Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA

Disusun untuk memenuhi nilai mata kuliah Keperawatan Gerontik

Dosen Pengampu Wasis Eko Kurniawan, S.Kep., Ns., MPH

Oleh :

Farhan Fawwaz (180103034)

7B S1 Keperawatan

Program Studi Keperawatan Program Sarjana

Fakultas Kesehatan

Universitas Harapan Bangsa Purwokerto


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktu nya. Shalawat
beserta salam tak lupa pula kita hadiahkan kepada nabi besar kita yakni nya nabi besar
Muhammad SAW. Yang telah membawa umat nya dari zaman jahiliyah kepada zaman yang
penuh ilmu pengetahuan yang kita rasakan pada saat sekarang ini.

Makalah ini penulis buat untuk melengkapi tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik
mengenai “ Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Benign Prostate Hiperplasia (BPH) ”

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga menjadi ibadah dan
mendapatkan pahala dari Allah SWT. Amin.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca,demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua
dan supaya kita selalu berada di bawah lindungan Allah SWT.

Purwokerto, Desember 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan

Proses penuaan mempengaruhi berbagai sistem tubuh pada lansia. Seiring masa
penuaan, berbagai fungsi sistem tubuh mengalami degenerasi, baik dari struktur
anatomis, maupun fungsi fisiologis. Salah satu sistem tubuh yang terganggu akibat
proses penuaan adalah sistem genitourinari. Pada sistem genitourinari lansia pria,
masalah yang sering terjadi akibat penuaan, yakni pembesaran kelenjar prostat Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) (DeLaune & Ladner, 2002).
Pembesaran kelenjar prostat, atau disebut dengan BPH (Benign Prostate
Hyperplasia) merupakan salah satu masalah genitouriari yang prevalensi dan insidennya
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Parsons (2010) menjelaskan bahwa BPH
terjadi pada 70 persen pria berusia 60-69 tahun di Amerika Serikat, dan 80 persen pada
pria berusia 70 tahun ke atas. Diperkirakan, pada tahun 2030 insiden BPH akan
meningkat mencapai 20 persen pada pria berusia 65 tahun ke atas, atau mencapai 20 juta
pria (Parsons, 2010).
Di Indonesia sendiri, data Badan POM (2011) menyebutkan bahwa BPH merupakan
penyakit kelenjar prostat tersering kedua, di klinik urologi di Indonesia.
Insiden dan prevalensi BPH cukup tinggi, namun hal ini tidak diiringi dengan
kesadaran masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan maupun penanganan dini
sebelum terjadi gangguan eliminasi urin. Nies dan McEwen (2007) menjelaskan bahwa
pandangan stereotip yang mengatakan pria itu kuat, akan mengarahkan pria untuk
cenderung lebih mengabaikan gejala yang timbul di awal penyakit. Pria akan
menguatkan diri dan menghindari penyebutan “sakit” bagi diri pria itu sendiri.
Sementara, ketika wanita sakit, wanita akan cenderung membatasi kegiatan dan berusaha
mencari perawatan kesehatan. Oleh karena itu, kasus BPH yang terjadi lebih banyak
kasus yang sudah mengalami gangguan eliminasi urin, dan hanya bisa ditangani dengan
prosedur pembedahan.
TURP (Transurethral Resection of the Prostate) merupakan salah satu prosedur
pembedahan untuk mengatasi masalah BPH yang paling sering dilakukan. Rassweiler
(2005) menjelaskan bahwa TURP merupakan representasi gold standard manajemen
operatif pada BPH. TURP memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan prosedur
bedah untuk BPH lainnya. Beberapa kelebihan TURP antara lain prosedur ini tidak
dibutuhkan insisi dan dapat digunakan untuk prostat dengan ukuran beragam, dan lebih
aman bagi pasien yang mempunyai risiko bedah yang buruk (Smeltzer & Bare, 2003).
Oleh karena itulah, prosedur TURP lebih umum digunakan mengatasi masalah
pembesaran kelenjar prostat.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :

1. Apa defenisi Benign Prostate Hyperplasia ?


2. Apa etiologi Benign Prostate Hyperplasia ?
3. Apa gejala Benign Prostate Hyperplasia ?
4. Bagaimana pastofisiologi Benign Prostate Hyperplasia ?
5. Bagaimana pemerikasaan diagnostik/penunjang Benign Prostate
Hyperplasia ?

6. Apa komplikasi Benign Prostate Hyperplasia ?


7. Bagaimana penatalaksanaan Benign Prostate Hyperplasia ?
8. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan Benign Prostate
Hyperplasia?

C. TUJUAN PENULISAN
1) Tujuan Umum
Penulisan makalah ini bertujuan agar mahasiswa mengetahui dan
memahami serta mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien
dengan Benign Prostate Hyperplasia
2) Tujuan Khusus
Agar mahasiswa mengetahui dan memahami tentang :
a. Defenisi Benign Prostate Hyperplasia

b. Etiologi Benign Prostate Hyperplasia

c. Gejala Benign Prostate Hyperplasia

d. Pastofisiologi Benign Prostate Hyperplasia

e. Pemerikasaan diagnostik/penunjang Benign Prostate Hyperplasia


f. Komplikasi Benign Prostate Hyperplasia

g. Penatalaksanaan Benign Prostate Hyperplasia

h. Asuhan keperawatan pada pasien dengan Benign Prostate Hyperplasia

D. MANFAAT PENULISAN
1. Menambah pengetahuan dan informasi mengenai asuhan keperawatan pada
pasien dengan Benign Prostate Hyperplasia
2. Merangsang minat pembaca untuk lebih mengetahui asuhan keperawatan
pada pasien dengan Benign Prostate Hyperplasia
3. Mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan Benign
Prostate Hyperplasia

BAB II

TINJAUAN TEORI
A. Anatomi fisiologi

1. Anatomi
Kelenjar prostat merupakan bangunan yang pipih, kerucut dan berorientasi di
bidang koronal. Apeksnya menuju ke bawah dan terletak tepat diatas fasia profunda
dari diafragma urogenital. Permukaan anteriior mengarah pada simfisis dan
dipisahkan jaringan lemak serta vena periprostatika. Pita fibromuskuler anterior
memisahkan jaringan prostat dari ruang preprostatika dan permukaan posteriornya
dipisahkan dari rektum oleh lapisan ganda fasia denonvilliers.
Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20-25 gram dengan ukuran
rata-rata : panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara embriologis terdiri dari
5 lobus yaitu lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah, lobus posterior 1 buah,
lobus lateral 2 buah. Prostat dikelilingi kapsul yang kurang lebih berdiameter 1 mm
terdiri dan serabut fibromuskular yang merupakan tempat perlekatan ligamentum
pubovesikalis. Beberapa ahli membagi prostat menjadi 5 lobus : lobus anterior,
medial, posterior, dan 2 lobus lateral yang mengelilingi uretra.
Kelenjar prostat merupakan organ yang kompleks yang terdiri dari jaringan
glandular dan non glandular, glandular terbagi menjaadi 3 zona besar: sentral
(menempati 25 %), perifeal (menempati 70 %), dan transisional (menempati 5%).
Perbedaan zona-zona ini penting secara klinis karena zona perifeal sangat sering
sebagai tempat asal keganasan, dan zona transisional sebagai tempat asal benigna
prostat hiperplasia.

Gambar: Pembesaran Prostat


Uretra dan verumontanium dapat dipakai sebagai patokan untuk prostat.
Bagian proksimal uretra membentang melalui 1/3 bagian depan prostat dan
bersinggungan dengan kelenjar periutheral dan sfingter preprostatik. Pada tingkat
veromontanium, urethra membentuk sudut anterior 350 dan urethra pars prostatika
distal bersinggung dengan zona perifal. Volume zona sentral adalah yang terbesar
pada individu muda, tapi dengan bertambahnya usia zona ini atrofi secara progresif.
Sebaliknya zona transisional membesar dengan membentuk benigna prostat
hiperplasia.
Mc. Neal Melakukan analisa komparatif tentang zona prostat melalui potongan
sagital, koronal dan koronal obliq yaitu :
a. Stroma fibromuskular anterior
Merupakan lembaran tebal yang menutupi seluruh permukaan anterior
prostat. Lembaran ini merupakan kelanjutan dari lembaran otot polos disekitar
urethra proksial pada leher buli, dimana lembaran ini bergabung dengan spinkter
interna dan otot detrusor dari tempat dimana dia berasal. Dekat apeks otot polos
ini bergabung dengan striata yang mempunyai peranan sebagai spinkter eksterna.
b. Zona perifer
Merupakan bagian terbesar dari prostat. Zona ini terdiri atas 65-67 % dari
seluruh jaringan prostat. Hampir semua karsinoma berasal dari zona ini.
c. Zona Sentral
Zona sentral mengelingi ductus ejakularis secra penuh diatas dan dibelakang
verumontanium. Mc. Neal membedakan zona ini sentral dan zona perifer
berdasarkan arsitektur sel dan sitologinya.
d. Zona transisional
Merupakan sekelompok kecil ductus yang berasal dari suatu titik pertemuan
urethra proksimal dan distal. Besarnya 5 % dari seluruh massa prostat. Pada zona
ini asiner banyak mengalami proliferasi dibandingkan ductus periurethra lainnya.

2. Fisiologi
Kelenjar prostat secara relatif tetap kecil sepanjang kanak-kanak dan mulai
tumbuh pada masa pubertas dibawah stimulus testesteron. Kelenjar ini mencapai
ukuran makasimal pada usia 20 tahun dan tetap dalam kuran ini sampai usia
mendekati 50 tahun. Pada waktu tersebut pada beberapa pria kelenjar tersebut mulai
berdegenerasi bersamaan dengan penurunan pembentukan testosteron oleh testis.
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan bersifat
alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan koagulasi
serta fibrinolin. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar prostat akan
berkontraksi bersama dengan vas deferens dan cairan dari prostat keluar bercampur
dengan segmen yang lainnya.

B. Pengertian

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dapat didefinisikan sebagai pembesaran


kelenjar prostat yang memanjang ke atas, ke dalam kandung kemih, yang menghambat
aliran urin, serta menutupi orifisium uretra (Smeltzer & Bare, 2003). Secara patologis,
BPH dikarakteristikkan dengan meningkatnya jumlah sel stroma dan epitelia pada bagian
periuretra prostat. Peningkatan jumlah sel stroma dan epitelia ini disebabkan adanya
proliferasi atau gangguan pemrograman kematian sel yang menyebabkan terjadinya
akumulasi sel (Roehrborn, 2011).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.
Price&Wilson (2005).
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang
keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi
orifisium uretra.

C. Klasifikasi

Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De jong (2005)


secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan
penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml
2. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas
atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
3. Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak
dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total

D. Etiologi

Penyebab pasti BPH belum diketahui. Namun, IAUI (2003) menjelakan bahwa
terdapat banyak faktor yang berperan dalam hiperplasia prostat, seperti usia, adanya
peradangan, diet, serta pengaruh hormonal. Faktor tersebut selanjutnya mempengaruhi
prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang kemudian memicu proliferasi sel
prostat. Selain itu, pembesaran prostat juga dapat disebabkan karena berkurangnya
proses apoptosis. Roehrborn (2011) menjelaskan bahwa suatu organ dapat membesar
bukan hanya karena meningkatnya proliferasi sel, tetapi juga karena berkurangnya
kematian sel.
BPH jarang mengancam jiwa. Namun, keluhan yang disebabkan BPH dapat
menimbulkan ketidaknyamanan. BPH dapat menyebabkan timbulnya gejala LUTS
(lower urinary tract symptoms) pada lansia pria. LUTS terdiri atas gejala obstruksi
(voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptom) yang meliputi: frekuensi berkemih
meningkat, urgensi, nokturia, pancaran berkemih lemah dan sering terputus-putus
(intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis berkemih, dan tahap selanjutnya terjadi
retensi urin (IAUI, 2003).
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab
prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan
E. Patofisiologi

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang
dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,
antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan
periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut
akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di
perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung
pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah
menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel
kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang
disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra
daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara
garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika
dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat
akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian
detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan
detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa
dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan
sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase
kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor
menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda
gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi
dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan
miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas
setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi
walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi
miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak
dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi
kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis
urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan
iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks
menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

F. Tanda dan gejala

Gambaran tanda dan gejala secara klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua
tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi
melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama
(hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan
waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena
overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum
penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala
antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia),
perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria)
(Mansjoer, 2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
a) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis.
b) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa
ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa Tanda dan gejala dari
BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-
anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan saat berkemih,
aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine
akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
a) Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
 Grade 0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.
 Grade 1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.
 Grade 2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.
 Grade 3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.
 Grade 4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum.
b) Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
 Normal : Tidak ada sisa
 Grade I : sisa 0-50 cc
 Grade II : sisa 50-150 cc
 Grade III : sisa > 150 cc
 Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.

G. Pemeriksaan diagnostik
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit,
sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan
adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran
kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari
fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak
perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen
density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15,
sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
2. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua
defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya
menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan
pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT,
BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan
sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi
buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus
urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai
tanda metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal.
Dari Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis
dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika urinaria, residu urin. Dari
USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu
urin dan batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah terlihat
bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat /mengetahui fungsi
ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum,
sementara dan sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat
adanya tumor, divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat
adanya refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.

H. Penatalaksanaan

1. Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung
pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a) Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti
alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap
keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun
kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b) Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c) Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam
1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat
dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d) Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari
retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi
definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat
penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH
dapat dilakukan dengan:
a) Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi
kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok
dubur.
b) Medikamentosa
 Mengharnbat adrenoreseptor α
 Obat anti androgen
 Penghambat enzim α -2 reduktase
 Fisioterapi
c) Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi
ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih,
hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
 TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat
melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
 Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada
kandung kemih.
 Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen
bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung
kemih.
 Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi
diantara skrotum dan rektum.
 Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula
seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada
abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih
pada kanker prostat.
d) Terapi Invasif Minimal
 Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan
ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung
kateter.
 Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
 Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
2. Keperawatan
a. Pre operasi
 Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah, CT,
BT, AL)
 Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan lansia
 Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax
 Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam.  Sebelum
pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen
puasa minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk meminimalkan
masuknya udara
b. Post operasi
1. Irigasi/Spoling dengan Nacl
 Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
 Hari pertama post operasi  : 60 tetes/menit
 Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
 Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
 Hari ke 4 post operasi diklem
 Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah
(urin dalam kateter bening)
2. Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah
(cairan serohemoragis < 50cc)
3. Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi
selama 2 hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum dengan
baik obat injeksi bisa diganti dengan obat oral.
4. Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post
operasi
5. Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi
dengan betadin
6. Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
7. DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
8. Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
9. Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
10. Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan
untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih
dan perdarahan dari uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat
melemaskan otot polos dapat membantu mengilangkan spasme.
Kompres hangat pada pubis dapat membantu menghilangkan spasme.
11. Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan
tapi tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan
abdomen, perdarahan
12. Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol
berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai
kontrol berkemih.
13. Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan
kemudian jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah
pembedahan.
14. Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan
sejumlah bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena
tampak lebih gelap dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi dengan
memasang traksi pada kateter sehingga balon yang menahan kateter
pada tempatnya memberikan tekannan pada fossa prostatik.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian keperawatan

Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan.


Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :
1. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus
preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh
karena efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering
dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume
cairan.
2. Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya
karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari
tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
3. Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh
pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin,
aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih,
nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi
karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi
drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna
urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan
dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan
bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya
konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena protrusi prostat ke dalam
rektum, sedangkan pada postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan
makanan.
4. Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada
postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat
badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan
maupun nutrisinya.
5. Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang
utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada
pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan
kuat, nyeri punggung bawah.
6. Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak
luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari
segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan
adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam
(pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga
adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran
perkemihannya.
7. Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami
masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut
inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat
ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
8. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun
postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin,
urologi., urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan
pada postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas
dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.

B. Penyimpangan KDM
C. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan kasus Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah sebagai berikut :
1. Pre operasi
 Nyeri akut
 Cemas
 Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
 Kerusakan eleminasi urin
2. Post operasi
 Nyeri akut
 Resiko infeksi
 Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan
 Defisit perawatan diri
D. Intervensi Keperawatan

Pre Operasi

No Diagnosa keperawatan Tujuan Intervensi Keperawatan

1 Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan 1. Manajemen Nyeri


keperawatan selama ….x 24 Definisi : perubahan atau pengurangan nyeri ke tingkat
Definisi : Sensori dan jam, klien dapat: kenyamanan yang dapat diterima pasien
pengalaman emosional Intervensi:
1. Mengontol nyeri 1. Kaji secara menyeluruh tentang nyeri, meliputi: lokasi,
yang tidak menyenangkan
Definisi : tindakan seseorang karakteristik, waktu kejadian, lama, frekuensi, kualitas,
yang timbul dari untuk mengontrol nyeri intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor pencetus
kerusakan jaringan aktual Indikator: 2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan,
atau potensial, muncul  Mengenal faktor-faktor khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara
tiba-tiba atau lambat penyebab efektif
dengan intensitas ringan Mengenal onset/waktu kejadian 3. Berikan analgetik sesuai dengan anjuran
sampai berat dengan akhir nyeri 4. Gunakan komunikasi terapeutik agar klien dapat
yang bisa diantisipasi atau  tindakan pertolongan non- mengekspresikan nyeri
analgetik 5. Kaji latar belakang budaya klien
diduga dan berlangsung
 Menggunakan analgetik 6. Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas
kurang dari 6 bulan. hidup: pola tidur, nafsu makan, aktifitas mood, hubungan,
 melaporkan gejala-gejala
kepada tim kesehatan pekerjaan, tanggungjawab peran
Faktor yang 7. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri,  keluarga dengan
(dokter, perawat)
berhubungan : Agen nyeri kronis
 nyeri terkontrol
injuri (biologi, kimia, 8. Evaluasi  tentang keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
Keterangan:
fisik, psikologis) yang telah digunakan
1   = tidak pernah dilakukan 9. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
2   = jarang dilakukan 10. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa
Batasan karakteristik : 3   = kadang-kadang dilakukan lama terjadi, dan tindakan pencegahan
 Laporan secara verbal 4   = sering dilakukan 11. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
atau non verbal adanya respon klien terhadap ketidaknyamanan  (contoh :
5   = selalu dilakukan
nyeri temperatur ruangan, penyinaran, dll)
 Fakta dari observasi 12. Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
 Posisi untuk 2. Menunjukkan tingkat nyeri 13. Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi, (ex: relaksasi,
menghindari nyeri Definisi : tingkat keparahan dari guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-
 Gerakan melindungi nyeri yang dilaporkan atau dingin, massase)
 Tingkah laku berhati- ditunjukan 14. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
hati Indikator: 15. Modifikasi tindakan mengontrol nyeri berdasarkan respon
 Muka topeng  Melaporkan nyeri klien
 Gangguan tidur (mata  Frekuensi nyeri 16. Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
sayu, tampak capek,  Lamanya episode nyeri 17. Anjurkan klien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri
sulit atau gerakan  Ekspresi nyeri: wajah secara tepat
kacau, menyeringai)  Posisi melindungi tubuh 18. Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi
 Kegelisahan keluhan
 Terfokus pada diri
 Perubahan Respirasirate 19. Informasikan kepada tim kesehatan lainnya/anggota
sendiri
keluarga saat tindakan nonfarmakologi dilakukan, untuk
 Fokus menyempit  Perubahan Heart Rate
pendekatan preventif
(penurunan persepsi  Perubahan tekanan Darah
20. monitor kenyamanan klien terhadap manajemen nyeri
waktu, kerusakan  Perubahan ukuran Pupil
proses berpikir,  Perspirasi 2. Pemberian Analgetik
penurunan interaksi  Kehilangan nafsu makan Definisi : penggunaan agen farmakologi  untuk   mengurangi atau
dengan orang dan Keterangan: menghilangkan nyeri
lingkungan)     1 :  berat Intervensi:
 Tingkah laku distraksi,
    2 :  agak berat 1. Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas,dan keparahan
contoh : jalan-jalan,
    3 :  sedang sebelum pengobatan
menemui orang lain
    4 :  sedikit 2. Berikan obat dengan prinsip 12 benar
dan/atau aktivitas,
3. Cek riwayat alergi obat
aktivitas berulang-     5 :  tidak ada
4. Libatkan klien dalam pemilhan analgetik yang akan
ulang)
digunakan
 Respon autonom 5. Pilih analgetik secara tepat /kombinasi lebih dari satu
(seperti diaphoresis, analgetik jika telah diresepkan
perubahan tekanan 6. Tentukan pilihan analgetik (narkotik, non narkotik, NSAID)
darah, perubahan nafas, berdasarkan tipe dan keparahan nyeri.
nadi dan dilatasi pupil) 7. Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan sesudah pemberian
 Perubahan autonomic analgetik
dalam tonus otot 8. Monitor reaksi obat dan efeksamping obat
(mungkin dalam 9. Dokumentasikan respon dari analgetik dan efek-efek yang
rentang dari lemah ke tidak diinginka.
kaku) 10. Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek
 Tingkah laku ekspresif analgetik (konstipasi/iritasi lambung)
(contoh : gelisah,
merintih, menangis, 3. Manajemen lingkungan : kenyamanan
waspada, iritabel, nafas Definisi : memanipulasi lingkungan untuk kepentingan terapeutik
panjang/berkeluh Intervensi :
kesah) 1. Pilihlah ruangan dengan lingkungan yang tepat
 Perubahan dalam nafsu 2. Batasi pengunjung
makan dan minum 3. Tentukan hal-hal yang menyebabkan ketidaknyamanan
seperti pakaian lembab
4. Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
5. Tentukan temperatur ruangan yang paling nyaman
6. Sediakan lingkungan yang tenang
7. Perhatikan hygiene pasien untuk menjaga kenyamanan
8. Atur posisi pasien yang membuat nyaman.

