Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN NANDA


NOC NIC PADA PASIEN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah II
Dosen Pengampu :

Leni Merdawati. Ns.S.kep. M.kep

Disusun Oleh:

Kelompok 2

ANNISA MULIA (1811312008)

INTAN PERMATA SARI (1811312024)

MUTIARA HARIYANTO (1811313006)

AZZURA RISNAIRAJ (1811313014)

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami kirimkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa , karena atas rahmat
dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “BENIGNA PROSTAT
HIPERPLASIA” .Pada makalah ini kami tampilkan hasil diskusi kami, kami juga mengambil
beberapa kesimpulan dari hasil diskusi yang kami lakukan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu kami
dalam menyelesaikan laporan ini, diantaranya:
1. Yang terhormat Ibu Leni Merdawati. Ns.S.kep. M.kep selaku dosen mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah II
2. Pihak-pihak lain yang ikut membantu dalam pelaksanaan maupun proses
penyelesaian makalah ini.
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan bagi para
pembaca dan dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam proses pembelajaran. Namun,
kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan maupun pembahasan dalam
makalah ini, sehingga belum begitu sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki kekurangan- kekurangan tersebut sehingga
laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, 3 Februari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................................................i

Daftar Isi..........................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...........................................................................................................................1


1.2 Tujuan........................................................................................................................................1

BAB II ISI

2.1Anatomi Fisiologi Kelenjar Prostat............................................................................................2

2.2 Landasan Teoritis Penyakit........................................................................................................4


2.2.1 Definisi BPH ..................................................................................................................4
2.2.2 Etiologi BPH ..................................................................................................................5
2.2.3 Manifestasi Klinis Benigna Prostat Hiperplasia..............................................................6
2.2.4 Pemeriksaan Penunjang Dan Pemeriksaan Diagnostik Benigna Prostat Hiperplasia.....7
2.2.5 Penatalaksanaan Medis Dari Keperawatan Pada Benigna Prostat Hiperplasia...............8
2.2.6 Komplikasi Pada Penyakit Benigna Prostat Hiperplasia...............................................10
2.2.7 Web Of Causation Dari Benigna Prostat Hiperplasia...................................................12
2.3 Landasan Teoritis Asuhan Keperawatan Benigna Prostat Hiperplasia....................................11

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan..............................................................................................................................20

3.2 Saran........................................................................................................................................21

Daftar Pustaka................................................................................................................................22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Baugman 2000 mengatakan dalam Prabowo 2014, bahwa Benign Prostate


Hyperplasi (BPH) adalah suatu penyakit pembesaran atau hipertrofi dari prostat.
Hipertrofi bermakna bahwa dari segi kualitas terjadi pembesaran sel, namun tidak
diikui oleh jumlah (kuantitas). Namun , hiperplasia merupakan pembesaran ukuran
sel (kualitas) dan diikuti oleh penambahan jumlah sel (kuantitas). BPH seringkali
menyebabkan gangguan dalam eliminasi urine karena pembesaran prostat yang
cenderung kearah depan/menekan vesika urinaria.

Mitchell 2009 mengatakan dalam Prabowo 2014, Hiperplasia noduler


ditemukan pada sekitar 20% laki-laki dengan usia 40 tahun, meningkat 70& pada usia
60 tahun dan menjadi 90% pada usia 70 tahun. Pembesaran ini bukan merupakan
kanker prostat, karena konsep BPH dan karsinoma prostat berbeda. Secara anatomis,
sebenarnya kelenjar prostat merupakan kelenjar ejakulat yang membantu
menyemprotkan sprema dari saluran (ductus).Namun, pembesaran prostat yang terus
menerus akan berdampak pada obstruksi saluran kencing ( meatus uniaris internus).

1.2 Tujuan
1. Mengetahui definisi Benigna Prostat Hiperplasia
2. Mengetahui etiologi Benigna Prostat Hiperplasia
3. Mengetahui manifestasiklinis Benigna Prostat Hiperplasia
4. Mengetahui pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan diagnostikBenigna
Prostat Hiperplasia
5. Mengetahui penatalaksanaan medis dari keperawatan pada Benigna Prostat
Hiperplasia
6. Mengetahui komplikasi pada penyakit Benigna Prostat Hiperplasia
7. Mengetahui tentang Web Of Causation dari Benigna Prostat Hiperplasia

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Kelenjar Prostat

Sumber:https://www.edubio.info/2015/10/anatomi-organ-reproduksi-laki-laki.html?m=1

Kelenjar Prostat
Prostat adalah kelenjar seks tambahan terbesar pria yang ekresinya
berkontribusi pada cairan semen. Prostat terletak didalam rongga pelvis
ditembus oleh dua buah saluran, uretra dan ductus ejaculatorius.
Berbentuk seperti piramida terbalik dan mempunyai ukuran yang
bervariasi sekitar 4x3x2 sentimeter. Apex prostat merupakan bagian
paling bawah yang terletak di atas diapragma urogenitalis dan terletak satu
setengah sentimeter di belakang bagian bawah symfisis pubica. Basis
prostatae merupakan bagian atas prostat dan berhubungan dengan vesica
urinaria pada suatu bidang horizontal yang melalui bagian tengah
symphisis pubica. Konsistensinya keras, sebagian berupa kelenjar
sebagian berupa otot (Hendra Sutysna,2016).

2
Prostat terbungkus dalam sebuah kapsul jaringan ikat, kapsul ini
dilapisi lagi oleh fascia prostatica yang tebal (berasal dari fascia pelvica)
Prostat difiksasi oleh ligamentum puboprotaticum, fascia superior
diaphragmatis urogenitalis dan bagian depan musculus levator ani (Hendra
Sutysna,2016).

Sumber:https://sasetiawan.wo
rdpress.com/2014/06/20/kajian-histologi-anatomi-fisiologi-dan-patologi-prostat/amp/

Secara makroskopis kelenjar prostat dibagi menjadi empat buah lobus,


yaitu lobus anterior atau istmus yang terletak didepan uretra dan
menghubungkan lobus dexter dan lobus sinister. Bagian ini tidak
mengandung kelenjar dan hanya berisi otot polos. Lobus medius yang
terletak diantara uretra dan ductus ejaculatorius. Banyak mengandung
kelenjar dan merupakan bagian yang menyebabkan terbentuknya uvula
vesicae yang menonjol kedalam vesica urinaria bila lobus ini membesar.
Lobus posterior yang terletak dibelakang uretra dan dibawah ductus
ajakulatorius. Lobus lateralis yang terletak di sisisi kiri dan kanan uretra.
(Syaifuddin,2006)
Fungsi kelenjar prostat adalah menghasilkan cairan tipis seperti susu
yang mengandung asam sitrat dan asam fosfatase. Cairan ini ditambahkan
pada cairan semen pada waktu ejakulasi. Bila otot polos pada capsula dan
stroma berkontraksi , sekret yang berasal dari banyak kelenjar postat
diperas masuk ke urethra pars prostatica. Sekret prostata bersifat alkalis

3
dan membantu menetralkan suasana asam didalam vagina(Hendra
Sutysna,2016).

2.2 Landasan Teoritis Penyakit

2.2.1 Definisi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)


Benigna prostat hyperplasia merupakan penyakit perbesaran dari
prostat. BPH seringkali menyebabkan terganggunya eliminasi urine akibat
pembesaran prostat yang cenderung kearah depan sehingga menekan
vesika urinaria (Eko Prabowo & Andi Eka Pranata, 2014).
Yuliana Elin 2011 mengatakan dalam Huda Hurarif 2015, bahwa
Benigna prostat hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering
terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat.
Mitchell 2009 mengatakan dalam Prabowo 2014 ,bahwa Hiperplasia
noduler ditemukan pada sekitar 20% laki-laki dengan usia 40 tahun,
meningkat 70& pada usia 60 tahun dan menjadi 90% pada usia 70 tahun.
Pembesaran ini bukan merupakan kanker prostat, karena konsep BPH dan
karsinoma prostat berbeda. Secara anatomis, sebenarnya kelenjar prostat
merupakan kelenjar ejakulat yang membantu menyemprotkan sprema dari
saluran (ductus).Namun, pembesaran prostat yang terus menerus akan
berdampak pada obstruksi saluran kencing ( meatus uniaris i

4
sumber: adultpediatricuro.com

2.2.2Etiologi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

Purnomo 2007 mengatakan dalam Prabowo 2014 ,Penyebab terjadinya


BPH belum diketahui secara pasti, namun factor usia dan hormonal
menjadi predisposisi terjadinya BPH. Beberapa hipotesis menyebutkan
bahwa hyperplasia prostat sangat erat kaitannya dengan:
a. Peningkatan DHT (dehidrosteron)
Peningkatan enzim 5 alfa reduktsase dan reseptor androgen
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjer prostat mengalami
hyperplasia.
Hal ini terjadi karena, enzim 5 alfa reduktase dan reseptor androgen
(RA) berikatan membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel, yang
nantinya akan mensintesis protein growth factor yang akan
menstimulasi pertumbuhan sel prostat.
b. Ketidakseimbangan estrogen-testosteron
Ketidakseimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses
penuaaan yang terjadi pada pria, hormone estrogen akan meningkat
dan hormone testosterone akan menurun. Hal inilah yang akan
memicu terjadinya hyperplasia stroma dan epitel.
Estrogen di dalam prostat itu berfungsi dalam proliferasi sel-sel prostat
terhadap rangsangan hormone androgen, yang akan meningkatkan

5
jumlah reseptor androgen, dan mengurangi terjadinya kematian sel-sel
prostat (apoptosis).
c. Interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat
Peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth
factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan
hiperplasia stroma dan epitel, sehingga akan terjadi BPH.
d. Berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lamanya
hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
e. Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan menyebabkan poliferasi sel transit dan
memicu terjadinya BPH.

2.2.3 Manifestasi Klinis Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

Schwartz, 2000 dan Grace, 2006 dalam Prabowo 2014 mengatakan


BPH adalah penyakit yang diderita oleh laki-laki usia rata-rata 50 tahun.
BPH sebenarnya sekunder dari dampak obstruksi saluran kencing,
sehingga klien kesulitan untuk mengeluarkan urine.Berikut adalah
beberapa gambaran klinis pada klien BPH :
a. Gejala prostismus (nokturia, urgency, penurunan aliran urine)
Kondisi ini disebabkan oleh kemampuan vesika urinaria yang gagal
mengeluarkan urine secara spontan dan regular, sehingga volume urine
sebagian besar masih tertinggal di dalam vesika.
b. Retensi urine
Pada awal obstruksi, biasanya pancaran urine lemah, akan terjadi
hesistansi, intermitensi, urine menetes, dorongan mengejan yang kuat
saat miksi, dan retensi urine. Retensi urine sering dialami oleh
penderita BPH krronik. Secara fisiologis vesika urinaria memiliki
kemampuan untuk mengeluarkan urine melalui kontraksi otot
destrusor. Namun obstruksi yang berkepanjangan akan membuat

6
beban kerja m. destrusor semakin berat dan pada akhirnya akan
mengalami dekompensasi.
c. Pembesaran prostat
Hal ini diketahui melalui rectal toucher (RT) anterior. Biasanya
didapatkan gambaran pembesaran prostat dengan konsistensi jinak.
d. Inkontinensia
Inkotinensia yang terjadi menunjukkan bahwa m. destrusor gagal
melakukan kontraksi. Dekompensasi yang berlangsung lama akan
mengiritabilitas serabut syaraf urinarius, sehingga control untuk
melakukan miksi hilang.

2.2.4 Pemeriksaaa Diagnostik dan Pemeriksaan Penunjang Benigna


Prostat Hiperplasia (BPH)
Grace 2006 mengatakan dalam Prabowo 2014, bahwa pemeriksaan
klinis dilakukan untuk,mengetahui apakah pembesaran ini bersifat
bebenigna atau maligna dan untuk memastikan tidak adanya penyakit
penyakit penyerta lainnya.Berikut pemeriksaannya:
1) Urinalisis dan Kultur Urine
Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan
RBB (Red Blood Cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya
perdarahan / hematuria.
2) DPL (Deep Peritoneal Lavage)
Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya
perdarahan internal dalam abdomen. Sampel yang diambil adalah
cairan abdomen dan diperiksa sel darah merahnya.
3) Ureum, Elektrolit dan Serum Kreatinin
Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini
sebagai data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari
BPH, karena obstruksi yang berlangsung kronis seringkali

7
menimbulkan hidronefrosis yang lambat laun akan memperberat
fungsi ginjal dan pada akhirnya menjadi gagal ginjal.
4) PA ( Patologi Anatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca
operasi. Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis
untuk mengetahui apakah hanya berseifat benigna atau maligna,
sehingga akan menjadi landasan treatment selanjutnya.
5) Catatan Harian Berkemih
Setiap hari perlu dilakukan evaluasi output urine, sehingga
akan terlihat bagaimana siklus rutinitas miksi dari pasien. Data ini
menjadi bekal untuk membandingkan dengan pola eleminasi urine
yang normal.
6) Urovloumetri
Dengan menggunakan alat pengukur, maka akan terukur
pancaran urine. Pada obstruksi dini seringkali pancaran melemah
bahkan meningkat.. hal ini disebabkan obstruksi dari kelenjar prostat
pada traktus urinarius. Selain itu, volume residu urine juga harus
diukur. Normalnya residual urine < 100ml. namun, residual yang
tinggi membuktikan bahwa vesika urinaria tidak mampu
mengeluarkan urine secara baik karena adanya obstruksi.
7) USG Ginjal dan Vesika Urinaria
USG ginjal bertujuan untuk melihat adanya komplikasi
penyerta dari BPH, misalnya hidronephrosis. Sedangkan USG pada
vesika urinaria akan memperliharkan gambaran pembesaran kelenjar
prostat.

