Anda di halaman 1dari 21

HIPERPLASIA PROSTAT BENIGNA

Oleh:

Fateha Putri Hakim

030.12.101

Pembimbing:

dr. Achmad Rizky Herda, Sp.U

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Bedah

Rumah Sakit Umum Daerah Karawang

Periode 5 September – 11 November 2016


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................2

2.1 ANATOMI & FISIOLOGI KELENJAR PROSTAT..................................2

2.2 DEFINISI......................................................................................................4

2.3 ETIOLOGI....................................................................................................4

2.4 MANIFESTASI KLINIS..............................................................................6

2.5 PATOFISIOLOGI.........................................................................................6

2.6 DIAGNOSIS.................................................................................................12

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG..................................................................13

2.8 PENATALAKSANAAN..............................................................................13

2.9 DIAGNOSIS BANDING..............................................................................15

2.10 KOMPLIKASI............................................................................................16

2.11 PROGNOSIS..............................................................................................16

BAB III KESIMPULAN.................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................18

i
BAB I
PENDAHULUAN

Hiperplasia Prostat Benigna merupakan suatu penyakit yang biasa terjadi. Ini di lihat dari
frekuensi terjadinya BPH di dunia, di Amerika secara umum dan di Indonesia secara khususnya.
Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang dapat mengganggu aktivitas
sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate
enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau
dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh
pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini
lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal sehingga
menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah.
Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat, memanjang ke
atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra
akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap.
BPH didefinisikan sebagai proliferasi dari sel stromal pada prostat, yang menyebabkan
perbesaran pada kelenjar prostat. Insiden BPH hanya terjadi pada laki-laki (menurut struktur
anatomi), dan gejala pertama kali akan muncul pada usia kurang lebih 30 tahun. Gejala pada BPH
secara umum dikenal sebagai LUTS. LUTS secara umum adalah gejala-gejala yang berkaitan
dengan terganggunya saluran kencing bagian bawah. Salah satu manifestasinya adalah
terganggunya aliran urin, keinginan buang air kecil (BAK) namun pancaran urin lemah.
Di Indonesia BPH merupakan urutan kedua setelah batu saluran kemih dan diperkirakan
ditemukan pada 50% pria berusia diatas 50 tahun dengan angka harapan hidup rata-rata di
Indonesia yang sudah mencapai 65 tahun dan diperkirakan bahwa lebih kurang 5% pria Indonesia
sudah berumur 60 tahun atau lebih. dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 200 juta
lebih, kira-kira 100 juta terdiri dari pria, dan yang berumur 60 tahun atau lebih kira-kira 5 juta,
sehingga diperkirakan ada 2,5 juta laki-laki Indonesia yang menderita gejala saluran kemih bagian
bawah (Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) akibat BPH.
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia yang pesat, maka jumlah lansia
diperkirakan akan meningkatkan pula. Jumlah lansia yang meningkat ini berdampak pada
banyaknya angka kejadian BPH. Oleh karena itu, sangat penting untuk menidentifikasi secara dini
serta mencegah komplikasi lanjut dari BPH.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi & Fisiologi Kelenjar Prostat


Kelenjar prostat terletak tepat di bawah leher kandung kemih. Kelenjar ini mengelilingi
uretra dan dipotong melintang oleh duktus ejakulatorius, yang merupakan kelanjutan dari vas
deferen. Kelenjar ini berbentuk seperti buah kenari. Normal beratnya kelenjar prostat kira-kira 20
gram dengan ukuran rata-rata: panjang 3.4 cm, lebar 4.4 cm, tebal 2.6 cm. Pada bagian anterior
difiksasi oleh ligamentum pubroprostatikum dan sebelah inferior oleh diafragma urogenital. Pada
prostat bagian posterior berumuara duktus ejakulatoris yang berjalan miring dan berakhir pada
verumontarum pada dasar uretra prostatika tepat proksimal dan sfingter uretra eksterna.

Secara embriologis terdiro dari 5 lobus: lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah, lobus
posterior 1 buah, dan lobus lateral 2 buah. Sedangkan menurut klassifikasi Lowsley; prostat terdiri
dari lima lobus: anterior, posterior, medial, lateral kanan dan lateral kiri. Sedangkan menurut Mc
Neal, prostat dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona transisional, segmen anterior dan zona
spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50 lobulus kelenjar. Duktus kelenjar-kelenjar prostat
ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral
verumontanum, kelenjar-kelenjar ini dilapisi oleh selapis epitel torak dan bagian basal terdapat sel-
sel kuboid.
Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan lobus posterior akan menjadi
saru disebut lobus medius. Pada penampang lobus medius kadang-kadang tidak tampak karena
terlalu kecil dan lobus ini tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti
susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :
a. Kapsul anatomis
Sebagai jaringan ikat yang mengandung otot polos yang membungkus kelenjar prostat.
b. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
c. Jaringan kelenjar yang terbagi atas tiga kelompok bagian :
1) Bagian luar disebut glandula principalis atau kelenjar prostat sebenarnya yang
menghasilkan bahan baku sekret.
2) Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatous
zone.
3) Di sekitar uretra disebut periurethral gland atau glandula mukosa yang merupakan
bagian terkecil. Bagian ini serinng membesar atau mengalami hipertrofi pada usia lanjut.

2
Pada BPH, kapsul pada prostat terdiri dari tiga lapis :
a. Kapsul anatomis
b. Kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang sebenarnya (outer
zone) sehingga terbentuk kapsul
c. Kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner zone) dan
bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.
BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung banyak
jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior daripada lobus medius
(lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan suatu keganasan
prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan
kelenjar.
Vaskularisasi kelenjar prostat yang utama berasal dari a. vesikalis inferior (cabang dari a.
iliaca interna), a. hemoroidalis media (cabang dari a. mesenterium inferior), dan a. pudenda interna
(cabang dari a. iliaca interna). Cabang-cabang dari arteri tersebut masuk lewat basis prostat di Vesico
Prostatic Junction. Penyebaran arteri di dalam prostat dibagi menjadi 2 kelompok , yaitu:
a. Kelompok arteri uretra, menembus kapsul di postero lateral dari vesico prostatic junction dan
memberi perdarahan pada leher buli-buli dan kelompok kelenjar periuretral.
b. Kelompok arteri kapsul, menembus sebelah lateral dan memberi beberapa cabang yang
memvaskularisasi kelenjar bagian perifer (kelompok kelenjar parauretral).6

Aliran limfe dari kelenjar prostat simpatikus dari Hipogastricus dan medula
membentuk plexus di peri prostat yang sakral III-IV dari plexus sakralis.
kemudian bersatu untuk membentuk
beberapa pembuluh utama, yang menuju ke
kelenjar limfe iliaca interna , iliaca eksterna,
obturatoria dan sakral. Persarafan kelenjar
prostat sama dengan persarafan kandung
kemih bagian inferior yaitu fleksus saraf
simpatis dan parasimpatis. Sekresi dan motor
yang mensarafi prostat berasal dari plexus

3
2.2 Definisi
Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) menurut beberapa
ahli adalah :
1. Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat, memanjang ke
atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra
akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap.
2. BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat,
pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan
tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra
dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan
uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih.
3. BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih yang
ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan
menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan
obstruksi urine.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)
merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa
dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih,
dapat menghambat pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan saat berkemih

2.3 Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya BPH,
namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan kadar
dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Etiologi yang belum jelas maka melahirkan
beberapa hipotesa yang diduga menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab
BPH menurut Purnomo (2011) meliputi, Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon
(ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan epitel-epitel,
teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem.
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad merupakan factor terjadinya penetrasi DHT
kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan
terjadinya sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai
penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada

4
prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa –reduktase dan jumlah reseptor
androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih
sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan
prostat normal.
2. Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron sedangkan kadar estrogen
relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone
relative meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya
poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan
terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat
telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.
3. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel
stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah sel-sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth
factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta
mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel
epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel
stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran
prostad jinak. bFGF dapat diakibatkanoleh adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau
infeksi.
4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan
fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh
sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal,
terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi
pertumbuhan prostat sampai padaprostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru
dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru
dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara
keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.
5. Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam kelenjar
prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan
5
hormone androgen, sehingga jika hormone androgen kadarnyamenurun, akan terjadi
apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas
sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

2.4 Manifestasi Klinis


Pembesaran kelenjar prostat dapat terjadi asimtomatik baru terjadi kalau neoplasma telah
menekan lumen urethra prostatika, urethra menjadi panjang (elongasil), sedangkan kelenjar
prostat makin bertambah besar. Ukuran pembesaran noduler ini tidaklah berhubungan dengan
derajat obstruksi yang hebat, sedangkan yang lain dengan kelenjar prostat yang lebih besar
obstruksi yang terjadi hanya sedikit, karena dapat ditoleransi dengan baik.
Tingkat keparahan penderita BPH dapat diukur dengan skor IPSS (Internasional Prostate
Symptom Score) diklasifikasi dengan skore 0-7 penderita ringan, 8-19 penderita sedang dan 20-
35 penderita berat.
Ada juga yang membagi berdasarkan derajat penderita hiperplasi prostat berdasarkan
gambaran klinis:
Secara klinik derajat berat BPH dibagi menjadi 4 gradasi, yaitu :
Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan protatismus, pada DRE (colok dubur) ditemukan
penonjolan prostat dan sisa urin kurang dari 50 ml. Penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum prostat
menonjol pada bladder inlet. Pada derajat ini belum memerlukan tindakan operatif, dapat
diberikan pengobatan secara konservatif , misal alfa bloker, prazozin, terazozin 1-5 mg per hari.
Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol penonjolan
1-2 cm ke dalam rektum, prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter. Batas
atas masih teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml. Pada derajat ini sudah
ada indikasi untuk intervensi operatif.
Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urine lebih dari
100 ml. penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum. Prostat menonjol sampai muara ureter. TURP masih
dapat dilakukan akan tetapi bila diperkirakan reseksi tidak selesai dalam satu jam maka
sebaiknya dilakukan operasi terbuka.
Derajat 4 : Terjadi retensi urin total. Penonjolan > 3 cm ke dalam rektum prostat menonjol
melewati muara ureter.

Tanda klinik terpenting pada BPH adalah ditemukannya pembesaran pada pemeriksaan colok
dubur/digital rectal examination (DRE). Pada BPH, prostat teraba membesar dengan konsistensi
kenyal.

6
Pada penderita BPH dengan retensi urin pemasangan kateter merupakan suatu pertolongan
awal, selain menghilangkan rasa nyeri juga mencegah akibat-akibat yang dapat ditimbulkan
karena adanya bendungan air kemih.
Gejala hiperplasia prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan
di luar saluran kemih. Di antaranya adalah :
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) terdiri
atas gejala iritatif dan gejala obstruktif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena
penyempitan uretra pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan
kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga
kontraksi terputus-putus.
Gejala obstruktif antara lain :
1) Harus menunggu pada permulaan miksi (hesistancy)
2) Pancaran miksi yang lemah (weak stream)
3) Miksi terputus (intermittency)
4) Menetes pada akhir miksi (terminal dribbling)
5) Rasa belum puas sehabis miksi (sensation of incomplete bladder emptying).
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hiperplasia prostat masih tergantung tiga
faktor, yaitu :
1) Volume kelenjar periuretral
2) Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3) Kekuatan kontraksi otot detrusor
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga
meskipun volume kelenjar periuretral sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot
polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan
kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaria yang tidak sempurna
pada saat miksi atau disebabkan oleh hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran
prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun
belum penuh.
Gejala iritatif antara lain :
1) Bertambahnya frekuensi miksi (frequency)
2) Nokturia
3) Miksi sulit ditahan (urgency)
4) Disuria (nyeri pada waktu miksi)

7
Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis derajat
berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :
Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml
Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml
Grade III : Retensi urin dengan gangguan saluran kemih bagian atas+sisa urin > 150 ml.
Timbulnya dekompensasi vesica urinaria biasanya didahului oleh beberapa factor
pencetus, antara lain:
1) Volume vesica urinaria tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan kencing
terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung diuretikum
(alkohol, kopi) dan minum air dalam jumlah yang berlebihan.
2) Massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau
mengalami infeksi prostat akut.
3) Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor
atau yang dapat mempersempit leher vesica urinaria, antara lain: golongan antikolinergik
atau alfa adrenergik.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa gejala
obstruksi antara lain: nyeri pinggang, demam yang merupakan tanda dari infeksi atau
urosepsis, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya
dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, perikarditis,
foetoruremik dan neuropati perifer.
3. Gejala di luar saluran kemih
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan hemoroid.
Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal.
Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH, mempunyai tanda dan gejala :
1. Hemorogi
2. Hematuri
3. Peningkatan nadi
4. Tekanan darah menurun
5. Gelisah
6. Kulit lembab
7. Temperatur dingin
8. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
9. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini : bingung, agitasi, kulit lembab, anoreksia, mual,
muntah, warna urin merah cerah pada hari kedua dan ketiga postoperasi menjadi lebih tua.
8
2.5 Patofisiologi
Prostat sebagai kelenjar ejakaulat memiliki hubungan fisiologis yang sangat erat dengan
dihidrotestoteron (DHT). Hormone ini merupakan hormone yang memacu pertumbuhan prostat
sebagai kelenjar ejakulasi yang nantinya akan mengoptimalkan fungsinya. Hormon ini di sintesis
dalam kelenjar prostat dari hormon testosteron dalam darah. Proses sintesis ini dibantu oleh
enzim 5 reduktase tipe 2. Selain DHT yang sebagai perkusor,estrogen juga memiliki pengaruh
terhadap pembesaran kelenjar prostat. Seiring dengan penambahan usia, maka prostat akan
lebih sensitif dengan stimulasi androgen, sedangkan estrogen mampu memberikan proteksi
terhadap BPH. Dengan pembesaran yang sudah melebihi normal, maka akan terjaadi desakan
pada traktus urinarius. Pada tahap awal, obstruksi traktus urinarius jarang menimbulkan keluhan,
karena dengan dorongan mengejan dan kontraksi yang kuat dari m. detrusor mampu
mengeluarkan urine secara spontan. Namun, obstruksi yang sudah kronis membuat
dekompensasi dari m. detrusor untuk berkontraksi yang akhirnya menimbulkan obstruksi saluran
kemih.
Keluhan yang biasanya muncul dari obstruksi ini adalah dorongan mengejan saat miksi yang
kuat, pancaran urine lemah/menetes, disuria (saat kencing terasa terbakar), palpasi rektal
toucher menggambarkan hipertrofi prostat, distensi vesika. n Hipertrofi fibromuskuler yang
terjadi pada klien BPH menimbulkan penekanan pada prostat dan jaringan sekitar, sehingga
menimbulkan iritasi pada mukosa uretra. Iritabilitas inilah nantinya akan menyebabkan keluhan
frekuensi, urgensi, inkontinensia urgensi, dan nokturia. Obstruksi yang berkelanjutan akan
menimbulkan komplikasi yang lebih besar, misalnya hidronefrosis, gagal ginjal, dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, kateterisasi untuk tahap awal sangat efektif untuk mengurangi
distensi vesika urinaria.
Pembesaran pada BPH (hyperplasia prostat) terjadi secara bertahap mulai dari zona
periuretral dan transisional. Hyperplasia ini terjadi secara nodular dan sering diirinigi oleh
proliferasi fibromuskular untuk lepas dari jaringan epitel. Oleh karena itu, hyperplasia zona
transisional ditandai oleh banyaknya jaringan kelenjar yang tumbuh pada pucuk dan cabang dari
pada duktus. Sebenarnya proliferasi zona transisional dan zona sentral pada prostat berasal
turunan duktus wolffii dan proliferasi zona perifer berasal dari sinus urogenital. Sehingga,
berdasarkan latar belakang embriologis inilah bisa diketahui mengapa BPH terjadi pada zona
transisional dan sentral, sedangkan Ca prostat terjadi pada zona perifer.

9
Degeneratif

Dehidrotestiteron Estrogen Testoteron Peningkatan

meningkat Meningkat Turun Epidermal


Growth Factor

Hiperplasia Epitel &


Peningkatan sel stem Penurunan
stroma prostat
Transforming

Proliferasi sel Growth factor


BPH Beta

Obstruksi saluran
Penyempitan lumen
kemih uretra pars
prostatika

Kompensasi otot
destruktor Menghambat
aliran urine

Penebalan dinding
Media
destruktor Bendungan
Statis urin berkembangnya
vesica urinaria
patogen

Kontraksi otot
Resiko infeksi

Sulit BAK Sensitifitas


meningkat

Gangguan Nyeri Akut


eliminasi urine

10
2.6 Diagnosis
Anamnesis
International Prostatic Symptom Score

Pertanyaan Jawaban dan skor

Tidak Hampir
Keluhan pada bulan terakhir <20% <50% 50% >50%
sekali selalu

a. Adakah anda merasa buli-buli


0 1 2 3 4 5
tidak kosong setelah berkemih

b. Berapa kali anda berkemih


0 1 2 3 4 5
lagi dalam waktu 2 menit

c. Berapa kali terjadi arus urin


0 1 2 3 4 5
berhenti sewaktu berkemih

d. Berapa kali anda tidak dapat


0 1 2 3 4 5
menahan untuk berkemih

e. Beraapa kali terjadi arus


0 1 2 3 4 5
lemah sewaktu memulai kencing

f. Berapa keli terjadi bangun


tidur anda kesulitan memulai 0 1 2 3 4 5
untuk berkemih

11
g. Berapa kali anda bangun
0 1 2 3 4 5
untuk berkemih di malam hari

3 Jumlah nilai :
4 0 = baik sekali 3 = kurang
5 1 = baik 4 = buruk
6 2 = kurang baik 5 = buruk sekali

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE) sangat penting. Pemeriksaan colok
dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus,
mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja teraba
prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan6:

a.Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)


b.Simetris/ asimetris
c.Adakah nodul pada prostate
d.Apakah batas atas dapat diraba
e.Sulcus medianus prostate
f.Adakah krepitasi

Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung
hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat,
konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan
pada batu prostat akan teraba krepitasi.

Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang
ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri
ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal
harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa
untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi
seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di
daerah meatus

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi :

12
1. Laboratorium
a. Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk melihat adanya
sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk menegtahui
kuman penyebab infeksi dan sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba.
b. Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang
menegenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit kadar ureum dan kreatinin darah
merupakan informasi dasar dari fungsin ginjal dan status metabolic.
c. Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya
biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA <4ng/ml tidak perlu
dilakukan biopsy. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah prostate specific antigen
density (PSAD) lebih besar sama dengan 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsy prostat,
demikian pula bila nila PSA > 10 ng/ml.
2. Radiologis/pencitraan
a. Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di saluran
kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh
dengan urin sebagai tanda adanya retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik
sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat, serta osteoporosis akbibat kegagalan
ginjal.
b. Pemeriksaan Pielografi intravena (IVP), untuk mengetahui kemungkinan adanya kelainan
pada ginjal maupun ureter yang berupa hidroureter atau hidronefrosis. Dan
memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan adanya indentasi
prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter dibagian distal yang
berbentuk seperti mata kail (hooked fish)/gambaran ureter berbelok-belok di vesika,
penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli-
buli.
c. Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat, memeriksa masa
ginjal, menentukan jumlah residual urine, menentukan volum buli-buli, mengukur sisa
urin dan batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli, dan mencari kelainan yang
mungkin ada dalam buli-buli.

2.8 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenore sptormalfa seperti alfazosin dan terazosin.
Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasia prostat. Sedikit pun kekurangannya adalah obat ini
tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan
reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra).
c. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat
sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan
pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika,
retropubik dan perineal.

13
d. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin
total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TURP atau
pembedahan terbuka. Pada penderita yang keadaan umumnya tidak
memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif
dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan
konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
2. Terapi medikamentosa
Tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH adalah :
a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk mengurangi
tekanan pada uretra
b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa blocker
(penghambat alfa adrenergenik)
c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/
dehidrotestosteron (DHT).
3. Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo (2011)
diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase,
fitofarmaka.
a. Penghambat adrenergenik alfa
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin atau yang
lebih selektif alfa (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin
adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara
selektif dapat mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor.
Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di
trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah
prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran
urin. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan
aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan
berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek samping
yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada obat-obat yang
menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari seperti antikolinergenik,
antidepresan, transquilizer, dekongestan, obatobat ini mempunyai efek pada otot
kandung kemih dan sfingter uretra.
b. Pengahambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari. Obat golongan
ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan
mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya
hanya jelas pada prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini
baru menunjukkan perbaikan sedikit 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan
pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan
pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya adalah libido, impoten dan
gangguan ejakulasi.
c. Fitofarmaka/fitoterapi

14
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya
misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus. Efeknya diharapkan terjadi
setelah pemberian selama 1- 2 bulan dapat memperkecil volum prostat.

Terapi Bedah Konvensional


PenatalaksanaanIndikasi managemen operasi adalah penurunan fungsi ginjal dan gejala-
gejala lain yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Karena derajat obstruksi berjalan dengan lambat
pada kebanyakan pasien, terapi konservatif dapat juga adekuat. Obat-obatan yang merelaksasi
kapsul prostat dan spinter internal (α-adrenergic blocking agent) atau yang menurunkan volume
prostat (5 α-reductase inhibitor atau antiadrogen) telah dicoba dengan tingkat keberhasilan yang
cukup tinggi.

Penatalaksanaan prostatitis kronik adalah untuk mengurangi gejala. Resolusi dari komplikasi
sistitis biasanya akan dapat tercapai. Dalam rangka melindungi tonus vesikal, pasien sebaiknya
diperingatkan agar segera BAK ketika terjadi urgensi. Memaksa cairan urin keluar dalam waktu yang
pendek menyebabkan pengisian VU yang cepat, dan menurunkan tonus vesikal; ini adalah penyebab
umum dari retensi urin akut dan oleh sebab itu harus dihindari. Pasien-pasien dengan gejala
obstruksi urin sebaiknya menghindari pemakaian obat flu termasuk antihistamin, karena juga dapat
menyebabkan retensi urin. Terapi konservatif ini hanya sementara menolong.Kateterisasi diharuskan
untuk retensi urin akut. BAK spontan dapat kembali normal, tetapi kateter sebaiknya dibiarkan
terpasang selam 3 hari sementara tonus detrusor kembali normal. Jika ini gagal, terapi konservatif
atau operatif diindikasikan.

Open simple prostatectomy

Indikasi untuk melakukan tindakan ini adalah bila ukuran prostat terlalu besar, di atas 100 gram, atau
bila disertai divertikulum atau batu buli-buli. Dapat dilakukan dengan teknik transvesikal atau
retropubik. Operasi terbuka memberikan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada TUR-
P1-2.

Terapi Invasif Minimal

Transurethral resection of the prostate (TURP)

Prinsip TURP adalah menghilangkan bagian adenomatosa dari prostat yang menimbulkan obstruksi
dengan menggunakan resektoskop dan elektrokauter. Sampai saat ini, TURP masih merupakan baku
emas dalam terapi BPH. Sembilan puluh lima persen prostatektomi dapat dilakukan dengan
endoskopi.Komplikasi jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia (sindrom TUR), dan
retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang adalah struktur uretra, ejakulasi retrograd
(75%), inkontinensia (<1%),>3.

Microwave hyperthermia

Memanaskan jaringan adenoma melalui alat yang dimasukkan melalui uretra atau rektum sampai
suhu 42-45oC sehingga diharapkan terjadi koagulasi.

Trans urethral needle ablation (TUNA)

Alat yang dimasukkan melalui uretra yang apabila posisi sudah diatur, dapat mengeluarkan 2 jarum
15
yang dapat menusuk adenoma dan mengalirkan panas, sehingga terjadi koagulasi sepanjang jarum
yang menancap di jaringan prostat.

Intraurethral stent

Adalah alat yang secara endoskopik ditempatkan di fosa prostatika untuk mempertahankan lumen
uretra tetap terbuka. Dilakukan pada pasien dengan harapan hidup terbatas dan tidak dapat
dilakukan anestesi atau pembedahan

Transurethral baloon dilatation

Dilakukan dengan memasukkan kateter yang dapat mendilatasi fosa prostatika dan leher kandung
kemih. Prosedur ini hanya efektif bila ukuran prostat kurang dari 40 g, sifatnya sementara, dan jarang
dilakukan lagi.

2.9 Diagnosis Banding

Pada pasien dengan keluhan obstruksi saluran kemih di antaranya: Struktur uretra, kontraktur leher
vesika, batu buli-buli kecil, kanker prostat, kelemahan detrusor, misalnya pada penderita asma kronik
yang menggunakan obat-obat parasimpatolitik.

Pada pasien dengan keluhan iritatif saluran kemih, dapat disebabkan oleh : Instabilitas detrusor,
karsinoma in situ vesika, iInfeksi saluran kemih, prostatitis, batu ureter distal, batu vesika kecil.

2.10 Komplikasi

Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat menimbulkan:
Inkontinensia Paradoks, Batu Kandung Kemih, Hematuria, Sistitis, Pielonefritis, Retensi Urin Akut
Atau Kronik, Refluks Vesiko-Ureter, Hidroureter, Hidronefrosis, Gagal Ginjal.

KomplikasiObstruksi dan residual urin menyebabkan infeksi pada VU dan prostat dan
kadang-kadang menyebabkan pyelonephritis; ini mungkin sulit untuk dihilangkan.Obstruksi juga
dapat menyebabkan terjadinya divertkel VU. Infeksi residual urin berperan terhadap pembentukan
batu (calculi).Obstruksi fungsional pada intravesical ureter, disebabkan oleh hipertropi trigonum,
dapat menyebabkan hydroureteronephrosis.

2.11 Prognosis

Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun
gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki prognosis yang

16
buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat. Menurut penelitian, kanker prostat
merupakan kanker pembunuh nomer 2 pada pria setelah kanker paru-paru. 7 BPH yang telah diterapi
juga menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi penderita.

17
BAB III

KESIMPULAN

Hiperplasia kelenjar prostat merupakan masalah yang cukup sering pada laki-laki seiring
dengan bertambahnya usia, dimana teori mengenai bagaimana hal tersebut dapat terjadi banyak
yang mengatakan berhubungan dengan hormonal. Penegakan diagnosis sangatlah penting dari gejala
pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang ditemukan.

Penatalaksanaan BPH berdasarkan skor IPSS dan penatalaksanaan berdasarkan tingkat


keparahan gejala dan kualitas hidup sehingga tatalaksana dapat berupa watchful waiting,
medikamentosa, terapi bedah konvensional, dan terapi minimal invasif.Penatalaksanaan serta
pencegahan ini bertujuan untuk meminimalkan gejala dan memperbaiki kualitas hidup pada
penderita.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidayat, (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC

2. Long, Barbara C. (2006). Perawatan Medikal Bedah. Volume 1. (terjemahan). Yayasan


Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran: Bandung.

3. Smeltzer, Suzanne C, Brenda G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta : EGC.
4. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. 3rd ed. Jakarta:Sagung seto;2012.p.125-44.
5. Umbas R, Manuputty D, Sukasah CL, Swantari NM, Achmad IA, Bowolaksono, et al.
Saluran kemih dan alat kelamin laki-laki.In: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W,
Prasetyono TOH, Rudiman R, Editors. Buku ajar ilmu bedah. 3 rd ed. Jakarta:Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2012.p.899-903.
6. McConnel JD. Epidemiology, etiology, pathophysiology and diagnosis of benign
prostatic hyperplasia. In :Wals PC, Retik AB, Vaughan ED, Wein AJ. Campbell’s
urology. 7th ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1998.p.1429-52.

7. Schwartz, dkk, (2000). Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom Shires dkk,
EGC: Jakarta.

27

Anda mungkin juga menyukai