Pembimbing:
Disusun Oleh:
1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Disusun Oleh:
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik di SMF Obstetrik dan
Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu Jakarta
Mengetahui,
Pembimbing
2
BAB I
PENDAHULUAN
Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) merupakan salah satu
indikator untuk mencerminkan derajat kesehatan ibu dan anak, selain sekaligus cerminan dari
status kesehatan suatu negara. Hasil survey demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2015, AKI yaitu 305 per 100.000 kelahiran hidup yang mengalami penurunan dari tahun 2012
yaitu 359 per 100.000 kelahiran hidup1. Angka kematian bayi (AKB) sendiri menurut survey
penduduk antar sensus (SUPAS) pada tahun 2015 yaitu 22 per 100.000 kelahiran hidup 2.
Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Provinsi Yogyakarta pada tahun 2014 AKI di Provinsi
Yogyakarta pada tahun 2014 yaitu 40 kasus kematian mengalami penurunan dibanding dengan
tahun 2013 yaitu 46 kasus. Kematian ibu yang disebabkan oleh infeksi yaitu sebanyak 11%.
Ketuban Pecah Dini merupakan salah satu penyebab infeksi3.
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban sebelum
terjadinya persalinan. Ketuban pecah dini dapat terjadi pada atau setelah usia gestasi 37 minggu
dan disebut KPD aterm atau premature rupture of membranes (PROM) dan sebelum usia gestasi
37 minggu atau KPD preterm atau preterm premature rupture of membranes (PPROM).
Sedangkan, KPD yang terjadi lebih dari 24 jam disebut dengan KPD memanjang atau prolonged
rupture of membranes4.
Masalah KPD memerlukan perhatian yang lebih besar, karena prevalensinya yang cukup
besar dan cenderung meningkat. Kejadian KPD aterm terjadi pada sekitar 6,46-15,6% kehamilan
aterm dan PPROM terjadi pada terjadi pada sekitar 2-3% dari semua kehamilan tunggal dan
7,4% dari kehamilan kembar. Kejadian KPD preterm berhubungan dengan peningkatan
morbiditas dan mortalitas maternal maupun perinatal. KPD preterm berhubungan dengan sekitar
18-20% kematian perinatal di Amerika Serikat5.
Sehubungan dengan hal diatas, maka diharapkan pengetahuan tentang kondisi-kondisi
yang mempengaruhi keselamatan dan kesehatan kehamilan dapat dipahami oleh masyarakat,
terutama ibu hamil. Dengan demikian diharapkan dapat menjadi pegangan dalam usaha
pencegahan atau preventif dalam rangka menurunkan angka ketuban pecah dini, sehingga
komplikasi yang tidak diinginkan pada ibu dan janin dapat dihindari. Hal ini dalam rangka
meningkatkan keselamatan dan kesehatan, khususnya maternal dan perinatal, serta kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya6.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Cairan amnion adalah cairan yang terdapat di dalam rongga amnion. Pada awal
kehamilan, cairan amnion merupakan ultrafiltrat plasma ibu. Pada awal trimester kedua, caira
amnion terdiri atas cairan ekstrasel yang berdifusi menembus kulit janin sehingga mencerminkan
komposisi plasma janin. Setelah 20 minggu, keratinisasi kulit janin mencegah difusi ini, dan
cairan amnion terutama terbentuk dari urin janin.
Volume cairan amnion bertambah banyak seiring makin tuanya usia kehamilan.
Umumnya, volume cairan plasenta bertambah sekitar 10 mL tiap minggu mulai minggu ke-8,
4
dan bertambah hingga 60 mL tiap minggu sejak minggu ke-21, kemudian menurun secara
bertahap hingga minggu ke-33.
Fungsi dari cairan ketuban ini antara lain untuk melindungi janin terhadap trauma dari
luar, memungkinkan janin bergerak dengan bebas, mengatur suhu tubuh janin dan pH sekitar,
meratakan tekanan di dalam uterus pada proses partus, serta melicinkan jalan lahir dengan cairan
yang steril. Faktor pertumbuhan epidermal dan transforming growth factor-β juga ditemukan
dalam cairan amnion. Sehingga. ditelannya cairan amnion ke dalam saluran cerna dan dihirupnya
cairan tersebut ke dalam paru-paru oleh janin dapat memacu pertumbuhan dan diferensiasi
jaringan-jaringan tersebut.7
5
Menurut Eastman, insidensi ketuban pecah dini berkisar 12% dari semua kehamilan
normal. Sekitar 70% kasus ketuban pecah dini terjadi pada kehamilan aterm, namun di pusat
rujukan, lebih dari 50% kasus terjadi pada kehamilan preterm 9. Selain itu, dikatakan bahwa
sekitar 45-50% penyebab dari kelahiran prematur adalah idiopatik, 30% terkait dengan KPD dan
15-20% dikaitkan dengan indikasi medis.
c. Pembesaran Uterus
6
Over distensi dapat menyebabkan terjadinya KPD karena akan membuat rahim lebih
besar sehingga selaput ketuban lebih tipis dan mudah pecah. Over distensi yang disebabkan oleh
polihidramnion dan kehamilan kembar mengakibatkan risiko lebih tinggi untuk terjadinya KPD.
Hal ini disebabkan oleh peningkatan massa plasenta dan produksi hormon yang dapat
memungkinkan ketegangan rahim meningkat sewaktu-waktu sehingga selaput ketuban dapat
pecah secara tiba-tiba.
d. Kelainan Letak Janin dan Cephalo Pelvic Disproportion
Kelainan letak pada janin dapat meningkatkan kejadian KPD karena kelainan letak dapat
memungkinkan ketegangan otot rahim meningkat. Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa
terdapat hubungan antara janin presentasi bokong dengan kejadian KPD, yaitu karena pada janin
presentasi bokong, pergerakan janin terjadi di bagian terendah uteri karena keberadaan kaki janin
yang menempati daerah servik uteri, sedangkan kepala janin akan mendesak fundus uteri yang
dapat menekan diafragma dan keadaan ini menyebabkan timbulnya tegangan berlebih pada uteri
dan akhirnya menimbulkan KPD.
Kelainan letak janin dan cephalo pelvic disproportion (CPD) dapat menyebabkan
kegagalan kepala janin untuk memasuki pintu masuk panggul. Panggul yang kosong dapat
mengakibatkan tekanan intrauterin yang tidak merata, kemudian cairan ketuban akan memasuki
rongga kosong tersebut sehingga dapat menyebabkan KPD.
e. Infeksi
Kejadian infeksi dan KPD merupakan dua hal yang sangat terkait. Kelemahan selaput
ketuban dapat disebabkan oleh adanya infeksi bakteri yang terjadi melalui beberapa mekanisme
yaitu aktifitas enzim phospolipase A2 yang merangsang pelepasan prostaglandin, interleukin
maternal, endotoksin bakteri, dan produksi enzim proteolitik sehingga menyebabkan lemahnya
selaput ketuban. Selain itu, dilepaskannya radikal bebas dan reaksi peroksidase dapat merusak
selaput ketuban.
7
Korion amnion merupakan batas desidua maternal yang tersusun dari kolagen tipe II serta IV
dan lapisan di bawahnya mengandung kolagen tipe I, III, V, dan VI, maka dari itu kolagen
merupakan kekuatan utama penyusun korion amnion. Kumpulan matrix metalloproteinase (MMPs)
adalah salah satu keluarga enzim yang bertindak untuk merusak serat kolagen yang memgang
peranan penting.
Kekuatan selaput ketuban ditentukan oleh keseimbangan sintesa dan degradasi matriks
ekstraseluler. Bila terjadi perubahan di dalam selaput ketuban, seperti penurunan kandungan
kolagen, perubahan sruktur kolagen dan peningkatan aktivitas kolagenolitik maka KPD dapat
terjadi. Degradasi kolagen yang terjadi diperantarai oleh Matriks Metalloproteinase (MMP) dan
dihambat oleh Penghambat Matriks Metalloproteinase (TIMP) serta penghambat protease.
Keutuhan selaput ketuban terjadi karena kombinasi dari aktivitas MMP yang rendah dan
konsentrasi TIMP yang relatif lebih tinggi.
Mikroorganisme yang menginfeksi host dapat membentuk enzim protease disertai respon
inflamasi dari host sehingga mempengaruhi keseimbangan MMP dan TIMP yang menyebabkan
melemahnya ketegangan selaput ketuban dan pecahnya selaput ketuban. Infeksi bakteri dan
respon inflamasi juga merangsang produksi prostaglandin oleh selaput ketuban yang diduga
berhubungan dengan ketuban pecah dini preterm karena menyebabkan iritabilitas pada uterus
dan terjadi degradasi kolagen membran. Beberapa jenis bakteri tertentu dapat menghasilkan
fosfolipase A2 yang melepaskan prekursor prostaglandin dari membran fosfolipid.
Respon imunologis terhadap infeksi juga menyebabkan produksi prostaglandin oleh sel
korion akibat perangsangan sitokin yang diproduksi oleh monosit. Sitokin juga terlibat dalam
induksi enzim siklooksigenase II yang berfungsi mengubah asam arakhidonat menjadi
prostaglandin. Prostaglandin mengganggu sintesis kolagen pada selaput ketuban dan
meningkatkan aktivitas MMP-1 dan MMP-3. Aktivitas tersebut pada akhirnya akan memicu
terjadinya pematangan serviks sebelum waktunya yang dapat mengakibatkan terjadinya KPD9.
8
ketuban juga dapat digambrakan sebagai cairan putih jernih agak keruh keruh terkadang
mengandung gumpalan halus lemak dan berbau amis. Jika kebocoran ketuban tidak disadari oleh
ibu, maka sedikit demi sedikit air ketuban akan habis dan jika air ketuban habis, maka akan
menimbulkan rasa sakit ketika janin bergerak karena janin langsung berhubungan dengan
uterus11.
9
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah tes fern. Untuk melakukan tes, sampel
cairan ditempatkan pada slide kaca dan dibiarkan kering. Pemeriksaan diamati di bawah
mikroskop untuk mencari pola kristalisasi natrium klorida yang berasal dari cairan ketuban
menyerupai bentuk seperti pakis.
Pemeriksaan USG dapat berguna untuk melengkapi diagnosis untuk menilai indeks
cairan amnion. Jika didapatkan volume cairan amnion atau indeks cairan amnion yang berkurang
tanpa adanya abnormalitas ginjal janin dan tidak adanya pertumbuhan janin terhambat (PJT)
maka kecurigaan akan ketuban pecah sangatlah besar, walaupun normalnya volume cairan
ketuban tidak menyingkirkan diagnosis. Selain itu, USG dapat digunakan untuk menilai taksiran
berat janin, usia gestasi dan presentasi janin, dan kelainan kongenital janin.
Pada beberapa kasus, diperlukan tes laboratorium untuk menyingkirkan kemungkinan
lain keluarnya cairan/duh dari vagina/perineum. Jika diagnosis KPD masih belum jelas setelah
menjalani pemeriksaan fisik, tes nitrazin dan tes fern, dapat dipertimbangkan pemeriksaan
seperti insulin-like growth factor binding protein 1 (IGFBP-1) sebagai penanda dari persalinan
preterm, kebocoran cairan amnion, atau infeksi vagina, meskipun pemeriksaan ini terbukti
memiliki sensitivitas yang rendah.
10
terkait dengan proses kematangan organ janin, dan bagaimana morbiditas dan mortalitas apabila
dilakukan persalinan maupun tokolisis5. Penggunaan antibiotik pada kasus KPD mempunyai dua
fungsi, pertama dapat mencegah terjadinya disabilitas neurologik dan pernapasan, sedangkan
yang kedua dapat memperpanjang periode laten12. Ada dua macam penatalaksanaan pada KPD,
yaitu:
a. Penatalaksanaan aktif
Merupakan manajemen yang melibatkan klinisi untuk lebih aktif mengintervensi
persalinan. Pada kehamilan ≥ 37 minggu, lebih baik diinduksi lebih awal (terminasi). Namun,
apabila pasien memilih manajemen ekspetatif, perlu didiskusikan terlebih dahulu dengan pasien
maupun keluarga pasien. Berdasarkan penelitian, penggunaan oksitosin lebih dipilih daripada
prostaglandin, dikarenakan prostaglandin dapat meningkatkan risiko chorioamnionitis dan
infeksi neonatal lebih tinggi daripada induksi persalinan dengan oksitosin. Penggunaan
kortikosteroid juga telah diuji dapat menurunkan risiko respiratory distress syndrome,
perdarahan intraventrikular, enterokolitis nekrotikan, dan mungkin dapat menurunkan angka
kematian neonatus. Tokolisis pada kejadian KPD preterm tidak direkomendasikan5.
b. Penatalaksanaan ekspetatif
Merupakan penanganan dengan pendekatan tanpa melakukan intervensi 5.
11
II.10 Komplikasi Ketuban Pecah Dini
a. Komplikasi Ibu
Komplikasi pada ibu yang terjadi biasanya berupa infeksi intrauterin. Infeksi tersebut
dapat berupa endomiometritis, maupun korioamnionitis yang berujung pada sepsis. Pada sebuah
penelitian, didapatkan 6,8% ibu hamil dengan KPD mengalami endomiometritis purpural, 1,2%
mengalami sepsis, namun tidak ada yang meninggal dunia. Diketahui bahwa yang mengalami
sepsis pada penelitian ini mendapatkan terapi antibiotik spektrum luas, dan sembuh tanpa
sekuele. Sehingga angka mortalitas belum diketahui secara pasti. 40,9% pasien yang melahirkan
setelah mengalami KPD harus dikuret untuk mengeluarkan sisa plasenta, 4% perlu mendapatkan
transfusi darah karena kehilangan darah secara signifikan. Tidak ada kasus terlapor mengenai
kematian ibu ataupun morbiditas dalam waktu lama5.
b. Komplikasi Janin
Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi adalah persalinan lebih awal. Periode laten,
yang merupakan masa dari pecahnya selaput amnion sampai persalinan secara umum bersifat
proporsional secara terbalik dengan usia gestasi pada saat KPD terjadi. Sebagai contoh, pada
sebuah studi besar pada pasien aterm menunjukkan bahwa 95% pasien akan mengalami
persalinan dalam 1 hari sesudah kejadian. Sedangkan analisis terhadap studi yang mengevaluasi
pasien dengan preterm 1 minggu, dengan sebanyak 22% memiliki periode laten 4 minggu. Bila
KPD terjadi sangat cepat, neonatus yang lahir hidup dapat mengalami sekuel seperti
malpresentasi, kompresi tali pusat, oligohidramnion, necrotizing enterocolitis, gangguan
neurologi, perdarahan intraventrikel, dan sindrom distress pernapasan5.
BAB III
KESIMPULAN
12
KPD preterm atau preterm premature rupture of membranes (PPROM). Sedangkan, KPD yang
terjadi lebih dari 24 jam disebut dengan KPD memanjang atau prolonged rupture of membranes.
Gambaran penyebab kejadian KPD pada ibu bersalin meliputi multipara, usia 20-35 tahun, umur
kehamilan ≥37 minggu, pembesaran uterus normal, infeksi, dan kelainan letak janin. Pecahnya
ketuban pada saat persalinan secara umum disebabkan oleh adanya kontraksi uterus dan juga
peregangan yang berulang. Selaput ketuban pecah pada bagian tertentu dikarenakan adanya
perubahan biokimia, yang mengakibatkan berkurangnya keelastisan selaput ketuban, sehingga
menjadi rapuh dan biasanya terjadi pada daerah inferior. Kejadian KPD dapat didiagnosis secara
klinis melalu anamnesis pasien dan visualisasi adanya cairan amnion pada pemeriksaan fisik,
serta hasil yang mendukung diagnosis KPD pada pemeriksaan penunjang lainnya, seperti tes
nitrazin, fern, ataupun laboratorium. Prinsip utama dari penatalaksanaan ketuban pecah dini
adalah untuk mencegah mortilitas dan morbiditas perinatal pada ibu maupun bayi yang dapat
meningkat karena infeksi atau akibat kelahiran preterm. Komplikasi KPD dapat terjadi pada ibu,
berupa sepsis akibat infeksi intrauterine dan pada janin, berupa malpresentasi, kompresi tali
pusat, oligohidramnion, necrotizing enterocolitis, gangguan neurologi, perdarahan intraventrikel,
dan sindrom distress pernapasan.
13