Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

Pre-eklamsi pada Kehamilan

Disusun Oleh
Valencia Suwardi
11.2018.015

Dokter Pembimbing:
dr.Edward Aipassa, Sp.OG

KEPANITERAN KLINIK ILMU PENYAKIT KANDUNGAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA
WACANA

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT KANDUNGAN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG
PERIODE 1 JULI 2019 – 7 SEPTEMBER 2019
HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Menurut The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) 2013, hipertensi
adalah suatu keadaan dengan tekanan darah sistolik minimal 140 mmHg dengan tekanan darah
diastolik minimal 90 mmHg. Tekanan darah harus diukur minimal 2 kali dengan selang waktu
pemeriksaan 4 jam.1
Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah ditemukan sebelum kehamilan
atau yang ditemukan pada umur kehamilan < 20 minggu dan menetap setelah 12 minggu pascasalin.
Hipertensi kronis yang diperberat oleh preeklampsia atau eklampsia, disebut juga hipertensi kronis
dengan Superimposed Preeclampsia.1
Sedangkan yang dimaksud dengan preeklampsia sendiri adalah timbulnya hipertensi disertai
proteinuria, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Sedangkan yang
dimaksud dengan eklampsia adalah kelainan akut pada preeklampsia dalam kehamilan, persalinan,
atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dengan atau tanpa penurunan kesadaran
(gangguan sistem saraf pusat). Ada pula istilah Eclampsia Sine Eclampsia adalah eklampsia yang
ditandai oleh penurunan kesadaran tanpa kejang.1
Terakhir, hipertensi gestasional adalah timbulnya hipertensi dalam kehamilan pada wanita
dengan tekanan darah yang sebelumnya normal dan tidak disertai proteinuria. Gejala ini akan
menghilang dalam waktu kurang dari 12 minggu pascasalin.1

III.2 KLASIFIKASI HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN


Berdasarkan ACOG 2013, hipertensi dalam kehamilan dapat dibagi menjadi 4 kategori, yaitu :
a. Hipertensi kronis
b. Preeklampsia - eklampsia
c. Hipertensi kronis dengan superimposed preeclampsia
d. Hipertensi Gestasional1
Preeklampsia
Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia. Proteinuria yaitu protein dalam urin 24
jam, melebihi 300 mg per 24 jam, atau pada sampel urin secara acak menunjukkan 30 mg/dL (+1
dipstick) secara persisten. Tingkat proteinuria dapat berubah-ubah secara luas selama periode 24
jam, bahkan pada kasus yang berat. Oleh karena itu, satu sampel acak bisa saja tidak
membuktikan adanya proteinuria yang berarti.1,8



Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklampsia adalah hipertensi dalam
kehamilan, pada usia kehamilan diatas 20 minggu, disertai proteinuria. Temuan laboratorium
yang abnormal dalam pemeriksaan ginjal, hepar, dan fungsi hematologi meningkatkan diagnosis
preeklampsia.1,8
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen merupakan akibat nekrosis
hepatoseluler, iskemia, dan edema yang merentangkan kapsul Glissoni. Nyeri ini sering disertai
dengan peningkatan serum hepatik transaminase yang tinggi dan biasanya merupakan tanda untuk
mengakhiri kehamilan.1
Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklampsia yang memburuk, dan hal tersebut
disebabkan oleh aktivasi dan agregasi platelet serta hemolisis mikroangiopati yang disebabkan
oleh vasospasme yang berat. Bukti adanya hemolisis yang luas, dengan ditemukannya
hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemi dan merupakan indikasi penyakit yang
berat. Faktor lain yang menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan fungsi jantung dengan
edema pulmonal dan juga pembatasan pertumbuhan janin yang nyata.1
Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis preeklampsia, tetapi
tekanan darah bukan merupakan penentu absolut tingkat keparahan hipertensi dalam kehamilan.
Preeklampsia dibagi menjadi dua, yaitu with severe feature dan without severe feature.
Kriteria diagnosis pada preeklampsia terdiri dari :
a. Kriteria minimal, yaitu :
1. Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu
2. Proteinuria ≥300 mg/24 jam atau 1+ dipstick
b. Kriteria terjadinya preeklampsia berat atau preeclampsia with severe feature:
1. TD ≥ 160/110 mmHg, pada 2 kali pengukuran
2. Trombosit <100.000/mm3
3. Gangguan fungsi hati : Peningkatan enzim transaminase (ALT atau AST), nyeri perut kanan
atas persisten yang berat atau nyeri epigastrium persisten yang tidak membaik dengan
pengobatan
4. Insufisiensi renal yang progresif : Kreatinin serum ≥ 1.1 mg/dL, kecuali sebelumnya
diketahui sudah meningkat
5. Edema pulmo
6. Gangguan cerebral atau penglihatan1



Kriteria proteinuria masif yaitu, proteinuria ≥5 g/24 jam atau 2+ dipstick, sudah tidak
dijadikan salah satu kriteria dari preeclampsia with severe feature oleh ACOG 2013, begitu juga
dengan kondisi pertumbuhan janin terhambat, yang sudah tidak lagi dijadikan sebagai patokan
preeclampsia with severe feature.
Tabel 1. Kriteria Diagnostik Preeklampsia Berdasarkan ACOG 2013

Gambar 1. Gejala Preeklampsia (ACOG, 2013)



Gambar 2. Preeclampsia with severe features (ACOG, 2013)
FAKTOR RISIKO HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Faktor risiko pada hipertensi dalam kehamilan antara lain :
a. Primigravida, primipaternitas
b. Riwayat hipertensi dalam kehamilan sebelumnya
c. Riwayat penyakit hipertensi, penyakit ginjal, atau keduanya
d. Riwayat trombophilia
e. Riwayat Systemic lupus erythematosus (SLE)
f. Kehamilan multifetus
g. Riwayat hipertensi dalam keluarga
h. Diabetes mellitus
i. Obesitas (BMI ≥ 30)
j. Usia saat hamil, > 40 tahun1,8

ETIOLOGI HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN


Etiologi pada hipertensi dalam kehamilan yaitu :
a. Invasi trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus



b. Intoleransi imunologis antara jaringan plasenta ibu dan janin
c. Maladaptasi maternal pada perubahan kardiovaskular atau inflamasi dari kehamilan normal
d. Faktor nutrisi
e. Pengaruh genetik9
PATOFISIOLOGI HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
A. Invasi Trofoblastik Abnormal
Pada implantasi normal, arteri spiralis uterus mengalami remodelling yang luas ketika
diinvasi oleh trofoblas endovaskular. Akan tetapi, pada kondisi preeklampsia, terdapat invasi
trofoblastik yang tidak lengkap. Pada kasus ini, pembuluh darah desidua, menjadi sejajar
dengan trofoblas endovaskular. Beberapa penelitian membuktikan bahwa besarnya defek
invasi trofoblastik terhadap arteri spiralis berhubungan dengan beratnya hipertensi.9

Gambar 3. Implantasi plasenta normal


Perubahan pada preeklampsia, meliputi kerusakan endotelial, perembesan isi plasma
pada dinding arteri, proliferasi sel miointimal, dan nekrosis tunika media. Lipid mengumpul
pertama kali pada sel-sel myointimal dan kemudian pada makrofag akan membentuk
atherosis. Obstruksi lumen arteriol spiral oleh atherosis dapat mengganggu aliran darah
plasenta. Perubahan-perubahan ini dianggap menyebabkan perfusi plasenta menjadi berkurang
secara patologis, yang pada akhirnya menyebabkan sindrom preeklampsia. 9



Gambar 4. Atherosis
Disfungsi endotel yang luas menimbulkan manifestasi klinis berupa disfungsi multi
organ, meliputi susunan saraf pusat, hepar, pulmonal, renal, dan sistem hematologi. Kerusakan
endotel menyebabkan kebocoran kapiler patologis yang dapat bermanifestasi pada ibu berupa
edema dan hemokonsentrasi. Ketika plasenta ikut terkena kelainan, janin dapat terkena
dampaknya akibat penurunan aliran darah utero-plasenta. Penurunan perfusi ini menimbulkan
manifestasi klinis seperti tes laju jantung janin yang non-reassuring, skor rendah profil
biofisik, oligohidramnion, dan pertumbuhan janin terhambat pada kasus-kasus yang berat. 9
B. Faktor Imunologis
Perubahan adaptasi pada sistem imun dalam patofisiologi preeklampsia dimulai pada
awal trimester kedua. Wanita yang cenderung mengalami preeklampsia memiliki jumlah T-
helper cells (Th1) yang lebih sedikit dibandingkan dengan wanita yang normotensif.
Ketidakseimbangan ini terjadi karena terdapat dominasi Th2 yang dimediasi oleh adenosin.
Limfosit T-helper ini mengeluarkan sitokin spesifik yang memicu implantasi dan kerusakan
pada proses ini dapat menyebabkan preeklampsia.9
C. Vaskulopati dan Perubahan Inflamasi
Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan akibat dari respon dari plasenta karena
terjadi iskemik sehingga akan menimbulkan urutan proses tertentu. Desidua juga memiliki sel-
sel yang bila diaktivasi maka akan mengeluarkan agen noxious. Agen ini dapat menjadi
mediator yang mengakibatkan kerusakan sel endotel. Sitokin tertentu seperti tumor necrosis
factor-α (TNF-α) dan interleukin memiliki kontribusi terhadap stres oksidatif yang
berhubungan dengan preeklamsi. Stres oksidatif ditandai dengan adanya oksigen reaktif dan
radikal bebas yang akan menyebabkan pembentukan lipid peroksida. Hal ini akan
menghasilkan toksin radikal yang merusak sel-sel endotel, memodifikasi produksi Nitric Oxide



(NO), dan mengganggu keseimbangan prostaglandin (vasodilator). Fenomena lain yang
ditimbulkan oleh stres oksidatif meliputi pembentukan sel-sel busa pada atherosis, aktivasi
koagulasi intravaskular (trombositopeni), dan peningkatan permeabilitas (edema dan
proteinuria). 9
D. Faktor Nutrisi
Tekanan darah pada individu yang tidak hamil dipengaruhi oleh sejumlah pengaruh
makanan, termasuk mineral dan vitamin. Beberapa studi telah membuktikan hubungan antara
makanan dan insidensi terjadinya preeklampsia. Hal ini didahului tentang suplementasi
dengan berbagai unsur seperti zinc, kalsium, dan magnesium yang dapat mencegah
preeklampsia. Dikatakan juga bahwa dalam populasi umum dengan diet tinggi buah dan
sayuran yang memiliki efek antioxidant berhubungan dengan tekanan darah yang menurun. 9
E. Faktor Genetik
Predisposisi herediter terhadap hipertensi tidak diragukan lagi berhubungan dengan
preeklampsia dan tendensi untuk terjadinya preeklampsia juga diturunkan. Penelitian
menunjukkan adanya hubungan antara antigen histokompatibilitas HLA-DR4 dengan
hipertensi dan proteinuria. 9

PENATALAKSANAAN HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN


Penatalaksanaan Preeklampsia
Persalinan merupakan pengobatan yang utama. Setelah diagnosis ditegakkan,
penatalaksanaan selanjutnya harus berdasarkan evaluasi awal terhadap kesejahteraan ibu dan
janin. Berdasarkan hal ini, keputusan dalam penatalaksanaan dapat ditegakkan, yaitu apakah
hospitalisasi, ekspektatif atau terminasi kehamilan, serta harus memperhitungkan beratnya
penyakit, keadaan ibu dan janin, dan usia kehamilan. Tujuan utama pengambilan strategi
penatalaksanaan adalah keselamatan ibu dan kelahiran janin hidup yang tidak memerlukan
perawatan neonatal lebih lanjut dan lama.
Indikasi persalinan pada preeklampsia dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Indikasi ibu
1. Hipertensi berat yang berulang
2. Kegagalan progresif fungsi ginjal
3. Trombositopenia menetap (< 100.000 sel/mm3) atau HELLP syndrome



4. Edema pulmo
5. Eklampsia
6. Suspek solusio plasenta
7. Ketuban pecah dini1
b. Indikasi janin
1. Usia gestasi 34 minggu
2. Pertumbuhan janin terhambat
3. Oligohidramnion
4. Reversed end-diastolic flow pada arteri umbilkus dengan tes Doppler
5. Adanya rekurensi ariabilitas dan deselerasi pada non stress test (NST)
6. Kematian janin1

Bagan 1. Penatalaksanaan Preeklampsia ringan (without severe features)



Bagan 2. Penatalaksanaan Preeklampsia berat (with severe feature)



Penatalaksanaan Eklampsia
Kebanyakan rumah sakit merekomendasikan pemberian antikonvulsan kepada semua
pasien dengan hipertensi dengan atau tanpa proteinuria. Obat yang digunakan tersebut harus aman
bagi ibu dan janin. Pengalaman menggunakan magnesium sulfat, membuktikan bahwa obat ini
cukup aman. Obat ini dipergunakan pada preeklampsia berat dan eklampsia.9
Penggunaan antikonvulsi secara intravena tidak menimbulkan depresi susunan saraf pusat
baik pada ibu maupun pada janin. Obat ini dapat pula diberikan secara intravena dengan infus
kontinu. Mengingat persalinan merupakan waktu yang paling sering untuk terjadinya konvulsi,
maka wanita dengan preeklampsia-eklampsia biasanya diberikan magnesium sulfat selama
persalinan dan 24 jam post partum atau 24 jam setelah onset konvulsi. Perlu diingat bahwa
magnesium sulfat bukan merupakan agen untuk mengatasi hipertensi. 9
Magnesium sulfat yang diberikan secara parenteral hampir seluruhnya diekskresikan lewat
ginjal. Intoksikasi magnesium sulfat dapat dihindari dengan memastikan bahwa keluaran urine
adekuat, reflek patella positif, dan tidak adanya depresi pernafasan. Konvulsi eklampsia dan
kejadian berulang hampir selalu dapat dicegah dengan mempertahankan kadar magnesium dalam
plasma sebesar 4- 7mEq/L (4.8 – 8.4 mg/dL atau 2.0 – 3.5 mmol/L). Pemberian infus intravena
awal sebesar 4 – 6 gram dipakai untuk pemeliharaan pengobatan yang tepat dan dilanjutkan
dengan injeksi intra muskular 10 gram, diikuti 5 gram setiap 4 jam atau infus kontinu 2 – 3 gram
per jam.8, 9
Intoksikasi magnesium (depresi pernapasan), dapat ditangani dengan pemberian kalsium
glukonas sebanyak 1 gram secara intravena. Namun keefektifan kerja kalsium glukonas sendiri
pendek, maka bila terdapat depresi pernafasan, pemasangan intubasi trakea dan bantuan ventilasi
mekanik merupakan tindakan penyelamatan hidup.8, 9
Setelah pemberian 4 gram magnesium secara intravena selama 15 menit, akan terjadi
penurunan sedikit pada MABP dan peningkatan cardiac index sebesar 13%. Dengan demikian,
magnesium menurunkan resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah arteri rata-rata dan pada
saat yang bersamaan, meningkatkan cardiac output tanpa depresi miokardium. Hal ini tampak
pada pasien berupa mual sementara dan flushing, efek kardiovaskular ini hanya menetap selama
15 menit. 9
Penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa efek antikonvulsan adalah memblok influks
neuronal kalsium melalui saluran glutamat. Penelitian lain yang dilakukan, menunjukkan bahwa



induksi konvulsi terjadi pada area hipokampus karena merupakan daerah dengan ambang
konvulsi yang rendah dengan densitas reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang tinggi.
Reseptor ini berkaitan dengan beragam bentuk epilepsi. Karena konvulsi dari hipokampus dapat
dihambat oleh magnesium, maka dapat diambil kesimpulan bahwa magnesium memiliki efek
terhadap susunan saraf pusat dalam memblok konvulsi.
Magnesium sulfat tidak menyebabkan depresi pada janin kecuali terjadi hipermagnesemia
berat saat persalinan. Gangguan neonatus setelah terapi dengan magnesium juga tidak pernah
dilaporkan. Penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa ada kemungkinan efek protektif dari
magnesium cerebral pallsy terhadap bayi dengan berat badan lahir yang sangat rendah.
a. Bila terjadi kejang, perhatikan jalan napas, pernapasan (oksigen), dan sirkulasi (cairan
intravena).
b. MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan eklampsia (sebagai tatalaksana
kejang) dan preeklampsia berat (sebagai pencegahan kejang).
c. Pada kondisi dimana MgSO4 tidak dapat diberikan seluruhnya, berikan dosis awal
(loading dose) lalu rujuk ibu segera ke fasilitas kesehatan yang memadai.
d. Lakukan intubasi jika terjadi kejang berulang dan segera kirim ibu ke ruang ICU (bila
tersedia) yang sudah siap dengan fasilitas ventilator tekanan positif8
Pemberian dosis magnesium sulfat secara infus intra vena kontinu untuk preeklampsia berat
dan eklampsia yaitu :
a. Berikan 4 – 6 gram loading dose magnesium sulfat yang diencerkan dalam 100 mL cairan
infus sekitar 15-20 menit
b. Mulai dengan dosis 2 gram/hari dalam 100 ml cairan infus pemeliharaan
c. Ukur serum magnesium setiap 4 – 6 jam dan sesuaikan infus untuk menjaga level plasma 4-7
mEq/L
d. Magnesium sulfat tidak dilanjutkan 24 jam setelah persalinan 8,9
Pemberian dosis magnesium sulfat secara injeksi intra muskular intermiten untuk
preeklampsia berat dan eklampsia yaitu :
a. Berikan 4 gram magnesium sulfat 20% secara intra vena dengan kecepatan tidak lebih dari 1
gram/menit



b. Dilanjutkan dengan 10 gram magnesium sulfat 50%, 5 gram diinjeksikan pada masing-masing
kuadran atas bokong kanan-kiri dengan menggunakan jarum 3 inchi (tambahkan 1 ml lidocain
2% untuk mengurangi nyeri).
c. Jika konvulsi tetap terjadi setelah 15 menit, berikan tambahan 2 gram magnesium sulfat 20%
secara intra vena dengan kecepatan tidak melebihi 1 gram/menit
d. Setiap 4 jam kemudian, berikan 5 gram magnesium sulfat 50% yang diinjeksikan pada kuadran
kanan atas bokong secara bergantian kanan dan kiri. Hal yang harus diperhatikan : reflek
patella, tidak ada depresi pernafasan, output urine dalam mencapai ≥0,5 ml/BB/jam
e. Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah persalinan8,9

Pilihan Obat Anti Hipertensi


Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan adalah menurunkan
risiko maternal, tetapi pemilihan obat anti hipertensi lebih memperhatikan keselamatan janin.
Terapi lini I yang banyak disukai adalah metildopa, berdasarkan laporan tentang stabilisasinya
aliran darah uteroplasental dan hemodinamika janin dan ketiadaan efek samping yang buruk pada
pertumbuhan anak yang terpapar metil dopa saat dalam kandungan.
Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan :
a. Metil dopa
Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti hipertensi yang telah
terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu. Obat ini menurunkan resistensi total
perifer tanpa menyebabkan perubahan pada laju jantung dan cardiac output. Obat ini
menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi reseptor sentral α-2 lewat α-metil
norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi
sebagai penghambat α-2 perifer lewat efek neurotransmitter palsu.
Jika metil dopa digunakan sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek anti hipertensi yang
berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi
pada pasien yang tidak hamil.
Dosis awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi 2-3 jam
setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah dosis oral.
Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah sedasi dan



hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat ini dapat menyebabkan anemia
hemolitik dan merupakan indikasi untuk memberhentikan obat ini.10
b. Nifedipin
Obat ini menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ekstraseluler ke sitoplasma
kemudian memblok eksitasi dan kontraksi coupling di jaringan otot polos dan menyebabkan
vasodilatasi dan penurunan resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal.
Dosis 10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin merupakan vasodilator
arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah utama hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub
lingual, menunjukkan bahwa dapat terjadi penurunan tekanan darah yang cepat sehingga dapat
menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini, nifedipin tidak digunakan pada pasien dengan
IUGR atau denyut jantung janin abnormal. Walaupun nifedipin tampak lebih potensial, obat
ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk digunakan dalam kehamilan.10
c. Hidralazin
Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung yang dapat menyebabkan
takikardi dan meningkatkan cardiac output akibat hasil respon simpatis sekunder yang
dimediasi oleh baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac output penting karena dapat
meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin dimetabolisme oleh hepar.
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol mencapai 110 mmHg atau
lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih dari 160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg
setiap interval 15-20 menit sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan darah diastol
turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat penurunan perfusi plasenta. Efek puncak
tercapai dalam 30-60 menit dan lama kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness,
palpitasi, dan angina. 10
d. Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan penghambat α1-adrenergik post sinaps
yang tersedia dalam bentuk oral maupun intra vena.
Pada sebuah penelitian yang membandingkan labetalol dengan hidralazine menunjukkan
bahwa labetalol menurunkan tekanan darah lebih cepat dan efek takikardi minimal, tetapi
hidralazine menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih efektif.
Protokol pemberiannya adalah 10 mg intravena. Jika tekanan darah belum turun dalam 10
menit, maka diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg, selanjutnya 80



mg, pemberian diteruskan sampai dosis maksimal kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan
darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah 5 menit, efek puncak 10-20 menit, dan durasi kerja
45 menit – 6 jam. Pemberian labetalol secara intra vena tidak mempengaruhi aliran darah
uteroplasenta. Pengalaman membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu
maupun janin. 10
e. Klonidin
Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai dengan dosis 0.1 mg 2 kali
sehari dan ditingkatkan secara incremental 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Tekanan darah
menurun 30-60 mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8 jam.
Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi cardiac output menurun
namun tetap berespon terhadap latihan fisik. Efek samping adalah xerostomia dan sedasi.
Penghentian klonidin dapat menyebabkan krisis hipertensi yang dapat diatasi dengan
pemberian kembali klonidin10
f. Prazosin
Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor α1-adrenergik. Obat ini dapat menyebabkan
vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas pembuluh darah sehingga menurunkan preload dan
afterload. Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa menurunkan laju jantung, curah jantung,
aliran darah ginjal, dan laju filtrasi glomerulus. Obat ini dimetabolisme hampir seluruhnya di
hepar. Sekitar 90% ekskresi obat melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama
kehamilan, absorbsi menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang. Prazosin dapat
menyebabkan hipotensi mendadak dalam 30-90 menit setelah pemberian. Hal ini dapat
dihindari dengan pemberian sebelum tidur.10

G. Efek Samping Obat


Efek samping obat-obat anti hipertensi antara lain, yaitu :
a. ACE inhibitor
Digunakan pada trimester ke-dua dan tiga dapat menyebabkan disfungsi ginjal pada fetus yang
mengakibatkan oligohidramnion dan anuria. ACE inhibitor telah dihubungkan dengan
hipoplasia pulmoner, pertumbuhan terhambat, kelainan ginjal dan hipoplasia lain pada tulang
tengkorak.



b. Beta blocker
Tidak dianjurkan, terutama ketika dimulai pada awal kehamilan, berhubungan dengan
pertumbuhan janin terhambat pada beberapa penelitian yang tidak terkontrol dan sebuah
penelitian kecil. Pada kebanyakan penelitian, penyebab asal dari hubungan tersebut tidak jelas
karena beberapa obat telah digunakan bersama-sama atau karena ketidakmampuan untuk
membedakan apakah ini adalah efek dari patofisiologi ibu atau efek dari obat.
c. Diuretika
Memiliki efek samping terhadap ibu maupun janin. Efek maternal seperti hipokalemia,
hiponatremia, hiperglikemi, hiperurikemi, hiperlipid, dan penurunan volume plasma sehingga
dapat menganggu pertumbuhan janin. Efek terhadap janin adalah gangguan elektrolit,
trombositopeni, dan IUGR.
d. Beberapa efek obat anti hipertensi terhadap pemberian ASI, yaitu :
1. Diuretik tiazid, sebaiknya dihindari karena dapat menurunkan produksi ASI dan digunakan
untuk mensupresi laktasi.
2. Metil dopa, kemungkinan aman selama pemberian ASI, dimana tingkat plasma yang rendah
ditemukan pada janin.
3. Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar dalam susu ibu
daripada plasma ibu.
4. Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama terdapat pada ACE
inhibitor.
Tabel 2. Obat Anti Hipertensi Pada Kehamilan Berdasarkan ACOG, 2013



Tabel 3. Obat Anti Hipertensi Pada Kehamilan, Pemberian Oral

Secara umum terdapat tiga bentuk pencegahan yang dapat dilakukan oleh dokter umum, untuk
mencegah terjadinya kondisi preeklampsia, yaitu:
a. Pencegahan primer, meliputi upaya promosi kesehatan:
1. Memberikan penyuluhan tentang pentingnya melakukan antenatal care rutin pada setiap
ibu hamil
2. Memberikan penyuluhan tentang preeklampsia beserta komplikasinya
3. Penyediaan suplementasi gizi dan suplemen antioksidan pada ibu hamil
4. Memberikan penyuluhan mengenai bagaimana cara memproteksi diri dari paparan radikal
bebas dan zat beracun di lingkungan
5. Melakukan konseling kepada keluarga, terutama kepada suami yang perlu diberikan
pengertian dan pengetahuan mengenai preeklampsia, sehingga mereka dapat diajak
bekerjasama untuk melakukan deteksi dini terhadap faktor resiko dan gejala preeklampsia
yang dialami istrinya
b. Pencegahan sekunder, meliputi deteksi dini adanya penyakit atau kelainan:
1. Mengenali faktor resiko preeklampsia pada ibu hamil
2. Melakukan pemeriksaan screening preeclampsia secara berkala pada ibu hamil, yang
meliputi pemeriksaan tekanan darah dan urinalisis dipstick
3. Melakukan intervensi yang cepat dan tepat bila terdapat kasus ibu hamil dengan
preeclampsia
c. Pencegahan tersier, pencegahan komplikasi dan restorasi:
Mencegah terjadinya komplikasi progresi preeklampsia berat supaya tidak berlanjut menjadi
eklampsia dengan memberikan obat antikejang.



KESIMPULAN

Berdasarkan tinjauan pustaka dan pembahasan, maka dapat disimpulkan hal-hal


sebagai berikut:
a. Hipertensi dalam kehamilan menurut ACOG, 2013 dibagi menjadi hipertensi kronis,
preeklampsia – eklampsia, superimpossed preeclampsia dan hipertensi gestasional.
b. Preeklampsia berat with severe feature adalah kondisi yang ditandai dengan TD ≥ 160/110
mmHg dengan salah satu dari hasil lab yaitu proteinuria ≥+1, trombositopenia
(<100.000/mm3), gangguan fungsi hepar, insufisiensi renal, edema pulmo, gangguan serebral
atau penglihatan.
c. Kasus Ny. HU, usia 32 tahun, datang dengan keluhan utama tekanan darah tinggi. Berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang mengarahkan pada diagnosis
preeklampsia berat with severe feature. Persalinannya dipilih secara perabdominal atas
indikasi usia gestasi.
d. Faktor resiko terjadinya preeklampsi berat pada kasus ini adalah faktor obesitas.



DAFTAR PUSTAKA

1. Roberts JM, August PA, Bakris G, Barton JR, Bernstein IM, Druzin M, et al 2013,
Hypertension in Pregnancy, The American College of Obstetricians and Gynecologists.
2. Wang A, Rana S, Karumanchi SA 2009, Preeclampsia: the role of angiogenic factors in its
pathogenesis, Bethesda.
3. Lindheimer MD, Taler SJ, Cunningham FG 2010, Hypertension in pregnancy, J Am Soc
Hypertension.
4. Roberts JM, Pearson G, Cutler J, Lindheimer M 2003, Summary of the NHLBI Working
Group on Research on Hypertension During Pregnancy, NHLBI.
5. Roeshadi 2006, Upaya menurunkan angka kesakitan dan angka kematian ibu pada penderita
preeklampsia dan eklampsia, Universitas Sumatera Utara Medan.
6. Departemen Kesehatan 2007, Hipertensi dalam pusat data dan informasi Kementerian
Kesehatan RI, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
7. Departemen Kesehatan 2014, Situasi kesehatan ibu dalam pusat data dan informasi
Kementerian Kesehatan RI, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
8. Kementerian Kesehatan RI 2013, Pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan
rujukan berdasarkan World Health Organization. Pedoman bagi tenaga kesehatan, Departemen
Kesehatan RI, Jakarta.
9. Prawirohardjo S 2008, Hipertensi dalam kehamilan dalam Ilmu kebidanan Sarwono
Prawirohardjo, PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
10. Myrtha R 2015, Penatalaksanaan tekanan darah pada preeklampsia, Cermin Dunia Kedokteran
Jurnal, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai