NY. M (29 TAHUN) P2002 AB000 DENGAN SECTIO CAESAREA ATAS INDIKASI PROM
DAN POST IUD
Oleh:
2. KLASIFIKASI
Berdasarkan usia kehamilan (Manjoer, 2001), dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
1. KPD pada usia kehamilan < 37 minggu
KPD pada preterm à pecahnya membrane chorio-amniotik sebelum tanda
persalinan atau disebut juga PPROM (premature PRELABOUR rupture of
membrane). Dengan insiden 2% kehamilan.
2. KPD pada usia kehamilan > 37 minggu
KPD pada aterm à pecahnya membrane chorio-amniotik sebelum tanda
persalinan atau disebut juga PROM (premature rupture of membrane). Dengan
insiden 6-19% kehamilan.
Berdasarkan penyebabnya PROM dibagi menjadi :
1. PROM Spontan; terjadi karena lemahnya selaput ketuban atau kurang
terlindungi karena cervix terbuka (incompetent cervical)
2. PROM dengan penyebab sebelumnya; dapat terjadi karena adanya trauma
jatuh, coitus, hidramnion, infeksi, dll.
3. ETIOLOGI
1. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis)
Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana korion,
amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis merupakan
komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan dapat berlanjut menjadi sepsis
(Prawirohardjo, 2008).
Membrana khorioamnionitik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan
ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan sangat
rentan untuk pecah disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik. Grup B
streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan amnionitis. Selain itu
Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan Staphylococcusepidermidis adalah bakteri-
bakteri yang sering ditemukan pada cairan ketuban pada kehamilan preterm.
Bakteri-bakteri tersebut dapat melepaskan mediator inflamasi yang menyebabkan
kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dan pembukaan serviks,
dan pecahnya selaput ketuban (Varney, 2007).
2. Riwayat ketuban pecah dini
Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami ketuban
pecah dini kembali. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat ialah
akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga memicu
terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama pada pasien
risiko tinggi (Nugroho, 2010).
Wanita yang mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan atau menjelang
persalinan maka pada kehamilan berikutnya wanita yang telah mengalami ketuban
pecah dini akan lebih beresiko mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari pada
wanita yang tidak mengalami ketuban pecah dini sebelumnya, karena komposisi
membran yang menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen yang semakin
menurun pada kehamilan berikutnya. (Nugroho, 2010).
3. Tekanan intra uterin
Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus)
misalnya hidramnion dan gemeli. Pada kelahiran kembar sebelum 37 minggu sering
terjadi pelahiran preterm, sedangkan bila lebih dari 37 minggu lebih sering
mengalami ketuban pecah dini (Nugroho, 2010).
Perubahan pada volume cairan amnion diketahui berhubungan erat dengan
hasil akhir kehamilan yang kurang bagus. Baik karakteristik janin maupun ibu
dikaitkan dengan perubahan pada volume cairan amnion. Polihidramnion dapat
terjadi akibat kelainan kongenital, diabetes mellitus, janin besar (makrosomia),
kehamilan kembar, kelainan pada plasenta dan tali pusat dan penggunaan obat-
obatan (misalnya propiltiourasil). Kelainan kongenital yang sering menimbulkan
polihidramnion adalah defek tabung neural, obstruksi traktus gastrointestinal bagian
atas, dan kelainan kromosom (trisomi 21, 18, 8, 13) komplikasi yang sering terjadi
pada polihidramnion adalah malpresentasi janin, ketuban pecah dini, prolaps tali
pusat, persalinan pretem dan gangguan pernafasan pada ibu (Prawirohardjo, 2008).
4. Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia)
Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia), didasarkan
pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk mempertahankan kehamilan.
Inkompetensi serviks sering menyebabkan kehilangan kehamilan pada trimester
kedua. Kelainan ini dapat berhubungan dengan kelainan uterus yang lain seperti
septum uterus dan bikornis. Sebagian besar kasus merupakan akibat dari trauma
bedah pada serviks pada konisasi, produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi
berlebihan serviks pada terminasi kehamilan atau laserasi obstetrik (Prawirohardjo,
2008).
5. Kehamilan dengan janin kembar
Pada kehamilan kembar, evaluasi plasenta bukan hanya mencakup posisinya
tetapi juga korionisitas kedua janin. Pada banyak kasus adalah mungkin saja
menentukan apakah janin merupakan kembar monozigot atau dizigot. Selain itu,
dapat juga ditentukan apakah janin terdiri dari satu atau dua amnion. Upaya
membedakan ini diperlukan untuk memperbaiki resiko kehamilan. Pengawasan
pada wanita hamil kembar perlu ditingkatkan untuk mengevaluasi resiko persalinan
preterm. Gejala persalinan preterm harus ditinjau kembali dengan cermat setiap kali
melakukan kunjungan (Nugroho, 2010).
Wanita dengan kehamilan kembar beresiko tinggi mengalami ketuban pecah
dini juga preeklamsi. Hal ini biasanya disebabkan oleh peningkatan massa plasenta
dan produksi hormon. Oleh karena itu, akan sangat membantu jika ibu dan keluarga
dilibatkan dalam mengamati gejala yang berhubungan dengan preeklamsi dan
tanda-tanda ketuban pecah (Varney, 2007).
6. Defisiensi vitamin C
Vitamin C diperlukan untuk pembentukan dan pemeliharaan jaringan kolagen.
Selaput ketuban (yang dibentuk oleh jaringan kolagen) akan mempunyai elastisitas
yang berbeda tergantung kadar vitamin C dalam darah ibu.
7. Kelainan letak janin dalam rahim
Kelainan letak janin dalam rahim misalnya pada letak sunsang dan letak lintang,
karena tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul yang dapat
menghalangi tekanan terhadap membrane bagian bawah. (Triat, B. 2014)
4. EPIDEMIOLOGI
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2010, memperkirakan
angka kematian ibu lebih dari 300-400/100.000 kelahiran hidup, yang disebabkan oleh
perdarahan 28%, KPD 20%, eklampsia 12%, abortus 13%, partus lama 18% dan
penyebab lainnya 2%.
Menurut data Riskesdas 2007, dari sejumlah 217 kasus kematian perinatal,
96,8% ibu dan bayi perinatal terganggu kesehatannta ketika hamil. Penyakit yang
banyak dialami ibu hamil pada bayi baru lahir mati adalah hipertensi maternal 24%.
Sementara gangguan kesehatan ibu hamil dari bayi yang meninggal pada umur 0-6 hari
adalah ketuban pecah dini sebesar 23% dan hipertensi maternal 22%. (Riskesdas,
2007)
Insidensi KPD berkisar antara 8-10% dari semua kehamilan. Hal ini
menunjukkan, KPD lebih banyak terjadi pada kehamilan ang cukup bulan dari pada
yang kurang bulan, yaitu sekitar 95%, sedangkan pada kehamilan tidak cukup bulan/
KPD pada kehamilan preterm terjadi sekitar 34% semua kelahiran premature. (Harlyana,
20014)
5. FAKTOR RESIKO
Menurut Nugroho (2010) :
1. Aktivitas Seksual
Hubungan seksual akan menyebabkan perubahan pada lingkungan mikro
vagina khususnya pada penularan seksual, yang mana dapat berakibat
terjadinya transmisi kuman seperti N.gonorrhoeae dan trichominas pada
saluran vaginalis. (Inu M, 2002)
2. Faktor Keturunan
Disebabkan karena kelainan genetic seperti pada sindrom trisomy, kelainan
pada kromosom 21,18, 8, 13 dan juga disebabkan karena ion Cu serum rendah
(kekurangan tembaga dapat menyebabkan pertumbuhan struktur abnormal),
defisiensi vitamin C yang berperan penting dalam mempertahankan integritas
jaringan kolagen penyusun amnion.
3. Riwayat PROM sebelumnya sebanyak dua kali atau lebih karena selaput
amnion pada kehamilan selanjutnya akan semakin tipis. Apalagi jika sudah
mempunyai riwayat PROM, selaput amnion akan lebih tipis dari kehamilan
tanpa riwayat PROM. Seseorang yang memiliki riwayat KPD sebelumnya
memiliki resiko 2-4 kali. Hal ini disebabkan karena adanya penurunan
kandungan kalogen dalam membran amnion sehingga beresiko mengalami
KPD baik secara aterm maupun preterm.
4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan BB ibu
Kelebihan BB sebelum kehamilan
Penambahan BB yang sedikit selama kehamilan
5. Pekerjaan dan aktivitas
Pola pekerjaan pada ibu hamil berpengaruh pada kebutuhan energi. Kerja fisik
pada saat hamil yang terlalu berat dengan lama kerja lebih dari 3 jam dapat
mengakibatkan kelelahan yang bisa menyebabkan lemahnya korion amnion.
6. Status atau frekuensi hubungan suami-istri.
Frekuensi koitus pada trimester 3 yang lebih dari 3 kali seminggu diyakini dapat
berperan pada terjadinya KPD. Hal ini berkaitan dengan kondisi orgasme yang
memicu kontraksi rahim karena adanya paparan terhadap prostaglandin di
dalam sperma (Tahir Suriani, 2012).
7. Paritas (melahirkan lebih dari sama dengan 5x)
Paritas terbagi menjadi primipara dan multipara. Primiparitas adalah seorang
wanita yang telah melahirkan bayi hidup atau mati untuk pertama kali.
Multiparitas adalah wanita yang telah melahirkan bayi hidup atau mati beberapa
kali (sampai 5 kali atau lebih) (Varney, 2007).
8. Usia ibu <20 th atau >35 th
Usia ibu yang ≤ 20 tahun, termasuk usia yang terlalu muda dengan keadaan
uterus yang kurang matur untuk melahirkan sehingga rentan mengalami
ketuban pecah dini. Sedangkan ibu dengan usia ≥ 35 tahun tergolong usia yang
terlalu tua untuk melahirkan khususnya pada ibu primi (tua) dan beresiko tinggi
mengalami ketuban pecah dini (Nugroho, 2010).
9. Kehamilan dengan janin kembar.
Evaluasi plasenta bukan hanya mencakup posisinya tetapi juga korionitasi
kedua janin. Dan dapat ditentukan dengan janin yang terdiri dari satu atau dua
amnion. Wanita dengan janin kembar beresiko kpd karena peningkatan
plasenta dan produksi hormon.
10. Anemia
Anemia pada kehamilan adalah anemia karena kekurangan zat besi. Jika
persediaan zat besi minimal, maka setiap kehamilan akan mengurangi
persediaan zat besi tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia. Pada kehamilan
relative terjadi anemia karena darah ibu hamil mengalami hemodelusi atau
pengenceran dengan peningkatan volume 30% sampai 40% yang puncaknya
pada kehamilan 32 sampai 34 minggu. Pada ibu hamil yang mengalami anemia
biasanya ditemukan ciri-ciri lemas, pucat, cepat lelah, mata berkunang-kunang.
Pemeriksaan darah dilakukan minimal dua kali selama kehamilanya itu pada
trimester pertama dan trimester ketiga. Dampak anemia pada janin antara lain
abortus, terjadi kematian intrauterin, prematuritas, berat badan lahir rendah,
cacat bawaan dan mudah infeksi. Pada ibu, saat kehamilan dapat
mengakibatkan abortus, persalinan prematuritas, ancaman dekompensasi
kordis dan ketuban pecah dini. Pada saat persalinan dapat mengakibatkan
gangguan his, retensioplasenta dan perdarahan post partum karena atonia uteri
(Manuaba, 2008).
6. PATOFISIOLOGI
(Terlampir)
7. MANIFESTASI KLINIS
Menurut nugroho 2011:
1. Keluarnya cairan ketuban yang merembes melalui vagina.
2. Cairan vagina berbau amis dan tidak seperti bau amonia.
3. Demam/menggigil.
4. Bercak vagina yang banyak.
5. Denyut jantung janin berdetak cepat.
6. Nyeri pada perut berarti adanya infeksi
7. Pengurangan ukuran uterus (Saifuddin,2009)
Menurut Mansjoer (1999), manifestasi klinis KPD adalah sebagai berikut :
1. Keluar air ketuban warna keruh jernih, kuning, hijau, atau kecoklatan sedikit
atau banyak
2. Dapat disertai dengan demam bila sudah terjadi infeksi
3. Janin mudah diraba
4. Pada pemeriksaan dalam selaput ketuban sudah tidak ada , diketuban sudah
kering
5. Inspekulo, tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak ada dan air
ketuban sudah kering
6. Usia kehamilan >20 Minggu
7. Bunyi jantung bisa tetap normal
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Fisik
a. Anamnesa :
Bisa menegakkan 90% dari diagnosa. Kadangkala cairan seperti urin dan
vaginal discharge bisa dianggap cairan amnion. Penderita merasa basah pada
vagina atau mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir.
b. Inspeksi :
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila
ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini
akan lebih jelas.
c. Palpasi :
Perut tegang dan nyeri tekan, fundus uteri lebih tinggi dari usia kehamilan
sebelumnya.
d. Auskultasi :
Denyut jantung janin dengan usia kehamilan 18-20minggu
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Inspekulo
Langkah pertama dalam mendiagnosa KPD karena pemeriksaan dalam seperti
vaginal toucher dapat meningkatkan resiko infeksi cairan . Cairan yang keluar
dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau, dan pH-nya. Yang dinilai :
1) Keadaan umum dari servix, juga dinilai dilatasi dan pendataran dari servix.
Dilihat juga dari prolaps tali pusat atau ekstremitas bayi. Bau dari amnion
yang khas juga diperhatikan
2) Pooling pada cairan amnion dari formiks posterior mendukung diagnosa
KPD. Melakukan perasat valsava atau menyuruh pasien batuk untuk
memudahkan melihat pooling.
3) Cairan amnion dikonfirmasikan dengan nitrazine test. Kertas nitrazine akan
berubah menjadi biru jika pH cairan > 6-6,5. Sekret vagina ibu hamil punya
pH 4-5, dengan kertas nitrazine tidak memberikan perubahan warna. Tes
nitrazine bisa memberikan positif palsu bila tersamarkan dengan cairan
seperti darah, semen, atau vaginitis seperti trichomoniasis.
4) Mikroskopis (tes pakis). Dilakukan pemeriksaan ini dari cairan yang diambil
dari formiks posterior. Cairan diswab kemudian dikeringkan di atas kelas
objek dan dilihat di bawah mikroskop. Gambaran ferning menandakan
cairan amnion.
5) Dilakukan kultur dari swab untuk Chlamydia, gonnorhea, dan grup B
Streptococcus.
b. Pemeriksaan Lab :
1) Pemeriksaaan alpha-fetoprotein (AFP). Konsentrasi meningkat dalam
cairan amnion tetapi tidak di semen dan urin.
2) Pemeriksaan darah lengkap dan kultur dari urinalisis
3) Tes pakis
4) Tes lakmus (nitrazine test)
a) Tes lakmus, jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru,
menunjukkan adanya air ketuban (alkalis).
b) Jika tes negatif (tidak ada perubahan warna kertas lakmus) maka
selaput membran tidak ruptur.
c) Jika hasil tes positif (terjadi perubahan warna kertas lakmus merah
menjadi biru) berarti ada ruptur selaput membran.
d) Jika hasil positif palsu (terdapat campuran urin dengan darah)
berartiada infek dan diberi antiseptik.
5) Mikroskopik (tespakis)
Dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering,
pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis.
6) Pemeriksaan air ketuban dengan tes leukosit esterase
Bila leukosit darah lebih dari 15.000/mm3 ,kemungkinan adanya infeksi.
(Septiana, R. 2014)
c. Pemeriksaan USG
Untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD
terlihat jumlah cairann ketuban yang sedikit. Oligohidramnion ditambah dengan
anamnesis dari pasien biasa membantu diagnosa tetapi bukan mendiagnosis
rupturnya membran fetal. Selain itu, dinilai Amniotic Fluid Index (AFI),
presentasi janin, berat janin, dan usia janin. USG dapat mengidentifikasikan
kehamilan ganda, janin yang tidak normal atau melokalisasi kantong cairan
amnion pada amniosentesis dan sering digunakan dalam mengevaluasi janin.
USG juga dapat untuk menegakkan diagnosa KPD.
d. Pemeriksaan Obstetri
Pemeriksaan palpasi untuk menentukan umur kehamilan dan mengetahui ada
tidaknya kontraksi uterus. Melakukan auskultasi DJJ untuk menilai apakah ada
gawat janin atau tidak.
e. Kardiotografi
Alat elektronik yang digunakan untuk mendeteksi gangguan yang berkaitan
dengan hipoksia janin yang secara tidak langsung, melalui penilaian pola DJJ
dalam hubungannya dengan adanya kontraksi ataupun aktivitas janin.
f. Mengukur DJJ
Normalnya 120-160x/menit, mulai bisa didengar saat usia kehamilan mulai 16
minggu.
1) >180 x/menit : takikardi berat
2) 160-180 x/menit : takikardi ringan
3) 100-119 x/menit : bradikardi ringan
4) 80-100 x/menit : bradikardi sedang
5) <80 x/menit : bradikardi berat
9. PENATALAKSANAAN
Menurut Morgan (2009) penatalaksanaan Ketuban pecah prematur meliputi :
1. Pencegahan
a. Obati infeksi gonokokus, klamidia, dan vaginosis bakterial
b. Diskusikan pengaruh merokok selama kehamilan dan dukung untuk
mengurangi atau berhenti
c. Motivasi untuk menambah berat badan yang cukup selama hamil
d. Anjurkan pasangan menghentikan koitus pada trimester akhir bila ada
faktor predisposisi
e. Panduan mengantisipasi: Jelaskan kepada pasien yang memiliki riwayat
berikut ini saat prenatal bahwa mereka harus segera melapor bila ketuban
pecah.
2. Kondisi yang menyebabkan ketuban pecah dapat mengakibatkan prolaps tali
pusat :
a. Letak kepala selain verteks
b. Polihidramnion
c. Herpes aktif
d. Riwayat infeksi streptokus beta hemolitikus sebelumnya
3. Bila ketuban telah pecah :
a. Anjurkan pasien untuk ke rumah sakit atau klinik
b. Catat terjadinya ketuban pecah
1) Lakukan pengkajian, upayakan mengetahui waktu terjadinya pecah
ketuban
2) Bila robekan keuban tampak kasar :
a) Pasien posisi berbaring telentang, tekan fundus untuk melihat
adanya semburan cairan dari vagina
b) Basahi kapas asupan dengan cairan dan lakukan pulasan pada
slide untuk mengkaji ferning di bawah mikroskop
c) Sebagian cairan di usap kekertas Nitrazene. Bila positif,
pertimbangkan uji diagnostik bila pasien sebelumnya tidak
melakukan hubungan seks, tidak ada perdarahan, dan tidak
dilakukan pemeriksaan pervagina menggunakan jeli K-Y
3) Bila ketuban pecah dan tanda kemungkinan infeksi tidak jelas, lakukan
pemeriksaan spekulum steril
a) Kaji nilai Bishop servik
b) Tabel nilai Bishop
0 1 2 3
Dilatasi 0 1-2 3-4 ≥5
Serviks (cm)
Penipisan (%) 0-30 40-50 60-70 >80
Stasiun -3 -2 -1 +1 atau +2
Konsistensi Keras Medium Lunak
Posisi Posterior Ringan Anterior
Keterangan : Nilai 4 dianggap induksi akan mendekati kegagalan.
Nilai 9 atau lebih dianggap positif bersalin dan kemungkinan hasil
induksi persalinan akan berhasil sekitar 80-90%.
c) Lakukan kultur serviks hanya bila ada tanda infeksi
d) Dapatkan spesimen cairan lain dengan lidi kapas steril yang
dipulaskan pada slide untuk mengkaji ferning dibawah mikroskop
4) Bila usia gestasi kurang dari 37 minggu atau pasien terjangkit herpes
Tipe 2, rujuk ke dokter
4. Penatalaksanaan Konservatif
a. Kebanyakan persalinan dimulai dalam 24-72 jam setelah ketuban pecah
b. Kemungkinan infeksi berkurang bila tidak ada alat yang dimasukkan ke
vagina, kecuali spekulum steril; jangan melakukan pemeriksaan vagina
c. Saat menunggu, tetap pantau pasien dengan ketat
1) Ukur suhu tubuh empat kali sehari; bila suhu meningkat signifikan
mencapai 38ºC, berikan 2 macam antibiotik dan pelahiran harus
diselesaikan
2) Observasi rabas vagina: Bau menyengat, purulen atau tampak
kekuningan menunjukkan adanya infeksi
3) Catat bila ada nyeri tekan dan iritabilitas uterus serta laporkan
perubahan apa pun
5. Penatalaksanaan Agresif
a. Jel prostaglandin atau Misoprostol (meskipun tidak disetujui
pengunaannya) dapat diberikan setelah konsultasi dengan dokter
b. Mungkin dibutuhkan rakangkaian induksi Pitocin bila serviks tidak
berespons
c. Beberapa ahli menunggu 12 jam untuk terjadinya persalinan. Bila tidak
ada tanda, mulai pemberian Pitocin
d. Berikan cairan per IV, pantau janin
e. Peningkatan risiko seksio sesaria bila induksi tidak efektif
f. Bila pengambilan keputusan bergantung pada kelyakan serviks untuk
diinduksi, kaji nilai Bishop setelah pemeriksaan spekulum. Bila diputuskan
untuk menunggu persalinan, tidak ada lagi pemeriksaan yang dilakukan,
baik manipulasi dengan tangan maupun spekulum, sampai persalinan
dimulai atau induksi dimulai
g. Hitung darah lengkap bila ketuban pecah. Ulangi pemeriksaan pada hari
berikutnya sampai pelahiran atau lebih sering bila ada tanda infeksi
h. Lakukan NST setelah ketuban pecah; waspada adanya takikardia janin
yang merupakan salah satu tanda infeksi
i. Mulai induksi setelah konsultasi dengan dokter bila :
1) Suhu tubuh ibu meningkat signifikan
2) Terjadi takikardia janin
3) Lokia tampak keruh
4) Iritabilitas atau nyeri tekan uerus yang signifikan
5) Kultur vagina menunjukkan streptokus beta hemolitikus
6) Hitung darah lengkap menunjukkan kenaikan sel darah putih
6. Persalinan dari 24 jam setelah ketuban pecah
a. Persalinan spontan
1) Ukur suhu tubuh pasien setiap 2jam,berikan antibiotik bila ada demam
2) Anjurkan pemantauan pada internal janin
3) Beritahu dokter spesialis obstetrik dan sepesialis anak atau praktisi
perawat neonatus.
4) Lakukan kultur sesuai panduan
b. Induksi persalinan
1) Lakukan secara rutin setelah konsultasi ke dokter
2) Ukur suhu tubuh setiap 2jam sekali.
3) Pemberian antibiotik ada yang 1gram ampisilin per IV atau 1-2 gram
mefoxin per IV setiap 6 jam sebagai profilaksis.
4) Jika umur kehamilan 37 minggu, induksi dengan oksitosin
5) Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan servik, kemudian induksi.
Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea
6) Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam (Septiana,
R. 2014)
1. Pengertian
Terdapat beberapa pencetus sectio caesarea, antara lain:
a. Sectio caesarea merupakan prosedur bedah untuk pelahiran janin dengan insisi
melalui abdomen dan uterus (Liu, 2007).
b. Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui
suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan sayatan rahim dalam
keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Sarwono, 2005).
c. Sectio caesarea atau bedah sesar adalah sebuah bentuk melahirkan anak dengan
melakukan sebuah irisan pembedahan yang menembus abdomen seorang ibu
(laparotomi) dan uterus (hiskotomi) untuk mengeluarkan satu bayi atau lebih (Dewi
Y, 2007). Sehingga penulis dapat menyimpulkan bahwa sectio caesarea adalah
suatu tindakan operasi yang bertujuan untuk melahirkan bayi dengan jalan
pembukaan dinding perut.
Setelah Lembek
Sepusat 1000 gr 12,5 cm
plasenta lahir
8 minggu Normal 30 gr
(Hanifa, 2007).
2) Involusi tempat plasenta
Pada permulaan nifas bekas plasenta mengandung banyak pembuluh
darah besar yang tersumbat oleh trombus. Luka bekas implantasi plasenta
tidak meninggalkan parut karena dilepaskan dari dasarnya dengan
pertumbuhan endometrium baru dibawah permukaan luka. Endometrium ini
tumbuh dari pinggir luka dan juga sisa-sisa kelenjar pada dasar luka (Hanifa,
2007).
3) Perubahan pembuluh darah rahim
Dalam kehamilan, uterus mempunyai banyak pembuluh darah yang
besar, tetapi karena setelah persalinan tidak diperlukan lagi peredaran darah
yang banyak maka arteri harus mengecil lagi dalam masa nifas (Hanifa,
2007).
2) Prolaktin
Penurunan estrogen menyebabkan prolaktin yang disekresi oleh
glandula hipofise anterior bereaksi pada alveolus payudara dan
merangsang produksi susu. Pada wanita yang menyusui kadar prolaktin terus
tinggi dan pengeluaran FSH di ovarium ditekan. Pada wanita yang tidak
menyusui kadar prolaktin turun pada hari ke 14 sampai 21 post partum dan
penurunan ini mengakibatkan FSH disekresi kelenjar hipofise anterior untuk
bereaksi pada ovarium yang menyebabkan pengeluaran estrogen dan
progesteron dalam kadar normal, perkembangan normal folikel de graaf,
ovulasi dan menstruasi ((Hanifa, 2007; Mitayani, 2009).
3) Laktasi
Laktasi dapat diartikan dengan pembentukan dan pengeluaran air
susu ibu. Air susu ibu ini merupakan makanan pokok, makanan yang terbaik
dan bersifat alamiah bagi bayi yang disediakan oleh ibu yamg baru saja
melahirkan bayi akan tersedia makanan bagi bayinya dan ibunya sendiri.
Selama kehamilan hormon estrogen dan progestron merangsang
pertumbuhan kelenjar susu sedangkan progesteron merangsang
pertumbuhan saluran kelenjar , kedua hormon ini mengerem LTH. Setelah
plasenta lahir maka LTH dengan bebas dapat merangsang laktasi (Hanifa,
2007).
Lobus prosterior hypofise mengeluarkan oxtoxin yang merangsang
pengeluaran air susu. Pengeluaran air susu adalah reflek yang ditimbulkan
oleh rangsangan penghisapan puting susu oleh bayi. Rangsang ini menuju
ke hypofise dan menghasilkan oxitocin yang menyebabkan buah dada
mengeluarkan air susunya (Suherni, 2007).
Pada hari ke 3 postpartum, buah dada menjadi besar, keras dan nyeri.
Ini menandai permulaan sekresi air susu, dan kalau areola mammae dipijat,
keluarlah cairan puting dari puting susu.Air susu ibu kurang lebih
mengandung Protein 1-2 %, lemak 3-5 %, gula 6,5-8 %, garam 0,1 – 0,2 %
(Hacker, 2009).
Hal yang mempengaruhi susunan air susu adalah diit, gerak badan.
Banyaknya air susu sangat tergantung pada banyaknya cairan serta
makanan yang dikonsumsi ibu (Hanifa, 2007).
h. Tanda-tanda vital
Perubahan tanda-tanda vital pada massa nifas meliputi:
Parameter Penemuan normal Penemuan abnormal
Tanda- Tekanan darah < 140 / 90 mmHg, Tekanan darah > 140 / 90
tanda vital mungkin bisa naik dari tingkat disaat mmHg
persalinan 1 – 3 hari post partum.
Suhu tubuh < 38 0 C
Denyut nadi: 60-100 X / menit Suhu > 380 C
Denyut nadi: > 100 X / menit
(Ambarwati, 2008).
Vital Sign sebelum kelahiran bayi :
Suhu :
saat partus lebih 37,20C
sesudah partus naik 0,50C
12 jam pertama suhu kembali normal
Nadi :
60 – 80 x/mnt
·Segera setelah partus bradikardi
Tekanan darah :TD meningkat karena upaya keletihan dan persalinan, hal ini
akan normal kembali dalam waktu 1 jam (Bahiyatun, 2009).
Vital sign setelah kelahiran anak :
1) Temperatur : Selama 24 jam pertama mungkin kenaikan menjadi 380C
(100,40F) disebabkan oleh efek dehidrasi dari persalinan.
2) Kerja otot yang berlebihan selama kala II dan fluktuasi hormon setelah 24
jam wanita keluar dari febris.
3) Nadi : Nadi panjang dengan stroke volume dan cardiacc output. Nadi naik
pada jam pertama. Dalam 8 – 10 minggu setelah kelahiran anak, harus
turun ke rata-rata sebelum hamil.
4) Pernapasan : Pernapasan akan jatuh ke keadaan normal wanita sebelum
persalinan.
5) Tekanan darah : Tekanan darah berubah rendah semua, ortistatik
hipotensi adalah indikasi merasa pusing atau pusingtiba-tiba setelah
terbangun, dapat terjadi 48 jam pertama (Bahiyatun, 2009).
Jika pasien mengalaminya lebih dari 2 minggu, bisa jadi pasien mengalami
Post partum Depression. Apabila gejala diatas tidak disadari dan lama kelamaan
tekanan atau stres yang dirasakan semakin kuat atau semakin besar maka
penderita akan mengalami depresi pasca melahirkan yang berat (Nirwana, 2011).
Berikut adalah perbedaan gejala klinis dari Baby blue syndrome, Postpartum
Deppression dan Postpartum Psychotic
Tabel 1.1 Perbedaan Gejala Kinis dari Baby Blue Syndrome, Postpartum Deppression dan
Postpartum Psychotic
Baby Blue Syndrome Postpartum Deppression Postpartum Psychotic
Terjadi pada 30-75% ibu Terjadi pada 10-15% ibu Terjadi pada 0,1-0,2%
melahirkan melahirkan ibu melahirkan
Gangguan suasana hati Gangguan suasana hati Depresi dengan
& pikiran (Mood) & pikiran, dengan gangguan mood
Munculnya rasa sedih perasaan tertekan yang Khayalan yang kacau
Murung, gelisah, tidak merata (bayi cacat/ meninggal,
nyaman Mudah/sering menangis mengingkari kelahiran,
Kebingungan yang Hampir selalu sulit tidur menganggap dirinya
subjektif Terjadi antara 3-6 bulan belum menikah,
Menjadi mudah/ sering setelah melahirkan, perawan, terus
(Nirwana, 2011).
Tabel 1.2 Perbedaan antara Baby Blues Syndrome dengan Post Partum Depression
Karakteristik Baby Blues Syndrome Post Patum Depression
Insiden 30-75% pada ibu yang 10-15% pada ibu yang melahirkan
melahirkan
Onset 3-5 hari setelah melahirkan 3-6 bulan setelah melahirkan
Durasi Hari sampai minggu Minggu sampai bulanan jika tidak
mendapat perawatan
Stressor yang Tidak ada hubungan Ada terutama kurang nya dukungan
berhubungan
Pengaruh Sosial dan Tidak ada hubungan Ada hubungan yang kuat
Budaya
Riwayat Keluarga Tidak ada hubungan Ada hubungan yang kuat
Mood Disorder
Rasa Sedih ya ya
Mood Lability ya Sering pada awalnya kemudian
depresi secara bertahap
Anhedonia Tidak Sering
Gangguan tidur Kadang-kadang Sering
Keinginan untuk Tidak ada Kadang-kadang
bunuh diri
Keinginan untuk Jarang Sering
menyakiti bayi
Adanya Perasaan Tidak ada dan jika ada Sering dan biasanya berat
bersalah dan biasanya ringan
ketidakmampuan
(Murtiningsih, 2012).
b. Bagi bayi
1) Aspek psikologi
a) Sentuhan badan antara ibu dan bayi akan berpengaruh terhadap
perkembangan pskologi bayi selanjutnya, karena kehangatan
tubuh ibu merupakan stimulasi mental yang mutlak dibutuhkan
oleh bayi.
b) Bayi akan mendapatkan rasa aman dan terlindung, dan ini
merupakan dasar bagi terbentuknya rasa percaya pada diri anak
(Suherni, 2007).
2) Aspek fisik
a) Bayi segera mendapatkan colostrum atau ASI jolong yang dapat
memberikan kekebalan/antibodi
b) Bayi segera mendapatkan makanan sesuai pertumbuhannya
c) Kemungkinan terjadi infeksi nosokomial kecil
d) Bahaya aspirasi akibat susu botol dapat berkurang
e) Penyakit sariawan pada bayi dapat dihindari/dikurangi
f) Alergi terhadap susu buatan berkurang (Suherni, 2007).
Sasaran dan syarat
a. Bayi lahir dengan spontan, baik presentasi kepala atau bokong
b. Jika bayi lahir dengan tindakan maka rawat gabung dapat dilakukan
setelah bayi cukup sehat, reflek hisap baik, tidak ada tanda-tanda infeksi,
dsb.
c. Bayi yang lahir dengan Sectio Cesarea dengan anestesi umum, RG
dilakukan segera stelah ibu dan bayi sadar penuh (bayi tidak
ngantuk)misalnya 4-6 jam setelah operasi.
d. Bayi tidak asfiksia setelah 5 menit pertama (nilai apgar minimal 7)
e. Umur kehamilan 37 minggu atau lebih
f. Berat lahir 2000-2500 gram atau lebih
g. Tidak terdapat tanda-tanda infeksi intrapartum
h. Bayi dan ibu sehat (Suherni, 2007).
Kontra indikasi
Rawat gabung tidak dianjurkan pada keadaan :
a. Ibu
Penyakit jantung derajat III
Pasca eklamsi
Penyakit infeksi akut, TBC
Hepatitis, terinfeksi HIV, sitimegalovirus, herpes simplek
Karsinoma payudara
b. Bayi
Bayi kejang
Sakit berat pada jantung
Bayi yang memerlukan pengawasan intensif
Catat bawaan sehingga tidak mampu menyusu (Suherni, 2007).
Persyaratan rawat gabung yang ideal
a. Bayi
Ranjang bayi tersendiri yang mudah terjangkau dan dilihat oleh ibu
Bagi yang memerlukan tersedia rak bayi
Ukuran tempat tidur anak 40 x 60 cm
b. Ibu
Ukuran tempat tidur 90 x 200 cm
Tinggi 90 cm
c. Ruang
Ukuran ruang untuk satu tempat tidur 1,5 x 3 m
Ruang dekat dengan ruang petugas (bagi yang masih memerlukan
perawatan)
d. Sarana
Lemari pakaian
Tempat mandi bayi dan perlengkapannya
Tempat cuci tangan ibu
Setiap kamar mempunyai kamar mandi ibu sendiri
Ada sarana penghubung
Petunjuk/sarana perawatan payudara, bayi dan nifas, pemberian
makanan pada bayi dengan bahasa yang sederhana
Perlengkapan perawatan bayi
e. Petugas
- Rasio petugas dengan pasien 1 : 6
- Mempunyai kemampuan dan ketrampilan dalam pelaksanaan RG
(Suherni, 2007).
Model pengaturan ruangan rawat gabung
a. Satu kamar dengan satu ibu dan anaknya
b. Empat sampai lima orang ibu dalam 1 kamar dengan bayi pada kamar
yang lain bersebelahan dan bayi dapat diambil tanpa ibu harus
meninggalkan tempat tidurnya
c. Beberapa ibu dalam 1 kamar dan bayi dipisahkan dalam 1 ruangan kaca
yang kedap udara
d. Model dimana ibu dan bayi tidur di atas tempat tidur yang sama
e. Bayi di tempat tidur yang letaknya disamping ibu (Suherni, 2007).
3. Pemeriksaan Umum
Pada ibu nifas pemeriksaan umum yang perlu dilakukan antara lain
adalah kesadaran penderita, keluhan yang terjadi setelah persalinan.
4. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan khusus pada ibu nifas meliputi:
a. Fisik: tekanan darah, nadi dan suhu
b. Fundus uteri: tinggi fundus uteri, kontraksi uterus.
c. Payudara: puting susu, pembengkakan, pengeluaran ASI
d. Patrun lochia: Locia rubra, lochia sanginolenta, lochia serosa, lochia
alba
e. Luka jahitan episiotomi: Apakah baik atau terbuka, apakah ada tanda-
tanda infeksi (Mitayani, 2009).
5. Edukasi yang diberikan saat pulang
a. Diit
Masalah diit perlu diperhatikan karena dapat berpengaruh pada
pemulihan kesehatan ibu dan pengeluaran ASI. Makanan harus
mengandung gizi seimbang yaitu cukup kalori, protein, cairan, sayuran
dan buah-buahan (Mitayani, 2009).
b. Pakaian
Pakaian agak longgar terutama didaerah dada sehingga payudara
tidak tertekan. Daerah perut tidak perlu diikat terlalu kencang karena tidak
akan mempengaruhi involusi. Pakaian dalam sebaiknya yang menyerap,
sehingga lochia tidak menimbulkan iritasi pada daerah sekitarnya. Kasa
pembalut sebaiknya dibuang setiap saat terasa penuh dengan lochia,saat
buang air kecil ataupun setiap buang air besar (Mitayani, 2009).
c. Perawatan vulva
Pada tiap klien masa nifas dilakukan perawatan vulva dengan tujuan
untuk mencegah terjadinya infeksi di daerah vulva, perineum maupun
didalam uterus. Perawatan vulva dilakukan pada pagi dan sore hari
sebelum mandi, sesudah buang air kemih atau buang air besar dan bila
klien merasa tidak nyaman karena lochia berbau atau ada keluhan rasa
nyeri. Cara perawatan vulva adalah cuci tangan sebelum dan sesudah
melakukan perawatan luka, setelah BAK cebok ke arah depan dan setelah
BAB cebok kearah belakang, ganti pembalut stiap kali basah atau setelah
BAB atau BAK, setiap kali cebok memakai sabun dan luka bisa diberi
betadin (Mitayani, 2009).
d. Miksi
Kencing secara spontan sudah harus dapat dilakukan dalam 8 jam
post partum. Kadang kadang wanita sulit kencing, karena spincter uretra
mengalami tekanan oleh kepala janin dan spasme oleh iritasi musculus
spincter ani selama persalinan. Bila kandung kemih penuh dan wanita sulit
kencing sebaiknya dilakukan kateterisasi (Mitayani, 2009).
e. Defekasi
Buang air besar harus terjadi pada 2-3 hari post partum. Bila belum
terjadi dapat mengakibatkan obstipasi maka dapat diberikan obat laksans
per oral atau perektal atau bila belum berhasil lakukan klisma (Mitayani,
2009).
f. Perawatan Payudara
Perawatan payudara telah mulai sejak wanita hamil supaya puting
susu lemas, tidak keras dan kering, sebagai persiapan untuk menyusui
bayinya. Dianjurkan sekali supaya ibu mau menyusui bayinya karena
sangat berguna untuk kesehatan bayi.Dan segera setelah lahir ibu
sebaiknya menyusui bayinya karena dapat membantu proses involusi
serta colostrum yang berguna untuk kekebalan tubuh bayi (Mitayani,
2009).
g. Kembalinya Datang Bulan atau Menstruasi
Dengan memberi ASI kembalinya menstruasi sulit diperhitungkan dan
bersifat individu. Sebagian besar kembalinya menstruasi setelah 4-6
bulan (Mitayani, 2009).
h. Cuti Hamil dan Bersalin
Bagi wanita pekerja menurut undang-undang berhak mengambil cuti
hamil dan bersalin selama 3 bulan yaitu 1 bulan sebelum bersalin dan 2
bulan setelah melahirkan (Mitayani, 2009).
i. Mempersiapkan untuk Metode KB
Pemeriksaan post partum merupakan waktu yang tepat untuk
membicarakan metode KB untuk menjarangkan atau menghentikan
kehamilan. Oleh karena itu penggunaan metode KB dibutuhkan sebelum
haid pertama kembali untuk mencegah kehamilan baru. Pada umumnya
metode KB dapat dimulai 2 minggu setelah melahirkan (Mitayani, 2009)
Dalam sumber lain juga disebutkan beberapa tanda bahaya nifas, diantaranya:
1. Perdarahan Pervagina
a. perdarahan ≥ 500 cc pasca salin dalam 24 jam
b. setelah anak dan plasenta lahir
perkiraan pendarahan kadang bercampur amnion, urine, darah.
akibat kehilangan darah bervariasi anemi
perdarahan dapat terjadi lambat waspada terhadap shock
2. Infeksi Nifas
Semua peradangan yang disebabkan masuknya kuman ke dalam alat–alat genital pada
waktu persalinan dan nifas. Faktor predisposisi infeksi nifas:
partus lama
tindakan operasi persalinan
tertinggalnya plasenta, selaput ketuban, bekuan darah
pendarahan antepartum dan post partum
anemia
ibu hamil dengan infeksi (endogen)
manipulasi penolong (eksogen)
infeksi nosokomial
bakteri colli
3. Demam nifas / febris purpuralis
Kenaikan suhu tubuh ≥ 38 c selama 2 hari dan pada 10 hari pertama pp dengan
mengecualikan hari 1 (pengukuran suhu 4x / 24 jam oral/rektal). Faktor predisposisi: