Anda di halaman 1dari 42

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah yang sering dialami seorang pria usia lanjut yang berhubungan dengan sistem perkemihan adalah Benign Prostatic Hyperlasia (BPH). Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah. Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urine. Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH. Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih berfungsi normal menghasilkan testosteron. Di samping itu pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga berperan dalam proliferasi sel-sel kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi sel-sel prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang selanjutnya protein inilah yang berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat. Fakor-faktor yang mampu meningkatkan sintesis protein growth factor dikenal sebagai faktor ekstrinsik sedangkan protein growth factor dikenal sebagai factor intrinsik yang menyebabkan hiperplasia kelenjar prostat. Sehingga, istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu karena terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Di Indonesia BPH merupakan urutan kedua setelah batu saluran kemih dan diperkirakan ditemukan pada 50% pria berusia diatas 50 tahun dengan angka harapan hidup
1

rata-rata di Indonesia yang sudah mencapai 65 tahun dan diperkirakan bahwa lebih kurang 5% pria Indonesia sudah berumur 60 tahun atau lebih. Kalau dihitung dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih, kira-kira 100 juta terdiri dari pria, dan yang berumur 60 tahun atau lebih kira-kira 5 juta, sehingga diperkirakan ada 2,5 juta laki-laki Indonesia yang menderita BPH. Dengan demikian, akan banyak pula kasus di rumah sakit yang pada umumnya berindikasi pembedahan. Dengan semakin membaiknya pembangunan di negara kita yang akan memberikan dampak kenaikan umur harapan hidup, maka BPH akan semakin bertambah. Oleh karena itu, BPH harus dapat dideteksi oleh para dokter, dengan mengenali manifestasi klinik dari BPH dan dapat dikelola secara rasional sehingga akan memberikan morbiditas dan mortalitas yang rendah dengan biaya yang optimal (Rahardjo,1997). Terapi yang akan diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keluhan pasien, komplikasi yang terjadi, sarana yang tersedia, dan pilihan pasien. Di berbagai daerah di Indonesia kemampuan melakukan diagnosis dan modalitas terapi pasien BPH tidak sama karena perbedaan fasilitas dan sumber daya manusia di tiap-tiap daerah. Walaupun demikian, dokter dan perawat di daerah terpencilpun diharapkan dapat menangani pasien BPH dengan sebaik-baiknya terutama kasus BPH yang berhubungan dengan tindakan pembedahan. Oleh karena itu, kita sebagai calon perawat perlu memiliki pengetahuan yang cukup untuk menangani klien BPH khususnya dalam asuhan keperawatan perioperatif (pra bedah, intra bedah, dan pasca bedah).

1.2 Rumusan Masalah Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan BPH ? 1.3 Tujuan Mahasiswa mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan BPH.

1.4 Manfaat Mahasiswa sebagai calon perawat memiliki pengetahuan yang cukup untuk menangani klien BPH khususnya dalam asuhan keperawatan perioperatif (pra bedah, intra bedah, dan pasca bedah).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Kelenjar Prostat Kelenjar prostat terletak tepat di bawah leher kandung kemih. Kelenjar ini mengelilingi uretra dan dipotong melintang oleh duktus ejakulatorius, yang merupakan kelanjutan dari vas deferen. Kelenjar ini berbentuk seperti buah kenari. Normal beratnya kelenjar prostat kira-kira 20 gram dengan ukuran rata-rata: panjang 3.4 cm, lebar 4.4 cm, tebal 2.6 cm. Pada bagian anterior difiksasi oleh ligamentum pubroprostatikum dan sebelah inferior oleh diafragma urogenital. Pada prostat bagian posterior berumuara duktus ejakulatoris yang berjalan miring dan berakhir pada verumontarum pada dasar uretra prostatika tepat proksimal dan sfingter uretra eksterna. Secara embriologis terdiro dari 5 lobus: lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah, lobus posterior 1 buah, dan lobus lateral 2 buah. Sedangkan menurut klassifikasi Lowsley; prostat terdiri dari lima lobus: anterior, posterior, medial, lateral kanan dan lateral kiri. Sedangkan menurut Mc Neal, prostat dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona transisional, segmen anterior dan zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50 lobulus kelenjar. Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral verumontanum, kelenjar-kelenjar ini dilapisi oleh selapis epitel torak dan bagian basal terdapat sel-sel kuboid (Nasar,1985; Tanango,1995). Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan lobus posterior akan menjadi saru disebut lobus medius. Pada penampang lobus medius kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil dan lobus ini tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari : a. Kapsul anatomis Sebagai jaringan ikat yang mengandung otot polos yang membungkus kelenjar prostat. b. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler c. Jaringan kelenjar yang terbagi atas tiga kelompok bagian : 1) Bagian luar disebut glandula principalis atau kelenjar prostat sebenarnya yang menghasilkan bahan baku sekret.

2) Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatous zone. 3) Di sekitar uretra disebut periurethral gland atau glandula mukosa yang merupakan bagian terkecil. Bagian ini serinng membesar atau mengalami hipertrofi pada usia lanjut. Pada BPH, kapsul pada prostat terdiri dari tiga lapis : a. Kapsul anatomis b. Kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang sebenarnya (outer zone) sehingga terbentuk kapsul c. Kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat. BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan kelenjar. Vaskularisasi kelenjar prostat yang utama berasal dari a. vesikalis inferior (cabang dari a. iliaca interna), a. hemoroidalis media (cabang dari a. mesenterium inferior), dan a. pudenda interna (cabang dari a. iliaca interna). Cabang-cabang dari arteri tersebut masuk lewat basis prostat di Vesico Prostatic Junction. Penyebaran arteri di dalam prostat dibagi menjadi 2 kelompok , yaitu: a. Kelompok arteri uretra, menembus kapsul di postero lateral dari vesico prostatic junction dan memberi perdarahan pada leher buli-buli dan kelompok kelenjar periuretral. b. Kelompok arteri kapsul, menembus sebelah lateral dan memberi beberapa cabang yang memvaskularisasi kelenjar bagian perifer (kelompok kelenjar parauretral).6

Aliran limfe dari kelenjar prostat membentuk plexus di peri prostat yang kemudian bersatu untuk membentuk beberapa pembuluh utama, yang menuju ke kelenjar limfe iliaca interna , iliaca eksterna, obturatoria dan sakral. Persarafan kelenjar prostat sama dengan persarafan kandung kemih bagian inferior yaitu fleksus saraf simpatis dan parasimpatis. Sekresi dan motor yang mensarafi prostat berasal dari plexus simpatikus dari Hipogastricus dan medula sakral III-IV dari plexus sakralis.

Gbr 2.1.1: kelenjar prostat dan uretra (Brown,1982) Darah vena prostat dialirkan kedalam fleksus vena periprostatika yang berhubungan dengan vena dorsalis penis, kemudian dialirkan ke vena iliaka interna yang juga berhubungan dengan pleksus vena presakral. Oleh karena struktur inilah sering dijumpai metastase karsinoma prostat secara hematogen ke tulang pelvis dan vertebra lumbalis. Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan pada orang dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba. Pertambahan unsur kelenjar menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak dan berbatas jelas dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan keluar cairan seperti susu. Apabila jaringan fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu, padat dan tidak mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga penonjolan ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar yang berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari vesika yang dapat mengakibatkan peradangan.
5

2.2 Fisiologi Prostat Kelenjar prostat dikelilingi oleh otot polos yang berkontraksi selama ejakulasi, mengeluarkan lebih kurang 0,5 ml cairan prostat tetapi fungsi pasti cairan ini belum diketahui, paling tidak sebagai medium pembawa sperma. Prostat adalah organ yang bergantung kepada pengaruh endokrin, dapat dianggap imbangannya (counterpart) dengan payudara pada wanita. Kelenjar prostat dibawah pengaruh Androgen Bodies dan dapat dihentikan dengan pemberian Stilbestrol. Jadi prostat dipengaruhi oleh hormon androgen, ternyata bagian yang sensitive terhadap androgen adalah bagian perifer, sedangkan yang sensitive terhadap estrogen adalah bagian tengah. Karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang mengalami hiperplasia, oleh karena sekresi androgen yang berkurang sedangkan estrogen bertambah secara relatif ataupun absolut (Blandy,1983; Ganong, 1983; Burkit 1988). Fungsi Prostat adalah menambah cairan alkalis pada cairan seminalis yang berguna untuk menlindungi spermatozoa terhadap sifat asam yang terapat pada uretra dan vagina. Di bawah kelenjar ini terdapat Kelenjar Bulbo Uretralis yang memilki panjang 2-5 cm yang fungsinya hampir sama dengan kelenjar prostat. Kelenjar ini menghasilkan sekresi yang penyalurannya dari testis secara kimiawi dan fisiologis sesuai kebutuhan spermatozoa. Sewaktu perangsangan seksual, prostat mengeluarkan cairan encer seperti susu yang mengandung berbagai enzim dan ion ke dalam duktus ejakulatorius. Cairan ini menambah volume cairan vesikula seminalis dan sperma. Cairan prostat bersifal basa (alkalis). Sewaktu mengendap di cairan vagina wanita, bersama dengan ejakulat yang lain, cairan ini dibutuhkan karena motilitas sperma akan berkurang dalam lingkungan dengan pH rendah. 2.3 Pengertian BPH BPH atau Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab/UPF Ilmu Bedah RSUD Dr Soetomo, 1994 : 193). Istilah Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami hiperplasian (sel-selnya bertambah banyak. Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di benigna hiperplasia of prostat gland atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai.

Hiperplasia adalah penambahan ukuran suatu jaringan yang disebabkan oleh penambahan jumlah sel pembentuknya. Hiperplasia prostat adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secara histologi yang dominan adalah hiperplasia.

Gambar. 2.3.1: Gambar BPH 2.4 Patofisiologi BPH BPH terjadi pada umur yang semakin tua (>45 tahun) di mana fungsi testis sudah menurun. Akibat penurunan fungsi testis ini menyebabkan ketidakseimbangan hormon testosterone dan dehidrotestosteron sehingga memacu pertumbuhan dan pembesaran prostat. Makroskopik dapat mencapai 60-100 gram dan kadang-kadang lebih besar lagi 200 gram atau lebih. Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya usia sehingga terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu terjadi reduksi testosteron menjadi Dehidrotestosteron dalam sel prostat yang kemudian menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel. Hal ini dapat menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesis protein yang kemudian menjadi hiperplasia kelenjar prostat (Mansjoer, 2000 hal 329; Poernomo, 2000 hal 74). Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, maka akan terjadi penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intra vesikel. Untuk dapat mengeluarkan urine buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan tersebut, sehingga akan terjadi resistensi pada buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga
7

timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urine (Mansjoer, 2000, hal 329; Poernomo, 2000 hal 76). Tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks-vesiko ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan akhirnya dapat terjadi gagal ginjal (Poernomo, 2000, hal 76). 2.5 WOC 2.6 Etiologi BPH akan ditemukan pada umur kira-kira 45 tahun dan frekuensi makin bertambah sesuai dengan bertambahnya umur, sehingga di atas umur 80 tahun kira-kira 80% menderita penyakit ini. Penyebab pasti BPH ini masih belum diketahui, penelitian sampai tingkat biologi molekuler belum dapat mengungkapkan dengan jelas etiologi terjadinya BPH. Etiologi sekarang, dianggap ketidakseimbangan hormonal oleh karena proses ketuaan yaitu hormon endokrin testosterone yang dianggap mempengaruhi tepi prostat, sedangkan estrogen (di buat oleh kelenjar adrenal) mempengaruhi bagian tengah prostat. Salah satu teori ialah teori Testosteron (T) yaitu T bebas yang dirubah menjadi Dehydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5a reduktase yang merupakan bentuk testosteron yang aktif yang dapat ditangkap oleh reseptor DHT didalam sitoplasma sel prostat yang kemudian bergabung dengan reseptor inti sehingga dapat masuk kedalam inti untuk mengadakan inskripsi pada RNA sehingga akan merangsang sintesis protein. Teori yang disebut diatas menjadi dasar pengobatan BPH dengan inhibitor 5a reduktase (Rahardjo,1997). Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya Benigne Prostat Hyperplasia antara lain : 1. Teori Dehidrotestosteron (DHT) Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam target cell yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5 dehidrotestosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi hormone receptor complex. Kemudian
8

hormone receptor complex ini mengalami transformasi reseptor, menjadi nuclear receptor yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada kromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat. 2. Teori Hormonal Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia stroma. 3. Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan) Terdapat empat peptic growth factor yaitu: basic transforming growth factor, transforming growth factor 1, transforming growth factor 2, dan epidermal growth factor. Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan penurunan transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel. Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat. 4. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati. Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat. 5. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis) Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan steady state, antara pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan (Poernomo, 2000, hal 74-75).

Gambar. 2.6.1:

A. Prostat normal ; 1.uretra; 2.kelenjar periuretra; 3.kelenjar prostat. B. Hiperplasi prostat ; 1.uretra yg terjepit; 2.periuretra yang hiperplasi; 3.kelenjar asli prostat yang tertekan menjadi seperti simpai (simpai prostat).

Gambar. 2.6.2: Serabut otot yang tertekan membentuk surgical capsule. 2.7 Tanda dan Gejala Klinik Pembesaran kelenjar prostat dapat terjadi asimtomatik baru terjadi kalau neoplasma telah menekan lumen urethra prostatika, urethra menjadi panjang (elongasil), sedangkan kelenjar prostat makin bertambah besar. Ukuran pembesaran noduler ini tidaklah

10

berhubungan dengan derajat obstruksi yang hebat, sedangkan yang lain dengan kelenjar prostat yang lebih besar obstruksi yang terjadi hanya sedikit, karena dapat ditoleransi dengan baik. Tingkat keparahan penderita BPH dapat diukur dengan skor IPSS (Internasional Prostate Symptom Score) diklasifikasi dengan skore 0-7 penderita ringan, 8-19 penderita sedang dan 20-35 penderita berat (Rahardjo,1997). Ada juga yang membagi berdasarkan derajat penderita hiperplasi prostat berdasarkan gambaran klinis: (Sjamsuhidajat,1997). Secara klinik derajat berat BPH dibagi menjadi 4 gradasi, yaitu : Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan protatismus, pada DRE (colok dubur) ditemukan penonjolan prostat dan sisa urin kurang dari 50 ml. Penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum prostat menonjol pada bladder inlet. Pada derajat ini belum memerlukan tindakan operatif, dapat diberikan pengobatan secara konservatif , misal alfa bloker, prazozin, terazozin 1-5 mg per hari. Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum, prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter. Batas atas masih teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml. Pada derajat ini sudah ada indikasi untuk intervensi operatif. Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urine lebih dari 100 ml. penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum. Prostat menonjol sampai

muara ureter. TURP masih dapat dilakukan akan tetapi bila diperkirakan reseksi tidak selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka. Derajat 4 : Terjadi retensi urin total. Penonjolan > 3 cm ke dalam rektum prostat menonjol melewati muara ureter. Tanda klinik terpenting pada BPH adalah ditemukannya pembesaran pada pemeriksaan colok dubur/digital rectal examination (DRE). Pada BPH, prostat teraba membesar dengan konsistensi kenyal.

11

Pada penderita BPH dengan retensi urin pemasangan kateter merupakan suatu pertolongan awal, selain menghilangkan rasa nyeri juga mencegah akibat-akibat yang dapat ditimbulkan karena adanya bendungan air kemih ( Sarim,1987). Gejala hiperplasia prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih. Di antaranya adalah:

1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms (LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretra pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala obstruktif antara lain : 1) Harus menunggu pada permulaan miksi (hesistancy) 2) Pancaran miksi yang lemah (weak stream) 3) Miksi terputus (intermittency) 4) Menetes pada akhir miksi (terminal dribbling) 5) Rasa belum puas sehabis miksi (sensation of incomplete bladder emptying). Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hiperplasia prostat masih tergantung tiga faktor, yaitu : 1) Volume kelenjar periuretral 2) Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat 3) Kekuatan kontraksi otot detrusor Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga meskipun volume kelenjar periuretral sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan. Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaria yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala iritatif antara lain : 1) Bertambahnya frekuensi miksi (frequency)
12

2) Nokturia 3) Miksi sulit ditahan (urgency) 4) Disuria (nyeri pada waktu miksi) Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi : Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml

Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas + sisa urin > 150 ml. Timbulnya dekompensasi vesica urinaria biasanya didahului oleh beberapa factor pencetus, antara lain: 1) Volume vesica urinaria tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung diuretikum (alkohol, kopi) dan minum air dalam jumlah yang berlebihan. 2) Massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat akut. 3) Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor atau yang dapat mempersempit leher vesica urinaria, antara lain: golongan antikolinergik atau alfa adrenergik.

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.

3. Gejala di luar saluran kemih Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Poernomo, 2000, hal 77 78; Mansjoer, 2000, hal 330). Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH, mempunyai tanda dan gejala:
13

1. Hemorogi 2. Hematuri 3. Peningkatan nadi 4. Tekanan darah menurun 5. Gelisah 6. Kulit lembab 7. Temperatur dingin 8. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat 9. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini: a. bingung b. agitasi c. kulit lembab d. anoreksia e. mual f. muntah g.warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.

2.8 Komplikasi Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut : a. Inkontinensia Paradoks b. Batu Kandung Kemih c. Hematuria d. Sistitis e. Pielonefritis f. Retensi Urin Akut Atau Kronik g. Refluks Vesiko-Ureter h. Hidroureter dan Hidronefrosis i. Gagal Ginjal

14

2.9 Pemeriksaan Fisik a. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok - septik. b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis. c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis. d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu : i. Derajat I = beratnya 20 gram. ii. Derajat II = beratnya antara 20 40 gram. iii. Derajat III = beratnya > 40 gram. Pemeriksaan fisik diagnostik yang paling penting untuk BPH adalah colok dubur (digital rectal examination). Pada pemeriksaan ini akan dijumpai pembesaran prostat teraba simetris dengan konsistensi kenyal, Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus sfingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan: 1.Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal) 2. Adakah asimetris 3. Adakah nodul pada prostat 4. Apakah batas atas dapat diraba 5. Sulcus medianus prostat 6. Adakah krepitasi

15

Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat teraba membesar, konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, permukaan rata, lobus kanan dan kiri simetris, tidak didapatkan nodul, dan menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat, batas atas semakin sulit untuk diraba. Sedangkan pada karcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi. Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus. Jika pada colok dubur teraba kelenjar prostat dengan konsistensi keras, harus dicurigai suatu karsinoma. Franks pada tahun 1954 mengatakan: BPH terjadi pada bagian dalam kelenjar yang mengelilingi urethra prostatika sedangkan karsinoma terjadi di bagian luar pada lobus posterior (Jonhson,1988; Burkit,1990). Kelenjar prostat Normal

16

Kelenjar prostat Hiperplasia, ada pendorongan prostat kearah rectum

Kelenjar prostat Karsinoma, teraba nodul keras

2.10 Pemeriksaan Penunjang a). Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi. 1) Darah : a) Ureum dan Kreatinin b) Elektrolit c) Blood urea nitrogen d) Prostate Specific Antigen (PSA) e) Gula darah

17

2) Urin : a) Kultur urin + tes sensitifitas b) Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik c) Sedimen Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan. Faal ginjal diperiksa untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas. Sedangkan gula darah dimaksudkan untuk mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada vesica urinaria. b). Pemeriksaan Pencitraan 1) Foto polos abdomen (BNO) BNO berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan vesica urinaria yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda dari suatu retensi urine. Selain itu juga bisa menunjukkan adanya hidronefrosis, divertikel kandung kemih atau adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat. 2) Pielografi Intravena (IVP) Pemeriksaan IVP dapat menerangkan kemungkinan adanya: a) Kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis. b) Memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya indentasi prostat (pendesakan vesica urinaria oleh kelenjar prostat) atau ureter di sebelah distal yang berbentuk seperti mata kail atau hooked fish. c) Penyulit yang terjadi pada vesica urinaria yaitu adanya trabekulasi, divertikel, atau sakulasi vesica urinaria. d) Foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin. 3) Sistogram retrograd Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi. 4) USG secara transrektal (Transrectal Ultrasonography = TURS) Untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan pembesaran prostat maligna, sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi
18

prostat, menentukan volume vesica urinaria dan jumlah residual urine, serta mencari kelainan lain yang mungkin ada di dalam vesica urinaria seperti batu, tumor, dan divertikel. 5) Pemeriksaan Sistografi Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. Sistografi dapat memberikan gambaran kemungkinan tumor di dalam vesica urinaria atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter, atau batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu juga memberi keterangan mengenai basar prostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam uretra. 6) MRI atau CT Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam macam potongan. c). Pemeriksaan Lain 1) Uroflowmetri Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Untuk mengetahui derajat obstruksi, yaitu dengan mengukur pancaran urine pada waktu miksi. Kecepatan aliran urine dipengaruhi oleh kekuatan kontraksi otot detrusor, tekanan intravesica, dan tahanan uretra. Angka normal laju pancaran urin ialah 10-12 ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan. 2) Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies) Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur. 3) Pemeriksaan Volume Residu Urin Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang masih tinggal atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat
19

pula dilakukan dengan membuat foto post voiding pada waktu membuat IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada penderita prostat hipertrofi. 2.11 Penatalaksanaan Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHO Prostate Symptom Score). Skor ini berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.1,8 Pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV digunakan untuk menentukan cara penanganan. a. Derajat I biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat diberikan pengobatan secara konservatif. b. Derajat II sebenarnya sudah ada indikasi untuk melakukan intervensi operatif, dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai cara terpilih ialah trans uretral resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita masih belum mau dilakukan operasi, dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan pengobatan konservatif. c. Derajat III, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang cukup berpengalaman biasanya pada derajat tiga ini besar prostat sudah lebih dari 60 gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka. d. Derajat IV tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan jalan memasang kateter atau memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TURP atau operasi terbuka. Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan. Tindakan bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus). Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah yang mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah. Mengingat
20

gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh tiga faktor yaitu pembesaran kelenjar periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya kekuatan detrusor, maka pengobatan gejala klinik ditujukan untuk : a. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat b. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat c. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada leher vesica urinaria. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang invasif.

Observasi (Watchful waiting) Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasihat yang diberikan adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obatobatan dekongestal (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi, dan tidak diperbolehkan minuman alkohol agar tidak sering miksi. Setiap 3 bulan lakukan kontrol keluhan (sistem skor), sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur.

Medikamentosa Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk: 1. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan blocker (penghambat alfa adrenergik). 2. Menurunkan volume prostat dengan cara menurunkan kadar hormon

testosteron/dehidrotestosteron (DHT). Obat Penghambat Adrenergik Dasar pengobatan ini adalah mengusahakan agar tonus otot polos di dalam prostat dan leher vesica berkurang dengan menghambat rangsangan alpha adrenergik. Seperti diketahui di dalam otot polos prostat dan leher vesica banyak terdapat reseptor alpha adrenergik. Obatobatan yang sering digunakan prazosin, terazosin, doksazosin, dan alfuzosin. Obat penghambat alpha adrenergik yang lebih selektif terhadap otot polos prostat yaitu 1a (tamsulosin), sehingga efek sistemik yang tak diinginkan dari pemakai obat ini dapat dikurangi. Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis tamzulosin 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaan

21

antagonis alpha 1 adrenergik untuk mengurangi obstruksi pada vesica tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat-obatan golongan ini memberikan perbaikan laju pancaran urine, menurunkan sisa urin dan mengurangi keluhan. Obat-obat ini juga memberi penyulit hipotensi, pusing, mual, lemas, dan meskipun sangat jarang bisa terjadi ejakulasi retrograd, biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam waktu 1-2 minggu setelah pemakaian obat.

Obat Penghambat Enzim 5 Alpha Reduktase Obat yang dipakai adalah finasterid (proskar) dengan dosis 1x5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan dehidrotestosteron sehingga prostat yang membesar dapat mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat daripada golongan alpha blocker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang sangat besar. Salah satu efek samping obat ini adalah melemahkan libido dan ginekomastia.

Terapi Operatif Tindakan operasi ditujukan pada hiperplasi prostat yang sudah menimbulkan penyulit tertentu, antara lain: retensi urin, batu saluran kemih, hematuri, infeksi saluran kemih, kelainan pada saluran kemih bagian atas, atau keluhan LUTS yang tidak menunjukkan perbaikan setelah menjalani pengobatan medikamentosa. Tindakan operasi yang dilakukan adalah operasi terbuka atau operasi endourologi transuretra. Indikasi pembedahan pada BPH adalah : 1. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut (100 ml). 2. Klien dengan residual urin yaitu urine masih tersisa di kandung kemih setelah klien buang air kecil > 100 Ml. 3. Klien dengan penyulit yaitu klien dengan gangguan system perkemihan seperti retensi urine atau oliguria. 4. Terapi medikamentosa tidak berhasil. 5. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif. a. Prostatektomi terbuka

1) Retropubic infravesica (Terence Millin) Keuntungan :


1. 2. 3.

Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada subservikal. Mortality rate rendah Langsung melihat fossa prostat
22

4. 5. 6.

Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli Perdarahan lebih mudah dirawat Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu selama bila membuka vesika.

Kerugian :
1. 2. 3. 4. 5.

Dapat memotong pleksus santorini Mudah berdarah Dapat terjadi osteitis pubis Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari dalam vesika.

Komplikasi : perdarahan, infeksi, osteitis pubis, trombosis

2) Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer) Keuntungan :


1. 2. 3.

Baik untuk kelenjar besar Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan penyulit : batu buli, batu ureter distal, divertikel, uretrokel, adanya sistostomi, retropubik sulit karena kelainan os pubis, kerusakan sphingter eksterna minimal.

Kerugian : 1. Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding vesica sembuh 2. Sulit pada orang gemuk 3. Sulit untuk kontrol perdarahan 4. Merusak mukosa kulit 5. Mortality rate 1 -5 % Komplikasi : Striktura post operasi (uretra anterior 2 5 %, bladder neck stenosis 4%), Inkontinensia (<1%), Perdarahan , Epididimo orchitis, Recurent (10 20%), Carcinoma, Ejakulasi retrograde, Impotensi, Fimosis, Deep venous thrombosis

3) Transperineal Keuntungan :
23

1. 2. 3. 4.

Dapat langssung pada fossa prostat Pembuluh darah tampak lebih jelas Mudah untuk pinggul sempit Langsung biopsi untuk karsinoma

Kerugian :
1. 2. 3. 4. 5.

Impotensi Inkontinensia Bisa terkena rektum Perdarahan hebat Merusak diagframa urogenital

b.

Prostatektomi Endourologi

1)Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP) Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif dan berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi retrograd dan pada sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh pasien yang sungguh membutuhkan tindakan bedah. Untuk keperluan tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna untuk membedakan pasien dengan obstruksi dari pasien non-obstruksi. Evaluasi ini berperan selektif dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan TURP. Saat ini tindakan TURP merupakan tindakan operasi paling banyak dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan trans-uretra dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar supaya daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah adalah H2O steril (aquades). Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan air dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam keadaan koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%. Karena itu untuk mengurangi timbulnya sindroma TURP dipakai cairan non ionik yang lain tetapi harganya lebih mahal daripada aquades, antara lain adalah cairan glisin, membatasi
24

jangka waktu operasi tidak melebihi 1 jam, dan memasang sistostomi suprapubik untuk mengurangi tekanan air pada buli-buli selama reseksi prostat. Keuntungan :
1. 2. 3. 4. 5.

Luka incisi tidak ada Lama perawatan lebih pendek Morbiditas dan mortalitas rendah Prostat fibrous mudah diangkat Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol

Kerugian :
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Teknik sulit Resiko merusak uretra Intoksikasi cairan Trauma sphingter eksterna dan trigonum Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar Alat mahal Ketrampilan khusus

Komplikasi:
1. 2. 3.

Selama operasi : perdarahan, sindrom TURP, dan perforasi Pasca bedah dini : perdarahan, infeksi lokal atau sistemik Pasca bedah lanjut : inkontinensia, disfungsi ereksi, ejakulasi retrograd, dan striktura uretra.

2)Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP) Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan pada pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau incisi leher buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini juga dilakukan secara endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti yangg dipakai pada TURP tetapi memakai alat pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai dari dekat muara ureter sampai dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai tampak kapsul prostat. Kelebihan dari metode ini adalah lebih cepat daripada TURP dan menurunnya kejadian ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara TURP.

25

BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Pengkajian Preoperatif BPH 1. Riwayat Keperawatan Suspect BPH umur > 60 tahun Pola urinari : frekuensi, nocturia, disuria. Gejala obstruksi leher buli-buli : prostatisme (Hesitansi, pancaran, melemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa) Jika frekuensi dan noctoria tak disertai gejala pembatasan aliran non Obstruktive seperti infeksi. BPH hematuri 2. Pemahaman klien tentang kejadian Ahli bedah bertanggung jawab, untuk menjelaskan sifat operasi, semua pilihan alternatif, hasil yang diperkirakan dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi. Ahli bedah mendapatkan dua consent (ijin) satu untuk prosedur bedah dan satu untuk anestesi. Perawat bertanggung jawab untuk menentukan pemahaman klien tentang informasi, lalu memberitahu ahli bedah apakah diperlukan informasi lebih banyak (informed consent). 3. Kondisi akut dan kronis : Untuk mengkompensasi pengaruh trauma bedah dan anestesi, tubuh manusia membutuhkan fungsi pernafasan, sirkulasi, jantung, ginjal, hepar dan hematopoetik yang optimal. Setiap kondisi yang mengganggu fungsi sistem ini (misalnya: DM, gagal jantung kongestif, PPOM. Anemia, sirosuis, gagal ginjal) dapat mempengaruhi pemulihan. Disamping itu faktor lain, misalnya usia lanjut, kegemukan dan penyalahgunaan obat / alkohol membuat klien lebih rentan terhadap komplikasi. 4. Pengalaman bedah sebelumnya Perawat mengajukan pertanyaan spesifik pada klien tentang pengalaman pembedahan masa lalu. Informasi yang didapatkandigunakan untuk meningkatkan kenyamanan (fisik dan psikologis) untuk mencegah komplikasi serius. 5. Status Nutrisi Status nutrisi klien praoperatif secara langsung mempengaruhi responnya pada trauma pembedahan dan anestesi. Setelah terjadi luka besar, baik karena trauma atau bedah, tubuh
26

harus membentuk dan memperbaiki jaringan serta melindungi diri dari infeksi. Untuk membantu proses ini, klien harus meningkatkan masukan protein dan karbohidrat dengan cukup untuk mencegah keseimbangan nitrogen negatif, hipoalbuminemia, dan penurunan berat badan. Status nutrisi merupakan akibat masukan tidak adekuat, mempengaruhi metabolik atau meningkatkan kebutuhan metabolik. 6. Status cairan dan elektrolit Klien dengan gangguan keseimbangan cairan dan elektolit cenderung mengalami shock, hipotensi, hipoksia, dan disritmia, baik pada intraoperatif dan pascaoperatif. Fluktuasi valume cairan merupakan akibat dari penurunan masukan cairan atau kehilangan cairan abnormal. 7. Status emosi. Respon klien, keluarga dan orang terdekat pada tindakan pembedahan yang direncanakan tergantung pada pengalaman masa lalu, strategi koping, signifikan pembedahan dan sistem pendukung. Kebanyakan klien dengan pembedahan mengalami ancietas dan ketakutan yang disebabkan penatalaksanaan tindakan operasi, nyeri, dan immobilitas. 8. Pemeriksaan Fisik a. Perhatian khusus pada abdomen ; Defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis menunjukkan renal insufisiensi dari obstruksi yang lama. b. Distensi kandung kemih c. Inspeksi : Penonjolan pada daerah supra pubik retensi urine d. Palpasi : Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan pasien ingin buang air kecil retensi urine e. Perkusi : Redup residual urine f. Pemeriksaan penis : uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis. g. Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur) posisi knee chest a. Syarat Tujuan : : buli-buli kosong/dikosongkan Menentukan konsistensi prostat Menentukan besar prostat. 9. Pemeriksaan Radiologi Pada Pemeriksaan Radiologi ditujukan untuk
27

a) Menentukan volume Benign Prostatic Hyperplasia b) Menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residual urine c) Mencari ada tidaknya kelainan baik yang berhubungan dengan Benign Prostatic Hyperplasia atau tidak

Beberapa Pemeriksaan Radiologi a. Intra Vena Pyelografi ( IVP ) : Gambaran trabekulasi buli, residual urine post miksi, dipertikel buli. Indikasi : disertai hematuria, gejala iritatif menonjol disertai urolithiasis

Tanda BPH : Impresi prostat, hockey stick ureter b. c. BOF : Untuk mengetahui adanya kelainan pada renal Retrografi dan Voiding Cystouretrografi : untuk melihat ada tidaknya refluk vesiko ureter/striktur uretra. d. USG : Untuk menentukan volume urine, volume residual urine dan menilai pembesaran prostat jinak/ganas

10. Pemeriksaan Uroflowmetri Berperan penting dalam diagnosa dan evaluasi klien dengan obstruksi leher buli-buli 11. Pemeriksaan Laborat Urinalisis (test glukosa, bekuan darah, UL, DL, RFT, LFT, Elektrolit, Na,/K, Protein/Albumin, pH dan Urine Kultur). Jika infeksi:pH urine alkalin, spesimen terhadap Sel Darah Putih, Sel Darah Merah atau PUS. RFT evaluasi fungsi renal Serum Acid Phosphatase Prostat Malignancy. Trauma bedah yang direncanakan, menimbulkan rentang respon fisiologis dan psikologis pada klien, tergantung pada individu dan pengalaman masa lalu yang unik, pola koping, kekuatan dan keterbatasan. Kebanyakan klien dan keluarganya memandang setiap tindakan bedah merupakan peristiwa besar dan mereka bereaksi dengan takut dan ansietas pada tingkat tertentu.

28

Pengertian Keperawatan Pre operatif Keperawatan Perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tanggung jawab keperawatan yang berhubungan dengan fase-fase preoperatif, intraoperatif, pemulihan pascaanestesi dan pascabedah. Sepanjang periode perioperatif, perawat menerapkan proses keperawatan untuk mengidentifikasi fungsi positip, perubahan fungsi, dan potensial perubahan fungsi pada klien. Adapun tanggung jawab keperawatan untuk masing-masing fase berfokus pada masalah kesehatan spesifik aktual atau resiko. Fokus Asuhan Keperawatan Pada periode Pre operatif 1. Fase Preoperatif a. b. c. d. 2. Pengkajian Preoperatif Penyuluhan Preoperatif Persiapan untuk pindah ke ruang operasi Dukungan orang terdekat

Fase Intraoperatif a. b. c. d. e. Keamanan lingkungan Kontrol Asepsis Pemantauan fisiologis Dukungan psikologis (prainduksi) Pemindahan ke ruang pemulihan pascaanestesi

3.

Fase Pemulihan Pascaanestesi a. b. c. d. e. Pemantauan fisiologis (jantung, pernafasan, sirkulasi, ginjal dan neurologis) Dukungan psikologis Keamanan lingkungan Tindakan kenyamanan Stabilitas untuk pindah ke unit atau bangsal

4.

Fase Pascaoperatif a. b. c. d. e. f. Pemantauan fisiologis Dukungan psikologis Tindakan kenyamanan Dukungan orang terdekat Keseimbangan fisiologis (nutrisi, cairan dan eliminasi) Mobilisasi Penyembuhan luka
29

g.

Penyuluhan pulang.

3.2 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan pada Klien BPH Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah sebagai berikut : Pre Operasi : 1. Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih unmtuk berkontraksi secara adekuat. 1. Tujuan : tidak terjadi obstruksi 2. Kriteria hasil : a. Berkemih dalam jumlah yang cukup b. Tidak teraba distensi kandung kemih 3. Rencana Tindakan: a. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan. Rasional: Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung kemih b. Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran urin. Rasional: Untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi c. Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih. Rasional: Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal d. Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung. Rasional: Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta membersihkan ginjal, kandung kemih dari pertumbuhan bakteri e. Berikan obat sesuai indikasi (antispamodik). Rasional: Mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat penyembuhan 2. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli buli, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria. 1. Tujuan :Nyeri hilang / terkontrol 2. Kriteria hasil:
30

a. Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol b. Menunjukkan ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu. c. Tampak rileks, tidur / istirahat dengan tepat 3. Rencana Tindakan: a. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan Rasional: Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung kemih b. Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran urina Rasional: Untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi c. Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih. Rasional: Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. d. Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung. Rasional: Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta membersihkan ginjal, kandung kemih dari pertumbuhan bakteri. e. Berikan obat sesuai indikasi (antispamodik). Rasional: Mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat penyembuhan 3. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis. 1. Tujuan: Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara. 2. Kriteria hasil: Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin tepat. 3. Rencana Tindakan: a. Awasi keluaran tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml Rasional: Diuresis yang cepat dapat mengurangkan volume total karena ketidakl cukupan jumlah natrium diabsorbsi tubulus ginjal. b. Pantau masukan dan haluaran cairan. Rasional: Indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.

31

c. Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat. Rasional: Deteksi dini terhadap hipovolemik sistemik. d. Tingkatkan tirah baring dengan kepala lebih tinggi. Rasional: Menurunkan kerja jantung memudahkan hemeostatis sirkulasi. e. Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh: Hb / Ht, jumlah sel darah merah. Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosit. Rasional: Berguna dalam evaluasi kehilangan darah / kebutuhan penggantian. Serta dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi misalnya penurunan faktor pembekuan darah 4. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur bedah 1. Tujuan: Pasien tampak rileks. 2. Kriteria hasil: a. Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi b. Menunjukkan rentang yang yang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut 3. Rencana Tindakan: a. Dampingi klien dan bina hubungan saling percaya. Rasional: Menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu b. Memberikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan. Rasional: Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan c. Dorong pasien atau orang terdekat untuk menyatakan masalah atau perasaan. Rasional: Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan masalah 5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi 1. Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya 2. Kriteria hasil: a. Melakukan perubahan pola hidup atau prilasku ysng perlu

32

b. Berpartisipasi dalam program pengobatan 3. Rencana Tindakan: 1. Dorong pasien menyatakan rasa takut persaan dan perhatian. Rasional: Membantu pasien dalam mengalami perasaan 2. Kaji ulang proses penyakit,pengalaman pasien. Rasional: Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi terapi. Dari data yang telah dikumpulkan pada pasien dengan BPH Post Prostatektomi dapat dikelompokkan menjadi: 1. Data subyektif : a. Pasien mengeluh sakit pada luka insisi, karakteristik luka, luka berwarna merah. b. Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual. c. Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan. d. Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa. 2. Data Obyektif: a. Terdapat luka insisi, karakteristik luka berwarna merah. b. Takikardia, normalnya 80-100 kali/menit. c. Gelisah. d. Tekanan darah meningkat, normalnya 120/80 mmHg. e. Ekspresi wajah ketakutan. f. Terpasang kateter.

3. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan laboratorium Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopis urin penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dan fungsi ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan Prostat Specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai SPA < 4mg / ml tidak perlu biopsy. Sedangkan bila nilai SPA 410 mg / ml, hitunglah Prostat Spesific

33

Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 mg/ml.

b. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan sitoskopi. Dengan tujuan untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi bulibuli dan volume residu urine, mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan dengan BPH. Dari semua jenis pemeriksaan dapat dilihat: Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada batu traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli buli. Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter belokbelok di vesika) Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa masa ginjal, mendeteksi residu urine, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli buli (Arif Mansjoer, 2000).

Pemeriksaan Diagnostik. 1) Urinalisis : warna kuning, coklat gelap, merah gelap / terang, penampilan keruh, Ph : 7 atau lebih besar, bacteria 2) Kultur Urine : adanya staphylokokus aureus, proteus, klebsiella, pseudomonas, e. coli. 3) BUN / kreatinin : meningkat. 4) IVP : menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih dan adanya pembesaran prostat, penebalan otot abnormal kandung kemih. 5) Sistogram : mengukur tekanan darah dan volume dalam kandung kemih. 6) Sistouretrografi berkemih : sebagai ganti IVP untuk menvisualisasi kandung kemih dan uretra dengan menggunakan bahan kontras lokal. 7) Sistouretroscopy : untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan kandung kemih. 8) Transrectal ultrasonografi : mengetahui pembesaran prosat, mengukur sisa urine dan keadaan patologi seperti tumor atau batu (R.Sjamsuhidayat, 2004).

Diagnosa dan Intervensi Keperawatan pada Klien Post Operasi 1. Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi bedah. 1. Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang. 2. Kriteria hasil
34

a. Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang b. Ekspresi wajah klien tenang. c. Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi. d. Klien akan tidur / istirahat dengan tepat. e. Tanda tanda vital dalam batas normal 3. Rencana Tindakan: a. Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih. Rasional: Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih b. Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk mengenal gejala gejala dini dari spasmus kandung kemih. Rasional: Menentukan terdapatnya spasmus sehingga obat obatan bisa diberikan c. Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan berkurang dalam 24 sampai 48 jam. Rasional: Memberitahu klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer Rasional: penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke seputar kateter Mengurang kemungkinan spasmus. d. Anjurkan pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang lama sesudah tindakan TUR-P. Rasional: Mengurangi tekanan pada luka insisi e. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan nafas dalam, visualisasi Rasional: Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping f. Jagalah selang drainase urine tetap aman dipaha untuk mencegah peningkatan tekanan pada kandung kemih. Irigasi kateter jika terlihat bekuan pada selang Rasional: Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan darah dapat menyebabkan distensi kandung kemih dengan peningkatan spasme g. Observasi tanda tanda vital. Rasional: Mengetahui perkembangan lebih lanjut. h. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat obatan (analgesik atau anti spasmodik ). Rasional: Menghilangkan nyeri dan mencegah spasmus kandung kemih. 2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering. 1. Tujuan: Klien tidak menunjukkan tanda tanda infeksi. 2. Kriteria hasil:
35

a. Klien tidak mengalami infeksi. b. Dapat mencapai waktu penyembuhan. c. Tanda tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda tanda shock 3. Rencana Tindakan: a. Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril Rasional: Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi b. Anjurkan intake cairan yang cukup (2500 3000) sehingga dapat menurunkan potensial infeksi. Rasional: Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal c. Pertahankan posisi urobag dibawah. Rasional: Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih d. Observasi tanda tanda vital, laporkan tanda tanda shock dan demam. Rasional: Mencegah sebelum terjadi shock. e. Observasi urine: warna, jumlah, bau. Rasional: Mengidentifikasi adanya infeksi. f. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotic. Rasional: Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan 3. Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan 1. Tujuan: Tidak terjadi perdarahan. 2. Kriteria hasil: a. Klien tidak menunjukkan tanda tanda perdarahan . b. Tanda tanda vital dalam batas normal . c. Urine lancar lewat kateter . 3. Rencana Tindakan : a. Jelaskan pada klien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan tanda tanda perdarahan. Rasional: Menurunkan kecemasan klien dan mengetahui tanda tanda perdarahan b. Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter . Rasional: Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih

36

c. Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk memudahkan defekasi Rasional: Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan mengendapkan perdarahan d. Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau huknah, untuk sekurang kurangnya satu minggu. Rasional: Dapat menimbulkan perdarahan prostat e. Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi dilepas Rasional: Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 6 jam setelah pembedahan f. Observasi: Tanda tanda vital tiap 4 jam,masukan dan haluaran dan warna urine Rasional: Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat mencegah kerusakan jaringan yang permanen. 4. Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi 1. Tujuan: Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan . 2. Kriteria hasil: a. Klien akan melakukan perubahan perilaku. b. Klien berpartisipasi dalam program pengobatan. c. Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan kebutuhan berobat lanjutan 3. Rencana tindakan: a. Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu. Rasional: Dapat menimbulkan perdarahan b. Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6 minggu; dan memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan. Rasional: Mengedan bisa menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa mengurangi kebutuhan mengedan pada waktu BAB c. Pemasukan cairan sekurangkurangnya 2500-3000 ml/hari . Rasional:

Mengurangi potensial infeksi dan gumpalan darah


37

d. Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter . Rasional: Untuk menjamin tidak ada komplikasi e. Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh . Rasional: Untuk membantu proses penyembuhan. 5. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan 1. Tujuan: Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi. 2. Kriteria hasil: a. Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup. b. Klien mengungkapan sudah bisa tidur . c. Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur . 3. Rencana tindakan: a. Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk menghindari. Rasional: Meningkatkan pengetahuan klien sehingga mau kooperatif dalam tindakan perawatan b. Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan Rasional: Suasana tenang akan mendukung istirahat c. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur. Rasional: Menentukan rencana mengatasi gangguan d. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri (Analgesik). Rasional: Mengurangi nyeri sehingga klien bisa istirahat dengan cukup 6. Gangguan mobilitas fisik dan intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembedahan. 1. Tujuan: Memperbaiki mobilitas fisik.

2. Intervensi Keperawatan a. Kaji terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terbatasnya gerakan (misalnya: nyeri). b. Redakan nyeri dengan memberikan medikasi yang diresepkan.
38

c. Dorong penggunaan alat bantu tongkat untuk berjalan. d. Libatkan orang terdekat dalam membantu pasien saat latihan rentang gerak, mengubah posisi dan berjalan. e. Puji pasien saat ia berhasil menyelesaikan hal-hal yang kecil. 3. Rasional a. Analgesic memungkinkan pasien untuk meningkatkan aktivitasnya lebih nyaman. b. Dukungan dapat memberikan keamanan yang diperlukan untuk menjadi lebih mobile. c. Bantuan dari pasangan atau orang lain yang dekat dengan pasien mendorong pasien untuk mengulangi aktivitas dan mencapai tujuan. 4. Hasil yang Diharapkan a. Mencapai mobilitas fisik yang lebih baik. b. Menunjukkan bahwa tujuan jangka pendek lebih mendorong pasien karena tujuan tersebut lebih cepat dicapai.

7. Disfungsi seksual berhubungan dengan pembedahan 1. Tujuan: Mampu untuk melanjutkan/menikmati fungsi seksual yang dimodifikasi.

2. Intervensi Keperawatan a. Tetapkan kondisi-kondisi medis pasien yang mempengaruhi fungsi seksual dari riwayat keperawatan. b. Informasikan pada pasien tentang efek dari bedah prostat, orkhiektomi (bila memungkinkan), kemoterapi, iradiasi, dan terapi hormonal pada fungsi seksual. c. Libatkan pasangan pasien dalam mengembangkan pemahaman dan menemukan alternatif hubungan yang akrab serta memuaskan satu sama lain. 3. Rasional a. Biasanya menurunkan libido dan kemudian impotensi mungkin akan dialami. b. Modalitas pengobatan dapat mengubah fungsi seksual tetapi masing-masing dievaluasi sesuai dengan dengan efeknya pada pasien tertentu. c. Sering ikatan antara pasangan diperkuat dengan apresiasi yang baru dan dukungan yang tadinya tidak ada sebelum penyakit yang saat ini dialami. 4. Hasil yang Diharapkan a. Menguraikan alasan-alasan adanya perubahan dalam fungsi seksual.

39

b. Mendiskusikan dengan tenaga perawatan kesehatan yang sesuai mengenai pendekatan alternatif dan metode ekspresi seksual.

8. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan mobilitas fisik sekunder terhadap pembedahan. 1. Tujuan: Aktivitas kebutuhan sehari-hari (AKS) dapat terpenuhi.

2. Intervensi Keperawatan a. Tentukan tingkat bantuan yang diperlukan. Berikan bantuan AKS sesuai dengan keperluan. Membiarkan pasien melakukan sebanyak mungkin untuk dirinya. b. Berikan waktu yang cukup bagi pasien untuk melaksanakan aktivitas. c. Intstruksikan pasien adaptasi untuk melakukan AKS. Dimulai dari kegiatan yang mudah dan berlanjut sampai kegiatan yang sulit. Berikan pujian untuk keberhasilan tersebut. d. Memberikan perhatian kepada pasien. 3. Rasional a. Mendorong kemandirian. b. Tidak membebani pasien dengan aktivitas yang menyebabkab frustasi. c. Mendorong kemandirian. Pujian memotivasi untuk terus belajar. d. Memberikan rasa nyaman. 4. Hasil yang Diharapkan a. Pasien tampak nyaman. b. Pasien mengungkapkan bahwa AKS terpenuhi. c. Dorongan menstimulasi penampilan yang lebih baik.

40

BAB 4 PENUTUP 4.1 Simpulan BPH atau Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika. BPH terjadi pada umur yang semakin tua (>45 tahun) di mana fungsi testis sudah menurun. Akibat penurunan fungsi testis ini menyebabkan ketidakseimbangan hormon testosterone dan dehidrotestosteron sehingga memacu pertumbuhan dan pembesaran prostat. 4.2 Saran Dengan dibuatnya makalah BPH ini, diharapkan nantinya akan memberikan manfaat bagi para pembaca terutama pemahaman yang berhubungan dengan bagaimana melakukan sebuah proses asuhan keperawatan terutama pada klien yang mengalami BPH. Namun penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran maupun kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah ini, dengan demikian penulisan makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis atau pihak lain yang membutuhkannya.

41

DAFTAR PUSTAKA

42

Anda mungkin juga menyukai