Anda di halaman 1dari 26

TUGAS REFERAT

PROLAPS ORGAN PANGGUL (POP)

Oleh:

Hendry Raymen Satria (1902611033)


Hemeshwary Kumara Velo (1902611031)
Ida Bagus Indra Wibawa Putrawan (1902611062)

Penguji:

dr. Kadek Fajar Martha, Sp.OG(K)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/KSM OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER
FK UNUD/RSUP SANGLAH
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadiran Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat, rahmat dan karunia-Nya tugas referat dengan judul “Prolaps Organ
Panggul (POP)” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tugas referat ini
dibuat dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Departemen/KSM
Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, yang
terkendala akibat kondisi negara dalam pengaruh pandemi virus corona (Covid-
19).
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
1. Dr.dr.T.G.A.Suwardewa, Sp.OG(K), selaku Ketua Departemen/KSM
Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar.
2. Dr.dr.I.G.N. Harry Wijaya Surya, Sp.OG, selaku koordinator pendidikan
sarjana Departemen/KSM Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RSUP
Sanglah Denpasar.
3. dr. Kadek Fajar Martha, Sp.OG(K) selaku penguji tugas referat.
4. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tugas referat ini masih jauh dari
sempurna karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki.
Maka dari itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
dari pembaca.

Denpasar, 22 Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ....................................................................................i
KATA PENGANTAR .....................................................................................ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................4
2.1 Prolaps Organ Panggul (POP)................................................................4
2.2 Etiologi...................................................................................................7
2.3 Patofisiologi...........................................................................................10
2.4 Manifestasi Klinis .................................................................................11
2.5 Pemeriksaan Fisik..................................................................................12
2.6 Tatalaksana.............................................................................................13
2.7 Laporan Kasus........................................................................................18
BAB III SIMPULAN .......................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Prolaps organ panggul (POP) adalah turunnya organ panggul kedalam liang
vagina hingga keluar dari introitus vagina. Organ panggul yang dapat mengalami
prolaps adalah uterus, tunggul vagina, vesika urinaria dan rektum. Proses ini
berlangsung secara perlahan dalam kurun waktu yang lama. Prolaps organ
panggul (POP) merupakan masalah kesehatan wanita yang umum terjadi dan
sangat mengganggu, serta penanganannya sering kali memerlukan biaya yang
sangat tinggi. Meskipun prolaps organ panggul umumnya tidak menimbulkan
kematian, tetapi biasanya dapat memperburuk kualitas hidup pasien termasuk
menimbulkan kelainan pada kandung kemih, sistem saluran cerna serta gangguan
fungsi seksual. Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup dan
meningkatnya populasi usia lanjut maka prevalensi prolaps organ panggul pun
semakin meningkat (Nassrudin,2009).
Insidens dan prevalensi prolaps organ panggul yang tepat masih sulit
diperkirakan. Sejumlah laporan menyatakan sekitar 20% pembedahan ginekologik
elektif kasus mayor merupakan pembedahan untuk prolaps organ panggul, dan
meningkat hingga 59% pada wanita usia lanjut. Data tahun 1997 menunjukkan
bahwa setidaknya terdapat 350.000 operasi prolaps organ panggul yang dilakukan
di Amerika Serikat.4 Pada tahun 2001, suatu penelitian di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa 51% pasien wanita yang datang untuk pemeriksaan
ginekologik tahunan ternyata menderita POP. Selain itu, sebanyak 11% wanita
yang berusia lebih dari 80 tahun akan mengalami operasi prolaps organ panggul,
dan sekitar 30% kasus membutuhkan pembedahan ulang (Manuaba et al.,2009).
Insidens prolaps organ panggul meningkat seiring dengan meningkatnya usia.
Sekitar separuh populasi wanita berusia 50 tahun mengeluhkan gejala prolaps.
Sepertiga kasus histerektomi terjadi pada wanita usia menopause dan 81%
histeresktomi dengan pendekatan melalui vagina (atau sekitar 16% dari seluruh
histerektomi) dilakukan atas indikasi terjadinya prolaps organ panggul. Insidens
histerektomi untuk prolaps organ panggul adalah sekitar 30 tiap 10.000 tindakan
histerektomi setiap tahunnya, dengan puncak insidens pada usia 65-69 tahun
(Manuaba et al.,2009).
Prolaps organ panggul lebih sering terjadi setelah persalinan, tetapi umumnya
tanpa disertai gejala atau bersifat asimptomatik. Sejumlah penelitian
memperkirakan bahwa 50% dari wanita yang pernah melahirkan mengalami
berbagai derajat prolaps organ panggul, dan 10-20% di antaranya mempunyai
gejala. Hanya 2% wanita nulipara yang mengalami prolaps dan biasanya lebih
sering berupa prolaps uterus daripada prolaps vagina. Suatu penelitian
menunjukkan bahwa risiko rekurensi atau berulangnya prolaps organ panggul
terjadi paling banyak pada wanita yang berusia lebih muda dan yang sudah
mengalami prolaps organ panggul derajat berat sebelumnya.
Gejala yang dapat dirasakan oleh penderita POP yaitu adanya sensasi tertarik
di daerah vagina atau punggung belakang, terabanya tonjolan di vagina atau
keluar dari vagina, mengeluhkan gejala pada sistem saluran kemih dan saluran
pencernaan, serta munculnya perasaan tidak nyaman saat berhubungan seksual.
Sebagian wanita yang pernah melahirkan normal akan mengalami keadaan ini
dalam berbagai tingkatan tetapi tidak semua diantara mereka mengeluhkan hal ini
pada dokter yang menyebabkan angka kejadian yang pasti sulit ditentukan.
Menurunnya daya dukung yang seharusnya terbentuk dari interaksi dinamis
tulang panggul, jaringan ikat endopelvic, dan otot dasar panggul merupakan faktor
terjadinya POP. Penurunan tersebut dapat disebabkan oleh penuaan dan
menopause, adanya tekanan berlebihan pada dasar panggul yang dapat disebabkan
oleh obesitas, batuk lama, konstipasi kronis, perenggangan, angkat beban, adanya
faktor keturunan, kehamilan, bentuk dan kecendrungan tulang panggul, ras dan
etnis (Mira et at., 2013).
Tingginya biaya operasi untuk kasus POP merupakan kendala dalam
memperbaiki kualitas hidup seseorang. Selain itu, dibutuhkannya tenaga ahli yang
professional dibidangnya untuk melakukan tindakan operasi tersebut. Menurut
International Journal of Women’s Health hanya 6,3%-19% kemungkinan
seseorang yang berusia 80 tahun untuk melakukan sekali saja operasi dalam
seumur hidupnya dan 43%-58% diperlukannya operasi kembali setelah operasi
rekontruksi utama panggul (Dällenbach et at.,2015). Di Negara Inggris, kurang
lebih 29.000 operasi prolaps telah dilakukan dari tahun 2010 sampai 2011 dengan
anggaran dana kurang lebih 60 juta poundsterling. Upaya pencegahan yang lebih
sangat diperlukan untuk meminimalkan dampak POP terutama pada masyarakat
yang memiliki faktor risiko tinggi. Berolahraga gym berupa angkat berat apalagi
dengan cara yang tidak benar merupakan salah satu faktor risiko POP yang dapat
meningkatkan tekanan intrabdomen dan trauma pada otot dasar panggul. Salah
satu pencegahan yang dapat dilaksankan yaitu meningkatkan pengetahuan
masyarakat tentang POP agar meminimalkan risiko penyakit, penyuluhan tentang
POP dan upaya lainnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prolaps Organ Panggul (POP)


2.1.1 Definisi
Turunnya salah satu atau lebih organ panggul (uterus, kandung kemih, atau
rektum) ke lumen vagina bahkan sampai keluar introitus vagina, yang disebabkan
oleh kelemahan dasar panggul. Prolaps Organ Panggul (POP) merupakan masalah
kesehatan perempuan yang umum terjadi di masyarakat. Masalah ini berhubungan
dengan penurunan kualitas hidup penderitanya. Angka kejadian POP meningkat
sejalan dengan bertambahnya usia harapan hidup perempuan. Kelainan ini tidak
mengancam nyawa, tetapi memperburuk kehidupan psikososial, ekonomi dan
fungsi seksual penderitanya. Penanganan POP membutuhkan biaya yang tinggi
untuk mengatasi keluhan gangguan berkemih, gangguan defekasi dan gangguan
fungsi seksualnya (Nygaard et al., 2004)

2.1.2 Anatomi dan fisiologi dasar panggul wanita


Dasar panggul terdiri atas otot levator ani, uretra dan otot sfingter ani serta
jaringan ikat endopelvis. Lapisan pertama dukungan otot terdiri dari otot
iliococcygeus serta fascia obturator internus. Lapisan kedua terdiri dari otot
puboviseralis yaitu m. puborectalis dan m. pubococcygeus yang mengelilingi
hiatus urogenitalis dimana uretra, vagina, anorectum berjalan melaluinya. Gambar
1. Hubungan axis uterus, serviks, dan vagina.
Otot levator ani mempunyai dua fungsi terpenting yaitu menjaga tegangan
otot basal yang konstan sehingga hiatus urogenitalis tetap tertutup dan juga
menjadi lempengan otot penyokong. Bila tegangan atau tonus basal ini hilang atau
menurun, hiatus genitalis dapat melebar sehingga menyebabkan penurunan organ
pelvis. Fungsi kedua dari otot levator ani adalah secara refleks berkontraksi
terhadap peningkatan tekanan intraabdominal seperti saat batuk atau berdiri
sehingga membuat keseimbangan tekanan intraabdominal dan tekanan luar. Otot
levator ani dipersarafi oleh serabut saraf anterior S2-S4, dimana cabang motorik
dari saraf ini mempunyai kemungkinan untuk tertekan dan teregang selama
persalinan pervaginam.
Selain otot dan serabut saraf, dasar panggul juga memiliki sistem ligamen
dan jaringan ikat kompleks yang dikenal dengan fascia endopelvis. Fascia ini
menampung organ pelvis dan melekat pada dinding panggul. Terdapat tiga
tingkatan dukungan terhadap uterus dan vagina, yaitu:

a) Tingkat pertama dimana apeks vagina dipertahankan di lateral ke arah


dinding pelvis dan ke arah sakrum di bagian posterior (oleh ligamen
kardinal dan sakrouterina). Posterior serviks dipertahankan oleh
ligamentum uterosakral yang membentang dari bagian serviks sampai
vertebra sakral kedua-keempat. Ligamentum kardinal menyokong bagian
lateral serviks dan merupakan penyokong utama serviks dan uterus.
b) Tingkatan kedua akan memfiksasi vagina secara tranversal di antara
kandung kemih dan rektum.
c) Tingkatan ketiga melekatkan vagina dengan membran dan otot perineum.

Jaringan ikat, dukungan otot dan persarafan di daerah pelvis dapat


mengalami trauma penekanan saat kehamilan dan juga menjelang persalinan
dimana regangan, robekan dan ruptur jaringan ikat, otot dan saraf dapat terjadi.
Hal ini dapat memberikan efek jangka pendek dan jangka panjang berupa
prolapsus organ pelvis.
Gambar 1. Tingkatan pendukung organ panggul

Gambar 2. Gambaran anatomi panggul wanita normal tanpa prolapse dan


dengan prolapse uterus
2.2 Etiologi
Penyebab prolapsus organ panggul belum diketahui secara pasti, namun
secara hipotetik penyebab utamanya adalah persalinan pervaginam dengan bayi
aterm.9 Pada studi epidemiologi menunjukkan bahwa faktor risiko utama
penyebab prolapsus uteri adalah persalinan pervaginam dan penuaan. Para peneliti
menyetujui bahwa etiologi prolapsus organ panggul adalah multifaktorial dan
berkembang secara bertahap dalam rentang waktu tahun. Terdapat berbagai
macam faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya prolapsus dan dikelompokkan
menjadi faktor obstetri dan faktor non-obstetri.

Tabel 1. Faktor risiko prolapses

1) Faktor obstetri
a. Proses persalinan dan paritas
Prolapsus uteri terjadi paling sering pada wanita multipara sebagai akibat
progresif yang bertahap dari cedera melahirkan pada fascia endopelvik (dan
kondensasi, ligamentum uteroskral dan kardinal) dan laserasi otot, terutama otot-
otot levator dan perineal body (perineum).
Persalinan pervaginam merupakan faktor risiko utama terjadinya prolapsus
organ genital. Pada penelitian tentang levator ani dan fascia menunjukkan bukti
bahwa kerusakan mekanik dan saraf terjadi pada perempuan dengan prolapsus
dibandingkan perempuan tidak prolapsus, dan hal tersebut terjadi akibat proses
melahirkan.
b. Faktor obstetri lainnya
Penggunaan forsep, vakum, dan episiotomi, disebutkan sebagai faktor risiko
potensial dalam terjadinya prolaps organ panggul. Penggunaan forsep secara
langsung terlibat dalam terjadinya cedera dasar panggul, yaitu dalam kaitannya
dengan terjadinya laserasi sfingter anal. Manfaat forsep terhadap dasar panggul
dalam memperpendek kala dua masih mempunyai bukti yang kurang. Penggunaan
forsep elektif untuk mencegah kerusakan pada dasar panggul tidak
direkomendasikan. Percobaan kontrol secara acak pada penggunaan elektif dan
selektif episiotomi tidak menunjukkan manfaat, tetapi telah menunjukkan
hubungan dengan terjadinya laserasi sfingter anal inkontinensia dan nyeri pasca
persalinan.10 Sejumlah cedera pada ibu dan bayi dapat terjadi sebagai akibat
penggunaan forsep. Luka yang dapat ditimbulkan pada ibu berkaitan dengan
penggunaan forsep berkisar dari ekstensi sederhana sampai ruptur uterus atau
kandung kemih. Klein, dkk menemukan hubungan antara episiotomi dan
berkurangnya kekuatan dasar panggul tiga bulan post-partum.
Fascia pelvis, ligamentum-ligamentum dan otot-otot dapat menjadi lemah
akibat peregangan yang berlebihan selama kehamilan, persalinan dan 15
persalinan pervaginam yang sulit, terutama dengan penggunaan forsep dan vakum
ekstraksi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Handa dkk, menunjukkan bahwa
persalinan menggunakan forsep dan laserasi perineum berhubungan dengan
gangguan dasar panggul 5-10 tahun setelah persalinan yang pertama, tetapi pada
episiotomi tidak berhubungan. Wanita dengan laserasi perineum dalam dua atau
lebih persalinan beresiko lebih tinggi secara signifikan terhadap prolapsus.
Perlukaan diafragma urogenitalis dan muskulus levator ani yang terjadi pada
waktu persalinan pervaginam atau persalinan dengan alat dapat melemahkan dasar
panggul sehingga mudah terjadi prolapsus genitalia.

2) Faktor non-obstetri
a. Genetik
Dua persen prolapsus simptomatik terjadi pada perempuan nullipara.
Perempuan nullipara dapat menderita prolapsus dan diduga merupakan peran dari
faktor genetik. Bila seorang perempuan dengan ibu atau saudaranya menderita
prolapsus, maka risiko relatif untuk menderita prolapsus adalah 3,2. Dibandingkan
jika ibu atau saudara perempuan tidak memiliki riwayat prolapsus, risiko
relatifnya adalah 2,4.
b. Usia
Bertambahnya usia akan menyebabkan berkurangnya kolagen dan terjadi
kelemahan fascia dan jaringan penyangga. Hal ini terjadi terutama pada periode
post-menopause sebagai konsekuensi akibat berkurangnya hormon estrogen.
c. Ras
Perbedaan ras pada prevalensi prolapsus organ panggul (POP) telah dibuktikan
dalam beberapa penelitian. Perempuan berkulit hitam dan perempuan Asia
memiliki risiko yang lebih rendah, sedangkan perempuan Hispanik dan berkulit
putih memiliki risiko tertinggi. Perbedaan kandungan kolagen antar ras telah
dibuktikan, tetapi perbedaan bentuk tulang panggul juga diduga memainkan
peran. Misalnya, perempuan kulit hitam lebih banyak yang memiliki arkus pubis
(lengkungan kemaluan) yang sempit dan bentuk panggul android atau antropoid.
Bentuk-bentuk panggul tersebut adalah pelindung terhadap POP dibandingkan
dengan panggul ginekoid yang merupakan bentuk panggul terbanyak pada
perempuan berkulit putih.
d. Menopause
Pada usia 40 tahun fungsi ovarium mulai menurun, produksi hormon berkurang
dan berangsur hilang, yang berakibat perubahan fisiologik. Menopause terjadi
rata-rata pada usia 50-52 tahun. Hubungan dengan terjadinya prolaps organ
panggul adalah, di kulit terdapat banyak reseptor estrogen yang dipengaruhi oleh
kadar estrogen dan androgen. Estrogen mempengaruhi kulit dengan meningkatkan
sintesis hidroksiprolin dan prolin sebagai penyusun jaringan kolagen. Ketika
menopause, terjadi penurunan kadar estrogen sehingga mempengaruhi jaringan
kolagen, berkurangnya jaringan kolagen menyebabkan kelemahan pada otot-otot
dasar panggul. Saraf pada serviks merupakan saraf otonom, sebagian besar
serabut saraf cholinesterase yang terdiri dari serabut saraf adrenergik dan
kolinergik, jumlah serabut kolinergik lebih sedikit. Sebagian besar serabut ini
menghilang setelah menopause.
e. Peningkatan BMI (obesitas)
Obesitas menyebabkan memberikan beban tambahan pada otot-otot pendukung
panggul, sehingga terjadi kelemahan otot-otot dasar panggul.25 Pada studi
Women’s Health Initiative (WHI), kelebihan berat badan (BMI 25 – 30 kg/m2 )
dikaitkan dengan peningkatan kejadian prolapsus dari 31- 39%, dan obesitas
(BMI > 30 kg/m2 ) meningkat 40-75%.
f. Peningkatan tekanan intra abdomen
Tekanan intra abdomen yang meningkat karena batuk-batuk kronis (bronkitis
kronis dan asma), asites, mengangkat beban berat berulang-ulang, dan konstipasi
diduga menjadi faktor risiko terjadinya prolapsus. Seperti halnya obesitas
(peningkatan indeks massa tubuh) batuk yang berlebihan dapat meningkatkan
tekanan intraabdomen (rongga perut) dan secara progresif dapat menyebabkan
kelemahan otot-otot panggul.
g. Kelainan jaringan ikat
Wanita dengan kelainan jaringan ikat lebih untuk mungkin untuk mengalami
prolapsus. Pada studi histologi menunjukkan bahwa pada wanita dengan
prolapsus, terjadi penurunan rasio kolagen tipe I terhadap kolagen tipe III dan IV.
Pada beberapa penelitian, sepertiga dari perempuan dengan Sindroma Marfan dan
tigaperempat perempuan dengan Sindroma Ehler- Danlos tercatat mengalami
POP. Kelemahan bawaan (kongenital) pada fasia penyangga pelvis mungkin
penyebab prolapsus uteri seperti yang kadang-kadang ditunjukkan pada nulipara.
h. Merokok
Merokok juga dikaitkan dalam pengembangan prolapsus. Senyawa kimia yang
dihirup dalam tembakau dipercaya dapat menyebabkan perubahan jaringan yang
diduga berperan dalam terjadi prolapsus. Namun, beberapa penelitian tidak
menunjukkan hubungan antara merokok dengan terjadinya prolapsus.

2.3 Patofisiologi
Prolaps Organ Panggul (POP) disebabkan secara multifaktorial dengan
kontribusi lingkunan dan faktor risiko genetik. Namun, faktor risiko yang
dipercaya secara signifikan menyebabkan POP merupakan kehamilan dan
persalinan. Penyokong utama panggul, yaitu otot-otot levator ani serta
jaringan ikat pelekat organ-organ panggul (fascia endopelvic). Penyokong
panggul yang normal akan memposisikan vagina secara horizontal
terhadap otot levator ani. Pada persalinan, terdapat faktor risiko terjadinya
trauma pada jaringan-jaringan penyokong panggul akibat denervasi atau
kerusakan otot secara langsung yang menimbulkan pembukaan hiatus
genitalis, kelemahan levator plate, dan pembentukan konfigurasi seperti
mangkok. Hal ini akan menyebabkan otot-otot levator ani menjadi tampak
lebih vertikal dan muara vagina menjadi melebar (Braga dan Caccia, 2018;
Iglesia dan Smithling, 2017).
Pada kehamilan, terjadi perubahan fisiologis yang terjadi pada
tubuh wanita, tak terkecuali perubahan yang terjadi pada dinding vagina.
Perubahan tersebut diakibatkan oleh adanya perubahan kolagen yang
diinduksi secara hormonal. Wanita yang mengalami POP dapat
menunjukkan adanya perubahan metabolisme kolagen, meliputi penurunan
kolagen tipe I dan peningkatan kolagen tipe III. Perubahan fisiologis yang
terjadi pada dinding vagina antara lain terjadi peningkatan distensibilitas
dan penurunan kekakuan, serta stres maksimal (Braga dan Caccia, 2018;
Moalli dkk, 2005).

2.4 Manifestasi Klinis


Pada umumnya, pasien dengan prolaps organ panggul (POP) menunjukkan
gejala yang asimptomatis. Prolaps organ panggul bersifat dinamis
sehingga gejala dan penemuan pada pemeriksaan fisik dapat berbeda tiap
waktu. Hal ini tergantung pada tingkat aktivitas dan kepenuhan kandung
kemih dan rektum. Gejala yang dikaitkan secara spesifik dengan POP,
yaitu terdapatnya benjolan yang tampak maupun dirasakan pasien
menonjol kearah atau melewati muara vagina. Pasien biasanya tidak
menyadari adanya protrusi tersebut ketikan prolaps masih diatas himen.
Meskipun posisi berdiri, mengangkat beban, batuk dan olah raga fisik
bukan merupakan faktor penyebab POP, namun kondisi-kondisi tersebut
dapat memicu penonjolan dan perasaan tidak nyaman (Iglesia dan
Smithling, 2017).
Gejala sistem urinarius juga sering dikeluhkan wanita dengan POP.
Obstruksi kandung kemih dapat terjadi akibat meningkatnya tekanan pada
uretra. Obstruksi uretra dikatakan terjadi pada 58% wanita dengan prolaps
vagina anterior derajat 3 dan 4, dibandingkan hanya 4% pada prolaps
derajat 1 dan 2. Wanita dengan obstruksi uretra sering mengalami
disfungsi buang air kecil dengan gejala hesitansi, frekuensi atau
pengosongan tidak komplit (Iglesia dan Smithling, 2017).
Pada pasien dengan prolaps vagina posterior terkadang tampak
menggunakan tekanan secara manual pada perineum atau posterior vagina
(splinting) untuk membantunya mengeluarkan kotoran ketika buang air
besar. Selain itu gejala lain ketika buang air besar pada wanita seperti
mengedan terlalu lama, pengosongan rektum tidak komplit juga harus
ditelusuri pada semua wanita yang mengalami prolaps. Wanita dengan
POP juga dapat berpengaruh negatif terhadap aktivitas seksual, body
image, dan kualitas kehidupan (Iglesia dan Smithling, 2017).

2.5 Pemeriksaan Fisik


Pada wanita yang dicurigai memiliki prolaps, pemeriksaan panggul
sebaiknya dilakukan untuk menentukan lokasi dan luas prolaps yang
terjadi. Pemeriksaan fisik dimulai dengan inspeksi pada perineum dan
vulva untuk mengidentifikasi adanya erosi, ulserasi, atau lesi lain. Inspeksi
dilakukan dengan meminta pasien melakukan manuver valsalva. Hal ini
dilakukan oleh sebab manuver tersebut dapat meningkatkan ukuran
prolaps sehingga dapat dengan mudah diidentifikasi (Iglesia dan
Smithling, 2017).
Penggunaan spekulum kemudian dilakukan untuk melihat serviks
dan mengukur panjang vagina. Manuver valsalva kemudian dilakukan
kembali oleh pasien. Spekulum kemudian dengan perlahan dilepaskan, dan
secara bersamaan dilakukan observasi ada atau tidaknya penurunan
serviks. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan dinding vagina.
Dinding anterior dan posterior diperiksa dengan cara dilakukannya retraksi
pada dinding yang berlawanan. Bila ditemukan adanya prolaps, maka
dilakukan pengukuran untuk menentukan derajat perluasan prolaps
menggunakan Pelvic Organ Prolapse Quantification System (POPQS)
yang merupakan standar penentuan derajat prolaps yang direkomendasikan
oleh International Continence Society. Sistem penentuan derajat prolaps
mengukur 9 lokasi vagina dan vulva terhadap himen dalam sentimeter dan
membagi derajat prolaps dari 0 hingga derahat IV (Iglesia dan Smithling,
2017).
Pemeriksaan dilanjutkan dengan penilaian adanya infeksi,
hematuri, pengosongan kandung kemih tidak komplit. Pemeriksaan
rektum juga sebaiknya dilaksanakan untuk menilai tonus sfingter.
Pemeriksaan dilakukan dengan posisi berdiri dan posisi mengedan. Pada
tonus otot sfingter istirahat yang normal, pemeriksa akan merasakan cincin
otot mengelilingi jari pemeriksa, sedangkan saat kontraksi volunter, cincin
otot seharusnya menguat secara melingkar. Abnormalitas yang ditemukan
harus dicatat seperti tonus otot istirahat rendah, kelemahan atau tidak
adanya kontraksi volunter, defek sfingter ani (biasanya pada arah pukul 12
karena cedera obstetri), hemoroid atau prolaps rektum (Iglesia dan
Smithling, 2017; Moalli dkk., 2005).

2.6 Tatalaksana
Tatalaksana wanita dengan prolapse organ panggul yaitu observasi,
pelatihan otot dasar panggul, penggunaan pessarium, atau operasi. Tujuan
utama dari setiap perawatan adalah untuk memperbaiki gejala, manajemen
konservatif, dan, untuk meminimalkan perkembangan prolaps. Pemilihan
perawatan tergantung dari preferensi pasien; Namun, pasien dengan
prolaps yang simptomatik harus diberikan edukasi bahwa penggunaan
pessarium adalah pilihan non-bedah yang dapat dilakukan (Iglesia dan
Smithling, 2017).
2.6.1 Observasi
Sebagian besar kasus prolaps organ panggul tidak memerlukan
perawatan; Namun, wanita dengan prolaps di luar pembukaan
vagina biasanya membutuhkan intervensi. Kontraindikasi untuk
penatalaksanaan pada kehamilan adalah: (1) hidroureteronefrosis
akibat urin berkerut dengan keturunan kandung kemih, (2) infeksi
saluran kemih berulang atau refluks ureter karena obstruksi outlet
kandung kemih, dan (3) erosi dan infeksi vagina atau serviks yang
parah. Modifikasi gaya hidup seperti berhenti merokok dan
menghindari mengangkat yang berat dan sembelit dapat
mengurangi gejala (Iglesia dan Smithling, 2017).
2.6.2 Latihan otot dasar panggul
Latihan otot dasar panggul (Kegel), yaitu kontraksi sistematis otot
levator ani, dapat meningkatkan fungsi panggul. Pelatihan otot
dasar panggul telah terbukti memberbaiki gejala yang terkait
dengan stress, urgensi, dan inkontinensia urin campuran dan dapat
sedikit memperbaiki gejala pada wanita dengan prolaps ringan.
Namun, tidak dapat membalikan atau mengobati prolaps organ
panggul. Hasil yang baik umumnya dicapai dengan 45 hingga 60
latihan per hari, dibagi menjadi dua hingga tiga set (Wiegersma et
al., 2015).
2.6.3 Pessarium
Pessarium adalah perangkat yang ditempatkan di dalam vagina
untuk mengembalikan anatomi panggul yang normal dan
mengurangi gejala prolapse. Perangkat tersebut terutama terbuat
dari silicon (Iglesia dan Smithling, 2017).
Gambar 2.1 Pessarium in-situ (Iglesia dan Smithling, 2017).
Dua pertiga pasien dengan prolaps organ panggul awalnya memilih
manajemen dengan pessarium, dan hingga 77% akan terus
melanutkan penggunaan pessarium setelah satu tahun. Pessarium
adalah pilihan untuk semua tahap prolaps, dan mungkin dapat
mencegah perkembangan prolaps dan dapat mencegah atau
menunda dilakukannya operasi. Selain itu, pessarium kontinen
memiliki tombol untuk mengatur uretra untuk pengobatan stress
inkontinensia. Penggunaan alat pessarium mungkin terbatas pada
pasien dengan demensia atau nyeri panggul. Perangkat ini
seharusnya tidak ditempatkan pada pasien yang mungkin tidak
mematuhi instruksi untuk perawatan atau tindak lanjut karena
komplikasi serius seperti erosi ke dalam kandung kemih atau
rektum dapat terjadi akibat kelalaian (Clemons, 2014).
Pemilihan pessarium penting dikarenakan perangkat tersebut dapat
mendukung atau menempati ruang. Pessarium cincin merupakan
perangkat yang paling umum digunakan di Amerika Serikat,
diikuti
oleh pessarium Gellhorn dan donat. Prolaps yang lebih lanjut
sering membutuhkan perangkat yang lebih menempati ruang.
Gambar 2.2 Beberapa contoh pessarium umum. Baris pertama (kiri ke kanan):
cincin, cincin dengan dukungan, dan cincin inkontinensia; baris kedua: donat,
SmithHodge, dan Gellhorn; baris ketiga: Gehrung, kubus, dan Inflatoball
(Iglesia dan Smithling, 2017).

Uji coba PESSRI, satu-satunya uji coba terkontrol secara acak


yang membandingkan pessarium untuk prolaps organ panggul,
melaporkan tidak ada perbedaan pada gejala pasien antara cincin
dan Gellhorn (Cundiff, 2007). Pessarium cincin dengan dukungan
dapat dimasukkan dan dikeluarkan oleh pasien, memungkinkan
untuk berhubungan seksual, dan dengan keputihan iritasi yang
lebih sedikit dibandingkan dengan pessarium yang menempati
ruang (Iglesia dan Smithling, 2017).
Lebih dari 85% pasien yang memilih pengobatan dengan
pessarium adalah yang berhasil cocok dengan piranti pessarium
tersebut. Ukuran vagina yang pendek, bukaan vagina lebar (lebih
besar dari empat sidik jari), dan riwayat histerektomi faktor-faktor
yang berisiko terjadi kegagalan pemasangan. Pemasangan
dilakukan melalui trial and error (Iglesia dan Smithling, 2017).
Gambar 2.3 Pendekatan dalam pemilihan pessarium (Iglesia dan Smithling,
2017).

Pessarium cincin dapat dilipat dua untuk dimasukkan dan harus


sesuai antara simfisis pubis dan forniks posterior vagina. Pessarium
harus tetap lebih dari satu jari di atas introitus. Pasien harus
berjalan, duduk, dan buang air dengan pessarium untuk menilai
kenyamanan dan retensi. Setelah piranti yang tepat diperoleh,
edukasi tentang penyisipan, pengeluaran setiap malam dan
kebersihan piranti harus diberikan kepada pasien. Piranti dapat
dikeluarkan dalam frekuensi yang lebih jarang (mingguan, dua
mingguan, atau interval bulanan).
Pasien harus melakukan follow-up dalam satu atau dua minggu
setelah pemasangan alat untuk menilai kepuasan dengan perangkat
dan perbaikan gejala. Setelah itu, wanita yang dapat melakukan
self-care dapat kembali setiap tahun untuk pemeriksaan. Wanita
lain umumnya harus kembali setiap tiga bulan untuk pengangkatan,
pembersihan, dan pemeriksaan pessarium (Iglesia dan Smithling,
2017).
Komplikasi paling umum dari penggunaan pessarium adalah
keputihan, iritasi, ulserasi, perdarahan, nyeri, dan bau. Vaginosis
bakteri terjadi pada 30% pasien yang menggunakan pessarium dan
lebih sering terjadi dengan pengangkatan alat yang lebih jarang.
Ulserasi dan perdarahan vagina lebih sering terjadi pada wanita
pascamenopause. dan dengan pessary removal yang lebih jarang;
terapi estrogen pervaginam biasanya diresepkan untuk pengobatan
dan pencegahan ulserasi dan iritasi vagina. Baru baru ini uji coba
terkontrol secara acak berbasis hydroxyquinoline gel (Trimosan
gel) untuk pencegahan vaginosis bakteri menemukan bahwa
proporsi yang lebih besar pada wanita yang menggunakan terapi
hormone menderita sakit pada vagina. Selain itu, studi kohort
retrospektif menemukan bahwa terapi estrogen vagina tidak
protektif terhadap ulserasi atau perdarahan vagina (Meriwether
dkk, 2015).
2.6.4 Operasi
Operasi obliteratif dan rekonstruktif untuk organ panggul prolaps
dapat dilakukan dan mungkin termasuk tindakan histerektomi atau
konservasi uterus (histeropeksi). Keputusan untuk operasi harus
mencakup diskusi tentang tujuan dan pasien harapan berdasarkan
pandangan budaya seperti citra tubuh dan keinginan untuk fungsi
seksual di masa depan. Obliterasi vagina (colpocleisis) memiliki
tingkat kesembuhan tertinggi dan morbiditas terendah dari setiap
intervensi bedah dan merupakan pilihan yang sangat baik untuk
wanita yang tidak menginginkan hubungan seks di masa depan.
Untuk wanita yang lebih suka mempertahankan fungsi koital,
rekonstruktif operasi harus dilakukan dan apeks vagina dapat
ditangguhkan menggunakan jaringan dan jahitan wanita itu sendiri
(perbaikan jaringan asli), atau mesh dapat ditempatkan secara
abdominal untuk menangguhkan bagian atas vagina ke sacrum
(sacrocolpopexy), atau transvaginal (transvaginal mesh) (Iglesia
dan Smithling, 2017).
2.7 Laporan Kasus
Pada suatu laporan kasus yang dilakukan oleh Toy, Camuzcuoğlu,
dan Aydin (2007) di Şanlıurfa, Turki dilaporkan bahwa seorang wanita
hamil berusia 19 tahun (gravida: 2, para: 1) dirawat di rumah sakit dengan
ketuban pecah dini saat persalinan pada usia 36 + 5 minggu kehamilan
dengan prolaps serviks yang tak tereduksi. Satu tahun yang lalu, dia tidak
punya riwayat prolaps selama kehamilan yang mengakibatkan suatu
komplikasi pelahiran per vaginam spontan saat aterm. Berat bayi baru
lahir berada di kisaran normal, 3.250 g. Riwayat medis dan kebidanan
adalah biasa-biasa saja. Tidak ada riwayat trauma panggul atau prolapse
atau inkontinensia stres selama atau setelah kehamilan sebelumnya. Dia
tidak memiliki perawatan antenatal dan melaporkan bahwa dia
mengeluhkan sensasi kepenuhan vagina dan massa yang kuat di vagina
bagian bawah, menonjol melalui introitus vagina dua minggu sebelumnya.
Pemeriksaan pelvis pada posisi litotomik dorsal menunjukkan prolaps
uterus derajat ketiga. Serviks memanjang memproyeksikan melalui
introitus vagina dengan sebagian vagina terbalik dan sekresi berdarah.
Profil biofisik janin normal evaluasi ultrasonografi. Janin berada di
presentasi verteks dan dengan estimasi berat tubuh janin 3,200 g. Tidak
teratur dan tidak efektif kontraksi uterus dan pola denyut jantung janin
normal diperoleh dengan kardiotokografi. Karena edematous dan tebal,
terperangkap dan serviks ulserasi tidak dapat direduksi, persalinan
terhambat karena distosia serviks dan persalinan sesar diputuskan.
Dilahirkan bayi laki-laki hidup dengan berat 3,100 g. Pasien dipulangkan
setelah 4 hari tanpa keluhan dan resolusi lengkap prolaps serviks.
Pemeriksaan tindak lanjut pada 3 bulan postpartum mengungkapkan tidak
ada bukti prolaps uterus.
Dalam laporan tersebut dilaporkan pula pasien tersebut merupakan
wanita hamil termuda dengan prolaps serviks di literatur. Prolaps uterus
adalah komplikasi kehamilan yang jarang meskipun itu adalah kondisi
umum pada wanita tua yang tidak hamil. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa prevalensi prolaps organ panggul meningkat dengan bertambahnya
usia yang merupakan faktor risiko, korelasi antara usia dan relaksasi dasar
panggul. Sebaliknya dalam kasus ini, seorang wanita berusia 19 tahun dan
memiliki kehamilan kedua. Ada beberapa faktor risiko untuk prolaps
organ panggul, termasuk penuaan, trauma persalinan, multiparitas,
kelemahan bawaan, persalinan yang traumatis atau lama dan kelahiran
melalui operasi, peningkatan kronis tekanan intraabdomen, faktor genetik,
merokok, operasi sebelumnya, miopati dan kelainan kolagen. Penyebab
utama prolapse rahim dan kubah vagina adalah kegagalan ligamen
pendukung uterus, seperti Mackenrodt atau ligamen kardinal. Seringkali,
kombinasi dari faktor-faktor etiologi ini menyebabkan prolaps organ
panggul. Situasi ini biasanya pertama kali diketahui pada trimester ketiga
dan menghilang setelah persalinan dan melahirkan. Opsi perawatan sangat
terbatas. Manajemen konservatif prolaps serviks uterus antenatal terdiri
dari kebersihan genital dan bed rest. Posisi Trendelenburg harus dianggap
sebagai opsi manajemen yang paling utama. Pengaplikasian pessarium
suspensory dilakukan untuk melindungi leher rahim yang prolaps dari
trauma dan meminimalkan ketidaknyamanan bagi pasien (Toy,
Camuzcuoğlu, dan Aydin, 2007).
Laporan tersebut memiliki kesimpulan yaitu, dokter kandungan,
maupun semua caregivers harus menyadari kondisi langka ini, karena
diagnosis dini sangat penting untuk suatu kelancaran kehamilan.
Persalinan sesar mungkin merupakan cara yang paling aman untuk
melahirkan. Namun, pendekatan individual tergantung pada usia
kehamilan, keparahan prolaps, kemungkinan komplikasi dan preferensi
pasien dapat memastikan kehamilan yang sukses hasil. Juga harus
disimpulkan bahwa prolaps bukanlah hanya penyakit orang tua (Toy,
Camuzcuoğlu, dan Aydin, 2007).
BAB III
SIMPULAN

Prolaps organ panggul (POP) adalah turunnya organ panggul kedalam


liang vagina hingga keluar dari introitus vagina. Organ panggul yang dapat
mengalami prolaps adalah uterus, tunggul vagina, vesika urinaria dan rektum.
Insidens dan prevalensi prolaps organ panggul yang tepat masih sulit
diperkirakan. Sejumlah kasus pembedahan ginekologik elektif kasus mayor
merupakan pembedahan untuk prolaps organ panggul, dan meningkat pada wanita
usia lanjut. Terdapat 350.000 operasi prolaps organ panggul yang dilakukan di
Amerika Serikat. Insidens prolaps organ panggul meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Sekitar separuh populasi wanita berusia 50 tahun
mengeluhkan gejala prolaps. Sepertiga kasus histerektomi terjadi pada wanita usia
menopause dan kebanyakan histeresktomi dengan pendekatan melalui vagina
dilakukan atas indikasi terjadinya prolaps organ panggul. Prolaps Organ Panggul
(POP) disebabkan secara multifaktorial dengan kontribusi lingkunan dan faktor
risiko genetik. Namun, faktor risiko yang dipercaya secara signifikan
menyebabkan POP merupakan kehamilan dan persalinan. Pada persalinan,
terdapat faktor risiko terjadinya trauma pada jaringan-jaringan penyokong
panggul akibat denervasi atau kerusakan otot secara langsung yang menimbulkan
pembukaan hiatus genitalis, kelemahan levator plate, dan pembentukan
konfigurasi seperti mangkok. Gejala yang dapat dirasakan oleh penderita POP
yaitu adanya sensasi tertarik di daerah vagina atau punggung belakang, terabanya
tonjolan di vagina atau keluar dari vagina, mengeluhkan gejala pada sistem
saluran kemih dan saluran pencernaan, serta munculnya perasaan tidak nyaman
saat berhubungan seksual. Pada wanita yang dicurigai memiliki prolaps,
pemeriksaan panggul sebaiknya dilakukan untuk menentukan lokasi dan luas
prolaps yang terjadi. Tatalaksana wanita dengan prolapse organ panggul yaitu
observasi, pelatihan otot dasar panggul, penggunaan pessarium, atau operasi.
Tujuan utama dari setiap perawatan adalah untuk memperbaiki gejala, manajemen
konservatif, dan, untuk meminimalkan perkembangan prolaps. Pemilihan
perawatan tergantung dari preferensi pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Braga, A., dan Caccia, G. 2018. Pelvic Organ Prolapse: Pathophysiology and


Epidemiology. Management of Pelvic Organ Prolapse, 19–30.
Clemons JL, e., 2014. Patient Characteristics That Are Associated With
Continued Pessary Use Versus Surgery After 1 Year. - Pubmed - NCBI.
Cundiff GW, e., 2007. The PESSRI Study: Symptom Relief Outcomes Of A
Randomized Crossover Trial Of The Ring And Gellhorn Pessaries. -
Pubmed - NCBI.
Dällenbach P. To mesh or not to mesh: a review of pelvic organ reconstructive
surgery. International journal of women’s health. 2015; 7: 331-43.
Iglesia C.B., dan Smithling K.R. 2017. Pelvic Organ Prolapse. American Family
Physician 96(3):179-85
Moalli PA, Shand SH, Zyczynski HM, Gordy SC, Meyn LA. 2005. Remodeling
of vaginal connective tissue in patients with prolapse. Obstet Gynecol.
106:953–63.
Ingrid Nygaard;Rebecca McCreery;Linda Brubaker;AnnaMarie Connolly;Geoff
Cundiff;Anne Weber;Halina Zyczynski; Obstet Gynecol. 2004
Oct;104(4):805-23. doi: 10.1097/01.AOG.0000139514.90897.07.
Meriwether K., Rogers R., Craig E., Peterson S., Gutman R. and Iglesia C.,
2015. The Effect Of Hydroxyquinoline-Based Gel On Pessary-Associated
Bacterial Vaginosis: A Multicenter Randomized Controlled Trial.
Mira Pratiwi KY, Mega Putra IG. Pelvic Organ Prolaps. E-Jurnal Medika
Udayana, 2013; 2(4):709-36.
Megadhana, W. Upaya Pencegahan Prolaps Organ Panggul. E-Journal Obstetric
& Gynecology Udayana, 2015;4(1): 1-40.
Prolaps Organ Panggul. IGUA (International Urogynecological Association)
[brochure]. 2011. Denpasar: Author

Toy H, Camuzcuoğlu H, dan Aydin H. Uterine prolapse in a 19 year old pregnant


woman: a case report. J Turkish-German Gynecol Assoc 2009; 10: 184.
Wiegersma, M., Panman, C., Kollen, B., Berger, M., Lisman-Van Leeuwen, Y.
and Dekker, J., 2015. Effect Of Pelvic Floor Muscle Training Compared
With Watchful Waiting In Older Women With Symptomatic Mild Pelvic
Organ Prolapse: Randomised Controlled Trial In Primary Care.

Anda mungkin juga menyukai