Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

HIPERTROFI PROSTAT

Disusun oleh:

NURWAHIDAH LAKAMING, S.Ked


202082021

Dosen Pembimbing Klinik:

dr. Alex Sandra Iriawan, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RSUD Dr. JOHN PIET WANANE KABUPATEN SORONG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PAPUA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Hipertrofi Prostat”. Referat ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat
Kepaniteraan Klinik Departemen Bedah.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Alex Sandra Iriawan, Sp.B
selaku pembimbing yang telah membantu dalam penyusunan referat ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pengerjaan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat baik bagi penulis
sendiri, pembaca, maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Sorong, November 2022

Penulis

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Referat diajukan oleh :


Nama : Nurwahidah Lakaming
NIM : 202082021
Universitas : Universitas Papua
Fakultas : Kedokteran
Jurusan : Program Profesi Pendidikan Dokter
Bidang Kepaniteraan : Ilmu Bedah
Judul Referat : Hipertrofi Prostat

Diajukan kepada :
Pembimbing : dr. Alex Sandra Iriawan, Sp.B

Telah dipresentasikan dan disahkan


pada tanggal : …………………………

Mengetahui,

Dosen Pembimbing Klinik,

dr. ALEX SANDRA IRIAWAN, Sp.B

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ iii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iv

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2 Tujuan ..................................................................................... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Kelenjar Prostat ..................................................................... 3
2.1.1 Anatomi dan Histologi Kelenjar Prostat .................................. 3
2.1.2 Fisiologi Kelenjar Prostat ........................................................ 7
2.2 Hipertofi Prostat .................................................................... 8
2.2.1 Definisi Hipertofi Prostat ......................................................... 8
2.2.2 Epidemiologi Hipertofi Prostat ................................................ 8
2.2.3 Faktor Risiko Hipertofi Prostat ................................................ 9
2.2.4 Etiologi Hipertofi Prostat ......................................................... 10
2.2.5 Patologi Hipertofi Prostat ........................................................ 13
2.2.6 Patofisiologi Hipertofi Prostat ................................................. 14
2.2.7 Gambaran Klinis Hipertofi Prostat .......................................... 16
2.2.8 Diagnosis Hipertofi Prostat ...................................................... 18
2.2.9 Diagnosis Banding Hipertofi Prostat ...................................... 24
2.2.10 Penatalaksanaan Hipertofi Prostat ........................................... 25

BAB 3 KESIMPULAN ...................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. v

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit prostat merupakan penyebab yang sering pada berbagai masalah


saluran kemih pada pria, insidennya menunjukkan peningkatan sesuai dengan
umur, terutama pada mereka yang berumur di atas 60 tahun. Pembesaran prostat
jinak atau yang lebih dikenal sebagai Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) sering
ditemukan pada laki-laki dewasa terutama usia diatas 50 tahun di Indonesia.
Prevalensi penyakit telah terbukti meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi
histologis BPH pada hasil otopsi sebanyak 50 – 60% pada laki-laki berusia di atas
60 tahun, kemudian meningkat menjadi 80 – 90% di atas 70 tahun. BPH juga
merupakan penyakit urutan kedua setelah batu saluran kemih yang sering
dikeluhkan oleh laki-laki di Indonesia. Keluhan utamanya adalah retensi urin atau
sulit untuk berkemih dan itu dirasakan sangat mengganggu kehidupan sehari-hari.1,2

Perkembangan hiperplasia prostat jinak ditandai dengan proliferasi sel


stroma dan epitel di zona transisi prostat di sekitar uretra. Hal ini menyebabkan
kompresi uretra dan pengembangan obstruksi aliran keluar kandung kemih (BOO)
yang dapat mengakibatkan manifestasi klinis saluran kemih bagian bawah, gejala
saluran kemih (LUTS), retensi urin atau infeksi karena pengosongan kandung
kemih yang tidak lengkap.3

Penyakit jangka panjang yang tidak diobati dapat menyebabkan


perkembangan retensi tekanan tinggi kronis (keadaan darurat yang berpotensi
mengancam jiwa) dan perubahan jangka panjang pada detrusor kandung kemih
(aktivitas yang berlebihan dan penurunan kontraktilitas). Pilihan pengobatan untuk
BPH berkisar dari observasi (watchful waiting), hingga intervensi medis dan
bedah.3

1
1.2 Tujuan

Makalah ini ditulis dengan tujuan:


1.2.1 Mengenali dan memahami definisi, epidemiologi, penyebab, diagnosis,
hingga tatalaksana hipertrofi prostat.
1.2.2 Mampu memberikan tatalaksana yang sesuai dan adekuat pada hipertrofi
prostat.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelenjar Prostat

2.1.1 Anatomi dan Histologi Kelenjar Prostat

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di bawah dari bulibuli, di
depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri
dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan beratnya ± 20 gram. Prostat memiliki kapsula
fibrosa yang padat dan dilapisi oleh jaringan ikat prostat sebagai bagian fascia
pelvis visceralis. Pada bagian superior dari prostat berhubungan dengan vesika
urinaria, sedangkan bagian inferior bersandar pada diafragma urogenital.
Permukaan ventral prostat terpisah dari simpisis pubis oleh lemak retroperitoneal
dalam spatium retropubicum dan permukaan dorsal berbatas pada ampulla recti.4

Gambar 1. Anatomi kelenjar prostat5

Kelenjar prostat terdiri atas otot dan kelenjar, dengan saluran yang terbuka
menuju bagian prostat pada uretra, yang mulai menonjol pada masa pubertas.
Biasanya kelenjar prostat dapat tumbuh seumur hidup. Semakin bertambahnya usia
pada pria, kelenjar prostat akan memiliki ukuran yang bervariasi, yang dapat
mengarah ke pembesaran prostat jinak (BPH).4

3
Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan kandung kemih, uretra,
vas deferens, dan vesikula seminalis. Prostat terletak di atas diafragma panggul
sehingga uretra terfiksasi pada diafragma tersebut, dapat terobek bersama
diafragma bila terjadi cedera. Prostat dapat diraba pada pemeriksaan colok dubur.
Selain mengandung jaringan kelenjar, kelenjar prostat mengandung cukup banyak
jaringan fibrosa dan jaringan otot polos.5

Gambar 2. Tampak posterior, vaskulariasi kelenjar prostat5

Vaskularisasi kelenjar prostat yang utama berasal dari a. vesicalis inferior


(cabang dari a. Iliaca interna). a. hemoroidalis media (cabang dari a. Mesenterium
inferior) dan a. Pudenda interna (cabang dari a. Iliaca interna). Cabang-cabang dari
arteri tersebut masuk lewat basis prostat di vesico prostatic junction. Vena-vena
bergabung membentuk plexus venosus prostaticus sekeliling sisi-sisi dan alas
prostat. Plexus venosus prostaticus yang terletak antara kapsula fibrosa dan sarung
prostat, ditampung oleh vena iliaka interna. Plexus venosus prostaticus juga
berhubungan dengan plexus venosus vesicalis dan plexus venosi vertebrales.
Pembuluh limfe terutama berakhir pada nodi lymphoidei iliaci interni dan nodi
lymphoidei externi.4,6

Prostat menerima suplai saraf yang berlimpah dari pleksus hipogastrika


inferior (panggul). Kapsul prostat ditutupi oleh banyak serabut saraf dan ganglia

4
posterolateral, membentuk pleksus saraf periprostatik bulan sabit. Kepadatan saraf
terbesar ditemukan di sfingter preprostatik; serat lebih sedikit ditemukan di stroma
fibromuskular anterior, dan zona perifer adalah yang paling tidak diinervasi.
Serabut parasimpatis (S2–4; nervus splanknikus pelvis; nervus erector Eckhard)
berjalan di sepanjang prostat dari dasar ke apeks di dalam lapisan fasia prostat dan
berakhir di sekitar sel asinar. Fungsi serabut saraf tersebut adalah merangsang
sekresi prostat. Kerusakan iatrogenik pada saraf kavernosal selama prostatektomi
radikal berhubungan dengan disfungsi ereksi pascaoperasi. Dorongan simpatis
(T12-L2) menghasilkan kontraksi otot polos kapsula prostat dan stroma. Aliran
limfe kelenjar prostat dialirkan ke dalam nodus limfe iliaka interna (hipogastrika),
sakral, vesikal dan iliaka aksterna.4,5

Secara histologi, prostat terdiri dari kelenjar yang dilapisi dua lapis sel,
bagian basal adalah epitel kuboid yang ditutupi oleh lapisan sel sekretori kolumnar.
Pada beberapa daerah dipisahkan oleh stroma fibromuskular. Prostat merupakan
suatu kumpulan 30−50 kelenjar tubuloalveolar yang bercabang. Duktusnya
bermuara ke dalam uretra pars prostatika, yang menembus prostat.6,7

Pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel-sel prostat dipengaruhi oleh


hormon androgen testis. Hormon ini memasuki sel sekretori epitel kelenjar dan
diubah menjadi dihidrotestosteron (DHT) oleh enzim 5α-reductase. DHT kira-kira
30 kali lebih kuat daripada testosteron. Pengikatan DHT ke reseptor androgen
menghasilkan perubahan konformasi reseptor dan relokasinya dari sitosol.6,7

Pada pria yang lebih tua, alveoli kelenjar prostat sering mengandung
konkresi prostat (corpora amylacea) dengan berbagai bentuk dan ukuran, biasanya
berdiameter hingga 2 mm. Struktur ini muncul sebagai badan lamel konsentris dan
diyakini dibentuk oleh pengendapan bahan sekretori di sekitar fragmen sel.
Corpora amylacea dapat menjadi terkalsifikasi sebagian.6,7

5
Kelenjar prostat dibagi menjadi beberapa zona sebagai berikut.6

1) Zona anterior atau ventral

Gambar 3. Zona anterior6


Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma
fibromuscular. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat. 6

2) Zona perifer

Gambar 4. Zona Perifer6


Zona ini merupakan 70% dari bagian prostat yang glandular, membentuk
bagian lateral dan posterior atau dorsal organ prostat. Zona ini rentan terhadap
inflamasi dan merupakan tempat asal karsinoma terbanyak. Saluran-saluran
dari zona perifer ini bermuara pada uretra pars prostatika bagian distal. 5,6

3) Zona sentral

Gambar 5. Zona Sentral6


Zona sentral terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus
tengah meliputi 25% massa glandular prostat. Zona ini resisten terhadap
inflamasi. Saluran-salurannya juga bermuara pada uretra prostatika bagian
distal.6

6
4) Zona transisional

Gambar 6. Zona Transisional


Zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai kelenjar
preprostatik. Zona ini merupakan bagian terkecil dari prostat. Meskipun zona
transisional hanya berkontribusi sebanyak 5% dari volume normal kelenjar
prostat, zona ini merupakan situs utama terjadinya hipertrofi prostat. Ekspansi
nodular area ini menghasilkan kompresi uretra dan variasi derajat obstruksi
bladder outlet. Hasilnya, gejala sulit berkemih biasanya lebih mengarah ke
ekspansi BPH dari zona transisional dibandingkan kanker prostat.5,6

5) Kelenjar-kelenjar periuretra
Bagian ini terdiri dari duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar abortif
tersebar sepanjang segmen uretra proksimal.6

Gambar 7. Anatomi zona kelenjar prostat6

2.1.2 Fisiologi Kelenjar Prostat

Kelenjar prostat berkontribusi dalam menghasilkan cairan semen selama


ejakulasi. Sekret kelenjar prostat seperti cairan susu, sekret berasal dari vesikula
seminalis yang merupakan komponen utama dari cairan semen. Semen berisi
sejumlah asam sitrat sehingga pH nya agak asam yaitu 6,5. Selain itu dapat
ditemukan enzim yang bekerja sebagai fibrinolisin yang kuat, asam fosfatase,
enzim-enzim lain dan lipid. Kelenjar prostat dikelilingi oleh otot polos yang

7
berkontraksi selama ejakulasi, mengeluarkan lebih kurang 0,5 ml cairan prostat
tetapi fungsi pasti cairan ini belum diketahui, paling tidak sebagai media pembawa
sperma.7

Kelenjar prostat adalah organ yang bergantung kepada pengaruh endokrin.


Bagian perifer kelenjar sensitf terhadap androgen, sedangkan bagian tengah
kelenjar sensitf terhadap estrogen. Pada orang tua, bagian tengah mengalami
hiperplasia oleh karena sekresi androgen yang berkurang sedangkan estrogen
bertambah secara relatif ataupun absolut.7

2.2 Hipertrofi Prostat

2.2.1 Definisi Hipertrofi Prostat

Hipertrofi prostat atau biasa dikenal dengan Benign Prostatic Hyperplasia


(BPH) adalah pertumbuhan berlebihan dari sel-sel kelanjar periuretral prostat yang
tidak ganas dan akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer sehingga
menjadi simpai bedah. Kelainan ini ditandai oleh hiperplasia sel stroma dan epitel
prostat sehingga terbentuk nodul-nodul diskret besar diregio periuretra prostat.
BPH termasuk salah satu penyakit degeneratif pada pria.3,8

Beberapa literatur menggambarkan BPH dengan berbagai definisi,


termasuk obstruksi saluran keluar kandung kemih (bladder outflow obstruction,
BOO), gejala saluran kemih bagian bawah (lower urinary tract symptoms, LUTS),
dan pembesaran prostat jinak (benign prostatic enlargement, BPE). BPH
menggambarkan perubahan histologis, BPE menggambarkan peningkatan ukuran
kelenjar (biasanya sekunder untuk BPH) dan BOO menggambarkan obstruksi
aliran. Pasien dengan BPE dan BOO disebut obstruksi prostat jinak (benign
prostatic obstruction, BPO). Gejala saluran kemih bagian bawah (LUTS) hanya
menggambarkan gejala saluran kemih yang dimiliki oleh gangguan yang
mempengaruhi kandung kemih dan prostat.8,10

2.2.2 Epidemiologi Hipertrofi Prostat

Retensio urin adalah keluhan utama yang sering muncul pada pasien yang
menderita kelainan saluran kemih bagian bawah. Beberapa kelainan yang sering
menyebabkan retensio urin antara lain BPH, striktur uretra maupun keganasan

8
kanker prostat. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia tahun 2012 (World
Health Organization, WHO), diperkirakan sekitar 70 juta kasus degeneratif yang
salah satunya adalah BPH. Penderita BPH di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta sejak tahun 1994 – 2013 dilaporkan sebanyak 3.804 kasus, yang
paling sering mengenai kelompok usia 61 – 66 tahun. BPH yang berkelanjutan dan
tidak tertangani dengan baik akan sering berhubungan dengan kejadian kanker
prostat dan kanker vesika urinaria.1,2

Di Indonesia, BPH merupakan urutan kedua setelah batu saluran kemih dan
diperkirakan ditemukan pada 50% pria berusia diatas 50 tahun dengan angka
harapan hidup rata-rata di Indonesia yang sudah mencapai 65 tahun dan
diperkirakan bahwa lebih kurang 5% pria Indonesia sudah berumur 60 tahun atau
lebih. Kalau dihitung dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 200 juta
lebih, kira-kira 100 juta terdiri dari pria, dan yang berumur 60 tahun atau lebih kira-
kira 5 juta, sehingga diperkirakan ada 2,5 juta laki-laki Indonesia yang menderita
BPH.2

Pada penelitian yang dilakukan oleh Mulyadi dkk, didapatkan kasus


Hiperplasia Prostat di Laboratorium Patologi Anatomi RSUD Cibinong periode
Januari 2017 – Agustus 2019 sebanyak 287 kasus (93,46%) dengan kejadian
tersering terdapat pada tahun 2018 sebanyak 117 kasus (40,76%). Distribusi
kelompok usia terbanyak kasus Hiperplasia Prostat terdapat pada kelompok usia 65
– 74 tahun dengan jumlah 125 kasus (43,55%), dan paling sedikit ditemukan pada
kelompok usia 85 – 94 tahun dengan 8 kasus (2,79%).2

Prevalensi pasien dengan lower urinary tract syndrome (LUTS) yang


dikaitkan dengan BPH pada pria usia lebih dari 50 tahun diperkirakan 50% hingga
75% dan meningkat seiring bertambahnya usia dengan prevalensi 80% pada pria di
atas usia 70 tahun.2,9

2.2.3 Faktor Risiko Hipertrofi Prostat

Faktor risiko yang paling berperan dalam BPH adalah usia, selain adanya
testis yang fungsional sejak pubertas (faktor hormonal). Dari berbagai studi terakhir
ditemukan hubungan positif antara BPH dengan riwayat BPH dalam keluarga,

9
kurangnya aktivitas fisik, diet rendah serat, konsumsi vitamin E, konsumsi daging
merah, obesitas, sindrom metabolik, inflamasi kronik pada prostat, dan penyakit
jantung. Faktor risiko berperan penting dalam identifikasi kelompok yang berisiko
terhadap perkembangan penyakit dan kelompok yang dapat dikelola secara lebih
konservatif untuk mengurangi morbiditas terkait dan beban perawatan kesehatan. 9

2.2.4 Etiologi Hipertrofi Prostat

Penyebab pasti terjadinya BPH masih belum jelas, namun, saat ini terdapat
beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat.
Salah satu yang paling mungkin adalah efek hormon androgen dan proses penuaan.
Beberapa hipotesis tersebut antara lain sebagai berikut.1,8

• Teori Dihidrotestosteron (DHT)

Gambar 8. Sintesis growth factor dengan bantuan testosteron11


Dihidrotestosteron adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. DHT berperan merangsang
pertumbuhan kelenjar prostat. DHT merupakan hasil konversi testosteron
dengan bantuan enzim 5α-reductase dengan bantuan koenzim nicotinamide
adenin dinucleotide phosphatase-oxidase (NADPH). DHT yang telah
terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks
DHT-RA pada inti sel untuk mengadakan inskripsi pada RNA. Proses ini

10
akan merangsang sintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan
kelenjar prostat. 10,11
Pada berbagai penelitian, aktivitas enzim 5α-reductase dan jumlah reseptor
androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat
menjadi lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak
terjadi dibandingkan dengan prostat normal.11

• Perubahan keseimbangan hormon estrogen dan testosteron


Pada pria, kadar testosteron menurun seiring bertambahnya usia, sedangkan
kadar estrogen relatif tetap, sehingga perbandingan estrogen dan testosteron
relatif meningkat. Estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya
proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitivitas
sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen. Meningkatkan
jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Akibatnya, dengan testosteron yang menurun merangsang
terbentuknya sel-sel baru, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar. 3,10

Gambar 9. Pengaruh hormon estrogen dan DHT pada BPH11


Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis, dapat diperoleh kesimpulan
bahwa dalam keadaan normal, hormon gonadotropin hipofisis akan

11
menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol
pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi
penurunan fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan
penurunan progresif sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon
gonadotropin akan sangat merangsang sel sertoli memproduksi hormon
estrogen. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian,
yaitu sentral sekitar uretra, yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian
perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.11

Selain itu, terjadi pula konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan
adiposa perifer dengan pertolongan enzim aromatase. Estrogen ini akan
merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan
bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi
kemudian estrogen yang mengambil alih peran tersebut untuk
perkembangan stroma. Studi in vivo pada pengebirian anjing, yang secara
signifikan mengurangi tingkat androgen tetapi tingkat estrogen tidak
berubah, menyebabkan atrofi signifikan dari prostat.1,3

• Interaksi stroma dan epitel prostat


BPH terjadi pada zona transisi prostat, daerah sel stroma dan sel epitel
berinteraksi. Diferensiasi dan pertumbuhan sel-sel epitel prostat secara tidak
langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut
growth factor. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah
pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth
factor (EGF) dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya
penurunan ekspresi transforming growth factor-b (TGF-b), akan
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan
menghasilkan pembesaran prostat.11

• Berkurangnya kematian sel prostat


Sebuah organ dapat membesar tidak hanya disebabkan oleh adanya
peningkatan proliferasi sel, tetapi dapat juga disebabkan oleh adanya
penurunan kematian sel. Jumlah sel dan volume prostat bergantung pada
keseimbangan antara proliferasi sel dan kematian sel. Apoptosis sel pada sel

12
prostat adalah mekanisme fisiologis homeostatis kelenjar prostat. Pada
jaringan nomal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Androgen tidak hanya dibutuhkan untuk proses proliferasi
yang normal dan diferensiasi dari kelenjar prostat saja, tetapi juga secara
aktif menghambat kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang
apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin
meningkat sehingga mengakibatkan pertambahan massa prostat. 11

Pada pasien BPH, terjadi pertumbuhan abnormal (hiperplasia) pada kelenjar


prostat yang mungkin disebabkan oleh faktor pertumbuhan lokal atau
reseptor faktor pertumbuhan yang abnormal, yang menyebabkan
meningkatnya proliferasi atau menurunnya kematian sel (apoptosis).11

2.2.5 Patologi Hipertrofi Prostat

Secara histopatologi, BPH ditandai dengan peningkatan jumlah sel epitel


dan stroma di daerah periuretra prostat. Peningkatan jumlah sel disebabkan oleh
proliferasi epithelial dan stroma atau gangguan program kematian sel (impaired
programmed cell death) yang mengakibatkan akumulasi seluler. Hormon androgen,
estrogen, interaksi epitel stroma, faktor pertumbuhan dan neurotransmitter berperan
dalam proses hiperplasia prostat, baik secara terpisah maupun kombinasi. 11

Gambar 10. Gambaran makroskopis (kiri) dan mikroskopis (kanan) BPH11


Perubahan paling awal pada BPH adalah di kelenjar periuretra sekitar
verumontanum. Perubahan hiperplasia pada stroma berupa nodul fibromuskuler,
nodul asinar atau nodul campuran fibroadenomatosa. Hiperplasia glandular terjadi

13
berupa nodul asinar atau campuran dengan hiperplasia stroma. Kelenjar-kelenjar
biasanya besar dan terdiri atas tall columnar cells. Inti sel-sel kelenjar tidak
menunjukkan proses keganasan.11

Gambar 11. Benign Prostatic Hyperplasia11

Proses patologis lainnya adalah penimbunan jaringan kolagen dan elastin di


antara otot polos yang berakibat melemahnya kontraksi otot. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hipersensitivitas pasca fungsional, ketidakseimbangan neurotransmitter,
dan penurunan input sensorik, sehingga otot detrusor tidak stabil. 11

2.2.6 Patofisiologi Hipertrofi Prostat

Prostat tumbuh membesar secara bertahap setelah usia 50 tahun. Setelah


usia 70 tahun, sekitar 8 dari 10 laki-laki mengalami pembesaran prostat.
Pembesaran prostat melibatkan faktor hormonal dalam mempengaruhi jaringan
yang berbeda (otot dan kelenjar). Faktor hormonal mempunyai pengaruh yang
berbeda pada masing-masing laki-laki dewasa.12

Pertumbuhan prostat terjadi melalui dua cara, yaitu multiplikasi sel di


sekitar uretra dan melalui pertumbuhan lobus medius prostat. Pada pertumbuhan
lobus medius, sel-sel prostat tumbuh mendesak ke arah uretra dan bladder neck.
Pertumbuhan sel-sel tersebut dipengaruhi oleh hormon seks dan respon sitokin.
Pada BPH, kadar hormon DHT sangat tinggi dalam jaringan prostat. Sementara itu,
sitokin mempengaruhi pembesaran prostat dengan memicu respon inflamasi
dengan menginduksi epitel.8,12,13

14
Gambar 12. Efek langsung testosterone pada berbagai reseptor13

DHT merupakan suatu androgen yang berasal dari testosteron melalui kerja
enzim 5α-reductase dan metabolitnya, 5α-androstanediol merupakan pemicu utama
terjadinyaa poliferase kelenjar pada pasien BPH. Pengubahan testosteron menjadi
DHT diperantai oleh enzim 5α-reductase. Ada dua tipe enzim 5α-reductase, tipe
pertama terdapat pada folikel rambut, kulit kepala bagian depan, liver dan kulit.
Tipe kedua terdapat pada prostat, jaringan genital, dan kulit kepala. Pada jaringan-
jaringan target DHT menyebabkan pertumbuhan dan pembesaran kelenjar prostat.13

Patofisiologi BPH mencakup interaksi yang kompleks antara obstruksi


uretra dan fungsi detrusor serta produksi urin. Pembesaran prostat menyebabkan
penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urin. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin,
vesika urinaria harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi
yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik vesika urinaria berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel
vesika urinaria. Perubahan struktur pada vesika urinaria tersebut dirasakan oleh
pasien sebagai keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau lower urinary tract
symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatimus.12,14

Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian vesika


urinaria tanpa terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara
ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari vesika urinaria ke ureter atau

15
terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam
kondisi gagal ginjal.8,12,14

Obstruksi menginduksi perubahan pada fungsi detrusor, serta proses


degenerasi dan gangguan fungsi sistem saraf juga dapat menyebabkan gangguan
pada vesika urinaria, yang menimbulkan gangguan fekuensi, urgensi, dan nokturia,
yang menjadi keluhan utama pada BPH.12,14

Ukuran prostat tidak selalu menggambarkan beratnya obstruksi atau gejala


yang akan timbul. Beberapa orang dengan pembesaran kelenjar yang besar
memiliki obstruksi yang kecil dan beberapa gejala saja, sedangkan orang dengan
pembesaran kelenjar yang kecil memiliki lebih besar blokade dan permasalahan
yang kompleks. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh zona prostat yang mengalami
pembesaran. Pembesaran kelenjar prostat dapat terjadi asimtomatik baru terjadi
kalau neoplasma telah menekan lumen uretra prostatika, uretra menjadi panjang
(elongasi), sedangkan kelenjar prostat makin bertambah besar.12

2.2.7 Gambaran Klinis Hipertrofi Prostat

Gejala yang umumnya terjadi pada pasien BPH adalah gejala pada saluran
kemih bagian bawah atau lower urinary track symptoms (LUTS). Gejala pada
saluran kemih bagian bawah terdiri atas gejala iritatif (storage symptoms) dan
gejala obstruksi (voiding symptoms). Gejala obstruktif ditimbulkan karena adanya
penyempitan uretra karena didesak oleh prostat yang membesar. Gejala yang terjadi
berupa harus menunggu pada permulaan miksi atau sulit memulai kencing
(hesistancy), pancaran miksi yang lemah (weak stream), miksi terputus
(intermittency), harus mengejan (straining). Gejala iritatif disebabkan oleh
pengosongan vesika urinaria yang tidak sempurna pada saat miksi atau berkemih,
sehingga vesika urinaria sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala yang
terjadi adalah frekuensi miksi meningkat (frequency), nokturia, dysuria dan miksi
sulit ditahan (urgency).8,12,14

16
Tabel 1. Gejala obstruksi dan iritasi pada saluran kemih bagian bawah12

Gejala obstruksi Gejala iritasi


Hesitancy Frekuensi
Weak stream Nocturia
Intermittency Urgensi
Terminal dribbling Disuria
Distensi abdomen
Straining (mengejan saat berkemih)
Volume urin menurun

Gejala pertama dan yang paling sering dijumpai adalah penurunan kekuatan
pancaran dan kaliber aliran urin, oleh karena lumen uretra mengecil dan tahanan di
dalam uretra mengecil dan tahanan di dalam uretra meningkat, sehingga vesika
urinaria harus memberikan tekanan yang lebih besar untuk dapat mengeluarkan
urin. Apabila terjadi pembesaran prostat, otot detrusor vesika urinaria memerlukan
waktu yang lebih lama untuk meningkatkan tekanan intravesika guna mengatasi
adanya tekanan dalam uretra prostatika, sehingga timbul gejala sulit memulai
kencing (hesitancy). Jika vesika urinaria tidak dapat mempertahankan tekanan yang
tinggi selama berkemih, aliran urin dapat berhenti dan dribbling. Untuk
meningkatkan usaha berkemih pasien biasanya melakukan manuver valsava
sewaktu berkemih. Karena otot detrusor vesika urinaria menjadi lemah dan gagal
mengosongkan urin secara sempurna, sejumlah urin tertahan dalam vesika urinaria
sehingga menimbulkan gejala sering berkemih (frequency), terutama pada malam
hari (nocturia). Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot
vesika urinaria untuk mengeluarkan urin. Pada suatu saat, otot vesika urinaria
mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang
diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.12,14

Timbulnya dekompensasi vesika urinaria biasanya didahului oleh beberapa


faktor pencetus, antara lain:10,12

a) Volume vesika urinaria tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan
kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang

17
mengandung diuretikum (alkohol, kopi) dan minum air dalam jumlah yang
berlebihan.
b) Massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual
atau mengalami infeksi prostat akut,
c) Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan konstraksi otot
detrusor atau yang dapat mempersempit leher vesika urinaria, antara lain
golongan antikolinergik atau adrenergic alfa.

Infeksi yang menyertai residual urin akan memperberat gejala, karena akan
menambah obstruksi akibat inflamasi sekunder dan edema. Residual urin juga dapat
sebagai predisposisi terbentuknya batu vesika urinaria. Hematuria sering terjadi
oleh karena pembesaran prostat menyebabkan pembuluh darahnya menjadi rapuh.
Bladder outlet obstruction ataupun overdistensi vesika urinaria juga dapat
menyebabkan refluk vesikoureter dan sumbatan saluran kemih bagian atas yang
akhirnya menimbulkan hydroureteronephrosis. Bila obstruksi cukup berat, dapat
menimbulkan gagal ginjal dan gejala-gejala uremia berupa mual dan muntah.10,12

Keluhan lain dapat berupa gejala obstruksi antara lain, nyeri pinggang,
benjolan di pinggang (hidronefrosis) dan demam (infeksi, urosepsis). Tidak jarang
pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid,
yang timbul karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan
peningkatan tekanan intraabdominal.12

2.2.8 Diagnosis Hipertrofi Prostat

2.2.8.1 Anamnesis

Hal-hal yang harus ditanyakan pada anamnesis meliputi keluhan gejala pada
saluran kemih bagian bawah (LUTS) dan gejala pada saluran kemih bagian atas.
Gejala LUTS dapat dilihat pada Tabel 1. Informasi tambahan yang dibutuhkan
termasuk episode inkontinensia urin, retensi urin, disuria, hematuria, infeksi saluran
kemih, batu kerikil yang keluar bersama urin, dan disfungsi erektil. Gejala pada
saluran kemih bagian atas dapat berupa keluhan akibat penyulit hyperplasia prostat
pada saluran kemih bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang,

18
benjolan di pinggang (tanda hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda
infeksi urosepsis.10,12

Riwayat pengobatan pasien juga penting untuk ditanyakan, banyaknya


resep pengobatan, serta pengobatan tanpa resep mengandung anti kolinergik
(contohnya; tricyclic antidepressan) atau sympatomimetik (contohnya;
phenylephrine yang terdapat pada obat flu) yang memiliki efek samping.10,12

Tingkat keparahan penderita BPH dapat diukur dengan skor IPSS


(Internasional Prostate Symptom Score) diklasifikasi dengan skor 0-7 penderita
ringan, 8-19 penderita sedang dan 20-35 penderita berat. Sistem skoring IPPS
terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS) dan
satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setipa pertanyaan
yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai dari 0 sampai dengan 5,
sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1
sampai 7.8,10

2.2.8.2 Pemeriksaan Fisis

Pada pemeriksaan fisis mungkin didapatkan vesika urinaria yang terisi


penuh dan teraba massa kisteus di daerah supra simfisis akibat retensi urin. Kadang-
kadang didapatkan urin yang selalu menetes tanpa disadari oleh pasien yaitu
merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksal. Stenosis meatus dan massa
uretra kadang-kadang ditemukan pada pemeriksaan genital.15

Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan pemeriksaan


yang penting pada pasien BPH. Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan jari
ke dalam rektum kemudian meraba prostat serta rektum. Pemeriksaan ini
memberikan gambaran mengenai ukuran, bentuk, simetri, kualitas, nodularitas dan
konsistensi kelenjar prostat. Pada pemeriksaan ini juga perlu dinilai tonus sfingter
ani dan refleks bulbokavernosus yang dapat menunjukkan adanya kelainan pada
lengkung refleks di daerah sakrum.14

Tanda BPH pada pemeriksaan DRE dijumpai pembesaran prostat teraba


simetris dengan konsistensi padat kenyal seperti ujung hidung, permukaan licin dan
ada pendorongan prostat ke arah rektum.9

19
Gambar 13. Pemeriksaan direct rectal examination (DRE)14

Dengan pemeriksaan DRE, dapat ditentukan derajat hipertofi prostat seperti


pada Tabel 2 berikut.8-10

Tabel 2. Derajat berat BPH berdasarkan colok dubur dan sisa volume urin

Derajat Colok dubur Sisa volume urin


I Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba <50 ml
II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat 50 – 100 ml
dicapai
III Batas atas prostat tidak dapat diraba >100 ml
IV Batas atas prostat tidak dapat diraba Retensi urin total

Penderita derajat I biasanya belum memerlukan tindak bedah diberikan


pengobatan konservatif, misalnya dengan penghambat adrenoreseptor alfa. Derajat
II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya dianjurkan reseksi
endoskopik melalui uretra (trans urethral resection, TUR). Namun derajat II dapat
dicoba dengan pengobatan konservatif. Pada derajat III dilakukan reseksi
endoskopik dan bisa dilakukan pembedahan terbuka. Pada derajat IV, tindakan
pertama yang dilakukan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan
memasang kateter atau sistostomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi defenitif dengan TURP atau
pembedahan terbuka.

20
2.2.8.3 Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan Urin
Pemeriksaan urin berupa urinalisis, pemeriksaan sedimen urin dan kultur.
Urinalisis dan sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya
proses infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin
berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan
sekaligus menentukan sensifitas kuman terhadap beberapa antimikroba
yang diujikan.10,12

• Hematologi
Pemeriksaan hematologi yang dilakukan antaranya pemeriksaan ureum,
kreatinin dan glukosa darah. Pemeriksaan ureum dan kreatinin berfungsi
untuk menilai faal ginjal untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang
mengenai saluran kemih bagian atas, sedangkan glukosa darah
dimaksudkan untuk mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes
mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada vesika urinaria
(neurogenic bladder). Jika dicurigai adanya keganasan prostat perlu
diperiksa kadar penanda tumor prostate specific antigen (PSA).12

• Prostate Spesific Antigen (PSA)


PSA adalah tes skrining untuk membedakan BPH dengan kanker prostat.
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan
cancer specific, sehingga PSA bukan penanda spesifik untuk kanker prostat.
Kadar PSA dalam serum dapat mengalami peningkatan pada peradangan,
setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi
urin akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Serum
PSA digunakan untuk mendeteksi berkembangnya penyakit BPH, jika
kadar PSA tinggi berarti pertumbuhan volume prostat lebih cepat, laju urin
lebih rendah, dan lebih mudah terjadi retensi urin.15

Laju pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar PSA
0,2-1,3 ng/dl adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl
adalah 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun.

21
Serum PSA dapat meningkat pada saat terjadi retensi urin akut dan kadarnya
perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam dilakukan kateterisasi. 15

Dalam mendeteksi adanya karsinoma prostat, pemeriksaan PSA disertai


dengan pemeriksaan colok dubur lebih superior daripada pemeriksaan colok
dubur saja. Pada usia >50 tahun (pada kelompok dengan risiko tinggi),
pemeriksaan PSA menjadi sangat penting guna mendeteksi kemungkinan
adanya karsinoma prostat. Apabila kadar PSA >4 ng/ml, biopsi prostat dapat
mulai dipertimbangkan setelah didiskusikan dengan pasien.12,15

• Residu Urin
Residu urin atau post voiding residual urin (PVR) adalah sisa urin di vesika
urinaria setelah berkemih. Jumlah residu urin pada pria normal rata-rata 12
mL. Pemeriksaan residu urin dapat dilakukan dengan cara USG, bladder
scan atau dengan kateter uretra. Pengukuran dengan kateter lebih akurat
dibandingkan USG, namun tidak nyaman bagi pasien, dapat menimbulkan
cedera uretra, infeksi saluran kemih, hingga bakteremia.10,14

Peningkatan volume residu urin dapat disebabkan oleh obstruksi saluran


kemih bagian bawah atau kelemahan kontraksi otot detrusor. Volume residu
urin yang banyak pada pemeriksaan awal berkaitan dengan peningkatan
risiko perburukan gejala. Peningkatan volume residu urin pada pemantauan
berkala berkaitan dengan risiko terjadinya retensi urin.10,14

• Pemeriksaan Patologi Anatomi


BPH dicirikan oleh berbagai kombinasi hiperplasia sel epitel dan stroma
prostat. Beberapa kasus menunjukkan proliferasi otot halus, meskipun
kebanyakan kasus menunjukkan pola hiperplasia fibroadenomiomatosa.11

22
• Pencitraan
Pencitraan prostat dilakukan untuk menilai; ukuran prostat, bentuk prostat,
karsinoma, dan karakterisasi jaringan. Pilihan modalitas pencitraan prostat
sebagai berikut.10,14

a. Foto Polos Abdomen


Foto polos abdomen berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran
kemih, batu atau kalkulosa prostat atau menunjukkan bayangan vesika
urinaria yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda retensi urin.

b. Intravenous Pielogram (IVP)


Intravenous pyelogram adalah pemeriksaan x-ray ginjal, ureter dan
kantung kemih yang menggunakan material kontras iodine yang
diinjeksi ke vena. Pembesaran signifikan dari kelenjar prostat dapat
menyebabkan dasar vesika urinaria elevasi dengan gambaran “J-ing”
atau “Fish hooking” pada ureter distal.

c. Transabdominal Ultrasound
Pada pemeriksaan ini, akan didapatkan gambaran area inhomogen
echodenicity tinggi dan rendah pada bagian tengah prostat, accoustic
shadow mengindikasikan kalsifikasi, visualisasi terbatas pada anatomi
zona prostat, serta penonjolan dari pembesaran kelenjar prostat pada
bagian bawah vesika urinaria. Pemeriksaan ini juga mampu mendeteksi
adanya hidronefrosis maupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH
yang berlangsung lama.

d. Transrectal ultrasound (TRUS)


TRUS merupakan pemeriksaan USG melalui rektum. TRUS dapat
menilai anatomi prostat, zona anatomi, dan perubahan internal. Volume
prostat dapat dengan mudah dinilai menggunakan TRUS. Secara umum,
TRUS tidak diindikasikan untuk pemeriksaan awal BPH. Pencitraan
menggunakan TRUS direkomendasikan pada beberapa pasien.
Menyingkirkan kanker prostat pada pasien dengan peningkatan PSA
(>4 ng/mL) merupakan indikasi pencitraan dengan TRUS untuk
menentukan tindakan biopsi.

23
e. CT Scan
Dengan CT Scan, BPH nampak seperti area homogen yang luas dengan
batas tegas. CT tidak memiliki peran penting dalam mengevaluasi BPH,
sebab resolusi jaringan interprostat rendah, yang berakibat tidak dapat
mengevaluasi rasio glandular ke jaringan stroma di dalam prostat.
Volume prostat dapat diukur dengan modalitas pencitraan ini.
Gambaran BPH pada CT-Scan adalah sebagai berikut.
1. Zona anatomi tidak tampak
2. Pembesaran keseluruhan kelenjar prostat
3. Lobus medial menonjol hingga ke dasar vesika urinaria
4. Tidak dapat dibedakan dengan kanker prostat

f. MRI (Magnetic Resonance Imaging)


Gambaran dari pemeriksaan ini adalah sebagai berikut.

1. Zona anatomi tergambar jelas pada gambar T2


2. Pembesaran Zona Transisional terlihat jelas
3. Biasanya inhomogen dengan intensitas tinggi serta rendah
4. Penampakan halus zona periferal

2.2.9 Diagnosis Banding Hipertrofi Prostat

Gejala saluran kemih bagian bawah (LUTS) yang terdapat pada BPH
kemungkinan berasal dari striktur uretra, kontraktur leher vesika urinaria (primer
atau sekunder untuk operasi prostat), meatal stenosis, karsinoma prostat lanjutan,
batu vesika urinaria, dan karsinoma vesika urinaria. Frekuensi dan urgensi
kemungkinan berasal dari infeksi saluran kemih, diabetes, execessive caffeine, obat-
obat diuretik, atau konsumsi alkohol.14

24
2.2.10 Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat

Penatalaksanaan BPH bertujuan agar mengembalikan kualitas hidup pasien.


Tujuan terapi BPH antara lain ialah memperbaiki keluhan miksi, meningkatkan
kualitas hidup, mengurangi obstruksi infravesika, mengembalikan fungsi ginjal,
mengurangi volume residu urin setelah miksi, serta mencegah progresivitas
penyakit.10,14

Terapi yang diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keluhan pasien,
ukuran prostat, berat badan, tingkat antigen prostat spesifik (PSA) pilihannya
adalah mulai dari tanpa terapi (watchful waiting), terapi farmakologi, dan terapi
intervensi atau pembedahan.10,14

1) Watchful waiting
Tidak semua pasien BPH perlu menjalani tindakan medik. Terkadang pasien
yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi
apapun. Pilihan tanpa terapi ini untuk pasien BPH dengan skor IPSS<7, yaitu
keluhan ringan yang tidak menganggu aktivitas sehari-hari. Pasien hanya
diberikan edukasi mengenai hal-hal yang dapat memperburuk keluhan:8,10
− Hindari mengkonsumsi kopi atau alkohol
− Kurangi makanan dan minuman yang mengiritasi vesika urinaria (kopi,
coklat, alkohol, makanan pedas atau asin)
− Hindari menahan kencing terlalu lama

2) Terapi farmakologi
Terapi medikametosa atau farmakologi dilakukan pada pasien BPH tingkat
sedang, atau dapat juga dilakukan sebagai terapi sementara pada pasien BPH
tingkat berat. Tujuan terapi medikametosa adalah untuk mengurangi resistensi
leher vesika urinaria dengan obat-obatan golongan α-adrenergic blocker dan
mengurangi volume prostat dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron
atau dehidrotestosteron (DHT).10,16-17

Beberapa obat yang biasa digunakan α-adrenergic blocker dan 5α-reductase


inhibitors (5ARIs), kedua obat tersebut yang saat ini telah disetujui untuk
digunakan dalam pengobatan BPH. Salah satu obat golongan α-adrenergic

25
blocker yang sering digunakan adalah tamsulosin. Obat ini dianggap sebagai
uroselective agent dan tersedia secara komersial karena afinitasnya relatif tinggi
untuk reseptor α1. Dilaporkan bahwa obat ini mampu memperbaiki pancaran
miksi tanpa menimbulkan efek terhadap tekanan darah maupun denyut jantung.
Salah satu obat golongan 5ARIs yang sering digunakan adalah finasteride. Obat
ini menyebabkan penurunan konsentrasi DHT dalam jumlah besar, sehingga
mengurangi ukuran prostat secara konsisten. Efek samping finasteride ialah
kelainan seksual seperti penurunan libido, disfungsi ereksi dan gangguan
ejakulasi.16-18

Gambar 14. Sediaan obat golongan α-adrenergic blocker17

3) Terapi intervensi
Terapi intervensi dilakukan apabila ada indikasi pembedahan, yaitu: 14
− Tidak menunjukkan pebaikan setelah terapi medikamentosa
− Mengalami retensi urin
− Infeksi Saluran Kemih berulang
− Hematuri
− Gagal ginjal
− Timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran
kemih bagian bawah

26
Jenis pembedahan yang dapat dilakukan:19
• Pembedahan terbuka (prostatektomi terbuka)
Paling invasif dan dianjurkan untuk prostat yang sangat besar (±100 gram).
Prostatektomi terbuka merupakan tindakan yang masih banyak dikerjakan
saat ini, paling invasif dan paling efisien sebagai terapi dari BPH. Penyulit
yang dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka adalah inkontinensia urin
(3%), impotensia (5- 10%), ejakulasi retrograde (60-80%), dan kontraktur
leher buli-buli (3- 5%).

• Pembedahan endourologi
Operasi terhadap prostat dapat berupa:
− Reseksi (Trans Urethral Resection of the Prostat/TURP)
− Insisi (Trans Urethral Incision of the Prostate/TUIP)
Selain tindakan invasif tersebut diatas, sekarang dikembangkan tindakan invasif
minimal, terutama yang mempunya resiko tinggi terhadap pembedahan.
Tindakan tersebut antara lain: termoterapi, Trans Urethral Needle Ablation of
the Prostat/TUNA, pemasangan stent, High Intensity Focused
Ultrasound/HIFU serta dilatasi dengan balon (Transuethral Ballon
Dilatation/TUBD).14,19

27
BAB 3

KESIMPULAN

BPH merupakan kejadian proliferasi dari jaringan prostat yang mana


hampir 80% pria akan mengalami BPH pada usia lebih dari 50 tahun. Dengan
bertambahnya usia, ukuran prostat bertambah karena terjadi hyperplasia jaringan.
Gejala yang umumnya terjadi pada pasien BPH adalah gejala pada saluran kemih
bagian bawah atau lower urinary track symptoms (LUTS). Gejala pada saluran
kemih bagian bawah terdiri atas gejala iritatif (storage symptoms) dan gejala
obstruksi (voiding symptoms).

Pemeriksaan awal dapat dilakukan dengan cara melakukan anamnesis yang


cermat agar mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang diderita. Perlu juga
dilakukan pemeriksaan fisik colok dubur, pengukuran residu urin, pemeriksaan
PSA dan beberapa pencitraan jika dibutuhkan.

Terapi yang diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keluhan pasien,
ukuran prostat, berat badan, tingkat antigen prostat spesifik (PSA) pilihannya
adalah mulai dari tanpa terapi (watchful waiting), terapi farmakologi, dan terapi
intervensi atau pembedahan.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Ng M, Baradhi KM. Benign prostatic hyperplasia. In: StatPearls [Internet].


Treasure Island: StatPearls Publishing; 2022 Jan. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK558920/

2. Mulyadi HTS, Sugiarto. Prevalensi hiperplasia prostat dan adenokarsinoma


prostat secara histopatologi di laboratorium patologi anatomi rumah sakit
umum daerah Cibinong. Muhammadiyah Journal of Geriatric; 2020
Apr;1(1):12-17. Available from:
https://jurnal.umj.ac.id/index.php/MuJG/article/view/6113

3. Safriadi F, Firdaossaleh, Safendra S, Kusuma GW, Umbas R, Manuputty D, et


al. saluran kemih dan alat kelamin lelaki. In: Sjamsuhidajat R, Prasetyono TOH,
Rudiman R, Riwanto I, Tahalele P. Buku ajar ilmu bedah: sistem organ dan
tindak bedahnya (2). 4th ed. Jakarta: EGC; 2016. p. 921-7.

4. Drake RL, Vogi AW, Mitchell AWM. Gray’s basic anatomy. 2 nd ed. Poland:
Elsevier; 2020. p. 226-7.

5. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. Moore clinically oriented anatomy. 7 th ed.
Philadelphia: Wolter Kluwers; 2014. p. 376-81.

6. Catterwell R, Challacombe BJ. Prostate. In: Gray’s surgical anatomy. 1st ed.
Brennan PA, Standring SM, Wiseman SM, editors. Poland: Elsevier; 2020. p.
2532-45.

7. Hall JE, Hall ME. Guyton and Hall textbook of medical physiology. 14 th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2021. p. 1013-4.

8. Taylor JM, Smith TG, Cobum M. Urologic surgery. In: Townsend CM, Evers
BM, Beauchamp RD, Mattox KL. Sabiston textbook of surgery: the biological
basis of modern surgical practice. 21st ed. St. Louis: Elsevier; 2022. p. 2071-2.

9. Tjahjodjati, Soebandi DM, Umbas R, Purnomo BB, Widjanarko S, Mochtar


AC, et al. Panduan penatalaksanaan klinis pembesaran prostat jinak (benign

v
prostatic hyperplasia/BPH). Jakarta: Ikatan Ahli Urologi Indonesia; 2017. p. 1-
29

10. Shabsigh A, Sourial M, Bellows FF, McClung C, Jayanthi R, Kielb S, et al.


Urology. In: Schwart’s principles of surgery, vol 1. 11th ed. New York: McGraw
Hill; 2019. p. 1763-4

11. Netto GJ, Amin MB. The lower urinary tract and male genital system. In:
Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins & Cotran pathologic basis of disease.
10th ed. Robbins. New York: Elsevier; 2021. p. 975-7.

12. Rodway GW, Huether SE. Structure and function of the reproductive systems.
In: McCance KL, Huether SE, Brashers VL, Rote NS. Pathophysiology: the
biologic basis for disease in adults and children. 8 th ed. St. Louis: Elsevier;
2019. p. 744-8, 751-2.

13. McLatchie G, Borley N. Oxford handbook of clinical surgery. 5 th ed. Oxford:


Oxford University Press; 2022. p. 462-3.

14. Herrero JAV, Abdussalam A, Kasi A. Rectal exam. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island: StatPearls Publishing; 2022 Jul. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537356/

15. Fadila AN, Rahaju AS, Tarmono T. Relationship of prostate-specific antigen


(PSA) and prostate volume in patients with biopsy proven benign prostatic
hyperplasia (BPH). Qanun Medika. 2020: 4(2): 171-7. Available from:
http://journal.um-surabaya.ac.id/index.php/qanunmedika/article/view/3426

16. Biaggioni I. Adrenoceptor agonist & sympathomimetic drugs. In: Katzung BG,
Vanderah TW. Basic & clinical pharmacology. 15th ed. New York: McGraw
Hill; 2020. p. 405, 467-8.

17. Westfall TC, Macarthur H, Weztfall DP. Adrenergic antagonist and antagonist.
In: Brunton LL, Hilal-Dandan R, Knollmann BC. Goodman & Gilman’s the
pharmacological basis of therapeutics. 13th ed. New York: McGraw Hill; 2018.
p. 208-10.

vi
18. Jun ZY, Lan YH, Hua XF, Chao CH, Hong LD, Da XX, et al. Efficacy and side
effects of drugs commonly used for the treatment of lower urinary tract
symptoms associated with benign prostatic hyperplasia. Frontiers in
Pharmacology. 2020 May; 658(11):2-17. Available from:
https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fphar.2020.00658/full

19. Lerner LB, McVary K, Barry MJ, Bixler BR, Dahm P, Das AK, et al.
Management of lower urinary tract symptoms attributed to benign prostatic
hyperplasia: AUA guideline part II – surgical evaluation and treatment. The
Journal of Urology. 2021; 206(4):818-26. Available from:
https://www.auajournals.org/doi/epdf/10.1097/JU.0000000000002184

vii

Anda mungkin juga menyukai