2.2.5 Penatalaksanaan Medis Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)


Dalam Keperawatan
Penyakit BPH merupakan penyakit bedah, sehingga terapi bersifat
simptomatis untuk mengurangi tanda dan gejala yang diakibatkan oleh

8
obstruksi pada saluran kemih. Terapi simptosis ditujukan untuk
merelaksasi otot polos prostat, sehingga obstruksi akan berkurang. Jika
keluhan masih bersifat ringan, maka observasi diperlukan dengan
pengobatan simptosis untuk mengevaluasi perkembangan klien. Namun,
jika telah terjadi obstruksi / retensi urine, infeksi, vesikolithiasis,
insufiensi ginjal, maka harus dilakukan pembedahan (Eko Prabowo &
Andi Eka Pranata,2014).

1) Terapi Simptomatis
Menurut Schwartz 2000 dalam Prabowo 2014,Pemberian obat
golongan reseptor alfa-adrenegik inhibitor mampu merelaksasikan
otot polos prostat dan saluran kemih akan lebih terbuka. Obat
goloingan 5-alfa-reduktase inhibitor mampu menurunkan kadar
dehidrotesteron intraprostat, sehingga dengan turunnya kadar
testosterone dalam plasma maka prostat akan mengecil .
2) TUR – P (Transuretral Resection Prostatectomy)
Tindakan ini merupakan tindakan pembedahan non insisi, yaitu
pemotongan secara elektris prostat melalui meatus uretralis.
Jaringan prostat yang membesar dan menghalangi jalannya urine
akan dibuang melalui elektrokauter dan dikeluarkan melalui irigasi
dilator. Tindakan ini memiliki banyak keuntungan, yaitu
meminimalisir tindakan npembedahan terbuka, sehinggga masa
penyembuhan lebih cepat dan tingkat infeksi resiko bisa ditekan.
3) Pembedahan Terbuka (Prostatectomy)
Menurut Schwartz 2000 dalam Prabowo 2014 tindakan ini
dilakukan jika prostat terlalu besar diikuti oleh penyakit penyerta
lainnya, misalnya tumor vesika urinaria, vesikolithiasis, dan
adanya adenoma .

9
2.2.6 Komplikasi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
1. Gross hematuria dan Urinary traktus ingection (UTI).
2. Retensi urin akut dan involusi kontaksi kandung kemih.
3. Refluks kandung kemih, hidroureter,dan hidronefrosis
(Nursalam dan Fransisca,2009,Hal 137)

10
2.2.7 WOC Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

Degeneratif
Penurunan

Dehidrotestoteron Esterogen Testoteron Transforming


3
meningkat meningkat turun Peningkatan

Epidermal
Hiperpalasia
epitel & stroma
Peningkatan sel prostat
stem
BPH
Proliferasi sel

Obstuksi sel Kronis Secondary Effect


kencing bawah Iritabilitas N.
Fungsi seksual
Residual urine tinggi urinarius
turun

Kehilangan
Tekanan intravestika Disfungsi Seksual
kontrol miksi
meningkat
Inkontinensia
Refleks berkemih Sensistifitas
Urinarius Fungsional
meningkat meningkat
Hambatan
Urgensi Nyeri Akut

Retensi Urine

11
( Sumber : Eko Prabowo &
Andi Eka Pranata,2014,Hal :
134 )

Ketika terjadinya proses degenaratif pada laki-laki, hormon estrogen akan


meningkat dan hormon testosteron menurun, pada situasi ini juga menyebabkan
peningkatan dehidrotestosteron, peningkatan epidermal growth factor dan
penurunan transforming growth factor sehingga menyebabkan hiperplasia epitel
dan stroma prostat, selain itu peningkatan sel stem yang mengakibatkan
proliferasi sel juga dapat menyebabkan hiperplasia. Hiperplasia epitel dan stroma
prostat yang berkelanjutan dari ploriferasi sel yang terjadi terus menerus
mengakibatkan terjadinya Benigna Prostat Hiperplasia atau biasa disebut BPH.

BPH menyebabkan obstruksi saluran kencing bawah sehingga residual urin


tinggi, tekanan intravesika meningkat, refleks berkemih juga meningkat, dan
terjadi urgensi menyebabkan terjadinya retensi urine. BPH pada fase kronis
menyebabkan iritabilitas pada nervus urinarius sehingga penderita BPH
kehilangan kontrol berkemih yang menyebabkan inkontinensia urine.Efek
sekunder dari BPH berupa fungsi seksual menurun menyebabkan penderitanya
mengalami disfungsi seksual

2.3 Landasan Teoritis Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
1. Anamnesa
Prostat hanya dialami pada laki-laki. Keluhan yang sering dialami oleh
klien dikenal dengan istilah LUTS (Lower Urininary Tract
Symptoms), yaitu hesistansi, pancaran urin lemah, intermittensi,
urgensi, ada sisa urin pasca miksi, frekuensi dan disuria (jika obstruksi
meningkat)

2. Pemeriksaan Fisik

12
 Peningkatan nadi dan tekanan darah (tidak signifikan, kecuali
ada penyakit yang menyertai). Ini merupakan bentuk
kompensasi dari nyeri akibat obstruksi meatus uretralis dan
adanya distensi bladder. Jika retensi urin berlangsung lama
akan ditemukan ditemukan tanda dari gejala urosespsis
(peningkatan suhu tubuh) .
 Obstruksi kronis pada saluran kemih akibat BPH menimbulkan
retensi urin pada bladder hal ini akan memicu terjadinya
refluks urin dan terjadi hidronefrosis serta pyelonefrosis,
sehingga jika kita palpasi secara secara bimanual akan
ditemukan rabaan pada ginjal. Pada palpasi suprasimfisis akan
teraba distensi bladder
 pada pemeriksaan penis, pada pemeriksaan ini uretra dan
skrotum tidak akan ditemukan kelainan kecuali penyakit ini
disertai oleh penyakit seperti stenosis meatus, stiktur uretralis,
uretralithiasis, kanker penis maupun epididimitis.
 Pemeriksaan rectal toucher, pemeriksaan ini merupakan
pemeriksaan sederhgana dan paling mudah untuk menegakkan
BPH. Tujuannya adalah menentukan konsistensi system
persarafan unit resiko uretra dan besarntya prostat.

(Eko Prabowo& Andi Eka Pranata,2014,hal 137)

3. Riwayat Kesehatan

a. Pola Persepsi dan Penanganan Kesehatan

Penyakit BPH umumnya terjadi pada pasien laki-laki yang sudah tua,
kita mengkaji bagaimana persepsi pasien terhadap keluhan yang
dialaminya, apakah ketika pasien mengalami gangguan saat berkemih,
tidak bisa berkemih mencari bantuan ke pelayanan kesehatan atau mencoba

13
berbagai alternatif pilihan yang lain seperti mengkonsumsi obat tradisional,
mencari pengobatan alternatif dan bentuk layanan lainnya. Apakah pasien
mempersepsikan bahwa gejala dan tanda gangguan eliminasi sebagai
sesuatu yang normal karena proses menua. Apakah saat dirawat di RS
pasien memahami kondisi yang dialaminya, penyakit sekarang, dan
penyebab dari penyakit BPH.
b. Pola Nutrisi dan Metabolik
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi
pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah,
penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan
dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
c. Pola Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami
oleh pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai
aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit,
frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada
postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur
pembedahan sehingga perlu adanya observasi drainase kateter untuk
mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi
warna urin, contoh: merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan
tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan
bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan
terjadinya konstipasi. Pada post operasi BPH, karena perubahan pola
makan dan makanan.
d. Pola Latihan-Aktivitas
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi yang lemah dan
terpasang traksi kateter selama 6 - 24 jam. Pada paha yang dilakukan
perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan, pasien

14
juga merasa nyeri pada prostat dan pinggang. Pasien dengan BPH
aktivitasnya sering dibantu oleh keluarga
.

