Anda di halaman 1dari 23

Obat-Obatan untuk Penyakit Sistem pernafasan 1. Pneumonia a.

Antibiotik

1) Erythromycin (Eritromisin) Eritromisin termasuk golongan makrolida, bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri, bersifat bakteriostatik atau bakterisid, tergantung dari jenis bakteri dan kadarnya dalam darah. Eritromisin efektif terhadap kuman gram-positif seperti S. aureus (baik yang menghasilkan penisillinase maupun tidak), Streptococcus group A, Enterococcus, C. diphtheriae dan Pneumococcus. Juga efektif terhadap kuman gramnegatif seperti Neisseria, H. influenzae, B. pertusis, Brucella juga terhadap Riketsia, Treponema dan M. pneumoniae. Resistensi silang dapat terjadi antar berbagai antibiotika golongan makrolida. Pemberian Eritromisin basa dihancurkan oleh asam lambung sehingga obat ini diberikan dalam bentuk tablet salut enterik atau ester. Semua obat ini diabsorpsi secara adekuat setelah pemberian per-oral. Distribusi eritromisin ke seluruh cairan tubuh baik kecuali ke cairan sebrospinal. Obat ini merupakan satu di antara sedikit antibiotika yang bedifusi ke dalam cairan prostat da mempunyai sifat akumulasi unit ke dalam makrofag. Obat ini berkumpul di hati. Adanya inflamasi menyebabkan penetrasinya ke jaringan lebih baik. Metabolisme Eritromisin dimetabolisme secara ekstensif dan diketahui menghambat oksidasi sejumlah obat melalui interaksinya dengan sistemsitokrom P-450. Ekskresi Eritromisin terutama dikumpulkan dan diekskresikan dalam bentuk aktif dalam empedu. Reabsorpsi parsial terjadi melalui sirkulasi enterohepatik.

2) Klaritomisin Klaritromisin adalah semi-sintetik makrolida antibiotik kimia yang terkait dengan eritromisin. Hal ini efektif terhadap berbagai organisme bakteri, seperti Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Staphylococcus aureus, dan mycobacterium avium, dan banyak lainnya. Klaritomisin bekerja menghambat sintesa protein pada subunit 50S ribosom. Klaritomisin diabsorbsi dengan cepat 50% setelah pemberian oral.

Didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh. Kadar dalam jaringan dapat

melebihi kadar dalam serum. Klaritomisin 10-15 % dikonversi oleh hati menjadi14Hidroksiklaritromisin, yang mempunyai aktivitas antiinfeksi, 20-30 % diekskresi dalam bentuk yang tidak berubah melalui urin. Waktu paruhnya : Dosis 250 mg (3-4 jam) ; dosis 50 mg(5-7 jam)

3) Amoxicllin Amoxicillin adalah senyawa Penisilina semisintetik dengan aktivitas antibakteri spektrum luas yang bersifat bakterisid, efektif terhadap sebagian besar bakteri gram positip dan beberapa gram negatip yang patogen. Bakteri patogen yang sensitif terhadap Amoxicillin antara lain : Staphylococci, Streptococci, Enterococci, S. pneumoniae, N. gonorrhoeae, H influenzas, E. coli, dan P. mirabiiis. Amoxicillin kurang efefktif terhadap species Shigella dan bakteri penghasil beta

laktamase. Mekanisme kerjanya yakni menghambat sintesis dinding sel bakteri. Sintesa dinding sel terganggu sehingga dinding sel yang terbentuk kurang sempurna dan tidak tahan terhadap tekanan osmotik dari plasma (dalam sel) sehingga akibatnya sel pecah dan bakteri akan mati. Amoxicillin stabil pada asam lambung dan terabsorpsi 74-92% di saluran pencernaan pada penggunaan dosis tunggal secara oral. Nilai puncak konsentrasi serum dan AUC meningkat sebanding dengan meningkatnya dosis. Efek terapi Amoxicillin akan tercapai setelah 1-2 jam setelah pemberian per oral. Meskipun adanya makanan di saluran pencernaan dilaporkan dapat menurunkan dan menunda tercapainya nilai puncak konsentrasi serum Amoxicillin, namun hal tersebut tidak berpengaruh pada jumlah total obat yang diabsorpsi (McEvoy, 2002) Distribusi obat bebas ke seluruh tubuh baik. Amoxicillin dapat melewati sawar plasenta, tetapi tidak satupun menimbulkan efek teratogenik. Namun demikian, penetrasinya ke tempat tertentu seperti tulang atau cairan serebrospinalis tidak cukup untuk terapi kecuali di daerah tersebut terjadi inflamasi. Selama fase akut (hari pertama), meningen terinflamasi lebih permeable terhadap Amoxicillin, yang menyebabkan peningkatan rasio sejumlah obat dalam susunan saraf pusat dibandingkan rasionya dalam serum. Bila infeksi mereda, inflamasi menurun maka permeabilitas sawar terbentuk kembali (Mycek, et.al.,2001). Jalan utama ekskresi melalui system sekresi asam organik (tubulus) di ginjal, sama seperti melalui filtrate glomerulus. Penderita dengan gangguan fungsi ginjal, dosis obat yang diberikan harus disesuaikan

4) Ceftriaxone Ceftriaxone merupakan cephalosporin spektrum luas semisintetik yang diberikan secara IV atau IM. Kadar plasma rata-rata cetriaxone setelah pemberian secara tunggal infus intravena 0,5;1 atau 2 gr dalam waktu 30 menit dan IM sebesar 0,5 atau 1 g pada orang dewasa sehat. Ceftriaxone juga serupa dengan seftizoksim dan sefotaksim, mempunyai waktu paruh yang sangat panjang sehingga diberikan sekali / dua kali sehari. Ceftriaxone diabsorpsi lengkap setelah pemberian IM dengan kadar plasma maksimum rata-rata antara 2-3 jam setelah pemberian. Dosis multipel IV atau IM dengan interval waktu 12-24 jam, dengan dosis 0,5-2g menghasilkan akumulasi sebesar 15-36 % diatas nilai dosis tunggal. Sebanyak 33-67 % ceftriaxone yang diberikan, akan diekskresikan dalam urin dalam bentuk yang tidak diubah dan sisanya diekskresikan dalam empedu dan sebagian kecil dalam feses sebagai bentuk inaktif. Setelah pemberian dosis 1g IV, kadar rata-rata ceftriaxone 1-3 jam setelah pemberian adalah : 501 mg/ml dalam kandung empedu, 100 mg/ml dalam saluran empedu, 098 mg dalam duktus sistikus, 78,2 mg/ml dalam dinding kandung empedu dan 62,1 mg/ml dalam plasma. Setelah pemberian dosis 0,15-3g, maka waktu paruh eliminasinya berkisar antara 5-8 jam, volume distribusinya sebesar 5,70-13,5 L, klirens plasma 0,50-1,45 L/jam dan klirens ginjal 0,32-0,73 L/jam. Ikatan protein ceftriaxone bersifat reversibel dan besarnya adalah 85-95 %. Ceftriaxone menembus selaput otak yang mengalami peradangan pada bayi dan anakanak dan kadarnya dalam cairan otak setelah pemberian dosis 50 mg/kg dan 75 mg/kg IV, berkisar antara 1,3-18,5 ug/ml dan 1,3-44 ug/ml Dibanding pada orang dewasa sehat, farmakokinetik ceftriaxone hanya sedikit sekali terganggu pada usia lanjut dan juga pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal/hati, karena itu tidak diperlukan penyesuaian dosis.

5) Cefaclor, Sefaklor (Ancefa)

ANCEFA mengandung Cefadroxil, merupakan antibiotika semisintetik golongan cephalosporin yang mempunyai aktivitas antibakteri spektrum luas dan bersifat bakterisidal, aktif terhadap bakteri gram positif (Staphylococcus,

Streptococcus, Pneumococcus) dan gram negatif (E. Coli, Salmonella, Shigella, Neisseria, Proteus mirabilis,H.influenzae). ANCEFA bekerja dengan menghambat pembentukan dinding sel mikroorganisme. Diabsorbsi dengan baik setelah pemberian oral. Didistribusikan secara luas. Penestrasi ke CSS buruk. Menembus plasenta dan memasuki ASI dalam konsentrasi rendah. Cefaclor terutama diekskresi oleh ginjal tanpa mengalam perubahan. Waktu Paruh: 0,6-0,9 jam (semakin lama ada ginjal yang rusak)

6) Cefuroxim (Sefuroksim) Cefuroxim merupakan golongan cephalosporin yang digunakan untuk mengobati infeksi tertentu yang disebabkan oleh bakteri seperti; bronkitis, gonore, penyakit limfa, dan infeksi pada organ telinga, tenggorokan, sinus, saluran kemih, dan kulit. Sefuroksim-axetil (Zinnat) adalah bentuk ester inaktif, yang setelah diresorpsi segera dihidrolisis oleh mukosa usus dan darah menjadi sefuroksim aktif. Resorpsi berlangsung optimal (k.l 55 %) bila diminum sesudah makan. Plasma-t-nya 1-1,5 jam; ekskresinya untuk95% melelui kemih secara utuh.

7) Doxycycline (Doksisiklin) Doksisiklin merupakan Antibiotika golongan tetrasiklin dengan aktivitas antimikroba yang luas. Efektif terhadap bakteri Gram-negatif, seperti Sterptococcus, Staphylococcus, Bacillus anthracis, Brucella spp., Mycoplasma, Klebsiela spp., Treponema pallidum, Rickettsia. Doksisiklin diabsorpsi dengan cepat dan baik dari saluran pencernaan dan tidak tergantung dari adanya makanan. Doksisiklin bekerja secara bakteriostatik dengan cara mencegah sintesa protein mikroorganisame. Doksisiklin diserap lebih dari 90%. Absorpsi sebagian besar berlangsung di lambung dan usus halus. Adanya makanan dalam lambung menghambat penyerapan, kecuali minosiklin dan doksisiklin. Absorpsi dihambat dalam derajat tertentu oleh pH tinggi dan pembentukan kelat yaitu kompleks tetrasiklin dengan suatu zat lain yang sukar diserap seperti aluminium hidroksid, garam kalsium dan magnesium yang biasanya terdapat dalam antasida, dan juga ferum. Doksisiklin diberikan sebelum makan atau 2 jam sesudah makan. Dalam plasma semua terikat oleh protein plasma dalam jumlah yang bervariasi. Dalam cairan cerebrospinal (CSS) kadarnya hanya 10-20% kadar dalam serum. Penetrasi ke CSS ini tidak tergantung dari adanya meningitis. Penetrasi ke cairan

tubuh lain dan jaringan tubuh cukup baik. Obat golongan ini ditimbun di hati, limpa dan sumssum tulang serta di sentin dan email gigi yang belum bererupsi. Doksisiklin menembus sawar uri dan terdapat dalam ASI dalam kadar yang relatif tinggi dan daya peentrasi ke jaringan baik. Dosisiklin diekskresi melalui feses dan urin dengan filtrasi glomerolus dan melalui empedu. Pemberiaan per oral kira-kira 20-55% diekskresi melalui urin. Dosisiklin yang diekskresi oleh hati ke dalam empedu mencapai kadar 10 kali kadar dalam serum. Sebagian besar obat yang diekskresi ke dalam lumen usus ini mengalami sirkulasi enterohepatik; maka obat ini masih terdapat dalam darah untuk waktu lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi obstruksi pada saluran empedu atau gangguan faal hati obat ini akan mengalami kumulasi dalam darah.

8) Levofloxacin Levofloksasin adalah bentuk (S)-enansiomer yang murni dari campuran rasemat ofloksasin. Levofloksasin memiliki spektrum antibakteri yang luas. Levofloksasin aktif terhadap bakteri gram positif dan negatif, termasuk bakteri anaerob. Selain itu, levofloksasin juga memperlihatkan aktivitas antibakteri terhadap Chlamydia pneumonia dan Mycoplasma pneumonia. Levofloksasin seringkali bersifat

bakterisidal pada kadar yang sama dengan atau sedikit lebih tinggi dari kadar hambat minimal. Mekanisme kerja levofloksasin yang utama adalah melalui penghambatan DNA gyrase bakteri (DNA topoisomerase II), sehingga terjadi penghambatan replikasi dan transkripsi DNA. Profil konsentrasi plasma dan AUC levofloksasin setelah pemberian IV dan oral adalah serupa, sehingga pemberian parenteral dapat dipertimbangkan untuk menggantikan pemberian secara oral, begitu pula sebaliknya. Setelah pemberian dosis 500 mg sekali sehari secara multipel, konsentrasi plasma maksimum dan minimum levofloksasin berturut-turut 6,4 g/mL dan 0,6 g/mL. Levofloksasin terikat pada protein serum kira-kira 24-38%. Levofloksasin didistribusikan secara cepat dan luas dalam blister fluid. Levofloksasin juga mempunyai penetrasi yang baik ke dalam jaringan paru. Kadar levofloksasin di dalam jaringan paru pada umumnya 2 sampai 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kadar dalam plasma. Levofloksasin dimetabolisme dalam jumlah kecil dan sebagian besar diekskresi melalui urin dalam

bentuk utuh dan sisanya melalui feses. Rata-rata waktu paruh eliminasi plasma setelah pemberian levofloksasin dosis multipel adalah 6-8 jam. Mekanisme kerja dari Levofloxacin adalah melalui penghambatan topoisomerase type II DNA gyrase, yang menghasilkan penghambatan replikasi dan transkripsi DNA bakteri. Levofloxacin didistribusikan ke seluruh tubuh dalam konsentrasi yang tinggi dan berpenetrasi ke dalam jaringan paru-paru dengan baik. Konsentrasi dalam jaringan paru-paru biasanya lebih tinggi 2-5 kali dari konsentrasi dalam plasma, dan berkisar antara 2,4 sampai 11,3 g/g selama 24 jam setelah pemberian tunggal dosis oral 500 mg.

