
tanda infeksi nitrazin, beritahu dokter
pertumbuhan berkemih/ISK
- Mencapai waktu bila pH lebih dari 6,4
penyembuhan - Ganti balutan sesuai - Drainase basah bertindak
- Menyatakan indikasi, bila memakai sesuai sumbu untuk luka dan
pemahaman terhadap memberikan media untuk
factor resiko pertumbuhan bakteri
- Kaji area lipatan kulit di
- Menunjukkan teknik, - Penggunaan antibiotic dan
lipatan paha, bawah lengan
perubahan pola hidup jebakan lipatan kulit yang
dan payudara
untuk menurunkan lembab merupakan area yang
resiko meningkatkan resiko infeksi
- Awasi tanda vital
- Peninggian suhu
menunjukkan komplikasi
ISK dan/atau pernapasan
- Laporkan penghentian - Drainase konstan 10 hari.
aliran urine tiba-tiba Penghentian tadi dapat
mengindikasikan
pembentukan plag dan
menimbulkan pembentukan
abses
3. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan - Kaji nyeri, perhatikan - Memberikan informasi untuk
berhubungan dengan keperawatan selama 2 x 24 lokasi, intensitas (skala 0- membantu dalam
iritasi mukosa VU jam diharapkan rasa nyeri 10) lamanya menentukan
berkurang dan hilang pilihan/kefektifan intervensi
KH: - Plester selang drainase - Mencegah penarikan
- Melaporkan nyeri pada paha dan kateter pada kandung kemih dan erosi
hilang/timbul abdomen pertemuan penis-skrotal
- Tampak rileks - Pertahankan tirah baring - Tirah baring diperlukan pada
- Mampu untuk awal fase retensi akut.
tidur/istirahat dengan Namun ambulasi dini dapat
tepat. memperbaiki pola berkemih
normal dan menghilangkan
kolik nyeri
- Dorong menggunakan
- Meningkatkan relaksasi otot
rendam duduk, sabun
hangat untuk perineum
Kolaborasi:
- Lakukan masase prostat - Membantu dalam evakuasi
duktus kelenjar untuk
menghilangkan
kongesti/inflamasi.
Kontraindikasi bila infeksi
- Berikan obat sesuai terjadi
indikasi: narkotik (missal: - Untuk menghilangkan nyeri
eperidin) berat, memberikan relaksasi
mental dan fisik

4. Resiko tinggi disfungsi Setelah dilakukan tindakan - Berikan keterbukaan pada - Dapat mengalami ansietas
seksual berhubungan perawatan diharapkan klien pasien/orang terdekat untuk tentang efek bedah dan dapat
dengan penyakit BPH dapat mengatasi masalah membicarakan tentang menyembunyikan pertanyaan
seksual yang dihadapi. masalah inkontinensia dan yang diperlukan. Ansietas
KH : fungsi seksual. dapat kemampuan untuk
- Menyatakan menerima informasi yang
pemahaman tentang diberikan sebelumnya.
- Berikan informasi akurat
situasi individual - Impotensi fisiologis terjadi
tentang harapan
- Menunjukkan bila saraf perineal dipotong
kembalinya fungsi seksual.
keterampilan selama prosedur
penyelesaian masalah radikal.aktivitas seksual
seksual yang dihadapi dapat dilakukan seperti biasa
- Tampak rileks - Diskusikan dasar anatomi. dalam 6-8 minggu.
Jujur dalam menjawab - Saraf pleksus mengontrol
pertanyaan pasien. aliran secara posterior ke
prostat melalui kapsul. Pada
prosedur tidak melibatkan
kapsul prostat, impotens dan
sterilitas biasanya tidak
menjadi konsekuensi.
Prosedur bedah mungkin
tidak memberikan
- Diskusikan ejakulasi
pengobatan permanen, dan
retrograd bila pendekatan
hipertropi dapat berulang.
transuretral/suprapubik
- Cairan seminal mengalir
digunakan.
dalam kandung kemih dan
disekresikan melalui urine.
Ini tidak mempengaruhi

- Instruksikan latihan dan fungsi seksual tetapi akan

interupsi/kontinu aliran menurunkan kesuburan dan

urine. menyebabkan urine keruh.


- Meningkatkan peningkatan
- Rujuk ke penasehat seksual kontrol otot kontinensia
sesuai indikasi. urinaria dan fungsi seksual.
- Masalah menetap/tidak
teratasi memerlukan
intervensi profesional.
5. Ansietas berhubungan Setelah dilakukan tindakan - Selalu ada untuk pasien. - Menunjukkan perhatian dan
dengan kurang keperawatan selama 1 x 24 Buat hubungan saling keinginan untuk membantu
pengetahuan tentang jam diharapkan ansietas percaya dengan pasien / dalam diskusi tentang subyek
kemungkinan prosedur klien hilang/berkurang. orang terdekat sensitif.
bedah KH : - Berikan informasi tentang - Membantu pasien memahami
- Klien tampak rileks prosedur dan tes khusus tujuan dan apa yang
- Klien menyatakan dan apa yang akan terjadi dilakukan dan mengurangi
pengetahuan yang masalah karena
akurat tentang situasi ketidaktahuan termasuk
ketakutan akan kanker.
Namun kelebihan informasi
dapat membantu dan dapat
- Pertahankan perilaku nyata meningkatkan ansietas.
dalam melakukan prosedur/ - Menyatakan penerimaan dan
menerima pasien. Lindungi menghilangkan rasa malu
privasi pasien pasien.
- Dorong pasien atau orang
terdekat untuk - Mendefinisikan masalah,

mengungkapkan perasaan memberikan kesempatan


untuk menjawab
pertanyaaan, memperjelas
kesalahan konsep, dan solusi
- Beri penguatan informasi
pemecahan masalah.
pasien yang telah diberikan
- Memungkinkan pasien untuk
sebelumnya.
menerima kenyataan dan
menguatkan kepercayaan
pada pemberi perawatan dan
pemberian informasi.

6. Kurang pengetahuan Setelah dilakukan tindakan - Kaji ulang proses penyakit - Memberikan dasar
tentang kondisi, keperawatan selama 1 x 24 pengetahuan dimana pasien
prognosis, dan jam diharapkan klien dapat membuat pilihan
kebutuhan pengobatan mengetahui informasi informasi terapi.
- Dorong menyatakan rasa
berhubungan dengan tentang kondisi, prognosis, takut/ perasaan dan - Membantu pasien mengalami
tidak mengenal sumber dan kebutuhan pengobatan perhatian. perasaan dapat merupakan
informasi. KH : - Berikan informasi bahwa rehabilitasi vital.
- Menyatakan kondisi tidak ditularkan - Mungkin merupakan
pemahaman proses secara seksual ketakutan yang tak
penyakit - Bicarakan masalah seksual, dibicarakan.
- Mengidentifikasi contoh bahwa selama - Aktivitas seksual dapat
hubungan tanda gejala periode prostatitis, koitus meningkatkan nyeri selama
proses penyakit dihindari tetapi mungkin episode akut tetapi dapat
- Berpartisipasi dalam membantu dalam memberikan masase pada
program pengobatan pengobatan kondisi kronis. adanya penyakit kronis.
- Berikan informasi tentang
anatomi dasar seksual. - Memiliki informasi tentang

Dorong pertanyaan dan anatomi membantu

tingkatkan dialog tentang memahami implikasi tindak

masalah. lanjut, sesuai dengan efek

- Kaji ulang tanda gejala penampilan seksual.

yang memerlukan evaluasi - Intervensi cepat dapat

medik, contoh urine keruh. mencegah komplikasi yang


Berbau : penurunan serius.
haluaran urine,
ketidakmampuan untuk
berkemih.
- Diskusikan perlunya
- Menurunnya resiko terapi tak
pemberitahuan pada
tepat. Contoh penggunaan
perawat kesehatan lain
dekongestan, antikolinergik,
tentang diagnosa
dan anti depresan
meningkatkan retensi urine
dan dapat mencetuskan
episode akut.

POSTOPERASI
NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan - Kaji nyeri, perhatikan - Nyeri tajam intermiten
dengan luka insisi keperawatan selama 2 x 24 lokasi, intensitas (skala 0- dengan dorongan
jaringan prostat, trauma jam diharapkan nyeri klien 10) berkemih / pasae urine
pemasangan kateter. hilang / berkurang. sekitar kateter
KH : menunjukkan spasme
- Melaporkan nyeri kandung kemih, yang
hilang/terkontrol cenderung lebih berat
- Tampak rileks pada pendekatan
- Dapat istirahat dengan suprapubik atu TUR
tenang / tepat (biasanya menurun
- Pertahankan patensi
setelah 48 jam).
kateter dan sistem
- Mempertahankan fungsi
drainase. Pertahankan
kateter dan drainase
selang bebas dari lekukan
sistem, menentukan
dan bekuan.
resiko distensi/spasme
- Tingkatkan pemasukan
kandung kemih
sampai 3000 ml/hr sesuai
- Menurunkan iritasi
toleransi. dengan mempertahnkan
aliran cairan konstan ke
- Berikan pasien informasi mukosa kandung kemih.
akurat tentang kateter, - Menghilangkan ansietas
drainase dan spasme dan meningkatkan
kandung kemih. kerjasama dengan
- Berikan tindakan prosedur tertentu.
kenyamanan (sentuhan - Menurunkan tegangan
terapeutik, pengubahan otot, memfokuskan
posisi, pijatan punggung) kembali perhatian, dan
dan aktivitas terapeutik dapat meningkatkan
- Dorong penggunaan teknik koping.
relaksasi, contoh pedoman - Membantu pasien untuk
imajinasi, aktivitas istirahat lebih efektif dan
terapeutik. memfokuskan kembali
perhatian, menurunkan
nyeti dan
- Berikan rendam duduk
ketidaknyamanan.
atau lampu penghangat
- Meningkatkan perfusi
bila diindikasikan. jaringan dan perbaikan
edema, dan meningkatkan
penyembuhan
- Berikan antispasmodik
(pendekatan perineal).
 Oksibutinin klorida
(Ditropan);  Merilekskan otot
polos, untuk
memberikan
penurunan spasme
 Propantelin bromida
dan nyeri.
(Pro-Bantanin).
 Menghilangkan
spasme kandung
kemih oleh kerja anti
kolinergik. Biasanya
dihentikan 24-48 jam
sebelum perkiraan
pengangkatan kateter
untuk meningkatkan
kontrol kontraksi
kandung kemih.

2. Perubahan pola eliminasi Setelah dilakukan tindakan - Kaji haluaran urine dan - Retensi dapat terjadi
urine berhubungan keperawatan 3 x 24 jam sistem kateter/drainase, karena edema area bedah,
dengan prosedur diharapkan pola eliminasi khususnya selama irigasi bekuan darah, dan spasme
pembedahan, pemasangan lien kembali normal. kandung kemih kandung kemih.
kateter KH : - Bantu pasien memilih - Mendorong pasase urine
- Berkemih dengan jumlah posisi normal untuk danmeningkatkan rasa
normal berkemih, contoh berdiri, normalitas
- Menunjukkan perilaku berjalan ke kamar mandi,
yang meningkatkan dengan frekuensi sering
kontrol kandung kemih/ setelah kateter dilepas.
- Kateter biasanya dilepas
urinaria. - Perhatikan waktu, jumlah
setelah 2-5 hari setelah
berkemih, dan ukuran
pembedahan, tetapi
aliran setelah kateter
berkemih dapat berlanjut
dilepas.
menjadi masalah untuk
menjadi beberapa waktu
karena edema uretral dan
kehilangan tonus.
- Dorong pasien untuk - Berkemih dengan
berkemih bila terasa dorongan mencegah
dorongan tetapi tidak lebih retensi urine.
dari 2-4 jam per protokol. Keterbatasan berkemih
untuk tiap 4 jam
meningkatkan tonus
kandung kemih dan
membantu latihan ulang
- Ukur volum residu bila ada kandung kemih.
kateter suprapubik. - Mengawasi keefektifan
pengosongan kandung
- Dorong pemasukan cairan kemih.
3000 ml sesuai toleransi. - Mempertahankan hidrasi
Batasi cairan pada malam, adekuat dan perfusi ginjal
setelah kateter dilepas. untuk aliran urine.
Penjadwalan cairn
menurunkan kebutuhan
berkemih/gangguan tidur
- Instruksikan pasien untuk
pasien untuk latihan selama malam hari.
perineal, contoh - Membantu meningkatkan
mengencangkan bokong, kontrol kandung
menghentikan dan kemih/sfingter/urine,
memulai aliran urine. meminimalkan
- Anjurkan pasien bahwa inkontinensia.
“penetasan” diharapkan
setelah kateter dilepas dan - Informasi membantu

harus teratasi sesuai pasien untuk menerima

kemajuan. masalah. Fungsi normal


dapat kembali dalam 2-3
minggu tetapi
memerlukan sampai 8
- Pertahankan irigasi
bulan setelah pendekatan
kandung kemih kontinu
perineal.
(continuoun bledder
- Mencuci kandung kemih
irrrigation) sesuai indikasi
dari bekuan darah dan
pada periode pasca operasi
debris untuk
dini.
mempertahankan patensi
kateter/ aliran urine.
3. Resiko tinggi terhadap Setelah dilakukan tindakan - Pertahankan sistem kateter - Mencegah pemasukan
infeksi berhubungan keperawatan selama pasca steril; berikan perawatan bakteri dan infeksi/sepsis
dengan prosedur invasif, pembedahan diharapkan kateter regular dengan lanjut.
insisi bedah, dan klien tidak mengalami infeksi sabun dan air. Berikan
terbukanya jaringan akibat prosedur pembedahan. salep antibiotik disekitar
dengan dunia luar. KH : sisi kateter.
- Menghindari refleks balik
- Tidak tampak tanda- - Ambulasi dengan kantung
urine, yang dapat
tanda infeksi drainase dependen.
memasukkan bakteri
- Mencapai waktu
kedalam kandung kemih.
penyembuhan
- Awasi tanda vital, - Pasien yang mengalami

perhatikan demam ringan, sistoskopi dan/TUR

menggigil, pernafasan prostat beresiko untuk

cepat, gelisah, peka, syok bedah/septik

disorientasi. sehubungan dengan


manipulasi/instrumentasi.
- Observasi drainase dari - Adanya drain insisi
luka, sekitar kateter suprapubik meningkatkan
suprapubik. resiko untuk infeksi, yang
diindikasikan dengan
eritema, drainase purulen.
- Ganti balutan dengan
- Balutan basah
sering (insisi
menyebabkan kulit iritasi
supra/retropubik dan
dan memberikan media
perineal), pembersihan dan
untuk pertumbuhan
pengeringan kulit
bakteri, peningkatan
sepanjang waktu.
resiko infeksi luka.
- Gunakan pelindung kulit
- Memberikan
tipe ostomi.
perlindungan untuk kulit
sekitar, mencegah
ekskoriasi dan
menurunkan resiko
- Berikan antibiotik sesuai infeksi.
indikasi - Mungkin diberikan secara
profilaktik sehubungan
dengan peningkatan
resiko infeksi pada
prostatektomi.
4. Resiko tinggi disfungsi Setelah dilakukan tindakan - Berikan keterbukaan pada - Dapat mengalami ansietas
seksual berhubungan perawatan diharapkan klien pasien/orang terdekat tentang efek bedah dan
dengan ancaman konsep dapat mengatasi masalah untuk membicarakan dapat menyembunyikan
diri/perubahan status seksual yang dihadapi. tentang masalah pertanyaan yang
kesehatan setelah inkontinensia dan fungsi diperlukan. Ansietas
pengangkatan prostat. KH : seksual. dapat kemampuan untuk
- Menyatakan pemahaman menerima informasi yang
tentang situasi individual diberikan sebelumnya.
- Menunjukkan - Berikan informasi akurat
- Impotensi fisiologis
keterampilan tentang harapan
terjadi bila saraf perineal
penyelesaian masalah kembalinya fungsi seksual.
dipotong selama prosedur
seksual yang dihadapi radikal.aktivitas seksual
- Tampak rileks dapat dilakukan seperti

- Diskusikan dasar anatomi. biasa dalam 6-8 minggu.

Jujur dalam menjawab - Saraf pleksus mengontrol

pertanyaan pasien. aliran secara posterior ke


prostat melalui kapsul.
Pada prosedur tidak
melibatkan kapsul prostat,
impotens dan sterilitas
biasanya tidak menjadi
konsekuensi. Prosedur
bedah mungkin tidak
memberikan pengobatan
- Diskusikan ejakulasi permanen, dan hipertropi
retrograd bila pendekatan dapat berulang.
transuretral/suprapubik - Cairan seminal mengalir
digunakan. dalam kandung kemih
dan disekresikan melalui
urine. Ini tidak
mempengaruhi fungsi
seksual tetapi akan
- Instruksikan latihan dan menurunkan kesuburan
interupsi/kontinu aliran dan menyebabkan urine
urine. keruh.
- Meningkatkan
- Rujuk ke penasehat peningkatan kontrol otot
seksual sesuai indikasi. kontinensia urinaria dan
fungsi seksual.
- Masalah menetap/tidak
teratasi memerlukan
intervensi profesional.
D. EVALUASI
Kreteria yang diharapkan terhadap diagnosis yang berhubungan
dengan obstruksi urinari adalah :
1. Mengatasi obstruksi urine tanpa infeksi atau komplikasi yang permanen
2. Tidak mengalami tekanan atau nyeri berkepanjangan
3. Mengungkapkan penurunan atau tak adanya kecemasan tentang retensio
urine.
4. Menunjukan tingkat fungsi sexual kembali sebagaimana sebelumnya.
LAMPIRAN

GAMBAR PENDERITA BPH


Ada tiga cara pengkuran besarnya hipertropi prostat :
Rectal Grading, yaitu dengan rectal toucher diperkirakan berapa cm prostat yang
menonjol ke dalam lumen rektum yang dilakukan sebaiknya pada saat buli-buli
kosong.
Gradasi ini adalah :
0 - 1 cm : grade 0
1 - 2 cm : grade 1
2 - 3 cm : grade 2
3 - 4 cm : grade 3
> 4 cm : grade 4
Pada grade 3 - 4 batas prostat tidak teraba. Prostat fibrotik, teraba lebih kecil dari
normal.
Clinical Grading, dalam hal ini urine menjadi patokan. Pada pagi hari setelah
bangun pasien disuruh kencing sampai selesai, kemudian di masukan kateter ke
dalam buli-buli untuk mengukur sisa urine.
Sisa urine 0 cc : normal
Sisa urine 0-50 cc : grade 1
Sisa urine 50-150 cc : grade 2
Sisa urine > 150 cc : grade 3
Tidak bisa kencing : grade 4
Intra Uretral Grading, dengan alat perondoskope dengan diukur / dilihat
bebrapa jauh penonjolan lobus lateral ke dalam lumen uretra.
Grade I :
Clinical grading sejak berbulan-bulan, bertahun-tahun, mengeluh kalau kencing
tidak lancar, pancaran lemah, nokturia.
Grade II :
Bila miksi terasa panas, sakit, disuria.
Grade III :
Gejala makin berat
Grade IV :
Buli-buli penuh, disuria, overflow inkontinence. Bila overflow inkontinence
dibiarkan dengan adanya infeksi dapat terjadi urosepsis berat. Pasien menggigil,
panas 40-41° celsius, kesadaran menurun.

INTERNATIONAL PROSTATIC SYMPTOMS SCORE


Tak pernah 1-5 <1-2 1-2 >1-2 Selalu
Kencing tak
0 1 2 3 4 5
tuntas
Sering kencing 0 1 2 3 4 5
Kencing
0 1 2 3 4 5
terputus
Sulit menahan
0 1 2 3 4 5
kencing
Pancaran lemah 0 1 2 3 4 5
Mengejan 0 1 2 3 4 5
Kencing malam Tidak ada 1x 2x 3x 4x 5x
hari 0 1 2 3 4 5
Skor: 0 - 7 gejala ringan
8 - 19 gejala sedang
20-35 gejala berat
(Soedarso, 2002)
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Linda Jual. 1995. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan


(terjemahan). PT EGC: Jakarta.
Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3.
Penerbit buku kedokteran, EGC: Jakarta.
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume
I (terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Hardjowijoto S.1999. Pemeriksaan Sistoskopi. Seksi/Program Studi Urologi
Unair.
Hardjowijoto S. 1999 .Benigna Prostatic Hyperplasia. Airlangga University
Press. Surabaya
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3 jilid kedua. Media
Aesculapius FKUI: Jakarta.
Purnomo, Basuki B. 2000. Dasar – dasar urologi. Malang: CV Infomedika.
R. Sjamsuhidayat, Wim de Jong, 1996. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit
Kedokteran EGC: Jakarta.
Soedarso, M. Adi. 2002. Recent Management Of Benign Prostatic Hyperplasia.
RSUD DR SOEBANDI KLINIK PROSTAT, RS PTP X, JEMBER
KLINIK: Jember.
Soeparman. 1990. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.
Soesanto Wibowo, Puruhito, Setiono Basuki, 2000. Pedoman Teknik Operasi.
Subhan, 2002. Laporan Kasus Asuhan Keperawatan Klien dengan Benign
Prostatic Hyperplasia Tindakan Trans Urethral Resection Prostatic
di Ruang OK GBPT RSUD Dr. Soetomo. Surabaya
Sumartono, M., Gardjito, W., Hardjowijoto, S. 1983. Reseksi Transuretral Pada
Hyperplasia Benigna dari Kelenjar Prostat. Bagian ilmu bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Anda mungkin juga menyukai