Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

GAGAL GINJAL AKUT (ACUTE KIDNEY INJURY)

Pembimbing :

dr. H. Asep Syaiful Karim, Sp. PD

Disusun oleh :

Gustamas Indra Maulana

03013086

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

PERIODE 8 MEI 22 JULI 2017

4
LEMBAR PERNGESAHAN
REFERAT

Judul:
GAGAL GINJAL AKUT (ACUTE KIDNEY INJURY)

Penyusun:
GUSTAMAS INDRA MAULANA
030.13.086

Telah disetujui oleh


Pembimbing

dr. H. Asep Syaiful Karim, Sp.PD

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya yang


begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah
referat yang berjudul Gagal Ginjal Akut (Acute Kidney Injury) pada
kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Budhi
Asih.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini,
terutama kepada dr. H. Asep Syaiful Karim, Sp. PD selaku pembimbing yang
telah memberikan waktu dan bimbingannya sehingga makalah referat ini
dapat terselesaikan.
Penulis berharap makalah referat ini dapat menambah pengetahuan
dan memahami lebih lanjut mengenai Gagal Ginjal Akut (Acute Kidney
Injury) serta salah satunya untuk memenuhi tugas yang diberikan pada
kepaniteraan klinik di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah referat ini masih
terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu, segala kritik dan saran dari
semua pihak yang membangun guna menyempurnakan makalah ini sangat
penulis harapkan. Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Jakarta, 6 Juli 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii

KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii

DAFTAR ISI............................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR................................................................................... v

DAFTAR TABEL......................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 3

2.1 Definisi... 3

2.2 Epidemiologi.. 5

2.3 Etiologi... 6

2.4 Patofisiologi.................................................................... 8

2.5 Manifestasi Klinis........... 14

2.6 Penegakan Diagnosis... 15

2.7 Komplikasi........... 19

2.8 Tatalaksana...................................................... 21

2.9 Prognosis........................................ 24

BAB III KESIMPULAN.... 25

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 26

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Mekanisme Autoregulasi Ginjal.............................................................9

Gambar 2. Tahapan Terjadinya AKI ......................................................................11

Gambar 3. Gangguan yang terjadi pada sel Tubuli setelah Iskemi ........................12

Gambar 4. Alur penegakan diagnosis ....................................................................18

Gambar 5. Algoritme Penegakan Diagnosis GgGA ..............................................18

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kriteria RIFLE menurut AQDI ................................................................. 3

Tabel 2. Kriteria AKI menurut AKIN. .................................................................... 4

Tabel 3. Klasifikasi dan Penyebab Utama AKI. ......................................................7

Tabel 4. Manifestasi Klinis GgGA.........................................................................15

Tabel 5. Kriteria Diagnosis GgGA menurut KDIGO. ...........................................19

Tabel 6. Terapi Konservatif pada GgGA. ..............................................................22

vi
BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan ginjal akut adalah suatu kondisi klinis spesifik dengan manifestasi
yang sangat bervariasi, mulai dari ringan tanpa gejala, hingga sangat berat dengan
disertai gagal organ multiple. Gangguan ginjal akut dapat terjadi pada pasien yang
dirawat di rumah sakit (hospital-acquired) baik rawat inap intensif maupun rawat
inap non-intensif, bahkan bisa ditemukan diluar rumah sakit (community-
acquired).

Gangguan ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) dapat diartikan
sebagai penurunan cepat dan tibatiba atau parah pada fungsi filtrasi ginjal. Kondis
biasanya ditandai oleh peningkatan konsentrasi kreatinin serum atau azotemia
(peningkatankonsentrasi BUN). Akan tetapi biasanya segera setelah cedera ginjal
terjadi, tingkatkonsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang menjadi patokan
adanya kerusakan ginjaladalah penurunan produksi urin (Sudoyo AW,
2006).Insidens di negara berkembang, khususnya di komunitas, sulit didapatkan
karenatidak semua pasien AKI datang ke rumah sakit. Diperkirakan bahwa
insidens nyata padakomunitas jauh melebihi angka yang tercatat. Peningkatan
insidens AKI antara lain dikaitkandengan peningkatan sensitivitas kriteria
diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringandapat terdiagnosis (Lameire,
2006; Waikar, 2006).

Beberapa laporan dunia menunjukkaninsidens yang bervariasi antara 0,5-


0,9% pada komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawatdi rumah sakit, hingga
20% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU),dengan angka
kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia berkisar 25% hingga 80% (SintoR,
2010).AKI telah menarik perhatian dengan adanya pengakuan bahwa perubahan
kecil dalamfungsi ginjal mungkin memiliki efek yang serius dalam diagnosa
akhir. Meskipun kemajuandalam diagnosis dan staging AKI dengan emergensi

1
biomarker menginformasikan kepadakita tentang mekanisme dan jalur dari AKI,
tetapi kita belum bisa tahu bagaimana AKI berkontribusi terhadap peningkatan
mortalitas dan morbiditas pada pasien rawat inap (MehtaR.L, 2011).
Perkembangan deteksi dini dan manajemen AKI telah sangat ditingkatkanmelalui
pengembangan definisi universal dan spektrum staging. Cedera AKI berubah
dari bentuk kurang parah menjadi staging severe injury, dimana gagal ginjal akut
mungkinmemerlukan terapi pengganti ginjal (Sedgewick J, 2011).

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan


kadar kreatinin serum 0,3 mg/dl, presentasi kenaikan kreatinin serum 50%
(1,5 x kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang
tercatat 0,5 ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam.1 Kriteria untuk diagnosis
dan klasifikasi AKI sesuai rekomendasi Acute Dialysis Quantitative Initiative
(ADQI) yang pada tahun 2002 memperkenalkan istilah 'acute kidney injury' serta
memperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit AKI,
dan untuk pertama kalinya dipresentasikan pada International Conference on
Continuous Renal Replacement Therapies di San Diego pada tahun 2003.2

Tabel l Kriteria RIFLE Menurut ADQI 3

Kriteria LFG Kriteria Urine Output


(UO)

Risk Kenaikan SCr 1,5 UO < 0,5 ml/kg/jam

atau penurunan LFG > 25% (selama 6 jam)

Injury Kenaikan SCr 2 UO < 0,5 ml/kg/jam

atau penurunan LFG > 50% (selama 12 jam)

Failure Kenaikan SCr 3 UO < 0,3 ml/kg/jam

atau penurunan LFG > 75% (selama 24 jam)

atau SCr 4 mg/dL atau anuria dalam 12 jam

Loss Gagal ginjal akut menetap (Loss = hilangnya fungsi ginjal >4
minggu)

ESRD End Stage Renal Disease (Gagal Ginjal Terminal) >3 bulan

3
*Keterangan
SCr : kadar kreatinin serum
UO : urine output
LFG : laju filtrasi glomerulus

Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN) menggunakan


istilah AKI untuk menggambarkan spektrum kerusakan ginjal secara akut, yaitu
proses yang menyebabkan kerusakan ginjal dalam waktu 48 jam dan didefinisikan
sebagai peningkatan kreatinin serum ( 0,3 mg/dl atau peningkatan 50%) atau
penurunan produksi urin (keadaan oliguria < 0,5 ml/kg/jam lebih dari 6 jam).
Kriteria AKI menurut AKIN dibagi atas beberapa tahapan seperti pada Tabel 2
dibawah ini.

Tabel 2 Kriteria AKI Menurut AKIN9

Tahap Kriteria Klinis Kriteria Jumlah


Urine

1 (RIFLE R) Peningkatan kreatinin serum > 0,3 mg/dL < 0,5 ml/kg/jam
atau selama 6 jam

peningkatan kreatinin serum 1,5 sampai 2


kali dari keadaan normal

2 (RIFLE I) Peningkatan kreatinin serum 2 sampai 3 < 0,5 ml/kg/jam


kali dari keadaan normal
selama 12 jam

3 (RIFLE F) Peningkatan kreatinin serum > 3 kali dari < 0,3 mL/kg/jam
normal atau selama 24 jam atau

kreatinin serum > 4 mg/dL dengan anuria selama 12 jam


peningkatan akut > 0,5 mg/dL

Kriteria AKI menurut AKIN sebenarnya tidak berbeda dengan kriteria


RIFLE. Kriteria RIFLE R, I, dan F sama dengan kriteria AKIN pada tahap l, 2 dan
3. Pada kriteria menurut AKIN, kriteria L dan E dihilangkan karena dianggap
sebagai prognosis, bukan tahapan penyakit. Selain itu, perubahan pada kriteria

4
laju filtrasi glomerulus (LFG) dilakukan berdasarkan penelitian terbaru
bahwa kenaikan serum kreatinin sebesar 0,3 mg/dl sudah meningkatkan angka
kematian 4 kali lebih banyak, serta sulitnya penggunaan LFG sebagai parameter
penurunan fungsi ginjal, terutama jika pasien berada dalam keadaan kritis atau
dirawat di ruang intensif.4
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat kita menggunakan
kriteria tersebut, yaitu :4
Tidak ada perbedaan dalam umur dan jenis kelamin
Dilakukan pemeriksaan kadar kreatinin serum paling sedikit 2 kali
dalam 48 jam
Dalam menentukan urine output, hidrasi pasien harus dalam keadaan
normal dan tidak ada obstruksi pada saluran kemih
Diagnosis AKI harus dilengkapi dengan tahapan penyakit sesuai
kriteria RIFLE atau kriteria AKIN.
Perlu dibedakan antara diagnosis AKI, penyakit ginjal kronis, atau
perburukan fungsi ginjal pada chronic kidney disease (acute on CKD).

2.2 Epidemiologi

Hasil studi literature yang dilakukan Cerda, dkk. (2008) menunjukkan


adanya perbedaan insiden GgGA pada negara berkembang dan negara maju,
baik untuk pasien yang dirawat dirumah sakit maupun pada populasi umum.
Perbedaan ini dipengaruhi oleh letak geografis, penyakit pandemic, status
ekonomi dan budaya setempat.5

Di Negara berkembang, insidens GgGA pada populasi umum jarang


dilaporkan, karena tidak semua pasien dirujuk ke rumah sakit. Gangguan
ginjal akut yang ringan dapat sembuh sendiri diluar rumah sakit sedangkan
GgGA yang berat seringkali tidak mencapai rumah sakit karena masalah
geografis atau ekonomi. Cina melaporkan angka kejadian GgGA sebesar

5
0,54/1000 pasien yang dirawat sedangkan di India melaporkan 6,6/1000
pasien yang dirawat.

Di Negara maju, angka kejadian GgGA di rumah sakit jauh lebih tinggi
dibandingkan Negara berkembang, dan umumnya terjadi pada usia lanjut
atau pasca operasi jantung. Sedangkan di Negara berkembang, GgGA lebih
banyak terjadi pada usia muda atau anak-anak, dengan etiologi dehidrasi,
infeksi, toksik, atau kasus-kasus obstetric.6 Meta-analisis yang dilakukan
oleh Needham (2007) menunjukkan angka kejadian GgGA di intensive care
unit (ICU) adalah 1-5% dari seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit dan
angka kematiannya mencapai 50-70%. Sedangkan meta-analisis yang
dilakukan Lamier dengan menggunakan kriteria RIFLE menunjukkan angka
kejadian GgGA di ICU bervariasi antara 5-67% dari seluruh pasien yang
dirawat di rumah sakit.7

Acute Kidney Injury lebih sering terjadi tetapi insidennya tergantung


dari defenisi yang digunakan dan dalam penelitian populasi. Dalam suatu
penelitian di Amerika, terdapat 172 kasus acute kidney injury (konsentrasi
serum kreatinin lebih dari 500 mikromol/L) dalam per juta orang dewasa
setiap tahun, dengan 22 kasus per juta yang mendapat dialisis akut. AKI lebih
sering terjadi pada umur tua. AKI prerenal dan nekrosis tubular akut iskemik
terjadi bersamaan sekitar 75% pada kasus AKI.

2.3 Etiologi

Etiologi gangguan ginjal akut secara klasik dibagi menjadi 3 kelompok


utama berdasarkan lokasi terjadinya kelainan patofisiologi, yaitu sebelum
ginjal (pre-renal), di dalam ginjal (renal/intrinsik), atau sesudah ginjal (post-
renal). Angka kejadian etiologi pre-renal mencapai 70% dari seluruh GgGA
yang terjadi di luar rumah sakit dan 40% dan yang terjadi di dalam rumah
sakit.11

Etiologi intrinsik (renal) disebabkan oleh semua gangguan yang terjadi


di dalam ginjal, baik di tubuli ginjal, parenkim (interstisial), glomeruli,

6
maupun pembuluh darah (vascular). Etiologi renal biasanya terjadi di dalam
rumah sakit. Etiologi renal biasanya terjadi di dalam rumah sakit (hospital-
acquired) atau terjadi sebagai kelanjutan GgGA pre-renal (hipoperfusi) yang
terjadi diluar rumah sakit dan tidak dikelola dengan baik sehingga berlanjut
menjadi tubular nekrosis akut (TNA).12 Etiologi TNA paling sering
disebabkan oleh sepsis (50%), obat-obatan yang bersifat nefrotoksik (35%),
dan keadaan iskemia (15%) (TNA iskemik).

Gangguan ginjal akut post-renal terjadi akibat obstruksi ada saluran air
kemih apapun etiologinya. Obstruksi dapat terjadi di bawah kandung kemih
(uretra) atau pada ke-2 ureter yang akan menghambat aliran urin dari ke-2
ginjal. Obstruksi akan meningkatkan tekanan di dalam kapsula Bowman dan
menurunkan tekanan hidrostatik sehingga terjadi penurunan LFG. Bila
obstruksi hanya terjadi pada salah satu ureter maka GgGA post-renal baru
akan berlangsung bila ginjal sebelahnya sudah tidak berfungsi akibat
etiologi lain.

Tabel 3 Klasifikasi dan Penyebab Utama AKI


AKI Pre Renal :

1. Hipovolemia
a. Hemoragik, luka bakar, dehidrasi
b. Kehilangan cairan lewat Gl; muntah, diare, drainase
c. Kehilangan cairan lewat ginjal: diuretik, diuresis osmotik (misal DM),
hipoadrenalisme.
d. Pankreatitis, peritonitis, trauma, luka bakar, dan hipoalbuminemia berat
2. Penurunan cadiac output:
a. Penyakit otot jantung, katup dan perikardium; aritmia, tamponade
b. Lain-lain: hipertensi pulmonal, emboli pulmonal masif, ventilasi mekanik
3. Perubahan rasio resistensi sistem vaskular renal:
a. Vasodilatasi sistemik: sepsis, antihipertensi, anestesi, anafilaksis
b. Vasokonstriksi renal: hiperkalemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin,
tacrolimus, amfoterisin
c. Sirosis dengan asites (sindrom hepatorenal)
4. Hipoperfusi renal dengan kegagalan respon autoregulasi renal: siklooksigenase
inhibitor, ACE inhibitor
5. Sindrom hiperviskositas: multipel mieloma, makoglobunemia, polisitemia

7
AKI Intrinsik :

1. Obstruksi vaskular renal (bilateral atau unilateral)


a. Obstruksi arteri renal: plak arteriosklerotik, trombosis, emboli, aneurisma,
vaskulitis
b. Obstruksi vena renal: trombosis, kompresi
2. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular renal
a. Glomerulonefritis dan vaskulitis
b. Sindrom hemolitik uremik, TTP, DlC, kehamilan toksik, hipertensi, nefritis
radiasi, SLE dan skleroderma
3. Nekrosis tubular akut
a. lskemik akibat AKI pre renal (hipovolemik, penurunan cardiac output,
vasokonstriksi renal, vasodilatasi sistemik), komplikasi obstetri (ruptur plasenta,
perdarahan post partum)
b. Toksin
Eksogen: kontras, siklosporin, antibiotik (misalnya aminoglikosida),
kemoterapi (misalnya cisplatin), bahan organik (misalnya etilen glikol),
asetaminofen.
Endogen: rhabdomiolisis, hemolisis, asam urat, oksalat, diskrasia sel plasma
(misalnya mieloma)
4. Nefritis interstitial
1. Alergi antibiotik (misalnya laktam, sulfonamida, trimetoprim, rifampisin), anti
inflamasi non steroid, diuretik, kaptopril
2. lnfeksi bakteri (misalnya pielonefritis akut, leptospirosis), cytomegalovirus,
jamur kandida
3. lnfiltrasi: limfoma, leukemia, sarkoidosis
4. ldiopatik
5. Obstruksi tubulus: protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,
sulfonamid
6. Renal allograft rejection
AKI Post Renal :

1. Ureter : Kalkuli, bekuan darah, sumbatan pada papilla, keganasan, kompresi


ekstemal (misalnya fibrosis retroperitoneal)
2. Bladder neck : neurogenic bladder, hipertropi prostat, kalkuli, keganasan, bekuan
darah
3. Uretra : striktur, katup kongenital, fimosis

2.4 PATOFISIOLOGI
Gangguan ginjal akut adalah suatu proses multifaktor yang meliputi
gangguan pada sistem hemodinamik renal, obstruksi tubulus renalis, gangguan
sel, dan metabolik. Patofisiologi terjadinya AKI terdiri dari kumpulan kejadian
yang sangat kompleks dan bervariasi tergantung pada etiologi penyebab AKI.

8
Patofisiologi AKI memiliki gambaran yang berbeda pada setiap klasifikasi
penyebab AKI, yaitu prerenal, intra renal, dan post renal.8

2.4.1 Patofisiologi AKI Prerenal

Pada AKI prerenal, respon yang terjadi merupakan reaksi dari fungsi
ginjal terhadap keadaan hipoperfusi ginjal tanpa melibatkan gangguan pada
struktur ginjal. Pada keadaan ini, integritas jaringan ginjal masih terpelihara
dengan adanya mekanisme autoregulasi ginjal. Berkurangnya perfusi ginjal akan
menyebabkan perangsangan aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS)
yang mengakibatkan peningkatan kadar angiotensin II. Peningkatan kadar
angiotensin II menimbulkan vasokonstriksi arteriol efferen glomerulus ginjal.
Angiotensin II juga berperan pada arteriol afferen glomerulus, tetapi efeknya akan
meningkatkan hormon-hormon vasodilator prostaglandin sebagai upaya
kontraregulasi. Vasokonstiksi pada arteriol efferen dilakukan untuk
mempertahankan tekanan kapiler intra glomerulus serta LFG agar tetap normal.8
Mekanisme autoregulasi ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

9
Gambar 1. Mekanisme Autoregulasi Intra renal pada Keadaan
Penurunan Tekanan Perfusi dan Penurunan LFG

Gangguan hemodinamik juga merangsang sistem saraf simpatis sehingga


terjadi perangsangan sekresi dari hormon-hormon aldosteron dan vasopressin
yang berakibat pada peningkatan reabsorbsi natrium, urea, dan air pada segmen
distal nefron sehingga terjadi retensi urine dan natrium. Mekanisme autoregulasi
ini dapat terganggu atau tidak dapat dipertahankan apabila gangguan hipoperfusi
ginjal menjadi lebih berat atau berlangsung lama.8

2.4.2 Patofisiologi AKI Intra Renal

Penyebab utama AKI intra renal adalah terjadinya ATN akibat proses
iskemia atau toksik. Nekrosis tubular akut sering diakibatkan oleh etiologi
multifaktorial dan biasa terjadi pada penyakit akut yang disertai sepsis, hipotensi,
atau penggunaan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik. Sepsis merupakan
penyebab utama ATN pada pasien-pasien yang dirawat di ICU (35-50%) dan
setelah tindakan operasi (20-25%). Berbeda dengan AKI prerenal, pada AKI intra
renal telah terjadi gangguan pada struktural ginjal. Proses kerusakan diawali
dengan keadaan oliguria yang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama setelah
terjadi gangguan (injury). Fase oliguria dapat berlangsung selama l-2 minggu
diikuti oleh fase diuresis yang menandakan terjadinya perbaikan fungsi.2
Proses penyebab AKI intra renal dapat merupakan kelanjutan AKI
prerenal (azotemia prerenal) akibat hipoperfusi yang bertambah berat atau
berlanjut sehingga terjadi gangguan pada sel-sel tubulus ginjal disertai gangguan
pada fungsi ginjal. Proses iskemia ini terjadi melalui beberapa tahapan seperti
terlihat pada Gambar 2 berikut.

10
Gambar 2 Beberapa Tahapan Terjadinya AKI 15-9

Pada Gambar 2 di atas, tahapan AKI prerenal akan berlanjut pada tahap
inisiasi yang ditandai dengan kerusakan pada sel-sel epitel dan endotel. Proses
kerusakan pada sel-sel epitel diawali dengan terjadinya perenggangan dan
hilangnya brush border tubulus proksimal disertai penurunan polaritas sel.
Perbaikan gangguan ginjal pada tahap ini akan menyebabkan penyembuhan
secara sempurna. Tetapi bila berlanjut pada tahap ekstensi, akan terjadi apoptosis
dan nekrosis sel-sel epitel, proses deskuamasi yang akan menyebabkan sumbatan
pada lumen tubulus, dan terjadinya proses inflamasi seperti terlihat pada Gambar
3 berikut.9

11
Gambar 3 Gangguan yang Terjadi pada Struktur Sel Tubuli Setelah
Terjadinya Iskemia

Apoptosis merupakan mekanisme utama penyebab kematian sel-sel


tubulus setelah iskemia yang berhubungan dengan berkurangnya ukuran sel secara
progresif dan keutuhan fungsi maupun struktur plasma membran. Berkurangnya
ukuran sel ini menyebabkan hilangnya volume sitosol dan berkurangnya ukuran
nukleus sel. Gambaran spesifik pada apoptosis adalah terjadinya kondensasi
kromatin inti dan fragmentasi DNA intranukleus. Pada nekrosis terjadi
pembengkakan dan pembesaran sel sehingga terjadi gangguan pada mitokondria.
Integritas plasma sel akan menghilang diikuti dengan hilangnya komponen sitosol
termasuk lisosom protease yang menyebabkan kerusakan dan inflamasi pada
jaringan sekitar. Kematian sel terjadi sebagai akibat proses apoptosis dan nekrosis
sel-sel epitel.
Kerusakan sel endotel vaskular ginjal terjadi akibat peningkatan stress
oksidatif yang juga meningkatkan angiotensin II, endothelin-l, dan penurunan
prostaglandin dan NO dari endothelial NO synthetase (eNOS). Kerusakan

12
vaskular secara langsung dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi intra
renal. Vasokonstriksi ini diduga merupakan faktor utama penyebab gangguan
hemodinamik renal pada AKI. Kelainan pada vaskular dapat juga terjadi akibat
peningkatan ekspresi molekul adhesi seperti ICAM-I dan p-selectin dari sel
endotel sehingga terjadi perlengketan sel-sel radang terutama neutrofil yang
menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen.8
Kerusakan tubulus merupakan proses yang terjadi akibat kerusakan
sitoskeleton karena peningkatan calpain, cytosolic phospholipase A2, dan
kerusakan actin karena peningkatan Ca2+ intraseluler. Kerusakan ini
menyebabkan gangguan pada basolateral Na+K+ATP-ase sehingga terjadi
penurunan reabsorbsi natrium di tubulus proksimal. Obstruksi tubulus akibat
sumbatan mikrovili yang terlepas bersama sel-sel debris juga akan diikuti
pembentukan silinder cast dari matriks ekstraseluler. Kerusakan pada sel tubulus
berakibat terjadinya kebocoran kembali (backleak) cairan intra tubular ke dalam
sirkulasi peritubular. Keseluruhan mekanisme di atas secara keseluruhan akan
menyebabkan penurunan LFG dan terjadinya oliguria. Keseluruhan proses
tersebut dapat terlihat pada Gambar 4 berikut.8

