Disusun oleh :
Fisna Sinantia
20194010061
Diajukan kepada :
dr. H. Mohamad Wibowo, Sp.PD
I. Identitas
Nama : Tn. SR
Usia : 48 tahun
Alamat : Sedayu, Bantul
Pekerjaan : Buruh
II. Anamnesis
Keluhan Utama :
Sakit kepala, mata kuning, demam
Pasien datang ke IGD pada hari sabtu malam (6 Juli 2019) akan tetapi pasien baru
diopname pada hari senin 8 juli 2019. Pasien mengeluhkan sakit kepala, mata kuning, dan
demam sejak ± 1 minggu SMRS. Nyeri kepala dirasakan terus menerus, berdenyut dan
berpindah-pindah. Pasien juga mengeluhkan kadang kepala terasa berputar. Keluhan disertai
demam, dan mengigil. BAK berwarna seperti teh. Pasien baru menyadari warna urin
menyerupai teh sejak hari sabtu, menurut penuturan pasien, sejak beberapa waktu
sebelumnya warna urinnya sudah berubah akan tetapi pasien tidak terlalu mengamati
sehingga pasien tidak bisa menyebutkan kapan tepatnya urinnya berubah warna. Mata
kuning sejak hari sabtu pagi.
Sebelumnya pasien belum pernah mengalami nyeri kepala yang berlangsung hingga
1 minggu lamanya. Pasien juga tidak pernah mengalami ikterik sebelumnya. Riwayat
hipertensi dan diabetes mellitus disangkal. Pasien belum pernah dirawat di rumah sakit
sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat alergi.
Status Generalis :
Jantung
V. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
VI. Diagnosis
- Susp. AIHA
- Polip VF
- Hypertrigliserid
- Dyspepsia
VII. Diagnosis Banding
- Anemia on chronic disease
- Drug Induced Hemolysis
VIII. Penatalaksanaan
- Infus RL
- Inj. Pantoprazole 1 Amp/12 jam
- Inj. Antrain 1 Amp/8 jam
- Gemfibrozil 1x300 mg
IX. Masalah yang dikaji
1. Apa yang dimaksud dengan AIHA?
2. Bagaimana cara menegakkan diagnosis AIHA?
3. Bagaimana cara penatalaksanaan AIHA?
PEMBAHASAN
AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA)
A. DEFINISI
Anemia hemolitik adalah suatu penyakit yang heterogen baik karena adanya berbagai
antibody yang berperan pada pathogenesis penyakit ini ataupun karena berbagai penyakit yang
ikut mendasarinya. Anemia hemolitik disebabkan oleh proses hemolysis, yaitu pemecahan eritrosit
dalam pembuluh darah sebelum waktunya. Meskipun umur eritrosit pada orang dewasa berkisar
120 hari namun disepakati bahwa umur eritrosit memendek adalah kurang dari 100 hari.
Proses hemolisis terjadi karena eritrosit pasien diserang oleh autoantibodi yang diproduksi
system imun tubuh pasien sendiri. Antibody akan berikatan dengan eritrosit dan menginisiasi
penghancuran eritrosit melalui sistem komplemen dan sistem reticuloendothelial (SRE). Antibody
yang khas pada AIHA antara lain IgG, IgM, atau IgA yang bekerja pada suhu yang berbeda-beda.
Jadi untuk timbulnya AIHA diperlukan adanya antibody dan proses destruksi eritrosit.
B. PATOGENESIS
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibody ini terjadi melalui aktivasi sistem
komplemen, aktivasi mekanisme, atau kombinasi keduanya. Secara keseluruhan aktivasi sistem
komplemen akan menyebabkan hancurnya membrane sel eritrosit dan terjadilah hemolysis
intravascular yang ditandai dengan hemoglobinuria dan hemoglobinemia.
Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternative. Antibody-
antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3.
Immunoglobulin M disebut sebagai aglutinin tipe dingin, sebab antibody ini berikatan dengan
antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh. Antibody
IgG disebut agglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu
tubuh.
Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen atau
berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih lanjut,
maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses immune
adherence ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence
terutama yang diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.
C. KLASIFIKASI
a) Tipe Hangat
Yaitu hemolitik autoimun yang terjadi pada suhu tubuh optimal (37 derajat celcius).
Anemia hemolitik antibody hangat adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk
autoantibodi yang bereaksi terhadap sel darah merah pada suhu tubuh. Autoantibodi ini
melapisi sel darah merah yang kemudian dikenalinya sebagai benda asing dan dihancurkan
oleh sel perusak dalam limpa atau kadang dalam hati dan sumsum tulang. Penyakit ini lebih
sering terjadi pada wanita. Sepertiga penderita anemia jenis ini menderita suatu penyakit
tertentu (misalnya limfoma, leukemia atau penyakit jaringan ikat terutama sistemik lupus
eritematosus) atau telah mendapatkan obat tertentu misalnya metildopa.
Gejalanya seringkali lebih buruk daripada yang diperkirakan mungkin dikarenakan
anemianya berkembang sangat cepat. Limpa biasanya membesar, sehingga bagian perut atas
sebelah kiri bisa terasa nyeri atau tidak nyaman.
Tranfusi darah dapat menyebabkan masalah pada penderita anemia hemolitik
autoimun. Bank darah mengalami kesulitan dalam menemukan darah yang tidak bereaksi
terhadap antibody dan tranfusinya sendiri dapat merangsang pembentukan lebih banyak lagi
antibody. Manifestasi klinis : gejala tersamar, gejala-gejala anemia timbul perlahan,
menimbulan demam bahkan ikterik. Jika diperiksa urin pada umumnya berwarna gelap
karena hemoglobinuria. Bisa juga terjadi splenomegaly, hepatomegaly dan limfadenopati.
Pemeriksaan lab : coomb’s test direk positif. Prognosis : hanya sedikit yang bisa sembuh
total, sebagian besar memiliki perjalanan penyakit kronis namun terkendali. Survival 70%.
Komplikasi bisa terjadi seperti emboli paru, infark limpa dan penyakit kardiovaskular.
Angka kematiannya 15-25%.
b) Tipe Dingin
Anemia hemolitik antibodi dingin adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk
autoantibodi yang beraksi terhadap sel darah merah dalam suhu ruangan atau dalam suhu
yang dingin. Anemia jenis ini dapat berbentuk akut atau kronik. Bentuk yang akut sering
terjadi pada penderita infeksi akut terutama pneumonia tertentu atau mononukleus
infeksiosa. Bentuk akut biasanya tidak berlangsung lama, relatif ringan dan menghilang
tanpa pengobatan. Bentuk yang kronik lebih sering terjadi pada wanita terutama penderita
rematik atau artritis yang berusia diatas 40 tahun. Bentuk yang kronik biasanya menetap
sepanjang hidup penderita tetapi sifatnya ringan dan kalaupun ada hanya menimbulkan
sedikit gejala.
Cuaca dingin akan meningkatkan penghancuran sel darah merah, memperburuk
nyeri sendi dan bisa menyebabkan kelelahan dan sianosis (tampak kebiruan) pada tangan
dan lengan. Penderita yang tinggal di daerah bercuaca dingin memiliki gejala yang lebih
berat dibandingkan dengan penderita yang tinggal di iklim hangat. Diagnosis ditegakkan jika
pada pemeriksaan laboratorium ditemukan antibody pada permukaan sel darah merah yang
lebih aktif pada suhu yang lebih rendah dari suhu tubuh. Tidak ada pengobatan khusus,
pengobatan ditujukan untuk mengurangi gejala-gejalanya. Bentuk akut yang berhubungan
dengan infeksi akan membaik dengan sendirinya dan jarang menyebabkan gejala yang
serius. Antibodi yang memperantarai biasanya adalah IgM. Antibodi ini akan langsung
berikatan dengan eritrosit dan langsung memicu fagositosis. Manifestasi klinis : gejala
kronis, anemia ringan (biasanya Hb : 9-12 g/dl), sering dijumpai akrosianosis dan
splenomegaly. Pemeriksaan lab : anemia ringan, sferositosis, polikromasia, tes comb positif,
spesifisitas tinggi untuk antigen tertentu seperti anti-I, anti-Pr, anti-M dan anti-P. prognosis
: baik, cukup stanil.
D. EPIDEMIOLOGI
Dilaporkan insidensi anemia hemolitik imun sebesar 0.8/100.000/ tahun dan
prevalensinya sebesar 17/100.000
E. ETIOLOGI
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi
karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit
autoreaktif residual.
Fungsi T regulatory CD4+ CD25 yang intak mampu mencegah timbulnya
autoantibodi. Suatu percobaan dengan menggunakan model Marshal Clarke and playfair
hewan coba murin AIHA digunakan untuk melihat etiologi anemia hemolitik imun dan peran
dari T regulatory. Hewan coba mencit diimunisasi berulang dengan eritrosit tikus sehingga
akan timbul autoantibodi mencit terhadap eritrosit yang sesuai dengan aloantibodi spesifik
pada tikus. Pada mencit yang sel T CD4+ CD25+ berkurang (karena telah diberikan anti-
CD25 antibodi sebelum imunisasi dengan eritrosit tikus) akan mengalami anemia hemolitik
imun 60% lebih banyak dibandingkan mencit yang tidak mendapat antibody anti CD25. Dari
penelitian tersebut disimpulkan bahwa T regulatory (CD4+ CD25+) berperan dalam
mengendalikan induksi anemia hemolitik imun.
Sebagian besar anemia hemolitik autoimun adalah penyakit sekunder akibat
penyakit virus, penyakit autoimun lain, keganasan atau karena obat. Beberapa penyakit yang
disertai dengan AIHA adalah leukemia limfositik kronik, limfoma non Hodgkin, gamopati
IgM, limfoma Hodgkin, tumor solid, kista dermoid ovarium, SLE, colitis ulseratif, Common
Variable Immune Deficiency, Autoimmune Lymphoproliferative Disease, setalah terapi
transplantasi sel punca alogenik, pasca transplantasi organ. Beberapa jenis obat yang
digunakan pada kasus leukemia limfositik kronik bisa menginduksi AIHA, begitu pula
interferon-α, levofloksasin, lenalidomid dan juga tranfusi darah.
Lemas, mudah lelah, sesak nafas adalah gejala yang sering dikeluhkan oleh
penderta anemia hemolitik. Tanda klinis yang sering dilihat adalah konjunctiva pucat, sklera
berwarna kekuningan (ikterik), splenomegaly, urin berwarna merah gelap. Tanda
laboratorium yang dijumpai adalah anemia normositik, retikulositosis, peningkatan lactate
dehydrogenase, peningkatan serum haptoglobulin, dan direct antiglobulin test menunjukkan
hasil positif.
G. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis sistematis mengenai adanya rasa
lelah, mudah mengantuk, sesak nafas, cepatnya perlangsungan gejala, riwayat pemakaian
obat, dan riwayat sakit sebelumnya. Pemeriksaan fisik didapatkan pucat, ikterik,
splenomegaly, dan hemoglobinuria. Pemeriksaan fisik juga dilakukan untuk mencari
kemungkinan penyakit primer yang mendasari AIHA. Pemeriksaan hematologi
menunjukkan adanya kadar hemoglobin yang rendah (biasanya sekitar 7-10 g/dl), MCV
normal atau meningkat, bilirubin indirek yang meningkat, LDH (lactate dehydrogenase)
meningkat, dan retikulositosis. Morfologi darah tepi menunjukkan adanya proses
fragmentasi pada eritrosit (sferosit, skistosit, helmet cell, dan retikulosit). Direct
Antiglobulin Test menunjukkan hasil positif pada AIHA.
PEMERIKSAAN UNTUK MENDETEKSI AUTOANTIBODI PADA ERITROSIT
1. Direct Antiglobulin Test (direct Coomb’s test) : sel eritrosit pasien dicuci dari protein-
protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibody monoclonal
terhadap berbagai immunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama IgG dan C3d. bila
pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi
aglutinasi.
2. Indirect Antiglobulin Test (indirect Coomb’s test) : untuk mendeteksi autoantibodi yang
terdapat apda serum. Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen. Immunoglobulin
yang beredar pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan
antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi.
Anemia normositik / makrositik
Retikulositosis
Peningkatan bilirubin indirek
Peningkatan LDH, penurunan serum haptoglobulin
Anemia hemolitik
DAT
Positif Negatif
AIHA
H. TERAPI
Hariadi, Kartika. Perdjono, Ellias. Anemia Hemolitik Imun dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. 2015. Jakarta : Interna Publishing.
Chaudary, R.K. Sekhar, Sudipta. (2014). Autoimmune Hemolytic Anemia : From Lab to
Bedside. Asian Journal of Transfusion Science.
Rajabto, Wulyo. et al. (2016). AIHA Patient’s Profile and Treatment Response to
Corticosteroid in RSCM. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. Volume 3 no 4.