Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput

ketuban sebelum terjadinya persalinan. Ketuban pecah dini dapat terjadi pada

atau setelah usia gestasi 37 minggu dan disebut KPD aterm atau premature

rupture of membranes (PROM) dan sebelum usia gestasi 37 minggu atau KPD

preterm atau preterm premature rupture of membranes (PPROM) (POGI,

2016).

Kejadian KPD preterm berhubungan dengan peningkatan morbiditas

dan mortalitas maternal maupun perinatal. Sekitar 1/3 dari perempuan yang

mengalami KPD preterm akan mengalami infeksi yang berpotensi berat,

bahkan fetus/ neonates akan berada pada risiko morbiditas dan mortalitas

terkait KPD preterm yang lebih besar dibanding ibunya, hingga 47,9% bayi

mengalami kematian. Persalinan prematur dengan potensi masalah yang

muncul, infeksi perinatal, dan kompresi tali pusat in utero merupakan

komplikasi yang umum terjadi. KPD preterm berhubungan dengan sekitar 18-

20% kematian perinatal di Amerika Serikat (POGI, 2016).

Ketuban pecah dini pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia

(SKDI) berada pada level kompetensi 3A, yaitu lulusan dokter mampu

membuat diagnosis klinik, memberi terapi pendahuluan pada keadaan bukan


gawat darurat, menentukan rujukan yang tepat bagi penanganan pasien

selanjutnya dan mampu menindaklanjuti setelah kembali dari rujukan.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui lebih jauh

tentang Ketuban Pecah Dini mengenai definisi, faktor resiko, patofisiologi,

manifestasi klinis, diagnosis, dan penatalaksanaannya.

1.3. Manfaat

Penulisan referat ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan

pemahaman penulis maupun pembaca mengenai Ketuban Pecah Dini beserta

patofisiologi dan penangananannya.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput

ketuban sebelum terjadinya persalinan. Dalam keadaan normal, selaput

ketuban pecah dalam proses persalinan. Ketuban pecah dini dapat terjadi pada

atau setelah usia gestasi 37 minggu dan disebut KPD aterm atau premature

rupture of membranes (PROM) dan sebelum usia gestasi 37 minggu atau KPD

preterm atau preterm premature rupture of membranes (PPROM) (POGI,

2016).

Selaput ketuban yang membatasi rongga amnion terdiri atas amnion

dan korion yang sangat erat ikatannya. Lapisan ini terdiri atas beberapa sel

seperti sel epitel, sel mesenkim, dan sel trofoblas yang terikat erat dalam

matriks kolagen. Selaput ketuban berfungsi menghasilkan air ketuban dan

melindungi janin terhadap infeksi (Prawirahardjo, 2016).

Ketuban Pecah Dini Prematur terjadi pada 1% kehamilan. Pecahnya

selaput ketuban berkaitan dengan perubahan proses biokimia yang terjadi

dalam kolagen matriks ekstra selular amnion, korion, dan apoptosis membran

janin. Membran janin dan desidua bereaksi terhadap stimuli seperti infeksi

dan peregangan selaput ketuban dengan memproduksi mediator seperti

prostaglandin, sitokinin dan protein hormon yang merangsang aktivitas

"matrix degrading enzym" (Prawirahardjo, 2016).


2.2. Epidemiologi

Masalah KPD memerlukan perhatian yang lebih besar, karena

prevalensinya yang cukup besar dan cenderung meningkat. Kejadian KPD

aterm terjadi pada sekitar 6,46-15,6% kehamilan aterm dan PPROM terjadi

pada terjadi pada sekitar 2-3% dari semua kehamilan tunggal dan 7,4% dari

kehamilan kembar. PPROM merupakan komplikasi pada sekitar 1/3 dari

semua kelahiran prematur, yang telah meningkat sebanyak 38% sejak tahun

1981 (POGI, 2016).

2.3. Klasifikasi

1) KPD Preterm

Ketuban pecah dini preterm adalah pecah ketuban yang terbukti

dengan vaginal pooling, tes nitrazin dan, tes fern atau IGFBP-1 (+) pada

usia <37 minggu sebelum onset persalinan. KPD sangat preterm adalah

pecah ketuban saat umur kehamilan ibu antara 24 sampai kurang dari 34

minggu, sedangkan KPD preterm saat umur kehamilan ibu antara 34

minggu sampai kurang 37 minggu. Definisi preterm bervariasi pada

berbagai kepustakaan, namun yang paling diterima dan tersering

digunakan adalah persalinan kurang dari 37 minggu (POGI, 2016).

2) KPD pada Kehamilan Aterm

Ketuban pecah dini/ premature rupture of membranes (PROM)

adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya yang terbukti dengan vaginal

pooling, tes nitrazin dan tes fern (+), IGFBP-1 (+) pada usia kehamilan ≥

37 minggu (POGI, 2016).


2.4. Faktor Resiko

Berbagai faktor risiko berhubungan dengan KPD, khususnya pada

kehamilan preterm. Pasien berkulit hitam memiliki risiko yang lebih tinggi

bila dibandingkan dengan pasien kulit putih. Pasien lain yang juga berisiko

adalah pasien dengan status sosioekonomi rendah, perokok, mempunyai

riwayat infeksi menular seksual, memiliki riwayat persalinan prematur,

riwayat ketuban pecah dini pada kehamilan sebelumnya, perdarahan

pervaginam, atau distensi uterus (misalnya pasien dengan kehamilan multipel

dan polihidramnion). Prosedur yang dapat berakibat pada kejadian KPD aterm

antara lain sirklase dan amniosentesis. Tampaknya tidak ada etiologi tunggal

yang menyebabkan KPD. Infeksi atau inflamasi koriodesidua juga dapat

menyebabkan KPD preterm. Penurunan jumlah kolagen dari membran

amnion juga diduga merupakan faktor predisposisi KPD preterm (POGI,

2016).

Faktor predisposisi menurut WHO (2013) adalah:

 Riwayat ketuban pecah dini pada kehamilan sebelumnya

 Infeksi traktus genital

 Perdarahan antepartum

 Merokok

Faktor risiko untuk terjadinya Ketuban Pecah Dini adalah

(Prawirahardjo, 2016):

 berkurangnya asam askorbik sebagai komponen kolagen;


 kekurangan tembaga dan asam askorbik yang berakibat pertumbuhan

struktur abnormal karena antara lain merokok.

2.5. Patofisiologi

Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh

kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada

daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput

ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh

(Prawirahardjo, 2016).

Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi ekstraselular

matriks. Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen

menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban

pecah. Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metaloproteinase (MMP)

yang dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease

(Prawirahardjo, 2016).

Mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan TIMP-1

mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks ekstraselular dan membran

janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat menjelang persalinan.

Pada penyakit periodontitis di mana terdapat peningkatan MMP, cenderung

terjadi Ketuban Pecah Dini (Prawirahardjo, 2016).

Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester

ketiga selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban

ada hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan

janin. Pada trimester terakhir terjadi perubahan biokimia pada selaput


ketuban. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis

(Prawirahardjo, 2016).

Ketuban Pecah Dini pada kehamilan prematur disebabkan oleh adanya

faktor-faktor eksternal, misalnya infeksi yang menjalar dari vagina. Ketuban

Pecah Dini prematur sering terjadi pada polihidramnion, inkompeten serviks,

solusio plasenta (Prawirahardjo, 2016).

2.6. Diagnosis

Penilaian awal dari ibu hamil yang datang dengan keluhan KPD aterm

harus meliputi 3 hal, yaitu konfirmasi diagnosis, konfirmasi usia gestasi dan

presentasi janin, dan penilaian kesejahteraan maternal dan fetal. Tidak semua

pemeriksaan penunjang terbukti signifikan sebagai penanda yang baik dan

dapat memperbaiki luaran (POGI, 2016).

a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

KPD aterm didiagnosis secara klinis pada anamnesis pasien dan

visualisasi adanya cairan amnion pada pemeriksaan fisik. Dari anamnesis

didapatkan penderita merasa keluar cairan yang banyak secara tiba-tiba

(WHO, 2013). Perlu diketahui juga waktu dan kuantitas dari cairan yang

keluar, usia gestasi dan taksiran persalinan, riwayat KPD aterm

sebelumnya, dan faktor risikonya (POGI, 2016).

Pemeriksaan digital vagina yang terlalu sering dan tanpa indikasi

sebaiknya dihindari karena hal ini akan meningkatkan risiko infeksi

neonatus. Spekulum yang digunakan dilubrikasi terlebih dahulu dengan

lubrikan yang dilarutkan dengan cairan steril dan sebaiknya tidak


menyentuh serviks. Pemeriksaan spekulum steril digunakan untuk menilai

adanya servisitis, prolaps tali pusat, atau prolaps bagian terbawah janin

(pada presentasi bukan kepala); menilai dilatasi dan pendataran serviks,

mendapatkan sampel dan mendiagnosis KPD aterm secara visual (POGI,

2016).

Tentukan usia kehamilan, bila perlu dengan pemeriksaan USG.

Tentukan ada tidaknya infeksi. Tanda-tanda infeksi adalah bila suhu ibu

lebih dari 38℃ sena air ketuban keruh dan berbau. Leukosit darah

>15.000/mm3. Janin yang mengalami takikardia, mungkin mengalami

infeksi intrauterin. Tentukan tanda-tanda persalinan dan skoring pelvik.

Tentukan adanya kontraksi yang teratur. Periksa dalam dilakukan bila

akan dilakukan penanganan aktif (terminasi kehamilan) (Prawirahardjo,

2016).

Dilatasi serviks dan ada atau tidaknya prolaps tali pusat harus

diperhatikan dengan baik. Jika terdapat kecurigaan adanya sepsis, ambil

dua swab dari serviks (satu sediaan dikeringkan untuk diwarnai dengan

pewarnaan gram, bahan lainnya diletakkan di medium transport untuk

dikultur (POGI, 2016).

Tentukan pecahnya selaput ketuban, dengan adanya cairan ketuban

di vagina. Jika tidak ada dapat dicoba dengan menggerakkan sedikit

bagian terbawah janin atau meminta pasien batuk atau mengedan.

Penentuan cairan ketuban dapat dilakukan dengas tes lakmus (Nitrazin

test) merah menjadi biru (Prawirahardjo, 2016). Jika cairan amnion jelas
terlihat mengalir dari serviks, tidak diperlukan lagi pemeriksaan lainnya

untuk mengkonfirmasi diagnosis. Jika diagnosis tidak dapat dikonfirmasi,

lakukan tes pH dari forniks posterior vagina (pH cairan amnion biasanya ~

7.1-7.3 sedangkan sekret vagina ~ 4.5-6) dan cari arborization of fluid dari

forniks posterior vagina (POGI, 2016).

Perlu dipastikan bahwa cairan tersebut adalah cairan amnion

dengan memperhatikan:

 Bau cairan ketuban yang khas.

 Tes Nitrazin: lihat apakah kertas lakmus berubah dari merah menjadi

biru. Harap diingat bahwa darah, semen, dan infeksi dapat

menyebabkan hasil positif palsu

 Gambaran pakis yang terlihat di mikroskop ketika mengamati secret

servikovaginal yang mongering

 Tidak ada tanda-tanda in partu (WHO, 2013)

Jika tidak terlihat adanya aliran cairan amnion, pasien tersebut

dapat dipulangkan dari rumah sakit, kecuali jika terdapat kecurigaan yang

kuat ketuban pecah dini. Semua presentasi bukan kepala yang datang

dengan KPD aterm harus dilakukan pemeriksaan digital vagina untuk

menyingkirkan kemungkinaan adanya prolaps tali pusat (POGI, 2016).

b. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan USG
Pemeriksaan USG dapat berguna untuk melengkapi diagnosis

untuk menilai indeks cairan amnion. Jika didapatkan volume cairan

amnion atau indeks cairan amnion yang berkurang tanpa adanya

abnormalitas ginjal janin dan tidak adanya pertumbuhan janin

terhambat (PJT) maka kecurigaan akan ketuban pecah sangatlah besar,

walaupun normalnya volume cairan ketuban tidak menyingkirkan

diagnosis. Selain itu USG dapat digunakan untuk menilai taksiran

berat janin, usia gestasi dan presentasi janin, dan kelainan kongenital

janin (POGI, 2016).

2) Pemeriksaan Laboratorium

Pada beberapa kasus, diperlukan tes laboratorium untuk

menyingkirkan kemungkinan lain keluarnya cairan/ duh dari vagina/

perineum. Jika diagnosis KPD aterm masih belum jelas setelah

menjalani pemeriksaan fisik, tes nitrazin dan tes fern, dapat

dipertimbangkan. Pemeriksaan seperti insulin-like growth factor

binding protein 1(IGFBP-1) sebagai penanda dari persalinan preterm,

kebocoran cairan amnion, atau infeksi vagina terbukti memiliki

sensitivitas yang rendah. Penanda tersebut juga dapat dipengaruhi

dengan konsumsi alkohol. Selain itu, pemeriksaan lain seperti

pemeriksaan darah ibu dan CRP pada cairan vagina tidak memprediksi

infeksi neonatus pada KPD preterm (POGI, 2016)

2.7. Tatalaksana

1) Pastikan diagnosis
2) Tentukan umur kehamilan

3) Evaluasi ada tidaknya infeksi maternal ataupun infeksi janin

4) Apakah dalam keadaan inpartu, terdapat kegawatan janin (Prawirahardjo,

2016).

Penderita dengan kemungkinan Ketuban Pecah Dini harus masuk

rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut. Jika pada perawatan air ketuban

berhenti keluar, pasien dapat pulang untuk rawat jalan. Bila terdapat

persalinan dalam kala aktif, korioamnionitis, diperlukan penatalaksanaan yang

komprehensif. Secara umum penatalaksanaan pasien Ketuban Pecah Dini

yang tidak dalam persalinan serta tidak ada infeksi dan gawat janin,

Penatalaksanaannya bergantung pada usia kehamilan (Prawirahardjo, 2016).

a) Penanganan Konservatif

Rawat di rumah sakit, berikan antibiotik (ampisilin 4 × 500 mg

atau eritromisin bila tidak tahan ampisilin dan metronidazol 2 × 500 mg

selama 7 hari). Jika umur kehamilan <32-34 minggu, dirawat selama air

ketuban masih keluar, atau sampai air ketuban tidak lagi keluar. Jika usia

kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa

negatif beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan

kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu. Jika usia

kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan

tokolitik (salbutamol), deksametason, dan induksi sesudah 24 jam. Jika

usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan

induksi, nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi


intrauterin). Pada usia kehamilan 32-37 minggu berikan steroid untuk

memacu kematangan paru janin, dan bila memungkinkan periksa kadar

lesitin dan spingomielin tiap minggu· Dosis betametason 12 mg sehari

dosis tunggal selama 2 hari, deksametason I.M. 5 mg setiap 6 jam

sebanyak 4 kali (Prawirahardjo, 2016).

b) Penanganan Aktif

Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal

seksio sesarea, Dapat pula diberikan misoprostol 25 µg-50 µg intravaginal

tiap 6 jam maksimal 4 kali. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotik

dosis tinggi dan persalinan diakhiri (Prawirahardjo, 2016).

 Bila skor pelvik <5, lakukan pematangan serviks, kemudian induksi.

Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea.

 Bila skor pelvik >5, induksi persalinan (Prawirahardjo, 2016).

Tabel 1 Skor Pelvik Menurut BISHOP

(Crisdiono M. A, Sp.OG, 2004)


Tabel 2 Medikamentosa yang digunakan pada KPD
Magnesium MAGNESIUM SULFAT IV:
Untuk efek neuroproteksi (pencegahan Bolus 6 gram selama 40 menit
cerebral palsi) pada PPROM < 31 dilanjutkan infus 2 gram/ jam untuk
minggu bila persalinan diperkirakan dosis pemeliharaan sampai persalinan
dalam waktu 24 jam atau sampai 12 jam terapi
Kortikosteroid BETAMETHASONE:
untuk menurunkan risiko sindrom 12 mg IM setiap 24 jam dikali 2 dosis
distress pernapasan Jika Betamethasone tidak tersedia,
gunakan deksamethason 6 mg IM setiap
12 jam
Antibiotik AMPICILLIN
Untuk memperlama masa laten 2 gram IV setiap 6 jam dan
ERYTHROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48 jam,
dikali 4 dosis diikuti dengan
AMOXICILLIN
250 mg PO setiap 8 jam selama 5 hari
dan
ERYTHROMYCIN
333 mg PO setiap 8 jam selama 5 hari,
jika alergi ringan dengan penisilin,
dapat digunakan:
CEFAZOLIN
1 gram IV setiap 8 jam selama 48 jam
dan
ERYTHROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48 jam
diikuti dengan :
CEPHALEXIN
500 mg PO setiap 6 jam selama 5 hari
dan
ERYTHROMYCIN
333 mg PO setiap 8 jam selama hari
Jika alergi berat penisilin, dapat
diberikan
VANCOMYCIN 1 gram IV setiap 12
jam selama 48 jam dan
ERYTHROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48 jam
diikuti dengan
CLINDAMYCIN
300 mg PO setiap 8 jam selama 5 hari
(POGI, 2016)

2.8. Komplikasi

Komplikasi yang timbul akibat Ketuban Pecah Dini bergantung pada

usia kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan

prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin,

meningkatnya insiden seksio sesarea atau gagalnya persalinan normal

(Prawirahardjo, 2016).

1) Komplikasi Ibu

Komplikasi pada ibu yang terjadi biasanya berupa infeksi

intrauterin. Infeksi tersebut dapat berupa endomyometritis, maupun

korioamnionitis yang berujung pada sepsis. Pada sebuah penelitian,

didapatkan 6,8% ibu hamil dengan KPD mengalami endomyometritis


purpural, 1,2% mengalami sepsis, namun tidak ada yang meninggal dunia

(POGI, 2016).

Diketahui bahwa yang mengalami sepsis pada penelitian ini

mendapatkan terapi antibiotik spektrum luas, dan sembuh tanpa sekuele.

Sehingga angka mortalitas belum diketahui secara pasti. 40,9% pasien

yang melahirkan setelah mengalami KPD harus dikuret untuk

mengeluarkan sisa plasenta, 4% perlu mendapatkan transfusi darah karena

kehilangan darah secara signifikan. Tidak ada kasus terlapor mengenai

kematian ibu ataupun morbiditas dalam waktu lama (POGI, 2016).

2) Komplikasi Janin

Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi adalah persalinan

lebih awal. Periode laten, yang merupakan masa dari pecahnya selaput

amnion sampai persalinan secara umum bersifat proporsional secara

terbalik dengan usia gestasi pada saat KPD terjadi. Sebagai contoh, pada

sebuah studi besar pada pasien aterm menunjukkan bahwa 95% pasien

akan mengalami persalinan dalam 1 hari sesudah kejadian. Sedangkan

analisis terhadap studi yang mengevaluasi pasien dengan preterm 1

minggu, dengan sebanyak 22 persen memiliki periode laten 4 minggu.

Bila KPD terjadi sangat cepat, neonatus yang lahir hidup dapat mengalami

sekuele seperti malpresentasi, kompresi tali pusat, oligohidramnion,

necrotizing enterocolitis, gangguan neurologi, perdarahan intraventrikel,

dan sindrom distress pernapasan (POGI, 2016).

a) Persalinan Prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan.

Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90%

terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-

34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari

26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu (Prawirahardjo, 2016).

b) Infeksi

Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada Ketuban Pecah Dini.

Pada ibu terjadi koroamnionitis. Pada Bayi dapat terjadi septikemia,

pneumonia, omfalitis. Umumnya terjadi korioamnionitis sebeium janin

terinfeksi. Pada Ketuban Pecah Dini prematur, infeksi lebih sering

daripada aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder pada ketuban

Pecah Dini meningkat sebanding dengan lamanya periode laten

(Prawirahardjo, 2016).

c) Hipoksia dan Asfiksia

Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang

menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat

hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat oligohidramnion,

semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat (Prawirahardjo,

2016).

d) Sindrom Deformitas Janin

Ketuban Pecah Dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan

penumbuhan janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan

anggota badan janin, serta hipoplasi pulmonary (Prawirahardjo, 2016).


BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Ilustrasi Kasus

DATA DASAR
 Nama : Ny.S
 Umur : 41 thn
 Alamat : Ngasem, Jati Kalen, Nganjuk
 MRS : 10 Maret 2018 jam 06.00 WIB
ANAMNESIS
 KU: keluar cairan dr jalan lahir
 RPS: Pasien merasa hamil 9 bulan hamil anak ke 3. Pasien merasa
mengeluarkan cairan sedikit-sedikit sejak jam 01.30 WIB tidak berbau,
tidak lengket,warna jernih, tidak disertai lender dan darah, kenceng-
kenceng(-). Riwayat keputihan keruh, berbau amis 2 bulan terakhir.
Memakai pembersih vagina setiap hari. Kemudian oleh keluarga pasien
dibawa kerumah sakit. BAK dan BAB dbn. HPHT: 17-06-2017. Siklus
28-30 hari.Nyeri haid-
 RPD: Hipertensi (-), DM (-), Pijat (-)
 RPK: Hipertensi (-), DM (-)
Riwayat Persalinan:
1. ♀/9bln/Spt/Bidan/2500gr/17tahun
2. ♀/9bln/Spt/Bidan/3000gr/9tahun
3. Hamil ini
RiwayatAntenatal:
- ANC 6x dibidan
- TT : 1 kali
Riwayat KB:
- Pil berhenti10 bulan yll
PEMERIKSAAN FISIK
 Kesadaran : Compos Mentis BB 56 kg
 GCS: 456
 Tensi: 130/90 mmHg Nadi: 84x/menit regular RR: 18x/menit tax:36,4oC
trect : 36,8oC
 Kepala : Anemis(-), Ikterik(-), Cyanosis(-), Dyspneu(-)
 Leher: Pembesaran KGB(-)
 Thorax : Pulmo : Rhonchi (-),Wheezing (-).
Cor : Bising jantung (-)
 Ekstremitas: oedema -/-, varises -/-
Status Obstetri
 Pemeriksaan Luar:
 Inspeksi:
 Abdomen: Linea nigra(+),StriaeGravidarum(+)
 Palpasi:
Pemeriksaan Luar
 Leopold I : TFU 32 cm, Teraba bulat lunak His 10.2.20/sedang
TBJ: 2950g
 Leopold II : Punggung kanan BJA 12.12.13
 Leopold III : Teraba Keras, bulat, belum masuk PAP
 Leopold IV : Bagian terbawah kepala, 5/5
Pemeriksaan Dalam:
 VT Ø 1 cm eff 50% lunak, di medial pres : Kepala HI UPD~n Ket
(-) jernih
3.2. Pembahasan

Seorang pasien usia 41 tahun, G3 P2002 A0 merasa hamil 9 bulan

datang dengan keluhan utama keluar cairan dari jalan lahir. Dari anamnesis

didapatkan pasien merasa mengeluarkan cairan sedikit-sedikit sejak jam

01.30. Cairan yang keluar tidak berbau, tidak lengket, warna jernih tidak

disertai lender dan darah, dan tidak didapatkan kenceng-kenceng. Sebelumnya

pasien memiliki riwayat keputihan keruh, berbau amis selama 2 bulan

terakhir. Pasien memiliki kebiasaan menggunakan pembersih vagina setiap

hari. BAK dan BAB dalam batas normal. HPHT 17 Juni 2017. Siklus 28-30

hari. Pasien telah melakukan ANC sebanyak 6 kali di bidan, dan sudah
mendapatkan vaksin TT 1 kali.

Dari pemeriksaan fisik obstetri, pada abdomen didapatkan tanda-tanda

kehamilan yaitu linea nigra dan striae gravidarum. Pada pemeriksaan leopold

didapatkan TFU 32 cm, bagian bokong bayi berada pada fundus uteri, his

10.2.20/sedang, TBJ: 2950g, punggung berada di kanan, BJA 12.12.13,

bagian kepala bayi berada di bawah, belum masuk PAP, bagian terbawah

kepala, dengan penurunan kepala 5/5 (kepala belum masuk PAP). Dari

pemeriksaan dalam (VT Obs) didapatkan pembukaan 1 cm, penipisan serviks

50% lunak di medial, presentasi kepala, penurunan di Hodge I, UPD normal,

ketuban (-) jernih.

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka dapat ditegakkan

diagnosis sementara yaitu Ketuban Pecah Dini (KPD) Aterm. Pasien

didiagnosis sebagai KPD Aterm dari keluhan dan pemeriksaan fisik.

Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluhkan keluar cairan dari jalan lahir,

cairan tidak lengket, tidak berbau, jernih, dan tidak disertai darah ataupun

lendir, maka dapst dicurigai cairan tersebut adalah cairan ketuban. Selain itu,

berdasarkan HPHT didapatkan usia kehamilan 38-39 minggu,yang berarti usia

kehamilan sudah aterm. Diagnosis KPD tetap ditegakkan meskipun usia

kehamilan sudah aterm, karena meskipun sudah aterm namun tidak ditemukan

adanya tanda-tanda inpartu, yaitu; his tidak adekuat, tidak ada keluar lendir

atau darah (bloody show), dan kepala janin belum masuk PAP (masih 5/5 atau

penurunan masih di Hodge I). Selain itu, dari ibu didapatkan riwayat infeksi

genitalia selama 2 bulan terakhir. Hal ini dapat mendukung diagnosis, karena
salah satu faktor resiko terjadinya KPD adalah adanya riwayat infeksi pada

traktus genitalia.

Untuk memastikan diagnosis KPD dapat dilakukan beberapa

pemeriksaan, yaitu tes Nitrazin yang bertujuan untuk memastikan cairan yang

keluar adalah cairan ketuban, dengan menggunakan kertas lakmus, jika cairan

tersebut adalah ketuban maka lakmus merah akan berubah warna menjadi

biru. Jika masih meragukan dapat dilakukan pemeriksaan pH dari forniks

posterior vagina (pH cairan amnion biasanya ~ 7.1-7.3 sedangkan sekret

vagina ~ 4.5-6). Selain itu, lakukan juga pemeriksaan USG untuk mengetahui

keadaan janin dan menilai cairan ketuban.

Penatalaksanaan pada pasien ini, yang pertama adalah pasien harus di

rawat di rumah sakit. Berikan antibiotik ampisilin 4 x 500 mg dan

metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari. Karena usia kehamilan pasien sudah

38 minggu, maka pasien ini akan dilakukan penanganan aktif dengan induksi

persalinan menggunakan oksitosin. Sebelum itu, untuk mengetahui pasien

sudah siap untuk di terminasi kehamilan, maka bisa dinilai menggunakan skor

BISHOP. Pada pasien ini, didapatkan skor BISHOP >5, maka dapat dilakukan

induksi persalinan.
BAB IV

KESIMPULAN

Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban

sebelum terjadinya persalinan. Dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam

proses persalinan. Ketuban pecah dini dapat terjadi pada atau setelah usia gestasi 37

minggu dan disebut KPD aterm atau premature rupture of membranes (PROM) dan

sebelum usia gestasi 37 minggu atau KPD preterm atau preterm premature rupture of

membranes (PPROM).

Faktor resiko mola hidatidosa, yaitu riwayat ketuban pecah dini pada

kehamilan sebelumnya, infeksi traktus genital, perdarahan antepartum, merokok.

KPD aterm didiagnosis secara klinis pada anamnesis pasien dan visualisasi adanya

cairan amnion pada pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan penderita merasa

keluar cairan yang banyak secara tiba-tiba.

Pada kasus diatas, didapatkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik,

maka dapat ditegakkan diagnosis sementara yaitu Ketuban Pecah Dini (KPD) Aterm.

Pasien didiagnosis sebagai KPD Aterm dari keluhan dan pemeriksaan fisik. Pada

pasien tersebut terdapat keluhan keluar cairan dari jalan lahir. Cairan yang keluar

tidak berbau, tidak lengket, warna jernih tidak disertai lender dan darah, maka dapat

dicurigai cairan tersebut adalah cairan ketuban. Selain itu, berdasarkan HPHT

didapatkan usia kehamilan 38-39 minggu,yang berarti usia kehamilan sudah aterm.

Diagnosis KPD tetap ditegakkan meskipun usia kehamilan sudah aterm, karena

meskipun sudah aterm namun tidak ditemukan adanya tanda-tanda inpartu, yaitu; his
tidak adekuat, tidak ada keluar lendir atau darah (bloody show), dan kepala janin

belum masuk PAP (masih 5/5 atau penurunan masih di Hodge I). Selain itu, dari ibu

didapatkan riwayat infeksi genitalia selama 2 bulan terakhir, dimana infeksi traktus

genitalia merupakan salah satu faktor resiko terjadinya KPD.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah tes nitrazin, pemeriksaan pH

pada vagina, serta pemeriksaan USG. Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu;

antibiotik ampisilin 4 x 500 mg dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari,

terminasi kehamilan dengan induksi menggunakan oksitosin karena usia kehamilan

pasien sudah 38 minggu (tentukan juga skor BISHOP).


DAFTAR PUSTAKA

Crisdiono M. A, Sp.OG, 2004, Prosedur Tetap Obstetric & Ginekologi, Jakarta:


Penerbit EGC

Prawirohardjo, Sarwono. 2016. Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), 2016, Pedoman Nasional


Pelayanan Kedokteran Ketuban Pecah Dini, Himpunan Kedokteran Feto
Maternal

WHO, 2013, Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan
Rujukan Edisi Pertama, Jakarta: WHO Indonesia

Anda mungkin juga menyukai