Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

NY. M (29 TAHUN) P2002 AB000 DENGAN SECTIO CAESAREA ATAS INDIKASI PROM
DAN POST IUD

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi


Departemen Maternitas di Ruang 8 Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang

Oleh:

Inten Try Wahyuni


NIM. 135070201111029
KELOMPOK 2B

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
PREMATURE RUPTURE OF MEMBRANE
1. PENGERTIAN
Menurut Health Education and Training Antenatal Care (2013), ketuban pecah
dini (PROM) didefinisikan sebagai kebocoran spontan cairan ketuban dari kantung
ketuban. Cairan mengalir melalui pecah selaput janin, yang terjadi setelah 28 minggu
kehamilan dan setidaknya 1 jam sebelum awal persalinan. PROM dapat terjadi sebelum
atau setelah 40 minggu kehamilan, sehingga kata 'prematur' tidak berarti bahwa usia
kehamilan janin prematur.
PROM atau Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum
terdapat tanda-tanda persalinan mulai dan ditunggu satu jam belum inpartu. sebagian
ketuban pecah dini terjadi pada kehamilan aterm lebih dari 37 minggu sedangkan
kurang dari 36 minggu tidak terlalu banyak. (Manuaba, 2009)

2. KLASIFIKASI
 Berdasarkan usia kehamilan (Manjoer, 2001), dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
1. KPD pada usia kehamilan < 37 minggu
KPD pada preterm à pecahnya membrane chorio-amniotik sebelum tanda
persalinan atau disebut juga PPROM (premature PRELABOUR rupture of
membrane). Dengan insiden 2% kehamilan.
2. KPD pada usia kehamilan > 37 minggu
KPD pada aterm à pecahnya membrane chorio-amniotik sebelum tanda
persalinan atau disebut juga PROM (premature rupture of membrane). Dengan
insiden 6-19% kehamilan.
 Berdasarkan penyebabnya PROM dibagi menjadi :
1. PROM Spontan; terjadi karena lemahnya selaput ketuban atau kurang
terlindungi karena cervix terbuka (incompetent cervical)
2. PROM dengan penyebab sebelumnya; dapat terjadi karena adanya trauma
jatuh, coitus, hidramnion, infeksi, dll.

3. ETIOLOGI
1. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis)
Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana korion,
amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis merupakan
komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan dapat berlanjut menjadi sepsis
(Prawirohardjo, 2008).
Membrana khorioamnionitik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan
ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan sangat
rentan untuk pecah disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik. Grup B
streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan amnionitis. Selain itu
Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan Staphylococcusepidermidis adalah bakteri-
bakteri yang sering ditemukan pada cairan ketuban pada kehamilan preterm.
Bakteri-bakteri tersebut dapat melepaskan mediator inflamasi yang menyebabkan
kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dan pembukaan serviks,
dan pecahnya selaput ketuban (Varney, 2007).
2. Riwayat ketuban pecah dini
Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami ketuban
pecah dini kembali. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat ialah
akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga memicu
terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama pada pasien
risiko tinggi (Nugroho, 2010).
Wanita yang mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan atau menjelang
persalinan maka pada kehamilan berikutnya wanita yang telah mengalami ketuban
pecah dini akan lebih beresiko mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari pada
wanita yang tidak mengalami ketuban pecah dini sebelumnya, karena komposisi
membran yang menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen yang semakin
menurun pada kehamilan berikutnya. (Nugroho, 2010).
3. Tekanan intra uterin
Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus)
misalnya hidramnion dan gemeli. Pada kelahiran kembar sebelum 37 minggu sering
terjadi pelahiran preterm, sedangkan bila lebih dari 37 minggu lebih sering
mengalami ketuban pecah dini (Nugroho, 2010).
Perubahan pada volume cairan amnion diketahui berhubungan erat dengan
hasil akhir kehamilan yang kurang bagus. Baik karakteristik janin maupun ibu
dikaitkan dengan perubahan pada volume cairan amnion. Polihidramnion dapat
terjadi akibat kelainan kongenital, diabetes mellitus, janin besar (makrosomia),
kehamilan kembar, kelainan pada plasenta dan tali pusat dan penggunaan obat-
obatan (misalnya propiltiourasil). Kelainan kongenital yang sering menimbulkan
polihidramnion adalah defek tabung neural, obstruksi traktus gastrointestinal bagian
atas, dan kelainan kromosom (trisomi 21, 18, 8, 13) komplikasi yang sering terjadi
pada polihidramnion adalah malpresentasi janin, ketuban pecah dini, prolaps tali
pusat, persalinan pretem dan gangguan pernafasan pada ibu (Prawirohardjo, 2008).
4. Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia)
Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia), didasarkan
pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk mempertahankan kehamilan.
Inkompetensi serviks sering menyebabkan kehilangan kehamilan pada trimester
kedua. Kelainan ini dapat berhubungan dengan kelainan uterus yang lain seperti
septum uterus dan bikornis. Sebagian besar kasus merupakan akibat dari trauma
bedah pada serviks pada konisasi, produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi
berlebihan serviks pada terminasi kehamilan atau laserasi obstetrik (Prawirohardjo,
2008).
5. Kehamilan dengan janin kembar
Pada kehamilan kembar, evaluasi plasenta bukan hanya mencakup posisinya
tetapi juga korionisitas kedua janin. Pada banyak kasus adalah mungkin saja
menentukan apakah janin merupakan kembar monozigot atau dizigot. Selain itu,
dapat juga ditentukan apakah janin terdiri dari satu atau dua amnion. Upaya
membedakan ini diperlukan untuk memperbaiki resiko kehamilan. Pengawasan
pada wanita hamil kembar perlu ditingkatkan untuk mengevaluasi resiko persalinan
preterm. Gejala persalinan preterm harus ditinjau kembali dengan cermat setiap kali
melakukan kunjungan (Nugroho, 2010).
Wanita dengan kehamilan kembar beresiko tinggi mengalami ketuban pecah
dini juga preeklamsi. Hal ini biasanya disebabkan oleh peningkatan massa plasenta
dan produksi hormon. Oleh karena itu, akan sangat membantu jika ibu dan keluarga
dilibatkan dalam mengamati gejala yang berhubungan dengan preeklamsi dan
tanda-tanda ketuban pecah (Varney, 2007).
6. Defisiensi vitamin C
Vitamin C diperlukan untuk pembentukan dan pemeliharaan jaringan kolagen.
Selaput ketuban (yang dibentuk oleh jaringan kolagen) akan mempunyai elastisitas
yang berbeda tergantung kadar vitamin C dalam darah ibu.
7. Kelainan letak janin dalam rahim
Kelainan letak janin dalam rahim misalnya pada letak sunsang dan letak lintang,
karena tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul yang dapat
menghalangi tekanan terhadap membrane bagian bawah. (Triat, B. 2014)

4. EPIDEMIOLOGI
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2010, memperkirakan
angka kematian ibu lebih dari 300-400/100.000 kelahiran hidup, yang disebabkan oleh
perdarahan 28%, KPD 20%, eklampsia 12%, abortus 13%, partus lama 18% dan
penyebab lainnya 2%.
Menurut data Riskesdas 2007, dari sejumlah 217 kasus kematian perinatal,
96,8% ibu dan bayi perinatal terganggu kesehatannta ketika hamil. Penyakit yang
banyak dialami ibu hamil pada bayi baru lahir mati adalah hipertensi maternal 24%.
Sementara gangguan kesehatan ibu hamil dari bayi yang meninggal pada umur 0-6 hari
adalah ketuban pecah dini sebesar 23% dan hipertensi maternal 22%. (Riskesdas,
2007)
Insidensi KPD berkisar antara 8-10% dari semua kehamilan. Hal ini
menunjukkan, KPD lebih banyak terjadi pada kehamilan ang cukup bulan dari pada
yang kurang bulan, yaitu sekitar 95%, sedangkan pada kehamilan tidak cukup bulan/
KPD pada kehamilan preterm terjadi sekitar 34% semua kelahiran premature. (Harlyana,
20014)

5. FAKTOR RESIKO
 Menurut Nugroho (2010) :
1. Aktivitas Seksual
Hubungan seksual akan menyebabkan perubahan pada lingkungan mikro
vagina khususnya pada penularan seksual, yang mana dapat berakibat
terjadinya transmisi kuman seperti N.gonorrhoeae dan trichominas pada
saluran vaginalis. (Inu M, 2002)
2. Faktor Keturunan
Disebabkan karena kelainan genetic seperti pada sindrom trisomy, kelainan
pada kromosom 21,18, 8, 13 dan juga disebabkan karena ion Cu serum rendah
(kekurangan tembaga dapat menyebabkan pertumbuhan struktur abnormal),
defisiensi vitamin C yang berperan penting dalam mempertahankan integritas
jaringan kolagen penyusun amnion.
3. Riwayat PROM sebelumnya sebanyak dua kali atau lebih karena selaput
amnion pada kehamilan selanjutnya akan semakin tipis. Apalagi jika sudah
mempunyai riwayat PROM, selaput amnion akan lebih tipis dari kehamilan
tanpa riwayat PROM. Seseorang yang memiliki riwayat KPD sebelumnya
memiliki resiko 2-4 kali. Hal ini disebabkan karena adanya penurunan
kandungan kalogen dalam membran amnion sehingga beresiko mengalami
KPD baik secara aterm maupun preterm.
4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan BB ibu
 Kelebihan BB sebelum kehamilan
 Penambahan BB yang sedikit selama kehamilan
5. Pekerjaan dan aktivitas
Pola pekerjaan pada ibu hamil berpengaruh pada kebutuhan energi. Kerja fisik
pada saat hamil yang terlalu berat dengan lama kerja lebih dari 3 jam dapat
mengakibatkan kelelahan yang bisa menyebabkan lemahnya korion amnion.
6. Status atau frekuensi hubungan suami-istri.
Frekuensi koitus pada trimester 3 yang lebih dari 3 kali seminggu diyakini dapat
berperan pada terjadinya KPD. Hal ini berkaitan dengan kondisi orgasme yang
memicu kontraksi rahim karena adanya paparan terhadap prostaglandin di
dalam sperma (Tahir Suriani, 2012).
7. Paritas (melahirkan lebih dari sama dengan 5x)
Paritas terbagi menjadi primipara dan multipara. Primiparitas adalah seorang
wanita yang telah melahirkan bayi hidup atau mati untuk pertama kali.
Multiparitas adalah wanita yang telah melahirkan bayi hidup atau mati beberapa
kali (sampai 5 kali atau lebih) (Varney, 2007).
8. Usia ibu <20 th atau >35 th
Usia ibu yang ≤ 20 tahun, termasuk usia yang terlalu muda dengan keadaan
uterus yang kurang matur untuk melahirkan sehingga rentan mengalami
ketuban pecah dini. Sedangkan ibu dengan usia ≥ 35 tahun tergolong usia yang
terlalu tua untuk melahirkan khususnya pada ibu primi (tua) dan beresiko tinggi
mengalami ketuban pecah dini (Nugroho, 2010).
9. Kehamilan dengan janin kembar.
Evaluasi plasenta bukan hanya mencakup posisinya tetapi juga korionitasi
kedua janin. Dan dapat ditentukan dengan janin yang terdiri dari satu atau dua
amnion. Wanita dengan janin kembar beresiko kpd karena peningkatan
plasenta dan produksi hormon.
10. Anemia
Anemia pada kehamilan adalah anemia karena kekurangan zat besi. Jika
persediaan zat besi minimal, maka setiap kehamilan akan mengurangi
persediaan zat besi tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia. Pada kehamilan
relative terjadi anemia karena darah ibu hamil mengalami hemodelusi atau
pengenceran dengan peningkatan volume 30% sampai 40% yang puncaknya
pada kehamilan 32 sampai 34 minggu. Pada ibu hamil yang mengalami anemia
biasanya ditemukan ciri-ciri lemas, pucat, cepat lelah, mata berkunang-kunang.
Pemeriksaan darah dilakukan minimal dua kali selama kehamilanya itu pada
trimester pertama dan trimester ketiga. Dampak anemia pada janin antara lain
abortus, terjadi kematian intrauterin, prematuritas, berat badan lahir rendah,
cacat bawaan dan mudah infeksi. Pada ibu, saat kehamilan dapat
mengakibatkan abortus, persalinan prematuritas, ancaman dekompensasi
kordis dan ketuban pecah dini. Pada saat persalinan dapat mengakibatkan
gangguan his, retensioplasenta dan perdarahan post partum karena atonia uteri
(Manuaba, 2008).

