Anda di halaman 1dari 19

TUTORIAL KLINIK

HIPERTENSI EMERGENSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Lulus Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS PKU Muhammadiyah Gamping

Disusun oleh:
IRA SAFIRA
20184010056

Diajukan kepada:

dr. Hj. Niarna Lusi, Sp.PD

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
KASUS

I. Identitas

Nama : Tn. DW
Usia : 38 tahun
Alamat : Panjatan, Kulon Progo
Pekerjaan : Buruh

II. Anamnesis (Alloanamnesis)

Keluhan Utama:

Nyeri perut dan kejang

Riwayat Penyakit Sekarang (RPS):

Pasien datang dengan keluhan nyeri perut sejak 1 minggu SMRS. Nyeri
perut dirasakan terus-menerus. Menurut keluarga pasien, nyeri perut sangat
hebat dan pasien pernah memberitahu rasanya seperti melilit-lilit. Keluhan
disertai pandangan yang mengabur, sakit kepala, dan sulit BAB. Selain itu
pasien sempat kejang ± 5 menit lalu tidak sadarkan diri 4 jam SMRS. Tidak
ada keluhan BAK. Keluhan sesak napas, nyeri dada, bengkak-bengkak pada
anggota gerak, dan demam disangkal oleh keluarga pasien. Sebelumnya
pasien sudah pernah berobat ke IGD RSUD Wates sebanyak 2x tetapi tidak
membaik. Kemudian pasien dibawa ke IGD RS PKU Muhammadiyah
Gamping. Saat di IGD pasien mual dan muntah 1x. Setelah mendapatkan
terapi awal di IGD, pasien melakukan cuci darah. Saat cuci darah, pasien
kejang ± 5 menit lalu mengalami penurunan kesadaran.

Riwayat Penyakit Dahulu (RPD):

Sebelumnya pasien belum pernah mengalami nyeri perut yang serupa. Pasien
memiliki riwayat kejang sebelumnya dan mondok di RSUD Wates selama 18
hari. Saat ini pasien sedang pengobatan TB kelenjar yang sudah berlangsung

2
selama 1 bulan. Semenjak pengobatan TB berlangsung, pasien sering merasa
mual. Pasien memiliki riwayat CKD dan sudah HD rutin 2x/minggu sejak 6
bulan yang lalu. Hipertensi (+), DM (-), Alergi (-), Jantung (-)

Riwayat Penyakit Keluarga (RPK):

DM (+), Hipertensi (+), tidak ada yang mengalami keluhan serupa

Riwayat Personal Sosial (RPSos):

Merokok (+), obat-obatan terlarang (-), alkohol (+)

III. Pemeriksaan Fisik


 KU : E3V2M4, tampak sakit
 VS :
 TD : 243/153 mmHg
 N : 105 x/menit
 T : 36,4C
 RR : 22 x/menit

Status Generalis:

 Pemeriksaan Kepala Leher


o Bentuk : Simetris, Normochepali
o Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik +/+, peningkatan
tekanan bola mata (-)
o Hidung : Discharge (-), nafas cuping hidung (-)
o Mulut : Bibir sianosis (-), bibir kering (-)
o Leher : Limfadenopati (-), peningkatan JVP (-)
 Pemeriksaan Thorax
Pulmo :
o Inspeksi : Dinding dada simetris, ketertinggalan gerak (-)
o Palpasi : Nyeri tekan (-), vokal fremitus kanan=kiri
o Perkusi : Redup di kedua basal paru

3
o Auskultasi : Vesicular +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung :

o Inspeksi : Ictus cordis tak tampak, kuat angkat (-)


o Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V 2 jari lateral LMC
Sinistra
o Auskultasi : S1-S2 regular, murmur (-), gallop (-)
 Pemeriksaan Abdomen dan Pelvis
o Inspeksi : Tegang, jejas (-)
o Auskultasi : BU (+) meningkat
o Perkusi : Timpani
o Palpasi : nyeri tekan (+) di seluruh lapang perut, hepar dan
lien tidak teraba
o Punggung dan Pinggang : Deformitas (-)
 Ekstremitas
o Superior : Edema -/-, akral hangat +/+, CRT < 2 detik
o Inferior : Edema -/-, akral hangat +/+, CRT < 2 detik

IV. Diagnosis Sementara


- Obs. Seizure dan Severe abdominal pain dengan hipertensi emergensi

V. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium

HEMATOLOGI – DARAH RUTIN (25/2/2019)


PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
Leukosit 17.300 (H) 4000-11.000
Basofil 0 0-1
Eosinofil 0 (L) 1-3
Neutrofil 88 (H) 50-70
Limfosit% 8 (L) 20-40

4
Monosit% 4 2-8
Eritrosit 4,8 4,5-5,8
Hemoglobin 12,5 12-18
Hematokrit 37 37-54
MCV 83,5 82-98
MCH 26 (L) 27-34
MCHC 33,9 32-36
Trombosit 434 (H) 150-400
RDW CV 13,5 11-16
RDW SD 50,2 35-56
KIMIA KLINIK
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
Glukosa Sewaktu 137 70-140
Ureum 33 15-45
Kreatinin 2,99 (H) 0-1,3
Natrium 131,9 (L) 135-145
Kalium 3,91 3,6-5,5
Klorida 104,2 98-108

2. Rontgen Thorax
Kesan: Cardiomegali dengan peningkatan corakan vaskuler di perihiler
kedua pulmo mengarah tanda awal edema pulmonum

3. HEAD CT-SCAN
Kesan: Infark lobus occipital dextra, tak tampak perdarahan

VI. Diagnosis
- Hipertensi Emergensi
- CKD stage V on HD rutin
- TB kelenjar on terapi OAT

5
VII. Diagnosis Banding
 Hipertensi urgensi
 Hipertensi encephalopati

VIII. Penatalaksanaan
O2 NRM 8 lpm
Inf. RL lini
Inj. Ceftazidim 1 gr/12 jam
Inj. Pantoprazole 40 mg/12 jam
Pasang NGT
Candesartan 1x16 mg
Amlodipin 1x10 mg
Nitrogliceryn drip 20 mcg/menit
Jika TD > 200 mmHg, mulai perdipin 0,5 mcg/kgBB/menit
Inj. Gitas k/p
Pasang DC

IX. Masalah Yang Dikaji


1. Apa yang dimaksud dengan hipertensi emergensi?
2. Bagaimana cara penegakan diagnosis hipertensi emergensi?
3. Bagaimana penatalaksanaan hipertensi emergensi?

6
PEMBAHASAN

HIPERTENSI EMERGENSI

A. DEFINISI
Krisis hipertensi merupakan salah satu kegawatan yang sering dijumpai di
instalasi gawat darurat. Krisis hipertensi ini bersifat akut, peningkatan berat pada
tekanan darah yang dapat berhubungan maupun tidak dengan disfungsi target-
organ. Krisis hipertensi dibagi menjadi hipertensi urgensi dan hipertensi
emergensi. Keadaan hipertensi emergensi ditandai oleh peningkatan tekanan darah
akut lebih dari 180/110 mmHg (biasanya dengan tekanan darah sistolik [SBP]
lebih besar dari 200 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik [DBP] lebih besar
dari 120 mmHg) dan terkait dengan disfungsi target-organ. Hipertensi urgensi
ditandai dengan peningkatan tekanan darah akut yang serupa tetapi tidak
berhubungan dengan disfungsi target-organ. Disfungsi target organ yang dapat
terjadi yaitu ensefalopati, perdarahan intraserebral, kegagalan ventrikel kiri akut
dengan edema paru, unstable angina, diseksi aneurisme aorta, infark miokard
akut, eklampsia, anemia hemolitik mikroangiopati atau insufisiensi renal.

B. EPIDEMIOLOGI

Meskipun kedaruratan hipertensi dapat menyebabkan morbiditas yang


signifikan dan kerusakan organ target yang fatal, hanya 1% -3% dari pasien
dengan hipertensi akan memiliki keadaan darurat hipertensi selama masa hidup
mereka. Dalam krisis hipertensi, hipertensi emergensi hanya terjadi pada sekitar
seperempat dari presentasi dibandingkan dengan hipertensi urgensi, yang
menyumbang sekitar tiga perempat. Meskipun insiden hipertensi emergensi
rendah, rawat inap karena keadaan hipertensi emergensi telah meningkat sejak
tahun 2000, mungkin karena kesadaran, pengenalan, dan diagnosis yang
meningkat dari keadaan hipertensi emergensi. Namun mortalitas pada hipertensi
emergensi tetap rendah, dengan mortalitas di rumah sakit sekitar 2,5%.

7
C. ETIOLOGI

Banyak faktor risiko yang terkait dengan perkembangan krisis hipertensi.


Krisis hipertensi lebih sering dikaitkan dengan jenis kelamin perempuan, tingkat
obesitas yang lebih tinggi, adanya penyakit jantung hipertensi atau jantung
koroner, adanya penyakit mental, dan penggunaan obat antihipertensi yang lebih
banyak, dengan hubungan terkuat terkait dengan ketidakpatuhan pasien terhadap
obat antihipertensi. Penyebab umum terjadinya krisis hipertensi termasuk
intoksikasi (misalnya, kokain, amfetamin, phencyclidine hidroklorida, suplemen
diet stimulan), ketidakpatuhan terhadap pengobatan antihipertensi, withdrawal
syndrome (misalnya, clonidine atau β-antagonis), interaksi obat dengan
obat/makanan dengan obat (misalnya, inhibitor monoamine oksidase dengan
antidepresan trisiklik, antihistamin, atau tyramine), gangguan medula spinalis,
pheochromocytoma, kehamilan, dan penyakit pembuluh darah kolagen (misalnya,
systemic lupus erythematosus).

D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi yang tepat dari krisis hipertensi masih belum jelas. Namun,
dua mekanisme yang berbeda tetapi saling terkait dapat memainkan peran sentral
dalam patofisiologi krisis hipertensi. Yang pertama adalah kegagalan mekanisme
autoregulasi pada vaskular bed. Sistem autoregulasi adalah faktor kunci dalam
patofisiologi krisis hipertensi. Autoregulasi didefinisikan sebagai kemampuan
organ (otak, jantung, dan ginjal) untuk mempertahankan aliran darah yang stabil
terlepas dari perubahan tekanan perfusi. Jika tekanan perfusi turun, aliran darah
yang sesuai berkurang sementara, tetapi kembali ke nilai normal setelah beberapa
menit berikutnya.
Dalam kasus kerusakan autoregulasi, jika tekanan perfusi turun, ini
menyebabkan penurunan aliran darah dan peningkatan resistensi pembuluh darah.
Dalam krisis hipertensi, ada kekurangan autoregulasi dalam vaskular bed dan
aliran darah sehingga terjadi peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba dan

8
peningkatan resistensi vaskular sistemik, yang sering menyebabkan stres mekanik
dan cedera endotel.
Perubahan autoregulatori dalam resistensi pembuluh darah melalui sistem
autokrin/parakrin terjadi sebagai respons terhadap produksi vasokonstriktor
endogen (mis., Katekolamin) atau vasodilator endogen (mis., Oksida nitrat).
Selama keadaan darurat hipertensi, peningkatan tekanan darah akut melebihi
autoregulasi kontrol endotel tonus vaskular, menyebabkan tekanan dinding
vaskular mekanik dengan kerusakan endotel dan permeabilitas vaskular
berikutnya. Permeabilitas ini menyebabkan kebocoran plasma ke dinding
vaskular, mengakibatkan aktivasi trombosit, inisiasi kaskade koagulasi, deposisi
fibrin, dan rekrutmen mediator inflamasi. Vasokonstriksi yang tidak tepat dan
trombosis mikrovaskular ini menyebabkan hipoperfusi dan iskemia organ akhir
dengan disfungsi organ target berikutnya.
Mekanisme kedua adalah aktivasi sistem renin-angiotensin, yang
mengarah ke vasokonstriksi lebih lanjut dan dengan demikian menghasilkan
siklus yang terus-menerus menyebabkan cedera dan selanjutnya iskemia. Selain
mekanisme ini, keadaan prothrombotik mungkin memainkan peran kunci dalam
krisis hipertensi; sebuah studi baru-baru ini, walaupun kecil, menunjukkan bahwa
sP-selectin secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan krisis hipertensi
dibandingkan dengan kontrol normotensif terlepas dari adanya retinopati, yang
menunjukkan bahwa aktivasi trombosit adalah temuan yang relatif awal dalam
gejala patofisiologis dari krisis hipertensi.

E. GEJALA KLINIS
Gambaran klinis hipertensi emergensi umumnya adalah gejala organ target
yang terganggu, diantaranya nyeri dada dan sesak nafas pada gangguan jantung
dan diseksi aorta; mata kabur dan edema papilla mata; sakit kepala hebat, kejang
tonik klonik, kebutaan kortikal, hingga gangguan kesadaran dan lateralisasi pada
gangguan otak; gagal ginjal akut pada gangguan ginjal; di samping sakit kepala
dan nyeri tengkuk pada kenaikan tekanan darah umumnya.

9
F. DIAGNOSIS
Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi harus dapat
dilakukan dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi angka morbiditas
dan mortalitas pasien. Anamnesis tentang riwayat penyakit hipertensinya, obat-
obatan anti hipertensi yang rutin diminum, kepatuhan minum obat, riwayat
konsumsi kokain, amphetamine dan phencyclidine. Riwayat penyakit yang
menyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal penting dievaluasi. Tanda-
tanda defisit neurologis harus diperiksa seperti sakit kepala, penurunan kesadaran,
hemiparesis dan kejang.
1. Anamnesa

 Riwayat hipertensi: lama dan beratnya.

 Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.

 Usia: sering pada usia 40-60 tahun.

 Gejala sistem saraf: sakit kepala, pusing, perubahan mental, ansietas

 Gejala sistem ginjal: gross hematuri, jumlah urin berkurang

 Gejala sistem kardiovascular: adanya payah jantung, kongestif dan


edema paru, nyeri dada

 Riwayat penyakit: glomerulonefrosis, pyelonefritis

 Riwayat kehamilan: tanda eklampsi

10
2. Pemeriksaan Fisik
Tekanan darah harus dievaluasi pada kedua lengan dengan ukuran
manset yang tepat. Pemeriksaan fisik juga harus bertujuan untuk menentukan
atau menjelaskan disfungsi target organ. Fokus pemeriksaan nerologis untuk
menilai perubahan status mental dan defisit neurologis fokal juga harus
dilakukan. Perubahan status mental dengan pemeriksaan funduskopi yang
menunjukkan adanya eksudat, perdarahan atau papiledema yang mengarah
pada ensefalopati hipertensi. Pemeriksaan kardiovaskuler harus terfokus pada
adanya gallop (S3 dan S4) dan murmur patologis (seperti regurgitasi aorta).
Pulsasi vena jugularis yang meningkat dan ronki pada lapang paru
menunjukkan adanya edema pulmonal dan dekompensasi gagal jantung
kongestif. Nadi distal harus dipalpasi pada semua ekstremitas, dan nadi yang
tidak sama seharusnya menimbulkan kecurigaan untuk terjadinya diseksi
aorta.
3. Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiogram harus dilakukan untuk menilai hipertrofi ventrikel
kiri, aritmia, iskemia akut atau infark. Urinalisis harus dilakukan untuk
menilai hematuria dan proteinuria. Profil basal metabolik termasuk nitrogen
urea dan serum kreatinin darah penting untuk menilai disfungsi ginjal.
Biomarker jantung juga harus diperiksa jika dicurigai ACS (Acute Coronary
Syndrome).
Pasien yang datang dengan perubahan status mental atau defisit
neurologis fokal harus melewati pemeriksaan Computed Tomography (CT)
otak untuk menilai adanya perdarahan atau infark. X-Ray dada sering
dilakukan untuk menilai adanya edema pulmonal. Jika dicurigai adanya
diseksi aorta (berdasarkan riwayat nyeri dada, nadi yang tidak sama dan/atau
pelebaran mediastinum pada X- Ray dada), pencitraan aorta (CT
angiogram/Magnetic Resonance Imaging/transesophageal echocardiogram)
harus dilakukan sesegera mungkin.

11
G. TERAPI
Sasaran pengobatan untuk krisis hipertensi tergantung pada klasifikasi, yaitu
hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi. Pada hipertensi urgensi, terapi yang
dilakukan yaitu memulai kembali, memodifikasi, atau titrasi terapi oral dan
biasanya tidak memerlukan perawatan di ICU atau rawat inap di rumah sakit.

12
Tujuan pengobatan untuk hipertensi urgensi adalah pengurangan tekanan darah
secara bertahap selama 24-48 jam.
Dalam pengobatan hipertensi emergensi, untuk pasien tanpa pengecualian,
tujuan terapi adalah untuk mengurangi tekanan arteri rata-rata (MAP) sebesar
25% selama satu jam pertama. Pengurangan yang lebih besar (lebih dari 25%)
berkaitan dengan induksi iskemia serebral. Selain itu, jika kerusakan neurologis
terjadi selama pengurangan MAP 25% awal (atau selama penurunan berikutnya),
terapi harus dihentikan. Setelah satu jam pertama, direkomendasikan untuk
mengurangi tekanan darah secara bertahap.

Beberapa kondisi pengecualian yang tidak termasuk dalam target terapi


diatas adalah pasien dengan diseksi aorta, stroke akut (iskemik dan hemoragik),
dan hipertensi berat terkait kehamilan (preeklampsia/eklampsia dan hipertensi
emergensi pada pasien hamil).
Pada diseksi aorta, tujuan terapi untuk diseksi aorta adalah 2 kali lipat:
tekanan darah dan kontrol denyut jantung. Target denyut jantung selama
manajemen akut diseksi aorta adalah kurang dari 60 kali/menit dalam beberapa
menit presentasi, jika memungkinkan. Selain itu, tekanan darah sasaran setelah
mencapai kontrol denyut jantung yang memadai adalah SBP kurang dari 120
mmHg dan/atau serendah yang ditoleransi secara klinis, yaitu tekanan darah
terendah yang mempertahankan perfusi endorgan.

13
Mengingat beragamnya terapi hipertensi emergensi, sulit untuk memberi
label satu obat sebagai obat pilihan. Bahkan, tinjauan sistematis telah gagal
menunjukkan keunggulan dari setiap obat atau kelas obat yang lain mengenai
hasil klinis hipertensi emergensi. Pilihan pengobatan sering tergantung pada
analisis manfaat risiko dari masing-masing agen dengan mempertimbangkan (1)
organ target yang terkena dampak, (2) farmakokinetik (PK) dan farmakodinamik
(PD) dari obat yang tersedia, dan (3) hemodinamik dan efek samping dari opsi
pengobatan. Obat-obatan yang disarankan untuk terapi hipertensi emergensi
meliputi pemberian intravena, kemampuan untuk dititrasi ke efek yang
diinginkan, durasi aktivitas yang singkat, dan efek samping yang minimal.
Sodium nitroprusside adalah pilihan pertama bagi sebagian besar keadaan
hipertensi emergensi, dan bertindak dalam hitungan detik sebagai vasodilator
arteri dan vena yang kuat. Sodium nitroprusside adalah donor oksida nitrat, yang
menyebabkan relaksasi otot polos. Karena bekerja langsung pada otot polos,
sodium nitroprusside mengurangi afterload dan preload, memberikan penerapan
luas untuk berbagai keadaan darurat hipertensi. Dua efek yang harus diperhatikan
pada pemberian natrium nitroprusside adalah "coronary steal" dan peningkatan
ICP. Coronary steal adalah konsep pendistribusian kembali darah teroksigenasi
dari arteri koroner yang iskemik ke arteri koroner yang baik-baik saja karena efek

14
vasodilatasi sehingga menyebabkan berkurangnya tekanan perfusi koroner. Oleh
sebab itu, penggunaan sodium nitroprusside pada infark myokardium tidak
disarankan.
Sodium nitroprusside juga melebarkan pembuluh darah besar (termasuk
pembuluh otak besar), menyebabkan vasodilatasi yang dapat meningkatkan
volume darah, yang kemudian akan meningkatkan ICP dan berpotensi
menurunkan CPP [catatan: CPP = MAP - ICP]. Selain itu, sodium nitroprusside
mengandung molekul sianida sehingga pada pasien yang memiliki penyakit hepar
ataupun gagal ginjal dapat terjadi toksisitas tiosianat. Toksisitas dapat terjadi
ketika agen diberikan selama lebih dari 48-72 jam.
Selain sodium nitoprusside, Calcium Channel Blocker (CCB) adalah salah
satu kelas obat yang dapat dipilih, yang terdiri dari dihydropyridine, yaitu
nicardipine dan clevidipine, dan non-dihydropyridine, yaitu diltiazem dan
verapamil. Agen dihydropyridine adalah CCB tipe-L selektif perifer yang
memberikan efek antihipertensi dengan menghambat masuknya kalsium melalui
saluran kalsium sepanjang otot polos pembuluh darah. Penghambatan ini
mencegah kontraktilitas otot polos, yang mengarah ke vasodilatasi dan
pengurangan tekanan darah sistemik. Agen-agen ini secara istimewa mengikat
saluran kalsium tipe-L perifer pada otot polos pembuluh darah otak, jantung,
jantung, dan ginjal. Sebaliknya, agen non-dihidropiridin diltiazem dan verapamil
memiliki efek preferensial di jantung dalam urutan sistem konduksi dan kontraksi
sel miokard untuk efek perifernya. Karena efek inotropik dan kronotropik negatif
ini, agen ini biasanya hanya digunakan untuk presentasi tertentu dari krisis
hipertensi. Ketika membandingkan CCB dihidropiridin dengan natrium
nitroprussid, agen ini tidak mempengaruhi ICP dan mungkin dianggap lebih
disukai untuk pasien dengan stroke akut sebagai kerusakan organ targetnya. CCB
dihidropiridin biasanya ditoleransi dengan baik dengan efek samping terbatas.
Efek samping paling umum yang terkait dengan nicardipine terkait dengan
vasodilatasi, termasuk sakit kepala, mual, muntah, dan takikardia.
Nitrogliserin terutama merupakan vasodilator vena, namun pengurangan
afterload tergantung dosis yang dapat dicapai. Karena vasodilatasi vena yang

15
cepat dengan nitrogliserin, ia dapat mengurangi aliran balik vena relatif dan
selanjutnya preload miokard. Selain efek perifer dari nitrogliserin, efek
vasodilatasi arteri koroner terjadi tanpa komplikasi coronary steal. Salah satu
pertimbangan utama dengan penggunaan klinis nitrogliserin adalah tachyphylaxis
yang terjadi, mungkin karena penipisan sulfhydryl (karena kurangnya interval
bebas nitrat), yang membutuhkan eskalasi sering dalam dosis untuk
mempertahankan efek hemodinamik. Takifilaksis ini biasanya terjadi selama 24-
48 jam pertama, dan jika kontrol tekanan darah intravena masih diperlukan pada
interval waktu tersebut, agen tambahan atau alternatif mungkin diperlukan. Selain
itu, dengan peningkatan dosis yang cepat, pasien menjadi lebih berisiko terhadap
potensi efek samping nitrogliserin, termasuk flushing, sakit kepala, eritema, mual,
dan muntah.
β-Antagonis (mis., β-blocker) adalah kelas obat lain yang dapat digunakan
untuk keadaan darurat hipertensi. Formulasi intravena yang tersedia dan
digunakan untuk indikasi ini termasuk antagonis selektif-β esmolol dan
metoprolol dan kombinasi α1- dan β-antagonist labetalol. Esmolol memiliki
parameter PK preferensial dari antagonis β-yaitu, onset cepat, metabolisme organ-
independen melalui ester hidrolisis dan durasi pendek aktivitas yang mengarah
pada kemampuan titrasi.
Metoprolol memiliki β-selektivitas yang mirip dengan esmolol, tetapi
mengingat onsetnya yang lebih lambat, pemberian dorongan intravena, dan durasi
aktivitas yang lebih lama, metoprolol memiliki titratabilitas yang lebih rendah dan
dapat mengarah pada koreksi yang diperluas, terlalu agresif, tidak disengaja,
menempatkan pasien pada risiko komplikasi iskemik yang diinduksi. Metoprolol
intravena sering dihindari untuk indikasi ini. Karena selektivitas β mereka, tidak
satu pun dari agen ini yang memiliki efek vasodilatasi langsung, dan kontrol
tekanan darah semata-mata melalui efek inotropik dan kronotropik negatif.
Labetalol adalah kombinasi α1- dan β-antagonis, yang menurut label yang
ditentukan, dalam formulasi intravena, terutama memberikan efek
hemodinamiknya melalui sifat β-antagonis, mengingat bahwa rasio α1 terhadap β
sekitar 1:7 dibandingkan dengan 1:3 dalam formulasi oral. Karena durasi aksi

16
yang diperpanjang, setiap dosis harus dititrasi dengan hati-hati. Dari catatan,
labetalol adalah salah satu obat pilihan untuk krisis hipertensi terkait kehamilan.
Semua β-antagonis harus dihindari pada pasien dengan presentasi gagal jantung
sistolik akut yang efek inotropik negatifnya dapat berbahaya.
Hydralazine adalah vasodilator arteri perifer yang paling dikenal dalam
pengaturan klinis ini untuk keamanannya dalam kehamilan. Hydralazine dapat
diberikan melalui injeksi intravena atau intramuskuler pada dosis yang sama.
Namun, kehati-hatian harus digunakan, mengingat profil PK suboptimal agen,
durasi efek yang tidak terduga pada tekanan darah, dan laporan yang menginduksi
rebound takikardia.
Enalaprilat adalah penghambat enzim pengonversi angiotensin (ACE)
intravena. Menurut sisipan paket, secara mekanis, enalaprilat menghalangi
vasokonstriksi ampuh angiotensin II (AT2) dengan menghambat konversi AT2
dari angiotensin I.

17
18
DAFTAR PUSTAKA

Aronow W. S. (2017). Treatment of hypertensive emergencies. Annals of


translational medicine, 5(Suppl 1), S5.
Benken, S. 2018. Hypertensive emergencies. Medical Issues in ICU
Bryan W., dkk. 2018. ESC/ESH Guidelines for the management of arterial
hypertension, European Heart Journal, Volume 39, Issue 33, 1 September
2018, Pages 3021–3104, https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehy339
Lukito, A., dkk. 2019. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia.
Varounis, C., Katsi, V., Nihoyannopoulos, P., Lekakis, J., & Tousoulis, D.
(2017). Cardiovascular Hypertensive Crisis: Recent Evidence and Review
of the Literature. Frontiers in cardiovascular medicine, 3, 51.
doi:10.3389/fcvm.2016.00051

19

Anda mungkin juga menyukai