Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

BPH (BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)

Dosen Pengajar : Ns. Everentia Ngasu, S. Kep., M. Kep

Di Susun Oleh :

Kelompok 1

1. Abdullah Noer Rachmat (17214003)


2. Afelia Febriliyani (17214003)
3. Afri Satriawan Ali (17214004)
4. Aisah Handika (17214007)
5. Anna Hafilda (17214012)
6. Ayies Yuliawati (17214014)
7. Ayu Lestania (17214015)
8. Debby Amallia (17214026)
9. Dina Alfionita (17214040)

Tingkat 3 A Keperawatan

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) YATSI


Jl. Aria Santika No. 40 A Bugel, Margasari, Karawaci
TANGERANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah Keperawatan Medikal Bedah dengan judul “Anatomi Fisiologi dan
Asuhan keperawatan pada penyakit BPH” tepat pada waktunya. Makalah ini di
buat dengan berbagai sumber dan beberapa bantuan dari pihak lain untuk
membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah
ini.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan siapa saja yang
membacanya. Kami juga mendapat banyak dukungan dan juga bantuan dari
berbagai pihak, maka kami ucapkan terima kasih banyak kepada :

1. Ida Faridah. S. Kp, M. Kes selaku Ketua STIKes YATSI, Tangerang


2. Ns. Febi Ratnasari, S.Kep, M. Kep selaku Kaprodi Keperawatan
3. Ns. Imas Sartika, S.Kep selaku PJ Akademik Tingkat 3 A Keperawatan
4. Ns. Everentia Ngasu, S.Kep., M.Kep selaku Dosen Pengajar mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah.
5. Serta teman-teman yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah
ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan nya, oleh sebab itu kami meminta saran dan masukan dari teman-
teman dan dosen, yang sifat nya membangun, terutama dari pembaca sangat kami
harapkan saran nya, terima kasih.

Tangerang, 05 Desember 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Anatomi Fisiologi
B. Pengertian BPH
C. Etiologi
D. Manifestasi Klinis
E. Pemeriksaan Penunjang
F. Penatalaksanaan Medis dan Farmakologi
G. Komplikasi BPH
H. Patofisiologi
I. Pathway
J. Terapi Diet

BAB III KASUS DAN ASUHAN KEPERAWATAN

A. Kasus
B. Asuhan Keperawatan
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Benigna Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya
dinyatakan sebagai pembesaran prostat jinak, merupakan suatu penyakit
yang biasa terjadi. BPH adalah pembesaran atau hipertropi prostat.
Kelenjar prostat membesar, memanjang kearah depan ke dalam kandung
kemih dan menyumbat aliran keluar urin, dapat menyebabkan
hydronefrosis dan hydroureter. Istilah benigna prostat hipertropi
sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar, tetapi
kelenjar-kelenjar periuretra yang mengalami hyperplasia (sel-selnya
bertambah banyak). Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak
menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical (Parsons, 2010).
Hipertropi prostat mengenai kebanyakan pria diatas 50 tahun. Istilah
“Hipertropi” disini kurang tepat, karena pembesaran prostat disini
disebabkan hyperplasia unsur kelenjar dan jaringan seluler. Biasanya berat
kelenjar prostat adalah 20 gram, dan terdiri atas 4 lobus. Pada umur 70
tahun, berat prostat mencapai 60-200 gram (Parsons, 2010).

B. Rumusan Masalah
Mengenai gangguan pada sistem perkemihan pada manusia, penulis
mengambil masalah mengenai Benigna Prostatic Hyperplasia (BPH).
Dalam makalah ini penulis ingin mengetahui bagaimana Benigna Prostatic
Hyperplasia (BPH) menjadi penyakit yang menggangggu sistem
perkemihan pada manusia.

C. Tujuan
Mengetahui lebih dalam mengenai gambaran Benigna Prostatic
Hyperplasia (BPH) diharapkan penyakit Benigna Prostatic Hyperplasia
dapat tercegah dan teratasi secara dini agar pengobatannya lebih optimal.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Anatomi Fisiologi Sistem Perkemihan dan BPH


Kelenjar prostat merupakan bangunan yang pipih, kerucut dan
berorientasi di bidang koronal. Apeksnya menuju ke bawah dan terletak
tepat diatas fasia profunda dari diafragma urogenital. Permukaan anteriior
mengarah pada simfisis dan dipisahkan jaringan lemak serta vena
periprostatika. Pita fibromuskuler anterior memisahkan jaringan prostat
dari ruang preprostatika dan permukaan posteriornya dipisahkan dari
rektum oleh lapisan ganda fasia denonvilliers.
Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20-25 gram dengan
ukuran rata-rata : panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara
embriologis terdiri dari 5 lobus yaitu lobus medius 1 buah, lobus anterior 1
buah, lobus posterior 1 buah, lobus lateral 2 buah. Prostat dikelilingi
kapsul yang kurang lebih berdiameter 1 mm terdiri dan serabut
fibromuskular yang merupakan tempat perlekatan ligamentum
pubovesikalis. Beberapa ahli membagi prostat menjadi 5 lobus : lobus
anterior, medial, posterior, dan 2 lobus lateral yang mengelilingi uretra.
Kelenjar prostat merupakan organ yang kompleks yang terdiri dari
jaringan glandular dan non glandular, glandular terbagi menjaadi 3 zona
besar: sentral (menempati 25 %), perifeal (menempati 70 %), dan
transisional (menempati 5%). Perbedaan zona-zona ini penting secara
klinis karena zona perifeal sangat sering sebagai tempat asal keganasan,
dan zona transisional sebagai tempat asal benigna prostat hiperplasia.
Uretra dan verumontanium dapat dipakai sebagai patokan untuk
prostat. Bagian proksimal uretra membentang melalui 1/3 bagian depan
prostat dan bersinggungan dengan kelenjar periutheral dan sfingter
preprostatik. Pada tingkat veromontanium, urethra membentuk sudut
anterior 350 dan urethra pars prostatika distal bersinggung dengan zona
perifal. Volume zona sentral adalah yang terbesar pada individu muda,
tapi dengan bertambahnya usia zona ini atrofi secara progresif.
Sebaliknya zona transisional membesar dengan membentuk benigna
prostat hiperplasia.
Mc. Neal Melakukan analisa komparatif tentang zona prostat
melalui potongan sagital, koronal dan koronal obliq yaitu :
1. Stroma fibromuskular anterior
Merupakan lembaran tebal yang menutupi seluruh permukaan
anterior prostat. Lembaran ini merupakan kelanjutan dari lembaran
otot polos disekitar urethra proksial pada leher buli, dimana
lembaran ini bergabung dengan spinkter interna dan otot detrusor
dari tempat dimana dia berasal. Dekat apeks otot polos ini
bergabung dengan striata yang mempunyai peranan sebagai spinkter
eksterna.
2. Zona perifer
Merupakan bagian terbesar dari prostat. Zona ini terdiri atas 65-67
% dari seluruh jaringan prostat. Hampir semua karsinoma berasal
dari zona ini.
3. Zona Sentral
Zona sentral mengelingi ductus ejakularis secra penuh diatas dan
dibelakang verumontanium. Mc. Neal membedakan zona ini sentral
dan zona perifer berdasarkan arsitektur sel dan sitologinya.
4. Zona transisional
Merupakan sekelompok kecil ductus yang berasal dari suatu titik
pertemuan urethra proksimal dan distal. Besarnya 5 % dari seluruh
massa prostat. Pada zona ini asiner banyak mengalami proliferasi
dibandingkan ductus periurethra lainnya.

Kelenjar prostat secara relatif tetap kecil sepanjang kanak-kanak


dan mulai tumbuh pada masa pubertas dibawah stimulus testesteron.
Kelenjar ini mencapai ukuran makasimal pada usia 20 tahun dan tetap
dalam kuran ini sampai usia mendekati 50 tahun. Pada waktu tersebut pada
beberapa pria kelenjar tersebut mulai berdegenerasi bersamaan dengan
penurunan pembentukan testosteron oleh testis.
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih
susu dan bersifat alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam
fosfatase, kalsium dan koagulasi serta fibrinolin. Selama pengeluaran
cairan prostat, kapsul kelenjar prostat akan berkontraksi bersama dengan
vas deferens dan cairan dari prostat keluar bercampur dengan segmen yang
lainnya.

B. Pengertian
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dapat didefinisikan sebagai
pembesaran kelenjar prostat yang memanjang ke atas, ke dalam kandung
kemih, yang menghambat aliran urin, serta menutupi orifisium uretra
(Smeltzer & Bare, 2003). Secara patologis, BPH dikarakteristikkan dengan
meningkatnya jumlah sel stroma dan epitelia pada bagian periuretra
prostat. Peningkatan jumlah sel stroma dan epitelia ini disebabkan adanya
proliferasi atau gangguan pemrograman kematian sel yang menyebabkan
terjadinya akumulasi sel (Roehrborn, 2011).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh
penuaan. (Price&Wilson, 2005).
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit
yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami
pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat
aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.

C. Etiologi
Penyebab pasti BPH belum diketahui. Namun, IAUI (2003) menjelakan
bahwa terdapat banyak faktor yang berperan dalam hiperplasia prostat,
seperti usia, adanya peradangan, diet, serta pengaruh hormonal. Faktor
tersebut selanjutnya mempengaruhi prostat untuk mensintesis protein
growth factor, yang kemudian memicu proliferasi sel prostat. Selain itu,
pembesaran prostat juga dapat disebabkan karena berkurangnya proses
apoptosis. Roehrborn (2011) menjelaskan bahwa suatu organ dapat
membesar bukan hanya karena meningkatnya proliferasi sel, tetapi juga
karena berkurangnya kematian sel.
BPH jarang mengancam jiwa. Namun, keluhan yang disebabkan BPH
dapat menimbulkan ketidaknyamanan. BPH dapat menyebabkan
timbulnya gejala LUTS (lower urinary tract symptoms) pada lansia pria.
LUTS terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi
(storage symptom) yang meliputi: frekuensi berkemih meningkat, urgensi,
nokturia, pancaran berkemih lemah dan sering terputus-putus
(intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis berkemih, dan tahap
selanjutnya terjadi retensi urin (IAUI, 2003).

D. Manifestasi Klinis
Gambaran tanda dan gejala secara klinis pada hiperplasi prostat
digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi
disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat
sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis
miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan
(straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi
memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena
overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai
hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering
miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia),
perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi
(disuria) (Mansjoer, 2000). Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat
(2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
1. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis.
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada
rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
3. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine
menetes secara periodik (over flow inkontinen). Menurut Brunner and
Suddarth (2002) menyebutkan bahwa Tanda dan gejala dari BPH
adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin
berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang
turun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar,
dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut.

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel
leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri
harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan pada
saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri
dapat menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar
dari fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila
nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10
ng/ml, dihitung Prostate specific antigen density (PSAD) yaitu PSA
serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya
dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
2. Pemeriksaan Darah Lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka
semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan
pernafasan biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang
sudah tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis
leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin
serum.
3. Pemeriksaan Radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG,
dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH,
derajat disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat
dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-
buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari
keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari
Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di
vesika urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya
prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan batu
ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah
terlihat bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk
melihat /mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan
IVP buli-buli dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya
dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya tumor,
divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat
adanya refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai residual
urin.
F. Penatalaksanaan Medis & Farmakologi
1. Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan
BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah,
diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat
adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan
obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun
kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian
lama.
b. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan
selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika,
retropubik dan perineal.
d. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan
penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau
sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok
melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau
pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan
dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif
dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa.
Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti
androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan
pada BPH dapat dilakukan dengan:
a. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat
dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan
kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
b. Medikamentosa
1). Mengharnbat adrenoreseptor α
2). Obat anti androgen
3). Penghambat enzim α -2 reduktase
4). Fisioterapi
c. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria,
penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang,
divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis
pembedahan:
1). TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar
prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang
dimasukkan malalui uretra.
2). Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang
dibuat pada kandung kemih.
3). Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada
abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa
memasuki kandung kemih.
4). Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui
sebuah insisi diantara skrotum dan rektum.
5). Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula,
vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui
sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra
dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker
prostat.
d. Terapi Invasif Minimal
1). Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang
disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang
dipasang melalui/pada ujung kateter.
2). Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced
Prostatectomy (TULIP)
3). Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
2. Keperawatan
a. Pre operasi
1). Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan
Darah, CT, BT, AL)
2). Pemeriksaan EKG,GDS mengingat penderita BPh kebanyakan
lansia
3). Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax
4). Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam.
Sebelum pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap 2
hari, lavemen puasa minimal 8 jam, dan mengurangi bicara
untuk meminimalkan masuknya udara
b. Post operasi
1). Irigasi/Spoling dengan Nacl
a) Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
b) Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit
c) Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
d) Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
e) Hari ke 4 post operasi diklem
f) Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada
masalah (urin dalam kateter bening)
2) Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada
masalah (cairan serohemoragis < 50cc)
3) Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat
injeksi selama 2 hari, bila pasien sudah mampu makan dan
minum dengan baik obat injeksi bisa diganti dengan obat
oral.
4) Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24
jam post operasi
5) Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post
oprasi dengan betadin
6) Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
7) DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
8) Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
9) Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
10) Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan
dorongan untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak
pada kandung kemih dan perdarahan dari uretral sekitar
kateter. Medikasi yang dapat melemaskan otot polos dapat
membantu mengilangkan spasme. Kompres hangat pada
pubis dapat membantu menghilangkan spasme.
11) Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk
berjalan-jalan tapi tidak duduk terlalu lama karena dapat
meningkatkan tekanan abdomen, perdarahan
12) Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai
kembali kontrol berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan
sampai passien mencapai kontrol berkemih.
13) Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda
kemerahan kemudian jernih hingga sedikit merah muda
dalam 24 jam setelah pembedahan.
14) Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat
dan sejumlah bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri.
Darah vena tampak lebih gelap dan kurang kental.
Perdarahan vena diatasi dengan memasang traksi pada kateter
sehingga balon yang menahan kateter pada tempatnya
memberikan tekannan pada fossa prostatik.

G. Komplikasi
Pembesaran prostat jinak (BPH) kadang-kadang dapat mengarah pada
komplikasi akibat ketidakmampuan kandung kemih dalam mengosongkan
urin. Beberapa komplikasi yang mungkin dapat timbul antara lain: seiring
dengan semakin beratnya BPH , dapat terjadi obstruksi saluran kemih,
karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan
infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan
gagal ginjal. (Corwin, 2002).
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesika urinaria akan membentuk batu endapan
yang menambah keluhan iritasi dan hematuri. Selain itu, stasis urin dalam
vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang
dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005). Komplikasi lain yang dapat terjadi
pada penderita BPH yaitu: infeksi saluran kemih, penyakit batu kandung
kemih, retensi urin akut atau ketidakmampuan berkemih, kerusakan
kandung kemih dan ginjal.
Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi (meskipun
prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan
saraf pudendal yang tidak dapat dihindari). Pada kebanyakan kasus,
aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 Minggu,
karena saat ini fossa prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi, maka cairan
seminal mengalir ke dalam kandung kemih dan diekskresikan bersama
urin (Brunner & Suddarth, 2002).
Apabila buli-buli menjadi dekompensasi, akan terjadi retensio urin.
Karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak
mampu lagi menampung urin sehinnga tekanan intravesika meningkat,
dapat timbul hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal (Mansjoer, 2000).

H. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram.
Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000),
membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer,
zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra
(Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia
lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi
estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan
bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah
menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam
sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi
pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya
perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan
patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan
oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher
vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor
dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan
prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya
pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher
vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi
keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih
tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli
balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan
mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut
divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot
dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat
digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi
disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat
sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi
terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas
setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak
sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih,
sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan
sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia,
miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak
mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi
dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox
(overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko
ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi
gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi
kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan
hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk
batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu,
stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks
menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
I. Pathway

Perubahan Usia ( Usia Lanjut )

Ketidakseimbangan Hormon
Testosteron

Kadar Testosteron Hiperplasia Sel Stoma


Menurun Pada Jaringan

Mempengaruhi RNA Dalam


Inti Sel

BPH

Pre Operasi Obstruksi Saluran Post Operasi


Kemih yang bermuara
ke vesika urinaria
Perubahan Status Insisi
Mental Protatektomi
Penebalan Otot
ANSIETAS Destrusor Terputusnya
Kontinuitas
Dekompensasi Jaringan
Otot Destrusor