6. PATOFISIOLOGI
(Terlampir)

7. MANIFESTASI KLINIS
 Menurut nugroho 2011:
1. Keluarnya cairan ketuban yang merembes melalui vagina.
2. Cairan vagina berbau amis dan tidak seperti bau amonia.
3. Demam/menggigil.
4. Bercak vagina yang banyak.
5. Denyut jantung janin berdetak cepat.
6. Nyeri pada perut berarti adanya infeksi
7. Pengurangan ukuran uterus (Saifuddin,2009)
 Menurut Mansjoer (1999), manifestasi klinis KPD adalah sebagai berikut :
1. Keluar air ketuban warna keruh jernih, kuning, hijau, atau kecoklatan sedikit
atau banyak
2. Dapat disertai dengan demam bila sudah terjadi infeksi
3. Janin mudah diraba
4. Pada pemeriksaan dalam selaput ketuban sudah tidak ada , diketuban sudah
kering
5. Inspekulo, tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak ada dan air
ketuban sudah kering
6. Usia kehamilan >20 Minggu
7. Bunyi jantung bisa tetap normal

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Fisik
a. Anamnesa :
Bisa menegakkan 90% dari diagnosa. Kadangkala cairan seperti urin dan
vaginal discharge bisa dianggap cairan amnion. Penderita merasa basah pada
vagina atau mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir.
b. Inspeksi :
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila
ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini
akan lebih jelas.
c. Palpasi :
Perut tegang dan nyeri tekan, fundus uteri lebih tinggi dari usia kehamilan
sebelumnya.
d. Auskultasi :
Denyut jantung janin dengan usia kehamilan 18-20minggu
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Inspekulo
Langkah pertama dalam mendiagnosa KPD karena pemeriksaan dalam seperti
vaginal toucher dapat meningkatkan resiko infeksi cairan . Cairan yang keluar
dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau, dan pH-nya. Yang dinilai :
1) Keadaan umum dari servix, juga dinilai dilatasi dan pendataran dari servix.
Dilihat juga dari prolaps tali pusat atau ekstremitas bayi. Bau dari amnion
yang khas juga diperhatikan
2) Pooling pada cairan amnion dari formiks posterior mendukung diagnosa
KPD. Melakukan perasat valsava atau menyuruh pasien batuk untuk
memudahkan melihat pooling.
3) Cairan amnion dikonfirmasikan dengan nitrazine test. Kertas nitrazine akan
berubah menjadi biru jika pH cairan > 6-6,5. Sekret vagina ibu hamil punya
pH 4-5, dengan kertas nitrazine tidak memberikan perubahan warna. Tes
nitrazine bisa memberikan positif palsu bila tersamarkan dengan cairan
seperti darah, semen, atau vaginitis seperti trichomoniasis.
4) Mikroskopis (tes pakis). Dilakukan pemeriksaan ini dari cairan yang diambil
dari formiks posterior. Cairan diswab kemudian dikeringkan di atas kelas
objek dan dilihat di bawah mikroskop. Gambaran ferning menandakan
cairan amnion.
5) Dilakukan kultur dari swab untuk Chlamydia, gonnorhea, dan grup B
Streptococcus.
b. Pemeriksaan Lab :
1) Pemeriksaaan alpha-fetoprotein (AFP). Konsentrasi meningkat dalam
cairan amnion tetapi tidak di semen dan urin.
2) Pemeriksaan darah lengkap dan kultur dari urinalisis
3) Tes pakis
4) Tes lakmus (nitrazine test)
a) Tes lakmus, jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru,
menunjukkan adanya air ketuban (alkalis).
b) Jika tes negatif (tidak ada perubahan warna kertas lakmus) maka
selaput membran tidak ruptur.
c) Jika hasil tes positif (terjadi perubahan warna kertas lakmus merah
menjadi biru) berarti ada ruptur selaput membran.
d) Jika hasil positif palsu (terdapat campuran urin dengan darah)
berartiada infek dan diberi antiseptik.
5) Mikroskopik (tespakis)
Dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering,
pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis.
6) Pemeriksaan air ketuban dengan tes leukosit esterase
Bila leukosit darah lebih dari 15.000/mm3 ,kemungkinan adanya infeksi.
(Septiana, R. 2014)
c. Pemeriksaan USG
Untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD
terlihat jumlah cairann ketuban yang sedikit. Oligohidramnion ditambah dengan
anamnesis dari pasien biasa membantu diagnosa tetapi bukan mendiagnosis
rupturnya membran fetal. Selain itu, dinilai Amniotic Fluid Index (AFI),
presentasi janin, berat janin, dan usia janin. USG dapat mengidentifikasikan
kehamilan ganda, janin yang tidak normal atau melokalisasi kantong cairan
amnion pada amniosentesis dan sering digunakan dalam mengevaluasi janin.
USG juga dapat untuk menegakkan diagnosa KPD.

d. Pemeriksaan Obstetri
Pemeriksaan palpasi untuk menentukan umur kehamilan dan mengetahui ada
tidaknya kontraksi uterus. Melakukan auskultasi DJJ untuk menilai apakah ada
gawat janin atau tidak.
e. Kardiotografi
Alat elektronik yang digunakan untuk mendeteksi gangguan yang berkaitan
dengan hipoksia janin yang secara tidak langsung, melalui penilaian pola DJJ
dalam hubungannya dengan adanya kontraksi ataupun aktivitas janin.
f. Mengukur DJJ
Normalnya 120-160x/menit, mulai bisa didengar saat usia kehamilan mulai 16
minggu.
1) >180 x/menit : takikardi berat
2) 160-180 x/menit : takikardi ringan
3) 100-119 x/menit : bradikardi ringan
4) 80-100 x/menit : bradikardi sedang
5) <80 x/menit : bradikardi berat

9. PENATALAKSANAAN
 Menurut Morgan (2009) penatalaksanaan Ketuban pecah prematur meliputi :
1. Pencegahan
a. Obati infeksi gonokokus, klamidia, dan vaginosis bakterial
b. Diskusikan pengaruh merokok selama kehamilan dan dukung untuk
mengurangi atau berhenti
c. Motivasi untuk menambah berat badan yang cukup selama hamil
d. Anjurkan pasangan menghentikan koitus pada trimester akhir bila ada
faktor predisposisi
e. Panduan  mengantisipasi: Jelaskan  kepada pasien yang memiliki riwayat
berikut ini saat prenatal bahwa mereka harus segera melapor bila ketuban
pecah.
2. Kondisi yang menyebabkan ketuban pecah dapat mengakibatkan prolaps tali
pusat :
a. Letak kepala selain verteks
b. Polihidramnion
c. Herpes aktif
d. Riwayat infeksi streptokus beta hemolitikus sebelumnya
3. Bila ketuban telah pecah :
a. Anjurkan pasien untuk ke rumah sakit atau klinik
b. Catat terjadinya ketuban pecah
1) Lakukan pengkajian, upayakan mengetahui waktu terjadinya pecah
ketuban
2) Bila robekan keuban tampak kasar :
a) Pasien posisi berbaring telentang, tekan fundus untuk melihat
adanya semburan cairan dari vagina
b) Basahi kapas asupan dengan cairan dan lakukan pulasan pada
slide untuk mengkaji ferning di bawah mikroskop
c) Sebagian cairan di usap kekertas Nitrazene.  Bila positif,
pertimbangkan uji diagnostik bila pasien sebelumnya tidak
melakukan hubungan seks, tidak ada perdarahan, dan tidak
dilakukan pemeriksaan pervagina menggunakan jeli    K-Y
3) Bila ketuban pecah dan tanda kemungkinan infeksi tidak jelas, lakukan
pemeriksaan spekulum steril
a) Kaji nilai Bishop servik
b) Tabel nilai Bishop

  0 1 2 3
Dilatasi 0 1-2 3-4 ≥5
Serviks (cm)
Penipisan (%) 0-30 40-50 60-70 >80
Stasiun -3 -2 -1 +1 atau +2
Konsistensi Keras Medium Lunak  
Posisi Posterior Ringan Anterior  
Keterangan : Nilai 4 dianggap induksi akan mendekati kegagalan.
Nilai 9 atau lebih dianggap positif bersalin dan kemungkinan hasil
induksi persalinan akan berhasil sekitar 80-90%.
c) Lakukan kultur serviks hanya bila ada tanda infeksi
d) Dapatkan spesimen cairan lain dengan lidi kapas steril yang
dipulaskan pada slide untuk mengkaji ferning dibawah mikroskop
4) Bila usia gestasi kurang dari 37 minggu atau pasien terjangkit herpes
Tipe 2, rujuk ke dokter
4. Penatalaksanaan Konservatif
a. Kebanyakan persalinan dimulai dalam 24-72 jam setelah ketuban pecah
b. Kemungkinan infeksi berkurang bila tidak ada alat yang dimasukkan ke
vagina, kecuali spekulum steril; jangan melakukan pemeriksaan vagina
c. Saat menunggu, tetap pantau pasien dengan ketat
1) Ukur suhu tubuh empat kali sehari; bila suhu meningkat signifikan
mencapai 38ºC, berikan 2 macam antibiotik dan pelahiran harus
diselesaikan
2) Observasi rabas vagina: Bau menyengat, purulen atau tampak
kekuningan menunjukkan adanya infeksi
3) Catat bila ada nyeri tekan dan iritabilitas uterus serta laporkan
perubahan apa pun
5. Penatalaksanaan Agresif
a. Jel prostaglandin atau Misoprostol (meskipun tidak disetujui 
pengunaannya) dapat diberikan setelah konsultasi dengan dokter
b. Mungkin dibutuhkan rakangkaian induksi Pitocin bila serviks tidak
berespons
c. Beberapa ahli menunggu 12 jam untuk terjadinya persalinan.  Bila tidak
ada tanda, mulai pemberian Pitocin
d. Berikan cairan per IV, pantau janin
e. Peningkatan risiko seksio sesaria bila induksi tidak efektif
f. Bila pengambilan keputusan bergantung pada kelyakan serviks untuk
diinduksi, kaji nilai Bishop setelah pemeriksaan spekulum.  Bila diputuskan
untuk menunggu persalinan, tidak ada lagi pemeriksaan yang dilakukan,
baik manipulasi dengan tangan maupun spekulum, sampai persalinan
dimulai atau induksi dimulai
g. Hitung darah lengkap bila ketuban pecah. Ulangi pemeriksaan pada hari
berikutnya sampai pelahiran atau lebih sering bila ada tanda infeksi
h. Lakukan NST setelah ketuban pecah; waspada adanya takikardia janin
yang merupakan salah satu tanda infeksi
i. Mulai induksi setelah konsultasi dengan dokter bila :
1) Suhu tubuh ibu meningkat signifikan
2) Terjadi takikardia janin
3) Lokia tampak keruh
4) Iritabilitas atau nyeri tekan uerus yang signifikan
5) Kultur vagina menunjukkan streptokus beta hemolitikus
6) Hitung darah lengkap menunjukkan kenaikan sel darah putih
6. Persalinan dari 24 jam setelah ketuban pecah
a. Persalinan spontan
1) Ukur suhu tubuh pasien setiap 2jam,berikan antibiotik bila ada demam
2) Anjurkan pemantauan pada internal janin
3) Beritahu dokter spesialis obstetrik dan sepesialis anak atau praktisi
perawat neonatus.
4) Lakukan kultur sesuai panduan
b. Induksi persalinan
1) Lakukan secara rutin setelah konsultasi ke dokter
2) Ukur suhu tubuh setiap 2jam sekali.
3) Pemberian antibiotik ada yang 1gram ampisilin per IV atau 1-2 gram
mefoxin per IV setiap 6 jam sebagai profilaksis.
4) Jika umur kehamilan 37 minggu, induksi dengan oksitosin
5) Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan servik, kemudian induksi.
Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea
6) Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam (Septiana,
R. 2014)

 Penatalaksanaan KPD menurut Manuaba (2008) tentang penatalaksanaan KPD


adalah :
1. Mempertahankan kehamilan sampai cukup bulan khususnya maturitas paru
sehingga mengurangi kejadian kegagalan perkembangan paru yang sehat.
2. Terjadi infeksi dalam rahim, yaitu korioamnionitis yang menjadi pemicu sepsis,
maningitis janin, dan persalinan prematuritas.
3. Dengan perkiraan janin sudah cukup besar dan persalinan diharapkan
berlangsung dalam waktu 72 jam dapat diberikan kortikosteroid, sehingga
kematangan paru janin dapat terjamin.
4. Pada umur kehamilan 24-32 minggu yang menyebabkan menunggu berat janin
cukup, perlu dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan, dengan
kemungkinan janin tidak dapat diselamatkan.
5. Menghadapi KPD, diperlukan penjelasan terhadap ibu dan keluarga sehingga
terdapat pengertian bahwa tindakan mendadak mungkin dilakukan dengan
pertimbangan untuk menyelamatkan ibu dan mungkin harus mengorbankan
janinnya.
6. Pemeriksaan yang penting dilakukan adalah USG untuk mengukur distansia
biparietal dan perlu melakukan aspirasi air ketuban untuk melakukan
pemeriksaan kematangan paru.
7. Waktu terminasi pada kehamilan aterm dapat dianjurkan selang waktu 6-24 jam
bila tidak terjadi his spontan.
10. KOMPLIKASI
 Komplikasi Ketuban Pecah Dini menurut Manuaba (2008) :
1. Mudah terjadinya infeksi intra uterin
2. Partus prematur
3. Prolaps bagian janin terutama tali pusat
 Komplikasi KPD atau PROM menurut Saiffudin (2006) :
1. Terhadap janin
Walaupun ibu belum menunjukkan gejala-gejala infeksi, tetapi janin
sudah terkena infeksi, karena infeksi intrauterin lebih dahulu terjadi (amnionitis,
vaskulitis) sebelum gejala pada ibu dirasakan. jadi akan meninggikan
morbiditas dan mortalitas perinatal. Beberapa komplikasi yang berhubungan
dengan KPD antara lain:
a. Infeksi intrauterin
b. Tali pusat menumbung
Ketika Ketuban ibu pcah, akibatnya adalah tali pusat menumbung dengan
bersamaan air ketuban. Tali pusat teraba keluar/ berada di samping dan
melewati bagian terendah janin didalam jalan lahir. Tali pusat dapat prolaps
ke dalam vagina atau bahkan di luar vagina setelah ketuban pecah
c. Kelahiran prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode
laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90 % terjadi
dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28 – 34
minggu 50 % persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26
minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu.
d. Amniotic Band Syndrome
2. Terhadap ibu
Karena jalan telah terbuka, maka dapat terjadi infeksi intrapartal. Selain
itu, juga dapat dijumpai infeksi puerpuralis (nifas), peritonitis, septikemia, dan dry-
labor. Ibu akan merasa lelah karena terbaring di tempat tidur, suhu badan naik,
nadi cepat dan muncul gejala infeksi. Hal-hal tersebut dapat meninggikan angka
kematian dan morbiditas pada ibu.
SECTIO CAESAREA

1. Pengertian
Terdapat beberapa pencetus sectio caesarea, antara lain:
a. Sectio caesarea merupakan prosedur bedah untuk pelahiran janin dengan insisi
melalui abdomen dan uterus (Liu, 2007).
b. Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui
suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan sayatan rahim dalam
keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Sarwono, 2005).
c. Sectio caesarea atau bedah sesar adalah sebuah bentuk melahirkan anak dengan
melakukan sebuah irisan pembedahan yang menembus abdomen seorang ibu
(laparotomi) dan uterus (hiskotomi) untuk mengeluarkan satu bayi atau lebih (Dewi
Y, 2007). Sehingga penulis dapat menyimpulkan bahwa sectio caesarea adalah
suatu tindakan operasi yang bertujuan untuk melahirkan bayi dengan jalan
pembukaan dinding perut.

2. Jenis-Jenis Sectio Caesarea


Ada dua jenis sayatan operasi yang dikenal yaitu:
a. Sayatan Melintang
Sayatan pembedahan dilakukan dibagian bawah rahim (SBR). Sayatan
melintang dimulai dari ujung atau pinggir selangkangan (simphysisis) di atas batas
rambut kemaluan sepanjang sekitar 10-14 cm. keuntunganya adalah parut pada
rahim kuat sehingga cukup kecil resiko menderita rupture uteri (robek rahim) di
kemudian hari. Hal ini karna pada masa nifas, segmen bawah rahim tidak banyak
mengalami kontraksi sehingga luka operasi dapat sembuh lebih sempurna (Kasdu,
2003).
b. Sayatan Memanjang (Bedah Caesar Klasik)
Meliputi sebuah pengirisan memanjang dibagian tengah yang memberikan
suatu ruang yang lebih besar untuk mengeluarkan bayi. Namun, jenis ini kini jarang
dilakukan karena jenis ini labil, rentan terhadap komplikasi (Dewi Y, 2007).

3. Indikasi Sectio Caesarea


Para ahli kandungan atau para penyaji perawatan yang lain menganjurkan sectio
caesarea apabila kelahiran melalui vagina mungkin membawa resiko pada ibu dan janin.
Indikasi untuk sectsio caesarea antara lain meliputi:
a. Indikasi Medis
Ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan yaitu:
1) Power
Yang memungkinkan dilakukan operasi caesar, misalnya daya mengejan
lemah, ibu berpenyakit jantung atau penyakit menahun lain yang
mempengaruhi tenaga.
2) Passanger
Diantaranya, anak terlalu besar, anak “mahal” dengan kelainan letak lintang,
primi gravida diatas 35 tahun dengan letak sungsang, anak tertekan terlalu
lama pada pintu atas panggul, dan anak menderita fetal distress syndrome
(denyut jantung janin kacau dan melemah).
3) Passage
Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan serius pada jalan
lahir atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang diduga bisa menular
ke anak, umpamanya herpes kelamin (herpes genitalis), condyloma lota
(kondiloma sifilitik yang lebar dan pipih), condyloma acuminata (penyakit infeksi
yang menimbulkan massa mirip kembang kol di kulit luar kelamin wanita),
hepatitis B dan hepatitis C.
(Dewi Y, 2007)
b. Indikasi Ibu
1) Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35 tahun,
memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi pada wanita dengan usia
40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang memiliki penyakit yang
beresiko, misalnya tekanan darah tinggi, penyakit jantung, kencing manis, dan
preeklamsia. Eklampsia (keracunan kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang
sehingga dokter memutuskan persalinan dengan sectio caesarea.
2) Tulang Panggul
Cephalopelvic Diproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu
tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu
tidak melahirkan secara alami. Tulang panggul sangat menentukan mulus
tidaknya proses persalinan.
3) Persalinan Sebelumnya dengan sectio caesarea
Sebenarnya, persalinan melalui bedah caesar tidak mempengaruhi
persalinan selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak. Apabila
memang ada indikasi yang mengharuskan dilakukanya tindakan pembedahan,
seperti bayi terlalu besar, panggul terlalu sempit, atau jalan lahir yang tidak mau
membuka, operasi bisa saja dilakukan.
4) Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku
sehingga tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan
bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit bernafas.
5) Kelainan Kontraksi Rahim
Jika kontraksi rahim lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate uterine
action) atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat melebar pada
proses persalinan, menyebabkan kepala bayi tidak terdorong, tidak dapat
melewati jalan lahir dengan lancar.
6) Ketuban Pecah Dini
Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi
harus segera dilahirkan. Kondisi ini membuat air ketuban merembes ke luar
sehingga tinggal sedikit atau habis. Air ketuban (amnion) adalah cairan yang
mengelilingi janin dalam rahim.
7) Rasa Takut Kesakitan
Umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami akan
mengalami proses rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit di
pinggang dan pangkal paha yang semakin kuat dan “menggigit”. Kondisi
tersebut karena keadaan yang pernah atau baru melahirkan merasa ketakutan,
khawatir, dan cemas menjalaninya. Hal ini bisa karena alasan secara psikologis
tidak tahan melahirkan dengan sakit. Kecemasan yang berlebihan juga akan
mengambat proses persalinan alami yang berlangsung.
(Kasdu, 2003)
c. Indikasi Janin
1) Ancaman Gawat Janin (Fetal Distress)
Detak jantung janin melambat, normalnya detak jantung janin berkisar 120-
160. Namun dengan CTG (cardiotography) detak jantung janin melemah,
lakukan segera sectio caesarea segara untuk menyelematkan janin.
2) Bayi Besar (makrosemia)
(Cendika, dkk. 2007).
3) Letak Sungsang
Letak yang demikian dapat menyebabkan poros janin tidak sesuai dengan arah
jalan lahir. Pada keadaan ini, letak kepala pada posisi yang satu dan bokong
pada posisi yang lain.
4) Faktor Plasenta
a) Plasenta Previa
Posisi plasenta terletak dibawah rahim dan menutupi sebagian atau selruh
jalan lahir.
b) Plasenta Lepas (Solution Placenta)
Kondisi ini merupakan keadaan plasenta yang lepas lebih cepat dari
dinding rahim sebelum waktunya. Persalinan dengan operasi dilakukan
untuk menolong janin segera lahir sebelum ia mengalami kekurangan
oksigen atau keracunan air ketuban.
c) Plasenta Accreta
Merupakan keadaan menempelnya plasenta di otot rahim. Pada umumnya
dialami ibu yang mengalami persalinan yang berulang kali, ibu berusia
rawan untuk hamil (di atas 35 tahun), dan ibu yang pernah operasi
(operasinya meninggalkan bekas yang menyebabkan menempelnya
plasenta.

5) Kelainan Tali Pusat


a) Prolapsus Tali Pusat (Tali Pusat Menumbung)
Keadaan penyembulan sebagian atau seluruh tali pusat. Pada keadaan ini,
tali pusat berada di depan atau di samping atau tali pusat sudah berada di
jalan lahir sebelum bayi.
b) Terlilit tali pusat
Lilitan tali pusat ke tubuh janin tidak selalu berbahaya. Selama tali pusat
tidak terjepit atau terpelintir maka aliran oksigen dan nutrisi dari plasenta ke
tubuh janin tetap aman.
(Kasdu, 2003)\

4. Prosedur Tindakan Sectio Caesarea


a. Izin Keluarga
Pihak rumah sakit memberikan surat yang harus ditanda tangani oleh keluarga,
yang isinya izin pelaksanaan operasi.
b. Pembiusan
Pembiusan dilkakukan dengan bius epidural atau spinal. Dengan cara ini ibu akan
tetap sadar tetapi ibu tidak dapat melihat proses operasi karena terhalang tirai.
c. Disterilkan
Bagian perut yang akan dibedah, disterilkan sehingga diharapkan tidak ada bakteri
yang masuk selama operasi.
d. Pemasangan Alat
Alat-alat pendukung seperti infus dan kateter dipasangkan. macam peralatan yang
dipasang disesuaikan dengan kondisi ibu.
e. Pembedahan
Setelah semua siap, dokter akan melakukan sayatan demi sayatan sampai
mencapai rahim dan kemudian selaput ketuban dipecahkan. Selanjutnya dokter
akan mengangkat bayi berdasarkan letaknya.
f. Mengambil Plasenta
Setelah bayi lahir, selanjutnya dokter akan mengambil plasenta.
g. Menjahit
Langkah terakhir adalah menjahit sayatan selapis demi selapis sehingga tetutup
semua.
(Juditha, dkk, 2009)
5. Fase Pembedahan
Ada tiga fase dalam tahap pembedahan, yaitu : a) Fase praoperatif dimulai ketika
keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhirketika pasien dikirim ke meja
operasi. b) Fase intraoperatif dimulai ketika pasien masuk atau dipindah kebagian atau
departemen bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. c) Fase
pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien ke ruang pemulihan dan berakhir
dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau rumah (Bare,et all, 2002).
POST PARTUM
A. DEFINISI
Periode postpartum adalah waktu penyembuhan dan perubahan, waktu kembali
pada keadaan tidak hamil, serta penyesuaian terhadap hadirnya anggota keluarga
baru. Masa nifas adalah masa dimulai beberapa jam sesudah lahirnya plasenta sampai
6 minggu setelah melahirkan (Ambarwati, 2008).
Periode postnatal mengacu pada waktu setelah melahirkan, dimana
beradaptasi fisiologi bayi dan risiko terhadap ibu perdarahan postpartum dan
morbiditas yang signifikan lainnya yang tertinggi. Periode postnatal meliputi 24 jam
pertama sejak lahir. Biasanya, pada akhir periode ini dikaitkan dengan pelaksanaan
intervensi seperti promosi kontrasepsi dan imunisasi bayi, meskipun beberapa metode
kontrasepsi, seperti metode amenorea laktasi, IUD, vasektomi dan sterilisasi
perempuan, harus didiskusikan bahkan sebelum melahirkan, dan beberapa imunisasi,
seperti yang terhadap hepatitis B dan tuberkulosis (BCG), dapat diberikan saat lahir
(Hacker, 2009).
Asuhan masa nifas diperlukan dalam periode ini karena merupakan masa kritis
baik ibu maupun bayinya. Diperkirakan 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi
setelah persalinan dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama. Masa
neonatus merupakan masa kritis bagi kehidupan bayi, 2/3 kematian bayi terjadi dalam
4 minggu setelah persalinan dan 60% kematian bbl terjadi dalam waktu 7 hari setelah
lahir. Dengan pemantauan dan asuhan pada ibu dan bayi pada masa nifas dapat
mencegah kematian dini (Ambarwati, 2008).
Asuhan keperawatan pada masa postpartum dibagi atas tiga periode, yaitu
(Mitayani, 2009):
1. Immediate postpartum, adalah masa 24 jam postpartum
2. Early postpartum, adalah masa pada minggu pertama postpartum
3. Late Postpartum, adalah masa pada minggu kedua sampai dengan minggu keenam
postpartum
Masa nifas (puerperium) adalah masa pulih kembali, mulai dari persalinan selesai
hingga alat-alat kandungan kembali seperti prahamil. Lama masa nifas yaitu 6-8
minggu. Nifas dibagi dalam tiga periode, yaitu:
1. Puerperium dini, yaitu kepulihan ketika ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan
2. Puerperium intermedial, yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genital
3. Remote puerperium, yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna,
terutama bila selama hami atau waktu persalinan mempunyai komplikasi. Waktu
untuk sehat sempurna mungkin beberapa minggu, bulan, atau tahun.
B. PERAWATAN DIRI IBU NIFAS
1) Perawatan vulva atau perineum
Perineum yang dilalui seorang bayi umumnya mengalami peregangan,
lebam, dan trauma. Akibat normalnya bisa terasa ringan, bisa juga tidak. Rasa
sakit pada perineum akan semakin parah jika perineum robek atau disayat
pisau bedah. Seperti semua luka baru, area episiotomy atau luka sayatan
membutuhkan waktu untuk sembuh selama 7-10 hari. Rasa nyeri saja selama
masa ini tidak menunjukkan adanya infeksi, kecuali jika nyeri sangat parah.
Tujuan perawatan vulva atau perineum adalah untuk menjaga
kebersihan dan mencegah terjadinya infeksi. Rasa nyeri dan tidak nyaman di
daerah perineum dapat diatasi dengan menggunakan kompres dingin pada
area perineum setiap 2 jam sekali selama 24 jam pertama sesudah
melahirkan. Kompres hangatm duduk di dalam air hangat atau menggunakan
lampu pemanas selama 20 menit, 3x sehari juga dapat digunakan untuk
meredakan ketidaknyamanan. Menghindari tekanan di area perineum
dengan berbaring miring dan menghindari posisi duduk atau berdiri yang lama
juga membantu mengatasi ketidaknyamanan perineum. Sering melakukan
latihan kegel sesudah melahirkan akan merangsang peredaran darah di
daerah perineum, mempercepat penyembuhan dan meningkatkan kebugaran
otot.
Menurut Danuatmaja (2003) cara melakukan perawatan perineum
atau vulva yaitu dengan mengganti pembalut yang bersih setiap 4-6 jam.
Setelah ibu selesai BAK atau BAB, ibu dapat mengalirkan atau membilas area
perineum dengan air hangat atau cairan antiseptic, kemudian
mengeringkannya dengan kain pembalut atau handuk dengan cara diteepuk-
tepuk tetap dari arah muka ke belakang.
2) Mobilisasi
Mobilisasi yang dilakukan sangat bervariasi tergantung pada
komplikasi persalinan, nifas, atau sembuhnya luka. Jika tidak ada kelainan,
mobilisasi dapat dilakukan sedini mungkin, yaitu 2 jam setelah persalinan
normal. Ini berguna untuk memperlancar sirkulasi darah dan mengeluarkan
cairan vagina (lochea). Mobilisasi haruslah dilakukan bertahap, yaitu dimulai
dengan gerakan miring ke kanan dank e kiri, lalu menggerakkan kaki.
Selanjutnya ibu dapat mencoba untuk duduk di tepi tempat tidur kemudian ibu
bisa turun dari ranjang.
3) Diet
Ibu dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan sehat seperti saat
hamil. Pedoman umum yang baik adalah 4 porsi setiap hari dari 4 kelompok
makanan dasr yaitu makanan harian, daging dan makanan yang mengandung
protein, buah dan sayuran, roti dan biji-bijian. Ibu yang menyusui perlu
mengkonsumsi protein, mineral dan cairan ekstra. Makanan ini juga bisa
diperoleh dengan susu rendah lemak dalam dietnya setiap hari. Ibu juga
dianjurkan untuk mengkonsumsi multivitamin dan suplemen zat besi.
Saat menyusui kebutuhan nutrisi meningkat 25% yaitu untuk produksi
ASi dan memenuhi kebutuhan cairan yang meningkat 3x dari biasanya.
Penambahan kalori pada ibu menyusui sebanyak 500 kkal tiap hari.
4) Eliminasi Urin
Kebanyakan wanita mengalami sulit BAK selama 24 jam pertama
setelah melahirkan. Hal ini terjadi karena kandung kemih mengalami trauma
atau lebam selama melahirkan akibat tertekan oleh janin sehingga ketika
sudah penuh tidak mampu untuk mengirim pesan agar mengosongkan isinya.
Nyeri pada perineum bisa menyebabkan rasa kejang pada uretra sehingga
BAK menjadi sulit. Edema perineum juga bisa mengganggu BAK.
Hal tersebut dapat diatasi dengan memperbanyak minum, bangun dari
tempat tidur dan berjalan segera setelah melahirkan akan membantu
mengosongkan kandung kemih. Tetapi sebaliknya, setelah seminggu
persalinan, umumnya wanita sering BAK dalam jumlah banyak. Ini terjadi
karena cairan tubuh yang berlebih akibat kehamilan mulai dikeluarkan. Hal ini
dapat diatasi dengan latihan kegel yang dapat membantu mengembalikan
kebugaran otot dan kendali terhadap aliran air kemih.
5) Defekasi
Menurut Mochtar (1998) pola defekasi atau BAB harus dilakukan 3-4
hari setelah melahirkan. Tetapi hal ini terkadang masih sulit dilakukan karena
kebanyakan penderita mengalami obstipasi setelah melahirkan. Hal ini
disebabkan karena sewaktu melahirkan alat pencernaan mendapat tekanan
yang menyebabkan kolon menjadi kosong, selain itu mempengaruhi peristaltic
usus. Fungsi defekasi dapat diatasi dengan makan makanan yang dapat
merangsang gerakan usus besar seperti buah dan sayuran. Gerakan usu juga
akan aktif dengan melakukan mobilisasi dini seperti bangun dari tempat tidur
ataupun jalan-jalan.
6) Perawatan Payudara
Untuk 24-72 jam pertama sesudah melahirkan, payudara akan
mengeluarkan kolostrum, yaitu suatu cairan kuning jernih yang merupakan
susu pertama untuk bayi. air susu yang lebih matang akan muncul antara hari
ke-2 sampai ke-5. Pada saat ini payudara akan membesar (penuh, keras,
panas, dan nyeri) yang dpaat menimbulkan kesulitan dalam menyusui.
Menyusui dengan interval waktu yang sering akan dapat mencegah
pembengkakan payudara atau membantu meredakannya.
Bagi ibu yang menyusui bayinya, perawatan putting susu merupakan
suatau hal yang amat penting. Payudara harus dibersihkan dengan teliti
setiap hari selama mandi dan sekali lagi ketika hendak menyusui. Hal ini akan
mengangkat kolostrum yang kering atau sisa susu dan membantu mencegah
akumulasi dan msuknya bakteri bak ke putting susu maupun ke mulut bayi.
7) Pemeriksaan setelah persalinan
Pemeriksaan fisik yang umum mencakup pemeriksaan panggul yang
dilakukan untuk menilai pemulihan. Pada kunjungan ini juga dilakukan
pemeriksaan umum (TD, nadi, keluhan, dsb). Keadaan umum (suhu badan,
selera makan, dsb). Payudara (ASI, putting susu), dinding perut, perineum,
kandung kemih, rectum, serta secret yang keliar, seperti lokchea, fluor albus
dan keadaan alat-alat kandungan.

C. TUJUAN PERAWATAN MASA NIFAS


Dalam masa nifas ini ibu memerlukan perawatan dan pengawasan yang dilakukan
selama ibu tinggal di rumah sakit maupun setelah nanti keluar dari rumah sakit.
Adapun tujuan dari perawatan masa nifas adalah:
1. Menjaga kesehatan ibu dan bayi baik fisik maupun psikologi.
2. Memulihkan kesehatan umum penderita
a. Menyediakan makanan sesuai kebutuhan
b. Mengatasi anemia
c. Mencegah infeksi dengan memberikan kebersihan dan sterilisasi
d. Mengembalikan kesehatan umum dengan pergerakan otot untuk memperlancar
peredaran darah
3. Melaksanakan skrining yang komprehensif, mendeteksi masalah, mengobati atau
merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayi.
4. Mencegah infeksi dan komplikasi
5. Memperlancar pembentukan air susu ibu (ASI)
Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan diri, nutrisi,
keluarga berencana, menyusui, pemberian imunisasi pada bayi dan perawatan
bayi sehat. Mengajarkan ibu untuk melaksanakan perawatan mandiri sampai masa
nifas selesai dan memelihara bayi dengan baik, sehingga bayi dapat mengalami
pertumbuhan dan perkembangan yang normal
6. Untuk mendapatkan kesehatan emosi (Bahiyatun, 2009).
D. KEBIJAKAN PROGRAM NASIONAL MASA NIFAS
Kebijakan program nasional pada masa nifas yaitu paling sedikit empat kali
melakukan kunjungan pada masa nifas, dengan tujuan untuk :
1. Menilai kondisi kesehatan ibu dan bayi.
2. Melakukan pencegahan terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya gangguan
kesehatan ibu nifas dan bayinya.
3. Mendeteksi adanya komplikasi atau masalah yang terjadi pada masa nifas.
4. Menangani komplikasi atau masalah yang timbul dan mengganggu kesehatan
ibu nifas maupun bayinya.
KUNJUNGAN WAKTU ASUHAN
KE-1 6-8 jam Mencegah perdarahan masa nifas oleh karena
postpartum atonia uteri.
Mendeteksi dan perawatan penyebab lain
perdarahan serta melakukan rujukan bila
perdarahan berlanjut.
Memberikan konseling pada ibu dan keluarga
tentang cara mencegah perdarahan yang
disebabkan atonia uteri.
Pemberian ASI awal.
Mengajarkan cara mempererat hubungan antara
ibu dan bayi baru lahir.
Menjaga bayi tetap sehat melalui pencegahan
hipotermi.
Setelah bidan melakukan pertolongan persalinan,
maka bidan harus menjaga ibu dan bayi untuk 2
jam pertama setelah kelahiran atau sampai
keadaan ibu dan bayi baru lahir dalam keadaan
baik.
KE-2 6 hari Memastikan involusi uterus barjalan dengan
postpartum normal, uterus berkontraksi dengan baik, tinggi
fundus uteri di bawah umbilikus, tidak ada
perdarahan abnormal.
Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi dan
perdarahan
Memastikan ibu mendapat istirahat yang cukup.
Memastikan ibu mendapat makanan yang bergizi
dan cukup cairan.
Memastikan ibu menyusui dengan baik dan benar
serta tidak ada tanda-tanda kesulitan menyusui.
Memberikan konseling tentang perawatan bayi
baru lahir
KE-3 2 minggu Asuhan pada 2 minggu post partum sama dengan
postpartum asuhan yang diberikan pada kunjungan 6 hari
post partum.
KE-4 6 minggu Menanyakan penyulit-penyulit yang dialami ibu
postpartum selama masa nifas.
Memberikan konseling KB secara dini.
(Suhermi, 2007).

E. PERUBAHAN FISIK PADA MASA NIFAS


Selama menjalani masa nifas, ibu mengalami perubahan yang bersifat fisiologis
yang meliputi perubahan fisik dan psikologik, yaitu:
1. Perubahan Fisik
a. Involusi
Involusi adalah perubahan yang merupakan proses kembalinya alat
kandungan atau uterus dan jalan lahir setelah bayi dilahirkan hingga
mencapai keadaan seperti sebelum hamil (Hacker, 2009).
Proses involusi terjadi karena adanya:
 Autolysis yaitu penghancuran jaringan otot-otot uterus yang tumbuh
karena adanya hiperplasi, dan jaringan otot yang membesar menjadi
lebih panjang sepuluh kali dan menjadi lima kali lebih tebal dari sewaktu
masa hamil akan susut kembali mencapai keadaan semula.
Penghancuran jaringan tersebut akan diserap oleh darah kemudian
dikeluarkan oleh ginjal yang menyebabkan ibu mengalami beser kencing
setelah melahirkan (Hanifa, 2007).
 Aktifitas otot-otot yaitu adanya kontrasi dan retraksi dari otot-otot
setelah anak lahir yang diperlukan untuk menjepit pembuluh darah yang
pecah karena adanya pelepasan plasenta dan berguna untuk
mengeluarkan isi uterus yang tidak berguna. Karena kontraksi dan
retraksi menyebabkan terganggunya peredaran darah uterus yang
mengakibatkan jaringan otot kurang zat yang diperlukan sehingga ukuran
jaringan otot menjadi lebih kecil (Hanifa, 2007).
 Ischemia yaitu kekurangan darah pada uterus yang menyebabkan atropi
pada jaringan otot uterus (Hanifa, 2007).
Involusi pada alat kandungan meliputi:
1) Uterus
Setelah plasenta lahir uterus merupakan alat yang keras, karena
kontraksi dan retraksi otot-ototnya. Perubahan uterus setelah
melahirkan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Involusi TFU Berat Diameter Bekas Keadaan
Uterus Melekat Cervix
Plasenta

Setelah Lembek
Sepusat 1000 gr 12,5 cm
plasenta lahir

Pertengahan Dapat dilalui 2


1 minggu 500 gr 7,5 cm
pusat symphisis jari
Dapat dimasuki
2 minggu Tak teraba 350 gr 5 cm
1 jari
Sebesar hamil 2
6 minggu 50 gr 2,5 cm
minggu

8 minggu Normal 30 gr

(Hanifa, 2007).
2) Involusi tempat plasenta
Pada permulaan nifas bekas plasenta mengandung banyak pembuluh
darah besar yang tersumbat oleh trombus. Luka bekas implantasi plasenta
tidak meninggalkan parut karena dilepaskan dari dasarnya dengan
pertumbuhan endometrium baru dibawah permukaan luka. Endometrium ini
tumbuh dari pinggir luka dan juga sisa-sisa kelenjar pada dasar luka (Hanifa,
2007).
3) Perubahan pembuluh darah rahim
Dalam kehamilan, uterus mempunyai banyak pembuluh darah yang
besar, tetapi karena setelah persalinan tidak diperlukan lagi peredaran darah
yang banyak maka arteri harus mengecil lagi dalam masa nifas (Hanifa,
2007).

4) Perubahan pada cervix dan vagina


Beberapa hari setelah persalinan ostium eksternum dapat dilalui oleh
2 jari, pada akhir minggu pertama dapat dilalui oleh  1 jari saja. Karena
hiperplasi ini dan karena karena retraksi dari cervix, robekan cervix jadi
sembuh. Vagina yang  sangat diregang waktu persalinan, lambat laun
mencapai ukuran yang normal. Pada minggu ke 3 post partum ruggae mulai
nampak kembali (Hanifa, 2007).

b. After pains/ Rasa sakit (meriang atau mules-mules)


Disebabkan koktraksi rahim biasanya berlangsung 3 – 4 hari pasca
persalinan. Perlu diberikan pengertian pada ibu mengenai hal ini dan bila terlalu
mengganggu analgesik (Hanifa, 2007).
c. Lochea
Lochea adalah cairan yang dikeluarkan dari uterus melalui vagina dalam
masa nifas. Lochea bersifat alkalis, jumlahnya lebih banyak dari darah
menstruasi. Lochea ini berbau anyir dalam keadaan normal, tetapi tidak
busuk.Pengeluaran lochea dapat dibagi berdasarkan jumlah dan warnanya yaitu
lochea rubra berwarna merah dan hitam terdiri dari sel desidua, verniks kaseosa,
rambut lanugo, sisa mekonium, sisa darah dan keluar mulai hari pertama sampai
hari ketiga (Hanifa, 2007; Hacker, 2009).
1) Lochea rubra (cruenta)
Berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel desidua, vernik
caseosa, lanugo, mekonium. Selama 2 hari pasca persalinan.
2) Lochea sanguinolenta
Berwarna merah kuning berisi darah dan lendir, hari 3–7 pasca persalinan.
3) Lochea serosa
Berwarna kuning cairan tidak berdarah lagi. Pada hari ke 2–4 pasca
persalinan.
4) Lochea alba
Cairan putih setelah 2 minggu.
5) Lochea purulenta
Terjadi infeksi keluar cairan seperti nanah, berbau busuk.
6) Lacheostatis
Lochea tidak lancar keluarnya.
d. Dinding perut dan peritonium
Setelah persalinan dinding perut longgar karena diregang begitu lama,
biasanya akan pulih dalam 6 minggu. Ligamen fascia dan diafragma pelvis yang
meregang pada waktu partus setelah bayi lahir berangsur angsur mengecil dan
pulih kembali.Tidak jarang uterus jatuh ke belakang menjadi retrofleksi karena
ligamentum rotundum jadi kendor. Untuk memulihkan kembali sebaiknya dengan
latihan-latihan pasca persalinan (Hanifa, 2007).
e. Sistem Kardiovaskular
Selama kehamilan secara normal volume darah untuk mengakomodasi
penambahan aliran darah yang diperlukan oleh placenta dan pembuluh darah
uterus. Penurunan dari estrogen mengakibatkan diuresis yang menyebabkan
volume plasma menurun secara cepat pada kondisi normal. Keadaan ini terjadi
pada 24 sampai 48 jam pertama setelah kelahiran. Selama ini klien mengalami
sering kencing. Penurunan progesteron membantu mengurangi retensi cairan
sehubungan dengan penambahan vaskularisasi jaringan selama kehamilan
(Hanifa, 2007).
f. Ginjal
Aktifitas ginjal bertambah pada masa nifas karena reduksi dari volume darah
dan ekskresi produk sampah dari autolysis. Puncak dari aktifitas ini terjadi pada
hari pertama post partum (Suhermi, 2007).
g. Sistem Hormonal
1) Oxitoxin
Oxitoxin disekresi oleh kelenjar hipofise posterior dan bereaksi pada
otot uterus dan jaringan payudara. Selama kala tiga persalinan aksi oxytoxin
menyebabkan pelepasan plasenta. Setelah itu oxytoxin beraksi untuk
kestabilan kontraksi uterus, memperkecil bekas tempat perlekatan plasenta
dan mencegah perdarahan. Pada wanita yang memilih untuk menyusui
bayinya, isapan bayi menstimulasi ekskresi oxytoxin diamna keadaan ini
membantu kelanjutan involusi uterus dan pengeluaran susu. Setelah placenta
lahir, sirkulasi HCG, estrogen, progesteron dan hormon laktogen placenta
menurun cepat, keadaan ini menyebabkan perubahan fisiologis pada ibu
nifas (Hanifa, 2007).

2) Prolaktin
Penurunan estrogen menyebabkan prolaktin yang disekresi oleh
glandula hipofise anterior bereaksi pada alveolus payudara dan
merangsang produksi susu. Pada wanita yang menyusui kadar prolaktin terus
tinggi dan pengeluaran FSH di ovarium ditekan. Pada wanita yang tidak
menyusui kadar prolaktin turun pada hari ke 14 sampai 21 post partum dan
penurunan ini mengakibatkan FSH disekresi kelenjar hipofise anterior untuk
bereaksi pada ovarium yang menyebabkan pengeluaran estrogen dan
progesteron dalam kadar normal, perkembangan normal folikel de graaf,
ovulasi dan menstruasi ((Hanifa, 2007; Mitayani, 2009).

3) Laktasi
Laktasi dapat diartikan dengan pembentukan dan pengeluaran air
susu ibu. Air susu ibu ini merupakan makanan pokok, makanan yang terbaik
dan bersifat alamiah bagi bayi yang disediakan oleh ibu yamg baru saja
melahirkan bayi akan tersedia makanan bagi bayinya dan ibunya sendiri.
Selama kehamilan hormon estrogen dan progestron merangsang
pertumbuhan kelenjar susu sedangkan progesteron merangsang
pertumbuhan saluran kelenjar , kedua hormon ini mengerem LTH. Setelah
plasenta lahir maka LTH dengan bebas dapat merangsang laktasi (Hanifa,
2007).
Lobus prosterior hypofise mengeluarkan oxtoxin yang merangsang
pengeluaran air susu. Pengeluaran air susu adalah reflek yang ditimbulkan
oleh rangsangan penghisapan puting susu oleh bayi. Rangsang ini menuju
ke hypofise dan menghasilkan oxitocin yang menyebabkan buah dada
mengeluarkan air susunya (Suherni, 2007).
Pada hari ke 3 postpartum, buah dada menjadi besar, keras dan nyeri.
Ini menandai permulaan sekresi air susu, dan kalau areola mammae dipijat,
keluarlah cairan puting dari puting susu.Air susu ibu kurang lebih
mengandung Protein 1-2 %, lemak 3-5 %, gula 6,5-8 %, garam 0,1 – 0,2 %
(Hacker, 2009).
Hal yang mempengaruhi susunan air susu adalah diit, gerak badan.
Banyaknya air susu sangat tergantung pada banyaknya cairan serta
makanan yang dikonsumsi ibu (Hanifa, 2007).

h. Tanda-tanda vital
Perubahan tanda-tanda vital pada massa nifas meliputi:
Parameter Penemuan normal Penemuan abnormal
Tanda- Tekanan darah < 140 / 90 mmHg, Tekanan darah > 140 / 90
tanda vital mungkin bisa naik dari tingkat disaat mmHg
persalinan 1 – 3 hari post partum.
Suhu tubuh < 38 0 C
Denyut nadi: 60-100 X / menit Suhu > 380 C
Denyut nadi: > 100 X / menit
(Ambarwati, 2008).
Vital Sign sebelum kelahiran bayi :
Suhu :
 saat partus lebih 37,20C
 sesudah partus naik 0,50C
 12 jam pertama suhu kembali normal
Nadi :
 60 – 80 x/mnt
 ·Segera setelah partus bradikardi
Tekanan darah :TD meningkat karena upaya keletihan dan persalinan, hal ini
akan normal kembali dalam waktu 1 jam (Bahiyatun, 2009).
Vital sign setelah kelahiran anak :
1) Temperatur : Selama 24 jam pertama mungkin kenaikan menjadi 380C
(100,40F) disebabkan oleh efek dehidrasi dari persalinan.
2) Kerja otot yang berlebihan selama kala II dan fluktuasi hormon setelah 24
jam wanita keluar dari febris.
3) Nadi : Nadi panjang dengan stroke volume dan cardiacc output. Nadi naik
pada jam pertama. Dalam 8 – 10 minggu setelah kelahiran anak, harus
turun ke rata-rata sebelum hamil.
4) Pernapasan : Pernapasan akan jatuh ke keadaan normal wanita sebelum
persalinan.
5) Tekanan darah : Tekanan darah berubah rendah semua, ortistatik
hipotensi adalah indikasi merasa pusing atau pusingtiba-tiba setelah
terbangun, dapat terjadi 48 jam pertama (Bahiyatun, 2009).

Penyimpangan dari kondisi dan penyebab masalah :


1) Diagnosa sepsis puerpuralis adalah jika kenaikan pada maternal suhu
menjadi 380C
2) Kecepatan rata-rata nadi adalah satu yang bertambah mungkin indikasi
hipovolemik akibat perdarahan.
3) Hipoventilasi mungkin mengikuti keadaan luar biasanya karena tingginya
sub arachnoid (spinal) blok.
4) Tekanan darah rendah mungkin karena refleksi dari hipovolemik sekunder
dari perdarahan (Suhermi, 2007).

F. PERUBAHAN PSIKOLOGIS PADA MASA NIFAS


Perubahan psikologi masa nifas terbagi menjadi dalam 3 tahap yaitu:
1. Periode Taking In
Periode ini terjadi setelah 1-2 hari dari persalinan. Dalam masa ini terjadi
interaksi dan kontak yang lama antara ayah, ibu dan bayi. Hal ini dapat
dikatakan sebagai psikis honey moon yang tidak memerlukan hal-hal yang
romantis, masing-masing saling memperhatikan bayinya dan menciptakan
hubungan yang baru.
2. Periode Taking Hold
Berlangsung pada hari ke – 3 sampai ke- 4 post partum. Ibu berusaha
bertanggung jawab terhadap bayinya dengan berusaha untuk menguasai
keterampilan perawatan bayi. Pada periode ini ibu berkosentrasi pada
pengontrolan fungsi tubuhnya, misalnya buang air kecil atau buang air
besar.
3. Periode Letting Go
Terjadi setelah ibu pulang ke rumah. Pada masa ini ibu mengambil
tanggung jawab terhadap bayi (Nirwana, 2011).
Baby Blues Syndrome
Pasca melahirkan adalah periode dimana ibu menjalani hari yang melelahkan.
Kelelahan ini terkait dengan keadaan sang bayi maupun perubahan kondisi fisik dan
psikis ibu, dan hal ini dapat memicu perasaan tertekan (stres). Banyak ibu baru
melahirkan mengalami depresi pasca persalinan atau lebih dikenal sebagai baby
blues syndrome (Murtiningsih, 2012).
Baby blues syndrome atau sering disebut juga dengan istilah maternity blues
atau post partum blues adalah gangguan emosi ringan yang biasanya terjadi dalam
kurun waktu 2 minggu atau 14 hari setelah ibu melahirkan. Banyak faktor yang bisa
menyebabkan baby blue syndrome, yaitu : dari ibu, bayi yang di lahirkan dan
lingkungan sekitar. Ketidakseimbangan hormonal, hormon thyroid, perubahan gaya
hidup juga dilaporkan sebagai faktor yang menyebabkan baby blue syndrome
(Nirwana, 2011).
Baby blues ditandai perasaan sedih, seperti menangis, perasaan kesepian
atu menolak bayi, cemas, bingung, lelah, merasa gagal dan tidak bisa tidur. Baby
blues relatif ringan dan biasanya berlangsung 2 minggu. Perbedaan dengan
syndrome of postpartum distress adalah pada frekuensi, intensitas dan lamanya
durasi gejala. Dalam postpartum depression, gejala yang lebih sering, lebih intens
dan lebih lama (Murtiningsih, 2012).
Seseorang terdiagnosis Baby Blues Syndrome apabila terlihat secara
psikologis kejiwaannya seperti di bawah ini.
a. Dipenuhi oleh perasaan kesedihan dan depresi disertai dengan menangis tanpa
sebab
b. Mudah kesal, gampang tersinggung dan tidak sabaran
c. Tidak memiliki tenaga atau sedikit saja
d. Cemas, merasa bersalah dan tidak berharga
e. Menjadi tidak tertarik dengan bayi anda atau menjadi terlalu memperhatikan
dan kuatir terhadap bayinya
f. Tidak percaya diri
g. Sulit beristirahat dengan tenang bias juga tidur lebih lama
h. Peningkatan berat badan yang disertai dengan makan berlebihan
i. Penurunan berat badan yang disertai tidak mau makan
j. Perasaan takut untuk menyakiti diri sendiri atau bayinya (Murtiningsih, 2012).

Jika pasien mengalaminya lebih dari 2 minggu, bisa jadi pasien mengalami
Post partum Depression. Apabila gejala diatas tidak disadari dan lama kelamaan
tekanan atau stres yang dirasakan semakin kuat atau semakin besar maka
penderita akan mengalami depresi pasca melahirkan yang berat (Nirwana, 2011).
Berikut adalah perbedaan gejala klinis dari Baby blue syndrome, Postpartum
Deppression dan Postpartum Psychotic

Tabel 1.1 Perbedaan Gejala Kinis dari Baby Blue Syndrome, Postpartum Deppression dan
Postpartum Psychotic
Baby Blue Syndrome Postpartum Deppression Postpartum Psychotic
 Terjadi pada 30-75% ibu  Terjadi pada 10-15% ibu  Terjadi pada 0,1-0,2%
melahirkan melahirkan ibu melahirkan
 Gangguan suasana hati  Gangguan suasana hati  Depresi dengan
& pikiran (Mood) & pikiran, dengan gangguan mood
 Munculnya rasa sedih perasaan tertekan yang  Khayalan yang kacau
 Murung, gelisah, tidak merata (bayi cacat/ meninggal,
nyaman  Mudah/sering menangis mengingkari kelahiran,
 Kebingungan yang  Hampir selalu sulit tidur menganggap dirinya
subjektif  Terjadi antara 3-6 bulan belum menikah,
 Menjadi mudah/ sering setelah melahirkan, perawan, terus

menangis biasanya 12 minggu menerus meragukan

 Kadang sulit tidur  Berlangsung selama keyakinan diri, mudah

 Terjadi 3-5 hari setelah beberapa bulan, bila terpengaruh,

melahirkan tidak mendapatkan memberontak)

 Berlangsung selama perawatan bisa  Mengeluh letih, tidak

beberapa hari sampai mencapai beberapa bisa tidur, gelisah,

beberapa minggu tahun menangis, emosi tidak

 Pemicu utama terjadi bila terkendali, curiga,


 Tanpa pemicu khusus
tidak mendapatkan bingung, bukan dirinya
 Tidak dipengaruhi
dukungan dari suami sendiri, kata-kata
kondisi sosial budaya
dan/atau anggota menyakitkan, obsesi
dan tingkat ekonomi
keluarga pada kesehatan bayi.
 Bisa terjadi pada orang
 Sangat dipengaruhi  Mengeluh tidak bisa
yang tidak pernah dan
kondisi sosial budaya berdiri, tidak bisa
berasal dari anggota
dan tingkat ekonomi berjalan/bergerak
keluarganya yang tidak
 Sangat erat  Terjadi beberapa hari,
pernah mengalami
hubungannya dengan rata-rata 2-3 minggu
penyimpangan mood
pengalaman setelah kelahiran,
 Tidak berpikir ingin
penyimpangan mood hampir selalu dalam
bunuh diri
yang pernah/sedang kurun 8 minggu
 Jarang ada yang berpikir
dialami. Bisa terjadi pada  50% berasal dari
ingin menyakiti sang
ibu yang anggota keluarga yang pernah
bayi
 Hampir tidak pernah keluarga lainnya pernah mengalami
merasa bersalah dan mengalami penyimpangan mood
tidak berdaya. penyimpangan mood.  Ingin bunuh diri atau
 Bisa kembali normal  Kadang berpikir ingin membunuh sang bayi.
dengan sendirinya bila bunuh diri. Bisa merasa ada suara-
dukungan dan bantuan  Sering berpikir ingin suara yang
anggota keluarga lain menyakiti sang bayi menyuruhnya bunuh diri
bisa membuat sang ibu  Sering merasa atau membunuh sang
baru tersebut tenang berlebihan merasa bayi
bersalah dan tidak  Dari populasi penderita,
berdaya 5% bunuh diri, 4 %
 Perlu mendapatkan membunuh bayinya,
bantuan dan treatment 67% mengalami
kejadian kedua kali
penyimpangan
emosional (affective
disorder) sepanjang
tahun
 Proses kelahiran
menjadi salah satu
ketegangan yang
berkembang menjadi
penyimpangan mood
yang hebat
 Harus mendapatkan
bantuan, pengawasan
dan treatment

(Nirwana, 2011).

Tabel 1.2 Perbedaan antara Baby Blues Syndrome dengan Post Partum Depression
Karakteristik Baby Blues Syndrome Post Patum Depression
Insiden 30-75% pada ibu yang 10-15% pada ibu yang melahirkan
melahirkan
Onset 3-5 hari setelah melahirkan 3-6 bulan setelah melahirkan
Durasi Hari sampai minggu Minggu sampai bulanan jika tidak
mendapat perawatan
Stressor yang Tidak ada hubungan Ada terutama kurang nya dukungan
berhubungan
Pengaruh Sosial dan Tidak ada hubungan Ada hubungan yang kuat
Budaya
Riwayat Keluarga Tidak ada hubungan Ada hubungan yang kuat
Mood Disorder
Rasa Sedih ya ya
Mood Lability ya Sering pada awalnya kemudian
depresi secara bertahap
Anhedonia Tidak Sering
Gangguan tidur Kadang-kadang Sering
Keinginan untuk Tidak ada Kadang-kadang
bunuh diri
Keinginan untuk Jarang Sering
menyakiti bayi
Adanya Perasaan Tidak ada dan jika ada Sering dan biasanya berat
bersalah dan biasanya ringan
ketidakmampuan
(Murtiningsih, 2012).

G. INTERVENSI PADA MASA NIFAS


Setelah melahirkan, ibu membutuhkan perawatan yang intensif untuk
pemulihan kondisinyasetelah proses persalinan yang melelahkan. Dimana perawatan
post partum meliputi:
1. Mobilisasi Dini
Karena lelah sehabis melahirkan, ibu harus istirahat tidur telentang
selama 8 jam pasca persalinan. Kemudian boleh miring kekanan kekiri untuk
mencegah terjadinya trombosis dan trombo emboli. Pada hari kedua
diperbolehkan duduk, hari ketiga jalan-jalan dan hari keempat atau kelima
sudah diperbolehkan pulang. Mobilisasi diatas memiliki variasi tergantung
pada komplikasi persalinan, nifas dan sembuhnya luka-luka (Ambarwati,
2008).
Keuntungan dari mobilisasi dini adalah melancarkan pengeluaran
lochia, mengurangi infeksi purperium, mempercepat involusi alat kandungan,
melancarkan fungsi alat gastrointestinal dan alat perkemihan, meningkatkan
kelancaran peredaran darah sehingga mempercepat fungsi ASI dan
pengeluaran sisa metabolisme (Ambarwati, 2008).
2. Rawat Gabung
Rawat gabung adalah suatu sistem perawatan ibu dan anak bersama-
sama pada tempat yang berdekatan sehingga memungkinkan sewaktu-waktu,
setiap saat ibu dapat menyusui anaknya. Rawat gabung adalah satu cara
perawatan dimana ibu dan bayi yang baru dilahirkan tidak dipisahkan,
melainkan ditempatkan dalam sebuah ruangan, kamar atau tempat bersama-
sama selama 24 jam penuh seharinya (Suherni, 2007).
Ada dua jenis rawat gabung :
a. RG kontinu : bayi tetap berada disamping ibu selama 24 jam
b. RG parsial : ibu dan bayi bersama - sama hanya dalam beberapa jam
seharinya. Misalnya pagi bersama ibu sementara malam hari dirawat di
kamar bayi. Rawat gabung parsial saat ini tidak dibenarkan dan tidak
dipakai lagi (Suherni, 2007).
Tujuan rawat gabung
a. Memberikan bantuan emosional
1) Ibu dapat memberikan kasi sayang sepenuhnya kepada bayi
2) Memberikan kesempatan kepada ibu dan keluarga untuk
mendapatkan pengalaman dalam merawat bayi
b. Penggunaan ASI
Agar bayi dapat sesegera mungkin mendapatkan kolostrum/ASI
Produksi ASI akan makin cepat dan banyak jika diberikan sesering
mungkin
c. Pencegahan infeksi
mencegah terjadinya infeksi silang
d. Pendidikan kesehatan
Dapat dimanfaatkan untuk memberikan pendidikan kesehatan pada ibu
e. Memberikan stimulasi mental dini tumbuh kembang pada bayi (Suherni,
2007).
Manfaat rawat gabung
a. Bagi ibu
1) Aspek psikologi
a) Antara ibu dan bayi akan segera terjalin proses lekat (early infant-
mother bonding) dan lebih akrab akibat sentuhan badan antara
ibu dan bayi
b) Dapat memberikan kesempatan pada ibu untuk belajar merawat
bayinya
c) Memberikan rasa percaya kepada ibu untuk merawat bayinya. Ibu
dapat memberikan ASI kapan saja bayi membutuhkan, sehingga
akan memberikan rasa kepuasan pada ibu bahwa ia dapat
berfungsi dengan baik sebagaimana seorang ibu memenuhi
kebituhan nutrisi bagi bayinya. Ibu juga akan merasa sangat
dibutuhkan oleh bayinya dan tidak dapat digantikan oleh orang
lain. Hal ini akan memperlancar produksi ASI (Suherni, 2007).
2) Aspek fisik
a) Involusi uteri akan terjadi dengan baik karena dengan menyusui
akan terjadi kontraksi rahim yang baik
b) Ibu dapat merawat sendiri bayinya sehingga dapat mempercepat
mobilisasi

b. Bagi bayi
1) Aspek psikologi
a) Sentuhan badan antara ibu dan bayi akan berpengaruh terhadap
perkembangan pskologi bayi selanjutnya, karena kehangatan
tubuh ibu merupakan stimulasi mental yang mutlak dibutuhkan
oleh bayi.
b) Bayi akan mendapatkan rasa aman dan terlindung, dan ini
merupakan dasar bagi terbentuknya rasa percaya pada diri anak
(Suherni, 2007).
2) Aspek fisik
a) Bayi segera mendapatkan colostrum atau ASI jolong yang dapat
memberikan kekebalan/antibodi
b) Bayi segera mendapatkan makanan sesuai pertumbuhannya
c) Kemungkinan terjadi infeksi nosokomial kecil
d) Bahaya aspirasi akibat susu botol dapat berkurang
e) Penyakit sariawan pada bayi dapat dihindari/dikurangi
f) Alergi terhadap susu buatan berkurang (Suherni, 2007).
Sasaran dan syarat
a. Bayi lahir dengan spontan, baik presentasi kepala atau bokong
b. Jika bayi lahir dengan tindakan maka rawat gabung dapat dilakukan
setelah bayi cukup sehat, reflek hisap baik, tidak ada tanda-tanda infeksi,
dsb.
c. Bayi yang lahir dengan Sectio Cesarea dengan anestesi umum, RG
dilakukan segera stelah ibu dan bayi sadar penuh (bayi tidak
ngantuk)misalnya 4-6 jam setelah operasi.
d. Bayi tidak asfiksia setelah 5 menit pertama (nilai apgar minimal 7)
e. Umur kehamilan 37 minggu atau lebih
f. Berat lahir 2000-2500 gram atau lebih
g. Tidak terdapat tanda-tanda infeksi intrapartum
h. Bayi dan ibu sehat (Suherni, 2007).

Kontra indikasi
Rawat gabung tidak dianjurkan pada keadaan :
a. Ibu
 Penyakit jantung derajat III
 Pasca eklamsi
 Penyakit infeksi akut, TBC
 Hepatitis, terinfeksi HIV, sitimegalovirus, herpes simplek
 Karsinoma payudara
b. Bayi
 Bayi kejang
 Sakit berat pada jantung
 Bayi yang memerlukan pengawasan intensif
 Catat bawaan sehingga tidak mampu menyusu (Suherni, 2007).
Persyaratan rawat gabung yang ideal
a. Bayi
 Ranjang bayi tersendiri yang mudah terjangkau dan dilihat oleh ibu
 Bagi yang memerlukan tersedia rak bayi
 Ukuran tempat tidur anak 40 x 60 cm
b. Ibu
 Ukuran tempat tidur 90 x 200 cm
 Tinggi 90 cm
c. Ruang
 Ukuran ruang untuk satu tempat tidur 1,5 x 3 m
 Ruang dekat dengan ruang petugas (bagi yang masih memerlukan
perawatan)
d. Sarana
 Lemari pakaian
 Tempat mandi bayi dan perlengkapannya
 Tempat cuci tangan ibu
 Setiap kamar mempunyai kamar mandi ibu sendiri
 Ada sarana penghubung
 Petunjuk/sarana perawatan payudara, bayi dan nifas, pemberian
makanan pada bayi dengan bahasa yang sederhana
 Perlengkapan perawatan bayi
e. Petugas
- Rasio petugas dengan pasien 1 : 6
- Mempunyai kemampuan dan ketrampilan dalam pelaksanaan RG
(Suherni, 2007).
Model pengaturan ruangan rawat gabung
a. Satu kamar dengan satu ibu dan anaknya
b. Empat sampai lima orang ibu dalam 1 kamar dengan bayi pada kamar
yang lain bersebelahan dan bayi dapat diambil tanpa ibu harus
meninggalkan tempat tidurnya
c. Beberapa ibu dalam 1 kamar dan bayi dipisahkan dalam 1 ruangan kaca
yang kedap udara
d. Model dimana ibu dan bayi tidur di atas tempat tidur yang sama
e. Bayi di tempat tidur yang letaknya disamping ibu (Suherni, 2007).

3. Pemeriksaan Umum
Pada ibu nifas pemeriksaan umum yang perlu dilakukan antara lain
adalah kesadaran penderita, keluhan yang terjadi setelah persalinan.
4. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan khusus pada ibu nifas meliputi:
a. Fisik: tekanan darah, nadi dan suhu
b. Fundus uteri: tinggi fundus uteri, kontraksi uterus.
c. Payudara: puting susu, pembengkakan, pengeluaran ASI
d. Patrun lochia: Locia rubra, lochia sanginolenta, lochia serosa, lochia
alba
e. Luka jahitan episiotomi: Apakah baik atau terbuka, apakah ada tanda-
tanda infeksi (Mitayani, 2009).
5. Edukasi yang diberikan saat pulang
a. Diit
Masalah diit perlu diperhatikan karena dapat berpengaruh pada
pemulihan kesehatan ibu dan pengeluaran ASI. Makanan harus
mengandung gizi seimbang yaitu cukup kalori, protein, cairan, sayuran
dan buah-buahan (Mitayani, 2009).
b. Pakaian
Pakaian agak longgar terutama didaerah dada sehingga payudara
tidak tertekan. Daerah perut tidak perlu diikat terlalu kencang karena tidak
akan mempengaruhi involusi. Pakaian dalam sebaiknya yang menyerap,
sehingga lochia tidak menimbulkan iritasi pada daerah sekitarnya. Kasa
pembalut sebaiknya dibuang setiap saat terasa penuh dengan lochia,saat
buang air kecil ataupun setiap buang air besar (Mitayani, 2009).
c. Perawatan vulva
Pada tiap klien masa nifas dilakukan perawatan vulva dengan tujuan
untuk mencegah terjadinya infeksi di daerah vulva, perineum maupun
didalam uterus. Perawatan vulva dilakukan pada pagi dan sore hari
sebelum mandi, sesudah buang air kemih atau buang air besar dan bila
klien merasa tidak nyaman karena lochia berbau atau ada keluhan rasa
nyeri. Cara perawatan vulva adalah cuci tangan sebelum dan sesudah
melakukan perawatan luka, setelah BAK cebok ke arah depan dan setelah
BAB cebok kearah belakang, ganti pembalut stiap kali basah atau setelah
BAB atau BAK, setiap kali cebok memakai sabun dan luka bisa diberi
betadin (Mitayani, 2009).
d. Miksi
Kencing secara spontan sudah harus dapat dilakukan dalam 8 jam
post partum. Kadang kadang wanita sulit kencing, karena spincter uretra
mengalami tekanan oleh kepala janin dan spasme oleh iritasi musculus
spincter ani selama persalinan. Bila kandung kemih penuh dan wanita sulit
kencing sebaiknya dilakukan kateterisasi (Mitayani, 2009).
e. Defekasi
Buang air besar harus terjadi pada 2-3 hari post partum. Bila belum
terjadi dapat mengakibatkan obstipasi maka dapat diberikan obat laksans
per oral atau perektal atau bila belum berhasil lakukan klisma (Mitayani,
2009).
f. Perawatan Payudara
Perawatan payudara telah mulai sejak wanita hamil supaya puting
susu lemas, tidak keras dan kering, sebagai persiapan untuk menyusui
bayinya. Dianjurkan sekali supaya ibu mau menyusui bayinya karena
sangat berguna untuk kesehatan bayi.Dan segera setelah lahir ibu
sebaiknya menyusui bayinya karena dapat membantu proses involusi
serta colostrum yang berguna untuk kekebalan tubuh bayi (Mitayani,
2009).
g. Kembalinya Datang Bulan atau Menstruasi
Dengan memberi ASI kembalinya menstruasi sulit diperhitungkan dan
bersifat individu. Sebagian besar kembalinya menstruasi setelah 4-6
bulan (Mitayani, 2009).
h. Cuti Hamil dan Bersalin
Bagi wanita pekerja menurut undang-undang berhak mengambil cuti
hamil dan bersalin selama 3 bulan yaitu 1 bulan sebelum bersalin dan 2
bulan setelah melahirkan (Mitayani, 2009).
i. Mempersiapkan untuk Metode KB
Pemeriksaan post partum merupakan waktu yang tepat untuk
membicarakan metode KB untuk menjarangkan atau menghentikan
kehamilan. Oleh karena itu penggunaan metode KB dibutuhkan sebelum
haid pertama kembali untuk mencegah kehamilan baru. Pada umumnya
metode KB dapat dimulai 2 minggu setelah melahirkan (Mitayani, 2009)

H. TANDA BAHAYA NIFAS


1. Perdarahan vagina yang keluar biasa atau tiba-tiba bertambah banyak
2. Pengeluaran vagina yang baunya menusuk
3. Rasa sakit di bagian bawah abdomen atau punggung
4. Sakit kepala yang terus menerus, nyeri ulu hati atau masalah pengelihatan
5. Pembengkakan di wajah atau di tangan
6. Demam, muntah, rasa sakit waktu buang air kecil (BAK)
7. Payudara yang berubah menjadi merah, panas, atau terasa sakit
8. Kehilangan nafsu makan dalam waktu yang lama
9. Rasa sakit, merah, lunak, atau pembengkakan di kaki
10. Merasa sangat sedih atau tidak mampu mengasuh bayinya atau dirinya sendiri

Dalam sumber lain juga disebutkan beberapa tanda bahaya nifas, diantaranya:
1. Perdarahan Pervagina
a. perdarahan ≥ 500 cc pasca salin dalam 24 jam
b. setelah anak dan plasenta lahir
 perkiraan pendarahan  kadang bercampur amnion, urine, darah.
 akibat kehilangan darah bervariasi  anemi
 perdarahan dapat terjadi lambat  waspada terhadap shock
2. Infeksi Nifas
Semua peradangan yang disebabkan masuknya kuman ke dalam alat–alat genital pada
waktu persalinan dan nifas. Faktor predisposisi infeksi nifas:
 partus lama
 tindakan operasi persalinan
 tertinggalnya plasenta, selaput ketuban, bekuan darah
 pendarahan antepartum dan post partum
 anemia
 ibu hamil dengan infeksi (endogen)
 manipulasi penolong (eksogen)
 infeksi nosokomial
 bakteri colli
3. Demam nifas / febris purpuralis
Kenaikan suhu tubuh ≥ 38 c selama 2 hari dan pada 10 hari pertama pp dengan
mengecualikan hari 1 (pengukuran suhu 4x / 24 jam oral/rektal). Faktor predisposisi:

 pertolongan persalinan kurang steril


 partus lama / kasep
 malnutrisi
 anemi
4. Rasa Sakit Waktu Berkemih
Gejala sistitis:
 kencing sakit
 nyeri tekan diatas simpisis
5. Mastitis
Peradangan pada mamae, kuman masuk melalui luka pada putting susu
 suhu > 38 c
 terjadi minggu ke 2 pp
 bengkak keras, kemerahan, nyeri tekan
6. Tromboflebitis / Flegmasia Alba Dolens
Inflamasi vena femoralis dengan pembentukan pembekuan darah
 odem pada paha bagian atas dan tungkai
 nyeri hebat pada lipat paha dan daerah paha serta pada betis
 suhu badan meningkat, menggigil.

Anda mungkin juga menyukai