BPH
(Benign Prostatic Hyperplasia)
Oleh:
Pembimbing:
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hyperplasia prostat jinak atau dikenal dengan istilah BPH (benign prostatic
hypeplasia) adalah keadaan yang umum ditemukan pada laki laki berusia diatas 50 tahun,
ditandai dengan hyperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitelial prostat, sehingga terjadi
pembesaran pada volume prostat regio periuretral, sering pada zona transisional prostat,
sedangkan jika pada zona perifer lebih sering ditemukan keganasan.(5)
3
Bagian ini tidak mengandung kelenjar, hanya berisi otot polos. Lobus medius terletak
diantara uretra dan duktus ejaculatorius yang banyak mengandung kelenjar dan merupakan
bagian yang menyebabkan terbentuknya uvula vesicae yang menonjol kedalam vesica
urinaria bila lobus ini membesar. Sehingga dapat terjadi bendungan aliran urin pada waktu
berkemih. Lobus posterior terletak dibelakang uretra, dibawah ductus ejakulatorius. Lobus
lateralis terletak disisi kiri dan kanan uretra.
4
dan berdiameter terbesar seluruh uretra. Pada dinding posterior terdapat alur yang
disebut sinus prostaticus, glandula prostatae bermuara pada sinus ini. Pada puncak
crista uretralis terdapat cekungan disebut utriculus prostaticus, yang analog dengan
uterus dan vagina pada perempuan. Pada pinggir utriculus terdapat muara kedua
ductus ejakulatorius.
Pembesaran Prostat
BPH sering ditemukan pada laki-laki berusia lebih dari 50 tahun. Normalnya kelenjar
prostat pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai masa
pubertas, kemudian ada peningkatan cepat dalam ukuran kontinyu sampai akhir 30-
an. Pertengahan dasawarsa kelima, prostat akan mengalami perubahan hipertrofi.
Kelainan ini bisa disertai dengan peningkatan dalam kandungan dihidrotestosteron
jaringan atau dengan peubahan rasio pada androgen terhadap estrogen yang diketahui
berubah oleh karna proses penuaan. Pada pembesaran prostat, lobus medius kelenjar
akan membesar keatas dan merusak spincter vesicae yang terletak didalam collum
vesicae. Urin yang bocor ke uretra prostatica akan menyebabkan refleks miksi yang
terus menerus. Pembesaran lobus medius dan lateral kelenjar akan menimbulkan
pemanjangan kompresi lateral dan distorsi uretra sehingga pasien akan mengalami
kesulitan berkemih dan pancaranya lemah. Penyulit yang terjadi adalah tekanan balik
pada ureter dan kedua ginjal. Pembesaran uvula vesicae oleh karna pembesaran lobus
medius akan mengakibatkan terbentuknya kantong timbunan urin dibelakang ostium
uretra internum didalam vesica urinaria. Urine yang tertimbun akan menjadi terinfeksi
dan vesica urinaria meradang dan menambah keluhan pasien.(6)
Pada kelenjar prostat dibagi dalam 5 zona :
- Zona anterior atau ventral
Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma fibromuskuler.
Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat. Bagian prostat yang glandular dapat
dibagi menjadi 3 zona.
- Zona perifer
Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar prostat,
membentuk bagian lateral dan posterior atau dorsal organ ini. Secara skematik zona
ini dapat digambarkan seperti corong yang bagian diatalnya terdiri dari apex prostat
dan bagian atasnya terbuka untuk menerima bagian distal zona sentral yang berbentuk
baji. Saluran – saluran dari zona perifer ini bermuara pada uretra pars prostatika
5
bagian distal. Zona ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal
karsinoma terbanyak.
- Zona sentralis
Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus tengah
meliputi 25% massa glandular prostat, dikenal sebagai jaringan kelenjar yang
berbrntuk baji sekeliling duktus ejakulatorius dengan apexnya pada verumontanum
dan basisnya pada leher buli-buli. Saluran – saluran ini juga bermuara pada uretra
prostatika bagian diatal. Zona sentral dan perifer membentuk suatu corong yang
berisikan segmen uretra proksimal dan bagian ventralnya tidak lengkap tertutup
melainkan dihubungkan oleh stroma fibromuskuler. Zona ini resisten terhadap
inflamasi.
- Zona transisional
Zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai kelenjar
preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu kurang lebih 5% tetapi
dapat melebar bersama jaringan stroma fibromuskuler anterior menjadi BPH.(1)
2.3 Epidemiologi
BPH terjadi pada sekitar 70% laki-laki usia diatas 60 tahun. Angka ini akan
meningkat hingga 90% pada laki-laki diatas usia 80 tahun. Insiden BPH diIndonesia
yang pasti belum pernah diteliti, akan tetapi sebagai gambaran hospital prevalence
dirumah sakit Cipto Manungkusumo (RSCM) sejak tahun 1994-2013 didapatkan
3804 kasus dengan rata-rata umur penderita berusia 66,61 tahun. (1)
2.4 Etiologi
Banyak faktor yang diduga berperan dalam proliferasi atau pertumbuhan jinak
kelenjar prostat. BPH pada dasarnya tumbuh pada laki-laki yang menginjak usia tua
dan memiliki testis yang masih menghasilkan hormon testosteron. Disamping hal itu,
pengaruh hormon lain (esterogen dan prolaktin), pola diet, mikrotrauma, inflamasi,
obesitas, dan aktifitas fisik diduga berhubungan dengan proliferasi sel kelenjar prostat
secara tidak langsung.
Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi sel prostat untuk menyintesis growth
faktor, dan selanjutnya berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel kelenjar
prostat. (1)
6
2.5 Manifestasi Klinis
Pasien dengan obstruksi saluran keluar vesika urinaria sekunder terhadap BPH,
biasa tampak kesulitan dalam memulai berkemih, pengosongan vesika urinaria yang
tidak tuntas, urin menetes, frekuensi atau retensi urin total dengan ketidakmampuan
lengkap untuk berkemih. Kelenjar prostat yang membesar akan menimbulkan
obstruksi urin dan terjadi peningkatkan secara menetap tekanan intravesika, yang
akan menyebabkan hipertrofi detrusor, trabekulasi vesika urinaria dan pembentukan
divertikuliti. Proses ini akan dapat berlanjut ke hidronefrosis dan kemunduran saluran
kemih atas. (6)
2.6 Patofisiologi
Berhubungan dengan faktor statis dan dinamik. Faktor statis BPH disebabkan oleh
karena hiperplasia sel-sel epitelial dan stroma periuretra kelenjar prostat yang akan
menyebabkan penyempitan uretra pars prostatika dan bladder outlet. Sedangkan
faktor dinamik disebabkan oleh karena keteganggan otot-otot polos prostat. Kedua
faktor tersebut akan meningkatkan retensi, dan selanjutnya akan menyebabkan
perubahan komponen buli - buli. Obstruksi bladder oulet akan menurunkan fungsi
otot-otot detrusor buli. Faktor usia tua juga akan memperberat, sehingga muncul
berbagai keluhan.
Keluhan berupa peningkatan frekuensi berkemih nokturia, urgensi dengan atau tanpa
inkontinensia urine, menunggu lama saat mulai berkemih dengan pancaran kemih
lemah, nyeri saat berkemih, perasaan berkemih tidak puas, dan postfoid dribbling.
Keluhan-keluhan tersebut sering dikenal dengan istilah lower urinary tract symptomps
atau LUTS. (5)
8
b. Pemeriksaan Fisik
a. Status urologi
- Ginjal
Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH untuk mengevaluasi adanya
obstruksi atau tanda- tanda infeksi.
- Kandung kemih
Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan cara palpasi dan
perkusi untuk menilai isi kandung kemih, dan ada tidaknya tanda
infeksi.
b. Colok dubur
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan
pemeriksaan yang penting pada pasien BPH. Dari pemeriksaan colok dubur
dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konstistensi prostat,dan adanya
nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Mengukur
volume prostat dengan DRE cenderung lebih kecil dari pada ukuran yang
sebenarnya.
Pada pemeriksaan colok dubur juga dapat menilai tonus sfinter ani dan
refleks bulbokavernosus yang akan menunjukan adanya kelainan pada lengking
refleks didaerah sakral. (1)
9
c. Pemeriksaan PSA ( Prostate specific antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific akan tetapi bukan
cancer specific. Kadar PSA didalam serum dapat mengalami penongkatan pada
keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada
retensi urine akut, katerisasi, keganasan prostat, dan usia yang semakin tua.
Serum PSA dapat dipakai untuk mengetahui perjalanan penyakit dari BPH, dalam
hal ini jika serum PSA tinggi berarti :
a. Pertumbuhan volume prostat lebih cepat
b. Keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek
c. Lebih mudah terjadi retensi urine akut
Pemeriksaan PSA dengan colok dubur lebih spesifik dari pada pemeriksaan colok
dubur saja dalam menditeksi adanya karsinoma prostat. Oleh karna itu, pada usia
diatas 50 tahun atau diatas 40 tahun pemeriksaan PSA menjadi sangat penting
guna menditeksi kemungkinan adanya karsinoma prostat.
Apabila kadar PSA >4 ng/ml, biopsi prostat dapat dipertimbangkan setelah
didiskusikan dengan pasien.
10
Pemeriksaan ini dapat dipakai untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika,
baik sebelum maupun setelah terapi.
e. Residu urine
Residu urine merupakan sisa urine dikandung kemih setelah berkemih. Jumlah
residu urin pada laki-laki normal adalah 12 Ml.
Pemeriksaan residu urin dapat dilakuakan dengan cara USG bladder scan atau
dengan kateter uretra. Pengukuran dengan kateter ini lebih akurat dibandingkan
dengan USG, tetapi tidak nyaman bagi pasien, dapat menimbulkan cedera uretra,
infeksi saluran kemih, hingga bakterimia.
Peningkatan volume residu urin dapat disebabkan oleh obstruksi saluran kemih
bagian bawah atau kelemahan kontraksi otot detrusor. Volume residu urin yang
banyak pada pemeriksaan awal berkaitan dengan perburukan gejala. Peningkatan
residu urin pada pemantauan berkala berkaitan denga resiko terjadinya retensi
urine. (1)
11
terletak disisi belakang simfisis pubis atau sedikit diatas simfisis pubis. Extensi
kalsifikasi diatas simfisis pubis merupakan salah satu tanda pembesaran prostat. (1)
a. Foto folos abdomen dan pielografi intravena
Modalitas radiografi konfensional seperti fotopolos abdomen dilanjutkan dengan
pielografi intravena (BNO-IVP) dapat membantu menilai pembesaran kelenjar
prostat secara tidak langsung. Pada saat kandung kemih penuh, akan terlihat
indentasi pada bagian dasar kandung kemih apabila terdapat pembesaran prostat.
Selain itu, indentasi bagian dasar kandung kemih dapat menyebabkan elefasi
trigonum buli-buli dan orifisum uretra, sehingga tampak ureter distal dapat terlihat
seperti huruf “J” atau mata pancing. Pada fase pengosongan buli-buli, akan
terlihat sisa urine cukup banyak akibat bladder outlet obstruction.
b. USG
Modalitas radiologi yang dapat menghitung volume prostat serta menentukan
pembesaran prostat dan komplikasinya adalah USG, CT scan dan MRI. USG
cukup banyak digunakan.
Pemeriksaan USG dapat mengevaluasi morfologi prostst serta ukuran volume
prostst dapat secara transabdominal dan transrektal. USG transabdominal
menggunakan tranmisi gelombang ultrasonik melalui dinding abdomen untuk
melihat organ-organ dalam,termasuk kelenjar prostat. USG transabdominal dan
transrektal dapat memberikan informasi signifikan pembesaran prostat, adanya
batu buli-buli, serta residu urin.
12
USG transabdominal memerlukan pengisian buli-buli yang cukup sebagai acoutic
window. Terdapat kolerasi kuat pengukuran volume buli menggunakan
transabdominal dan transrektal pada volume buli kurang dari 400 mL
Transduser curve frekuensi 2,5 – 5 MHz yang diletakkan disupra simfisis serta
menyudut ke arah kaudal dapat memvisualisasikan kelenjar prostat.
c. CT scan
CT scan regio pelvis mulai dari krista iliaka sampai dengan tuberositas ischium
dengan tebal potongan 5mm atau kurang. CT scan dapat mengevaluasi ukuran
prostat, namun tidak dapat digunakan untuk menentukan stadium BPH, oleh
karena penentuan stadium berdasarkan gejala klinis. Pada CT scan, BPH terlihat
sebagai pembesaran prostat dengan ukuran diameter lebih dari 5cm pada potongan
transversal.
d. MRI
Pada MRI kelenjar prostat tampak sebagai organ dengan intensitas signal
intermediate homogen pada T1 weighted image (T1WI). Sekuen T2 weighted
Image (T2W) dapat memperlihatkan zona – zona pada kelenjar prostat. Intensitas
signal pada T2 WI tergantung komponen kelenjar, stroma, dan otot polos
penyusunya. Zona perifer pada T2 WI, karena banyak komponen kelenjar, akan
memberikan intensitas signal yang tinggi. Sedangkan zona sentral dan zona
transisional lebih banyak mengandung komponen otot polos dan stroma, sehingga
memberikan intensitas signal rendah.
13
Gambar 5. MRI potongan aksial T2VWI, zona perifer tampak hiperintens, dengan
sentral yang hipointens
e. USG Transabdominal dan Transrektal
Pada volume buli kurang dari 400 Ml, pengukuran volume prostat menggunakan
USG transabdominal dan transrektal berkolerasi cukup tinggi. Pengukuran volume
prostat dengan USG transabdominal pada kapasitas kandung kemih antara 100 –
200 Ml dengan ketepatan yang mendekati USG transrektal.
USG transabdominal memerlukan persiapan isi kandung kemih yang cukup agar
dapat menjadi acoustic window, sehingga penestrasi gelombang dapat mencapai
kelenjar prostat. Kelenjar prostat terletak didasar buli, anterior rektum (Gambar
6). Transduser curve dengan frekuensi 3,5 sampai dengan 5 MHz diletakan pada
regio suprapubis dengan posisi transversal dan longitudinal (Gambar 7).
14
Gambar 7. Teknik pengambilan gambar kelenjar prostat dengan modalitas USG
transabdominal potongan transversal dan longitudinal dengan mengubah posisi
transduser
Pada USG transabdominal ukuran normal kelenjar prostat tidak melebihi 3X3X5 cm
atau volume tidak melebihi 25 mL. Pengukuran volume prostat menggunakan formula
geometrik ellipsoid.
Berdasarkan studi Hough dan List, USG transabdominal memiliki akurasi cukup
baik untuk menditeksi dan menilai pembesaran prostat. Penggunaan USG
transrektal (TRUS) pertama kali diperkenalkan oleh Watanabe. TRUS dapat
mengevaluasi anatomi serta menghitung volume kelenjar prostat secara akurat
pada penderita BPH yang akan menjalani terapi bedah atau minimal invasif.
Perhitungan volume prostat dengan TRUS menggunakan proyeksi sagital dan
transversal, sama seperti dengan USG transabdominal. Pemeriksaan menggunakan
transduser khusus frekuensi 6 s/d 10 MHz. Frekuensi lebih rendah, maka
kemampuan gelombang untuk penestrasi jaringan akan lebih dalam, namun
resolusi gambar rendah.(Gambar 8.)
15
Gambar 8. Sonoanatomy menggunakan USG transrektal pada penderita BPH.
16
Tabel 1. Perbandingan antara modalitas pencitraan kelenjar prostat
2.8 Tatalaksana(1)
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki kualitas hidup pasien. Terapi yang
didiskusikan dengan pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, serta
ketersediaan fasilitas setempat. Pilihannya adalah: (1) konservatif (watchful waiting), (2)
medikamentosa, (3) pembedahan, dan (4) lain-lain (kondisi khusus).
17
a.) Konservatif
Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu pasien tidak
mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetapi diawasi oleh dokter.
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu
keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pada watchful waiting ini, pasien diberikan penjelasan mengenai segala sesuatu hal
yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalkan:
(1) Jangan banyak minum dan konsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam
(2) Kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada vesika
urinaria (kopi atau coklat)
Pasien diminta untuk datang kontrol berkala (3 – 6 bulan) untuk menilai perubahan
keluhan yang dirasakan, IPSS, uroflowmetry, maupun volume residu urin. Jika keluhan
berkemih bertambah buruk, perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang lain.
b.) Medikamentosa
Terapi medikamentosa diberikan pada pasien dengan skor IPSS > 7, Jenis obat yang
digunakan adalah:
1. α1-blocker
18
Obat golongan ini dapat mengurangi keluhan storage symptom dan voiding
symptom sehingga mampu memperbaiki skor keluhan berkemih hingga 30 – 45% atau
penurunan 4 – 6 skor IPSS dan QoL hingga 15 – 30%. Akan tetapi, obat α1-blocker
tidak mengurangi volume kelenjar prostat maupun risiko retensi urin dalam jangka
panjang.
2. 5α-reductase inhibitor
19
Penggunaan antimuskarinik terutama untuk memperbaiki gejala storage LUTS.
Sampai saat ini, penggunaan antimuskarinik masih terdapat kontroversi, khususnya
yang berhubungan dengan risiko terjadinya retensi urin akut. Oleh karena itu, perlu
dilakukan evaluasi rutin keluhan dengan IPSS dan sisa urin pasca berkemih. Sebaiknya,
penggunaan antimuskarinik dipertimbangkan jika penggunaan α-blocker tidak
mengurangi gejala storage.
4. Phospodiesterase 5 inhibitor
Waktu yang diperlukan oleh α1-blocker untuk memberikan efek terapi secara
klinis adalah beberapa hari, sedangkan 5α-reductase inhibitor membutuhkan beberapa
bulan untuk menunjukkan perubahan klinis yang signifikan. Data saat ini menunjukkan
terapi kombinasi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan monoterapi dalam
20
risiko terjadinya retensi urin akut dan kemungkinan diperlukan terapi bedah. Akan
tetapi, terapi kombinasi juga dapat meningkatkan risiko terjadinya efek samping.
Terapi kombinasi ini diberikan kepada orang dengan keluhan LUTS sedang –
berat dan mempunyai risiko progresif (volume kelenjar prostat besar, PSA > 1,3 ng/dL,
dan usia lanjut). Kombinasi ini hanya direkomendasikan apabila direncanakan
pengobatan jangka panjang ( > 1 tahun).
Efek samping dari kedua golongan obat kombinasi ini telah dilaporkan lebih
tinggi dibandingkan monoterapi. Pemeriksaan residu urin harus dilakukan selama
pemberian terapi ini.
7. Fitofarmaka
21
c.) Pembedahan
(5) Vesicolithiasis
(6) Penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH
(7) Perubahan patologis pada vesika urinaria dan saluran kemih bagian atas
Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang hingga berat, tidak
menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi medikamentosa, dan pasien yang menolak
pemberian terapi medikamentosa.
a. Invasif minimal
Penyulit dini yang dapat terjadi pada saat TURP bisa berupa perdarahan
yang memerlukan transfusi (0 - 9%), sindrom TUR (0 - 5%), AUR (0 – 13,3%),
retensi clot (0 – 39%), dan ISK (0 – 22%). Komplikasi jangka panjang yang dapat
terjadi meliputi inkontinensia urin (2,2%), stenosis collum vesika urinaria (4,7%),
striktur urethra (3,8%), ejakulasi retrograde (65,4%), disfungsi ereksi (6,5 –
14%), retensi urin, dan ISK.
22
2. Laser prostatektomi
Terdapat 5 jenis energi yang dipakai untuk terapi BPH, yaitu: Nd:YAG,
Holmium:YAG, KTP:YAG, green light laser, Thulium:YAG (Tm:YAG), dan
diode. Kelenjar prostat akan mengalami koagulasi pada suhu 60 – 65 ˚C dan
mengalami vaporisasi pada suhu > 100˚C. Penggunaan laser pada terapi BPH
dianjurkan khususnya pada pasien yang mendapatkan terapi antikoagulan namun
tidak dapat dihentikan.
b. Operasi terbuka
c. Lain-lain
CIC adalah cara untuk mengosongkan vesika urinaria secara intermiten baik
mandiri maupun dengan bantuan. CIC dipilih sebelum kateter menetap
dipasangkan pada pasien yang mengalami retensi urin kronik dan mengalami
gangguan fungsi ginjal atau hidronefrosis. CIC dikerjakan dalam lingkungan
bersih ketika vesika urinaria pasien sudah terasa penuh atau secara periodik.
23
3. Sistostomi
Pada keadaan retensi urin dan kateterisasi transuretra tidak dapat dilakukan,
sistostomi dapat menjadi pilihan. Sistostomi dilakukan dengan cara pemasangan
kateter khusus melalui supravesical untuk mengalirkan urin.
4. Kateter menetap
2.9 Komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperlasia prostat dapat
menimbulkan komplikasi:
a. inkontinensia pardoks
b. batu kandung kemih
c. hematuria
d. sistitis
e. pielonefritis
f. retensi urine akut atau kronik
g. reflukus vesiko-ureter
h. hidroureter
i. hidronefrosis
j. gagal ginjal
2.10 Prognosis
Prognosis secara umum baik, jika tatalaksana medikamentosa dan pembedahan. BPH
yang tidak dapat diobati dapat memicu timbulnya infeksi saluran kemih, batu vesika
urinalia, gagal ginjal, atau retensi urin yang merupakan akibat dari obstruksi.
24
BAB III
KESIMPULAN
Pembesaran prostat jinak atau yang lebih dikenal sebagai benign prostatic hyperplasia (BPH)
sering ditemukan pada laki-laki dewasa terutama diatas usia 50 tahun diIndonesia. BPH
ditandai dengan hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitelial prostat, sehingga terjadi
pembesaran volume prostat. Umumnya keluhan utama BPH retensi urine atau sulit untuk
berkemih dan itu merupakan masalah yang serius yang harus diperhatikan karena dapat
mengganggu kehidupan sehari-hari dan mempengaruhi kualitas hidup pada pria usia lanjut.
Pemeriksaan radiologi yang umum digunakan adalah USG transabdominal mengingat
biayanya relatif terjngkau, aman, dan ada di hampir setiap Rumah Sakit.
25
DAFTAR PUSTAKA
26