Akumulasi Urin Di
Vesika

Sukar Berkemih, Peregangan V.U


Berkemih Tidak Melebihi Kapasitas
Lancar
Spasme Otot
RETENSI URIN Spinter

NYERI AKUT
J. Terapi Diet
Biasanya pengobatan ataupun terapi yang sering dilakukan oleh penderita
BPH ialah sebagai berikut :
1. Lakukan “Double Voiding” atau buang air kecil dalam dua tahap anda
dapat melakukannya dengan buang air kecil dengan sebanyak
mungkin, beristirahatlah untuk beberapa saat kemudian buang air lagi`
2. Buang air kecil dengan cara duduk bukan berdiri.
3. Jangan batasi asupan cairan untuk menghindari BAK, anda malah
dapat mengalami dehidrasi yang dapat menyebabkan masalah
kesehatan lainnya.
4. Jika anda sering bangun pada tengah malam akibat ingin buang air
anda dapat menghindarinya dengan membatasi asuupan cairan pada
malam hari, dan mengosongkan kandung kemih anda sebelum tidur.
5. Hindari kafein dan alkohol, mengkonsumsinya dapat membuat anda
BAK lebih sering.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa beliau menderita Penyakit Benigna Prostate
Hyperplasia (BPH) atau biasanya orang-orang menyebutnya dengan
prostat merupakan masalah pada saluran kemih pada pria. BPH (Benigna
Prostatic Hyperplasia) adalah pembesaran kelenjar prostat yang menuju
ke dalam kandung kemih dan mengakibatkan obstruksi pada saluran urine
atau pembesaran kelenjar dan jaringan prostat berhubungan dengan
perubahan endokrin. (Brunner and Suddarth, 2002, hal. 1625). Penyakit
Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) menyebabkan terjadinya
pembesaran jaringan prostat periuretral menyebabkan obstruksi leher
kandung kemih dan uretra purs prostatica. Lobus yang mengalami
hipertrofi dapat menyumbat kolum vesikal atau uretra prostatik.
Dengan demikian menyebabkan retensi urine. Berkurangnya aliran
kemih ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan terbentuknya
batu pada saluran kemih, yang menyebabkan susah untuk buang air kecil
apabila dipaksakan untuk mengeluarkan urin makanakan terjadi hematuri
(adanya darah dalam urin) ini disebabkan karena retensi urine dapat
mengakibatkan meningkatnya tekanan kandung kemih sehingga
pembuluh darah pada kandung kemih rusak.

B. Saran
1. Agar mahasiswa dapat lebih baik lagi dalam memahami penyakit
Benigna Prostate Hyperplasia (BPH).
2. Agar mahasiswa dapat menggali kemampunyai dalam membuat
asuhan keperawatan yang lebih baik dan benar.
3. Agar mahasiwa lebih banyak timbul rasa penasaran mengenai penyakit
Benigna Prostate Hyperplasia (BPH).
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E. J., (2009), Buku saku pathofisiologi. Edisi 3. EGC: Jakarta.

IAUI (Ikatan Ahli Urologi Indonesia). (2003). Pedoman penatalaksanaan BPH


diIndonesia. Style sheet: www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf. (Diunduh

Mansjoer, A., dkk, (2000), Kapita selektakedokteran, Edisi Jilid 2, Media


Aesculapius, Jakarta.

Purnomo, B. B., (2000), Dasar-dasar urologi. CV Info Medika: Jakarta.

Roehrborn, C. G., & McConnell, J. D. (2011). Benign prostatic


hyperplasia:etiology, pathophysiology, epidemiology, and natural history.
CampbellWalsh Urology. (10th ed). Philadelphia: Saunders Elsevier.

Sjamsuhidajat, R., & Jong, de.W. (2005). Buku ajar ilmu bedah (Edisi 2). EGC.
(Hal 782–786): Jakarta

Smeltzer S.C., & Bare, B.G. (2003). Brunner & Suddarth’s textbook of
medicalsurgical nursing. (10th Ed). Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai