HIPERTROFI PROSTAT
Disusun oleh:
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Hipertrofi Prostat”. Referat ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat
Kepaniteraan Klinik Departemen Bedah.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Alex Sandra Iriawan, Sp.B
selaku pembimbing yang telah membantu dalam penyusunan referat ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pengerjaan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat baik bagi penulis
sendiri, pembaca, maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.
Penulis
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Diajukan kepada :
Pembimbing : dr. Alex Sandra Iriawan, Sp.B
Mengetahui,
iii
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2 Tujuan ..................................................................................... 2
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di bawah dari bulibuli, di
depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri
dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan beratnya ± 20 gram. Prostat memiliki kapsula
fibrosa yang padat dan dilapisi oleh jaringan ikat prostat sebagai bagian fascia
pelvis visceralis. Pada bagian superior dari prostat berhubungan dengan vesika
urinaria, sedangkan bagian inferior bersandar pada diafragma urogenital.
Permukaan ventral prostat terpisah dari simpisis pubis oleh lemak retroperitoneal
dalam spatium retropubicum dan permukaan dorsal berbatas pada ampulla recti.4
Kelenjar prostat terdiri atas otot dan kelenjar, dengan saluran yang terbuka
menuju bagian prostat pada uretra, yang mulai menonjol pada masa pubertas.
Biasanya kelenjar prostat dapat tumbuh seumur hidup. Semakin bertambahnya usia
pada pria, kelenjar prostat akan memiliki ukuran yang bervariasi, yang dapat
mengarah ke pembesaran prostat jinak (BPH).4
3
Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan kandung kemih, uretra,
vas deferens, dan vesikula seminalis. Prostat terletak di atas diafragma panggul
sehingga uretra terfiksasi pada diafragma tersebut, dapat terobek bersama
diafragma bila terjadi cedera. Prostat dapat diraba pada pemeriksaan colok dubur.
Selain mengandung jaringan kelenjar, kelenjar prostat mengandung cukup banyak
jaringan fibrosa dan jaringan otot polos.5
4
posterolateral, membentuk pleksus saraf periprostatik bulan sabit. Kepadatan saraf
terbesar ditemukan di sfingter preprostatik; serat lebih sedikit ditemukan di stroma
fibromuskular anterior, dan zona perifer adalah yang paling tidak diinervasi.
Serabut parasimpatis (S2–4; nervus splanknikus pelvis; nervus erector Eckhard)
berjalan di sepanjang prostat dari dasar ke apeks di dalam lapisan fasia prostat dan
berakhir di sekitar sel asinar. Fungsi serabut saraf tersebut adalah merangsang
sekresi prostat. Kerusakan iatrogenik pada saraf kavernosal selama prostatektomi
radikal berhubungan dengan disfungsi ereksi pascaoperasi. Dorongan simpatis
(T12-L2) menghasilkan kontraksi otot polos kapsula prostat dan stroma. Aliran
limfe kelenjar prostat dialirkan ke dalam nodus limfe iliaka interna (hipogastrika),
sakral, vesikal dan iliaka aksterna.4,5
Secara histologi, prostat terdiri dari kelenjar yang dilapisi dua lapis sel,
bagian basal adalah epitel kuboid yang ditutupi oleh lapisan sel sekretori kolumnar.
Pada beberapa daerah dipisahkan oleh stroma fibromuskular. Prostat merupakan
suatu kumpulan 30−50 kelenjar tubuloalveolar yang bercabang. Duktusnya
bermuara ke dalam uretra pars prostatika, yang menembus prostat.6,7
Pada pria yang lebih tua, alveoli kelenjar prostat sering mengandung
konkresi prostat (corpora amylacea) dengan berbagai bentuk dan ukuran, biasanya
berdiameter hingga 2 mm. Struktur ini muncul sebagai badan lamel konsentris dan
diyakini dibentuk oleh pengendapan bahan sekretori di sekitar fragmen sel.
Corpora amylacea dapat menjadi terkalsifikasi sebagian.6,7
5
Kelenjar prostat dibagi menjadi beberapa zona sebagai berikut.6
2) Zona perifer
3) Zona sentral
6
4) Zona transisional
5) Kelenjar-kelenjar periuretra
Bagian ini terdiri dari duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar abortif
tersebar sepanjang segmen uretra proksimal.6
7
berkontraksi selama ejakulasi, mengeluarkan lebih kurang 0,5 ml cairan prostat
tetapi fungsi pasti cairan ini belum diketahui, paling tidak sebagai media pembawa
sperma.7
Retensio urin adalah keluhan utama yang sering muncul pada pasien yang
menderita kelainan saluran kemih bagian bawah. Beberapa kelainan yang sering
menyebabkan retensio urin antara lain BPH, striktur uretra maupun keganasan
8
kanker prostat. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia tahun 2012 (World
Health Organization, WHO), diperkirakan sekitar 70 juta kasus degeneratif yang
salah satunya adalah BPH. Penderita BPH di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta sejak tahun 1994 – 2013 dilaporkan sebanyak 3.804 kasus, yang
paling sering mengenai kelompok usia 61 – 66 tahun. BPH yang berkelanjutan dan
tidak tertangani dengan baik akan sering berhubungan dengan kejadian kanker
prostat dan kanker vesika urinaria.1,2
Di Indonesia, BPH merupakan urutan kedua setelah batu saluran kemih dan
diperkirakan ditemukan pada 50% pria berusia diatas 50 tahun dengan angka
harapan hidup rata-rata di Indonesia yang sudah mencapai 65 tahun dan
diperkirakan bahwa lebih kurang 5% pria Indonesia sudah berumur 60 tahun atau
lebih. Kalau dihitung dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 200 juta
lebih, kira-kira 100 juta terdiri dari pria, dan yang berumur 60 tahun atau lebih kira-
kira 5 juta, sehingga diperkirakan ada 2,5 juta laki-laki Indonesia yang menderita
BPH.2
Faktor risiko yang paling berperan dalam BPH adalah usia, selain adanya
testis yang fungsional sejak pubertas (faktor hormonal). Dari berbagai studi terakhir
ditemukan hubungan positif antara BPH dengan riwayat BPH dalam keluarga,
9
kurangnya aktivitas fisik, diet rendah serat, konsumsi vitamin E, konsumsi daging
merah, obesitas, sindrom metabolik, inflamasi kronik pada prostat, dan penyakit
jantung. Faktor risiko berperan penting dalam identifikasi kelompok yang berisiko
terhadap perkembangan penyakit dan kelompok yang dapat dikelola secara lebih
konservatif untuk mengurangi morbiditas terkait dan beban perawatan kesehatan. 9
Penyebab pasti terjadinya BPH masih belum jelas, namun, saat ini terdapat
beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat.
Salah satu yang paling mungkin adalah efek hormon androgen dan proses penuaan.
Beberapa hipotesis tersebut antara lain sebagai berikut.1,8
10
akan merangsang sintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan
kelenjar prostat. 10,11
Pada berbagai penelitian, aktivitas enzim 5α-reductase dan jumlah reseptor
androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat
menjadi lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak
terjadi dibandingkan dengan prostat normal.11
11
menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol
pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi
penurunan fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan
penurunan progresif sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon
gonadotropin akan sangat merangsang sel sertoli memproduksi hormon
estrogen. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian,
yaitu sentral sekitar uretra, yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian
perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.11
Selain itu, terjadi pula konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan
adiposa perifer dengan pertolongan enzim aromatase. Estrogen ini akan
merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan
bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi
kemudian estrogen yang mengambil alih peran tersebut untuk
perkembangan stroma. Studi in vivo pada pengebirian anjing, yang secara
signifikan mengurangi tingkat androgen tetapi tingkat estrogen tidak
berubah, menyebabkan atrofi signifikan dari prostat.1,3
12
prostat adalah mekanisme fisiologis homeostatis kelenjar prostat. Pada
jaringan nomal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Androgen tidak hanya dibutuhkan untuk proses proliferasi
yang normal dan diferensiasi dari kelenjar prostat saja, tetapi juga secara
aktif menghambat kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang
apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin
meningkat sehingga mengakibatkan pertambahan massa prostat. 11
13
berupa nodul asinar atau campuran dengan hiperplasia stroma. Kelenjar-kelenjar
biasanya besar dan terdiri atas tall columnar cells. Inti sel-sel kelenjar tidak
menunjukkan proses keganasan.11
14
Gambar 12. Efek langsung testosterone pada berbagai reseptor13
DHT merupakan suatu androgen yang berasal dari testosteron melalui kerja
enzim 5α-reductase dan metabolitnya, 5α-androstanediol merupakan pemicu utama
terjadinyaa poliferase kelenjar pada pasien BPH. Pengubahan testosteron menjadi
DHT diperantai oleh enzim 5α-reductase. Ada dua tipe enzim 5α-reductase, tipe
pertama terdapat pada folikel rambut, kulit kepala bagian depan, liver dan kulit.
Tipe kedua terdapat pada prostat, jaringan genital, dan kulit kepala. Pada jaringan-
jaringan target DHT menyebabkan pertumbuhan dan pembesaran kelenjar prostat.13
15
terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam
kondisi gagal ginjal.8,12,14
Gejala yang umumnya terjadi pada pasien BPH adalah gejala pada saluran
kemih bagian bawah atau lower urinary track symptoms (LUTS). Gejala pada
saluran kemih bagian bawah terdiri atas gejala iritatif (storage symptoms) dan
gejala obstruksi (voiding symptoms). Gejala obstruktif ditimbulkan karena adanya
penyempitan uretra karena didesak oleh prostat yang membesar. Gejala yang terjadi
berupa harus menunggu pada permulaan miksi atau sulit memulai kencing
(hesistancy), pancaran miksi yang lemah (weak stream), miksi terputus
(intermittency), harus mengejan (straining). Gejala iritatif disebabkan oleh
pengosongan vesika urinaria yang tidak sempurna pada saat miksi atau berkemih,
sehingga vesika urinaria sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala yang
terjadi adalah frekuensi miksi meningkat (frequency), nokturia, dysuria dan miksi
sulit ditahan (urgency).8,12,14
16
Tabel 1. Gejala obstruksi dan iritasi pada saluran kemih bagian bawah12
Gejala pertama dan yang paling sering dijumpai adalah penurunan kekuatan
pancaran dan kaliber aliran urin, oleh karena lumen uretra mengecil dan tahanan di
dalam uretra mengecil dan tahanan di dalam uretra meningkat, sehingga vesika
urinaria harus memberikan tekanan yang lebih besar untuk dapat mengeluarkan
urin. Apabila terjadi pembesaran prostat, otot detrusor vesika urinaria memerlukan
waktu yang lebih lama untuk meningkatkan tekanan intravesika guna mengatasi
adanya tekanan dalam uretra prostatika, sehingga timbul gejala sulit memulai
kencing (hesitancy). Jika vesika urinaria tidak dapat mempertahankan tekanan yang
tinggi selama berkemih, aliran urin dapat berhenti dan dribbling. Untuk
meningkatkan usaha berkemih pasien biasanya melakukan manuver valsava
sewaktu berkemih. Karena otot detrusor vesika urinaria menjadi lemah dan gagal
mengosongkan urin secara sempurna, sejumlah urin tertahan dalam vesika urinaria
sehingga menimbulkan gejala sering berkemih (frequency), terutama pada malam
hari (nocturia). Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot
vesika urinaria untuk mengeluarkan urin. Pada suatu saat, otot vesika urinaria
mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang
diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.12,14
a) Volume vesika urinaria tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan
kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang
17
mengandung diuretikum (alkohol, kopi) dan minum air dalam jumlah yang
berlebihan.
b) Massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual
atau mengalami infeksi prostat akut,
c) Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan konstraksi otot
detrusor atau yang dapat mempersempit leher vesika urinaria, antara lain
golongan antikolinergik atau adrenergic alfa.
Infeksi yang menyertai residual urin akan memperberat gejala, karena akan
menambah obstruksi akibat inflamasi sekunder dan edema. Residual urin juga dapat
sebagai predisposisi terbentuknya batu vesika urinaria. Hematuria sering terjadi
oleh karena pembesaran prostat menyebabkan pembuluh darahnya menjadi rapuh.
Bladder outlet obstruction ataupun overdistensi vesika urinaria juga dapat
menyebabkan refluk vesikoureter dan sumbatan saluran kemih bagian atas yang
akhirnya menimbulkan hydroureteronephrosis. Bila obstruksi cukup berat, dapat
menimbulkan gagal ginjal dan gejala-gejala uremia berupa mual dan muntah.10,12
Keluhan lain dapat berupa gejala obstruksi antara lain, nyeri pinggang,
benjolan di pinggang (hidronefrosis) dan demam (infeksi, urosepsis). Tidak jarang
pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid,
yang timbul karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan
peningkatan tekanan intraabdominal.12
2.2.8.1 Anamnesis
Hal-hal yang harus ditanyakan pada anamnesis meliputi keluhan gejala pada
saluran kemih bagian bawah (LUTS) dan gejala pada saluran kemih bagian atas.
Gejala LUTS dapat dilihat pada Tabel 1. Informasi tambahan yang dibutuhkan
termasuk episode inkontinensia urin, retensi urin, disuria, hematuria, infeksi saluran
kemih, batu kerikil yang keluar bersama urin, dan disfungsi erektil. Gejala pada
saluran kemih bagian atas dapat berupa keluhan akibat penyulit hyperplasia prostat
pada saluran kemih bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang,
18
benjolan di pinggang (tanda hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda
infeksi urosepsis.10,12
19
Gambar 13. Pemeriksaan direct rectal examination (DRE)14
Tabel 2. Derajat berat BPH berdasarkan colok dubur dan sisa volume urin
20
2.2.8.3 Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan Urin
Pemeriksaan urin berupa urinalisis, pemeriksaan sedimen urin dan kultur.
Urinalisis dan sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya
proses infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin
berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan
sekaligus menentukan sensifitas kuman terhadap beberapa antimikroba
yang diujikan.10,12
• Hematologi
Pemeriksaan hematologi yang dilakukan antaranya pemeriksaan ureum,
kreatinin dan glukosa darah. Pemeriksaan ureum dan kreatinin berfungsi
untuk menilai faal ginjal untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang
mengenai saluran kemih bagian atas, sedangkan glukosa darah
dimaksudkan untuk mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes
mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada vesika urinaria
(neurogenic bladder). Jika dicurigai adanya keganasan prostat perlu
diperiksa kadar penanda tumor prostate specific antigen (PSA).12
Laju pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar PSA
0,2-1,3 ng/dl adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl
adalah 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun.
21
Serum PSA dapat meningkat pada saat terjadi retensi urin akut dan kadarnya
perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam dilakukan kateterisasi. 15
• Residu Urin
Residu urin atau post voiding residual urin (PVR) adalah sisa urin di vesika
urinaria setelah berkemih. Jumlah residu urin pada pria normal rata-rata 12
mL. Pemeriksaan residu urin dapat dilakukan dengan cara USG, bladder
scan atau dengan kateter uretra. Pengukuran dengan kateter lebih akurat
dibandingkan USG, namun tidak nyaman bagi pasien, dapat menimbulkan
cedera uretra, infeksi saluran kemih, hingga bakteremia.10,14
22
• Pencitraan
Pencitraan prostat dilakukan untuk menilai; ukuran prostat, bentuk prostat,
karsinoma, dan karakterisasi jaringan. Pilihan modalitas pencitraan prostat
sebagai berikut.10,14
c. Transabdominal Ultrasound
Pada pemeriksaan ini, akan didapatkan gambaran area inhomogen
echodenicity tinggi dan rendah pada bagian tengah prostat, accoustic
shadow mengindikasikan kalsifikasi, visualisasi terbatas pada anatomi
zona prostat, serta penonjolan dari pembesaran kelenjar prostat pada
bagian bawah vesika urinaria. Pemeriksaan ini juga mampu mendeteksi
adanya hidronefrosis maupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH
yang berlangsung lama.
23
e. CT Scan
Dengan CT Scan, BPH nampak seperti area homogen yang luas dengan
batas tegas. CT tidak memiliki peran penting dalam mengevaluasi BPH,
sebab resolusi jaringan interprostat rendah, yang berakibat tidak dapat
mengevaluasi rasio glandular ke jaringan stroma di dalam prostat.
Volume prostat dapat diukur dengan modalitas pencitraan ini.
Gambaran BPH pada CT-Scan adalah sebagai berikut.
1. Zona anatomi tidak tampak
2. Pembesaran keseluruhan kelenjar prostat
3. Lobus medial menonjol hingga ke dasar vesika urinaria
4. Tidak dapat dibedakan dengan kanker prostat
Gejala saluran kemih bagian bawah (LUTS) yang terdapat pada BPH
kemungkinan berasal dari striktur uretra, kontraktur leher vesika urinaria (primer
atau sekunder untuk operasi prostat), meatal stenosis, karsinoma prostat lanjutan,
batu vesika urinaria, dan karsinoma vesika urinaria. Frekuensi dan urgensi
kemungkinan berasal dari infeksi saluran kemih, diabetes, execessive caffeine, obat-
obat diuretik, atau konsumsi alkohol.14
24
2.2.10 Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat
Terapi yang diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keluhan pasien,
ukuran prostat, berat badan, tingkat antigen prostat spesifik (PSA) pilihannya
adalah mulai dari tanpa terapi (watchful waiting), terapi farmakologi, dan terapi
intervensi atau pembedahan.10,14
1) Watchful waiting
Tidak semua pasien BPH perlu menjalani tindakan medik. Terkadang pasien
yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi
apapun. Pilihan tanpa terapi ini untuk pasien BPH dengan skor IPSS<7, yaitu
keluhan ringan yang tidak menganggu aktivitas sehari-hari. Pasien hanya
diberikan edukasi mengenai hal-hal yang dapat memperburuk keluhan:8,10
− Hindari mengkonsumsi kopi atau alkohol
− Kurangi makanan dan minuman yang mengiritasi vesika urinaria (kopi,
coklat, alkohol, makanan pedas atau asin)
− Hindari menahan kencing terlalu lama
2) Terapi farmakologi
Terapi medikametosa atau farmakologi dilakukan pada pasien BPH tingkat
sedang, atau dapat juga dilakukan sebagai terapi sementara pada pasien BPH
tingkat berat. Tujuan terapi medikametosa adalah untuk mengurangi resistensi
leher vesika urinaria dengan obat-obatan golongan α-adrenergic blocker dan
mengurangi volume prostat dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron
atau dehidrotestosteron (DHT).10,16-17
25
blocker yang sering digunakan adalah tamsulosin. Obat ini dianggap sebagai
uroselective agent dan tersedia secara komersial karena afinitasnya relatif tinggi
untuk reseptor α1. Dilaporkan bahwa obat ini mampu memperbaiki pancaran
miksi tanpa menimbulkan efek terhadap tekanan darah maupun denyut jantung.
Salah satu obat golongan 5ARIs yang sering digunakan adalah finasteride. Obat
ini menyebabkan penurunan konsentrasi DHT dalam jumlah besar, sehingga
mengurangi ukuran prostat secara konsisten. Efek samping finasteride ialah
kelainan seksual seperti penurunan libido, disfungsi ereksi dan gangguan
ejakulasi.16-18
3) Terapi intervensi
Terapi intervensi dilakukan apabila ada indikasi pembedahan, yaitu: 14
− Tidak menunjukkan pebaikan setelah terapi medikamentosa
− Mengalami retensi urin
− Infeksi Saluran Kemih berulang
− Hematuri
− Gagal ginjal
− Timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran
kemih bagian bawah
26
Jenis pembedahan yang dapat dilakukan:19
• Pembedahan terbuka (prostatektomi terbuka)
Paling invasif dan dianjurkan untuk prostat yang sangat besar (±100 gram).
Prostatektomi terbuka merupakan tindakan yang masih banyak dikerjakan
saat ini, paling invasif dan paling efisien sebagai terapi dari BPH. Penyulit
yang dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka adalah inkontinensia urin
(3%), impotensia (5- 10%), ejakulasi retrograde (60-80%), dan kontraktur
leher buli-buli (3- 5%).
• Pembedahan endourologi
Operasi terhadap prostat dapat berupa:
− Reseksi (Trans Urethral Resection of the Prostat/TURP)
− Insisi (Trans Urethral Incision of the Prostate/TUIP)
Selain tindakan invasif tersebut diatas, sekarang dikembangkan tindakan invasif
minimal, terutama yang mempunya resiko tinggi terhadap pembedahan.
Tindakan tersebut antara lain: termoterapi, Trans Urethral Needle Ablation of
the Prostat/TUNA, pemasangan stent, High Intensity Focused
Ultrasound/HIFU serta dilatasi dengan balon (Transuethral Ballon
Dilatation/TUBD).14,19
27
BAB 3
KESIMPULAN
Terapi yang diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keluhan pasien,
ukuran prostat, berat badan, tingkat antigen prostat spesifik (PSA) pilihannya
adalah mulai dari tanpa terapi (watchful waiting), terapi farmakologi, dan terapi
intervensi atau pembedahan.
28
DAFTAR PUSTAKA
4. Drake RL, Vogi AW, Mitchell AWM. Gray’s basic anatomy. 2 nd ed. Poland:
Elsevier; 2020. p. 226-7.
5. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. Moore clinically oriented anatomy. 7 th ed.
Philadelphia: Wolter Kluwers; 2014. p. 376-81.
6. Catterwell R, Challacombe BJ. Prostate. In: Gray’s surgical anatomy. 1st ed.
Brennan PA, Standring SM, Wiseman SM, editors. Poland: Elsevier; 2020. p.
2532-45.
7. Hall JE, Hall ME. Guyton and Hall textbook of medical physiology. 14 th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2021. p. 1013-4.
8. Taylor JM, Smith TG, Cobum M. Urologic surgery. In: Townsend CM, Evers
BM, Beauchamp RD, Mattox KL. Sabiston textbook of surgery: the biological
basis of modern surgical practice. 21st ed. St. Louis: Elsevier; 2022. p. 2071-2.
v
prostatic hyperplasia/BPH). Jakarta: Ikatan Ahli Urologi Indonesia; 2017. p. 1-
29
11. Netto GJ, Amin MB. The lower urinary tract and male genital system. In:
Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins & Cotran pathologic basis of disease.
10th ed. Robbins. New York: Elsevier; 2021. p. 975-7.
12. Rodway GW, Huether SE. Structure and function of the reproductive systems.
In: McCance KL, Huether SE, Brashers VL, Rote NS. Pathophysiology: the
biologic basis for disease in adults and children. 8 th ed. St. Louis: Elsevier;
2019. p. 744-8, 751-2.
14. Herrero JAV, Abdussalam A, Kasi A. Rectal exam. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island: StatPearls Publishing; 2022 Jul. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537356/
16. Biaggioni I. Adrenoceptor agonist & sympathomimetic drugs. In: Katzung BG,
Vanderah TW. Basic & clinical pharmacology. 15th ed. New York: McGraw
Hill; 2020. p. 405, 467-8.
17. Westfall TC, Macarthur H, Weztfall DP. Adrenergic antagonist and antagonist.
In: Brunton LL, Hilal-Dandan R, Knollmann BC. Goodman & Gilman’s the
pharmacological basis of therapeutics. 13th ed. New York: McGraw Hill; 2018.
p. 208-10.
vi
18. Jun ZY, Lan YH, Hua XF, Chao CH, Hong LD, Da XX, et al. Efficacy and side
effects of drugs commonly used for the treatment of lower urinary tract
symptoms associated with benign prostatic hyperplasia. Frontiers in
Pharmacology. 2020 May; 658(11):2-17. Available from:
https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fphar.2020.00658/full
19. Lerner LB, McVary K, Barry MJ, Bixler BR, Dahm P, Das AK, et al.
Management of lower urinary tract symptoms attributed to benign prostatic
hyperplasia: AUA guideline part II – surgical evaluation and treatment. The
Journal of Urology. 2021; 206(4):818-26. Available from:
https://www.auajournals.org/doi/epdf/10.1097/JU.0000000000002184
vii