e. Pola Istirahat dan Tidur


Pada pasien dengan BPH biasanya istirahat dan tidurnya terganggu,
disebabkan oleh nyeri pinggang dan BAK yang keluar terus-menerus
dimana hal ini dapat mengganggu kenyamanan pasien. Jadi perawat perlu
mengkaji berapa lama pasien tidur dalam sehari, apakah ada perubahan
lama tidur sebelum dan selama sakit/ selama dirawat.
f. Pola Konsep Diri dan Persepsi Diri
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas
egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang
dapat dilihat dari tanda- tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan
perilaku.
g. Pola Kognitif-Perseptual
Pasien BPH biasanya terganggu karena pengaruh usia lanjut. Namun
tidak semua pasien mengalami hal itu, jadi perawat perlu mengkaji
bagaimana alat indra pasien, bagaimana status neurologis pasien, apakah
ada gangguan.
h. Pola Peran dan Hubungan
Pada pasien dengan BPH merasa rendah diri terhadap penyakit yang
diderita nya. Sehingga hal ini menyebabkan kurangnya sosialisasi pasien
dengan lingkungan sekitar. Perawat perlu mengkaji bagaimana hubungan
pasien dengan keluarga dan masyarakat sekitar dan apakah ada perubahan
peran selama pasien sakit.
i. Pola Reproduksi-Seksual
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang
mengalami masalah tentang efek kondisi/ terapi pada kemampuan

15
seksualnya, takut inkontinensia/ menetes selama hubungan intim,
penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri
tekan pada prostat.

j. Pola Pertahan Diri dan Toleransi Stress


Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang
mengalami masalah tentang efek kondisi/ terapi pada kemampuan
seksualnya, takut inkontinensia/ menetes selama hubungan intim,
penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri
tekan pada prostat.
k. Pola Keyakinan dan Nilai
Pasien BPH mengalami gangguan dalam hal keyakinan, seperti
gangguan dalam beribadah shalat, pasien tidak bisa melaksanakannya,
karena BAK yang sering keluar tanpa disadari. Perawat juga perlu
mengkaji apakah ada pantangan dalam agama pasien untuk proses
pengobatan.
(Leni Merdawati & Hema Malini,2019, Hal 41)

b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang biasa muncul pada pasien dengan BPH
adalah :
1) Retensi Urin (00023)
a) Definisi : pengosongan kandung kemih tidak tuntas
b) Batasan Karakteristik :
- Tidak ada haluaran urin
- Distensi kandung kemih
- Urin menetes
- Sering berkemih
- Residu urin
- Sensasi kandung kemih penuh

16
- Berkemih sedikit
c) Factor yang Berhubungan :
- Sumbatan
- Tekanan ureter tinggi
(NANDA 2019-2020 , Hal 194 )

2) Nyeri Akut (00132)


a) Definisi : pengalaman sensori dan emosional tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang
actual atau potensial, atau digambarkan dalam kerusakan
(International Assosiation for the Study of Pain) ; awitan tiba-
tiab atau lambat dengan intensitas ringan hingga berat dengan
akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung
< 6 bulan.
b) Batasan Karakteristik :
- Perubahan selera makan, tekanan darah, frekuensi jantung,
frekuensi pernapasan.
- Diaphoresis
- Perilaku
- Ekspresi wajah nyeri
- Melindungi area nyeri dan focus menyempit (gangguan
persepsi nyeri, hambatan proses berpikir, penurunan interaksi)
- Putus asa
- Melaporkan nyeri secara verbal
- Dilatasi pupil
- Focus pada diri sendiri
- Gangguan tidur
c) Faktor yang Berhubungan
- Agens cedera (biologis, zat kimia, fisik, psikologis)
(NANDA, 2019-2020 Hal 445 )

17
3) Disfungsi Seksual (00059)
a) Definisi : suatu kondisi yang ditandai dengan individu
mengalami perubahan fungsi seksual selama fase respon
seksual hasrat, terangsang dan/ atau orgasme, yang dipandang
tidak memuaskan, tidask bermakna, atau tidak adekuat.
b) Batasan Karakteristik
- Keterbatasan aktual akibat penyakit
- Perubahan dalam mencapai persepsi peran seks dan kepuasan
seksual
- Tidak mampu dalam mencapai kepuasan yang diharapkan.
- Persepsi perubahan pada rangsangan seksual
- Persepsi defiseinsi hasrat seksual
- Persepsi keterbatasan akibat penyakit
- Mengungkapkan masalah
c) Faktor yang Berhubungan
- Perubahan struktur tubuh (proses penyakit)
- Tidak ada privasi
- Model peran tidak adekuat
(NANDA 2019-2020, Hal 305)

Intervensi Keperawatan

1) Retensi Urin
Dx : Retensi Urin berhubungan dengan sumbatan, tekanan ureter
tinggi
NOC : 0503. Eliminasi Urin
Kriteria Hasil :
1. Tidak adanya retensi urin ( Diharapkan tidak ada,skala 5)
2. Pola eliminasi (Diharapkan tidak terganggu,skala 5)

18
3. Kantong kemih kosong dengan sepenuhnya (Diharapkan
tidak terganggu,skala 5)
4. Nyeri saat kencing (Diharapkan tidak ada, skala 5)
5. Mengenali keinginan untuk berkemih (Diharapkan tidak
terganggu, skala 5)
6. Inkontinensia urin (Diharapkan tidak ada, skala 5)
(NOC, Edisi 5 Hal 85)

NIC : 0620. Perawatan Retensi Urin


1) Pasang kateter urine, sesuai kebutuhan.
2) Anjurkan pasien/keluarga untuk mencatatat urine
output,sesuai kebutuhann.
3) Monitor intake output.
4) Monitor derajat distensi kandung kemih dengan palpasi
dan perkusi.
(NIC Edisi 6, Hal 386)

0580. Kateterisasi Urin

1) Jelaskan prosedur dan rasionalisasi katererisasi.


2) Pasang alat dengan tepat.
3) Berikan privasi dan tutupi pasien dengan baik, untuk
kesopanan (yaitu, hanya mengekspos area genitalia).
4) Lakukan atau ajarkan pasien untuk membersihkan selang
kateter di waktu yang tepat.
5) Lakukan pengosongan kantung kateter, jika diperlukan.
6) Dokumentasikan perawatan termasuk ukuran kateter,
jenis, dan jumlah pengisian bola kateter.
7) Ajarkan pasien dan keluarga mengenai perawatan kateter
yang tepat.
(NIC Edisi 6, Hal 124)

19
2) Nyeri Akut
Dx : Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera.
NOC : 1605. Kontrol Nyeri
Kriteria Hasil :
1) Mengenali kapan nyeri terjadi (Diharapkan secara
konsisten menunjukkan, skala 5)
2) Menggambarkan faktor penyebab (Diharapkan secara
konsisten menunjukkan, skala 5)
3) Menggunakan tindakan pengurangan nyeri tanpa analgetik
(Diharapkan secara konsisten menunjukkan, skala 5)
4) Mengenali apa yang terkait dengan gejala nyeri
(Diharapkan secara konsisten menunjukkan, skala 5)
5) Melaporkan nyeri yang terkontrol (Diharapkan secara
konsisten menunjukkan, skala 5)
(NOC Edisi 5, Hal 386)

NIC : 1400. Manajemen Nyeri


1) Lakukan pengkajian nyeri, komprehensif yang meliputi
lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas, atau beratnya nyeri dan factor pencetus.
2) Gali pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai nyeri.
3) Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan dirasakan, dan antisipasi dari
ketidaknyamanan akibat prosedur.
4) Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri.
5) Dorong pasien untuk memonitor nyeri dan menangani
nyerinya dengan tepat.
6) Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi.

20
7) Kolaborasi dengan pasien, orang terdekat dan tim
kesehatan lainnya untuk memilih dan
mengimplementasikan tindakan penurunan nyeri non-
farmakologi sesuai kebutuhan.
8) Gunakan tindakan pengontrol nyeri sebelum nyeri
bertambah berat.
9) Evaluasi keefektifan dan tindakan pengontrolan nyeri yang
dipakai selama pengkajian nyeri dilakukan.
10) Berikan individu penurunan nyeri yang optimal dengan
peresepan analgesic.
(NIC Edisi 6, Hal 198)

3) Disfungsi Seksual
Dx : Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur
tubuh (proses penyakit)
NOC : 0119 Sexual Functioning
Kriteria hasil:
1) Menunjukkan gairah seksual (Diharapkan secara kon
sisten menunjukkan, skala 5)
2) Menunjukkan orgasme (Diharapkan secara konsisten
menunjukkan, skala 5)
3) Beradaptasi dan menerapkan teknik adaptasi seksual
(Diharapkan secara konsisten menunjukkan, skala 5)
4) Menunjukkan kepuasan seksual dan kemampuan
berhubungan seksual (Diharapkan secara konsisten me
nunjukkan, skala 5)
5) Melaporkan adanya kepuasan dari pasangan seksual
(Diharapkan secara spontan menunjukkan, skala 5)

21
6) Memahami keterbatasan kondisi untuk melaksanakan
aktifitas seksual (Diharapkan secara spontan menun
jukkan, skala 5)
(NOC Edisi 5, Hal 93)

NIC : 5248 Sexsual Counseling

Aktifitas keperawatan :

1) Jalin hubungan secran terapeutik dengan klien secara


kontinue
2) Jamin privasi dan yakinkan klien merasa nyaman dan
percaya diri
3) Beritahu klien bahwa seksualitas merupakan sebuah
bagian dari kehidupan yang penting dan karena suatu hal
(penyakit, pengobatan dan stress) terjadi gangguan fungsi
4) Diskusikan dampak dari penyakit klien terhadap pola
seksualitas
5) Diskusikan dengan klien tentang kebutuhan untuk
aktifitas seksual
6) Hibur klien untuk mengurangi kecemasan akibat
penyakitnya
7) Jelaskan kepada klien untuk aktifitas seksual pasca
penyembuhan penyakitya
8) Bantu klien untuk menjelaskan gangguan aktifitas
seksualnya kepada pasangannya karena proses
penyakit.
(NIC Edisi 6, Hal 132)

22
BAB III

PENUTUP

3.2 Kesimpulan

Benigna prostat hyperplasia merupakan penyakit perbesaran dari prostat. BPH


seringkali menyebabkan terganggunya eliminasi urine akibat pembesaran prostat
yang cenderung kearah depan sehingga menekan vesika urinaria (Eko Prabowo &
Andi Eka Pranata, 2014).

BPH disebabkan oleh beberapa factor seperti : Peningkatan DHT


(dehidrosteron), Ketidakseimbangan estrogen-testosteron, Interaksi antar sel stroma
dan sel epitel prostat , Berkurangnya kematian sel (apoptosis), Teori stem sel.

Penderita BPH sendiri kondisinya seperti saat membuang urin masih ada yang
tersisa urin di kandung kemihnya, pancaran urinnya lemah, terasa sakit saat buang
akir kecil karna adanya pembesaran prostat, serta inkoninensia urin. Sedangkan untuk
memeriksa apakah seseorang tersebut menderita BPH atau tidaknya dapat dengan
menggunakan pemeriksaan : Urinalisis dan Kultur Urine, DPL (Deep Peritoneal
Lavage), Ureum, Elektrolit dan Serum Kreatinin, PA ( Patologi Anatomi), Catatan
Harian Berkemih, Urovloumetri dan USG Ginjal dan Vesika Urinaria.

Penyakit BPH sendiri dapat ditangani dengan proses pembedahan, seperti


pembedahan terbuka. Namun pembedahan terbuka ini dilakukan jika prostat terlalu
besar dan diikuti penyakit seperti tumor, vesika urinaria, dll. Namun juga bisa dengan

23
beberapa terapi meskipun bersifat simptomatis. Contohnya dengan pemberian obat
golongan reseptor alfa-adrenegik inhibitor mampu merelaksasikan otot polos prostat
dan saluran kemih akan lebih terbuka.

3.3 Saran

Agar terhindar dari penyakit BPH sebaiknya pria yang sudah lanjut usia harus
bisa menjaga diri supaya bisa menhindar dan mecegah adanya penyakit BPH. Jika
ada tanda-tanda seperti : sering buang air kecil, tergesa-gesa untuk buang air kecil,
buang air kecil malam hari lebih dari satu kali, sulit menahan buang air kecil,
pancaran melemah, akhir buang air kecil belum terasa kosong, menunggu lama pada
permulaan buang air kecil, harus mengedan saat buang air kecil, buang air kecil
terputus-putus, dan waktu buang air kecil memanjang yang akhirnya menjadi retensi
urin dan terjadi inkontinen karena overflow segeralah periksakan kedokter untuk
peninjauan lebih lanjut agar penyakitnya tidak semakin parah.

Lalu kita sebagai tenaga keperawatan juga hendaknya dapat memberikan


asuhan keperawatan secara professional agar klien kita juga mendapat perawatan
yang baik dan maksimal.

24
DAFTAR PUSTAKA

Prabowo, Eko,dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan. Yogyakarta:


Nuha Medika.
Nursalam, dkk. 2009. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta :Salemba Medika.
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC.
Mochtar, Chaidir A, dkk. 2015. Panduan Penatalaksanaan Klinis, Pembesaran
Prostat Jinak. Jakarta: Ikatan Ahli Urologi Indonesia.
Huda Nurarif, Amin, dkk.2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosis Medis dan NANDA NIC-NOC.Yogyakarta:Mediaction.
Sutysna,Hendra. Tinjauan Anatomi Klinik Pada Pembesaran Kelenjar Prostat.
Edisi 1 (2016): 4.Print.
Merdawati, Leni,dkk.2019.Keperawatan Medikal Bedah II. Depok:PT
Rajagrafindo Persada

25

Anda mungkin juga menyukai