Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA

Pembimbing:
Dr. Kesuma Mulya, Sp.Rad

Disusun Oleh:
Afifah Haris
1102014003

Kepaniteraan Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
Bagian Radiologi RSUD Cilegon
Periode 6 Agustus – 24 Agustus 2018
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................. 1


BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Definisi ............................................................................................... 3
2.2. Anatomi dan Fisiologi ........................................................................ 3
2.3. Etiologi ............................................................................................... 5
2.4. Epidemiologi ...................................................................................... 7
2.5. Patofisiologi ....................................................................................... 7
2.6. Klasifikasi ......................................................................................... 9
2.7. Gejala Klinis....................................................................................... 10
2.8. Diagnosis ............................................................................................ 10
2.9. Tatalaksana ........................................................................................ 14
2.10. Komplikasi ....................................................................................... 17
BAB 3 KESIMPULAN ................................................................................. 18
Daftar Pustaka .................................................................................................. 19
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
terselesaikannya referat dengan judul Benigna Prostat Hiperplasia.
Karya tulis akademik ini merupakan bagian dari tugas kepanitraan klinik
sebagai Dokter Muda pada Departemen Radiologi RSUD Cilegon. Sumber-sumber
yang saya gunakan dalam penulisan ini bersumber dari buku teks, jurnal ilmiah dan
referensi online.
Tidak lupa rasa terimakasih kepada yang terhormat Dr. Kesuma Mulya, Sp.
Rad, atas bimbingannya selama proses penyusunan referat ini.
Kami berharap referat ini dapat memberikan manfaat yang positif dan juga
dapat berguna sebagai sumber informasi atau referensi di kemudian hari. Kami
sadar dalam penulisan referat ini masih terdapat kekurangan oleh karena itu Kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar dapat bermanfaat di
kemudian hari.

Jakarta, Agustus 2018

Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
Benigna prostat hiperplasia didefinisikan secara histologis sebagai proses
penyakit yang ditandai dengan stroma dan hiperplasia sel epitel dimulai di zona
periurethral dari prostat. Kelenjar prostat merupakan kelenjar yang terdiri dari
jaringan kelenjar dinding uretra yang mulai menonjol pada masa pubertas.
Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan kandung kemih, uretra,
kedua ureter, vas deferens, dan vesikula seminalis. Prostat terletak diatas diafragma
panggul sehingga uretra yang terfiksasi dalam diafragma tersebut, dapat terobek
bersama diafragma bila terjadi cedera. Prostat dapat diraba dalam pemeriksaan
colok dubur.
Faktor risiko yang paling berperan dalam BPH adalah usia, selain adanya
testis yang fungsional sejak pubertas (faktor hormonal). Dari berbagai studi terakhir
ditemukan hubungan positif antara BPH dengan riwayat BPH dalam keluarga,
kurangnya aktivitas fisik, diet rendah serat, konsumsi vitamin E, konsumsi daging
merah, obesitas, sindrom metabolik, inflamasi kronik pada prostat, dan penyakit
jantung.
Benigna prostat hiperplasia (BPH) merupakan penyakit tersering kedua di
klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih. Prevalensi histologi BPH
meningkat dari 20% pada laki-laki berusia 41-50 tahun, 50% pada laki-laki usia 51-60
tahun hingga lebih dari 90% pada laki-laki berusia di atas 80 tahun.
Keluhan utama pasien dengan BPH biasanya adalah LUTS yang
mengganggu yang ditandai dengan saluran kencing frekuensi, urgensi, nokturia,
penurunan dan aliran intermiten aliran dan sensasi pengosongan kandung kemih
yang tidak lengkap.
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan salah satunya
adalah rectal toucher. Modalitas pencitraan untuk menegakkan diagnosis BPH
dapat dilakukan dengan pemeriksaan BNO, USG, CT-scan maupun MRI.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Benigna prostat hiperplasia didefinisikan secara histologis sebagai proses
penyakit yang ditandai dengan stroma dan hiperplasia sel epitel dimulai di zona
periurethral dari prostat. Keluhan utama pasien dengan BPH biasanya adalah LUTS
yang mengganggu yang ditandai dengan saluran kencing frekuensi, urgensi,
nokturia, penurunan dan aliran intermiten aliran dan sensasi pengosongan kandung
kemih yang tidak lengkap.

2.2. Anatomi dan Fisiologi

Kelenjar prostat merupakan kelenjar yang terdiri dari jaringan kelenjar


dinding uretra yang mulai menonjol pada masa pubertas. Biasanya kelenjar prostat
dapat tumbuh seumur hidup. Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan
kandung kemih, uretra, kedua ureter, vas deferens, dan vesikula seminalis. Prostat
terletak diatas diafragma panggul sehingga uretra yang terfiksasi dalam diafragma
tersebut, dapat terobek bersama diafragma bila terjadi cedera. Prostat dapat diraba
dalam pemeriksaan colok dubur. Selain mengandung jaringan kelenjar, kelenjar
prostat mengandung cukup banyak jaringan fibrosa dan jaringan otot. Kelenjar ini
ditembus oleh uretra dan kedua duktus ejakulatorius dan dikelilingi oleh suatu
pleksus vena. Kelenjar limfe regionalnya adalah kelenjar limfe hipogastrik, sakral,
obturator, dan iliaka eksterna. Sebagai organ gonad yang berasal dari mesonefros,
testis didarahi oleh cabang aorta, yaitu a.spermatika interna. Vas deferens berasal
dari sistem kemih yang didarahi oleh a. diferensialis dari arah kandung kemih,
sedangkan a. spermatika eksterna mendarahi otot funikulus spermatikus dan otot
kremaster yang merupakan lanjutan arteri otot dinding perut. Darah vena mengalir
melalui pleksus pampiniformis yang bermuara jauh disebelah kranial; yang sebelah
kiri ke dalam vena renalis, sebelah kanan ke vena kava inferior.

2.3. Etiologi
Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan
testosterone dan estrogen karena produksi testosterone menurun dan terjadi
konversi testosterone menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer.
Berdasarkan autopsi perubahan mikroskopik ini terus berkembang, akan terjadi
perubahan patologik anatomik. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat,
resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi
lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi
akan terlihat seperti balok yang disebut trabekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat
menerobos keluar diantara serat detrusor. Tonjolan yang kecil dinamakan sakula,
sedangkan yang besar bernama divertikulum. Fase penebalan detrusor ini disebut
fase kompensasi otot dinding. Apabila keadaan berlanjut, detrusor menjadi lelah
dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin.
Faktor risiko yang paling berperan dalam BPH adalah usia, selain adanya
testis yang fungsional sejak pubertas (faktor hormonal). Dari berbagai studi terakhir
ditemukan hubungan positif antara BPH dengan riwayat BPH dalam keluarga,
kurangnya aktivitas fisik, diet rendah serat, konsumsi vitamin E, konsumsi daging
merah, obesitas, sindrom metabolik, inflamasi kronik pada prostat, dan penyakit
jantung. Ada beberapa teori yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia
prostat antara lain :
1. Teori dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron (DHT) suatu androgen yang berasal dari testosterone melalui
kerja 5α-reduktase dan metabolitnya 3α-androstanediol merupakan hormon pemicu
utama terjadinya proliferasi kelenjar dan stroma pada pasien BPH. DHT berikatan
dengan reseptor pada nukleus dan pada gilirannya merangsang sintesis DNA, RNA,
faktor pertumbuhan, dan protein sitoplasma lainnya yang kemudian menyebabkan
hiperplasia.
2. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia lanjut, kadar testosteron menurun sedangkan kadar estrogen relatif tetap
sehingga perbandingan antara estrogen-testosteron relatif meningkat. Estrogen
pada prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan
cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon
androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah
kematian sel-sel prostat. Akibatnya sel-sel prostat mempunyai umur yang lebih
panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar.
3. Interaksi stroma-epitel
Sel-sel stroma mendapat stimulasi dari DHT dan estradiol yang kemudian akan
menstimulasi faktor pertumbuhan sehingga mempengaruhi sel-sel stroma itu
sendiri dan sel epitel. Stimulasi itu menyebabkan proliferasi sel-sel stroma maupun
epitel yang mengakibatkan hiperplasia prostat.
4. Berkurangnya kematian sel prostat
Sampai sekarang belum dapat dijelaskan dengan pasti. Tapi diduga hormon
androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel (apoptosis), estrogen
mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, dan faktor pertumbuhan TGF-β
berperan dalam proses ini. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami
apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi
meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat.
5. Teori sel stem
Sel stem mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif sehingga mampu
mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis. Kehidupan sel ini dipengaruhi
oleh keberadaan hormon androgen. Kadar androgen yang meningkat menyebabkan
ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi sel stroma maupun epitel
yang berlebihan.

2.4. Epidemiologi
Benigna prostat hiperplasia (BPH) merupakan penyakit tersering kedua di
klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih. Prevalensi histologi BPH
meningkat dari 20% pada laki-laki berusia 41-50 tahun, 50% pada laki-laki usia 51-60
tahun hingga lebih dari 90% pada laki-laki berusia di atas 80 tahun.
Menurut data WHO (2013), diperkirakan terdapat sekitar 70 juta kasus
degeneratif, salah satunya ialah BPH, dengan insidensi di negara maju sebanyak
19%, sedangkan di negara berkembang sebanyak 5.35% kasus. Tahun 2013 di
Indonesia terdapat 9,2 juta kasus BPH, di antaranya diderita oleh laki-laki berusia
di atas 60 tahun.

2.5. Patofisiologi

Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda
obstruksi saluran kemih adalah penderita harus menunggu keluarnya kemih
pertama, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah,
dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot
detrusor yang mengakibatkan bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit
ditahan, dan dysuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi
dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-
putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang itdak sempurna pada saat
miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih
sehingga sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini diberi
skor untuk menentukan berat keluhan klinis.
Apabila kandung kemih menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin
sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih, dan
timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat
akan terjadi sumbatan total sehingga penderita tidak mampu miksi. Karena produksi
urin terus terjadi, pada suatu saat kandung kemih tidak mampu lagi menampung
urin sehingga tekanan di dalam kandung kemih terus meningkat. Apabila tekanan
kandung kemih menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan
terjadi inkontinensia paradox. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter,
hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila
terjadi infeksi. Pada waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga lama-
kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam
kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluiks,
dapat terjadi pielonefritis.

2.6. Klasifikasi
Derajat berat gejala BPH di bedakan menjadi 4 stadium:
1. Stadium I
Apabila batas atas prostat mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml ada
obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa, seperti alfazosin
dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan,
tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat Sedikitpun kekurangannya
adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
2. Stadium II
Apabila ditemukan posisi prostat lebih menonjol sehingga dapat teraba dan
sisa urin lebih dari 50ml sampai 100ml, ada keluhan retensi urine tetapi kandung
kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis. Ada rasa tidak
enak buang air kecil atau disuria dan menjadi nocturia. Pada stadium II merupakan
indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksiendoskopi
melalui uretra (trans uretra).
3. Stadium III
Apabila ditemukan batas atas prostat sedikit teraba atau tidak dapat teraba
lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml. Setiap buang air kecil urine tersisa kira-kira 150
cc. Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan
prostat sudah cukup besar, sehingga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam.
Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan
melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes
secara periodik (over flowin kontinen). Pada stadium IV yang harus dilakukan
adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter
atau sistotomi.
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia,
dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang
turun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine
terns menerus setelah berkemih), retensi urine akut. (skripsi vol prostat)

2.7. Gejala Klinis


Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter anus,
mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan prostat. Pada
perabaan melalui colok dubur, harus diperhatikan konsistensi prostat (pada
pembesaran prostat jinak konsistensinya kenyal), adakah asimetri, adakah nodul
pada prostat, apakah batas atas dapat diraba. Derajat berat obstruksi dapat diukur
dengan menentukan jumlah sisa urin setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan
dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat
diketahui pula dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Sisa
urin lebih dari 100cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi melakukan
intervensi pada hyperplasia prostat. Derajat berat obstruksi dapat pula diukur
dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri.
Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12ml/detik dan pancaran
maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran menurun
antara 6-8 ml/detik, sedangkan maksimal pancaran adalah sekitar 15 ml/detik atau
kurang. Kelemahan detrusor dan obstruksi infravesikal tidak dapat dibedakan
dengan pengukuran pancaran kemih.

2.8. Diagnosis
Dengan pemeriksaan radiologik, seperti foto polos perut dan pielografi
intravena, dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan, misalnya batu
saluran kemih, hidronefrosis, atau diverticulum kandung kemih. Jika foto dibuat
setelah miksi, dapat dilihat urin yang tersisa. Pembesaran prostat dapat dilihat
sebagai lesi defek isian kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung,
pembesaran prostat dapat diperkirakan apabila dasar buli-buli pada gambaran
sistogram tampak terangkat atau ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk
seperti mata kail. Apabila fungsi ginjal buruk sehingga ekskresi ginjal kurang baik
atau penderita sudah dipasang kateter menetap, dapat dilakukan sistogram
retrograd.
Ultrasonografi dapat dilakukan transabdominal atau transektal (transversal
ultrasonography, TRUS). Selain untuk mengetahui pembesaran prostat,
pemeriksaan ultrasonografi dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukur
sisa urin, dan keadaan patologi lain seperti diverticulum, tumor, dan batu. Dengan
ultrasonografi transrektal, dapat diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi
yang tepat. Perkiraan besar prostat dapat pula dilakukan dengan ultrasonografi
suprapubic. CT-scan atau MRI jarang dilakukan.
Pemeriksaan sistografi dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan
hematuria atau pada pemeriksaan urin ditemukan mikrohematuria. Pemeriksaan
untuk ini dapat memberi gambar kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau
sumber perdarahan dari atas bila darah dating dari muara ureter, atau batu
radiolusen di dalam vesika. Selain itu, sistoskopi dapat juga memberi keterangan
mengenai besar prostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan
melihat penonjolan prostat ke dalam uretra.
Pemeriksaan lain yang dapat digunakan yaitu:
- Urinalisis: Periksa urin menggunakan metode dipstick dan / atau melalui evaluasi
sedimentasi sentrifugasi untuk menilai keberadaan darah, leukosit, bakteri, protein,
atau glukosa.
- Kultur urin: Ini mungkin berguna untuk menyingkirkan penyebab infeksi iritasi
yang berkepanjangan.
- Antigen spesifik prostat.
- Ultrasonografi
Ultrasonografi (perut, ginjal, transrektal) dan urografi intravena berguna untuk
membantu menentukan ukuran kandung kemih dan prostat dan derajat
hidronefrosis pada pasien dengan retensi urin atau tanda-tanda insufisiensi ginjal.
-Endoskopi saluran kemih bagian bawah
-Kistoskopi
Sistoskopi dapat diindikasikan pada pasien yang dijadwalkan untuk pengobatan
invasif atau yang diduga memiliki tubuh asing atau keganasan.
-IPSS / AUA-SI
Tingkat keparahan BPH dapat ditentukan dengan Skor Gejala Prostat Internasional
(IPSS) / Indeks Simposium Asosiasi Urologi Amerika (AUA-SI) ditambah
pertanyaan kualitas hidup spesifik penyakit (QOL). (BPH PDF)
Pada pemeriksaan BNO-IVP, kandung kemih terindentasi oleh prostat, dan elevasi
ureter distal, membentuk seperti mata pancing atau huruf J

CT scan potongan aksial kelenjar prostat, dengan pemberian kontras tampak


penyangatan pada zona transisional kelenjar prostat.
MRI potongan aksial T2 WI echo-trainspin echo (ETSE), zona perifer tampak
hiperintens, dengan sentral yang hipointens (zona sentral dan transisional)

Pemeriksaan USG pada BPH


2.9. Tatalaksana

Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk


menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHO prostate
symptom score). Skor ini dihitung berdasarkan jawaban penderita atas delapan
pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap
dibawah 15. Untuk itu, dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO
PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.
Di dalam praktik, pembagian besar prostat derajat I-IV digunakan untuk
menentukan cara penanganan. Penderita derajat satu biasanya belum memerlukan
tindakan bedah dan mendapatkan pengobatan konservatif, misalnya pemberian
penghambat adrenoreseptor alfa seperti alfazosin, prazosin, terazosin, dan
tamsulosin. Keuntungan obat penghambat adrenoreseptor alfa ialah efek positif
segera terhadap keluhan, tetapi tidak memengaruhi proses hyperplasia sedikitpun.
Kekurangannya ialah obat ini tidak dianjurkan untuk pengobatan jangka panjang.
Derajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya
dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (trans urethral resection, TUR).
Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%. Kadang derajat dua dapat
dicoba dengan pengobatan konservatif. Pada derajat tiga, reseksi endoskopik dapat
dikerjakan oleh ahli bedah yang cukup berpengalaman. Apabila diperkirakan
prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam,
sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal, retropubik, atau
perineal. Pada operasi melalui kandung kemih, dibuat sayatan perut bagian bawah
menurut Pfannenstiel; kemudian prostat dienukleasi dari dalam simpainya.
Pada hipertrofi derajat empat, tindakan pertama yang harus segera
dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang
kateter atau sistostomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitif dengan TUR atau pembedahan
terbuka.
2.10. Komplikasi
Pembesaran prostat jinak (BPH) kadang-kadang dapat mengarah pada komplikasi
akibat ketidakmampuan kandung kemih dalam mengosongkan urin. Beberapa
komplikasi yang mungkin dapat timbul antara lain:
1. Infeksi saluran kemih.
2. Penyakit batu kandung kemih.
3. Retensi urin akut atau ketidakmampuan berkemih.
4. Kerusakan kandung kemih dan ginjal.
BAB 3
KESIMPULAN
Benigna prostat hiperplasia didefinisikan secara histologis sebagai
proses penyakit yang ditandai dengan stroma dan hiperplasia sel epitel
dimulai di zona periurethral dari prostat. Kelenjar prostat merupakan
kelenjar yang terdiri dari jaringan kelenjar dinding uretra yang mulai
menonjol pada masa pubertas. Terdapat berbagai macam teori yang
menyebabkan timbulnya BPH. Keluhan utama pasien dengan BPH biasanya
adalah LUTS yang mengganggu yang ditandai dengan saluran kencing
frekuensi, urgensi, nokturia, penurunan dan aliran intermiten aliran dan
sensasi pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap. Diagnosis
ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Tatalaksana dilakukan sesuai dengan stadium penyakit pasien.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi saluran kemih, batu kandung
kemih, retensio urin, dan kerusakan kandung kemih maupun ginjal.
DAFTAR PUSTAKA

Adjaran, NM., dan Astuty, SD. 2010. Penentuan Volume Prostat Pada Penderita
Prostat Jinak Dengan Menggunakan Pesawat Ultrasonografi. Jurusan Fisika,
FMIPA, Universitas Hasanuddin, Makasar.
American Urological Association Education and Research (AUA). 2003. AUA
Guideline On The Management Of Benign Prostatic Hyperplasia.
Biddult. 2016. Pemilihan Modalitas Pemeriksaan Radiologi Untuk Diagnosis
Benign Prostatic Hyperplasia. CDK Journal Vol. 43 (6): 469-472.
De Jong., dan Sjamsuhidajat. 2017. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 4 Vol 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI). 2015. Panduan Penatalaksanaan Klinis
Pembesaran Prostat Jinak (Benigna Prostat Hiperplasia/BPH)
International Prostate System Score. Diambil dari
http://www.urospec.com/uro/Forms/ipss.pdf pada tanggal 15 Agustus 2018.

Anda mungkin juga menyukai