Anda di halaman 1dari 36

Tugas PBL

Skenario 2

Disusun Oleh: Kelompok 14 A

NO. NAMA NPM

1. Ni Nyoman Ayu Tri Kartika Manik 16700051


2. Asmy Dzuhrufi Sari 16700053
3. Gigih Maduta Rohman 16700055
4. Ketut Ayesha Eidelwise Prayoga 16700057
5. Satya Yudhayana 16700059
6. Lia Ervina 16700063
7. Putu Gede Aditya Prasetya Sujana 16700065
8. Putu Dea Prayascita Aisuarya 16700067
9. I Gede Wahyu Terra Pranata 15700055

PEMBIMBING TUTOR: dr. AAA Mas Ranidewi, Sp.THT, MARS

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
TAHUN AKADEMIK 2019/2020

i
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat-Nyalah akhirnya pembuatan laporan PBL ini dapat kami selesaikan
sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Sebagaimana yang kami
ketahui, penulisan laporan PBL ini juga merupakan salah satu tugas dalam
mengikuti mata kuliah Ilmu Kedokteran Terintregasi (IKT). Dalam penulisan ini,
penulis banyak mendapatkan sumbangan dari berbagai sumber.
Meskipun demikian, mengingat keterbatasan daya berfikir dan
pengetahuan yang dimiliki, penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam
penulisan ini masih terdapat kekurangan-kekurangan yang membuat laporan PBL
ini terkesan kurang sempurna, bahkan mungkin belum memenuhi harapan yang
semestinya. Dengan demikian penulis sangat mengharapkan kembali masukan-
masukan dan saran-saran guna penyempurnaan dalam mencapai sasaran yang di
harapkan.
Demikian akhirnya penulis berharap Laporan PBL ini dapat bermanfaat,
terutama bagi penulis maupun orang lain.

Surabaya, 27 September 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

I. SKENARIO
II. KATA KUNCI
III. PROBLEM
IV. PEMBAHASAN
1. BATASAN
2. ANATOMI/HISTOLOGI/FISIOLOGI/PATOFISIOLOGI/PATOM
EKANISME
(Dapat berupa bagan atau skema)
3. JENIS-JENIS PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN
4. GEJALA KELINIS
5. PEMERIKSAAN FISIK PENYAKIT
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG PENYAKIT
V. HIPOTESIS AWAL (DIFFERENTIAL DIAGNOSIS)
VI. ANALISIS DARI DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
1. GEJALA KLINIS
2. PEMERIKSAAN FISIK
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
VII. HIPOTESIS AKHIR (DIAGNOSA)
VIII. MEKANISME DIAGNOSIS
1. MEKANISME BERUPA BAGAN SAMPAI TERCAPAINYA
DIAGNOSIS
IX. STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH
1. PENATALAKSANAAN
2. PRINSIP TINDAKAN MEDIS
X. PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI
1. CARA PENYAMPAIAN PROGNOSIS KEPADA PASIEN /
KELUARGA PASIEN
2. TANDA UNTUK MERUJUK PASIEN
3. PERAN PASIEN/KELUARGA UNTUK PENYEMBUHAN
4. PENCEGAHAN PENYAKIT

iii
BAB I

SKENARIO

Seorang laki-laki usia 65 tahun datang ke IGD Rumah Sakit dengan keluhan tidak
bisa buang air kencing.

4
BAB II

KATA KUNCI

1. Laki-laki, usia 65 tahun


2. Tidak bisa buang air kecil

5
BAB III

PROBLEM

1. Apa permasalahan yang dialami pasien?


2. Bagaimana prinsip anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang untuk pasien tersebut?
3. Bagaimana tata cara mendiagnosis pasien tersebut?
4. Bagaimana penatalaksanaan pasien tersebut?

6
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Batasan

Berdasarkan kasus diatas batasan yang kami ambil pada kasus ini adalah
organ reproduksi laki-laki yaitu kelenjar prostat.

4.2 Anatomi/Histologi/Fisiologi/Patofisiologi/Patomekanisme
A. Anatomi Kelenjar Prostat
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi
oleh kapsul fibromuskuler, yang terletak disebelah inferior vesika urinaria,
mengelilingi bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada
disebelah anterior rektum (Drake et. al., 2007). Bentuknya sebesar buah
kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 18 gram,
dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm
dengan tebal 2 cm. Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus, yaitu, lobus
medius, lobus lateralis (2 lobus), lobus anterior, dan lobus
posterior.Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus
posterior akan menjadi satu dan disebut lobus medius saja (Basuki, 2011).

Gambar 4.1 Anatomi Sistem Perkemihan

7
Prostat didapatkan membentuk 70% dari unsur kelenjar dan 30%
dari stroma fibromuskular. Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat
dalam beberapa zona, antara lain adalah: zona perifer, zona sentral, dan
zona transisional. Zona perifer membentuk 70% dari jaringan kelenjar
prostat dan mencakupi bagian posterior dan lateral kelenjar tersebut. Zona
transisional mencakupi 5% hingga 10% daripada jaringan kelenjar prostat.
Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang
letaknya proximal dari spincter externus di kedua sisi dari verumontanum.
Zona sentral mencakupi 25% dari jaringan kelenjar prostat dan
membentuk konus sekitar duktus ejakulatorius sehingga ke basis kandung
kemih.

Gambar 4.2 Kelenjar Prostat Gambar 4.3 Zona Kelenjar Prostat

Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan


dari verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika.
Disebelah depan didapatkan ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah
ligamentum triangulare inferior dan disebelah belakang didapatkan fascia
denonvilliers. Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan
melekat erat dengan prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar
belakang melekat secara longgar dengan fascia pelvis dan memisahkan
prostat dengan rektum. Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya

8
dari prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi pleksus
prostatovesikal (Roehrborn, 2012).

Vaskularisasi pada prostat berasal dari arteri dan vena. Arteri


vesikal inferior, arteri pudendal interna, dan arteri hemoroid menyuplai
darah ke prostat. Sedangkan vena dari prostat akan berlanjut ke pleksus
periprostatik yang terhubung dengan vena dorsal dalam dari penis dan
vena iliaka interna (Tanagho, 2004). Persarafan pada prostat didapat dari
inervasi simpatis dan parasimpatis dari pleksus prostatikus. Pleksus
prostatikus menerima masukan serabut simpatis dari nervus hipogastrikus
(T10-L2) dan parasimpatis dari korda spinalis (S2-4). Stimulasi simpatis
menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke uretra posterior seperti saat
ejakulasi, sedangkan rangsangan parasimpatis meningkatkan sekresi
kelenjar pada epitel prostat (Purnomo, 2009). Kelenjar prostat
mengeluarkan cairan basa yang menyerupai susu untuk menetralisir
keasaman vagina selama senggama dan meningkatkan motilitas sperma
yang optimum pada pH 6,0 sampai 6,5 (Setiadi, 2007). Cairan ini dialirkan
melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk
kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi.
Volume cairan prostat merupakan 25% dari seluruh volume ejakulat
(Purnomo, 2009).

B. Histologi Kelenjar Prostat


Prostat merupakan suatu kumpulan 30-50 kelenjar tubuloalveolar
yang bercabang. Duktusnya bermuara ke dalam uretra pars prostatika.
Prostat mempunyai tiga zona yang berbeda. Pertama adalah zona sentral
yang meliputi 25% dari volume kelenjar. Kedua adalah zona perifer yang
meliputi 70% dari volume kelenjar dan merupakan tempat predileksi
timbulnya kanker prostat. Ketiga adalah zona transisional yang merupakan
tempat asal sebagian besar hiperplasia prostat jinak (Junqueira, 2007).

9
Kelenjar prostat terbentuk dari glandular fibromaskuler dan juga stroma, di
mana, prostat berbentuk piramida, berada di dasar musculofascial pelvis
dimana dan dikelilingi oleh selaput tipis dari jaringan ikat (gbr 2.1)
(McNeal 1988, Dixon et al, 1999).
Kelenjar tubuloalveolar prostat dibentuk oleh epitel bertingkat
silindris atau kuboid. Stroma fibromuskular mengelilingi kelenjar-kelenjar.
Prostat dikelilingi suatu simpai fibroelastis dengan otot polos. Septa dari
simpai ini menembus kelenjar dan membaginya dalam lobus-lobus yang
tidak berbatas tegas pada orang dewasa (Junqueira, 2007).

Gambar 4.4 Histologi kelenjar Prostat

Secara histologinya, prostat dapat dibagi menjadi 3 bagian atau


zona yakni perifer, sentral dan transisi. Zona perifer, memenuhi hampir
70% dari bagian kalenjar prostat di mana ia mempunyai duktus yang
menyambung dengan urethra prostat bagian distal. Zona sentral atau
bagian tengah pula mengambil 25% ruang prostat dan juga seperti zona
perifer tadi, ia juga memiliki duktus akan tetapi menyambung dengan
uretra prostat di bagian tengah, sesuai dengan bagiannya. Zona transisi,
atau bagian yang terakhir dari kalnjar prostat terdiri dari dua lobus, dan
juga seperti dua zona sebelumnya, juga memiliki duktus yang mana

10
duktusnya menyambung hampir ke daerah sphincter pada urethra prostat
dan menempati 5% ruangan prostat. Seluruh duktus ini, selain duktus
ejakulator dilapisi oleh sel sekretori kolumnar dan terpisah dari stroma
prostat oleh lapisan sel basal yang berasal dari membrana basal (gbr 2.2)
(Blacklock 1974; McNeal 1988; Dixon et al. 1999).

C. Fisiologi Kelenjar Prostat


Kelenjar prostat menyekresi cairan encer, seperti susu, yang
mengandung kalsium, ion sitrat, ion fosfat, enzim pembekuan, dan
profibrinolisin. Selama pengisian, simpai kelenjar prostat berkontraksi
sejalan dengan kontraksi vas deferens sehingga cairan encer seperti susu
yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat menambah jumlah semen lebih
banyak lagi. Sifat cairan prostat yang sedikit basa mungkin penting untuk
keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan vas deferens relatif asam
akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolisme sperma, dan sebagai
akibatnya, akan menghambat fertilisasi sperma. Selain itu, sekret vagina
bersifat asam (pH 3,5−4). Sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH
sekitarnya meningkat menjadi 6−6,5. Akibatnya, cairan prostat yang
sedikit basa mungkin dapat menetralkan sifat asam cairan 12 seminalis
lainnya selama ejakulasi, dan juga meningkatkan motilitas dan fertilitas
sperma (Guyton & Hall, 2008; Sherwood, 2011).

D. Patofisologi Kelenjar Prostat


1. Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
Benign Prostate Hyperplasia adalah nama yang biasa
digunakan untuk kelainan jinak umum dari prostat, ketika meluas,
mengakibatkan berbagai tingkat obstruksi saluran kemih, kadang-
kadang membutuhkan intervensi bedah. Istilah hiperplasia nodular,
seperti yang diusulkan oleh Moore dalam studi klasiknya, adalah
sebutan yang lebih tepat. Penyakit ini merupakan pembesaran nodular

11
kelenjar yang disebabkan oleh hiperplasia dari kedua kelenjar dan
komponen stromanya (Rosai, 2004).
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen
uretra prostatika dan menghambat aliran urin. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat
mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna
melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan
perubahan anatomi buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor,
trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan
sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau LUTS yang
dahulu dikenal dengan gejala prostatismus (Purnomo, 2012).

Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian


buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada
kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-
buli ke ureter atau terjadi refluks vesikoureter. Keadaan ini jika
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis,
bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Purnomo, 2012).

Gambar 4.5 Pengaruh BPH Pada Saluran Kemih

12
Patologis BPH ditandai dengan pertumbuhan kelenjar hiperplastik
dan stroma yang bergabung menjadi nodul mikroskopis dan
makroskopis di kelenjar prostat. Ada lima jenis umum dari nodul
BPH, yaitu Fibromyoadenomatous (umum), Fibroadenomatous,
Fibrous/ fibrovaskular, Fibromuskular, dan Muskular (jarang).
Umumnya BPH terdiri dari kelenjar (mengandung sebagian besar sel
kelenjar prostat), campuran (mengandung stroma dan sel epitel
kelenjar), dan stroma (yang hanya berisi sel stroma). Nodul awal yang
berkembang pada BPH ditemukan di daerah periuretra dan biasanya
stroma, terdiri dari jaringan fibrosa dan beberapa otot polos.

Pada beberapa kasus, nodul BPH dapat ditemukan di zona perifer,


yang dapat teraba dengan pemeriksaan colok dubur, dan biasanya
terdiri dari unsur-unsur kelenjar epitel. Kurangnya unsur kelenjar di
nodul stroma BPH, dan pengamatan perbedaan zona di awal nodul
BPH menyebabkan etiologi yang berbeda dari nodul stroma
dibandingkan dengan BPH komponen kelenjar. Ketika zona transisi
membesar secara makroskopik, karena pertumbuhan BPH nodular,
keadaan ini dapat menghambat aliran urin melalui uretra prostat dan
karenanya menjadi LUTS (Nicholson & Ricke, 2012).

Gambar 4.6 Histologi BPH

13
2. Ca Prostat
Kanker prostat merupakan suatu penyakit kanker yang
menyerang kelenjar prostat dengan sel-sel prostat, tumbuh secara
abnormal dan tidak terkendali, sehingga mendesak dan merusak
jaringan sekitarnya yang merupakan keganasan terbanyak diantara
sistem urogenitalia pada pria. Kanker ini sering menyerang pria yang
berumur di atas 50 tahun, diantaranya 30% menyerang pria berusia
70- 80 tahun dan 75% pada usia lebih dari 80 tahun. Kanker ini jarang
menyerang pria berusia di bawah 45 tahun (Purnomo, 2011). Menurut
Mansjoer Arif dkk (2000), sebagian besar kanker prostat adalah
adenokarsinoma yang berasal dari sel asinar prostat dan bermula dari
volume yang kecil kemudian membesar hingga menyebar. Karsinoma
prostat paling sering ditemukan pada zona perifer sekitar 75%, pada
zona sentral atau zona transisi sekitar 15-20%, sedangkan menurut
Presti (2004), dan Purnomo (2011), sekitar 60-70% terdapat pada zona
perifer, 10-20% pada zona transisional, dan 5-10% pada zona sentral.

Menurut Mc. NEAL (1988), mengemukakan konsep


tantang zona anatomi dari prostat. Komponen kelenjar dari prostat
sebagian besar terletak atau membentuk zona perifer. Zona perifer ini
ditambah dengan zona sentral yang terkecil merupakan 95% dari
komponen kelenjar. Komponen kelenjar yang lain (5%) membentuk
zona transisi. Zona transisi ini terletak tepat di luar uretra di daerah
verumontanum. Proses hiperplasia dimulai di zona transisi. Sebagian
besar proses keganasan (60-70%) bermula di zona perifer, sebagian
juga dapat tumbuh di zona transisi dan zona sentra Karsinoma prostat
berupa lesi multi sentrik. Kanker prostat menyebar ke kelenjar limfe
di panggul kemudian ke kelenjar limfe retroperitoneal atas.
Penyebaran hematogen terjadi melalui V, vertebralis ke tulang
panggul, femur proksimal, ruas tulang lumbal, dan tulang iga.
Metastasis tulang sering bersifat osteoklastik. Kanker ini jarang

14
menyebar ke sumsum tulang dan visera, khususnya hati dan paru
(jong dan Sjamsuhidajat, 2010).

Gambar 4.7 Histologi Ca Prostat

4.3 Epidemiologi
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah tumor jinak yang umum
yang berkembang pada pria dan mengganggu pada pasien usia lanjut. Prevalensi
gejala saluran kemih bagian bawah pada populasi umum meningkat dengan
penuaan. Prostat normal beratnya 20 ± 6 g pada pria berusia 21-30 tahun.
Prevalensi BPH patologis hanya 8% pada dekade ke-4 dari kehidupan. Namun,
50% dari penduduk laki-laki menderita BPH patologis pada usia 51-60 tahun.
Berat ratarata dari prostat yang diakui memiliki BPH adalah 33 ± 16 g. Pria
berusia 70-79 tahun yang 4,6 kali lebih mungkin dibandingkan mereka yang
berusia 40-49 tahun. Perkembangan BPH diamati dalam hal peningkatan volume
prostat dan penurunan maksimal laju aliran urin. Selain itu, perkembangan
penyakit meningkatkan risiko retensi urin akut dan operasi. Rata-rata, skor gejala
prostat internasional meningkatkan 0,18 poin / tahun, maksimal kemih laju alir
penurunan sebesar 2% / tahun, dan pertumbuhan prostat median meningkatkan
1,9% /tahun untuk BPH. Selain itu, kejadian akumulatif dari retensi urin akut
adalah 2,7% (Lu Shing-Hwa., 2014).

15
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang semakin pesat,
maka jumlah lansia yang ada di indonesia diperkirakan akan meningkatkan pula.
Peningkatan jumlah lansia ini akan berdampak pada banyaknya angka kejadian
BPH. Prevalensi usia 41-50 tahun sebanyak 20%, pada usia 51-60 tahun sebanyak
50%, dan >80 tahun sekitar 90%. Angka kejadian di Indonesia sangan bervariasi
yaitu antara 24-30% dari kasus urologi yang dirawat di beberapa rumah sakit.
Contohnya adalah di RS Dr. Soetomo Surabaya terdapat 1.948 kasus BPH pada
periode 1993-2002 (Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI., 2013).

4.4 Etiologi
Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada
beberapa pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit
dari androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron
dengan bantuan enzim 5α-reduktase diperkirakan sebagai mediator utama
pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor
dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan
bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor
membentuk DHTReseptor komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan
mempengaruhi RNA untuk menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi
proliferasi sel. Adanya anggapan bahwa sebagai dasar adanya gangguan
keseimbangan hormon androgen dan estrogen, dengan bertambahnya umur
diketahui bahwa jumlah androgen berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen
secara relatif. Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian
tengah, lobus lateralis dan lobus medius) hingga pada hiperestrinisme, bagian
inilah yang mengalami hiperplasia (Hardjowidjoto., 2000).
Beberapa hipotesis yang di duga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasia prostat adalah: (1) teori DHT, (2) adanya ketidakseimbangan antara
estrogentestosteron, (3) interaksi antara sel stroma dan epitel prostat, (4)
berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5) teori stem sel (Purnomo., 2007).

16
a. Teori DHT (Dehidrotestosteron) DHT
Teori DHT (Dehidrotestosteron) DHT adalah metabolit androgen yang
sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dengan
testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5a-reduktase dengan bantuan
koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor
androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan
selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat (Purnomo., 2007).
b. Ketidakseimbangan Antara Estrogen-Testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar
estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen dan
testosteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam
prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar protat dengan
cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon
androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, menurunkan jumlah
kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini
adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan
testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur
yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar (Purnomo.,
2007).
c. Interaksi Stroma Epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor)
tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan
estradiol, sel-sel stroma mensintesis growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakin atau autokrin, serta
mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu dapat
menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun stroma
(Purnomo., 2007).

17
d. Berkurangnya Kematian Sel Prostat
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologik untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada
apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel
yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya
kemudian di degradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat
keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel.
Pertumbuhan prostat sampai prostat dewasa, penambahan jumlah sel
prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya
jumlah sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan sel-sel prostat
secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan
pertambahan massa prostat tersebut (Purnomo., 2007).
e. Stem Sel
Untuk mengganti sel-sel yang mengalami apoptosis, akan dibentuk sel
baru. Di kelenjar prostat adanya sel stem, yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini bergantung
pada keberadaan hormon androgen, jika hormon ini kadarnya menurun
seperti pada kastrasi, dapat terjadi apoptosis. Terjadinya proliferasi sel
pada BPH diakibatkan ketidaktepat aktivitas sel stem sehingga terjadi
produksi yang berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel (Purnomo.,
2007).

4.5 Gejala Klinis


Gejala yang umumnya terjadi pada pasien BPH adalah gejala pada
saluran kemih bagian bawah atau lower urinary track symptoms (LUTS). Gejala
pada saluran kemih bagian bawah terdiri atas gejala iritatif (storage symptoms)
dan gejala obstruksi (voiding symptoms). Gejala Obstruktif ditimbulkan karena
adanya penyempitan uretra karena didesak oleh prostat yang membesar. Gejala
yang terjadi berupa harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistancy),
pancaran miksi yang lemah (weak stream), miksi terputus (Intermittency), harus
mengejan (straining). Gejala Iritatif disebabkan oleh pengosongan kandung kemih

18
yang tidak sempurna pada saat miksi atau berkemih, sehingga kandung kemih
sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala yang terjadi adalah frekuensi
miksi meningkat (Frequency), nookturia, dan miksi sulit ditahan (Urgency)
(Kapoor, 2012). Gejala-gejala yang biasanya dirasakan oleh penderita pembesaran
prostat jinak yaitu nookturia, inkontinensia urin, aliran urin tersendat-sendat,
mengeluarkan urin disertai darah, dan merasa tidak tuntas setelah berkemih
(Dipiro et al, 2015).
Pola keluhan penderita hiperplasia prostat sangat berbeda-beda.
Alasannya belum diketahui, tetapi mungkin berdasarkan atas peningkatan atau
penyusustan ringan dalam volume prostat. Keluhan lain yang berkaitan akibat
hiperplasia prostat jika ada infeksi saluran kemih, maka urin menjadi keruh dan
berbau busuk. Hiperplasia prostat bisa mengakibatkan pembentukan batu dalam
kandung kemih. Bila terjadi gangguan faal ginjal, bisa timbul poliuria yang
kadang-kadang mirip dengan diabetes insipidus, mual, rasa tak enak di lidah, lesu,
haus dan anoreksia (Scholtmeijer and schroder, 1987)

4.6 Pemeriksaan Fisik pada BPH


Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi
penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urin.
Kadang-kadang didapatkan urin yang selalu menetes tanpa disadari oleh pasien
yaitu merupakan tanda dari inkontinensia paradoksa. Pada colok dubur yang
diperhatikan adalah tonus sfingter ani/refleks bulbo-kavernosus untuk
menyingkirkan adanya kelainan buli-buli neurogenik, mukosa rektum, dan
keadaan prostat, antara lain: kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi
prostat, simetrisitas antara lobus dan batas prostat (Prasetio, 2014).
Colok dubur pada pembesaran prostat jinak menunjukkan konsistensi
prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan
tidak didapatkan nodul, sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat
keras atau teraba nodul dan mungkin di antara prostat tidak simetri (Prasetio,
2014).

19
4.7 Pemeriksaan Penunjang pada BPH

Pemeriksaan Penunjang menurut Doenges (2002) dalam Mukharromah (2014):

A. Urinalis: Warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang (berdarah);
penampilan keruh; pH 7 atau lebih besar (menunjukan infeksi); bakteri; sel
darah putih; sel darah merah mungkin ada secara mikroskopis.
B. Kultur Urin: Dapat menunjukan Staphylococcus aureus, Proteus,
Klebsiella Pseudomonas, atau Escherichia Coli.
C. Sitologi Urin: Untuk mengesampingkan kanker kandung kemih.
D. BUN/Kreatinin: Meningkat bila fungsi ginjal dipengaruhi.
E. Asam fosfat serum/ antigen khusus prostatic: Peningkatan karena
pertumbuhan selular dan pengaruh hormonal pada kanker prostat (dapat
mengindikasikan metastase tulang).
F. Sel darah putih: Mungkin lebih besar dari 11.000, mengindikasikan infeksi
bila pasien tidak imunosupresi.
G. Penentuan kecepatan aliran urin: Mengkaji derajat obstruksi kandung
kemih.
H. IVP dengan film pasca berkemih: Menunjukan perlambatan pengosongan
kandung kemih, membedakan derajat obstruksi kandung kemih dan
adanya pembesaran prostat, divertikuli kandung kemih dan penebalan
abnormal otot kandung kemih.
I. Sistouretrografi berkemih: Digunakan sebagai IVP untuk memvisualisasi
kandung kemih dan uretra karena ini menggunakan bahan kontras local.
J. Sistogram: Mengukur tekanan dan Volume dalam kandung kemih untuk
mengindentifikasi disfungsi yang tak berhubungan dengan BPH
K. Sistouretroskopi: Untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan
perubahan dinding kandung kemih (kontraindikasi pada adanya ISK akut
sehubungan dengan resiko sepsis gram negative).
L. Sistometri: Mengevaluasi fungsi otot detrusor dan tonusnya.
M. Ultrasound transrektal: Mengukur ukuran prostat, jumlah residu urin;
melokalisasi lesi yang tak berhubungan dengan BPH.

20
BAB V
HIPOTESIS AWAL

1. Retensio Urine

Retensi urine merupakan suatu keadaan penumpukan urine di kandung


kemih dan tidak mempunyai kemampuan untuk mengosongkannya secara
sempurna. Retensio urine adalah kesulitan miksi karena kegagalan urine
dari fesika urinaria.

2. Kanker Prostat

Kanker prostat merupakan suatu penyakit kanker yang menyerang kelenjar


prostat dengan sel-sel prostat, tumbuh secara abnormal dan tidak terkendali,
sehingga mendesak dan merusak jaringan sekitarnya yang merupakan keganasan
terbanyak diantara sistem urogenitalia pada pria.

3. Benigna Prostatica Hyperplasia (BPH)

Benigna Prostatica Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran progresif


kelenjar prostat yang menyebabkan penyumbatan saluran kemih dan pembatasan
aliran urin. BPH berkaitan dengan umur yang sudah tua, semakin tua usia
seseorang semakin beresiko tinggi terkena penyakit BPH.

21
BAB VI

ANALISIS DARI DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

1. Retensio Urine

Retensio urine adalah kesulitan miksi karena kegagalan urine dari fesika
urinaria. Pada retensio urine, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai
rasa sakit yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat
disertai mengejan. Retensio urine dapat terjadi menurut lokasi, factor obat dan
factor lainnya seperti ansietas, kelainan patologi urethra, trauma dan lain
sebagainya.

Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supra vesikal berupa kerusakan


pusat miksi di medulla spinalsi menyebabkan kerusaan simpatis dan parasimpatis
sebagian atau seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksi dengan otot detrusor yang
mengakibatkan tidak adanya atau menurunnya relaksasi otot spinkter internal,
vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, intravesikal berupa
hipertrofi prostate, tumor atau kekakuan leher vesika, striktur, batu kecil
menyebabkan obstruksi urethra sehingga urine sisa meningkat dan terjadi dilatasi
bladder kemudian distensi abdomen.

Factor obat dapat mempengaruhi proses BAK, menurunkan tekanan darah,


menurunkan filtrasi glumerolus sehingga menyebabkan produksi urine menurun.
Factor lain berupa kecemasan, kelainan patologi urethra, trauma dan lain
sebagainya yang dapat meningkatkan tensi otot perut, peri anal, spinkter anal
eksterna tidak dapat relaksasi dengan baik. Dari semua factor di atas
menyebabkan urine mengalir labat kemudian terjadi poliuria karena pengosongan
kandung kemih tidak efisien. Selanjutnya terjadi distensi bladder dan distensi
abdomen sehingga memerlukan tindakan, salah satunya berupa kateterisasi
urethra.

22
2. Kanker Prostat

Kanker prostat merupakan suatu penyakit kanker yang menyerang kelenjar


prostat dengan sel-sel prostat, tumbuh secara abnormal dan tidak terkendali,
sehingga mendesak dan merusak jaringan sekitarnya yang merupakan keganasan
terbanyak diantara sistem urogenitalia pada pria. Kanker ini sering menyerang
pria yang berumur di atas 50 tahun, diantaranya 30% menyerang pria berusia 70-
80 tahun dan 75% pada usia lebih dari 80 tahun. Kanker ini jarang menyerang pria
berusia di bawah 45 tahun. sebagian besar kanker prostat adalah adenokarsinoma
yang berasal dari sel asinar prostat dan bermula dari volume yang kecil kemudian
membesar hingga menyebar.

Karsinoma prostat paling sering ditemukan pada zona perifer sekitar 75%,
pada zona sentral atau zona transisi sekitar 15-20%. Kanker prostat menyebar ke
kelenjar limfe di panggul kemudian ke kelenjar limfe retroperitoneal atas.
Penyebaran hematogen terjadi melalui V, vertebralis ke tulang panggul, femur
proksimal, ruas tulang lumbal, dan tulang iga. Metastasis tulang sering bersifat
osteoklastik. Kanker ini jarang menyebar ke sumsum tulang dan visera, khususnya
hati dan paru (jong dan Sjamsuhidajat,2010).

Didapatkan gejala berupa gejala obstruktif dan iritatif pada saluran kemih
bagian bawah serta gejala pada saluran kemih bagian atas berupa nyeri atau
kekakuan pada punggung bawah, pinggul atau paha atas dan tidak nyaman di
daerah panggul akibat penyebaran di kelenjar getah bening yang terletak di
panggul.

3. Benigna Prostatica Hyperplasia (BPH)

Benigna Prostatica Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran progresif


kelenjar prostat yang menyebabkan penyumbatan saluran kemih dan pembatasan
aliran urin. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) akan timbul seiring dengan
bertambahnya usia, sebab BPH erat kaitannya dengan proses penuaan. Penyebab

23
BPH belum diketahui secara pasti, tetapi sampai saat ini berhubungan dengan
proses penuaan yang mengakibatkan penurunan kadar hormon pria, terutama
testosteron.

Hormon testosteron dalam kelenjar prostat akan diubah menjadi


dihidrotestosteron (DHT). DHT inilah yang kemudian secara kronis merangsang
kelenjar prostat sehingga membesar. Pembentukan nodul pembesaran prostat ini
sudah mulai tampak pada usia 25 tahun pada sekitar 25% kasus. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan di RS Kariadi Semarang, RSI Sultan Agung dan RS
Roemani Semarang faktor resiko yang berpengaruh terhadap BPH adalah umur ≥
50 tahun, adanya riwayat keluarga yang memiliki penyakit BPH, kebiasaan
merokok, riwayat obesitas, kebiasaan berolahraga < 3 kali/minggu selama 30
menit dan kebiasaan minum-minuman beralkohol. Penelitian yang dilakukan di
Banjarmasin memperlihatkan dari 60 pasien BPH, 33 pasien merokok dan 27
pasien tidak merokok.

24
BAB VII

HIPOTESIS AKHIR DIAGNOSIS

Benign Prostate Hyperplasia adalah kelainan jinak umum dari prostat,


ketika meluas, mengakibatkan berbagai tingkat obstruksi saluran kemih, kadang-
kadang membutuhkan intervensi bedah. Istilah hiperplasia nodular, seperti yang
diusulkan oleh Moore dalam studi klasiknya, adalah sebutan yang lebih tepat.
Penyakit ini merupakan pembesaran nodular kelenjar yang disebabkan oleh
hiperplasia dari kedua kelenjar dan komponen stromanya (Rosai, 2004).

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat


non-kanker. Ini adalah gangguan urologi yang umum pada pria yang berusia di
atas 50 tahun. Pembesaran prostat ini menyebabkan uretra, saluran yang
mengalirkan air kemih keluar dari penis, terjepit dan menyempit. Ini menyumbat
pembuangan air kemih keluar dari kandung kemih dan diperlukan tekanan lebih
besar untuk membuang air kemih. Kandung kemih mulai berkontraksi, bahkan
bila kantung ini tidak penuh seluruhnya, dan kemudian lambat-laun kehilangan
kemampuan untuk mengosongkan sendiri. Gejala pembesaran Prostat Jinak
(BPH) dikaitkan dengan penyempitan uretra dan pengosongan kantung kemih
yang tidak tuntas.

25
BAB VIII
MEKANISME DIAGNOSIS

IDENTITAS PASIEN PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum: Baik
Nama : Tn. Parto Kesadaran: GCS (456)
Umur :65 tahun Vital Sign:
Suku : Jawa - Tensi: 110/60 mmHg
Pekerjaan : Pensiunan PNS - Nadi: 60x/menit
- RR: 22x/menit
Pekerjaan :Salesman - Suhu : 36,5 Celcius
Hasil Pemeriksaan:
ANAMNESA Kepala/Leher:
Keluhan Utama: Tidak bisa buang air kecil Anemi:-/Ikterus:-/Sianosis:-/,Dispnea:-
Riwayat Penyakit Sekarang: Thorak :
 Tidak bisa buang air kecil - Dalam Batas Normal
 Dari riwayat setahun terakhir penderita Abdomen:
merasakan kencing belum puas, tetapi - Inspeksi : Perut datar, jejas (-), caput medusa
kencing tidak mau keluar kembali. (-), spider navy (-), kolalateral vein (-)
- Auskultasi : BU (+) normal
 Saat akan mulai kencing terasa kebelet, tetapi
- Palpasi : Flank D/S tak teraba massa, tidak
saat mau dikeluarkan terasa sakit dan harus
ada nyeri, ketok costo vertebra angel tidak
mengejan baru keluar.
nyeri, di region simfisis terasa massa
 Dalam sehari kencing bisa sampai 20x.
fluktuatif setinggi umbilicus.
 Malam hari kencing bisa sampai 5x hingga
Ano-genital :
mengganggu tidur.
 Penis : sudah circumsisi, palpasi penis tidak
 Sering mengompol.
ada penebalan pada uretra.
Riwayat Penyakit Dahulu:
 Bulbocavernosus reflex : (+)
 Pasien sudah circumsisi, (-) kencing nanah,
 Rectal touch : Tonus spincter ani kuat,
(-) sakit seperti ini, (-) DM, (-) hipertensi
mukosa licin.
Riwayat Pengobatan:
 Prostat : Sulcus medianan datar, laterolateral
 Belum berobat
melebar, pool atas tidak teraba, konsistensi
Riwayat Penyakit Keluarga:
kenyal, tidak berdungkul, tidak nyeri.
 Ibu pasien menderita maag
Ekstrimitas: Dalam Batas Normal
Riwayat Kebiasaan:
 Pasien merokok 2 batang sehari
PEMERIKSAAN PENUNJANG

- Darah Lengkap : Normal


DIAGNOSIS AKHIR - Ureum/creatinin : Normal
- PSA : Normal
Benign Prostatic Hyperplasia - Trans rental ultrasonografi : Pembesaran prostat
(BPH) ukuran 80gr, struktur homogen

26
BAB IX

STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH

Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki kualitas hidup pasien.
Terapi yang didiskusikan dengan pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan
pasien, serta ketersediaan fasilitas setempat. Pilihannya adalah: (1) konservatif
(watchful waiting), (2) medikamentosa, (3) pembedahan, dan (4) lain-lain (kondisi
khusus).
1. Konservatif
Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu pasien
tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetap
diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH
dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu
aktivitas sehari-hari.
Pada watchful waiting ini, pasien diberi penjelasan mengenai segala
sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya:
a. Jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol
setelah makan malam,
b. Kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan
iritasi pada kandung kemih (kopi atau cokelat),
c. Batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin,
d. Jangan menahan kencing terlalu lama.
e. Penanganan konstipasi
Pasien diminta untuk datang kontrol berkala (3-6 bulan) untuk menilai
perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, uroflowmetry, maupun volume
residu urine. Jika keluhan berkemih bertambah buruk, perlu dipikirkan untuk
memilih terapi yang lain.

27
2. Medikamentosa
Terapi medikamentosa diberikan pada pasien dengan skor IPSS >7. Jenis
obat yang digunakan adalah:
a. α1-blocker
Pengobatan dengan α1-blocker bertujuan menghambat kontraksi
otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung
kemih dan uretra. Beberapa obat α1- blocker yang tersedia, yaitu
terazosin, doksazosin, alfuzosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan
sekali sehari.
b. 5α-reductase inhibitor
5α-reductase inhibitor bekerja dengan menginduksi proses
apoptosis sel epitel prostat yang kemudian mengecilkan volume prostat
hingga 20 – 30%. 5a-reductase inhibitor juga dapat menurunkan kadar
PSA sampai 50% dari nilai yang semestinya sehingga perlu
diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat. Saat ini, terdapat 2
jenis obat 5α-reductase inhibitor yang dipakai untuk mengobati BPH,
yaitu finasteride dan dutasteride. Efek klinis finasteride atau
dutasteride baru dapat terlihat setelah 6 bulan.
Finasteride digunakan bila volume prostat >40 ml dan dutasteride
digunakan bila volume prostat >30 ml. Efek samping yang terjadi pada
pemberian finasteride atau dutasteride ini minimal, di antaranya dapat
terjadi disfungsi ereksi, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul
bercak-bercak kemerahan di kulit.
c. Antagonis Reseptor Muskarinik
Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan antagonis reseptor
muskarinik bertujuan untuk menghambat atau mengurangi stimulasi
reseptor muskarinik sehingga akan mengurangi kontraksi sel otot polos
kandung kemih. Beberapa obat antagonis reseptor muskarinik yang
terdapat di Indonesia adalah fesoterodine fumarate, propiverine HCL,
solifenacin succinate, dan tolterodine l-tartrate.

28
Penggunaan antimuskarinik dapat menimbulkan efek samping,
seperti mulut kering (sampai dengan 16%), konstipasi (sampai dengan
4%), kesulitan berkemih (sampai dengan 2%), nasopharyngitis (sampai
dengan 3%), dan pusing (sampai dengan 5%).
d. Phospodiesterase 5 inhibitor
Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE 5 inhibitor) meningkatkan
konsentrasi dan memperpanjang aktivitas dari cyclic guanosine
monophosphate (cGMP) intraseluler, sehingga dapat mengurangi tonus
otot polos detrusor, prostat, dan uretra. Di Indonesia, saat ini ada 3
jenis PDE5 Inhibitor yang tersedia, yaitu sildenafil, vardenafil, dan
tadalafil. Sampai saat ini, hanya tadalafil dengan dosis 5 mg per hari
yang direkomendasikan untuk pengobatan LUTS.
e. Terapi Kombinasi
i. α1-blocker + 5α-reductase inhibitor
Terapi kombinasi α1-blocker (alfuzosin, doksazosin,
tamsulosin) dan 5α-reductase inhibitor (dutasteride atau
finasteride) bertujuan untuk mendapatkan efek sinergis dengan
menggabungkan manfaat yang berbeda dari kedua golongan
obat tersebut, sehingga meningkatkan efektivitas dalam
memperbaiki gejala dan mencegah perkembangan penyakit.
Terapi kombinasi ini diberikan kepada orang dengan
keluhan LUTS sedang-berat dan mempunyai risiko progresi
(volume prostat besar, PSA yang tinggi (>1,3 ng/dL), dan usia
lanjut). Kombinasi ini hanya direkomendasikan apabila
direncanakan pengobatan jangka panjang (>1 tahun).
ii. α1-blocker + antagonis reseptor muskarinik
Terapi kombinasi α1-blocker dengan antagonis reseptor
muskarinik bertujuan untuk memblok α1-adrenoceptor dan
cholinoreceptors muskarinik (M2 dan M3) pada saluran kemih
bawah. Terapi kombinasi ini dapat mengurangi frekuensi
berkemih, nokturia, urgensi, episode inkontinensia, skor IPSS

29
dan memperbaiki kualitas hidup dibandingkan dengan α1-
blocker atau plasebo saja. Pada pasien yang tetap mengalami
LUTS setelah pemberian monoterapi α1-blocker akan
mengalami penurunan keluhan LUTS secara bermakna dengan
pemberian anti muskarinik, terutama bila ditemui overaktivitas
detrusor (detrusor overactivity).
Efek samping dari kedua golongan obat kombinasi, yaitu
α1-blocker dan antagonis reseptor muskarinik telah dilaporkan
lebih tinggi dibandingkan monoterapi. Pemeriksaan residu
urine harus dilakukan selama pemberian terapi ini.
f. Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk
memperbaiki gejala, tetapi data farmakologik tentang kandungan zat
aktif yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini
belum diketahui dengan pasti. Di antara fitoterapi yang banyak
dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis
rooperi, Radix urtica, dan masih banyak lainnya.
3. Pembedahan
Indikasi tindakan pembedahan, yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan
komplikasi, seperti:
a. Retensi urine akut;
b. Gagal trial without catheter (twoc);
c. Infeksi saluran kemih berulang;
d. Hematuria makroskopik berulang;
e. Batu kandung kemih;
f. Penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH
g. Dan perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih
bagian atas.
Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang
hingga berat,tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non
bedah, dan pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa.

30
a. Invasif Minimal
(1) Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
TURP merupakan tindakan baku emas pembedahan pada
pasien BPH dengan volume prostat 30-80 ml. Akan tetapi, tidak
ada batas maksimal volume prostat untuk tindakan ini di
kepustakaan, hal ini tergantung dari pengalaman spesialis urologi,
kecepatan reseksi, dan alat yang digunakan. Secara umum, TURP
dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90% dan meningkatkan laju
pancaran urine hingga 100%.
(2) Laser Prostatektomi
Terdapat 5 jenis energi yang dipakai untuk terapi invasif
BPH, yaitu: Nd:YAG, Holmium: YAG, KTP:YAG, Green Light
Laser, Thulium:YAG (Tm:YAG), dan diode. Kelenjar prostat akan
mengalami koagulasi pada suhu 60-650C dan mengalami
vaporisasi pada suhu yang lebih dari 1000C.
Penggunaan laser pada terapi pembesaran prostat jinak
dianjurkan khususnya pada pasien yang terapi antikoagulannya
tidak dapat dihentikan.
(3) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) Atau Insisi Leher
Kandung Kemih (Bladder Neck Insicion)
Direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil
(kurang dari 30 ml) dan tidak terdapat pembesaran lobus medius
prostat. TUIP mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan
meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik TURP.
(4) Thermoterapi Kelenjar Prostat
Thermoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan >45oC
sehingga menimbulkan nekrosis koagulasi jaringan prostat.
Gelombang panas dihasilkan dari berbagai cara, antara lain adalah
Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT), Transurethral
Needle Ablation (TUNA), dan High Intensity Focused Ultrasound
(HIFU). Semakin tinggi suhu di dalam jaringan prostat, semakin

31
baik hasil klinik yang didapatkan, tetapi semakin banyak juga efek
samping yang ditimbulkan. Teknik thermoterapi ini seringkali tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit, tetapi masih harus memakai
kateter dalam jangka waktu lama.
(5) Stent
Stent dipasang intraluminal di antara leher kandung kemih dan di
proksimal verumontanum, sehingga urine dapat melewati lumen
uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau
permanen. Stent yang telah terpasang bisa mengalami enkrustasi,
obstruksi, menyebabkan nyeri perineal, dan disuria.
b. Operasi Terbuka
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal
(Hryntschack atau Freyer) dan retropubik (Millin). Pembedahan
terbuka dianjurkan pada prostat yang volumenya lebih dari 80 ml.
Prostatektomi terbuka adalah cara operasi yang paling invasif
dengan morbiditas yang lebih besar. Penyulit dini yang terjadi pada
saat operasi dilaporkan sebanyak 7-14% berupa perdarahan yang
memerlukan transfusi. Sementara itu, angka mortalitas perioperatif (30
hari pertama) adalah di bawah 0,25%. Komplikasi jangka panjang
dapat berupa kontraktur leher kandung kemih dan striktur uretra (6%)
dan inkontinensia urine (10%).
4. Lain-Lain (dalam kondisi khusus)
a. Trial Without Catheterization (TwoC)
TwoC adalah cara untuk mengevaluasi apakah pasien dapat
berkemih secara spontan setelah terjadi retensi. Setelah kateter
dilepaskan, pasien kemudian diminta dilakukan pemeriksaan pancaran
urin dan sisa urin. TwoC baru dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian α1-blocker selama minimal 3-7 hari. TwoC umumnya
dilakukan pada pasien yang mengalami retensi urine akut yang pertama
kali dan belum ditegakkan diagnosis pasti.

32
b. Clean Intermittent Catheterization (CIC)
CIC adalah cara untuk mengosongkan kandung kemih secara
intermiten baik mandiri maupun dengan bantuan. CIC dipilih sebelum
kateter menetap dipasang pada pasien- pasien yang mengalami retensi
urine kronik dan mengalami gangguan fungsi ginjal ataupun
hidronefrosis. CIC dikerjakan dalam lingkungan bersih ketika kandung
kemih pasien sudah terasa penuh atau secara periodik.
c. Sistostomi
Pada keadaan retensi urine dan kateterisasi transuretra tidak dapat
dilakukan, sistostomi dapat menjadi pilihan. Sistostomi dilakukan dengan
cara pemasangan kateter khusus melalui dinding abdomen (supravesika)
untuk mengalirkan urine.
d. Kateter menetap
Kateterisasi menetap merupakan cara yang paling mudah dan sering
digunakan untuk menangani retensi urine kronik dengan keadaan medis
yang tidak dapat menjalani tidakan operasi.

33
BAB X

PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI

1. Prognosis
Prognosis BPH berubah-ubah dan tidak bisa diprediksi tiap individu. BPH
yang tidak diterapi akan menunjukkan efek samping yang merugikan pasien itu
sendiri seperti retensi urin, insufisiensi ginjal, infeksi saluran kemih yang
berulang, dan hematuria.

2. Komplikasi
Komplikasi umum BPH meliputi:
1. Retensi Urin Akut
Ketidakmampuan mendadak untuk buang air kecil. Kandung kemih
menjadi bengkak dan nyeri.
2. Infeksi Saluran Kemih
Urin sisa dari BPH dapat menyebabkan infeksi saluran kemih rekuren.
3. Batu Kandung Kemih
BPH dapat meningkatkan risiko pembentukan batu kandung kemih.
Pasir/batu dalam urin BPH dapat menyebabkan perdarahan.
4. Gangguan Fungsi Kandung Kemih
BPH dapat menyebabkan obstruksi saluran kandung kemih. Bila kandung
kemih harus bekerja lebih keras untuk mendorong urin keluar dalam
jangka waktu yang lama, dinding otot kandung kemih membentang dan
melemahkan dan tidak lagi berkontraksi dengan benar.
5. Gangguan Fungsi Ginjal
BPH berat dapat menyebabkan air seni kembali ke dalam dan merusak
ginjal. Hidronefrosis, uremia dan bahkan gagal ginjal bisa terjadi.
6. Prostatitis, Radang Kelenjar Prostat.

34
DAFTAR PUSTAKA

Arifin R B. 2015. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Benigna Prostat


Hiperplasia Post Open Prostatectomi Hari Ke-1 Di Ruang Gladiol Atas
Rsud Sukoharjo. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Basuki B.Purnomo, 2011. Anatomi Sistem Urogenitalia In: Dasar-Dasar


Urologi, Edisi 3,Jakarta: 6

Bushman W. 2009. Etiology, epidemiology, and natural history of benign


prostatic hyperplasia. Urol Clin North Am 2009;36 (4):403-415.

Drake et al. 2007. Gray’s Anatomy for Student (2 ed.). Canada: Churchill
Livingstone Elsevier

Gardjito, W. 2000. Retensio Urine Permasalahan dan Penanganannya. Lab/UPF


Ilmu Bedah. FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGC

Hospital Authority. 2018. Benign Prostatic Hyperplasia. All rights reserved.


https://www21.ha.org.hk/smartpatient/EM/MediaLibraries/EM/EMMedia/
Benign-Prostatic-Hyperplasia_Bahasa-Indonesia.pdf?ext=.pdf.

Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI). 2015. Panduan Penatalaksanaan Klinis


Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostatic Hyperplasia/BPH). Web:
https://www.medbox.org/panduan-penatalaksanaan-klinis-pembesaran-
prostat-jinak-benign-prostatic-hyperplasiabph/download.pdf diakses pada
26 September 2019.

Junqueira, L.C., Carneiro, J., 2007. Histologi Dasar, edisi 10. Jakarta: EGC, 428-
430.

35
Mc Neal JE. 1976. The Prostate and Prostatir uretra. In Marphologic Synthesis.
Eul Urol: 21-23

Mukharromah, Sittatun. 2014. Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan


Masyarakat Perkotaan pada Pasien Benign Prostatic Hyperplasia di
Ruang Gawat Bedah Gedung Gema Tengah RSUP Persahabatan Jakarta,
(Karya Ilmiah Akhir). Jakarta: Fakultas Keperawatan Universitas
Indonesia

Nicholson TM, Ricke WA. 2012. Androgens and estrogens in benign prostatic
hyperplasia: past, present and future. NIH Public Access. 82(4): 184−199.

Prasetio, Jaya Ndaru. 2014. Korelasi Usia dengan Rasio Kelenjar dan Stroma
pada Pasien Benign Prostate Hyperplasia di RSUD DR.H.Abdul Moeloek
Provinsi Lampung Periode Agustus 2012-Juli 2014, (Skripsi). Lampung:
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Purnomo, B.B., 2009. Dasar-dasar Urologi, Edisi kedua. Jakarta: Sagung Seto,
69- 83.

Roehrborn, C. G., 2012 Benign Prostate Hyperplasia. In: Campbell-Walsh


Urology. 10th ed. Elsevier Inc

Rosai J. 2004. Ackerman’s surgical pathology. Edisi ke-9. Philadelpia: Mosby.

Setiadi, 2007. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 96.

Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC

Tanagho, E.A., 2004. Anatomy of the Genitourinary Tract. In: Tanagho, E.A.,
McAninch, J.W., Smith’s General Urology, Sixteenth edition. USA: The
McGraw-Hill Companies, 10-12.

36

Anda mungkin juga menyukai