Anda di halaman 1dari 26

Referat

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Disusun oleh:
Fitrika Asmarita
NIM. 1708435990

Pembimbing

dr. Indra Jaya, SpU

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Benign prostatic hyperplasi (BPH) atau benign prostatic hypertrophy atau

benign prostatic obstruction adalah kondisi dimana terdapat adanya pembesaran

jinak dari kelenjar prostat pada pria. Pada BPH terjadi hiperplasia dari sel-sel

stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Pembesaran prostat terjadi pada 2

periode sepanjang usia pria. Periode pertama muncul pada saat awal pubertas saat

prostat membesar 2 kali daripada normal. Periode kedua muncul pada usia 25

tahun dan terus membesar sepanjang usia pria. Benign prostatic hyperplasia

(BPH) biasa muncul mulai dari periode dua tersebut. Saat prostat membesar,

kelenjar menekan dan mempersempit uretra yang menyebabkan retensi urin dan

dinding vesica urinaria menjadi tebal. Hal tersebut menyebabkan vesica urinaria

menjadi lemah dan kehilangan kemampuan untuk mengosongkan sehingga

terdapat adanya sisa urine di vesika urinaria.1

Angka kejadian BPH meningkat dengan usia. Semakin tinggi usia harapan

hidup maka semakin meningkat pula angka kejadian BPH. Pada usia kurang dari

30 tahun sangat jarang ditemukan adanya gejala BPH yang timbul. Pada usia 40-

51 tahun prevalensi BPH meningkat menjadi 20%, pada usia 51-60 tahun

meningkat hingga 50% dan pada usia 80 tahun prevalensinya dapat lebih dari

90%.2 Angka kejadian BPH di Indonesia belum diteliti secara pasti jumlahnya

namun angka kejadian BPH di rumah sakit cipto mangunkusumo jakarta

mencapai 1040 kasus dalam 3 tahun terakhir.3

2
Meskipun pernyakit ini tidak mematikan, BPH menyebabkan gangguan

aktifitas sehari-hari pada pasien sehingga diperlukan penanganan yang tepat agar

dapat meningkatkan kualitas hidup pasien di usia lanjut.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PROSTAT

2.1.1 ANATOMI DAN HISTOLOGI

Gambar 2.1 Anatomi prostat

Prostat merupakan organ genitalia pria yang terletak di posterior pada

symphisis pubis, superior terhadap membran perineal, sebelah inferior buli-buli,

didepan rektum dan membungkus uretra posterior. Ukurannya 4x3x2,5 cm dan

beratnya kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri dari jaringan fibromuskular

dan glandular yang terbagi menjadi beberapa zona, yaitu zona perifer, sentral,

transisional, preprostatik perifer dan anterior. Basis prostat merupakan terusan

dari buli-buli dan prostat berakhir pada bagian apex sebelum menjadi striated

spinchter uretra externa.1 Secara embriologi, prostat, vesikula seminalis dan vas

deferens berasal dari 2 struktur yang berbeda. Prostat berkembang dari jaringan

sinus urogenital sedangkan vesikula seminalis dan vas deferens berasal dari

4
duktus mesonefrik. Prostat mulai terbentuk pada minggu ke 10. Pada minggu ke

12 terdapat 5 grup tubulus yang membentuk lobus pada prostat. Grup pertama

membentuk lobus medial, grup kedua dan ketiga membentuk lobus lateral kiri dan

kanan, grup keempat membentuk lobus posterior dan grup kelima membentuk

lobus anterior. Prostat dikelilingi oleh kapsul yang terbentuk dari kolagen, elastin

dan otot halus dan dilindungi oleh 3 lapisan fasia pada bagian anterior, lateral dan

posterior. Prostat dikelilingi oleh bagian puborektal dari levator ani. Vesikula

seminalis bersandar pada bagian superior prostat pada basis buli-buli dan

memiliki panjang kurang lebih 6 cm. Vesikula seminalis akan bergabung dengan

ductus deferens dan membentuk duktus ejakulatorius sebelum memasuki prostat.