13
Gambar 4 Patofisiologi AKI Akibat Proses Iskemia 9

2.4.3 Patofisiologi AKI post renal


Penyebab terjadinya AKI post renal dapat terjadi akibat sumbatan dari
sistem traktus urogenital seperti ureter, pelvis renal, vesika urinaria, dan uretra.
Penyebab sumbatan dapat bermacam-macam seperti adanya striktur, pembesaran
prostat, dan keganasan. Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal merupakan 10% dari
keseluruhan GGA. GGA post-renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstrarenal.
Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan protein (
mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi
intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan
retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/ keganasan prostate)
dan uretra (striktura). GGA post-renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli buli
dan ureter bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana salah satu ginjal tidak berfungsi.
2

2.5 Manifestasi Klinis

Presentasi klinis bervariasi tergantung etiologi dan tingkat keparahan AKI,


dan penyakit yang terkait. Kebanyakan pasien dengan AKI ringan sampai sedang
tidak menunjukkan gejala dan biasanya teridentifikasi dengan pemeriksaan
laboratorium. Pasien dengan severe AKImungkin dapat menunjukan gejala,
berupa lesu, rasa bingung, fatique, anoreksia, mual, muntah, penambahan berat
badan, atau edema. Selain itu oliguria (urine output kurang dari 400 ml per hari),
anuria (urin output kurang dari 100 ml per hari), atau dengan urin output normal
(non-oligouric AKI) juga dapat ditemukan pada pasien severe AKI.13-14

14
Tabel 4. Manifestasi Klinis GgGA.

Pre-renal Renal Post-renal

Rasa haus, seperti TNA: Riwayat Nyeri suprapubik


ingin jatuh hipovolemi, syok
Nyeri pada perut
sepsis, dan operasi
Hipotensi ortostatik,
besar Kolik menandakan
takikardi, penurunan
adanya obstruksi
JVP, turgor kulit , SLE (demam,
mukosa kering arthralgia, rash nokturia, frekuensi,
eritematosa) pembesaran prostat
Stigmata sirosis hati
menandakan adanya
dan hipertensi portal Nyeri pada pinggang
patologi pada prostat
menandakan oklusi
Tanda-tanda gagal
arteri/vena ginjal
jantung pada pasien
gagal jantung Oligouria, edema,
kongestif hipertensi, hematuria
menandakan
Sepsis, dan
glomerulonefritis
sebagainya
hipertensi maligna

2.6 Penegakan Diagnosis

Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan GgGA pre-


renal, GgGA renal, dan GgGA post-renal. Dalam menegakkan diagnosis
gangguan ginjal akut perlu dilakukan pemeriksaan16 :

1. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik yang baik, untuk mencari penyebab GgGA
seperti misalnya operasi KV, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit, infeksi
tenggorokan, ISK), riwayat bengkak, riwayat kencing batu

15
2. Membedakan GgGA dan GGK, misalnya: anemia dan ukuran ginjal yang
kecil menunjukkan GgGK
3. Pemeriksaan berulang fungsi ginjal untuk mendiagnosis GgGA, yaitu kadar
ureum, kreatinin, dan laju filtasi glomerulus. Pada pasien yang dirawat selalu
diperiksa asupan dan keluaran cairan (balance cairan), berat badan untuk
memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada GgGA
yang berat dengan berkurangnya fungsi ginjal, ekskresi air dan garam
berkurang sehingga dapat menimbulkan edema bahkan sampai terjadi
kelebihan air yang berat atau edema paru. Ekskresi asam yang berkurang juga
dapat menimbulkan asidosis metabolik dengan kompensasi pernapasan
kussmaul. Umumnya manifestasi GgGA lebih di dominasi oleh faktor-faktor
presipitasi atau penyakit utamanya.
4. Penilaian pasien GgGA:
a. Kadar kreatinin Serum. Pada GgGA faal ginjal dinilai dengan memeriksa
berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serum kreatinin tidak dapat
mengukur secara tepat LFG karena tergantung dari produksi (otot),
distribusi dalam cairan tubuh dan eksresi oleh ginjal.
b. Kadar cystatin C serum. Walaupun belum diakui secara umum nilai serum
cystatin C dapat menjadi indikator GgGA tahap awal yang cukup dapat
dipercaya.
c. Volume Urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indikator yang
spesifik untuk GgGA, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai
biokimia darah. Walaupun demikian, volume urin pada GgGA bisa
bermacam-macam. GgGA pre-renal biasanya hampir selalu disertai
oliguria (<400 ml/hari), walaupun kadang-kadang tidak dijumpai oliguria.
GGA post renal dan GGA renal dapat ditandai baik oleh anuria maupun
poliuria.
o Perubahan pada urine ouput secara garis besar sedikit berkaitan dengan
perubahan pada laju filtrasi glomerulus (LFG)/ Kurang lebih 50-60%
dari seluruh etiologi AKI adalah non-oligourik. Namun,

16
mengidentifikasi anuria, oliguria, ataupun non-oliguria mungkin dapat
berguna untuk mengetahui diferensial diagnosis dari AKI, seperti:i
Anuria : Infeksi saluran kemih, Obstruksi arteri renalis, rapidly
progressive glomerulonephritis, bilateral diffuse renal cortical
necrosis
Oliguria : AKI akibat pre-renal, sindroma hepatorenal
Non-oliguria : Acute interstisial nefritis, Glomerulonefritis akut,
Partial Obstructive Nephropathy, radiocontrast- induced AKI.
d. Kelainan analisis urin.17
o Pasien dengan oliguria, pengukuran FENa dapat membantu untuk
membedakan pre-renal dengan GgGA renal yang menyebabkan
GgGA. FENa dapat dijelaskan dengan hasil sebagai berikut: Nilai
kurang dari 1 persen menunjukkan GgGA akibat pre-renal, dimana
FNEa > 2% menunjukkan GgGA akibat gangguan renal. Pada pasien
yang menjalani terapi diuretik, FNEa> 1% dapat disebabkan oleh
proses natriuresis yang disebabkan oleh diuretik, sehingga kurang
dapat diandalakn sebagai GgGA akibat pre-renal. Di beberapa kasus,
fractional excretion of urea (FE urea) dapat membantu, dengan hasil
kurang dari 35% yang menunjukkan GgGA akibat pre-renal. FENa
kurang dari 1 persen tidak spesifik untuk GgGA pre-renal karena hasil
tersebut dapat disebabkan oleh kondisi lainnya, seperti contrast
nephropathy, rhabdomyolisis, acute glomerulonephritis, dan infeksi
saluran kemih.
e. Petanda biologis (Biomarkers). Syarat petanda biologis GgGA adalah
mampu dideteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan
kemudahan teknik pemeriksanya. Biomarkers diperlukan untuk secepatnya
mendiagnosis GgGA. Berdasarkan kriteria RIFLE/AKIN maka perlu
dicari pertanda utnuk membuat diagnosis seawal mungin. Beberapa
biomarkers mungkin bisa dikembangkan. Biomarkers ini merupakan zat-
zat yang dikeluarkan oleh tubuls ginjal yang rusak, seperti IL-18, enzim
tubular, dll.

17
Diagnosis klinis GgGA dapat ditegakkan dengan cepat tanpa
membutuhkan alat canggih dan mahal seperti CT-scan atau MRI, tetapi
membutuhkan daya analisis yang kuat dan pengetahuan patofisiologi yang
memadai dalam mengevaluasi data-data yang ada. Untuk itu, akan disajikan suatu
alogaritma yang komprehensif berdasarkan pengalaman klinis dan didukung oleh
data-data penelitian, yang diharapkan dapat membantu menegakkan diagnosis
secara dini dan tepat seperti terlihat pada gambar 4.15

Memenuhi kriteria diagnosis


gangguan ginjal akut (GgGA)

Langkah 1 Ya Tidak

GgGA Observasi 24-48


jam

Diagnosis
Langkah 2 Tidak
Etiologi GgGA

Diagnosis klinik dan


Bukan GgGA
Langkah 3 tahapan GgGA Gejala
dan Komplikasi

Pemeriksaan
Langkah 4
penunjang

Gambar 5. Algoritme untuk menegakkan diagnosis GgGA. 15

18
Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) pada tahun 2011
menerbitkan panduan untuk GgGA dengan tujuan menjembatani hal-hal yang
belum dapat disepakati oleh ADQI maupun AKIN. Kriteria diagnosis GgGA versi
KDIGO sebenarnya hampir sama dengan kriteria diagnosis AKIN. Kesulitan
penggunaan panduan ADQI maupun AKIN adalah menentukan kadar kreatinin
dasar (referensi). Seringkali pasien masuk tanpa mengetahui berapa kadar
kreatinin darah sebelumnya, terutama untuk GgGA yang tidak dirawat dirumah
sakit. Untuk itu, KDIGO memberikan definisi kadar kreatinin darah referensi
adalah sebagai berikut:

Kadar kreatinin darah terendah dalam 3 bulan terakhir, atau kadar


kreatinin saat awal masuk perawatan. Untuk mengetahui peningkatan kreatinin,
maka dilakukan pemeriksaan kreatinin ulang setelah 24 jam perawatan.

Tabel 5. Kriteria Diagnosis GgGA menurut KDIGO

Kriteria Diagnosis GgGA KDIGO

Peningkatan kadar kreatinin serum sebesar 0,3 mg/dL ( 26,4 umol/L)


atau

Peningkatan kadar kreatinin serum 1,5 kali (> 50%) bila dibandingkan
dengan kadar referensi yang diketahui dan diduga terjadi peningkatannya
dalam 1 minggu
atau

Penurunan produksi urin menjadi kurang dari 0,5 cc/jam selama lebih
dalam 6 jam

2.7 Komplikasi Gangguan Ginjal Akut

Komplikasi yang dapat terjadi pada GgGA dan memerlukan


pengelolaan segera adalah:

1. Gangguan keseimbangan cairan tubuh

Pada keadaan normal terjadi keseimbangan pengaturan cairan tubuh


dan elektrolit (terutama natrium)sehingga tekanan osmotic plasma stabil
dengan kadar normal natrium sekitar 135-145 meq/L. Pada GgGA,
akibat hipoperfusi ataupun mekanisme lain akan terjadi oligouri atau
anuri sehingga keseimbangan ini terganggu. Terjadinya retensi cairan
akan mengakibatkan kelebihan cairan intravascular (volume overload)

19
dan disnatremi. Manifestasi kliniknya dapat berupa peningkatan
tekanan vena jugular hipertensi ringan, edema perifer atau edema paru.

2. Gangguan keseimbangan elektrolit

Akibat retensi air atau asupan cairan yang hipotonis dapat terjadi
hiponatremia (delusional). Pada hiponatremia yang berat dapat terjadi
edema serebral dengan gejala kejang atau gangguan neurologis lain.
Dalam keadaan normal, kadar K+ lebih tinggi di intraselular dibanding
dengan ekstraselular. Hiperkalemia dapat terjadi akibat peningkatan
kadar kalium total atau terhambatnya translokasi kalium dari
ekstraselular ke intraselular. Hiperkalemia berat dapat menimbulkan
gangguan neurologis, gagal napas atau henti jantung (cardiac arrest).

3. Asidosis Metabolik

Ginjal memgang peranan penting dalam pengaturan keseimbangan


asam basa. Pada GgGA terjadi penurunan LFG secara mendadak yang
mengakibatkan terjadinya penimbunan anion organik. Akibat gangguan
reabsorbsi dan regenarasi, produksi bikarbonat menurun. Kedua
mekanisme ini akan menimbulkan komplikasi metabolic asidosis pada
penderita GgGA.

4. Gagal Jantung

Akibat kelebihan cairan intravascular dapat terjadi edema perifer, asites


atau efusi pleura. Bila fungsi jantung memburuk akan terjadi gagal
jantung akut dengan paru yang dapat disertai hipertensi pada sindrom
kardio-renal atau hipotensi pada syok kardiogenik.

5. Gagal Napas

Gagal napas sering terjadi pada GgGA dan mekanismenya belum jelas.
Beberapa hal yang dapat menjadi penyebab gagal napas pada GgGA
adalah:

1. Kelebihan cairan intravascular (edema kardiogenik)

2. Disfungsi ventrikel kiri (edema kardiogenik)

3. Peningkatan permeabilitas kapiler paru (acute respiratory distress


syndrome ARDS)

20
6. Azotemia

Peningkatan toksin uremik (azotemia) pada GgGA menimbulkan


berbagai kelainan, antara lain gangguan pencernaan (anoreksia, mual,
muntah), gangguan kesadaran dengan derajat ringan sampai koma,
pericarditis, efusi perikard, amponade kardiak, dan berbagai kelainan
lain yang dapat mengancam jiwa.

2.8 Tatalaksana

Ada 2 jenis pengobatan dalam pengelolaan terhadap komplikasi GgGA,


yaitu:

1. Terapi Konservatif

Yang dimaksud dengan terapi konservatif (suportif) adalah


penggunaan obat-obatan atau cairan dengan tujuan mencegah atau
mengurangi progresifitas, morbiditas dan mortalitas penyakit akibat
komplikasi GgGA. Bila terapi konservatif tidak berhasil, maka harus
diputuskan untuk melakukan TPG

Tujuan terapi konservatif pada GgGA adalah sebagai berikut:18

Mencegah progresifitas penurunan fungsi ginjal

Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia

Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal

Memelihara keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa.

Beberapa prinsip terapi konservatif:18

Hati-hati pemberian obat yang bersifat nefrotoksik

Hindari keadaan yang menyebabkan deplesi volume cairan


ektraseluler dan hipotensi

Hindari gangguan keseimbangan elektrolit dan asidosis metabolic

Hindari instrumentasi (kateterisasi dan sistoskopi) tanpa indikasi


medis yang kuat

21
Hindari pemeriksaan radiologi dengan media kontras tanpa
indikasi medis yang kuat

Kendalikan hipertensi sistemik dan tekanan intraglomerular

Kendalikan keadaan hiperglikemia dan infeksi saluran kemih


(ISK)

Diet protein yang proporsional

Pengobatan yang sesuai terhadap etiologi GgGA

Pada dasarnya terapi konservatif (suportif) adalah untuk menjaga


homeostasis tubuh dengan mengurangi efek buruk akibat komplikasi
GgGA. Beberapa terapi suportif beserta dosis obat yang dianjurkan
dapat terlihat pada tabel 6.18

Tabel 6. Terapi konservatif (suportif) pada GgGA.18

Komplikasi Terapi

Kelebihan cairan Batasi garam (l-2 gram/hari) dan air (<1 liter/hari)
Intravaskuler Diuretik (biasanya furosemide/thiazide)
Hiponatremia Batasi cairan (<1 liter/hari)
Hindari pemberian cairan hipotonis (termasuk
dekstrosa 5%)
Hiperkalemia Batasi asupan kalium (<40 mmol/hari)
Hindari suplemen kalium dan diuretik hemat
kalium
Beri resin potassium-binding ion exchange
(kayexalate)
Beri glukosa 50% sebanyak 50 cc + insulin 10
unit
Beri natrium bikarbonat (50-100 mmol)
Beri salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0,5-l mg lV
Kalsium glukonat 10% (10 cc dalam 2-5 menit)
Asidosis metabolik Batasi asupan protein (0,8-1,0 g/kgBB/hari)
Beri natrium bikarbonat (usahakan kadar serum
bikarbonat plasma > 15 mmol/l dan pH arteri >
7,2)
Hiperfosfatemia Batasi asupan fosfat (800 mg/hari)
Beri pengikat fosfat (kalsium asetat-karbonat,
alumunium HCl, sevalamer)

22
Hipokalsemia Beri kalsium karbonat atau kalsium glukonat 10%
(10-20 cc)
Hiperurisemia Tidak perlu terapi jika kadar asam urat < 15 mg/dl

7. Terapi Pengganti Ginjal

Tujuan TPG pada pasien AKI dalam kondisi kritis adalah untuk
memberi bantuan kepada ginjal (renal support) dan kepada berbagai
organ tubuh lainnya supaya kembali berfungsi. Pasien AKI dalam
kondisi kritis membutuhkan cairan, obat-obatan, maupun nutrisi dalarn
jumlah besar. Dengan melakukan TPG, dapat dilakukan ultrafiltrasi
sehingga dapat diberikan cairan sesuai dengan kebutuhan pasien. Jadi,
diciptakan lingkungan yang memberi kesempatan kepada tubuh untuk
pulih dari penyakit yang menjadi penyebab kondisi kritisnya. Tujuan
tersebut sangat berbeda jika dibandingkan dengan TPG pada pasien
gagal ginjal terminal (chronic kidney disease) di mana tujuan utamanya
adalah mengambil alih fungsi ginjal (renal replacement) secara rutin
seumur hidup untuk memperbaiki keadaan azotemia sehingga yang
menjadi patokan keberhasilan adalah survival dan kualitas hidup.19
Pada pasien AKI, indikasi TPG sangat luas, tergantung dari
kondisi klinik yang dihadapi. Saat ini kriteria yang biasa dipakai
menjadi dasar untuk inisiasi dialisis pada AKI adalah gejala klinik
kelebihan (overload) cairan dan penanda biokimia tentang terjadinya
ketidak-seimbangan elektrolit, misal hiperkalemia, azotemia, atau
asidosis metabolik. Berikut adalah kriteria praktis yang sangat
bermanfaat sebagai indikasi inisiasi TPG, sehingga memungkinkan bagi
pasien untuk mendapatkan TPG yang lebih tepat waktu, lebih aman,
dan lebih fisiologis.19
Terdapat lima kondisi dilakukannya dialisis segera. Perlu
diingat bahwa dialisis hanya dilakukan apabila kondisi-kondisi berikut
tidak bisa diperbaiki dengan terapi konvensional (ingat AIUEO)
1. Gangguan Asam basa: asidosis berat (pH < 7,1)

23
2. Intoksikasi methanol, litium, salisilat
3. Uremia; pericarditis uremikum, ensefalopati uremikum, perdarahan,
azotemia (ureum >200 mg/dL)
4. Gangguan Elektrolit: hyperkalemia (K+ >6,5 mEq/L), hiperkalsemia,
sindrom lisi tumor, hypernatremia berat (Na+ >160 mEq/L), atau
hiponatremia berat (Na+ <115 mEq/L);
5. Overload cairan: edema paru, dan lain-lain.

2.9 Prognosis

Pasien dengan AKI memiliki resiko yang cukup besar untuk selanjutnya
berkembang menjadi gangguan ginjal kronis. Pasien dengan AKi juga memiliki
resiko tinggi menjadi end-stage renal disease dan kematian prematur. Sehingga,
pasien AKI harus terus di monitor terutama terhadap perkembangan penyakitnya
atau perburukan menjadi gangguan ginjal kronis.20-21

24
BAB III

KESIMPULAN

Acute Kidney Injury (AKI) merupakan spektrum kerusakan ginjal secara


akut, yaitu proses yang menyebabkan kerusakan ginjal dalam waktu 48 jam dan
didefinisikans ebagai peningkatan kreatinin serum >= 0,3 mg/dl atau peningkatan
50%) atau penurunan produksi urin berdasarkan kriteria AKIN. Penyebab dari
AKI dapat dikelompokkan menjadi pre-renal, renalis, dan post-renal, dimana
untuk membedakannya diperlukan langkah diagnosis yang baik.

Anamnesis dapat dilakukan untuk mendapatkan riwayat penggunaan obat-


obatan yang dapat mempengaruhi perfusi ginjal atau langsung merusak ginjal,
atau apakah terdapat tanda-tanda obstruski, dan sebagainya. Pemeriksaan fisik
juga dapat dilakukan untuk menilai kelainan yang juga berfungsi untuk
menegakkan diagnosis penyebab AKI.

Pemeriksaan berulang fungsi ginjal, yaitu kadar ureum, kreatinin, dan laju
filtrasi glomerulus harus dilakukan untuk memastikan tingkat keparahan dan
kemungkinan komplikasi dari AKI. Selain itu, analisis urin dan biomarkers juga
dapat dilakukan jika dibutuhkan diagnosis segera. Tatalaksana dari AKI dapat
berupa terapi konservatif dan juga terapi pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal
dilakukan juga pasien sudah memenuhi kriteria untuk dilakukan terapi dialisis
segera. Beberapa komplikasi dari AKI ada yang bersifat emergency sehingga
dibutuhkan pengelolaan yang cepat dan tepat, seperti volume overload,
hiperkalemia, dan asidosis metabolik. Tindakan yang dilakukan untuk dapat
mendiagnosis AKI secara dini sangat dibutuhkan, sehingga tatalaksana yang
diberikan juga dapat memperbaiki prognosis pada pasien.

25
Daftar Pustaka

1. Markum,M.H.S. Gagal Ginjal Akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi


B, ed. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4.
2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2. Roesli, RMA. Diagnosis dan Pengelolaan Gangguan Ginjal Akut. 2008.
Jakarta: Puspa Swara.
3. Bellomo R, Kellum JA, Mehta R, et al. Acute Dialysis Quality Initiative
II.The Vicenza Conference. Curr Opin Crit Care 2002;8(6):505-508
4. Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, et al. Acute Kidney Injury Network
(AKIN): Report of an Initiative to Improve Outcomes in Acute Kidney
Injury. Critical Care 2007;11:R31
5. National Kidney Foundation. KDIGO. Acute Kidney Injury guidelines.
Final Version. 2011.
6. Cerda J, Lameire N, Eggers P, Pannu N, Uchino S, Wang H, et. Al.
Epidemiology of acute kidney injury. Clin J Am Soc Nephrol. 2008; 3:
881-6.
7. Lameire N, Van Biesen W, Vanholder R. The canging epidemiologu of
acute renal failure. Nephrology 2006;2(7):364-76.
8. Sudoyo K, Setiyohadi B, et al, ed. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I. Edisi ke-4. 2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
9. Sutton TA, Fischer CJ, Molitoris BA. Microvascular Endothelial Injury
and Dysfunction during Ischemic Acute Renal Failure. Kidney Int
2002;62:1539-49.
10. Abuelo JG. Normotensive Ischemic Acute Renal Failure. N Engl J Med
2007;357:797-805.
11. Dwinnell BG, Anderson RJ. Diagnostic evaluation of the patient with
acute renal failure in: Scrier, ed. Kidney. Blackwell Publishing 1999.
Chapter 12.
12. Abuelo JG. Normotensive Ischemic Renal Failure. N Engl J Med
2007;357:797-805.
13. R Mahboob, S Fariha, CS Michael. Acute Kidney Injury: A Guide to
Diagnosis and Management. Am Fam Physician. 2012 Oct 1;86(7):631-
639.

26
14. Meyer TW, Hostetter TH. Uremia. N Engl J Med. 2007;357(13):1316-
1325.
15. Roesli R. Diagnosis dan pengelolaan gangguan ginjal akut (Acute kidney
injury). Bandung: Pusat penerbitan Ilmiah;2011.
16. Markum,M.H.S. Gagal Ginjal Akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, ed. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4.
2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
17. R Mahboob, S Fariha, CS Michael. Acute Kidney Injury: A Guide to
Diagnosis and Management. Am Fam Physician. 2012 Oct 1;86(7):631-
639.
18. Keiran N, Brady HR: Clinical evaluation, management, and outcome of
acute renal failure. In: Johnson RJ, Feehally J, Eds. Comprehensive
Clinical Nephrology. 2nd ed. Mosby 2000, 183-207
19. Bellomo R, Ronco C. Indications and Criteria for Initiating Renal
Replacement Therapy in the Intensive Care Unit. Kidney Int
198;53(66):S106-S109.
20. Goldberg R, Dennen P. Long-term outcomes of acute kidney injury. Adv
Chronic Kidney Dis. 2008;15(3):297-307.
21. Coca SG, Yusuf B, Shlipak MG, Garg AX, Parikh CR. Long-term risk of
mortality and other adverse outcomes after acute kidney injury: a
systematic review and meta-analysis. Am J Kidney Dis. 2009;53(6):961-
973.

27

Anda mungkin juga menyukai