2 Cemas Setelah dilakukan asuhan  Menurunkan cemas


keperawatan selama......x24 jam Definisi : meminimalkan rasa takut, cemas, merasa dalam bahaya
Definisi : Perasaan gelisah pasien menunjukan dapat : atau ketidaknyamanan terhadap sumber yang tidak diketahui
yang tak jelas dari Intervernsi:
ketidaknyamanan atau 1. Mengontrol cemas: 1. Tenangkan pasien
ketakutan yang disertai Definisi : Tindakan seseorang 2. Jelaskan seluruh prosedurt tindakan kepada pasien dan
respon autonom (sumner untuk mengurangi perasaan perasaan yamng mungkin muncul pada saat melakukan
tidak spesifik atau tidak tertekan/terbebani dan tindakan
diketahui oleh individu); ketegangan dari sumber yang 3. Berusaha memahami keadaan pasien
perasaan keprihatinan tidak dapat diidentifikasi 4. Berikan informasi tentang diagnosa, prognosis dan tindakan
disebabkan dari antisipasi Indikator : 5. Mendampingi pasien untuk mengurangi kecemasan dan
terhadap bahaya. Sinyal  Monitor intensitas cemas meningkatkan kenyamanan
ini merupakan peringatan  Meghilangkan penyebab 6. Dorong pasien untuk menyampaikan tentang isi perasaannya
adanya ancaman yang cemas 7. Kaji tingkat kecemasan
akan datang dan  Menurunkan stimulus 8. Dengarkan dengan penuh perhatian
memungkinkan individu lingkungan ketika cemas 9. Ciptakan hubungan saling percaya
untuk mengambil langkah  Mencari informasi untuk 10. Bantu pasien menjelaskan keadaan yang bisa menimbulkan
untuk menyetujui terhadap menurunkan cemas kecemasan
tindakan.  Gunakan strategi koping 11. Bantu pasien untuk mengungkapkan hal hal yang membuat
efektif cemas
Faktor yang 12. Ajarkan pasien teknik relaksasi
 Melaporkan kepada perawat
berhubungan : terpapar 13. Berikan obat obat yang mengurangi cemas
penurunan lama cemas
racun, konflik yang tidak
 Menggunakan teknik
disadari tentang nilai-nilai
relaksasi  untuk menurunkan
utama/tujuan hidup,
cemas
berhubungan dengan
keturunan/herediter,  Mempertrahankan hubungan
kebutuhan tidak terpenuhi, sosial
transmisi iterpersonal,  Mempertahankan konsentrasi
krisis  Melaporkan kepada perawat
situasional/maturasional, tidur cukup
ancaman kematian,  Melaporkan kepada perawat
ancaman terhadap konsep bahwa cemas tidak
diri, stress, substans mempengatruhi keadaan fisik
abuse, perubahan dalam:  Tidak adanya tingkahlaku
status peran, status yang menunjukan cemas
kesehatan, pola interaksi,
fungsi peran, lingkungan,
status ekonomi. Keterangan
1 :Tidak pernah menunjukkan
Batasan karakteristik: 2 : Jarang menunjukkan
Perilaku : 3 : Kadang-kadang
 Produktivitas menunjukkan
berkurang 4 : Sering menunjukkan
 Scanning dan 5 : Selalu menunjukkan
kewaspadaan
 Kontak mata yang
buruk 2. Koping yang baik
 Gelisah Definisi : Tindakan untuk
 Pandangan sekilas mengelola stressor yang
 Pergerakan yang tidak menggunakan sumber individu
berhubungan, (misal : Indikator :
berjalan dengan  Mengenal koping efektif
menyeret kaki,  Mengenal koping tak efektif
pergelangan  Memverbalkan kemampuan
tangan/lengan kontrol
 Menunjukkan  Melaporkan menurunnya
perhatian seharusnya stress
dalam kejadian hidup  Memverbalkan penerimaan
 Insomnia terhadap situasi
 Resah  Mencari informasi yang
Affektive: berkaitan dengan penyakit
 Penyesalan dan pengobatannya
 Irritable  Modifikasi gaya hidup sesuai
 Kesedihan yang kebutuhan
mendalam  Beradaptasi dengan
 Ketakutan perubahan perkembangan
 Gelisah, gugup  Menggunakan support sosial
 Mudah tersinggung yang memungkinkan
 Rasa nyeri hebat dan  Mengerjakan sesuatu yang
menetap menurunkan stress
 Ketidakberdayaan  Mengenal strategi koping
meningkat multipel
 Membingungkan  Menggunakan strategi koping
 Ketidaktentuan efektif
 Peningkatan  Menghindari situasi penuh
kewaspadaan stress
 Fokus pada diri  Memverbalkan kebutuhan
 Perasaan tidak akan bantuan
adekuat  Mencari pertolongan
 Ketakutan professional yang sesuai
 Distress  Melaporkan menurunnya
 Kekhawatiran, keluhan fisik
prihatin  Melaporkan menurunnya
 Cemas perasaan negatif
Fisiologis :  Melaporkan kenyamanan
 Suara gemetar psikologis yang meningkat
 Gemetar, tangan
tremor Keterangan:
 Goyah 1 :Tidak pernah menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
 Respirasi meningkat
3 : Kadang-kadang
(simpatis)
menunjukkan
 Keinginan kencing
4 : Sering menunjukkan
(parasimpatis)
5 : Selalu menunjukkan
 Nadi meningkat
(simpatis)
 Berkeringat banyak
 Wajah tegang
 Anorexia (simpatis)
 Jantung berdetak kuat
(simpatis)
 Diare (parasimpatis)
 Keragu-raguan dalam
berkemih
(parasimpatis)
 Kelelahan (Simpatis)
 Mulut kering
(simpatis)
 Kelemahan (simpatis)
 Wajah kemerahan
(simpatis)

3 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan asuhan 1. Manajemen Nutrisi


nutrisi: kurang dari keperawatan selama …. X 24 Definisi : membantu dengan atau menyediakan masukan diet
kebutuhan tubuh jam klien dapat menunjukkan seimbang dari makanan dan cairan
1. status nutrisi yang  baik Intervensi :
Definisi : Intake nutrisi Definisi : Nutrisi cukup untuk 1. Catat jika klien memiliki alergi makanan
memenuhi kebutuhan 2. Catat makanan kesukaan klien
tidak cukup untuk
metabolisme tubuh 3. Tentukan jumlah kalori dan tipe nutrien yang dibutuhkan
keperluan metabolisme Indikator : 4. Dorong asupan kalori sesuai tipe tubuh dan gaya hidup
tubuh  Masukan nutrisi 5. Dorong asupan zat besi
 -          Masukan makanan 6. Tawarkan makanan ringan
dan cairan 7. Berikan gula tambahan k/p
Batasan karakteristik :  Tingkat energi cukup 8. Tawarkan bumbu sebagai pengganti garam
 Berat badan  20 % di  Berat badan stabil 9. Berikan makanan tinggi kalori, protein dan minuman yang
bawah ideal  Nilai laboratorium mudah dikonsumsi
 Dilaporkan adanya 10. Berikan pilihan makanan
intake makanan yang Keterangan: 11. Sesuaikan diet dengan gaya hidup klien
kurang dari RDA 12. Ajarkan klien cara membuat catatan makanan
1  : Sangat bermasalah
(Recomended Daily 13. Monitor asupan nutrisi dan kalori
Allowance) 2  : Cukup bermasalah 14. Timbang berat badan secara teratur
 Membran mukosa dan 3  : Masalah sedang 15. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan
konjungtiva pucat 4  : Sedikit bermasalah bagaimana memenuhinya
 Kelemahan otot yang 16. Ajarkan teknik penyiapan dan penyimpanan makanan
digunakan untuk 5  : Tidak ada masalah 17. Tentukan kemampuan klien untuk memenuhi kebutuhan
menelan/mengunyah nutrisinya
 Luka, peradangan pada
rongga mulut 2. Monitor nutrisi
 Mudah merasa Definisi : mengumpulkan dan menganalisa data dari pasien untuk
kenyang, sesaat setelah mencegahatau meminimalkan malnutrisi.
mengunyah makanan Intervensi :
 Dilaporkan atau fakta 1. BB klien dalam interval spesifik
adanya kekurangan 2. Monitor adanya penurunan BB
makanan 3. Monitor tipe dan jumlah nutrisi untuk aktivitas biasa
 Dilaporkan adanya 4. Monitor  respon emosi klien saat berada dalam situasi yang
perubahan sensasi rasa mengharuskan makan.
 Perasaan 5. Monitor interaksi anak dengan orang tua selama makan.
ketidakmampuan untuk 6. Monitor lingkungan selama makan.
mengunyah makanan 7. Jadwalkan pengobatan dan tindakan, tidak selama jam
 Miskonsepsi makan.
 Kehilangan BB dengan 8. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
makanan cukup 9. Monitor turgor kulit
10. Monitor kekeringan, rambut kusam dan mudah patah.
 Keengganan untuk
11. Monitor adanya bengkak pada alat pengunyah, peningkatan
makan
perdarahan, dll.
 Kram pada abdomen
12. Monitor mual dan muntah
 Tonus otot jelek 13. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, kadar Ht.
 Nyeri abdominal 14. Monitor kadar limfosit dan elektrolit.
dengan atau tanpa 15. Monitor makanan kesukaan.
patologi 16. Monitor pertumbuhan dan perkembangan.
 Kurang berminat 17. Monitor kadar energi, kelelahan, kelemahan.
terhadap makanan 18. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan pada jaringan
 Pembuluh darah kapiler konjungtiva.
mulai rapuh 19. Monitor kalori dan intake nutrisi.
 Diare dan atau 20. Catat adanya edema, hiperemia, hipertropik papila lidah dan
steatorrhea cavitas oral.
 Kehilangan rambut 21. Catat jika lidah berwarna merah keunguan.
yang cukup banyak
(rontok)
 Suara usus hiperaktif
 Kurangnya informasi,
misinformasi

Faktor yang
berhubungan :
Ketidakmampuan
pemasukan atau mencerna
makanan atau
mengabsorpsi zat-zat gizi
berhubungan dengan
faktor biologis, psikologis
atau ekonomi.
Post Operasi

1.      
1 Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan 1. Manajemen Nyeri
keperawatan selama ….x 24 jam, Definisi : perubahan atau pengurangan nyeri ke tingkat
Definisi : Sensori dan klien dapat: kenyamanan yang dapat diterima pasien
pengalaman emosional 1. Mengontol nyeri
yang tidak menyenangkan Intervensi:
Definisi : tindakan seseorang untuk
yang timbul dari mengontrol nyeri. 1. Kaji secara menyeluruh tentang nyeri, meliputi: lokasi,
kerusakan jaringan aktual Indikator: karakteristik,waktu kejadian, lama, frekuensi, kualitas,
atau potensial, muncul  Mengenal faktor-faktor penyebab intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor pencetus
tiba-tiba atau lambat  Mengenal onset/waktu kejadian 2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan,
dengan intensitas ringan nyeri khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara
sampai berat dengan akhir efektif
 Tindakan pertolongan non-
yang bisa diantisipasi atau 3. Berikan analgetik sesuai dengan anjuran
analgetik
diduga dan berlangsung 4. Gunakan komunkasi terapeutik agar klien dapat
 Menggunakan analgetik
kurang dari 6 bulan. mengekspresikan nyeri
 Melaporkan gejala-gejala kepada 5. Kaji latar belakang budaya klien
Batasan karakteristik :
tim kesehatan (dokter, perawat) 6. Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas hidup:
 Laporan secara verbal
atau non verbal adanya  Nyeri terkontrol pola tidur, nafsu makan, aktifitas mood, hubungan, pekerjaan,
nyeri tanggungjawab peran
 Fakta dari observasi Keterangan: 7. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri,  keluarga dengan
 Posisi untuk 1     = tidak pernah dilakukan nyeri kronis
menghindari nyeri 2     = jarang dilakukan 8. Evaluasi  tentang keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
 Gerakan melindungi 3     = kadang-kadang dilakukan yang telah digunakan
 Tingkah laku berhati- 9. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
4     = sering dilakukan
hati 10. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa
5     = selalu dilakukan lama terjadi, dan tindakan pencegahan
 Muka topeng
 Gangguan tidur (mata 11. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
sayu, tampak capek, respon klien terhadap ketidaknyamanan  (contoh : temperatur
2. Menunjukkan tingkat nyeri ruangan, penyinaran, dll)
sulit atau gerakan Definisi : tingkat keparahan dari 12. Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
kacau, menyeringai) nyeri yang dilaporkan atau 13. Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (ex: relaksasi,
 Terfokus pada diri ditunjukan guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin,
sendiri Indikator: massase)
 Fokus menyempit  Melaporkan nyeri 14. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol  nyeri yang
(penurunan persepsi  Frekuensi nyeri telah digunakan
waktu, kerusakan
 Lamanya episode nyeri 15. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
proses berpikir,
 Ekspresi nyeri: wajah 16. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa
penurunan interaksi
 Posisi melindungi tubuh lama terjadi, dan tindakan pencegahan
dengan orang dan
 Kegelisahan 17. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
lingkungan)
 Perubahan Respirasirate respon klien terhadap ketidaknyamanan  (contoh : temperatur
 Tingkah laku distraksi, ruangan, penyinaran, dll)
contoh : jalan-jalan,  Perubahan Heart Rate
 Perubahan tekanan Darah 18. Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
menemui orang lain 19. Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (ex: relaksasi,
dan/atau aktivitas,  Perubahan ukuran Pupil
guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin,
aktivitas berulang-  Perspirasi
massase)
ulang)  Kehilangan nafsu makan 20. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
 Respon autonom 21. Modifikasi tindakan mengontrol nyeri berdasarkan respon
(seperti diaphoresis, Keterangan:
klien
perubahan tekanan     1 :  berat 22. Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
darah, perubahan nafas,     2 :  agak berat 23. Anjurkan klien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri
nadi dan dilatasi pupil)     3 :  sedang secara tepat
 Perubahan autonomic     4 :  sedikit 24. Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi
dalam tonus otot keluhan
    5 :  tidak ada
(mungkin dalam 25. Informasikan kepada tim kesehatan lainnya/anggota keluarga
rentang dari lemah ke saat tindakan nonfarmakologi dilakukan, untuk pendekatan
kaku) preventif
 Tingkah laku ekspresif 26. monitor kenyamanan klien terhadap manajemen nyeri
(contoh : gelisah,
merintih, menangis, 2. Pemberian Analgetik
Definisi : penggunaan agen farmakologi  untuk   mengurangi
atau menghilangkan nyeri.

Intervensi:
 Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas,dan
keparahan sebelum pengobatan
 Berikan obat dengan prinsip 5 benar
 Cek riwayat alergi obat
 Libatkan klien dalam pemilhan analgetik yang akan
digunakan
 Pilih analgetik secara tepat /kombinasi lebih dari satu
analgetik jika telah diresepkan
 Tentukan pilihan analgetik (narkotik, non narkotik,
NSAID) berdasarkan tipe dan keparahan nyeri
 Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan sesudah pemberian
analgetik
 Monitor reaksi obat dan efeksamping obat
 Dokumentasikan respon dari analgetik dan efek-efek yang
tidak diinginkan
 Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek
analgetik (konstipasi/iritasi lambung)
3. Manajemen lingkungan : kenyamanan
Definisi : memanipulasi lingkungan untuk kepentingan
terapeutik

Intervensi :
 Pilihlah ruangan dengan lingkungan yang tepat
 Batasi pengunjung
 Tentukan hal-hal yang menyebabkan ketidaknyamanan
seperti pakaian lembab
 Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
 Tentukan temperatur ruangan yang paling nyaman
 Sediakan lingkungan yang tenang
 Perhatikan hygiene pasien untuk menjaga kenyamanan
 Atur posisi pasien yang membuat nyaman.

Setelah dilakukan asuhan 1. Kontrol Infeksi


2 Resiko infeksi keperawatan selama … x 24 jam, Definisi : Meminimalkan mendapatkan infeksi dan trasmisi agen
klien menunjukan infeksi
Definisi : Peningkatan 1. Pengetahuan klien tentang
Intervensi :
resiko masuknya kontrol infeksi meningkat
1. Bersikan lingkungan secara tepat setelah digunakan oleh klien
organisme patogen Definisi : Tindakan untuk
2. Ganti peralatan klien setiap selesai tindakan
mengurangi ancaman kesehatan
3. Batasi jumlah pengunjung
Faktor-faktor resiko : secara aktual dan potensial
4. Ajarkan cuci tangan untuk menjaga kesehatan individu
Indikator:
 Prosedur Invasif 5. Anjurkan klien untuk cuci tangan dengan tepat
 Ketidakcukupan  Menerangkan cara-cara 6. Gunakan sabun antimikrobial untuk cuci tangan
pengetahuan untuk penyebaran 7. Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan sebelum dan
menghindari paparan  Menerangkan factor-faktor yang setelah meninggalkan ruangan klien
patogen berkontribusi dengan penyebaran 8. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien
 Trauma  Menjelaskan tanda-tanda dan 9. Lakukan universal precautions
 Kerusakan jaringan gejala 10. Gunakan sarung tangan steril
dan peningkatan  Menjelaskan aktivitas yang dapat 11. Lakukan perawatan aseptic pada semua jalur IV
paparan lingkungan meningkatkan resistensi terhadap 12. Lakukan teknik perawatan luka yang tepat
 Ruptur membran infeksi 13. Tingkatkan asupan nutrisi
amnion 14. Anjurkan asupan cairan
 Agen farmasi Keterangan: 15. Anjurkan istirahat
(imunosupresan) 1 : Tidak pernah menunjukkan 16. Berikan terapi antibiotik
 Malnutrisi 2 : Jarang menunjukkan 17. Ajarkan klien dan keluarga tentang tanda-tanda dan gejala
 Peningkatan paparan dari infeksi
3 : Kadang-kadang menunjukkan
lingkungan patogen 18. Ajarkan klien dan anggota keluarga bagaimana mencegah
4 : Sering menunjukkan             infeksi
 Imonusupresi
5 : Selalu menunjukkan
 Ketidakadekuatan
imum buatan
 Tidak adekuat
pertahanan sekunder
(penurunan Hb,
Leukopenia, 2. Proteksi infeksi
penekanan respon Definisi : Meminimalkan mendapatkan infeksi dan trasmisi agen
inflamasi) 2. Pengetahuan tentang deteksi infeksi
 Tidak adekuat resiko meningkat
pertahanan tubuh Definisi : Tindakan untuk Intervensi :
primer (kulit tidak mengidentifikasi ancaman kesehatan 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
utuh, trauma jaringan, Indikator : 2. Pertahankan teknik isolasi
penurunan kerja silia,  Mengenali tanda dan gejala 3. Batasi pengunjung bila perlu
cairan tubuh statis, yang mengindikasikan resiko 4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat
perubahan sekresi pH,  Mengidentifikasi resiko berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien
perubahan peristaltik) kesehatan potensial 5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
 Penyakit kronik  Mencari pembenaran resiko 6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan
yang dirasakan 7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
 Memeriksakan diri pada interval 8. Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
waktu yang ditentukan 9. Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai
 Berpartisipasi dalam screening dengan petunjuk umum
10. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi
pada interval waktu yang kandung kencing
ditentukan 11. Tingktkan intake nutrisi
 Mengetahui keadaan kesehatan 12. Berikan terapi antibiotik bila perlu
keluarga saat ini
 Selalu mengetahui / memonitor
keadaan kesehatan keluarga
 Selalu mengetahui / memonitor
kesehatan diri
 Menggunakan sumber-sumber
informasi untuk  tetap
mendapatkan informasi tentang
resiko potensial
 Menggunakan sarana pelayanan
kesehatan sesuai kebutuhan

Keterangan:
1 : Tidak pernah menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang-kadang menunjukkan 3. Manajemen Nutris
4 : Sering menunjukkan             Definisi : membantu dengan memberikan diet makanan dan cairan
5 : Selalu menunjukkan yang seimbang.

Intervensi :
3. Status nutrisi yang  baik,
Definisi : Nutrisi cukup untuk 1. Tanyakan pada klien tentang alergi terhadap makanan
memenuhi kebutuhan metabolisme 2. Tanyakan makanan kesukaan klien
tubuh 3. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang jumlah kalori dan
Indikator : nutrisi yang dibutuhkan
 Masukan nutrisi 4. Anjurkan masukan kalori yang tepat yang sesuai dengan
gaya hidup
 Masukan makanan dan cairan
5. Anjurkan peningkatan masukan zat besi yang sesuai
 Tingkat energi cukup
6. Anjurkan peningkatan masukan protein dan vitamin C
 Berat badan stabil
 Nilai laboratorium 7. Anjurkan untuk banyak makan buah dan minum
8. Pastikan diit  tidak menyebabkan konstipasi
Keterangan: 9. Berikan klien diit tinggi protein, tinggi kalori
1  : Sangat bermasalah
2  : Cukup bermasalah
3  : Masalah sedang
4  : Sedikit bermasalah
5  : Tidak ada masalah

4. Luka sembuh, dengan


Indikator:
 Kulit utuh
 Berkurangnya drainase purulen
 Drainase serousa pada luka
berkurang
 Drainase sanguinis pada luka
berkurang
 Drainase serosa sangunis pada
luka berkurang
 Drainase sangunis pada drain
berkurang
 Drainase serosasanguinis pada
drain berkurang
 Eritema disekitar kulit berkurang
 Edema sekitar luka berkurang
 Suhu kulit tidak meningkat
 Luka tidak berbau

3 Kurang pengetahuan Setelah dilakukan asuhan 1. Pendidikan kesehatan: Proses penyakit


tentang : penyakit, diet, keperawatan selama 1 x 24 jam
pengobatan  pengetahuan klien dan keluarga
meningkat tentang:
Definisi : tidak adanya 1. Proses penyakit dengan Intervensi :
atau kurangnya informasi Indikator: 1. Gali pengetahuan tentang proses penyakit
2. Jelaskan patofisiologi penyakit
kognitif sehubungan  Mengenal  nama penyakit 3. Jelaskan tanda dan gejala penyakit
dengan topik spesifik  Menjelaskan proses penyakit 4. Terangkan proses penyakit
 Menjelaskan penyebab/fakor 5. Identifikasi proses kemungkinan penyebab
Batasan karakteristik : yang berkontribusi 6. Berikan informasi tentang kondisi pasien
memverbalisasikan  Menjelaskan factor-faktor 7. Hindari memberi harapan palsu
resiko 8. Berikan informasi kondisi pasien pada keluarga
adanya masalah,
 Menjelaskan efek dari 9. Diskusikan perubahan gaya hidup untuk mencegah
ketidakakuratan mengikuti
penyakit komplikasi di masa depan
instruksi, perilaku tidak  Menjelaskan tanda-tanda dan 10. Diskusikan pilihan terapi
sesuai. gejala 11. Terangkan rasional tindakan
 Menjelaskan tentang 12. Terangkan komplikasi kronik
Faktor yang komplikasi dan tanda 13. Terangkan tanda dan gejala yang harus dilaporkan
berhubungan : gejalanya 14. Jelaskan cara mencegah atau meminimalkan efek
keterbatasan kognitif,  Menjelaskan tentang samping penyakit.
interpretasi terhadap perawatan dirumah
informasi yang salah,
Keterangan:
kurangnya keinginan
1 : tidak pernah
untuk mencari informasi,
2 : terbatas
tidak mengetahui sumber-
3 : sedang
sumber informasi. 2. Ajarkan : Diet
4 : Sering
5 : Selalu Intervensi :
1. Kaji pengetahuan klien tentang diet yang dianjurkan
2. Diet, dengan 2. Tentukan sikap keluarga klien terhadap diet
indikator: 3. Jelaskan tujuan diet
 Menggambarkan diet yang 4. Informasikan berapa lama diet harus diikuti
dianjurkan 5. Anjarkan klien tentang makanan yang boleh dan
 Menyebutkan  keuntungan dari tidak boleh dimakan
mengikuti anjuran diet 6. Bantu klien untuk mencatat makanan kesukaan
 Menyebutkan tujuan dari diet dalam diet yang dianjurkan
yang yang dianjurkan 7. Observasi pilihan makanan klien sesuai dengan diet
 Menyebutkan makanan- yang dianjurkan
makanan yang diperbolehkan 8. Anjurkan membuat rencana makan
dalam diet 9. Dorong untuk mengikuti informasi yang diberikan
 Menyebutkan makanan- oleh tenaga kesehatan lain
makanan yang dilarang 10. Konsul ahli gizi
 Memilih makanan-makanan 11. Libatkan keluarga
yang dianjurkan dalam diet

Keterangan: 3. Ajarkan : pengobatan


1  :  Tidak pernah
Intervensi :
2  :  Terbatas 1. Jelaskan klien utk mengenal karakteristik obat
3  :  Sedang 2. Informasikan nama generik dan nama dagang
4  :  Luas 3. Jelaskan tujuan dan kerja obat
5  :  Sangat luas 4. Jelaskan dosis, rute dan durasi obat
5. Evaluasi kemampuan klien menggunakan obat
3. Pengobatan, dengan 6. Ajarkan klien untuk melakukan prosedur sebelum
indikator: minum obat
 Menggambarkan metode 7. Informasikan apa yang dilakukan jika dosis obat
pengobatan yang tepat hilang
8. Informasikan akibat  tidak minum obat
 Menggambarkan tindakan-
9. Informasikan efek samping obat
tindakan dalam pengobatan
10. Jelaskan tanda dan gejala over dosis obat
 Menggambarkan efek samping
11. Jelaskan cara menyimpan obat
dalam pengobatan
12. Jelaskan interaksi obat
 Menyebutkan interakasi obat 13. Jelaskan cara mencegah atau mengurangi efek
dengan agen yang lainnya samping obat
 Menyebutkan rute pemberian 14. Berikan informasi tertulis tentang aksi, tujuan, efek
obat yang tepat samping obat, dll

Keterangan :
1  :  Tidak pernah
2  :  Terbatas
3  :  Sedang
4  :  Luas
5  :  Sangat luas

4 Defisit Perawatan Diri Setelah dilakukan asuhan 1. Bantu dalam perawatan diri (mandi, berpakaian,
(kurang perawatan diri : keperawatan selama … x 24 jam, berhias, makan, toileting)
mandi, berpakaian, klien mampu melakukan perawatan Definisi : membantu pasien untuk memenuhi ADL
makan, dan toileting) diri: Activities  of Daily Living
Intervensi :
Definisi : Gangguan (ADL), dengan indikator: 1. Monitor kemempuan klien untuk perawatan diri yang
kemampuan untuk  makan mandiri.
melakukan ADL pada diri  berpakaian 2. Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu untuk
 toileting kebersihan diri, berpakaian, berhias, toileting dan makan.
Batasan karakteristik :  mandi 3. Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk
ketidakmampuan untuk  berhias melakukan self-care.
 hygiene 4. Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang
mandi, ketidakmampuan
 oral hygiene normal sesuai kemampuan yang dimiliki.
untuk berpakaian, 5. Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi beri
ketidakmampuan untuk  ambulasi: berjalan
 ambulasi: wheelchair bantuan ketika klien tidak mampu melakukannya.
makan, ketidakmampuan 6. Ajarkan klien/ keluarga untuk mendorong kemandirian,
 transfer performance
untuk toileting untuk memberikan bantuan hanya jika pasien tidak
mampu untuk melakukannya.
Keterangan:
Faktor yang 7. Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai kemampuan.
1:  bergantung total 8. Pertimbangkan usia klien jika mendorong pelaksanaan
berhubungan :
kelemahan, kerusakan 2 : dibantu orang dan alat aktivitas sehari-hari. 
kognitif atau perceptual, 3 ; dibantu orang
kerusakan neuromuskular/ 4 : dibantu alat
otot-otot saraf. 5:  mandiri
DAFTAR PUSTAKA

1. Carpenito, L. J., (2000), Buku saku diagnosa keperawatan, Edisi 8. EGC : Jakarta.
2. Corwin, E. J., (2009), Buku saku pathofisiologi. Edisi 3. EGC: Jakarta.
3. DeLaune & Ladner. (2002). Fundamental of nursing: Standards and practice. New
York: Delmar.
4. Doenges, M. E., Moorhous, M. F., & Geissler, A. C., (1999), Rencana asuhan
keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien.
Edisi 3. EGC: Jakarta.
5. IAUI (Ikatan Ahli Urologi Indonesia). (2003). Pedoman penatalaksanaan BPH di
Indonesia. Style sheet: www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf. (Diunduh pada 17 Februari
2015).
6. Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2010). Profil penduduk lansia 2009.
Komnas Lansia: Jakarta
7. Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2009). Lampu kuning ledakan kaum
renta. Style sheet: http://www.komnaslansia.or.id/modules.php?
name=News&file=article&sid =26. (Diunduh 16 Februari 2015)
8. Mansjoer, A., dkk, (2000), Kapita selekta kedokteran, Edisi Jilid 2, Media
Aesculapius, Jakarta.
9. Nies, M.A. & McEwen, M. (2007). Community / publuc helath nursing: Promoting
the health of populations. (4th edition). St Lois: Saunders Elsevier
10. Parsons, J.K. (2010). Benign prostatic hyperplasia and male lower urinary tract
symptoms: Epidemiology and risk factors. Springer Journal, Curr Bladder Dysfunct
Rep, 5:212–218.
11. Purnomo, B. B., (2000), Dasar-dasar urologi. CV Info Medika: Jakarta.
12. Putra, R.A. (2012). 2020, Lansia Indonesia lebih banyak hidup di kota. Style sheet:
http://mizan.com/news_det/2020-lansia-indonesia-lebih-banyakhidup-di-kota.html.
(Diunduh 16 Februari 2015).
13. Roehrborn, C. G., & McConnell, J. D. (2011). Benign prostatic hyperplasia: etiology,
pathophysiology, epidemiology, and natural history. CampbellWalsh Urology. (10th
ed). Philadelphia: Saunders Elsevier.
14. Sjamsuhidajat, R., & Jong, de.W. (2005). Buku ajar ilmu bedah (Edisi 2). EGC. (Hal
782–786): Jakarta
15. Smeltzer S.C., & Bare, B.G. (2003). Brunner & Suddarth’s textbook of medical
surgical nursing. (10th Ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
16. Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community and public health nursing. Missouri:
Mosby
17. Wilkinson M. Judith & Ahern R. Nancy. 2011. Buku saku diagnosis keperawatan.
Edisi 9. EGC : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai