Oleh :
7B S1 Keperawatan
Fakultas Kesehatan
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktu nya. Shalawat
beserta salam tak lupa pula kita hadiahkan kepada nabi besar kita yakni nya nabi besar
Muhammad SAW. Yang telah membawa umat nya dari zaman jahiliyah kepada zaman yang
penuh ilmu pengetahuan yang kita rasakan pada saat sekarang ini.
Makalah ini penulis buat untuk melengkapi tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik
mengenai “ Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Benign Prostate Hiperplasia (BPH) ”
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga menjadi ibadah dan
mendapatkan pahala dari Allah SWT. Amin.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca,demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua
dan supaya kita selalu berada di bawah lindungan Allah SWT.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Proses penuaan mempengaruhi berbagai sistem tubuh pada lansia. Seiring masa
penuaan, berbagai fungsi sistem tubuh mengalami degenerasi, baik dari struktur
anatomis, maupun fungsi fisiologis. Salah satu sistem tubuh yang terganggu akibat
proses penuaan adalah sistem genitourinari. Pada sistem genitourinari lansia pria,
masalah yang sering terjadi akibat penuaan, yakni pembesaran kelenjar prostat Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) (DeLaune & Ladner, 2002).
Pembesaran kelenjar prostat, atau disebut dengan BPH (Benign Prostate
Hyperplasia) merupakan salah satu masalah genitouriari yang prevalensi dan insidennya
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Parsons (2010) menjelaskan bahwa BPH
terjadi pada 70 persen pria berusia 60-69 tahun di Amerika Serikat, dan 80 persen pada
pria berusia 70 tahun ke atas. Diperkirakan, pada tahun 2030 insiden BPH akan
meningkat mencapai 20 persen pada pria berusia 65 tahun ke atas, atau mencapai 20 juta
pria (Parsons, 2010).
Di Indonesia sendiri, data Badan POM (2011) menyebutkan bahwa BPH merupakan
penyakit kelenjar prostat tersering kedua, di klinik urologi di Indonesia.
Insiden dan prevalensi BPH cukup tinggi, namun hal ini tidak diiringi dengan
kesadaran masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan maupun penanganan dini
sebelum terjadi gangguan eliminasi urin. Nies dan McEwen (2007) menjelaskan bahwa
pandangan stereotip yang mengatakan pria itu kuat, akan mengarahkan pria untuk
cenderung lebih mengabaikan gejala yang timbul di awal penyakit. Pria akan
menguatkan diri dan menghindari penyebutan “sakit” bagi diri pria itu sendiri.
Sementara, ketika wanita sakit, wanita akan cenderung membatasi kegiatan dan berusaha
mencari perawatan kesehatan. Oleh karena itu, kasus BPH yang terjadi lebih banyak
kasus yang sudah mengalami gangguan eliminasi urin, dan hanya bisa ditangani dengan
prosedur pembedahan.
TURP (Transurethral Resection of the Prostate) merupakan salah satu prosedur
pembedahan untuk mengatasi masalah BPH yang paling sering dilakukan. Rassweiler
(2005) menjelaskan bahwa TURP merupakan representasi gold standard manajemen
operatif pada BPH. TURP memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan prosedur
bedah untuk BPH lainnya. Beberapa kelebihan TURP antara lain prosedur ini tidak
dibutuhkan insisi dan dapat digunakan untuk prostat dengan ukuran beragam, dan lebih
aman bagi pasien yang mempunyai risiko bedah yang buruk (Smeltzer & Bare, 2003).
Oleh karena itulah, prosedur TURP lebih umum digunakan mengatasi masalah
pembesaran kelenjar prostat.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
C. TUJUAN PENULISAN
1) Tujuan Umum
Penulisan makalah ini bertujuan agar mahasiswa mengetahui dan
memahami serta mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien
dengan Benign Prostate Hyperplasia
2) Tujuan Khusus
Agar mahasiswa mengetahui dan memahami tentang :
a. Defenisi Benign Prostate Hyperplasia
D. MANFAAT PENULISAN
1. Menambah pengetahuan dan informasi mengenai asuhan keperawatan pada
pasien dengan Benign Prostate Hyperplasia
2. Merangsang minat pembaca untuk lebih mengetahui asuhan keperawatan
pada pasien dengan Benign Prostate Hyperplasia
3. Mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan Benign
Prostate Hyperplasia
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Anatomi fisiologi
1. Anatomi
Kelenjar prostat merupakan bangunan yang pipih, kerucut dan berorientasi di
bidang koronal. Apeksnya menuju ke bawah dan terletak tepat diatas fasia profunda
dari diafragma urogenital. Permukaan anteriior mengarah pada simfisis dan
dipisahkan jaringan lemak serta vena periprostatika. Pita fibromuskuler anterior
memisahkan jaringan prostat dari ruang preprostatika dan permukaan posteriornya
dipisahkan dari rektum oleh lapisan ganda fasia denonvilliers.
Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20-25 gram dengan ukuran
rata-rata : panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara embriologis terdiri dari
5 lobus yaitu lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah, lobus posterior 1 buah,
lobus lateral 2 buah. Prostat dikelilingi kapsul yang kurang lebih berdiameter 1 mm
terdiri dan serabut fibromuskular yang merupakan tempat perlekatan ligamentum
pubovesikalis. Beberapa ahli membagi prostat menjadi 5 lobus : lobus anterior,
medial, posterior, dan 2 lobus lateral yang mengelilingi uretra.
Kelenjar prostat merupakan organ yang kompleks yang terdiri dari jaringan
glandular dan non glandular, glandular terbagi menjaadi 3 zona besar: sentral
(menempati 25 %), perifeal (menempati 70 %), dan transisional (menempati 5%).
Perbedaan zona-zona ini penting secara klinis karena zona perifeal sangat sering
sebagai tempat asal keganasan, dan zona transisional sebagai tempat asal benigna
prostat hiperplasia.
2. Fisiologi
Kelenjar prostat secara relatif tetap kecil sepanjang kanak-kanak dan mulai
tumbuh pada masa pubertas dibawah stimulus testesteron. Kelenjar ini mencapai
ukuran makasimal pada usia 20 tahun dan tetap dalam kuran ini sampai usia
mendekati 50 tahun. Pada waktu tersebut pada beberapa pria kelenjar tersebut mulai
berdegenerasi bersamaan dengan penurunan pembentukan testosteron oleh testis.
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan bersifat
alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan koagulasi
serta fibrinolin. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar prostat akan
berkontraksi bersama dengan vas deferens dan cairan dari prostat keluar bercampur
dengan segmen yang lainnya.
B. Pengertian
C. Klasifikasi
D. Etiologi
Penyebab pasti BPH belum diketahui. Namun, IAUI (2003) menjelakan bahwa
terdapat banyak faktor yang berperan dalam hiperplasia prostat, seperti usia, adanya
peradangan, diet, serta pengaruh hormonal. Faktor tersebut selanjutnya mempengaruhi
prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang kemudian memicu proliferasi sel
prostat. Selain itu, pembesaran prostat juga dapat disebabkan karena berkurangnya
proses apoptosis. Roehrborn (2011) menjelaskan bahwa suatu organ dapat membesar
bukan hanya karena meningkatnya proliferasi sel, tetapi juga karena berkurangnya
kematian sel.
BPH jarang mengancam jiwa. Namun, keluhan yang disebabkan BPH dapat
menimbulkan ketidaknyamanan. BPH dapat menyebabkan timbulnya gejala LUTS
(lower urinary tract symptoms) pada lansia pria. LUTS terdiri atas gejala obstruksi
(voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptom) yang meliputi: frekuensi berkemih
meningkat, urgensi, nokturia, pancaran berkemih lemah dan sering terputus-putus
(intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis berkemih, dan tahap selanjutnya terjadi
retensi urin (IAUI, 2003).
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab
prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan
E. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang
dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,
antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan
periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut
akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di
perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung
pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah
menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel
kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang
disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra
daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara
garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika
dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat
akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian
detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan
detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa
dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan
sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase
kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor
menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda
gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi
dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan
miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas
setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi
walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi
miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak
dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi
kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis
urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan
iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks
menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
Gambaran tanda dan gejala secara klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua
tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi
melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama
(hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan
waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena
overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum
penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala
antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia),
perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria)
(Mansjoer, 2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
a) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis.
b) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa
ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa Tanda dan gejala dari
BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-
anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan saat berkemih,
aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine
akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
a) Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
Grade 0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.
Grade 1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.
Grade 2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.
Grade 3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.
Grade 4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum.
b) Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
Normal : Tidak ada sisa
Grade I : sisa 0-50 cc
Grade II : sisa 50-150 cc
Grade III : sisa > 150 cc
Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.
G. Pemeriksaan diagnostik
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit,
sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan
adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran
kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari
fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak
perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen
density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15,
sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
2. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua
defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya
menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan
pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT,
BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan
sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi
buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus
urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai
tanda metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal.
Dari Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis
dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika urinaria, residu urin. Dari
USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu
urin dan batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah terlihat
bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat /mengetahui fungsi
ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum,
sementara dan sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat
adanya tumor, divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat
adanya refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.
H. Penatalaksanaan
1. Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung
pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a) Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti
alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap
keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun
kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b) Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c) Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam
1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat
dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d) Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari
retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi
definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat
penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH
dapat dilakukan dengan:
a) Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi
kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok
dubur.
b) Medikamentosa
Mengharnbat adrenoreseptor α
Obat anti androgen
Penghambat enzim α -2 reduktase
Fisioterapi
c) Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi
ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih,
hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat
melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada
kandung kemih.
Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen
bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung
kemih.
Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi
diantara skrotum dan rektum.
Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula
seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada
abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih
pada kanker prostat.
d) Terapi Invasif Minimal
Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan
ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung
kateter.
Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
2. Keperawatan
a. Pre operasi
Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah, CT,
BT, AL)
Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan lansia
Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax
Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam. Sebelum
pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen
puasa minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk meminimalkan
masuknya udara
b. Post operasi
1. Irigasi/Spoling dengan Nacl
Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit
Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
Hari ke 4 post operasi diklem
Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah
(urin dalam kateter bening)
2. Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah
(cairan serohemoragis < 50cc)
3. Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi
selama 2 hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum dengan
baik obat injeksi bisa diganti dengan obat oral.
4. Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post
operasi
5. Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi
dengan betadin
6. Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
7. DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
8. Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
9. Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
10. Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan
untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih
dan perdarahan dari uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat
melemaskan otot polos dapat membantu mengilangkan spasme.
Kompres hangat pada pubis dapat membantu menghilangkan spasme.
11. Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan
tapi tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan
abdomen, perdarahan
12. Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol
berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai
kontrol berkemih.
13. Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan
kemudian jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah
pembedahan.
14. Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan
sejumlah bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena
tampak lebih gelap dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi dengan
memasang traksi pada kateter sehingga balon yang menahan kateter
pada tempatnya memberikan tekannan pada fossa prostatik.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian keperawatan
B. Penyimpangan KDM
C. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan kasus Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah sebagai berikut :
1. Pre operasi
Nyeri akut
Cemas
Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
Kerusakan eleminasi urin
2. Post operasi
Nyeri akut
Resiko infeksi
Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan
Defisit perawatan diri
D. Intervensi Keperawatan
Pre Operasi
Faktor yang
berhubungan :
Ketidakmampuan
pemasukan atau mencerna
makanan atau
mengabsorpsi zat-zat gizi
berhubungan dengan
faktor biologis, psikologis
atau ekonomi.
Post Operasi
1.
1 Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan 1. Manajemen Nyeri
keperawatan selama ….x 24 jam, Definisi : perubahan atau pengurangan nyeri ke tingkat
Definisi : Sensori dan klien dapat: kenyamanan yang dapat diterima pasien
pengalaman emosional 1. Mengontol nyeri
yang tidak menyenangkan Intervensi:
Definisi : tindakan seseorang untuk
yang timbul dari mengontrol nyeri. 1. Kaji secara menyeluruh tentang nyeri, meliputi: lokasi,
kerusakan jaringan aktual Indikator: karakteristik,waktu kejadian, lama, frekuensi, kualitas,
atau potensial, muncul Mengenal faktor-faktor penyebab intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor pencetus
tiba-tiba atau lambat Mengenal onset/waktu kejadian 2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan,
dengan intensitas ringan nyeri khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara
sampai berat dengan akhir efektif
Tindakan pertolongan non-
yang bisa diantisipasi atau 3. Berikan analgetik sesuai dengan anjuran
analgetik
diduga dan berlangsung 4. Gunakan komunkasi terapeutik agar klien dapat
Menggunakan analgetik
kurang dari 6 bulan. mengekspresikan nyeri
Melaporkan gejala-gejala kepada 5. Kaji latar belakang budaya klien
Batasan karakteristik :
tim kesehatan (dokter, perawat) 6. Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas hidup:
Laporan secara verbal
atau non verbal adanya Nyeri terkontrol pola tidur, nafsu makan, aktifitas mood, hubungan, pekerjaan,
nyeri tanggungjawab peran
Fakta dari observasi Keterangan: 7. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga dengan
Posisi untuk 1 = tidak pernah dilakukan nyeri kronis
menghindari nyeri 2 = jarang dilakukan 8. Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
Gerakan melindungi 3 = kadang-kadang dilakukan yang telah digunakan
Tingkah laku berhati- 9. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
4 = sering dilakukan
hati 10. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa
5 = selalu dilakukan lama terjadi, dan tindakan pencegahan
Muka topeng
Gangguan tidur (mata 11. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
sayu, tampak capek, respon klien terhadap ketidaknyamanan (contoh : temperatur
2. Menunjukkan tingkat nyeri ruangan, penyinaran, dll)
sulit atau gerakan Definisi : tingkat keparahan dari 12. Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
kacau, menyeringai) nyeri yang dilaporkan atau 13. Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (ex: relaksasi,
Terfokus pada diri ditunjukan guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin,
sendiri Indikator: massase)
Fokus menyempit Melaporkan nyeri 14. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri yang
(penurunan persepsi Frekuensi nyeri telah digunakan
waktu, kerusakan
Lamanya episode nyeri 15. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
proses berpikir,
Ekspresi nyeri: wajah 16. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa
penurunan interaksi
Posisi melindungi tubuh lama terjadi, dan tindakan pencegahan
dengan orang dan
Kegelisahan 17. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
lingkungan)
Perubahan Respirasirate respon klien terhadap ketidaknyamanan (contoh : temperatur
Tingkah laku distraksi, ruangan, penyinaran, dll)
contoh : jalan-jalan, Perubahan Heart Rate
Perubahan tekanan Darah 18. Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
menemui orang lain 19. Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (ex: relaksasi,
dan/atau aktivitas, Perubahan ukuran Pupil
guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin,
aktivitas berulang- Perspirasi
massase)
ulang) Kehilangan nafsu makan 20. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
Respon autonom 21. Modifikasi tindakan mengontrol nyeri berdasarkan respon
(seperti diaphoresis, Keterangan:
klien
perubahan tekanan 1 : berat 22. Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
darah, perubahan nafas, 2 : agak berat 23. Anjurkan klien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri
nadi dan dilatasi pupil) 3 : sedang secara tepat
Perubahan autonomic 4 : sedikit 24. Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi
dalam tonus otot keluhan
5 : tidak ada
(mungkin dalam 25. Informasikan kepada tim kesehatan lainnya/anggota keluarga
rentang dari lemah ke saat tindakan nonfarmakologi dilakukan, untuk pendekatan
kaku) preventif
Tingkah laku ekspresif 26. monitor kenyamanan klien terhadap manajemen nyeri
(contoh : gelisah,
merintih, menangis, 2. Pemberian Analgetik
Definisi : penggunaan agen farmakologi untuk mengurangi
atau menghilangkan nyeri.
Intervensi:
Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas,dan
keparahan sebelum pengobatan
Berikan obat dengan prinsip 5 benar
Cek riwayat alergi obat
Libatkan klien dalam pemilhan analgetik yang akan
digunakan
Pilih analgetik secara tepat /kombinasi lebih dari satu
analgetik jika telah diresepkan
Tentukan pilihan analgetik (narkotik, non narkotik,
NSAID) berdasarkan tipe dan keparahan nyeri
Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan sesudah pemberian
analgetik
Monitor reaksi obat dan efeksamping obat
Dokumentasikan respon dari analgetik dan efek-efek yang
tidak diinginkan
Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek
analgetik (konstipasi/iritasi lambung)
3. Manajemen lingkungan : kenyamanan
Definisi : memanipulasi lingkungan untuk kepentingan
terapeutik
Intervensi :
Pilihlah ruangan dengan lingkungan yang tepat
Batasi pengunjung
Tentukan hal-hal yang menyebabkan ketidaknyamanan
seperti pakaian lembab
Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
Tentukan temperatur ruangan yang paling nyaman
Sediakan lingkungan yang tenang
Perhatikan hygiene pasien untuk menjaga kenyamanan
Atur posisi pasien yang membuat nyaman.
Keterangan:
1 : Tidak pernah menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang-kadang menunjukkan 3. Manajemen Nutris
4 : Sering menunjukkan Definisi : membantu dengan memberikan diet makanan dan cairan
5 : Selalu menunjukkan yang seimbang.
Intervensi :
3. Status nutrisi yang baik,
Definisi : Nutrisi cukup untuk 1. Tanyakan pada klien tentang alergi terhadap makanan
memenuhi kebutuhan metabolisme 2. Tanyakan makanan kesukaan klien
tubuh 3. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang jumlah kalori dan
Indikator : nutrisi yang dibutuhkan
Masukan nutrisi 4. Anjurkan masukan kalori yang tepat yang sesuai dengan
gaya hidup
Masukan makanan dan cairan
5. Anjurkan peningkatan masukan zat besi yang sesuai
Tingkat energi cukup
6. Anjurkan peningkatan masukan protein dan vitamin C
Berat badan stabil
Nilai laboratorium 7. Anjurkan untuk banyak makan buah dan minum
8. Pastikan diit tidak menyebabkan konstipasi
Keterangan: 9. Berikan klien diit tinggi protein, tinggi kalori
1 : Sangat bermasalah
2 : Cukup bermasalah
3 : Masalah sedang
4 : Sedikit bermasalah
5 : Tidak ada masalah
Keterangan :
1 : Tidak pernah
2 : Terbatas
3 : Sedang
4 : Luas
5 : Sangat luas
4 Defisit Perawatan Diri Setelah dilakukan asuhan 1. Bantu dalam perawatan diri (mandi, berpakaian,
(kurang perawatan diri : keperawatan selama … x 24 jam, berhias, makan, toileting)
mandi, berpakaian, klien mampu melakukan perawatan Definisi : membantu pasien untuk memenuhi ADL
makan, dan toileting) diri: Activities of Daily Living
Intervensi :
Definisi : Gangguan (ADL), dengan indikator: 1. Monitor kemempuan klien untuk perawatan diri yang
kemampuan untuk makan mandiri.
melakukan ADL pada diri berpakaian 2. Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu untuk
toileting kebersihan diri, berpakaian, berhias, toileting dan makan.
Batasan karakteristik : mandi 3. Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk
ketidakmampuan untuk berhias melakukan self-care.
hygiene 4. Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang
mandi, ketidakmampuan
oral hygiene normal sesuai kemampuan yang dimiliki.
untuk berpakaian, 5. Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi beri
ketidakmampuan untuk ambulasi: berjalan
ambulasi: wheelchair bantuan ketika klien tidak mampu melakukannya.
makan, ketidakmampuan 6. Ajarkan klien/ keluarga untuk mendorong kemandirian,
transfer performance
untuk toileting untuk memberikan bantuan hanya jika pasien tidak
mampu untuk melakukannya.
Keterangan:
Faktor yang 7. Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai kemampuan.
1: bergantung total 8. Pertimbangkan usia klien jika mendorong pelaksanaan
berhubungan :
kelemahan, kerusakan 2 : dibantu orang dan alat aktivitas sehari-hari.
kognitif atau perceptual, 3 ; dibantu orang
kerusakan neuromuskular/ 4 : dibantu alat
otot-otot saraf. 5: mandiri
DAFTAR PUSTAKA
1. Carpenito, L. J., (2000), Buku saku diagnosa keperawatan, Edisi 8. EGC : Jakarta.
2. Corwin, E. J., (2009), Buku saku pathofisiologi. Edisi 3. EGC: Jakarta.
3. DeLaune & Ladner. (2002). Fundamental of nursing: Standards and practice. New
York: Delmar.
4. Doenges, M. E., Moorhous, M. F., & Geissler, A. C., (1999), Rencana asuhan
keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien.
Edisi 3. EGC: Jakarta.
5. IAUI (Ikatan Ahli Urologi Indonesia). (2003). Pedoman penatalaksanaan BPH di
Indonesia. Style sheet: www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf. (Diunduh pada 17 Februari
2015).
6. Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2010). Profil penduduk lansia 2009.
Komnas Lansia: Jakarta
7. Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2009). Lampu kuning ledakan kaum
renta. Style sheet: http://www.komnaslansia.or.id/modules.php?
name=News&file=article&sid =26. (Diunduh 16 Februari 2015)
8. Mansjoer, A., dkk, (2000), Kapita selekta kedokteran, Edisi Jilid 2, Media
Aesculapius, Jakarta.
9. Nies, M.A. & McEwen, M. (2007). Community / publuc helath nursing: Promoting
the health of populations. (4th edition). St Lois: Saunders Elsevier
10. Parsons, J.K. (2010). Benign prostatic hyperplasia and male lower urinary tract
symptoms: Epidemiology and risk factors. Springer Journal, Curr Bladder Dysfunct
Rep, 5:212–218.
11. Purnomo, B. B., (2000), Dasar-dasar urologi. CV Info Medika: Jakarta.
12. Putra, R.A. (2012). 2020, Lansia Indonesia lebih banyak hidup di kota. Style sheet:
http://mizan.com/news_det/2020-lansia-indonesia-lebih-banyakhidup-di-kota.html.
(Diunduh 16 Februari 2015).
13. Roehrborn, C. G., & McConnell, J. D. (2011). Benign prostatic hyperplasia: etiology,
pathophysiology, epidemiology, and natural history. CampbellWalsh Urology. (10th
ed). Philadelphia: Saunders Elsevier.
14. Sjamsuhidajat, R., & Jong, de.W. (2005). Buku ajar ilmu bedah (Edisi 2). EGC. (Hal
782–786): Jakarta
15. Smeltzer S.C., & Bare, B.G. (2003). Brunner & Suddarth’s textbook of medical
surgical nursing. (10th Ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
16. Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community and public health nursing. Missouri:
Mosby
17. Wilkinson M. Judith & Ahern R. Nancy. 2011. Buku saku diagnosis keperawatan.
Edisi 9. EGC : Jakarta