Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

DISPEPSIA

Oleh:

Ria arisandi, S.Ked

Preceptor:

dr. Rina, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD ABDUL MOELOEK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2017
Kata pengantar

Assalammualaikum wr. wb.

Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun tugas referat tentang dispepsia ini.

Selanjutnya, tugas ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam kepaniteraan klinik di
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Stase Ilmu Penyakit dalam dan dr.Rina, Sp.PD selaku perceptor.

Kami menyadari kekurangan dalam penulisan tugas ini, baik dari bahasa, analisis, dan lain
sebagainya.Oleh karena itu, kami mohon maaf atas segala kekurangan. Kritik dan saran dari
pembaca sangat kami harapkan, guna untuk perbaikan makalah ini dan perbaikan untuk kita
semua.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan wawasan berupa ilmu pengetahuan
untuk kita semua.

Wassalamualaikum wr.wb.

Bandarlampung, Oktober 2017

Penulis
BAB 1.

PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Keluhan dyspepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek
praktis sehari-hari. Diperkirakan hampir 30% kasus pada praktek umum dan 60%
praktek gastroenterologis merupakan kasus dyspepsia. Istilah dyspepsia mulai gencar
dikemukakan sejak akhir tahun 80-an yang menggambarkan keluhan atau kumpulan
gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual,
muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh di perut, sendawa, regurgitasi dan dan
rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau
didasari oleh berbagai penyakit tentunya termasuk pula penyakit lambung, yang
diasumsikan oleh orang awam seperti penyakit maag/lambung, Penyakit hepatitis,
pancreatitis kronik, kolesistitis kronik) merupakan penyakit tersering setelah penyakit
yang melibatkan gangguan patologis pada tukak peptic dan gastritis. Beberapa
penyakit di luar system gastrointestinal dapat pula bermanifestasi dalam bentuk
sindrom dyspepsia, seperti gangguan infark miokard, penyakit tiroid, obat-obat dan
sebagainya.

Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat dialami oleh
seseorang. Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30%
orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Dari data di Negara
barat di dapatkan prevalensinya berkisar 7-41% tapi hanya 10-20% yang mencari
pertolongan medis. Belum ada data epidemiologi di Indonesia.

Gejala yang esensial adalah selalu adanya komponen dari nyeri atau gangguan
abdomen bagian atas. Untuk membedakannya dari ICS (Irritable Colon Syndrome)
dikatakan bahwa dyspepsia meliputi gejala-gejala yang berpredominasi pada
abdomen bagian atas. Sejak pemakaian istilah dyspepsia hingga sekarang banyak
timbul bermacam-macam batasan mengenai dyspepsia.
2. Tujuan pembelajaran
a. Untuk mengetahui definisi dyspepsia
b. Untuk mengetahui etiologi dyspepsia
c. Untuk mengetahui klasifikasi dyspepsia
d. Untuk mengetahui pathogenesis dyspepsia
e. Untuk mengetahui penegakan diagnosis dyspepsia
f. Untuk mengetahui diagnosa banding dyspepsia
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan dyspepsia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi dan Fisiologi Gaster

Lambung atau ventrikulus berupa suatu kantong yang terletak di bawah diafragma,
berbentuk huruf J. Fungsi lambung secara umum adalah tempat di mana makanan
dicerna dan sejumlah kecil sari-sari makanan diserap. Lambung dapat dibagi menjadi
tiga daerah, yaitu daerah kardia, fundus dan pilorus. Kardia adalah bagian atas,
daerah pintu masuk makanan dari oesofagus . Fundus adalah bagian tengah,
bentuknya membulat. Pilorus adalah bagian bawah, daerah yang berhubungan dengan
usus 12 jari duodenum.13

Dinding lambung tersusun menjadi empat lapisan, yakni mukosa, submukosa,


muscularis, dan serosa. Mukosa ialah lapisan dimana sel-sel mengeluarkan berbagai
jenis cairan, seperti enzim, asam lambung, dan hormon. Lapisan ini berbentuk seperti
palung untuk memperbesar perbandingan antara luas dan volume sehingga
memperbanyak volume getah lambung yang dapat dikeluarkan. Submukosa ialah
lapisan dimana pembuluh darah arteri dan vena dapat ditemukan untuk menyalurkan
nutrisi dan oksigen ke sel-sel perut sekaligus untuk membawa nutrisi yang diserap,
urea, dan karbon dioksida dari sel-sel tersebut. Muscularis adalah lapisan otot yang
membantu perut dalam pencernaan mekanis. Lapisan ini dibagi menjadi 3 lapisan
otot, yakni otot melingkar, memanjang, dan menyerong. Kontraksi dari ketiga macam
lapisan otot tersebut mengakibatkan gerak peristaltik (gerak menggelombang). Gerak
peristaltik menyebabkan makanan di dalam lambung diaduk-aduk. Lapisan terluar
yaitu serosa berfungsi sebagai lapisan pelindung perut. Sel-sel di lapisan ini
mengeluarkan sejenis cairan untuk mengurangi gaya gesekan yang terjadi antara perut
dengan anggota tubuh lainnya.13
Gambar 1. Anatomi Gaster: 1.Esofagus, 2.Kardia, 3.Fundus, 4.Selaput Lendir,
5.Lapisan Otot, 6.Mukosa Lambung, 7.Korpus, 8.Antrum Pilorik, 9.Pilorus,
10.Duodenum

Di lapisan mukosa terdapat 3 jenis sel yang berfungsi dalam pencernaan, yaitu sel
goblet [goblet cell], sel parietal [parietal cell], dan sel chief [chief cell]. Sel goblet
berfungsi untuk memproduksi mucus atau lendir untuk menjaga lapisan terluar sel
agar tidak rusak karena enzim pepsin dan asam lambung. Sel parietal berfungsi untuk
memproduksi asam lambung [Hydrochloric acid] yang berguna dalam pengaktifan
enzim pepsin. Diperkirakan bahwa sel parietal memproduksi 1.5 mol dm-3 asam
lambung yang membuat tingkat keasaman dalam lambung mencapai pH 2 yang
bersifat sangat asam. Sel chief berfungsi untuk memproduksi pepsinogen, yaitu enzim
pepsin dalam bentuk tidak aktif. Sel chief memproduksi dalam bentuk tidak aktif agar
enzim tersebut tidak mencerna protein yang dimiliki oleh sel tersebut yang dapat
menyebabkan kematian pada sel tersebut.

Di bagian dinding lambung sebelah dalam terdapat kelenjar-kelenjar yang


menghasilkan getah lambung. Aroma, bentuk, warna, dan selera terhadap makanan
secara refleks akan menimbulkan sekresi getah lambung. Getah lambung
mengandung asam lambung (HCI), pepsin, musin, dan renin. Asam lambung berperan
sebagai pembunuh mikroorganisme dan mengaktifkan enzim pepsinogen menjadi
pepsin. Pepsin merupakan enzim yang dapat mengubah protein menjadi molekul
yang lebih kecil. Musin merupakan mukosa protein yang melicinkan makanan. Renin
merupakan enzim khusus yang hanya terdapat pada mamalia, berperan sebagai
kaseinogen menjadi kasein. Kasein digumpalkan oleh Ca2+ dari susu sehingga dapat
dicerna oleh pepsin. Tanpa adanya renim susu yang berwujud cair akan lewat begitu
saja di dalam lambuing dan usus tanpa sempat dicerna.

Kerja enzim dan pelumatan oleh otot lambung mengubah makanan menjadi lembut
seperti bubur, disebut chyme (kim) atau bubur makanan. Otot lambung bagian pilorus
mengatur pengeluaran kim sedikit demi sedikit dalam duodenum. Caranya, otot
pilorus yang mengarah ke lambung akan relaksasi (mengendur) jika tersentuh kim
yang bersifat asam. Sebaliknya, otot pilorus yang mengarah ke duodenum akan
berkontraksi (mengerut) jika tersentuh kim. Jadi, misalnya kim yang bersifat asam
tiba di pilorus depan, maka pilorus akan membuka, sehingga makanan lewat. Oleh
karena makanan asam mengenai pilorus belakang, pilorus menutup. Makanan
tersebut dicerna sehingga keasamannya menurun. Makanan yang bersifat basa di
belakang pilorus akan merangsang pilorus untuk membuka. Akibatnya, makanan
yang asam dari lambung masuk ke duodenum. Demikian seterusnya. Jadi, makanan
melewati pilorus menuju duodenum segumpal demi segumpal agar makanan tersebut
dapat tercerna efektif. Seteleah 2 sampai 5 jam, lambung kosong kembali.

