Anda di halaman 1dari 33

Laporan kasus

Ketuban Pecah Dini

Disusun oleh:
dr. Surya Mitrasari

Pendamping:
dr. Novia., Sp.OG

Pembimbing:
dr. Dwinta Inayasari
dr. Linda Noviyanti

Program Internsip Dokter Indonesia


Rumah Sakit Umum Daerah
Kota Prabumulih
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
Ketuban Pecah Dini

Oleh:
dr. Surya Mitrasari

Telah diterima sebagai salah satu kegiatan ilmiah dalam menjalani program Dokter
Internsip di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Prabumulih Periode November 2018
– November 2019.

Prabumulih, September 2019


Pembimbing

dr. Novia., Sp.OG


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbilalamin, Allah telah izinkan penulis untuk menyelesaikan


penyusunan laporan kasus yang berjudul “Ketuban Pecah Dini” ini. Shalawat dan salam bagi
Rasulullah, keluarga, sahabat dan mereka yang mengikuti dan membelanya.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas presentasi program internsip di
RSUD Kota Prabumilih. Terimakasih banyak penulis ucapkan kepada dr. Novia., Sp.OG atas
bimbingan dan arahannya kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada dr. Dwinta Inayasari dan dr. Linda
Noviyanti selaku pembimbing dokter internsip di RSUD Prabumulih.
Semoga Allah SWT melimpahkan rahmatNya dan membalas kebaikan semua pihak
yang membantu dalam penyusunan laporan kasus ini. Penulis menerima kritik dan saran
untuk melengkapi segala kekurangan. Semoga bermanfaat.

Prabumulih, September 2019


Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II LAPORAN KASUS .............................................................................. 3
Identitas pasien ...................................................................................... 3
Anamnesis ............................................................................................. 3
Pemeriksaan Fisik.................................................................................. 4
Pemeriksaan Penunjang ......................................................................... 5
Diagnosis ............................................................................................... 6
Observasi .............................................................................................. 6
Diagnosis Keluar .................................................................................. 10
Prognosis .............................................................................................. 10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 11
Definisi ................................................................................................. 11
Epidemiologi ........................................................................................ 11
Etiologi ................................................................................................. 12
Patofisiologi.......................................................................................... 12
Klasifikasi...............................................................................................15
Manifestasi Klinis...................................................................................15
Penegakan Diagnosis ............................................................................ 15
Talaksana .............................................................................................. 16
Komplikasi ........................................................................................... 24
BAB IV ANALISIS KASUS .............................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 31
BAB I
PENDAHULUAN

Pada umumnya ketuban akan pecah saat inpartu, menjelang pembukaan lengkap, yang
selanjutnya diikuti oleh penekanan pada fleksus Frankenhausen, sehingga parturien akan
mengejan secara refleks. Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya
tanpa disertai tanda inpartu dan setelah satu jam tetap tidak diikuti dengan proses inpartu
sebagaimana mestinya. Sebagian besar pecahnya ketuban secara dini terjadi sekitar usia
kehamilan 37 minggu.
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban sebelum
terjadinya persalinan. Ketuban pecah dini dapat terjadi pada atau setelah usia gestasi 37
minggu dan disebut KPD aterm atau premature rupture of membranes (PROM) dan sebelum
usia gestasi 37 minggu atau KPD preterm atau pretermpremature rupture of membranes
(PPROM). Masalah KPD memerlukan perhatian yang lebih besar, karena prevalensinya yang
cukup besar dan cenderung meningkat. Kejadian KPD aterm terjadi pada sekitar 6,46-15,6%
kehamilan aterm dan PPROM terjadi pada terjadi pada sekitar 2-3% dari semua kehamilan
tunggal dan 7,4% dari kehamilan kembar. PPROM merupakan komplikasi pada sekitar 1/3
dari semua kelahiran prematur, yang telah meningkat sebanyak 38% sejak tahun 1981.
Ketuban pecah dini terjadi pada 6-19% kehamilan. Insiden ketuban pecah dini berkisar
antara 8-10 % pada kehamilan aterm atau cukup bulan, sedangkan pada kehamilan preterm
terjadi pada 1% kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi kelahiran dalam 24 jam
setelah ketuban pecah. Pada usia kehamilan 28-34 minggu 50% terjadi persalinan dalam 24
jam dan 2 pada usia kehamilan kurang dari 26 minggu pesalinan terjadi dalam 1 minggu.
DiIndonesia penyebab kematian ibu didominasi oleh lebih dar i 90% karena Trias
Klasik yaitu meliputi perdarahan 40-60%, preeklamsi/eklamsi 20-30% dan infeksi 20-30%.
Sedangkan penyebab kematian langsung adalah karena penyulit kehamilan, persalinan dan
nifas. Dari penyebab tersebut ditemukan sebanyak 65% karena Ketuban Pecah Dini (KPD)
yang banyak menimbulkan infeksi pada ibu dan bayi.
Di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan terjadi 20-30% wanita yang mengalami
Ketuban Pecah Dini (KPD). Kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD) berkisar antara 8-10%
dari semua persalinan. Hal yang menguntungkan dari angka kejadian Ketuban Pecah Dini
(KPD) yang dilaporkan, bahwa lebih banyak terjadi pada kehamilan cukup bulan yaitu
sekitar 66%, sedangkan pada kehamilan preterm terjadi sekitar 34%. 6-19% ibu mengalami
ketuban pecah dini secaras pontan sebelum persalinan dan 86% ibu yang mengalami ketuban
pecah dini menjalani persalinan spontan dalam waktu 24 jam.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas pasien


Nama : Maryani
Tanggal lahir : 01 April 1988
Umur : 31 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Prabumulih
Tanggal Masuk RS : 22 Agustus 2019
Tanggal Keluar RS : 23 Agustus 2019
No. Rekam Medis : 14.86.77

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 22 Agustus 2019 secara autoanamnese di poli
kebidanan dan kandungan RSUD Prabumulih.
Keluhan Utama: keluar air-air dari jalan lahir
Keluhan tambahan: -
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke poli dengan keluhan keluar air-air dari jalan lahir sejak ± 6 jam yang
lalu. Pasien mengaku hamil anak ketiga dan tidak pernah keguguran. Pasien mengeluh keluar
air-air dirasakan sedikit sedikit dan sekarang masih merembes. Keluar air-air yang dirasakan
pasien berwarna putih bening dan tidak berbau. Keluhan ini juga tidak disertai dengan adanya
mules. Keluhan adanya demam disangkal pasien. Adanya riwayat berhubungan badan,
trauma, keluar lendir ataupun darah dari jalan lahir disangkal pasien. Selama hamil pasien
rutin kontrol dengan Bidan maupun dari rumah sakit tiap bulannya. Pasien
masih merasakan pergerakan janin dan sempat di USG letak presentasi kepala. Pasien
mengaku tidak pernah mengalami hal seperti ini pada kehamilan sebelumnya. Riwayat
keputihan disangkal.

Riwayat obstetri : G3P2A0


HPHT : 20 November 2018
Menarke : 12 tahun
Riwayat menstruasi : Tidak teratur, lamanya 7 hari
Riwayat persalinan :
2009, bidan, psp, laki-laki, 3,5 kg, normal, ASI +
2012, bidan, psp, perempuan, 3,4 kg, normal, ASI +
Riwayat PNC : Bidan 3x, dokter 1x
Riwayat KB : Suntik 1 bulan, suntik 3 bulan, implan selama 3 tahun dan
dilepas pada bulan maret 2018
Riwayat menikah : 1 kali, lamanya 11 tahun
Riwayat penyakit dahulu: -
Riwayat penyakit keluarga: -

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan Umun : Baik
Kesadaran : Kompos mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 81 x/menit
Suhu : 36,5oC
Frekuensi Nafas : 22 x/menit

Pemeriksaan Sistematis
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Leher : KGB tidak teraba
Thorak : Jantung : BJI/II regular normal, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Perut cembung, gravid
Ekstermitas : Akral hangat, edema (-/-)

Status Obstetri
TFU : 3 jari bpx (31 cm)
Letak anak : letak kepala, punggung kanan
His :-
TBBA : 2945 gr
Auskultasi : DJJ 145 x/menit

Pemeriksaan Dalam
Vulva/Vagina : Tidak ada kelainan
Portio : Tebal, lunak
Pembukaan : 1 cm
Ketuban : (+) merembes
Letak rendah : Kepala
Lendir, darah :-

2.4. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Nilai Kritis
Hematologi lengkap
Jumlah Leukosit 9.4 103u/l 4.4 – 10.8 LL < 2 HH >50
Jumlah Eritrosit 3.77 106u/l 4.00 – 5.50
Hemoglobin 9.4 g/dL 10.8 – 15.6 LL < 6.6 HH >19.9
Hematokrit 28.1 % 35.0 – 47.0 LL < 21.0 HH >
65.0
MCV 74.5 fL 80.0 – 100.0
MCH 24.9 pg 26.0 – 34.0
MCHC 33.5 g/L 32.0 – 36.0
Jumlah Trombosit 294 103/ul 150 – 450 LL < 20 HH >1000
Hitung Jenis
Basofil 0 % 0–1
Eosinofil 2 % 2–4
Neutrofil 72 % 50 – 70
Limfosit 17 % 25 – 40
Monosit 9 % 2–8
Laju Endap Darah 66 mm/jam <20
Golongan Darah A
Rhesus Positif
Koagulasi
Masa Pembekuan (CT) 4’ Menit 2.0 – 6.0 >30
Masa Perdarahan (BT) 2’ Menit 1.0 – 3.0 >15
Kimia Darah
SGOT 11 U/I 8 – 40
SGPT 10 U/I 7 – 35
Glukosa Darah 70 mg/dl N 60-110 LL <45 HH >500
Sewaktu Pre DM 110-199
DM ≥200
Imunoserologi
Anti HIV Non Reaktif Non Reaktif
HBsAg (Rapid) Non Reaktif Non Reaktif

2.5. Diagnosis Masuk


G3P2A0 hamil 39 minggu belum inpartu jth presentasi kepala dengan ketuban pecah dini

2.6. Observasi
Tanggal Jam Observasi Tatalaksana Ket
22/8 12.00 S: keluar air-air dari jalan lahir (+), Observasi TTV, DJJ, HIS
gerakan janin (+) Misoprostol tab 50 mcg
O: Sens CM (pervaginam)
TD 110/70 mmHg Evaluasi 6 jam
HR 82x/i
RR 22 x/i
TFU 3 jari bpx, puka, preskep
DJJ 138x/i
His –
VT: portio lunak, bukaan 1 cm, ketuban
merembes
A: G3P2A0 hamil aterm inpartu jth
preskep d kpd
15.00 S: nyeri perut menjalar hingga ke
pinggang (+)
O: Sens CM
TD 110/70 mmHg
HR 84 x/i
RR 24 x/i
TFU 3 jari bpx, puka, preskep
DJJ 148x/i
His 2 x 20 ‘
VT: portio lunak, bukaan 2 cm, ketuban
(+)
A: G3P2A0 hamil aterm inpartu jth
preskep d kpd
17.00 S: nyeri perut (+), rasa ingin mengedan
(+)
O: Sens CM
TD 120/70 mmHg
HR 82x/i
RR 22 x/i
TFU 3 jari bpx, puka, preskep
DJJ 138x/i
His 3 x 20’
VT: portio lunak, bukaan 5 cm, ketuban
(+)
A: G3P2A0 hamil aterm inpartu jth
preskep d kpd
17.40 VT: bukaan lengkap, HIII Os dipimpin mengedan
A: G3P2A0 hamil aterm inpartu jth
preskep d kpd
18.10 Bayi lahir spontan IMD
BB bayi 3300 gram Inj vit K 1 mg IM
PB 50 cm
JK laki-laki
APGAR 9/10
Ketuban jernih, tali pusat segar
18.15 Plasenta lahir spontan, lengkap IVFD RL + oksitosin 1
Perineum ruptur amp 20 gtt/i makro
Kontraksi uterus baik Clyndamicin 2x300mg
Perdarahan dbn p.o
Parasetamol tablet
3x500mg p.o
SF 1x300 mg p.o
23/8 08.00 S: perdarahan dbn, ASI (+) Clyndamicin 2x300mg
O: Sens CM p.o
TD 110/70 mmHg Parasetamol tablet
HR 78 x/i 3x500mg p.o
RR 20 x/i SF 1x300 mg p.o
TFU 2 jari bawah umbilikus BLPL
A: P3A0 partus spontan dengan ketuban
pecah dini
Kala I
Partograf tdk melewati garis waspada

Kala II
Ketuban jernih, tali pusat segar
Episiotomi: -
Distosia bahu: -

Kala III
Lama kala III 5 menit
Pemberian oksitosin 10 u im 1x
Peregangan tali pusat terkendali +
Masase fundus +
Plasenta lahir lengkap +
Laserasi perineum + grade 2, penjahitan dengan anestesi
Atonia –

Kala IV
Jam Waktu Tekanan Nadi Suhu TFU Kontraksi Kandung Perdarahan
ke Darah Uterus Kemih
1 18.30 110/70 80 36,5 2 jari Baik Full N
bawah blast -
umbilikus
18.45 110/70 80 36,5 2 jari Baik Full N
bawah blast -
umbilikus
19.00 110/70 80 36,5 2 jari Baik Full N
bawah blast -
umbilikus
19.15 110/70 80 36,5 2 jari Baik Full N
bawah blast -
umbilikus
2 19.45 110/70 80 36,5 2 jari Baik Full N
bawah blast -
umbilikus
20.15 110/70 80 36,5 2 jari Baik Full N
bawah blast -
umbilikus

2.7 Diagnosis Keluar


P3A0 partus spontan dengan ketuban pecah dini. Lahir bayi laki-laki, tunggal hidup, BBL
3300 gr, PBL 50 cm

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya tanpa disertai tanda
inpartu dan setelah satu jam tetap tidak diikuti dengan proses inpartu sebagaimana mestinya.
Ketuban pecah dini dapat terjadi pada atau setelah usia gestasi 37 minggu dan disebut KPD
aterm atau premature rupture of membranes (PROM) dan sebelum usia gestasi 37 minggu
atau KPD preterm atau preterm premature rupture of membranes (PPROM).

3.2 Epidemiologi
Masalah KPD memerlukan perhatian yang lebih besar, karena prevalensinya yang
cukup besar dan cenderung meningkat. Kejadian KPD aterm terjadi pada sekitar 6,46-15,6%
kehamilan aterm dan PPROM terjadi pada terjadi pada sekitar 2-3% dari semua kehamilan
tunggal dan 7,4% dari kehamilan kembar. PPROM merupakan komplikasi pada sekitar 1/3
dari semua kelahiran prematur, yang telah meningkat sebanyak 38% sejak tahun 1981.
Ketuban pecah dini terjadi pada 6-19% kehamilan. Insiden ketuban pecah dini berkisar
antara 8-10 % pada kehamilan aterm atau cukup bulan, sedangkan pada kehamilan preterm
terjadi pada 1% kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi kelahiran dalam 24 jam
setelah ketuban pecah. Pada usia kehamilan 28-34 minggu 50% terjadi persalinan dalam 24
jam dan 2 pada usia kehamilan kurang dari 26 minggu pesalinan terjadi dalam 1 minggu.
DiIndonesia penyebab kematian ibu didominasi oleh lebih dari 90% karena Trias
Klasik yaitu meliputi perdarahan 40-60%, preeklamsi/eklamsi 20-30% dan infeksi 20-30%.
Sedangkan penyebab kematian langsung adalah karena penyulit kehamilan, persalinan dan
nifas. Dari penyebab tersebut ditemukan sebanyak 65% karena Ketuban Pecah Dini (KPD)
yang banyak menimbulkan infeksi pada ibu dan bayi.
Di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan terjadi 20-30% wanita yang mengalami
Ketuban Pecah Dini (KPD). Kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD) berkisar antara
8-10% dari semua persalinan. Hal yang menguntungkan dari angka kejadian Ketuban
Pecah Dini (KPD) yang dilaporkan, bahwa lebih banyak terjadi pada kehamilan cukup bulan
yaitu sekitar 66%, sedangkan pada kehamilan preterm terjadi sekitar 34%. 6-19% ibu
mengalami ketuban pecah dini secara spontan sebelum persalinan dan 86% ibu yang
mengalami ketuban pecah dini menjalani persalinan spontan dalam waktu 24 jam.

3.3 Etiologi
Sebab-sebab ketuban pecah dini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Faktor umum
a. Infeksi STD
b. Faktor sosial, perokok, peminum, keadaan sosial ekonomi rendah.
2. Faktor keturunan
a. Kelainan genetik
b. Faktor rendahnya vitamin C dan ion Cu dalam dalam serum.
3. Faktor obstetrik
a. Overdistensi uterus
i. Kehamilan kembar
ii. Hidramnion
b. Faktor obstetrik
i. Serviks inkompeten
ii. Serviks konisasi/menjadi pendek
iii. Terdapat sefalopelvik disproporsi:
1. Kepala janin belum masuk PAP
2. Kelainan letak janin, sehingga ketuban bagian terendah
langsung menerima tekanan intrauteri yang dominan.
3. Pendular abdomen
4. Grandemultipara
4. Tidak diketahui sebabnya

3.4 Patofisiologi
Volume air ketuban pada kehamilan cukup bulan adalah 1000 – 1500 cc. Air ketuban
berwarna putih kekeruhan, berbau khas amis, dan berasa manis, reaksinya agak alkalis atau
netral, berat jenis 1,008. Komposisinya terdiri atas 98 % air, sisanya albumin, urea, asam
urik, kreatinin, sel-sel epitel, rambut lanugo, verniks kaseosa dan garam anorganik. Kadar
protein kira-kira 2,6 gr % per liter terutama sebagai albumin.
Dijumpai lecitin spingomyelin dalam air ketuban amat berguna untuk mengetahui
apakah janin sudah punyai paru-paru yang matang. Sebab peningkatan kadar lecitin pertanda
bahwa permukaan paru-paru diliputi zat surfaktan. Ini merupakan syarat bagi paru-paru untuk
berkembang dan bernapas. Bila persalinan berjalan lama atau ada gawat janin atau pada letak
sungsang akan kita jumpai warna ketuban keruh kehijau-hijauan, karena telah bercampur
dengan mekonium. Asal air ketuban dari (1) kencing janin (fetal urin), (2) transudasi dari
darah ibu, (3) sekresi dari epitel amnion dan (4) asal campuran (mixed origin).
Fungsi air ketuban adalah:
1. Untuk proteksi janin.
2. Untuk mencegah perlengketan janin dengan amnion.
3. Agar janin dapat bergerak dengan bebas.
4. Regulasi terhadap panas dan perubahan suhu.
5. Mungkin untuk menambah suplai cairan janin, dengan cara ditelan atau diminum
yang kemudian dikeluarkan melalui kencing janin.
6. Meratakan tekanan intra – uterin dan membersihkan jalan lahir bila ketuban pecah.
7. Peredaran air ketuban dengan darah cukup lancar dan perputarannya cepat, kira-kira
350-500 cc.
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus dan
peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan
biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh.
Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi ekstraseluler matriks. Perubahan
struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan
menyebabkan selaput ketuban pecah. Faktro resiko untuk terjadinya ketuban pecah dini
adalah berkurangnya asam askorbik sebagai komponen kolagen serta kekurangan tembaga
dan asam askorbik yang berakibat pertumbuhan struktur abnormal karena antara lain
merokok. Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metalloproteinase (MMP) yang
dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease (TIMP-1).Mendekati waktu
persalinan, keseimbangan antara MMP dan TIMP-1 mengarah pada degradasi proteolitikdari
matriks ekstraseluler dan membrane janin.Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat
menjelang persalinan. Pada penyakit periodontitis dimana terdapat peningkatan MMP,
cenderung terjadi ketuban pecah dini.
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester ketiga, selaput
ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada hubungannya dengan
pembesaran uterus, kontraksi rahim dan geakan janin. Pada trisemster terkhir terjadi
perubahan biokimia pada selaput ketuban. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm
merupakan hal fisiologis. Ketuban pecah dini premature sering terjadi pada polihiramnion,
inkompetens serviks, dan solusio plasenta. Selain itu, faktor yang paling sering menyebabkan
ketuban pecah dini adalah factor eksternal misalnya infeksi.

Pecahnya selaput ketuban berkaitan dengan proses biokimia yang terjadi dalam
kolagen matriks ektraseluler amnion, kotion, dan apoptosis membrane janin. Membrane janin
dan desidua bereaksi terhadap stimuli seperti infeksi, dan peregangan selaput ketuban dengan
memproduksi mediator seperti prostaglandin, sitokinin, dan protein hormone yang
merangsang aktivitas “matriks degrading enzyme”.
Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblas, jaringan retikuler korion
dan trofoblas.Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan
inhibisi interleukin-1 (IL-1) dan prostaglandin. Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi
peningkatan aktifitas IL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga
terjadi depolimerisasi kolagen pada selaput korion / amnion, menyebabkan selaput ketuban
tipis, lemah dan mudah pecah spontan.
Patofisiologi pada infeksi intrapartum :
1. Ascending infection, pecahnya ketuban menyebabkan ada hubungan langsung antara
ruang intraamnion dengan dunia luar.
2. Infeksi intraamnion bisa terjadi langsung pada ruang amnion, atau dengan penjalaran
infeksi melalui dinding uterus, selaput janin, kemudian ke ruang intraamnion.
3. Mungkin juga jika ibu mengalami infeksi sistemik, infeksi intrauterin menjalar
melalui plasenta (sirkulasi fetomaternal).
4. Tindakan iatrogenik traumatik atau higiene buruk, misalnya pemeriksaan dalam yang
terlalu sering, dan sebagainya, predisposisi infeksi.
3.5 Klasifikasi
1. KPD Preterm
Ketuban pecah dini preterm adalah pecah ketuban yang terbukti dengan vaginal
pooling, tes nitrazin dan, tes fern atau IGFBP-1 (+) pada usia <37 minggu sebelum onset
persalinan. KPD sangat preterm adalah pecah ketuban saat umur kehamilan ibu antara 24
sampai kurang dari 34 minggu. KPD preterm saat umur kehamilan ibu antara 34 minggu
sampai kurang 37 minggu. Definisi preterm bervariasi pada berbagai kepustakaan, namun
yang paling diterima dan tersering digunakan adalah persalinan kurang dari 37 minggu.
2. KPD pada Kehamilan Aterm
Ketuban pecah dini/ premature rupture of membranes (PROM) adalah pecahnya
ketuban sebelum waktunya yang terbukti dengan vaginal pooling, tes nitrazin dan tes fern
(+), IGFBP-1 (+) pada usia kehamilan ≥ 37 minggu.

3.6 Manifestasi Klinis


1. Keluar air ketuban warna putih keruh, jernih, kuning, hijau atau kecoklatan sedikit-
sedikit atau sekaligus banyak
2. Dapat disertai demam jika sudah infeksi
3. Pada periksa dalam selaput ketuban tidak ada, air ketuban sudah kering
4. Inspekulo: tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak ada dan air ketuban
sudah kering

3.7 Penegakan Diagnosis


Diagnosis ketuban pecah dini didasarkan atas:
1. Riwayat pengeluaran cairan dalam jumlah besar secara mendadak atau sedikit demi
sedikit pervaginam.
2. Untuk penegakan diagnosis dapat diambil pemeriksaan:
a. Inspekulo untuk pengambilan cairan pada forniks posterior
i. Pemeriksaan lakmus yang akan berubah menjadi biru (sifat basa).
ii. Fern tes cairan amnion.
iii. Kemungkinan infeksi dengan memeriksa:
1. Beta streptokokus
2. Clamydia trachomatis
3. Neisseria gonorrheae
3. Pemeriksan ultrasonografi untuk mencari:
a. Amniotic fluid index (AFI)
b. Aktivitas janin
c. Pengukuran BB janin
d. Detak jantung janin
e. Kelainan kongenital atau deformitas
4. Membuktikan ketuban pecah dini dengan jalan:
a. Aspirasi air ketuban untuk dilakukan:
i. Kultur cairan amnion
ii. Pemeriksaan interleukin 6
iii. Alfa fetoprotein
Seluruhnya digunakan untuk membuktikan adanya kemungkinan
infeksi intrauterin.
b. Penyuntikan indigo karmin ke dalam amnion serta melihat dikeluarkannya
pervaginal.

3.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan kehamilan dengan komplikasi ketuban pecah dini perlu
mempertimbangkan morbiditas dan mortalitas immaturitas neonatal yang berhubungan
dengan persalinan dan risiko infeksi terhadap ibu dan janin.
Hal yang segera harus dilakukan dalam penanganan ketuban pecah dini adalah ;
1. Pastikan diagnosis
2. Tentukan umur kehamilan
3. Evaluasi ada tidaknya infeksi maternal dan janin
4. Apakah dalam keadaan inpartu, terdapat kegawatan janin.
Dalam menghadapi ketuban pecah dini, harus dipertimbangkan beberapa hal berikut ;
1) Fase laten :
a. Lamanya sejak ketuban pecah sampai terjadinya proses persalinan.
b. Semakin panjang fase laten, semakin besar kemungkinan terjadinya infeksi.
c. Mata rantai infeksi merupakan ascendens infeksi, antara lain:
i. Korioamnionitis:
a) Abdomen terasa tegang
b) Pemeriksaan laboratorium terjadi leukositosis
c) Protein c reaktif meningkat
d) Kultur cairan amnion positif.
ii. Desiduitis : infeksi yang terjadi pada lapisan desidua.
2) Perkiraan BB janin dapat ditentukan dengan pemeriksaan USG yang mempunyai
program untuk mengukur BB janin. Semakin BB janin semakin besar kemungkinan
kematian dan kesakitan sehingga tindakan terminasi memerlukan pertimbangan keluarga.
3) Presentasi janin intrauteri
Presentasi janin merupakan penunjukuntuk melakukan terminasi kehamilan.Pada letak
lintang atau bokong, harus dilakukan dengan jalan seksio sesarea.Pertimbangan
komplikasi dan resiko yang akan dihadapi janin dan maternal terhadap tindakan
terminasi.
4) Usia kehamilan
Makin muda kehamilan antar terminasi kehamilan banyak diperlukan waktu untuk
mempertahankan janin hingga lebih matur. Semakin lama menunggu, kemungkinan
infeksi akan semakin besar dan membahayakan janin serta situasi maternal.

Medika Mentosa
Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid dapat menekan morbiditas dan mortalitas perinatal pasca
ketuban pecah dini preterm. Kortikosteroid juga menekan risiko terjadinya sindrom distress
pernafasan (20–35,4%), hemoragi intraventrikular (7,5–15,9%), enterokolitis nekrotikans
(0,8–4,6%). Rekomendasi sebagian besar menggunakan betamethason (celestone)
intramuscular 12 mg setiap 24 jam selama 2 hari. National Institute of Health
merekomendasikan pemberian kortikosteroid sebelum masa gestasi 30 – 23 minggu, dengan
asumsi viabilitas fetus dan tidak ada infeksi intra amniotik. Pemberian kortikosteroid setelah
masa gestasi 34 minggu masih controversial dan tidak direkomendasikan kecuali ada bukti
immaturitas paru melalui pemeriksaan amniosentesis.

Antibiotik
Pemberian antibiotic pada pasien ketuban pecah dini dapat menekan infeksi neonatal
dan memperpanjang periode latensi. Sejumlah antibiotik yang digunakan meliputi ampisilin 2
gram dengan kombinasi eritromisin 250 mg setiap 6 jam selama 48 jam, diikuti pemberian
amoksisilin 250 mg dan eritromisin 333 mg setiap 8 jam untuk lima hari. Pasien yang
mendapat kombinasi ini dimungkinkan dapat mempertahankna kandungan selama 3 minggu
setelah penghentian pemberian antibiotik setelah 7 hari.
Tabel Penggunaan Antibiotik Bagi Menangani Ketuban Pecah Dini.
KETUBAN PECAH ≥ 37 MINGGU
INFEKSI NON-INFEKSI INFEKSI NON-INFEKSI
 Penisilin  Amoksilin + Eritromisin  Penisilin  Lahirkan bayi
 Gentamisin untuk 7 hari  Gentamisin  Berikan penisilin atau
 Metronidazol  Steroid untuk  Metronidazol ampisilin
 Lahirkan bayi pematangan paru  Lahirkan bayi

Antibiotik setelah persalinan


PROFILAKSIS INFEKSI NON-INFEKSI
Stop antibiotik Lanjutkan untuk 24-48 jam Tidak perlu antibiotik
setelah bebas panas

Agen Tokolitik
Pemberian agent tokolitik diharapkan dapat memperpanjang periode latensi namun
tidak memperbaiki luaran neonatal. Tidak banyak data yang tersedia mengenai pemakaian
agen tokolitik untuk ketuban pecah dini. Pemberian agen tokolitik jangka panjang tidak
diperkenankan dan hingga kini masih menunggu hasil penelitian lebih jauh.

Tatalaksana Ketuban Pecah Dini


Kemungkinan tindakan yang dapat dilakukan pada ketuban pecah dini :
Konservatif
Tirah baring untuk mengurangi keluarnya air ketuban sehingga masa kehamilan dapat
diperpanjang.Tirah baring ini juga dapat dikombinasikan dengan pemberian antibiotic
sebagai profilaksis (mencegah infeksi). Antibiotic yang dianjurkan :
1. Ampicillin (untuk infeksi Streptococcus β ) : 4 x 500 mg atau eritromicin bila tidak
tahan ampicillin dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari.
2. Eritromisin dosis tinggi (untuk infeksi Clamydia trachomatis, ureoplasma, dan
lainnya) .
Bahaya menunggu terlalu lama adalah kemungkinan infeksi semakin meningkat sehingga
terpaksa harus dilakukan terminasi.
Tatalaksana aktif
Dilakukan untuk memperpanjang usia kehamilan dengan pemberian kombinasi :
1) Kortikosteroid untuk pematangan paru (Betametazon IM 12 mg 24 jam atau
deksametazon IM 6 mg 12 jam selama 2 hari)
2) Tokolitik untuk mengurangi atau menghambat kontraksi uterus, dapat diberikan :
a. Β – Sympathomimetic : Ritodrine
b. Magnesium sulfat
c. Indometacin
d. Nifedipine : Epilate
e. Atosiban : Tractocile
3) Antibiotic untuk profilaksis infeksi (mengurangi peranan infeksi sebagai pemicu
terjadinya proses persalinan)
Tindakan tatalaksana aktif juga tidak terlalu banyak meningkatkan maturitas janin dan
paru. Dalam keadaan terpaksa harus dilakukan terminasi kehamilan untuk menyelamatkan
janin dan maternal.
Dalam menunda persalinan ini, ada lima kriteria yang dapat dipertimbangkan :
a. Usia kehamilan <26 minggu. Sulit mempertahankan kehamilan sampai aterm atau
sampai usia kehamilan sekitar 34 minggu. Bahaya infeksi dan oligohiramnion akan
menimbulkan masalah pada janin. Bayi dengan usia kehamilan kurang dari 26 minggu
sulit untuk hidup dan beradaptasi di luar kandungan.
b. Usia kehamilan 26-31 minggu. Persoalan tentang sikap dan komplikasi masih sama
dengan usia kandungan <26 minggu. Namun pada rumah sakit yang sudah maju,
dimungkinkan adanya perawatan intensif neonatus. Pertolongan bayi dengan bera
t<2.000 gram dianjurkan dengan seksio sesarea.
c. Usia kehamilan 31-33 minggu. Dilakukan amniosintesis untuk menetukan
kematangan paru, atau test busa (bubble test). Memperhatikan kemungkinan infeksi
intrauteri. Bayi dengan berat >2.000 gram sangat mungkin ditolong.
d. Usia kehamilan 34-36 minggu. BB janin sangat baik sehingga dapat dilakukan induksi
persalinan atau seksio sesarea.
e. Usia kehamilan >36 minggu. Sudah dianggap aterm sehingga dapat hidup diluar
kandungan dan selamat. Kehamilan pada usia ini dapat di induksi dengan oksitosin.
Bila gagal seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 25 – 50 µg intravaginal
setiap 6 jam maksimal 4 kali. Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotic dosis
tinggi dan persalinan diakhiri.
1) Bila pembukaan/skor pelviks < 5, lakukan pematangan serviks, kemudian
induksi. Jika tidak berhasi lakhiri persalinan dengan seksio sesarea.
2) Bila pembukaan/skor pelviks > 5, induksi persalinan.

Tatalaksana agresif
Tidakan agresif dilakukan bila ada indikasi vital sehingga tidak dapat ditunda karena
mengancam kehidupan janin atau maternal. Indikasi vital yang dimaksudkan yaitu :
a. Infeksi intrauteri
b. Solution plasenta
c. Gawat janin
d. Prolaps tali pusat
e. Evaluasi detak janin dengan KTG menunjukkan hasil gawat janin atau redup
f. BB janin cukup viable untuk beradaptasi di luar kandungan.
Pemilihan ketiga sikap diatas sangat sulit bila pada ketuban pecah dini, janin masih
premature. Keadaan janin yang premature akan menghadapi berbagai kendala umum akibat
ketidakmampuannya beradaptasi dengan kehidupan diluar kandungan. Hal ini diakibatkan
organ vital yang belum siap untuk menghadpi situasi yang sangat berbeda dengan keadaan
intrauteri sehingga menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

Penanganan Ketuban Pecah di Rumah


a. Apabila terdapat rembesan atau aliran cairan dari vagina, segera hubungi dokter atau
petugas kesehatan dan bersiaplah untuk ke RumahSakit
b. Gunakan pembalut wanita (jangan tampon) untuk penyerapan air yang keluar
c. Daerah vagina sebaiknya sebersih mungkin untuk mencegah infeksi, jangan
berhubungan seksual atau mandi berendam
d. Selalu membersihkan dari arah depan kebelakang untuk menghindari infeksi dari
dubur
e. Jangan coba melakukan pemeriksaan dalam sendiri

Skema di bawah menunjukkan tatalaksana untuk Ketuban Pecah Dini Prematur dan Aterm.
Dikemukaan bahwa kejadian ketuban pecah dini sekitar 5-8%. Lima persen diantaranya
segera diikuti oleh persalinan dalam 5-6 jam, sekitar 95% diikuti persalinan dalam 72-95 jam
dan selebihnya memerlukan tindakan koservatif atau aktif dengan menginduksi persalinan
atau operatif.
Persoalan ketuban pecah dini yang dihadapi yaitu jika terjadi pada prematuritas
sehingga menyulitkan kita untuk mengambil tindakan karena keadaan janin yang prematur,
yang dapat menyebabkan angka meorbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Sekalipun terdapat upaya untuk melakukan tindakan konservatif, yang dapat menunda
persalinan, tetapi jumlahnya hanya sekitar 10%, selebihnya akan membahayakan janin dan
menimbulkan komplikasi maternal.

3.9 Komplikasi
Komplikasi maternal dan perinatal
Komplikasi Bentuk Keterangan
Maternal 1. Antepartum 1. Sepsis jarang terjadi karena
a. Korioamnionitis 30-60% pemberian antibiotic dan
b. Solutio placenta resusitasi
2. Intrapartum 2. Trauma tindakan operasi
a. Trauma persalinan akibat a. Trias komplikasi :
induksi/operatif i. Infeksi
3. Kemungkinan retensio plasenta ii. Trauma tindakan
4. Postpartum iii. Perdarahan
a. Trauma tindakan operasi
b. Infeksi masa nifas
c. Perdarahan postpartum
Neonatus 1. Semakin muda usia kehamilan dan 1. Kejadian komplikasi yang
semakin rendah berat badan janin, diindikasikan untuk terminasi
maka komplikasi makin berat. kehamilan
2. Komplikasi akibat prematuritas: a. Prolaps tali pusat
a. Mudah infeksi b. Infeksi intrauteri
b. Mudah terjadi trauma akibat c. Solusio plasenta
tindakan persalinan 2. Untuk membuktikan terjadi
c. mudah terjadi aspirasi air infeksi intrauteri dapat dilakukan
ketuban dan menimbulkan amniosentesis dengan tujuan untu
asfiksia sehingga a. Kultur cairan amnion
menyebabkan kematian. b. Pemeriksaan glukosa
3. Komplikasi postpartum: c. Alfa fetoprotein
a. Penyakit Respiratory Distress d. Fibronektin
Syndrome (RDS) atau hialin 3. Upaya untuk tirah baring dan
membrane pemberian antibiotic dapat
b. Hipoplasia paru dengan memperpanjang usia kehamilan
akibatnya supaya berat badan janinnya lebih
c. Tidak tahan terhadap besar dan lebih mamput untuk
hipotermia hidup di luar kandungan.
d. Sering terjadi hipoglikemia
e. Gangguan fungsi alat vital.
4. Komplikasi akibat oligohidramnion
a. Gangguan tumbuh kembang
yang menyebabkan deformitas
b. Gangguan sirkulasi
retroplasenta yang
menimbulkan asidosis dan
asfiksia
c. Retraksi otot uterus yang
menimbulkan solusio plasenta
5. Komplikasi akibat ketuban pecah
a. Prolaps bagian janin terutama
tali pusat dengan akibatnya
b. Mudah terjadi infeksi intrauteri
dan neonatus.

A. Komplikasi Ibu
Komplikasi pada ibu yang terjadi biasanya berupa infeksi intrauterin. Infeksi tersebut
dapat berupa endomyometritis, maupun korioamnionitis yang berujung pada sepsis. Pada
sebuah penelitian, didapatkan 6,8% ibu hamil dengan KPD mengalami endomyometritis
purpural, 1,2% mengalami sepsis, namun tidak ada yang meninggal dunia. Diketahui bahwa
yang mengalami sepsis pada penelitian ini mendapatkan terapi antibiotik spektrum luas, dan
sembuh tanpa sekuele. Sehingga angka mortalitas belum diketahui secara pasti. 40,9% pasien
yang melahirkan setelah mengalami KPD harus dikuret untuk mengeluarkan sisa plasenta,,
4% perlu mendapatkan transfusi darah karena kehilangan darah secara signifikan. Tidak ada
kasus terlapor mengenai kematian ibu ataupun morbiditas dalam waktu lama.

B. Komplikasi Janin
Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi adalah persalinan lebih awal. Periode
laten, yang merupakan masa dari pecahnya selaput amnion sampai persalinan secara umum
bersifat proporsional secara terbalik dengan usia gestasi pada saat KPD terjadi. Sebagai
contoh, pada sebuah studi besar pada pasien aterm menunjukkan bahwa 95% pasien akan
mengalami persalinan dalam 1 hari sesudah kejadian. Sedangkan analisis terhadap studi yang
mengevaluasi pasien dengan preterm 1 minggu, dengan sebanyak 22 persen memiliki periode
laten 4 minggu. Bila KPD terjadi sangat cepat, neonatus yang lahir hidup dapat mengalami
sekuele seperti malpresentasi, kompresi tali pusat, oligohidramnion, necrotizing enterocolitis,
gangguan neurologi, perdarahan intraventrikel, dan sindrom distress pernapasan.

Penatalaksanaan komplikasi
Pengenalan tanda infeksi intrauterin, tatalaksana infeksi intrauterin. Infeksi intrauterin
sering kronik dan asimptomatik sampai melahirkan atau sampai pecah ketuban. Bahkan
setelah melahirkan, kebanyakan wanita yang telah terlihat menderita korioamnionitis dari
kultur tidak memliki gejala lain selain kelahiran preterm: tidak ada demam, tidak ada nyeri
perut, tidak ada leukositosis, maupun takikardia janin. Jadi, mengidentifikasi wanita dengan
infeksi intrauterin adalah sebuah tantangan besar.
Tempat terbaik untuk mengetahui infeksi adalah cairan amnion. Selain mengandung
bakteri, cairan amnion pada wanita dengan infeksi intrauterin memiliki konsentrasi glukosa
tinggi, sel darah putih lebih banyak, komplemen C3 lebih banyak, dan beberapa sitokin.
Mengukur hal di atas diperlukan amniosentesis, namun belum jelas apakah amniosentesis
memperbaiki keluaran darikehamilan, bahkan pada wanita hamil dengan gejala persalinan
prematur. Akan tetapi tidak layak untuk mengambil cairan amnion secara rutin pada wanita
yang tidak dalam proses melahirkan.
Pada awal 1970, penggunaan jangka panjang tetrasiklin, dimulai dari trimester tengah,
terbukti mengurangi frekuensi persalinan preterm pada wanita dengan bakteriuria
asimtomatik maupun tidak. Tetapi penanganan ini menjadi salah karena adanya displasia
tulang dan gigi pada bayi. Pada tahun-tahun terakhir, penelitian menunjukkan bahwa
tatalaksana dengan metronidazol dan eritromisin oral dapat secara signifikan mengurangi
insiden persalinan preterm apabila diberlikan secara oral, bukan vaginal.
Ada pula penelitian yang menunjukkan efikasi metronidazol dan ampisilin yang menunda
kelahiran, meningkatkan rerata berat bayi lahir, mengurangi persalinan preterm dan
morbiditas neonatal. Sekitar 70-80% perempuan yang mengalami persalinan prematur tidak
melahirkan prematur. Perempuan yang tidak mengalami perubahan serviks tidak mengalami
persalinan prematur sehingga sebaiknya tidak diberikan tokolisis.
Perempuan dengan kehamilan kembar sebaiknya tidak diterapi secara berbeda
dibandingkan kehamilan tunggal, kecuali jika risiko edema paru lebih besar saat diberikan
betamimetik atau magnesium sulfat. Belum ada bukti yang cukup untuk menilai penggunaan
steroid untuk maturitas paru-paru janin dan tokolisis sebelum gestasi 23 minggu dan setelah
33 6/7 minggu.
Amniosentesis dapat dipertimbangkan untuk menilai infeksi intra amnion (IIA) (insidens
sekitar 5-15%) dan maturitas paru-paru (khususnya antara 33-35 minggu). IIA dapat
diperkirakan berdasarkan status kehamilan dan panjang serviks. Kortikosteroid (betametason
12 mg IM 2x 24 jam) diberikan kepada perempuan dengan persalinan prematur sebelumnya
pada 24-<34 minggu efektif dalam mencegah sindrom distres pernapasan, perdarahan
intraventrikel, enterokolitis nekrotikans dan mortalitas neonatal.
Satu tahap kortikosteroid ekstra sebaiknya dipertimbangkan jika beberapa minggu telah
berlalu sejak pemberian awal kortikosteroid dan adanya episode baru dari KPD preterm atau
ancaman persalinan prematur pada usia gestasi awal. Satu tahapan tambahan betametason
terdiri dari 2x12 mg selang 24 jam, diterima pada usia gestasi <33 minggu, minimal 14 hari
setelah terapi pertama, yaitu saat usia gestasi <30 minggu, berhubungan dengan penurunan
sindrom distres pernapasan, bantuan ventilasi, penggunaan surfaktan, dan morbiditas
neonatal.
Akan tetapi, pemberian kortikosteroid lebih dari dua tahap harus dihindari. Pemberian
magnesium sulfat intravena (dosis awal 6 gram selama 20-30 menit, diikuti dosis
pemeliharaan 2 gram/ jam) pada 24-<32 minggu segera dalam 12 jam sebelum persalinan
prematur berhubungan dengan penurunan insidens serebral palsi secara signifikan. Tokolitik
sebaiknya tidak digunakan tanpa penggunaan yang serentak dengan kortikosteroid untuk
maturasi paru-paru.
Semua intervensi lain untuk mencegah persalinan prematur, meliputi istirahat total,
hidrasi, sedasi dan lain-lain tidak menunjukkan keuntungan dalam manajemen persalinan
prematur. Pada neonatus prematur, penundaan klem tali pusar selama 30-60 detik (maksimal
120 detik) berhubungan dengan angka transfusi untuk anemia, hipotensi, dan perdarahan
intraventrikel yang lebih sedikit dibandingkan dengan klem segera (< 30 detik).
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien Ny. usia 31 tahun datang ke Poli Kebidanan dan Kandungan RSUD
Prabumulih tanggal 22Agustus 2019 pukul 11.30 WIB dengan keluhan utama keluar air-air
dari jalan lahir sejak 6 jam yang lalu. Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang maka didapatkan diagnosis G3P2A0 hamil 39 minggu dengan ketuban
pecah dini 6 jam janin tunggal hidup presentasi kepala.
Diagnosis KPD didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium. Pada kasus, berdasarkan anamnesis didapatkan HPHT 20 November 2018 dan
datang dengan keluhan keluar air-air dari jalan lahir sejak ± 6 jam sebelum masuk rumah
sakit. Air-air yang keluar berwarna putih bening dan tidak berbau. Keluhan ini tidak disertai
dengan adanya sakit perut menjalar ke pinggang (-) dan keluar lendir darah (-). Berdasarkan
teori, usia kandungan pasien sudah cukup bulan (aterm) yaitu 39 minggu dan keluhan yang
dirasakan oleh pasien mengarah kepada diagnosis ketuban pecah dini dan menyatakan belum
ada tanda-tanda inpartu.
Pada kasus, pemeriksaan fisik secara umum dalam batas normal, baik pemeriksaan
tanda vital, maupun status generalisata dari pasien. Pada pasien belum didapatkan adanya
tanda-tanda infeksi. Suhu pasien normal yaitu 36,5o C. Denyut nadinya juga dalam batas
normal, yaitu 82 kali per menit. Tekanan darah pasien juga dalam batas normal yaitu
110/70mmHg. Berdasarkan teori, pemeriksaan fisik pada kasus KPD ini penting untuk
menentukan ada tidaknya tanda-tanda infeksi pada ibu. Hal ini terkait dengan
penatalaksanaan KPD selanjutnya dimana risiko infeksi ibu dan janin meningkat pada KPD.
Umumnya dapat terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Selain itu juga didapatkan
adanya nadi yang cepat. Tetapi pada kasus ini tidak didapatkan sehingga belum ada tanda-
tanda infeksi pada ibu.
Pemeriksaan inspekulo secara steril merupakan langkah pemeriksaan pertama
terhadap kecurigaan KPD. Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar
cairan dari orifisium uteri eksternum (OUE). Pada pasien KPD akan tampak cairan keluar
dari vagina. Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa warna, bau dan pHnya. Air
ketuban yang keruh dan berbau menunjukkan adanya proses infeksi. Pada kasus ini tidak
dilakukan pemeriksaan inspekulo.
Pada kasus, dilakukan pemeriksaan dalam 1x untuk menentukan ada tidaknya
pembukaan. Pada saat di lakukan pemeriksaan dalam pada pasien ini belum ada pembukaan
dan ketuban (-). Pemeriksaan dalam vagina dibatasi seminimal mungkin untuk mencegah
infeksi.
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium didapatkan bahwa leukosit pasien dalam batas
normal yaitu 9.400/mm3. Hal ini menunjukkan tidak adanya proses infeksi.
Pada kasus ini, keluar air ketuban dari jalan lahir atau dalam hal ini pecahnya ketuban
dicurigai terjadi 6 jam sebelum masuk rumah sakit, sementara belum ada tanda-tanda inpartu
pada pemeriksaan dalam.
Faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengambil tindakan terhadap pasien KPD,
yaitu umur kehamilan dan ada tidaknya tanda-tanda infeksi pada ibu. Pemberian antibiotik
profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Pada kasus ini pasien tidak diberikan
antibiotik profilaksis karena tidak ada tanda infeksi. Pasien diinduksi dengan misoprostol ¼
tablet pervaginam dan diobservasi 6 jam kemudian. Enam jam setelah pemberian misoproltol,
terjadi partus spontan dengan bayi normal, APGAR 9/10, BB 3300 gram, jenis kelamin laki-
laki.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan, pasien pada kasus ini didiagnosis sebagai KPD. Kasus yang ditemukan sudah
sesuai dengan teori yang ada. Penatalaksanaan KPD pada pasien ini pada umumnya tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Premature Birth.
In: Williams Obstetric. 23rd Ed. McGrawHill Medical, New York, 2010.
Gde Manuaba, I.B. Ketuban Pecah Dini (KPD). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan &
Keluarga Berencana. Jakarta: EGC; 2001. Hal: 229-232.
Manuaba I.B.G, Chandranita Manuaba I.A, Fajar Manuaba I.B.G.(eds) Pengantar Kuliah
Obstertri. Bab 6: Komplikasi Umum Pada Kehamilan. Ketuban Pecah Dini. Cetakan
Pertama. Jakarta. Penerbit EGC. 2007. Pp 456-60.
Medina, Tanya M. and Hill, Ashley D. Preterm Premature Rupture of Membranes: Diagnosis
and Management. Am Fam Physician 2006;73:659-64.
Myers VS. Premature rupture of membranes at or near term. In: Berghella V. Obstetric
evidence based guidelines. Series in maternal fetal medicine. Informa heathcare.
Informa UK Ltd, 2007.
Nili F., Ansaari A.A.S. Neonatal Complications Of Premature Rupture Of Membranes. Acta
Medica Iranica. [Online] 2003. Vol 41. No.3. Diunduh dari
http://journals.tums.ac.ir/upload_files/pdf/59.pdf.
Saifudin A.B. 2006. Ketuban Pecah Dini, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal :
218-220.
Soewarto, S. 2009. Ketuban Pecah Dini. Dalam: Winkjosastro H., Saifuddin A.B., dan
Rachimhadhi T. (Editor). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Hal. 677-680.

Anda mungkin juga menyukai