9) Vancomycin (Vankomisin) Vankomisin merupakan salah satu antibiotik golongan glikopeptida yang telah digunakan secara klinis selama lebih dari 50 tahun sebagai alternatif penisilin dalam pengobatan strain Staphylococcus aureus yang menghasilkan enzim pensilinase. Vankomisin merupakan salah satu antibiotik yang penggunaannya paling luas dalam pengobatan infeksi serius bakteri gram positif yang melibatkan methicilin resistant S. aureus (MRSA) . Vankomisin menghambat biosintesis dinding sel, mengganggu permeabilitas membran sel dan sintesis RNA Obat ini diserap melalui saluran cerna, dan untuk mendapatkan efek sistemik selalu harus diberikan IV karena pemberian IM menimbulkan nekrosis setempat. Obat ini hanya aktif terhadap kuman Gram-positif, khususunya golongan kokus. Indikasi utama vankomisin ialah septicemia dan endokarditis yang disebabkan oleh stafilokokus, streptokokus atau enterokokus bila pasien alergi terhadap penicillin dan selafalosporin. Penggunaanya dapat dikombinasikan dengan gentamisin atau aminoglikosid lainnya. Pada pemberian per oral obat ini juga bermanfaat untuk enterokolitis oleh stafilokokus yang biasanya merupakan efek samping antibiotic lain. Vankomisin merupakan obat terpilih untuk infeksi oleh kuman MRSA (methicilinresistant S. aureus) dan colitis oleh Clostridium difficile akibat penggunaan antibiotik. Vankomisin HCL tersedia dalam bentuk bubuk 500 mg untuk pemberian IV. Dosis untuk dewasa ialah 2-4 gram/hari yang dibagi dalam dua dosisi dan untuk anak 20-40 mg/kgBB/hari. Dosis ini dilarutkan dalam 100-200 ml gram faal atau dekstrosa 5 % dan diberikan IV perlahan-lahan tromboflebitis. Untuk penggunaan obat tersedia bubuk 10 g untuk dilarukan dengan 115 ml air.

b. Obat Batuk Dekstometrofan Dekstrometorfan diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral dengan kadar serum maksimal dicapai dalam 2,5 jam. Onset efeknya cepat, seringkali 15-30 menit setelah pemberian oral. Belum ada penelitian tentang distribusi volume

dekstrometorfan pada manusia, akan tetapi penelitian oleh Silvasti et al. (1989) yang dilakukan pada anjing, distribusi volume dekstrometorfan berkisar antara 5,0-6,4 L/kg. Waktu paruh obat ini adalah 2-4 jam dan lama kerjanya adalah 3-6 jam. Metabolisme dekstrometorfan telah diketahui dengan baik dan telah diterima secara luas bahwa aktivitas terapeutik dekstrometorfan ditentukan oleh metabolit aktifnya yaitu dextrorphan. Dekstrometorfan mengalami metabolisme di hepar oleh enzim sitokrom P-450 dan diubah menjadi dextrorphan yang mempunyai derivat lebih aktif dan poten sebagai antagonis NMDA (Schadel et al., 1995)

c. Obat Dekongestan Pseudoephedrine Farmakodinamik Pseudoephedrine (metabolit utama terfenadine) adalah antihistamin H1 perifer selektif, tidak memiliki efek sedatif atau efek SSP lainnya. Pseudoephedrine HCl adalah simpatomimetik amin yang aktif pada pemberian oral dan berkhasiat sebab-gai dekongestan pada mukosa hidung, sehingga merupakan zat yang efektif untuk menghilangkan kongesti nasal pada rinitis alergika. Pseudoephedrine menimbulkan efek perifer dan sentral yang serupa dengan ephedrine, tetapi kekuatannya lebih lemah dibandingkan dengan amfetamin. Pseudoephedrine berpotensi untuk menimbulkan efek samping eksitasi. Pada dosis oral yang dianjurkan, efek terhadap tekanan darah sangat lemah atau tidak ada pada orang dewasa normotensi. Farmakokinetik Farmakokinetik pseudoephedrine dan pseudoephedrine HCl secara terpisah telah diketahui. Pada pemberian tablet pseudoephedrine 60 mg dan pseudoephedrine HCl 120 mg dosis tunggal, fexofenadine dengan cepat diabsorpsi, dan waktu mencapai kadar maksimum ratarata fexofenadine dalam plasma sebesar 191 ng/mL adalah 2 jam setelah pemberian. Sedangkan kadar maksimum pseudoephedrine dalam plasma sebesar 206 ng/mL, dicapai dalam waktu 6 jam setelah diberikan. Kadar puncak fexofenadine dalam plasma adalah sama pada remaja (12 - 16 tahun) dan dewasa. Sekitar 5 % dari dosis total akan dimetabolisme. Fexofenadine terikat dengan

protein plasma sebanyak 60 - 70 %, terutama dengan albumin dan 1-asam glikoprotein. Eliminasi utama melalui feses dan urin. Waktu paruh eliminasi pseudoephedrine adalah 4 - 6 jam tergantung dari pH urin. Waktu paruh eliminasi akan menurun pada pH urin < 6 dan dapat meningkat pada pH urin > 8. Sekitar 5575% dosis tunggal pseudoephedrine HCl akan diekskresikan di dalam urin dalam bentuk utuh, sedangkan sisanya dimetabolisme di dalam hati. Bioavailabilitas pseudoephedrine dan pseudoephedrine HCl BD serupa dengan pemberian tersendiri. Kecepatan atau jumlah pseudoephedrine yang diabsorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan. Pemberian bersama dengan makanan yang tinggi lemak menurunkan konsentrasi pseudeophedrine dalam plasma. Waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi maksimum (Tmax) diperlambat sampai 50%. Oleh karena itu, direkomendasikan agar menghindari pemberian bersama dengan makanan. d. Obat Nyeri dan Kontrol Demam Paracetamol (Acetaminophen) Merupakan drivat p-aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik / analgesik. Sifat antipiretiknya disebabkan oleh gugus aminobenzen dan mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral. Sifat analgesik Parasetamol dapat menghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang. Sifat antiinflamasinya sangat rendah sehingga tidak digunakan sebagai antirematik. Pada penggunaan per oral Parasetamol diserap dengan cepat melalui saluran cerna. Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 30 menit sampai 60 menit setelah pemberian. Parasetamol diekskresikan melalui ginjal, kurang dari 5% tanpa mengalami perubahan dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi. Sifat analgesik parasetamol dapat menghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang. Sifat antiinflamasinya sangat lemah sehingga sehingga tindak digunakan sebagai antirematik.

e. Obat Anti Infalamsi 1) Ibuprofen Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan pertama kali di banyak negara. Obat ini bersifat analgesik dengan daya anti-inflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama seperti aspirin. Efek anti-inflamasinya terlihat dengan dosis 1200-2400 mg sehari. Absorpsi ibuprofen cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam plasma dicapai setelah 1-2 jam. Waktu

paruh dalam plasma sekitar 2 jam. Sembilan puluh persen ibuprofen terikat pada protein plasma. Ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap. Kira-kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan diekskresi melalui urin sebagai metabolit atau konjugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi. Obat AINS derivat asam propionat hampir seluruhnya terikat dengan protein plasma, efek interaksi misalnya pergeseran obat warfarin dan oral hipoglemik hampir tidak ada. Tetapi pemberian bersama warfarin , tetap harus waspada karena adanya gangguan fungsi trombosit yang meperpanjang masa pendarahan. Derivat asam propionat dapat mengurangi efek diuresis dan natriuresis furosemid dan tiazid, juga mengurangi efek antihipertensi obat beta bloker, prazosin dan kaptopril. Efek ini mungkin karena hambatan biosintesis PG ginjal. Efek samping terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan dengan aspirin, indometasin atau neproksen. Efek samping lainnya yang jarang ialah eritema kulit, sakit kepala, trombositopenia, ampbliopia toksik yang reversibel. Dosis sebagai analgesik 4 kali 400 mg sehari tetapi sebaiknya dosis optimal pada tiap orang ditentukan secara individual. Ibuprofen tidak dianjurkan diminum oleh wanita hamil dan menyusui. Dengan alasan bahwa ibuprofen relatif lebih lama dikenal dan tidak menimbulkan efek samping yang serius pada dosis analgesik, maka ibuprofen dijual sebagai obat generik bebas di beberapa negara antara lain Amerika Serikat dan Inggris. Obat pertama dari kelompok propionat (1969) ini adalah NSAID yang paling banyak digunakan , berkat efek sampingnya yang relatif ringan dan status OTCnya di kebanyakan negara. Zat ini merupakan campuran resemis, dengan bentuk dextro yang aktif. Daya analgetis dan antiradangnya cekup baik dan sudah banyak mendesak salisilat pada penanganan bentuk rema yang tidak begitu hebat dan gangguan dari alat gerak. Ibuprofen 400 mg oral sama efeknya dengan 500 mg rektal. Resorpsinya dari usus cepat dan baik (ca 80%), resorpsi rektal lebih lambat. PP-nya 90-99%, plasma-t1/2-nya ca 2 jam. Ekskresi berlangsung terutama sebagai metabolit dan konjugasi-konjugasinya.

2) Ketoprofen

Ketoprofen merupakan suatu antiinflamasi non steroid dengan efek antiinflamasi, analgesik dan antipiretik. Sebagai anti inflamasi bekerja dengan menghambat sintesa prostaglandin. Pada pemberian oral kadar puncak dicapai selama 0,52 jam. Waktu paruh eliminasi pada orang dewasa 3 jam, dan 5 jam pada orang tua. Sebagaimana anti-inflamasi non-steroid lainnya, Ketoprofen bekerja

menghambat sintesa prostaglandin. Ketoprofen tablet diabsorbsi sempurna dan cepat di saluran cerna. Absorpsinya tidak dipengaruhi oleh makanan; makanan hanya memperpanjang waktu mencapai kadar puncak (Wits) tanpa mempengaruhi bioavailabilitas totalnya. Kadar puncak plasma tercapai dalam waktu 1/2 sampai 2 jam. Waktu paruh eliminasi pada lanjut usia selama 5 jam, dan 3 jam pada dewasa. Ketoprofen OD diformulasikan agar obat dilepaskan sesuai pH usus kecil. Waktu paruh Ketoprofen OD adalah 5-12 jam. Kadar puncak plasma tercapai dalam waktu 6-7 jam.Ketoprofen OD tidak dianjurkan untuk kasus nyeri akut, karena sifat/karakteristik pelepasan terkendalinya. Supositoria yang diberikan pada malam hah lebih efektif dalam mengontrol nyeri yang timbul sepanjang malam dibandingkan bentuk oral, kadar puncak dafam plasma dicapai dalam 1 - 2 jam, dengan waktu paruh eliminasi 2-3 jam. Pada pembedahan secara intramuskular, ketoprofen diabsorbsi dengan baik.

2.

Asma a. Golongan Steroid Budesonide Budesonide adalah kortikosteroid sintetik yang memiliki aktivitas

glukokortikoid potensial dan aktivitas mineral kortikoid lemah. Budesonide diperkirakan mengatasi alergi rhinitis atau sinusitis melalui aktivitas hambatannya pada serangkaian luas sel (yakni sel mast, eusinofil, neutrofil, makrofag, dan limfosit) dan mediator (histamine, eicosanoid, leukotrien, dan sitokin) yang terlibat dalam inflamasi yang dimediatori oleh alergen. Budesonide diabsorpsi relatif baik setelah pemberian inhalasi maupun oral, dan secara cepat dimetabolisme menjadi metabolit dengan potensi kortikosteroid rendah. Makanya efek budesonide dari semprot hidup diperkirakan berasal dari obat induk, yakni budesonide. Setelah pemberian intranasal budesonide, kadar puncak plasma dicapai pada sekitar 0,7 jam. Sekitar 34% dari dosis intranasal

mencapai sirkulasi sistemik dibandingkan dengan pemberian intravena. Budesonide yang diabsorpsi dari saluran cerna, bioavailabilitasnya rendah sekali sekitar 10%. Hal ini karena efek metabolisme lintas pertama yang cukup ekstensif di hati.Ikatan protein budesonide secara in vitro terlihat konstan (8590%) dari suatu range konsentrasi (1-100 nmol/L). Waktu paruh terminal sekitar 2-3 jam. Setelah pemberian nasal spray pada anak tampak bahwa konsentrasi puncak plasma dan waktu parah sama antara anak dan dewasa. Anak memiliki kadar plasma dua kali orang dewasa terutama untuk mereka dengan perbedaan bobot badan. b. Obat Golongan beta-agonist Salbutamol Salbutamol merupakan agen beta adrenergik yang digunakan sebagai bronkodilator yang efektif untuk meringankan gejala asma akut dan

bronkokonstriksi. Salbutamol juga merupakan salah satu bronkodilator yang paling aman dan paling efektif. Tidak salah jika obat ini banyak digunakan untuk pengobatan asma. Selain untuk membuka saluran pernafasan yang menyempit, obat ini juga efektif untuk mencegah timbulnya exercise- induced broncospasm (penyempitan saluran pernafasan akibat olahraga). Secara umum sifat fisikokimia dari salbutamol adalah serbuk berbentuk kristal, berwarna putih atau hampir putih. Larut dalam alkohol, sedikit larut dalam air. Terlindung dari cahaya. Salbutamol termasuk dalam golongan Antiasma dan obat untuk penyakit paru obstruktif kronik. Salbutamol merupakan sympathomimetic amine termasuk golongan betaadrenergic agonist yang memiliki efek secara khusus terhadap reseptor beta(2)adrenergic yang terdapat didalam adenyl cyclase. Adenyl cyclase merupakan katalis dalam proses perubahan adenosine triphosphate (ATP) menjadi cyclic-3', 5'-adenosine monophosphate (cyclic AMP). Mekanisme ini meningkatkan jumlah cyclic AMP yang berdampak pada relaksasi otot polos bronkial serta menghambat pelepasan mediator penyebab reaksi hipersensitivitas dari mast cells.

