Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Congestive heart failure atau gagal jantung kongestif adalah keadaan
patofisiologi dimana jantung tidak mampu memompa darah yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan darah ke organ tubuh dan jaringan. Ketika salah satu atau
dua bagian jantung tidak mampu memompa darah keluar, darah akan menumpuk
dalam jantung atau menyumbat di organ atau jaringan, menyebabkan darah
menumpuk di sistem peredaran darah. Definisi gagal yaitu relatif terhadap
kebutuhan metabolik tubuh, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa
jantung secara keseluruhan.1
Angka kejadian CHF semakin meningkat dari tahun ke tahun, tercatat
1,5% sampai 2% orang dewasa di Amerika Serikat menderita CHF dan 700.000
diantaranya harus dirawat di rumah sakit per tahun. Faktor risiko terjadinya gagal
jantung yang paling sering adalah usia lanjut, 75 % pasien yang dirawat dengan
CHF berusia antara 65 dan 75 tahun. Terdapat 2 juta kunjungan pasien rawat jalan
per tahun yang menderita CHF, biaya yang dikeluarkan diperkirakan 10 miliar
dollar per tahun. Faktor risiko terpenting untuk CHF adalah penyakit arteri
koroner dengan penyakit jantung iskemik. Hipertensi adalah faktor risiko
terpenting kedua untuk CHF. Faktor risiko lain terdiri dari kardiomiopati, aritmia,
gagal ginjal, dan penyakit katup jantung.2,3
Dengan data perkembangan seperti ini, penyakit jantung kongestif oleh
kelainan katup akan menyebabkan permasalahan yang signifikan bagi masyarakat
global dan bukan tidak mungkin dalam kurun beberapa tahun kedepan angka
statistik ini akan bergerak naik jika para praktisi medis khususnya tidak segera
memperhatikan faktor risiko utama yang menjadi awal mula penyakit ini. Dengan
demikian perlu adanya penanganan dari segala aspek baik secara biomedik
maupun biopsikososial. Dan untuk itu kasus ini diangkat sebagai salah satu bentuk
tanggung jawab sebagai praktisi medis agar dapat mengenal penyakit ini lebih
rinci sebelum benar-benar mengaplikasikan teori pengobatan yang rasional. 2,3

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS
Nama : Tn. Nurmasim
Jenis kelamin : Lai-laki
Usia : 70 tahun
Alamat : Teniga
Pekerjaan : Petani
Status perkawinan : Kawin
Agama : Islam
MRS : 28 Agustus 2018

2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Sesak nafas yang semakin berat ± 2 hari SMRS

Riwayat Perjalanan Penyakit :


Pasien datang dengan keluhan sesak nafas memberat sejak ± 2 hari yang
lalu. Sesak diraskan terus menerus dan semakin memberat. Awalnya sebelum
sesak pasien diketahui merasa lemas, pusing dan nafsu makan menurun sejak 5
hari SMRS. Keluhan sesak dirasakan memberat saat beraktifitas dan berkurang
saat istirahat. Pasien diketahui cepat merasa lelah saat berjalan ke sumur dekat
rumah yang jaraknya sekitar 5-6 meter. Pasien juga diketahi tidur dengan 2-3
bantal, sesak memberat saat beraktifitas dan berjalan kaki dengan jarak dekat. Di
malam hari pasien sering terbangun tiba-tiba karena mengeluh sesak nafas. Sesak
tidak dipengaruhi cuaca, debu dan emosi. Keluhan disertai batuk (+), bunyi mengi
(-), nyeri dada (-), mual (+), muntah (-), nyeri ulu hati (-), bengkak pada kaki (-/-),
demam (+), BAK normal, BAB nomral. Keluhan batuk dirasakan bersamaan
dengan keluhan sesak, batuk lenidr (+) berwarna putih kekuningan, darah (-).
Keluhan demam dan mual dirasakan hilang timbul dan tidak menentu, semalam
demam, besoknya tidak.

2
Riwayat Penyakit Dahulu.
 Paisen mengatakan sebelumnya pernah mengalami keluhan yang sama sejak 1
bulan yang lalu namun tidak mendapat pengobatan.
 Riwayat nyeri dadatembus hingga punnggung belakang disangkal.
 Riwayat penyakit jantung sebelumnya disangkal.
 Riwayat penyakit asmadisangkal.
 Riwayat alergi (-)
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat diabetes melitus (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal, riwayat
penyakit jantung disangkal, dan asma disangkal.

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien diketahui sudah menikah, sehari-hari bekerja sebagai petani.Riwayat
merokok (+) 2-3 batang sehari sejak usia 25 tahun dan minum alkohol (-)
disangkal.

2.3 TANDA-TANDA VITAL


Keadaan Umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadran : compos mentis
GCS : E4 V5 M6
Tekanan Darah : 120/90 mmHg
Nadi : 90 kali per menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 28 kali per menit, thoracoabdominal
Suhu : 37o C
Berat Badan : 50 kg
Tinggi Badan : 165 cm

3
2.4 PEMERIKSAAN FISIK

Kepala
Bentuk lonjong, simetris, warna rambut hitam keputihan, rambut mudah rontok
(-), deformitas (-).

Mata
Eksophtalmus (-/-), endophtalmus (-/-), edema palpebra (-/-), konjungtiva
palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, reflek cahaya (+/+),
pergerakan mata ke segala arah baik, mata cekung (+/+).

Hidung
Bagian luar hidung tak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan
baik, selaput lendir dalam batas normal, epistaksis (-).
Telinga
Pendengaran baik.

Mulut
Pembesaran tonsil(-), gusi berdarah(-), lidah kering (-), tepi lidah hiperemis (-),
lidah tremor (-), atrofi papil(-), stomatitis(-), rhagaden(-), bau pernapasan khas (-).

Leher
Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar thyroid (-), JVP (5+2) cmH2O,
hipertrofi musculus sternocleidomastoideus (-), kaku kuduk(-).

Dada
Bentuk dada normal, retraksi (-), nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-).

Paru
Inspeksi : statis simetris kanan dan kiri, dinamis ka=ki, tidak ada yang
tertinggal
Palpasi : stemfremitus kanan=kiri
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, ronkhi (+/+) di basal kedua paru, wheezing
(-/+).

4
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat, respiration rate 28x/ menit
Palpasi : ictus cordis teraba linea axilaris anterior sinistra ICS VI
Perkusi : batas atas ICS II, batas kanan linea parasternalis dextra, batas kiri
linea axilaris anterior sinistra ICSVI
Auskultasi : S1 S2 tunggal reguler. murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, nyeri tekan daerah epigastrium (-), hepar teraba 2 jari
dibawah arcus costae, lien tidak teraba.
Perkusi : thympani, shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+) 12x/ menit normal
Genital : tidak diperiksa

Ekstremitas
Ekstremitas atas : gerakan bebas, edema (-/-), jaringan parut (-/-),
pigmentasi normal, telapak tangan pucat (-/-), jari tabuh
(-/-), turgor < 2 detik, sianosis (-/-).
Ekstremitas bawah : gerakan bebas, jaringan parut (-/-), pigmentasi normal,
telapak kaki pucat (-/-), jari tabuh (-/-), turgor < 2 detik,
edema kaki (-/-).

5
2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 28 Agustus 2009
DL
Pemeriksaan Hasil
WBC 13.5
RBC 4.2
HGB 11.5
HCT 33.5
MCV 94.4
MCH 31.7
PLT 165

Pemeriksaan Hasil
GDS 194
Ureum 38
Kreatinin 0,84

Ro Thorax:

Ro Thorax PA

Cor : Cardiomegali CTR 66,6


Pulmo : Corakan bronkovaskular tampak dalam batas normal

6
2.6 DIAGNOSIS
CHF ec susp HHD
DD Cardiomiopati /FC II
Susp Pneumonia (CAP)

2.7 PENATALAKSANAAN
Non Farmakologis :
- Istirahat (posisi setengah duduk)
- O2 2 lpm nasal canul
- Diet jantung II
Farmakologis :
- IVFD NS 18 tpm
- Nebulizer Combivent @8 jam
- Spironolakton 1x 25 mg p.o
- Furosemid 3x20 mg i.v.
- Cefotaxim 3x1 gr i.v
- Azytromycin 1x 500 p.o
- Ambroxol 3x30 mg p.o
- Omeprazole 1x40 mg i
Rencana Pemeriksaan:
- GDP @hari

2.8 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

7
Follow Up:
Tanggal 29 Agustus 2018
S Sesak, batuk berlendir warna putih kekuningan, pusing, mual,
lemas
O: Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 120/80 mmHg
Nadi 94 x/menit
Pernapasan 26 x/ menit
Temperatur 36,8 0C

Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra pucat (-/-)
Sklera ikterik(-/-)
Leher JVP (5+2) cmH2O
Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Jantung I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus cordis terabapada LAA sinistra ICS VI
P: batas atas ICS II, batas kanan Linea parasternalis dextra,
batas kiri LAA sinistra ICS VI
A : S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

Paru I : dinding dada simetris


P : nyeri tekan (-/-), vocal fremitus (+/+) normal
P : sonor (+/+) seluruh lapang paru
A :vesikuler (+/+)normal, ronkhi (+/+) di basal kedua paru,
wheezing (-/-)

Abdomen I : datar
P : lemas, hepar teraba 2 jari di bawah arcus coatae, lien tidak
teraba.
P : thympani, shifting dullness (-)
A : bising usus (+) normal

Genitalia Tidak diperiksa

Ekstremitas Hangat (+/+)


Edema (-/-)
Sianosis (-/-)

Laboratorium GDP : 186


A CHF ec susp HHD
DD Cardiomiopati /FC II
Susp Pneumonia (CAP)
DM Tipe II
P - IVFD NS 8 tpm.
- O2 2 lpm nasal canul
- Diet jantung II

8
- Nebulizer Combivent @8 jam
- Spironolakton 1x 25 mg p.o
- Furosemid 3x20 mg i.v.
- Cefotaxim 3x1 gr i.v
- Azytromycin 1x 500 p.o
- Ambroxol 3x30 mg p.o
- Omeprazole 1x40 mg i.v
- Novorapid 3x6 iu
- Levemir 1x10 iu
Rencana - GD 2 JPP
- GDS
- Observasi keluhan dan vital sign

Tanggal 30 Agustus 2018


S Sesak, batuk berlendir warna putih kekuningan, pusing, mual,
demam, lemas
O: Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 110/80 mmHg
Nadi 84 x/menit
Pernapasan 24 x/ menit
Temperatur 37,10C

Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra pucat (-/-)
Sklera ikterik(-/-)
Leher JVP (5+2) cmH2O
Pembesaran KGB (-)

Thorax:
Jantung I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus cordis teraba LAA sinistra ICS VI
P : batas atas ICS II, batas kanan Linea parasternalis dextra,
batas kiri LAA sinistra ICS VI
A : S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

Paru I : dinding dada simetris


P : nyeri tekan (-/-), vocal fremitus (+/+) normal
P : sonor (+/+) seluruh lapang paru
A :vesikuler (+/+)normal, ronkhi (+/+) di basal kedua paru,
wheezing (-/-)

Abdomen I : datar
P : lemas, hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae, lien
tidakteraba.
P : thympani, shifting dullness (-)
A : bising usus (+) normal

Genitalia Tidak diperiksa

9
Ekstremitas Hangat (+/+)
Edema (-/-)
Sianosis (-/-)

Laboratorium GD 2 JPP : 143


GDS : 92
A CHF ec susp HHD
DD Cardiomiopati /FC II
Susp Pneumonia (CAP)
DM Tipe II
P - IVFD NS 8 tpm.
- O2 2 lpm nasal canul
- Diet jantung II
- Nebulizer Combivent @8 jam
- Spironolakton 1x 25 mg p.o
- Furosemid 3x20 mg i.v.
- Ceftriaxon 3x1 gr i.v
- Ambroxol 3x30 mg p.o
- Omeprazole 1x40 mg
- Levemir 1x10 iu
Rencana - GDS
- Observasi keluhan dan vital sign

Tanggal 31 Agustus 2018


S Sesak berkurang, batuk berlendir warna putih kekuningan,
lemas
O: Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 130/70 mmHg
Nadi 88 x/menit
Pernapasan 22 x/ menit
Temperatur 36,70C
Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra pucat (-/-)
Sklera ikterik(-/-)
Leher JVP (5+2) cmH2O
Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Jantung I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus cordis teraba LAA sinistra ICS VI
P : batas atas ICS II, batas kanan Linea Sternalis dextra, batas
kiri LAA sinistra ICS VI
A : S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

Paru I : dinding dada simetris


P : nyeri tekan (-/-), vocal fremitus (+/+) normal
P : sonor (+/+) seluruh lapang paru
A :vesikuler (+/+)normal, ronkhi (+/+) di basal kedua paru,

10
wheezing (-/-)
Abdomen I : datar
P : lemas, hepar teraba 2 jari di bawah arcus coatae, lien tidak
teraba, nyeri tekan epigastrium (+), nyeri tekan supra
pubic (+).
P : thympani, shifting dullness (-)
A : bising usus (+) normal

Genitalia Tidak diperiksa

Ekstremitas Hangat (+/+)


Edema (-/-)
Sianosis (-/-)

Laboratorium GDS 86
A CHF ec susp HHD
DD Cardiomiopati /FC II
Susp Pneumonia (CAP)
P - IVFD NS 8 tpm.
- O2 2 lpm nasal canul
- Diet jantung II
- Nebulizer Combivent @8 jam
- Spiranolakton 1x 25 mg p.o
- Furosemid 3x20 mg i.v.
- Ceftriaxon 3x1 gr i.v
- Ambroxol 3x30 mg p.o
- Omeprazole 1x40 mg
Rencana - Ro Thorax PA kontrol
- GDS
- Observasi keluhan dan vital sign

11
Tanggal 1 September 2018
S Sesak minimal, batuk berlendir warna putih kekuningan
O: Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 110/80 mmHg
Nadi 80 x/menit
Pernapasan 22 x/ menit
Temperatur 36,2 0C
Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra pucat (-/-)
Sklera ikterik(-/-)
Leher JVP (5+2) cmH2O
Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Jantung I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus cordis teraba LAA sinistra ICS VI
P : batas atas ICS II, batas kanan Linea Sternalis dextra, batas
kiri LAA sinistra ICS VI
A : S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
Paru I : dinding dada simetris
P : nyeri tekan (-/-), vocal fremitus (+/+) normal
P : sonor (+/+) seluruh lapang paru
A :vesikuler (+/+)normal, ronkhi (+/+) di basal kedua paru,
wheezing (-/-)
Abdomen I : datar
P : lemas, hepar teraba 2 jari di bawah arcus coatae, lien tidak
teraba, nyeri tekan epigastrium (+), nyeri tekan supra
pubic (+).
P : thympani, shifting dullness (-)
A : bising usus (+) normal

Genitalia Tidak diperiksa

Ekstremitas Hangat (+/+)


Edema (-/-)
Sianosis (-/-)

Ro Thorax Ro Thorax PA membaik


Laboratorium GDS : 98
A CHF ec susp HHD
DD Cardiomiopati /FC II
P - IVFD NS 8 tpm.
- O2 2 lpm nasal canul
- Diet jantung II
- Nebulizer Combivent @8 jam
- Spiranolakton 1x 25 mg p.o
- Furosemid 3x20 mg i.v.
- Ceftriaxon 3x1 gr i.v
- Ambroxol 3x30 mg p.o
- Omeprazole 1x40 mg
Rencana - BPL

12
BAB III
ANALISIS KASUS

3.1 PEMBAHASAN
Congestive heart failure atau gagal jantung kongestif adalah keadaan
patofisiologi dimana jantung tidak mampu memompa darah yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan darah ke organ tubuh dan jaringan. Ketika salah satu atau
dua bagian jantung tidak mampu memompa darah keluar, darah akan menumpuk
dalam jantung atau menyumbat di organ atau jaringan, menyebabkan darah
menumpuk di sistem peredaran darah. Definisi gagal yaitu relatif terhadap
kebutuhan metabolik tubuh, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa
jantung secara keseluruhan.1
Dari kasus kali ini diagnosis fungsional yaitu CHF. Hal didasarkan pada
kriteria Framingham minimal satu kriteria mayor dan dua kriteria minor yaitu:3
 Kriteria mayor:
1. Paroksismal nocturnal dispneu
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekanan vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
 Kriteria minor:
1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital
7. Takikardi (> 120 x/menit)

13
Pada pasien ini didapatkan tiga kriteria mayor. Pertama terdapatnya
paroksismal nokturnal dispneu dari hasil anamnesis. Kedua, dari hasil
pemeriksaan fisik ditemukan ronki di basal kedua paru. Ketiga, dari hasil
pemeriksaan fisik perkusi jantung, didapatkan adanya pembesaran jantung. Batas
jantung kanan terdapat pada linea sternalis dekstra, batas kiri pada linea axillaris
anterior sinistra, dan batas atas pada ICS II. Hal yang sama juga didapatkan dari
hasil rontgen thorax yang menyatakan bahwa CTR 66,6 pada pasien terdapat
kardiomegali. Keempat terdapat peninggian tekanan vena jugularis yaitu (5+2) cm
H2O. ,3,4
Sedangkan untuk kriteria minor didapatkan batuk malam hari. Kedua
terdapatnya dispnue d’effort yang didapatkan dari hasil anamnesis pasien
mengeluh sesak saat berjalan ke sumur (±5-6 m). Ketiga didapatkan hepatomegali
dari pemeriksaan fisik yaitu 2 JBAC (± 3 cm). Oleh karena itu pada pasien ini
disimpulkan diagnosis fungsionalnya adalah CHF. 3,4

14
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 DEFINISI
Congestive heart failure merupakan sindrom klinis akibat penyakit
jantung, ditandai dengan kesulitan bernapas serta retensi natrium dan air yang
abnormal, yang sering menyebabkan edema. Kongesti ini dapat terjadi dalam
paru atau sirkulasi perifer atau keduanya, bergantung pada apakah gagal
jantungnya pada sisi kanan atau menyeluruh.1
Congestive heart failure atau gagal jantung kongestif adalah keadaan
patofisiologi dimana jantung tidak mampu memompa darah yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan darah ke organ tubuh dan jaringan. Ketika salah
satu atau dua bagian jantung tidak mampu memompa darah keluar, darah
akan menumpuk dalam jantung atau menyumbat di organ atau jaringan,
menyebabkan darah menumpuk di sistem peredaran darah. Definisi gagal
yaitu relatif terhadap kebutuhan metabolik tubuh, penekanan arti gagal
ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan.1

4.2 EPIDEMIOLOGI
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung
dan merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien
jantung. Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat
pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal
jantung di Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus
baru per tahunnya. Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi
penyakit gagal jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar
400-500 pasien berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung.
Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka
kematian dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit
gagal jantung lanjut dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang
ringan. 2,3

15
Prevalensi gagal jantung di negara berkembang cukup tinggi dan
makin meningkat. Oleh karena itu gagal jantung merupakan masalah
kesehatan yang utama. Setengah dari pasien yang terdiagnosis gagal jantung
masih punya harapan hidup 5 tahun. Penelitian Framingham menunjukkan
mortalitas 5 tahun sebesar 62% pada pria dan 42% wanita.3

4.3 ETIOLOGI
Gagal jantung adalah komplikasi tersering dan segala jenis penyakit
jantung kongenital maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan
gagal jantung meliputi keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal,
meningkatkan beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas miokardium.
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal (preload) meliputi
regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel; beban akhir (afterload)
meningkat pada keadaan-keadaan seperti stenosis aorta dan hipertensi
sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium
dan kardiomiopati. 3
Selain ketiga mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal
jantung, terdapat faktor-faktor fisiologis lain yang dapat menyebabkan
jantung gagal bekerja sebagai pompa. Faktor-faktor yang mengganggu
pengisian ventrikel (misal, stenosis katup atrioventrikularis) dapat
menyebabkan gagal jantung. Keadaan-keadaan seperti perikarditis konstriktif
dan tamponade jantung mengakibatkan gagal jantung melalui kombinasi
beberapa efek seperti gangguan pada pengisian ventrikel dan ejeksi ventrikel.
Dengan demikian jelas sekali bahwa tidak ada satupun mekanisme fisiologik
atau kombinasi berbagai mekanisme yang bertanggungjawab atas terjadinya
gagal jantung; efektivitas jantung sebagai pompa dapat dipengaruhi oleh
berbagai gangguan patofisiologis. Penelitian terbaru menekankan pada
peranan TNF dalam perkembangan gagal jantung. Jantung normal tidak
menghasilkan TNF, namun jantung mengalami kegagalan menghasilkan TNF
dalam jumlah banyak. 3
Demikian juga, tidak satupun penjelasan biokimiawi yang diketahui
berperan dalam mekanisme dasar terjadinya gagal jantung. Kelainan yang

16
mengakibatkan gangguan kontraktilitas miokardium juga tidak diketahui.
Diperkirakan penyebabnya adalah kelainan hantaran kalsium dalam
sarkomer, atau dalam sintesis atau fungsi protein kontraktil. 4
Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya gagal jantung melalui
penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa disritmia, infeksi sistemik
dan infeksi paru-paru, serta emboli paru. Disritmia akan mengganggu fungsi
mekanis jantung dengan mengubah rangsangan listrik yang memulai respons
mekanis, respons mekanis yang sinkron dan efektif tidak akan dihasilkan
tanpa adanya ritme jantung yang stabil. Respons tubuh terhadap infeksi akan
memaksa jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh yang
meningkat. Emboli paru secara mendadak akan meningkatkan resistensi
terhadap ejeksi ventrikel kanan, memicu terjadinya gagal jantung kanan.
Penanganan gagal jantung yang efektif membutuhkan pengenalan dan
penanganan tidak saja terhadap mekanisme fisiologis penyakit yang
mendasari, tetapi juga terhadap faktor-faktor yang memicu terjadinya gagal
jantung. 3,4

4.4 KLASIFIKASI
Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor. The
New York Heart Association (NYHA) membagi gagal jantung menjadi 4
kelas, berdasarkan hubungannya dengan gejala dan jumlah atau usaha yang
dibutuhkan untuk menimbulkan gejala, sebagai berikut 3,5:
1. Kelas I : Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan
aktivitas fisik, dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan
sesak napas.
2. Kelas II: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika beristirahat.
3. Kelas III: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan
dari kegiatan biasa sudah memberi gejala lelah, sesak napas.

17
4. Kelas IV: Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan
kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada walaupun saat
beristirahat. 5
American College of Cardiology/American Heart Association
(ACC/AHA) heart failure guidelines melengkapi klasifikasi NYHA untuk
menggambarkan perkembangan penyakit dan dibagi menjadi 4 stage, yaitu:
1. Stage A pasien beresiko tinggi untuk gagal jantung tetapi tidak memiliki
penyakit jantung struktural atau gejala-gejala dari gagal jantung
2. Stage B pasien memiliki penyakit jantung struktural tetapi tidak memiliki
gejala-gejala dari gagal jantung
3. Stage C pasien memiliki penyakit jantung structural dan memiliki gejala-
gejala dari gagal jantung
4. Stage D pasien memiliki gagal jantung berat yang menuntut intervensi
khusus. 3,5

4.5 PATOFISIOLOGI
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi
gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf
simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi
sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya
penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme
kompensasi neurohormonal, sistem Renin–Angiotensin–Aldosteron (sistem
RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretik peptide yang bertujuan untuk
memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.4
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga
cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan
kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila
hal ini timbul berkelanjutan dapat menyebabkan gangguan pada fungsi
jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.4
Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan

18
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang
merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat
tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron
akanmenyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium.
Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi
endotel pada gagal jantung.4,7
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir
sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf
pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon
terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia
Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada
ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriureticpeptide terbatas
pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap
natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide
meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan
dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi
ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan
natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang
menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan
telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung.4,6
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat
kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga
didpatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.2
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan
peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada
pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium.
Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan
derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan pulmonary
arterycapillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah
dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang
bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat
endotelin.4,6

19
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard,
dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel
kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab
tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi
ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti
infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial,
dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel
yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi
sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.

Gambar 1. Patofisiologi CHF.

20
4.6 PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala
dan penilaian klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto
toraks, biomarker, dan ekokardiografi Doppler. 4,5,6
1. Pasien segera diklasifikasikan apakah disfungsi sistolik atau disfungsi
diastolik dan karakteristik forward orbackward, left or right heart
failure. Kriteria diagnosis gagal jantung menurut Framingham Heart
Study :
a. Kriteria mayor :
1) Paroksismal nokturnal dispneu
2) Ronki paru
3) Edema akut paru
4) Kardiomegali
5) Gallop S3
6) Distensi vena leher
7) Refluks hepatojugular
8) Peningkatan tekanan vena jugularis
b. Kriteria minor :
1) Edema ekstremitas
2) Batuk malam hari
3) Hepatomegali
4) Dispnea d’effort
5) Efusi pleura
6) Takikardi (120x/menit)
7) Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
Kriteria mayor dan minor : Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam 5 hari
pengobatan. Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria
mayor atau satu kriteria mayor dan 2 kriteria minor. 4,5,6
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah
- Pemeriksaan darah lengkap

21
- Kimia klinik (SGPT, SGOT, ureum, kreatinin, natrium, kalium,
klorida, kolesterol total, LDL, HDL) 4
b. Elektrokardiogram
Dalam kasus kardiogenik, elektrokardiogram (EKG) dapat
menunjukkan bukti MI ( Miocardium Infark ) atau iskemia, namun
alam kasus noncardiogenic, EKG biasanya normal. 4
c. Radiologi
1) Foto thoraks
Fungsi utama pemeriksaan foto thoraks adalah mengetahui
ukuran dan bentuk siluet jantung, serta edema di dasar paru-
paru. Pada gagal jantung hampir selalu ada dilatasi dari satu
atau lebih pada ruang-ruang di jantung, menghasilkan
pembesaran pada jantung. Pemeriksaan radiologi memberikan
informasi berguna mengenai ukuran jantung dan bentuknya,
distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang
efusi pleura, begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat
mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien. 4,5
2) Computed Tomography
CT scan jantung biasanya tidak diperlukan dalam diagnosis rutin
dan manajemen gagal jantung kongestif. Multichannel CT scan
berguna dalam menggambarkan kelainan bawaan dan katup,
namun, ekokardiografi dan pencitraan resonansi magnetik
(MRI) dapat memberikan informasi yang sama tanpa
mengekspos pasien untuk radiasi pengion. 5,6
3) Echocardiografi
Ekokardiografi dua dimensi dianjurkan sebagai bagian awal dari
evaluasi pasien dengan gagal jantung kongestif yang diketahui
atau diduga. Fungsi ventrikel dapat dievaluasi, dan kelainan
katup primer dan sekunder dapat dinilai secara akurat.
Ekokardiografi Doppler mungkin memainkan peran berharga
dalam menentukan fungsi diastolik dan dalam menegakkan
9
diagnosis HF diastolik. Dua dimensi dan Ekokardiografi

22
Doppler dapat digunakan untuk menentukan kinerja sistolik dan
diastolik LV(ventrikel kiri), cardiac output (fraksi ejeksi), dan
tekanan arteri pulmonalis dan pengisian ventrikel.
Echocardiography juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
penyakit katup penting secara klinis.Tingkat kepercayaan di
echocardiography adalah tinggi, dan tingkat temuan positif palsu
dan negatif palsu yang rendah. 5,6

4.7 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi
penalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis.
Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik ditujukan untuk
mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun penatalaksanaan
secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. 6,7
1. Non Farmakalogi :
a. Anjuran umum :
1) Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan
pengobatan.
2) Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan
seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang
masih bisa dilakukan.
3) Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.

b. Tindakan Umum :
1) Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung
ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter
pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
2) Hentikan rokok
3) Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada
yang lainnya.
4) Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama
20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit

23
dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal
jantung ringan dan sedang).
5) Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi
akut.

2. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas panghambat ACE, Antagonis
Angiotensin II, diuretik, Antagonis aldosteron, β-blocker, vasodilator
lain, digoksin, obat inotropik lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia. 6,7
a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan
paling sedikit diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat
digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik,
dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena, atau
kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretik hemat kalium,
spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi
mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat
(klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas
neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi
sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis rendah,
dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE.
Pemberian dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa
minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya
diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas
fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol,
bisoprolol atau metaprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan
penghambat ACE dan diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada
intoleransi terhadap ACE ihibitor.
e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung
disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi

24
atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta
blocker.
f. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk
pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial
dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan
pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis
dan Trancient Ischemic Attacks, trombus intrakardiak dan aneurisma
ventrikel.
g. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik
atau aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia klas I harus
dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia
klas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk terapi aritmia
atrial dan tidak digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak dapat
digunakan untuk mencegah kematian mendadak.
h. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium
antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal
jantung.

Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5


– 2 l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah
baring jangka pendek dapat membantu perbaikan gejala karena
mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian
heparin subkutan perlu diberikan pada penderita dengan imobilitas.
Pemberian antikoagulan diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium,
gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel. 6,7
Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis
dispneu, takikardia serta cemas,pada kasus yang lebih berat penderita
tampak pucat dan hipotensi. Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik
< 90 mmHg), oliguria serta cardiac output yang rendah menunjukkan
bahwa penderita dalam kondisi syok kardiogenik. Gagal jantung akut yang
berat serta syok kardiogenik biasanya timbul pada infark miokard luas,
aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun ventrikel) atau adanya

25
problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun defek septum
ventrikel pasca infark. 5,6
Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi
dimana memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui
penyebab, perbaikan hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan
perbaikan oksigenasi jaringan. Menempatkan penderita dengan posisi
duduk dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi dengan masker
sebagai tindakan pertama yang dapat dilakukan. Monitoring gejala serta
produksi kencing yang akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi
jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base excess menunjukkan perfusi
jaringan, semakin rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat
metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Koreksi
hipoperfusi memperbaiki asidosis,pemberian bikarbonat hanya diberikan
pada kasus yang refrakter. 5,6,7
Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan
menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum
ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin
vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti
obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus dihindari bila memungkinkan.
5,6

Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam


penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan
kecemasan, nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat
juga menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem paru.
Dosis pemberian 2 – 3 mg intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
6,7

Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi


preload serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan
angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai
vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan
vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian
harus adekuat sehingga terjadi.keseimbangan antara dilatasi vena dan

26
arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi
terutama pada pemberian intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya
hanya 16 – 24 jam. 6,7
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang
diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal
jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari
pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 – 0,5
μg/kg/menit. 7
Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan
vasodilator. Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang
dihasilkan ventrikel. Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan
neurohormonal, dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan
menurunkan kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma.
Pemberian intravena menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa
meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke volume karena
berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 μg/kg dalam 1
menit dilanjutkan dengan infus 0,01 μg/kg/menit. 7
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung
akut yang disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan /
atau vasodilator digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan
tekanan darah 85 – 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka
inotropik dan/atau vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan
darah yang berlebihan akan dapat meningkatkan afterload. Tekanan darah
dianggap cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata >
65 mmHg. 7
Pemberian dopamin 2 μg/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 – 5 μg/kg/mnt akan
merangsang reseptor adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan
curah jantung. Pada pemberian 5 – 15 μg/kg/mnt akan merangsang
reseptor adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung
serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin akan merangsang reseptor
adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik

27
(vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 – 3
μg/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5 – 15
μg/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis
yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 – 20 μg/kg/mnt. 6
Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-
AMP menjadi AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan
inotropik jantung. Yang sering digunakan dalam klinik adalah milrinone
dan enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi penderia gagal jantung
akut dengan hipotensi yang telah mendapat terapi penyekat beta yang
memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 μg/kg bolus
10 – 20 menit kemudian infus 0,375 – 075 μg/kg/mnt. Dosis enoximone
0,25– 0,75 μg/kg bolus kemudian 1,25 – 7,5 μg/kg/mnt. 7
Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung
akut yang disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg.
Penderita dengan syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90
mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30
menit.Obat yang biasa digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin.
Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 – 0,5 μg/kg/mnt.
Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 – 1 μg/kg/mnt. 6,7
Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang
menyebabkan terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi.
Yang tersering adalah penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut.
Bila penderita datang dengan hipertensi emergensi pengobatan bertujuan
untuk menurunkan preload dan afterload. Tekanan darah diturunkan
dengan menggunakan obat seperti lood diuretik intravena, nitrat atau
nitroprusside intravena maupun natagonis kalsium intravena(nicardipine).
Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan.
Terapi nitrat untuk menurunkan preload dan afterload, meningkatkan
aliran darah koroner. Nicardipine diberikan pada penderita dengan
disfungsi diastolik dengan afterload tinggi. Penderita dengan gagal
ginjal,diterapi sesuai penyakit dasar. Aritmia jantungharus diterapi. 6,7

28
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon
intra aorta, pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter
defibrilator, ventricular assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan
pada penderita gagal jantung berat atau syok kardiogenik yang tidak
memberikan respon terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau
ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk
mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium
dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang
simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi. Implantable
cardioverterdevice bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan
takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa mekanis
yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita
dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama
inotropik. 7

29
DAFTAT PUSTAKA

1. Ismail. Gagal jantung kongestif. [ diakses 29 September 2018]. Available


from: URL: http://www.gagal-jantung-kongestif.co.id.html.
2. Brashaers, Valentina L. Gagal jantung kongestif. Dalam: Aplikasi klinis
patofisiologi, pemeriksaan dan manajemen. 2nd ed. Jakarta: EGC.2007. p53-5.
3. Rani, A. Aziz, dkk. Gagal jantung kronik. Dalam: Panduan pelayanan Medik,
perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. Jakarta: PB PAPDI.
2008,54-56.
4. Panggabean MM. Gagal Jantung.Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi IV. Pusat Penerbitan IPD FK UI: Jakarta, 2009, 1503-1504.
5. Dayer M, Cowie MR. Heart failure: Diagnosis and Health Care Burden. Clin
Med 2004;4:13-8.
6. Mc Murray JJ, Pfeffer MA. Heart failure. Lancet 2005;365:1877-89
7. Braunwald E. Heart failure and cor pulmonale. Harrison’s Principle of Internal
Medicine. 16 ed. Chicago: McGraw-Hill; 2005. P. 1367.

30

Anda mungkin juga menyukai