Secara histopatologik, Prostat terdiri dari jaringan glandular (70%) dan stroma

fibromuskular (30%). Stroma terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh darah,

saraf, dan jaringan penyangga yang lain. Prostat dibagi menjadi 3 zona yaitu zona

transisi, zona sentral dan zona perifer. Zona transisi berawal dari leher buli-buli

sampai ke membran uretra dan memiliki 2 lobus lateral dan 1 lobus medial. Zona

ini merupakan tempat yang paling sering untuk terjanya hiperplasia prostat. Zona

sentral merupakan area yang melingkupi duktus ejakulatorius. Zona perifer

merupakan zona yang mengandung jaringan glandular paling banyak dan tempat

paling sering terjadinya keganasan. Prostat menghasilkan suatu cairan yang

dilarikan melalui duktus sektretorius dan bermuara di uretra posterior. Cairan ini

akan dikeluarkan bersama cairan semen pada saat ejakulasi. Kurang lebih 25%

cairan ejakulat terdiri dari cairan prostat.4

Arteri prostat berasal dari arteri vesika inferior yang berasal dari arteri

iliaca interna. Arteri vesika inferior bercabang menjadi 2 untuk memperdarahi

5
prostat, bagian dasar buli-buli dan ureter distal. Cabang utama pertama adalah

arteri uretra yang memasuki prostatovesical junction secara posterolateral menuju

leher vesika urinaria pada arah jam 7 dan jam 5. Kemudian arteri uretra tersebut

berjalan ke arah kaudal beriringan dengan uretra untuk memperdarahi zona

transisi. Cabang utama kedua adalah arteri kapsular. Arteri ini berjalan pada

bagian prostat posterolateral untuk memperdarahi jaringan glandular.4

Prostat dipersarafi oleh saraf otonomik simpatik dan parasimpatik dari

pleksus prostatikus. Pleksus pelvikus menerima masukan serabut parasimpatik

dari korda spinalis S2-4 dan simpatik dari nervus hipogastrikus (T10-L2).

Stimulasi parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat

sedangkan stimulasi simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat pada

uretra posterior. Rangsangan simpatik menyebabkan tonus otot polos

dipertahankan selama ejakulasi.1

Gambar 2.2 Vaskularisasi Prostat

6
2.2 BENIGN PROSTAT HYPERPLASIA

2.2.1 DEFINISI

Benign Prostat Hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi pada laki-laki

dimana terjadi pembesaran jinak dari kelenjar prostat dan menyebabkan uretra

pars prostatika terkompresi dan menimbulkan gangguan pengeluaran urin.1 BPH

merupakan suatu diagnosis histologis dimana terjadi proliferasi dari otot polos dan

sel epitel pada zona transisi prostat. Nama lain dari BPH adalah benign prostatic

hypertrophy atau benign prostatic obstruction.5 Pertumbuhan prostat terjadi dua

kali. Pertumbuhan pertama terjadi pada saat pubertas dimana prostat membesar

hingga 2 kali dari ukuran sebelumnya. Pertumbuhan kedua dimulai pada usia

kurang lebih 25 tahun dan terus membesar sepanjang usia pria.6

2.2.2 EPIDEMIOLOGI

Prevalensi BPH meningkat secara signifikan berdasarkan usia. Lebih dari

50% pria diatas 60 tahun menderita BPH dan meningkat menjadi 90% pada laki-

laki usia 90 tahun. Benign prostat hyperplasia merupakan kejadian nomor 4 paling

sering pada pria usia lebih dari 50 tahun setelah penyakit koroner dan

hiperlipidemia, hipertensi dan Diabetes Mellitus tipe 2.7 Penyakit ini memiliki

prevalensi 6,8 % per 1000 pasien. Di Indonesia BPH merupakan urutan kedua

setelah batu saluran kemih dan diperkirakan ditemukan pada 50% pria berusia

diatas 50 tahun dengan angka harapan hidup rata-rata di Indonesia yang sudah

mencapai 65 tahun.8 Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49 tahun

mencapai hampir 15%. Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum

pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital prevalence di dua rumah sakit

7
besar di Jakarta yaitu Ciptomangunkusumo dan Sumber waras selama 3 tahun

(1994-1997) terdapat 1040 kasus.2

2.2.3 FAKTOR RESIKO

Beberapa faktor dapat meningkatkan angka kejadian BPH pada pria,

diantaranya:6

1. Usia ≥ 40 tahun

2. Adanya riwayat BPH di keluarga

3. Obesitas

4. Penyakit jantung dan vaskuler

5. Diabetes Mellitus tipe 2

6. Kurangnya aktifitas fisik

7. Disfungsi ereksi

2.2.4 ETIOLOGI

Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan

testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi

testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Perubahan

mikroskopik pada prostat mulai pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan

mikroskopik terus berlanjut, akan terjadi perubahan patologi anatomi. Efek yang

timbul perlahan-lahan karena pertumbuhan yang lambat. Etiologi dari BPH belum

diketahui secara pasti namun terdapat beberapa teori yang menjelaskan mengenai

hal tersebut, diantaranya :

1. Pembesaran prostat terjadi karena terdapat peningkatan jumlah sel epitel

dan stromal pada area periuretral skrotum. Peningkatan jumlah sel

8
tersebut diakibatkan oleh tidak seimbangnya proliferasi sel dengan

apoptosis sel- sel prostat sehingga jumlah sel-se prostat secara

keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan

massa prostat.

2. Peran dari hormon androgen terhadap pembesaran prostat. Didalam

prostat terdapat reseptor testosteron. Metabolit aktif dari testosteron yaitu

dihidrotestosteron (DHT) yang diaktifkan oleh enzim 5 alfa reduktase

dapat memicu pembesaran prostat. Metabolit inilah yang langsung

memacu m-RNA didalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis

protein growth factor yang memacu pertumbuhan prostat.

3. Inflamasi dapat juga memicu tingginya proliferasi sel pada prostat.

Sitokin (IL-2, IFN alfa, IL-6, IL-8 dan IL-15) ditemukan pada area

fibromuskular pada pembesaran prostat.1

2.2.5 PATOFISIOLOGI

Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, terjadi resistensi pada

leher vesika dan prostat. Terjadi fase penebalan detrusor yang disebut fase

kompensasi. Otot destrusor menjadi membesar sehingga terdapat adanya

penonjolan serat detrusor ke dalam vesika. Bila dilihat dengan sistoskopi akan

tampak penonjolan seperti balok pada vesika yang disebut dengan trabekulasi.

Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat otot destrusor. Tonjolan kecil

disebut dengan sakula dan yang besar disebut dengan divertikulum. Apabila

keadaan terus berlanjut, otot detrusor lama kelamaan akan mengalami

dekompensasi dimana otot tersebut menjadi lemah sehingga tidak mampu lagi

9
untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio urin karena terjadi obstruksi.

Biasanya ditemukan gejala obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda yang biasa

ditemukan adalah penderita mengedan saat kencing, kencing terputus, menetes

pada akhir kencing, pancaran kencing menjadi lemah dan rasa ada tersisa setelah

kencing. Gejala iritasi dapat disebabkan oleh hipersensitivitas otot destrusor yang

menyebabkan penderita mengalami frekuensi kencing yang bertambah, nokturia,

kencing sulit ditahan dan disuria. Hal ini terjadi karena pengosongan yang tidak

sempurna pada saat kencing atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan

pada vesika sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh.Gejala

obstruksi diakibatkan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi.2

Apabila vesika dekompensasi terhadap keadaan tersebut, maka dapat

terjadi sumbatan total sehingga penderita tidak dapat kencing. Urin didalam

vesika akan terus bertambah karena produksi urin akan terus terjadi dan

menyebabkan tekanan intra vesika meningkat. Apabila tekanan intra vesika lebih

tinggi daripada tekanan sphincter akan terjadi inkontinensia paradoks.2

Obstruksi uretra tidak hanya disebabkan oleh pembesaran prostat, tetapi

juga dapat disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul

prostat dan otot polos pada leher buli-buli. Pada BPH terjadi peningkatan rasio

stroma dan epitel dimana jumlah stroma menjadi lebih banyak dibandingkan

jumlah epitel. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan tonus otot prostat

yang menjadi salah satu penyebab obstruksi uretra.2

10
Gambar 2.3 Benign Prostatic Hyperplasia

2.2.6 DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Pada penyakit BPH terdapat adanya gejala Lower Urinary Tract

Symptoms (LUTS) karena terdapat adanya penyempitan pada uretra akibat

pembesaran prostat dan meningkatnya tonus dan resistensi otot. Gejala

yang dapat terjadi terdapat pada gambar dibawah ini9 :

Gambar 2.4 Gejala Lower Urinary Tract Symptoms

11
Dari gambar diatas dapat pula dikelompokkan gejala BPH berdasarkan

penyebabnya seperti dijabarkan pada tabel dibawah ini1 :

Tabel 2.1 Gejala benign prostatic hyperplasia

Obstruksi Iritasi
Hesitansi Frekuensi
Pancaran miksi lemah Nokturia
Intermitensi Urgensi
Miksi tidak puas Disuri
Menetes setelah miksi

Pada anamnesis dapat juga ditanyakan hal berikut7 :

 Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah

mengganggu (pernah mengalami cedera, infeksi, atau pembedahan)

 Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual

 Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan

keluhan miksi

 Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan

pembedahan.

Salah satu alat diagnostik lainnya yang tepat untuk mengatahui ada atau

tidaknya obstruksi pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) terdapat adanya

skor internasional gejala prostat atau IPSS (International Prostatic Symptoms

Score) seperti yang tercantum pada gambar dibawah ini10 :

12
Gambar 2.5 International Prostatic Symptoms Score

Dari hasil IPSS tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut :

 Skor 0-7: Gejala ringan


 Skor 8-19: Gejala sedang


 Skor 20-35: Gejala berat

2. Pemeriksaan Fisik11

13
 Lakukan pemeriksaan secara umum untuk menilai kelainan pada pasien

(dari kepala hingga kaki). Untuk menilai kelainan urologi secara

menyeluruh pemeriksaan dimulai pada flank area untuk menentukan ada

atau tidaknya kelainan pada ginjal. Lakukan pemeriksaan ballotement,

nyeri ketok dan nyeri tekan.

 Pada daerah suprapubis perhatikan apakah ada massa atau tidak. Pada

BPH akan terjadi penumpukan urin pada vesika urinaria akibat penderita

tidak dapat kencing.

 Lanjutkan pemeriksaan terfokus pada genitalia eksterna. Perhatikan bentuk

penis, ada/tidaknya discharge yang keluar dari meatus uretra eksterna,

periksa bentuk skrotum apakah terdapat adanya pembengkakan maupun

rasa nyeri, periksa testis untuk mengetahui keberadaan testis didalam

skrotum.

 Periksa ada atau tidaknya pembengkakan pada kelenjar limfoid di daerah

inguinal.

 Pemeriksaan utama pada BPH adalah dengan pemeriksaan Rectal Toucher

(RT). Pada pemeriksaan ini penderita diminta untuk berada di posisi

litotomi atau berbaring kesamping dengan menekuk lutut. Pemeriksa

menggunakan handscoen dan melapisi digiti II dengan gel kemudian

memasukkan jari kedalam anus dengan jari mengarah ke ventral. Hal-hal

yang perlu dinilai pada pemeriksaan rectal toucher :

1. Anus : tanda inflamasi/massa

2. Tonus spinhcter ani : baik/lemah/tidak ada

14
3. Refleks bulbocavernosus (dengan cara menggores glans penis/menarik

kateter) : positif/negatif

4. Mukosa rektum : kasar/licin

5. Ampula rekti : kolaps/nodul/normal

6. Prostat

a. Sulkus interlobaris : teraba/tidak teraba

b. Konsistensi : keras/lunak

c. Kesimetrisan :

d. kutub atas : terjangkau/tidak terjangkau

e. Nodul

f. Taksiran berat prostat

Gambar 2.6 Pemeriksaan Rectal Toucher (RT)

Pada pemeriksaan RT apabila terdapat pembesaran prostat penting dinilai

konsistensi dan ada atau tidaknya nodul. Apabila konsistensi teraba lunak tanpa

nodul maka pembesaran tersebut mengarah ke jinak sedangkan apabila keras

15
dengan nodul dapat dicurigai sebagai keganasan. Pemeriksaan RT juga dapat

menilai ada atau tidaknya batu prostat yang ditandai dengan adanya krepitasi.7

Derajat beratnya obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa

urin setelah miksi spontan. Sisa urin dapat diukur dengan kateterisasi ataupun

pemeriksaan ultrasonografi. Sisa urin <100 cc biasanya dianggap sebagai batas

untuk indikasi melakukan intervensi pada hipertrofi prostat.7

3. Pemeriksaan Penunjang6

Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan, diantaranya :

 Urinalisis

Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya

infeksi akibat komplikasi BPH dan untuk menyingkirkan penyakit

lainnya.

 Pemeriksaan fungsi ginjal

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya

komplikasi BPH hingga ke ginjal. Kadar ureum dan kreatinin perlu

diperiksa untuk menilai keadaan saluran kemih bagian atas

 Pemeriksaan Prostate Specific Antigen (PSA)

Pemeriksaan PSA merupakan salah satu marker untuk

perkembangan BPH. Pemeriksaan ini dapat menjadi pemeriksaan untuk

mengetahui volume prostat. Kadar PSA dapat meningkat pada kanker

prostat, infeksi prostat dan BPH. Seluruh sel epitel prostat

menghasilkan PSA sehingga pada prostat yang berukuran besar dan

16
pada BPH kadar PSA menjadi tinggi karena jumlah sel prostat

bertambah banyak ataupun membesar.

 Uroflometri

Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama

proses miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk

mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah yang

tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi

mengenai volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran

rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran

maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan ini sangat mudah,

non invasif, dan sering dipakai untuk mengevaluasi gejala

obstruksi infravesika baik sebelum maupun setelah mendapatkan

terapi.

 Biopsi

Biopsi merupakan prosedur untuk mengambil sebagian jaringan

prostat untuk dilihat dibawah mikroskop. Pemeriksaan ini dilakukan

untuk menilai tingkat keganasan pembesaran prostat.

 USG

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui ukuran prostat secara

pasti dan mengetahui ada atau tidaknya tumor ditempat lain.

 Uretirosistokopi

Merupakan pemeriksaan secara visual untuk melihat keadaan

uretra dan vesika urinaria. Pda uretrosistoskopi dapat ditemukan

17
pembesaran prostat, obstruksi uretra dan leher vesika urinaria, batu,

trabekulasi, dan divertikel vesika urinaria.

 Pemeriksaan urodinamika

Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat seberapa baik uretra

mengeluarkan urine dan vesika urinaria menyimpan urin. Pemeriksaan

yang akan dilakukan adalah dengan uroflowmetry untuk menghitung

seberapa cepat vesika urinaria membuang urine dan postvoid residual

measurement untuk mengevaluasi seberapa banyak urin yang tersisa

dalam vesika urinaria setelah miksi.

2.2.7 PENATALAKSANAAN

Tujuan utama dari terapi BPH adalah untuk menyembuhkan gejala,

meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan perkembangan penyakit.

Tatalaksana utama untuk BPH adalah watchful waiting, terapi farmakologi dan

terapi pembedahan.9,12

1. Watchful waiting12

Terapi ini dapat dilakukan pada pasien dengan gejala LUTS ringan skor

IPSS ≤7 atauu pasien dengan gejala sedang ataupun berat (IPSS ≥8 yang tidak

memiliki komplikasi. Terapi ini akan dimonitor oleh dokter ataupun tenaga

kesehatan. Hal yang perlu dilakukan pasien pada terapi watchful waiting ini

adalah:

 Memodifikasi atau mengurangi asupan cairan terutama sebelum tidur

 Menghentikan konsumsi alkohol, minuman yang mengandung kafein

dan makanan bedas

18
 Penyesuaian/menghentikan/monitor konsumsi obat-obatan tertentu

(contoh : diuretik, androgen, antikolinergik, antidepresan, dll.)

 Melatih pelvic floor

 Mengatur dan mengorganisir waktu miksi (bladder retraining)

 Jangan menahan kencing terlalu lama

 Meningkatkan latihan fisik

Pasien diminta untuk kontrol setiap 6 bulan dan di evaluasi mengenai

keluhan yang dirasakan, volume residual urine dan skor IPSS. Jika keluhan

menetap atau bertambah jelek perlu dipikirkan untuk memberikan terapi lain.

2. Farmakoterapi9

Terdapat 2 kelompok obat utama untuk mengobati BPH yaitu alpha

bloker dan 5-alpha reduktase inhibitor (5-ARIs).

a. Alpha bloker

Golongan alpha bloker merelaksasi otot polos pada prostat dan

leher vesika urinaria dengan cara menghalangi reseptor alpha 1-a. Apabila

otot polos relaksasi, saluran urinaria akan terbuka dan akan memperlancar

aliran urin. Alpha bloker memiliki onset of action yang cepat (3-5 hari).

Apabila terapi ini dihentikan, gejala akan muncul kembali. Terdapat 5 jenis

utama alpha bloker yaitu, obat generasi kedua, terasozin (hytrin) dan

doxazosin (Cardura) dan obat generasi ketiga, tamsulosin (Flomax),

alfusozin (Xatral) dan silodosin (Rapflo). Kelima agen tersebut memiliki

kualitas yang kurang lebih sama dan memiliki efek samping hipotensi

ortostatik, pusing, malaise, sakit kepala, ejakulasi retrograd dll. Meskipun

19
alpha bloker memperlancar aliran urin, namun terapi ini tidak mengurangi

ukuran prostat dan tidak menurunkan resiko retensio urin dalam jangka

panjang.

b. 5-alpha reduktase inhibitor (5-ARIs)

5-ARIs menghambat konversi testosteron menjadi DHT (mediator

pembesaran prostat pada BPH). Golongan ini dapat mengurangi ukuran

prostat dan memperlambat pertumbuhan prostat. Onset of Action 5-ARIs

lebih lambat dari alpha bloker (4-6 bulan). Dua jenis utama 5-ARIs adalah

finasteride (Proscar) dan dutasteride (Avodart). Dutaseride memiliki Onset

of Action lebih cepat daripada finasteride. Efek samping 5-ARIs adalah

disfungsi ereksi, libido menurun, dan sangat jarang, ginekomastia. Dengan

mengecilkan ukuran prostat, 5-ARIs menurunkan gejala pada BPH secara

signifikan.

c. Terapi kombinasi

Terapi ini sangat efektif pada pasien dengan ukuran prostat yang

besar dimana 5 ARIs mengecilkan ukuran prostat dan alpha bloker

merelaksasi otot polos prostat untuk memperlancar aliran urin.

Dibawah ini merupakan jenis obat untuk terapi farmakologi BPH :

Tabel 2.2 Pilihan farmakoterapi untuk BPH12

Pilihan obat Dosis Kegunaan Keterangan


Alpha-bloker Terapi lini  Seluruh jenis obat efektif apabila diberikan sesuai
 Alfuzosin 10 mg pertama untuk dosis yang dianjurkan
 Doxazosin 2-8 mg BPH dengan  Menurunkan skor IPSS sebanyak 35-40%;tidak
 Tamsulosin 0,4 mg gejala LUTS menurunkan ukuran prostat
 Terazosin 5-10 mg sedang-berat  Perkembangan dapat dilihat dalam hitungan jam
sampai hari. Efek dapat dilihat dalam hitungan
minggu dan di maintenance selama 4 tahun
 Tidak dapat mempengaruhi progresifitas penyakit
 Doxazosin dan terazosin membutuhkan monitor

20
tekanan darah
5- α reduktase Terapi untuk  Kedua jenis obat memiliki efektifitas yang sama
inhibitor BPH dengan  Menurunkan skor IPSS sebangnyak 15-30%
 Dutaseride 0,5 mg gejala LUTS setelah terapi selama 2-4 tahun tergantung dari
 Finasteride 5 mg sedang-berat besarnya ukuran prostat
dengan ukuran  Perkembangan terlihat setelah terapi selama
prostat yang minimal 6-12 bulan
besar  Dapat mengurangi progresifitas pentakit dengan
mengurangi resiko retensi urin dan rencana
operasi
 Tidak cocok apabila diberikan pada BPH dengan
LUTS tanpa prostat yang berukuran besar
 Menurunkan kadar PSA

Tabel 2.2 Pilihan farmakoterapi untuk BPH12

Pilihan obat Dosis Kegunaan Keterangan


Antikolinergik Terapi untuk  Menurunkan gejala penyimpanan urine pada
 Darifenacin 7,5-15 mg BPH dengan LUTS
 Oxybutynin 5-30 mg LUTS gejala  Hati-hati pada pria dengan obstruksi akibat
 Solifenacin 5-10 mg sedang-berat gangguan pada vesika urinaria karena kurangnya
 Tolterodine 4 mg dengan gejala kekuatan otot vesika dan retensi urin atau post-
 Trospium 40 mg dominan pada void residual yang meningkat
chloride penyimpanan
urin di vesika
urinaria dan
tidak terdapat
adanya
peningkatan
post-void
residual
Alpha-blocker Dapat  Terapi kombinasi dapat mengurangi frekuensi,
+ 5-α digunakan nokturi, urgensi, inkontinesia, skor IPSS dan
reductase untuk BPH meningkatkan kualitas hidup
inhibitor dengan LUTS  Hati-hati pada pasien yang dicurigai obstruksi
gejala sedang- akibat gangguan pada vesika urinaria
berat pada
pasien dengan
gejala menetap
setelah
monoterapi
dengan obat
lainnya

21
3. Pembedahan5

Pembedahan merupakan terapi yang cocok untuk BPH dengan LUTS

gejala sedang hingga berat atau BPH dengan komplikasi. Tindakan pembedahan

dilakukan apabila pasien tidak menunjukkan perbaikan setelah diberikan terapi

farmakologi. Terdapat beberapa metode pembedahan yang dapat dilakukan yaitu :

 Transurethral holmium laser ablation of the prostate (HoLAP)

Pembedahan untuk menyembuhkan jaringan prostat transuretral dengan

menggunakan 550 mikron laser fiber tanpa kontak.Teknologi ini

menggunakan energi laser dengan panjang gelombang 2120 nm yang dapat

diabsorbsi oleh air dan memiliki hasil dengan penetrasi optikal sedalam 0,4

mm.

 Transurethral holmium laser enucleation of the prostate (HoLEP)

Laser holmium diguankan untuk melepaskan adenoma prostat,

memisahkan adenoma dengan kapsul dari apex ke basis setelah lobus medial

dilepaskan dari leher vesika urinaria. Teknologi ini digunakan untuk kelenjar

prostat dengan ukuran prostat yang besar dan sebelumya sudah diterapi

dengan prostatektomi.

 Holmium laser resection of the prostate (HoLRP)

Adenoma prostat direseksi menggunakan laser fiber dan resektoskop.

Apabila dibandingkan dengan TURP metode ini menurunkan resiko

perdarahan, kebutuhan untuk transfusi darah dan sindrom transurethral

resection (TUR).

 Photoselective vaporization of the prostate (PVP)

22
Merupakan tindakan prostatektomi transuretral yang menggunakan 600

mikron side-firing fiber. Perbedaan dengan metode HoLAP adalah PVP

memiliki panjang gelombang 532 nm yang diabsorbsi oleh irigasi air dan

hemoglobin dengan penetrasi optikal dengan kedalam 0,8 mm. Biasa

dilakukan dengan menggunakan irigasi dengan normal saline. Tujuan PVP

adalah membuat rongga yang mirip dengan metode pembedahan TURP

setelah mengambil jaringan lobus prostat. Skor IPSS berkurang secara

signifikan setelah dilakukan prosedur ini dan meningkatkan kelancaran aliran

urin.

 Transurethral incision of the prostate (TUIP)

TUIP merupakan terapi yang efektif dan cocok pada penderita BPH

dengan LUTS gejala sedang-berat dan atau penderita dengan ukuran prostat

<30 mL yang terganggu dengan gejala tersebut . Prosedur ini merupakan

pembedahan endoskopik yang terbatas hanya pada prostat yang berukuran

kecil (<30 mL). Pada prosedur ini, dibuat satu sampai dua potongan pada

prostat dan kapsul prostat yang akan memperbaiki konstriksi pada uretra.

Dibandingkan dengan TURP, prosedur TUIP mengurangi resiko gangguan

ereksi.

 Transurethral vaporization of the prostate (TUVP)

TUVP merupakan terapi yang efektif dan cocok pada penderita BPH

dengan LUTS gejala sedang-berat dan atau terganggu dengan gejala BPH.

Prosedur ini menggunakan elektroda. Dibandingkan dengan prosedur TURP,

elektrovaporisasi transuretral menghasilkan perkembangan yang baik pada

skor IPSS dan kelancaran aliran urin.

23
 Transurethral resection of the prostate (TURP)

TURP merupakan terapi yang efektif dan cocok pada penderita BPH

dengan LUTS gejala sedang-berat dan atau terganggu dengan gejala BPH.

Prosedur ini mengangkat bagian dalam prostat dengan endoskopi melewati

uretra tanpa insisi kulit luar. Prosedur ini merupakan yang paling sering

dilakukan untuk terapi pembedahan BPH. Prosedur TURP membutuhkan

anastesi umum dan perawatan di rumah sakit. TURP dapat menyebabkan

sindroma post-TURP dimana ditemukan hiponatremi akibat cairan irigasi

diserap kedalam pembuluh darah. Komplikasi lain yang dapat ditemukan

adalha disfungsi ereksi, iritasi saat pengeluaran urin, kontraktur leher vesika

urinaria, membutuhkan persiapan transfusi darah dan hematuria.

2.2.8 KOMPLIKASI

Benign Prostatic Hyperplasia dengan retensi urin kronik dapat

menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal.

Proses gagal ginjal akan terjadi lebih cepat apabila terdapat adanya infeksi.2

Dalam jangka waktu yang lama, urin yang terus menumpuk didalam

vesika karena tidak dapat dikeluarkan seluruhnya akan menimbulkan batu

endapan didalam vesika. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan

menimbulkan hematuria, sistitis dan pielonefritis apabila terjadi refluks.13

2.2.9 PROGNOSIS

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) memiliki prognosis yang buruk

apabila sudah terjadi gagal ginjal dan uremia meskipun kejadian tersebut sudah

sangat jarang. BPH tanpa komplikasi memiliki prognosis yang baik namun pada

24
penyakit yang sudah kronik dapat terjadi retensi urin, insufisiensi renal, rekurensi

infeksi saluran kemih bagian bawah, dan hematuri.14

Daftar Pustaka

1. Purnomo,B. 2011. Dasar-dasar Urologi : Hiperplasia prostat benigna. Edisi


3. Jakarta: Sagung Seto.
2. Sjamsuhidayat, Jong WD.1997. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 4. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

3. Rahardjo D. Prostat: Kelainan-kelainan jinak,
 diagnosis, dan

penanganan. Jakarta: Asian Medical. 1999.


4. Muruva N, Gest T. Medscape Reference [Internet]. New York: WebMD
Prostate Anatomy. [updated 16 Sept 2013, cited Jan 2018]. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1923122-overview#a1
5. Barry MJ, Fowler FJ, O'Leary MP, et al. The American Urological
Association Guideline : Management of Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH). J Urol.148:1549, 2010.
6. Simon H. Prostate Enlargement: benign prostatic hyperplasia. NIH.
14:3012, 2014.
7. Roehrborn CG, Bartsch G, Kirby R et al. Guidelines for the diagnosis and
treatment of benign prostatic hyperplasia: a comparative, international
review. J Urology. 58: 642-650, 2001.
8. Mochtar CA, Umbas R, Soebadi DM, Rasyid N, Noegroho BS, Poernomo
BB, et al. Panduan penatalaksanaan klinis pembesaran prostat jinak.
Jakarta : IAUI;2015.
9. Kapoor A. Benign prostatic hyperplasia management in the primary care
setting. Can J Urol.19:10-17, 2012

25
10. Rashdan E, Hazmi D, Ababneh E. Benign Prostatic Hyperplasia
Guideline. AHRQ. [updated 2013, cited Jan 2018]. Available from :
http://www.just.edu.jo/DIC/ClinicGuidlines/Benign%20prostatic%20hype
rplasia.pdf
11. Barry MJ, Fowler FJ, O’Leary MP, et al. The American Urological
Association Symptom Index for Benign Prostatic Hyperplasia. J Urol 148:

1549, 1992 


12. Drug Information and Research Centre (DIRC). Therapeutic options :


focus on benign prostatic hyperplasia. [cited March 2017]. Available from
: http://www.pharmacistsmb.ca/files/2014/03/37_3_FOCUS-ON-
BENIGN-PROSTATIC-HYPERPLASIA.pdf
13. Deters L, Leveillee R. Medscape Reference [Internet]. New York:
WebMD Benign Prostatic Hypertrophy. [updated 06 Nov 2016, cited Jan
2018]. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/437359
14. Muruva N, Gest T. Medscape Reference [Internet]. New York: WebMD
Prostate Anatomy. [updated 16 Sept 2013, cited Jan 2018]. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1923122-overview#a1

26

Anda mungkin juga menyukai