3. Emfisema
a) Bronkodilator

1. Derivat Xantin

Sejak dulu obat golongan teofilin sering digunakan pada emfisema paru. Obat ini menghambat enzim fosfodiesterase sehingga cAMP yang bekerja sebagai bronkodilator dapat dipertahankan pada kadar yang tinggi ex : teofilin, aminofilin. Teofilin diabsorpsi dengan cepat melalui oral, parenteral, dan rektal kemudian distribusinya ke seluruh bagian tubuh dan dimetabolisme di hati. Teofilin berikatan dengan protein plasma sebanyak 50%. Derivat xantin terutama dieliminasi melalui metabolisme dalam hati, sebagian besar diekskresi bersama urine dalam bentuk asam metilurat atau metilxantin. Waktu paruhnya 8 jam. Kadar teofilin dalam darah harus dipantau karena dosis yang berlebihan dapat menimbulkan kematian yang mendadak, dan dosis kecil tidak efektif. Efek yang bermanfaat umumnya mulai dengan kadar 7-10 mcg/ml. Gejala toksisitasnya dapat timbul pada kadar 20 mcg/ml atau lebih. Dewasa ini telah tersedia pula sediaan lepas lambat (sustained release) yang diberikan 1 atau 2 kali per hari. 2. Gol Agonis 2 Obat ini menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor beta berhubungan erat dengan adenil siklase yaitu substansi penting yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan bronkodilatasi. Pemberian dalam bentuk aerosol lebih efektif. Obat yang tergolong beta-2 agonis adalah : terbutalin, metaproterenol dan albuterol. Terbutalin akan menstimulasi 1-adrenoseptor utamanya oleh pelepasan noradrenalin dari ujung saraf, 2AR dalam pembuluh darah, saluran udara, dan otot rangka distimulasi oleh adrenalin yang beredar. Adrenalin, prototype yang tidak selektif [menstimulasi - dan -adrenoseptor (AR)] dari semua senyawa penstimulasi AR, secara cepat dimetabolisme oleh katekol-O-metil transferase dan monoamine oksidase dan karenanya senyawa ini memiliki lama aksi yang pendek. Terbutalin menstimulasi reseptor -adrenergikdari system saraf simpatis dan memiliki sedikit atau tidak memiliki efek pada reseptor -adrenergik. Karena memiliki stabilitas metabolic yang relative tinggi, terbutalin dapat digunakan secara sistemik, dan lama aksinya lebih lama dibandingkan analog amin-tersubstitusi dari adrenalin. Efek utama dari

terbutalin adalah relaksasi otot halus dari cabang bronchial dan vakulatur peripheral. Agonis -adrenergik menstimulasi produksi dari enzim adenil siklase. Terbutalin memiliki efek stimulasi yang besar terhadap reseptor adrenergik dari bronchial, vascular, dan otot halus uterin (2AR) daripada reseptor dari hati (1-reseptor). Pada dosis tinggi, terbutalin kemungkinan menyebabkan beberapa efek kardiostimulatori dan stimulasi system saraf pusat.

3. Antikolinergik Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor kolinergik sehingga menekan enzim guanilsiklase. Kemudian pembentukan cAMP sehingga bronkospasme menjadi terhambat ex : Ipratropium bromida diberikan dalam bentuk inhalasi. Antikolinergik menghambat sekresi mukosa saluran pernafasan,dari hidung sampai bronkus. Efek kering ini penting sebelum pemberian agen inhalasi yang kurang iritasi. Relaksasi dari otot polos bronkus akan mengurangi resistensi jalan nafas dan meningkatkan ruang rugi anatomi. Efek ini penting pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis atau asma

4. Kortikosteroid Manfaat kortikosteroid pada pengobatan obstruksi jalan napas pada emfisema masih diperdebatkan. Pada sejumlah penderita mungkin memberi perbaikan. Pengobatan dihentikan bila tidak ada respon. Obat yang termasuk di dalamnya adalah : dexametason, prednison dan prednisolon, Prednison adalah kortikosteroid sintetik yang umum diberikan per oral, tetapi dapat juga diberikan melalui injeksi intra muskular (im, iv), per nasal, atau melalui rektal. Dosis awal sangat bervariasi, dapat antara 5 80 mg per hari, bergantung pada jenis dan tingkat keparahan penyakit serta respon pasien terhadap terapi. Tetapi umumnya dosis awal diberikan berkisar antara 20 80 mg per hari. Efek utamanya sebagai glukokortikoid. Glukokortikoid alami (hidrokortison dan kortison), umumnya digunakan dalam terapi pengganti (replacement therapy) dalam kondisi defisiensi adrenokortikal. Sedangkan analog sintetiknya (prednison) terutama digunakan karena efek imunosupresan dan anti radangnya yang kuat. Glukokortikoid menyebabkan berbagai efek metabolik. Glukokortikoid bekerja melalui interaksinya dengan protein

reseptor spesifik yang terdapat di dalam sitoplasma sel-sel jaringan atau organ sasaran, membentuk kompleks hormon-reseptor. Kompleks hormon-reseptor ini kemudian akan memasuki nukleus dan menstimulasi ekspresi gen-gen tertentu yang selanjutnya memodulasi sintesis protein tertentu. Protein inilah yang akan mengubah fungsi seluler organ sasaran, sehingga diperoleh, misalnya efek glukoneogenesis, meningkatnya asam lemak, redistribusi lipid, meningkatnya reabsorpsi natrium, meningkatnya reaktivitas pembuluh terhadap zat vasoaktif , dan efek anti radang. Apabila terapi prednison diberikan lebih dari 7 hari, dapat terjadi penekanan fungsi adrenal, artinya tubuh tidak dapat mensintesis kortikosteroid alami dan menjadi tergantung pada prednison yang diperoleh dari luar. Oleh sebab itu jika sudah diberikan lebih dari 7 hari, penghentian terapi prednison tidak boleh dilakukan secara tiba-tiba, tetapi harus bertahap dan perlahan-lahan. Pengurangan dosis bertahap ini dapat dilakukan selama beberapa hari, jika pemberian terapinya hanya beberapa hari, tetapi dapat memerlukan berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan jika terapi yang sudah diberikan merupakan terapi jangka panjang. Penghentian terapi secara tiba-tiba dapat menyebabkan krisis Addisonian, yang dapat membawa kematian. Untuk pasien yang mendapat terapi kronis, dosis berseling hari kemungkinan dapat mempertahankan fungsi kelenjar adrenal, sehingga dapat mengurangi efek samping ini. Pemberian prednison per oral diabsorpsi dengan baik. Prednison dimetabolisme di dalam hati menjadi prednisolon, hormon kortikosteroid yang aktif.

5. Ekspectoran dan Mucolitik Usaha untuk mengeluarkan dan mengurangi mukus merupakan yang utama dan penting pada pengelolaan emfisema paru. Ekspectoran dan mucolitik yang biasa dipakai adalah bromheksin dan karboksi metil sistein diberikan pada keadaan eksaserbasi. Asetil sistein selain bersifat mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang melindungi saluran aspas dari kerusakan yang disebabkan oleh oksidans. Bromheksin cepat diabsorpsi dari saluran cerna dan mengalami first-pass metabolism di hati. Bioavailabilitas oral hanya sekitar 20%. Distribusi : luas ke jaringan tubuh. Bromheksin berikatan dengan protein plasma dalam jumlah tinggi, melewati blood-brain barrier dan sejumlah kecil melewati

plasenta. Ekskresi : 85-90% melalui urin, sebagian besar dalam bentuk metabolit. Ambroksol adalah metabolit dari Bromheksin. Waktu paruh eliminasi sampai 12 jam.

6. Antibiotik Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi terutama pada keadaan eksaserbasi. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan semakin memburuk. Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu dalam penatalaksanaan penyakit. Pemberian antibiotik dapat mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi. Antibiotik yang bermanfaat adalah golongan Penisilin, eritromisin dan kotrimoksazol biasanya diberikan selama 7-10 hari. Apabila antibiotik tidak memberikan perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan mikroorganisme. Absorpsi: Penisilin G tidak tahan terhadap suasana asam (pH 2).Cairan lambung (pH 4) tidak terlalu merusak. Garam Na Penisilin G oral diabsorpsi di duodenum. Adanya makanan akan menghambat absorpsi. Kadar maks dalam darah tercapai dalam 30-60 menit. Pemberian i.m kadar maks dalam darah 15-30 menit. Penisilin V walaupun relatif tahan asam, 30% mengalami pemecahan di bagian atas saluran cerna sehingga tidak sempat diabsorpsi.

4. Influenza a. Analgesik dan Antipiretik Asetaminofen (Paracetamol) diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma 25% parasetamol terikat protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Selian itu, obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi dan menimbulkan methamoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresikan melalui ginjal sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi. b. Dekongestan (Aminsimpatomimetik) Obat yg biasa digunakan adalah ephedrin. Ephedrine adalah amina simpatomimetik yang beraksi sebagai agonis reseptor adrenergik. Aksi utamanya

adalah pada beta-adrenergik reseptor, yang merupakan bagian dari sistem saraf simpatik. Efedrin memiliki dua mekanisme aksi utama. Pertama, efedrin mengaktifkan -reseptor dan -reseptor pasca-sinaptik terhadap noradrenalin secara tidak selektif. Kedua, efedrin juga dapat meningkatkan pelepasan dopamin dan serotonin dari ujung saraf. Efeknya sebagai vasokonstriktor digunakan untuk melegakan hidung tersumba. Diketahui, ketika hidung tersumbat, terjadi pelebaran pembuluh darah pada pembuluh2 kapiler sekitar hidung. Karena itu, efedrin yang bersifat menciutkan pembuluh darah bisa berefek melegakan hidung tersumbat.

5. Faringitis Pada Faringitis dengan penyebab bakteri dapat diberikan antibiotik seperti penicillin dan eritromisin. Sedangkan pada penyebab virus, penatalaksanaan ditujukan untuk mengobati gejala dan beberapa obat yang digunakan adalah ; Amantadine, Rimantadine, Oseltamivir. Amantadine larut dlm air dan merupakan amin-trisiklik. Amantadin bekerja

menghambat fase ujung proses perakitan virus influenza A. Proses pelekatan virus kpd sel hospes, penetrasi, aktivitas RNA-dependent RNA polimerase, semuanya tdk dihambat oleh amantadin. Absorbsi baik, tdk dimetabolisme, diekskresi melalui urin dlm btk tak diubah. T eliminasi 16 jam dan bertambah lama pd usia lanjut dan pd gangguan fungsi ginjal. Efek samping amantadin berupa gangguan SSP seperti bingung, gelisah, halusinasi, kejang dan bahkan koma. Penggunaan: Influenza A akut: 200 mg/hari selama 5 hr. Profilaksis thd virus influenza A: vaksinasi virus influenza A. Rimantadin merupakan derivat baru dari amantadin yg mengalami biotransformasi ekstensif, shg ekskresi melalui ginjal dlm btk tak diubah hanya kurang dr 15 %. Efek samping thd SSP lbh ringan dp amantadin.

6. Sinusistis Untuk sinusitis yang disebabkan oleh karena virus maka tidak diperlukan pemberian antibiotika. Obat yang biasa diberikan untuk sinusitis virus adalah penghilang rasa nyeri seperti parasetamol dan dekongestan. Curiga telah terjadi sinusitis infeksi oleh bakteri bila terdapat gejala nyeri pada wajah, ingus yang bernanah, dan gejala yang timbul lebih dari seminggu. Sinusitis infeksi bakteri umumnya diobati dengan menggunakan antibiotika. Pemilihan antibiotika berdasarkan jenis bakteri yang paling sering

menyerang sinus karena untuk mendapatkan antibiotika yang benar benar pas harus menunggu hasil dari biakan kuman yang memakan waktu lama. Lima jenis bakteri yang paling sering menginfeksi sinus adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pyogenes. Antibiotika yang dipilih harus dapat membunuh kelima jenis kuman ini. Beberapa pilihan antiobiotika antara lain amoxicillin, cefaclor, azithromycin, dan cotrimoxazole. Jika tidak terdapat perbaikan dalam lima hari maka perlu dipertimbangkan untuk memberikan amoxicillin plus asam klavulanat. Pemberian antibiotika dianjurkan minimal 10 sampai 14 hari. Pemberian dekongestan dan mukolitik dapat membantu untuk melancarkan drainase cairan mukus. Pada kasus kasus yang khronis, dapat dipertimbangkan melakukan drainase cairan mukus dengan cara pembedahan. Cotrimoxazole merupakan antibiotik sulfonamide kombinasi dari sulfamethoxazole dan trimethoprime. Profil farmokokinetik sulfametoksazol dan trimetoprim hampir mirip namun tidak benar-benar cocok untuk mencapai rasio konstan 20:1 untuk konsentrasinya didalam darah dan jaringan. Rasio dalam darah sering kali lebih besar dari pada 20:1 sedangkan rasionya dalam jaringan seringkali lebih kecil. Setelah pemberian sediaan kombinasi dalam dosis oral tunggal, trimetoprim diabsorpsi lebih cepat daripada sulfametoksazol. Pemberian kedua obat tersebut se=cara bersamaan tampaknya memperlambat absorpsi sulfametoksazol. Konsentrasi puncak trimetoprim dalam darah biasanya terjadi dalam waktu 2 jam padan sebagian besar pasien, smentara konsentrasi puncak sulfametoksazol terjadi dalam waktu 4 jam setelah dosis oral tunggal. Waktu paruh trimetoprim sekitar 11 jam dan sulfametoksazol sekitar 10 jam. Ketika 800 mg sulfametoksazol diberikan bersama 160 mg trimetoprim (dalam rasio konvensional 5:1) dua kali sehari, konsentrasi puincak obat tersebut dalam plasma sekitar 40 dan 2 g/ml, yang merupakan rasio optimal. Konsentrasi puncaknya setelah infuse intravena 800 mg sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim dalam waktu 1 jam hampir sama yaitu 46 dan 3,4 g/ml. Trimetoprim dengan cepat terdistribusi dan terkonsentrasi dalam jaringan, dan sekitar 40% terikat pada protein plasma dengan adanya sulfametoksazol. Volume distribusi trimetoprim hampir 9 kali volume distribusi sulfametoksazol. Obat ini dengan mudah memasuki sairan serebrospinal dan sputum. Masing-masing komponen dalam konsentrasi tinggi juga ditemukan dalam empedu. Kurang lebih 65% sulfametioksazol terikat pada protein plasma.

Sekitar 60% trimetoprim dan 25% h5ngga 50% sulfametoksazol diekskresikan di dalam urin malam waktu 24 jam. Dua pertiga sulfonamide berada dalam bentuk tidak terkonjugasi. Metabolit trimetoprim juga dieksresikan. Kecepatan ekskresi dan konsentrasi kedua senyawa dalam urin menurun secara signifikan pada pasien yang mengalami uremia.

7. Difteri a. Antitoxin Serum Anti Difteri (SAD) Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit: 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi

sebagian/seluruh tonsil secara unilateral/bilateral. 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga melewati tonsil, meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring. 120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring dan faring, komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut. SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara melarutkannya dalam 200 cc NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34 tetes/menit). Oleh karena SAD merupakan suatu serum heterolog maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada pemberiannya. Untuk mencegah rx anafilaktik ini maka harus dilakukan uji kepekaan.

b. Antibiotik Diberikan Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari dan Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari. Prokain benzilpenisilin, atau penisilin prokain, adalah kombinasi dari benzilpenisilin dengan prokain agen anestesi lokal. Obat disuntik melalui otot, secara lambat akan diserap ke sirkulasi dan dihdrolisa menjadi benzilpenisilin. Diabsorbsi melalui saluran gastrointestinal, Waktu paruh singkat dan diekskresi melalui urine. c. Kortikosteroid

Indikasinya adalah untuk Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck). Diberikan prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu dan dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia). Deksametason adalah glukokortikoid sintetik dengan aktivitas imunosupresan dan anti-inflamasi. Sebagai imunosupresan Deksametason bekerja dengan

menurunkan respon imun tubuh terhadap stimulasi rangsang. Aktivitas anti-inflamasi Deksametason dengan jalan menekan atau mencegah respon jaringan terhadap proses inflamasi dan menghambat akumulasi sel yang mengalami inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada tempat inflamasi. Deksametason adalah kortikosteroid kuat dengan khasiat immunosupresan dan antiinflamasi yang digunakan untuk mengobati berbagai kondisi peradangan ( Samtani, 2005). Menurut Mutschler (1991), makna terapeutik kortikosteroid terletak pada kerja antiflogistiknya (antireumatik), antialergi, dan imunsupresiv, bila terapi substitusi pada insufiensi korteks adrenal diabaikan. deksametason dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial. Metabolitnya merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Setelah penyuntikan IV, sebagian besar dalam waktu 72 jam diekskresi dalam urin, sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada. Diperkirakan paling sedikit 70% kortisol yang diekskresi mengalami metabolisme di hepar.

8. Tuberkulosis (TBC) Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu : a) Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini. b) Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin. Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang disingkat dengan INH. Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik (menahan perkembangan bakteri) dan tuberkulosid (membunuh bakteri). Mekanisme kerja isoniazid memiliki efek pada lemak, biosintesis asam nukleat,dan glikolisis. Efek utamanya ialah menghambat biosintesis asam mikolat (mycolic acid) yang merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium. Isoniazid menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstrasi oleh metanol dari mikobakterium. Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral.

Kadar puncak diperoleh dalam waktu 12 jam setelah pemberian oral. Di hati, isoniazid mengalami asetilasi dan pada manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma. Namun, perbedaan ini tidak berpengaruh pada efektivitas dan atau toksisitas isoniazidbila obat ini diberikan setiap hari. Sedangkan Amikasin diabsorpsi dengan cepat sesudah pemberian I.M.

Pada orang dewasa normal dosis tunggal I.M. 250 mg (3,7 mg/kg) dan 500 mg (7,5 mg/kg). Kadar puncak dalam serum mencapai masing-masing 12 ug/ml dan 23 ug/ml dalam waktu 1 jam. Sesudah 10 jam kadar dalam serum mencapai 0,3 ug/ml dan 2,1 ug/ml. dosis tunggal 500 mg (7,5 mg/kg) dengan cara pemberian i.v. infus selama periode diatas 30 menit mencapai kadar puncak dalam serum 38 ug/ml pada waktu berakhirnya penginfusan dan kadar mencapai 24,18 dan 0,75 ug/ml pada 30 menit, 1 jam dan 10 jam sesudah penginfusan. Ikatan dengan serum protein 1-11 % dan kadar dalam serum tetap bertahan selama 10-12 jam. Amikosin ditemui di dalam cairan spinal pada bayi normal sekitar 10-20% dari kadar didalam serum, dan mencapai 50% jika ada peradangan selaput otak (meningitis), juga menembus barier plasenta dan kadar puncak dalam serum janin sekitar 16% dari kadar puncak dalam serum ibunya. Waktu paruh pada orang dewas diatas 2 jam dan pada janin sekitar 3,7 jam. Mikasin diekskresikan dalam urin tanpa diubah terutama melalui filtrasi glomerulus, pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal, sekitar 91% diekskresikan didalam urin dalam waktu 24 jam sesudah pemberian I.M. dan 94% sesedah pemberian I.V. rata-rata kadar dalam urin selama 6 jam pertama sekitar 560 ug/ml dan 830 ug/ml sesudah pemberian dosis tunggal I.M. 250 mg dan 500 mg. dapat diberikan selama 10 hari dan tidak menyebabkan akumulasi obat jika diberikan sesuai dosis yang dianjurkan.

9.

Bronkitis Untuk terapi disesuaikan dengan penyebab, karena bronkitis biasanya disebabkan oleh virus maka belum ada obat kausal. Obat yang diberikan biasanya untuk mengatasi gejala simptomatis (antipiretika, ekspektoran, antitusif, roburantia). Bila ada unsur alergi maka bisa diberikan antihistamin. Bila terdapat bronkospasme berikan bronkodilator. Tipe utama bronkodilator : Adrenergik, Antikolinergik, dan Xanthin. Adrenergika yang digunakan adalah b2-simpatomimetika (singkatnya b2-mimetika) yang berikut : salbutamol, terbulatin, tretoquinol, fenoterol, rimiterol, prokaterol (Meptin), dan klenbuterol (Spriropent). Lagi pula, obat long-acting yang agak baru, yaitu

salmoterol dan formoterol (dorudil). Mekanisme kerjanya adalah melalui stimulasi reseptor b2 di trachea (batang tenggorok) dan bronchi, yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase. Enzim ini memperkuat pengubahan adenosintrifosat (ATP) yang kaya energi menjadi cyclic-adenosin monophosphat (cAMP) dengan pembebasan energi yang digunakan untuk proses-proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP di dalam sel menghasilkan beberapa efek bronchodilatasi dan penghambatan pelepasan mediator oleh mast cells. Penggunaannya semula sebagai monoterapi kontinu, yang ternyata secara berangsur meningkatkan HRB dan akhirnya memperburuk fungsi paru, karena tidak menanggulangi peradangan dan peningkatan kepekaan bagi alergen pada pasien alergis. Oleh karena itu, sejak beberapa tahun hanya digunakan untuk melawan serangan atau sebagai pemeliharaan dalam kombinasi dengan obat pencegah, seperti kortikosteroid dan kromoglikat.

10. Kanker Paru-Paru a. Kemoterapi untuk Kanker Paru Penderita SCLC terutama diobati dengan kemoterapi dan radiasi karena tindakan pembedahan biasanya tidak berpengaruh besar terhadap survival (kelangsungan hidup). Kemoterapi primer biasanya juga diberikan pada kasus NSCLC yang sudah bermetastasis (menyebar). Penggunaan kombinasi obat-obatan kemoterapi pada jenis tumor yang diderita. Pada penderita NSCLC biasanya diobati dengan cisplatin atau carboplatin yang dikombinasikan dengan gemcitabine, paclitaxel, docetaxel, etoposide, atau vinorelbine. Sedangkan pada penderita SCLC, sering digunakan obat cisplatin dan etoposide. Ataupun dikombinasikan dengan carboplatin, gemcitabine, paclitaxel, vinorelbine, topotecan, dan irinotecan juga digunakan. Cisplatin digunakan secara intravena, obat yang didistribusikan pada kebanyakan jaringan dan dibersihkan tanpa perubahan oleh ginjal. Cisplatin

biasanya digunakan sebagai komponen dari regimen untuk testicular karsinoma untuk kanker dan bladder, paru-paru dan ovarium. Carboplatin mempunyai penggunaan yang sama. Cisplatin menyebabkan gastrointestinal yang berlebihan dan toksisitas hematopoietin yang ringan dan ini ada toksisitas syaraf (perifer neuritis dan kerusakan syaraf akustik) dan nephrotoksik. Kerusakan renalis boleh dikurangi dengan penggunaan mannitol yang dipaksa dengan hydrasi. Carboplatin adalah

nephrotoksik yang kurang lebih dari cisplatin dan sangat kurang diskai sehingga menyebabkan kehilangan rambut, tetapi hal tersebut mempunyai aksi myelosupresi aksi. b. Target Terapi Penerapan target terapi biasa dilakukan untuk pengobatan kanker paru-paru pada stadium 3 dan 4 yang tidak berespons pengobatan lain. Ada dua macam targeted therapy yang paling umum digunakan, yaitu: a) Erlotinib (Tarceva) Sel-sel kanker ditutupi oleh protein yang disebut EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor) yang membantu sel-sel kanker untuk membelah. Tarceva bekerja dengan tidak mengizinkan EGFR untuk menginstruksikan sel-sel kanker untuk tumbuh. Tarceva dapat diberikan pada pasien NSCLC untuk memperpanjang harapan hidupnya. Tarceva bekerja lebih baik pada pasien bukan perokok atau wanita usia lebih muda (sebelum menopause). Dan mudah dikonsumsi setiap hari karena berbentuk pil. Erlotinib tersedia dalam bentuk oral (obat makan) berupa tablet 150mg, 100mg dan 25 mg. Sediaan bentuk tablet ini juga merupakan kelebihan yang bersifat inovatif dan meringankan penderitaan pasien kanker, mengingat sebelumnya obat kemoterapi selalu diberikan dalam sediaan parenteral (infus) yang terkadang menimbulkan trauma pada penderita. Erlotinib adalah molekul yang menghambat human epidermal growth factor receptor 1 (HER1). HER1, atau dikenal sebagai EGFR adalah komponen penting sistem sinyal pertumbuhan HER, yang berperan dalam pembentukan dan pertumbuhan beragam jenis kanker. Erlotinib dirancang untuk menghambat aktifitas enzim tirosin kinase (TK) dari sistem sinyal HER1/EGFR didalam sel, yang menghambat pertumbuhan sel. Tidak seperti terapi kanker tradisional, Erlotinib adalah penghambat yang kuat, sangat selektif yang secara spesifik menyerang sel tumor sehingga menghindari efek samping kemoterapi yang melemahkan pasien. Erlotinib adalah tablet oral yang berpotensi untuk mengobati banyak jenis tumor padat. HER1/EGFR adalah protein yang ditemukan di permukaan sel, yang secara eksklusif berikatan dengan growth factor (faktor pertumbuhan). Pada kondisi normal, ikatan growth factor pada HER1/EGFR merangsang sejumlah proses biologik dalam sel yang menghasilkan pertumbuhan sel yang sangat terkontrol. HER1/EGFR adalah satu dari empat anggota kelompok growth factor HER yang

dihubungkan dengan pertumbuhan serta kemampuan hidup sel. Pada banyak jenis kanker HER1/EGFR menjadi berlebihan atau terus menerus memberikan sinyal pertumbuhan sehingga berakibat pada pertumbuhan tumor padat yang sangat cepat. Erlotinib adalah targeted therapy pertama yang menyerang HER1/EGFR yang menunjukkan perbaikan angka harapan hidup pada studi fase III. Ini

merepresentasikan kemajuan bermakna dalam meningkatkan harapan hidup dibandingkan targeted therapy lainnya untuk pasien dengan NSCLC yang telah gagal dengan kemoterapi dan satu-satunya targeted therapy HER1/EGFR yang menunjukkan perbaikan angka harapan hidup pada studi fase III sebagai terapi lini kedua atau ketiga pada kanker paru jenis NSCLC lokal tahap lanjut atau metastasis. b) Bevacizumab (Avastin) Bevacizumad merupakan antibodi yang ditujukan untuk melawan protein untuk membantu sel tumor membentuk pembuluh darah baru. Obat ini mampu memperpanjang kelangsungan hidup pasien NSCLC stadium lanjut, dan biasanya diberikan sebagai kombinasi dengan kemoterapi kombinasi carboplatin & paclitaxel. Bevacizumab biasa diberikan melalui intravena infus dan umumnya memiliki efek samping berupa perdarahan pada paru-paru.

Anda mungkin juga menyukai