Pengaturan peristiwa ini terjadi baik melalui saraf maupun hormon. Impuls
parasimpatikus yang disampaikan melalui nervus vagus akan meningkatkan motilitas,
secara reflektoris melalui vagus juga akan terjadi pengosongan lambung. Refleks
pengosongan lambung ini akan dihambat oleh isi yang penuh, kadar lemak yang
tinggi dan reaksi asam pada awal duodenum. Keasaman ini disebabkan oleh hormon
saluran cerna terutama sekretin dan kholesistokinin-pankreo-zimin, yang dibentuk
dalam mukosa duodenum dan dibawa bersama aliran darah ke lambung. Dengan
demikian proses pengosongan lambung merupakan proses umpan balik humoral.
Kelenjar di lambung tiap hari membentuk sekitar 2-3 liter getah lambung, yang
merupakan larutan asam klorida yang hampir isotonis dengan pH antara 0,8-1,5, yang
mengandung pula enzim pencemaan, lendir dan faktor intrinsik yang dibutuhkan
untuk absorpsi vitamin B12. Asam klorida menyebabkan denaturasi protein makanan
dan menyebabkan penguraian enzimatik lebih mudah. Asam klorida juga
menyediakan pH yang cocok bagi enzim lambung dan mengubah pepsinogen yang
tak aktif menjadi pepsin.

Asam klorida juga akan membunuh bakteri yang terbawa bersama makanan.
Pengaturan sekresi getah lambung sangat kompleks. Seperti pada pengaturan
motilitas lambung serta pengosongannya, di sini pun terjadi pengaturan oleh saraf
maupun hormon. Berdasarkan saat terjadinya, maka sekresi getah lambung dibagi
atas fase sefalik, lambung (gastral) dan usus (intestinal).

Fase Sekresi Sefalik diatur sepenuhnya melalui saraf. Penginderaan penciuman dan
rasa akan menimbulkan impuls saraf aferen, yang di sistem saraf pusat akan
merangsang serabut vagus. Stimulasi nervus vagus akan menyebabkan dibebaskannya
asetilkolin dari dinding lambung. Ini akan menyebabkan stimulasi langsung pada sel
parietal dan sel epitel serta akan membebaskan gastrin dari sel G antrum. Melalui
aliran darah, gastrin akan sampai pada sel parietal dan akan menstimulasinya
sehingga sel itu membebaskan asam klorida. Pada sekresi asam klorida ini, histamin
juga ikut berperan. Histamin ini dibebaskan oleh mastosit karena stimulasi vagus
(gambar 3). Secara tak langsung dengan pembebasan histamin ini gastrin dapat
bekerja.

Fase Lambung. Sekresi getah lambung disebabkan oleh makanan yang masuk ke
dalam lambung. Relaksasi serta rangsang kimia seperti hasil urai protein, kafein atau
alkohol, akan menimbulkan refleks kolinergik lokal dan pembebasan gastrin. Jika pH
turun di bawah 3, pembebasan gastrin akan dihambat.

Fase Usus mula-mula akan terjadi peningkatan dan kemudian akan diikuti dengan
penurunan sekresi getah lambung. Jika kim yang asam masuk ke usus duabelas jari
akan dibebaskan sekretin. Ini akan menekan sekresi asam klorida dan merangsang
pengeluaran pepsinogen. Hambatan sekresi getah lambung lainnya dilakukan oleh
kholesistokinin-pankreozimin, terutama jika kim yang banyak mengandung lemak
sampai pada usus halus bagian atas.

Di samping zat-zat yang sudah disebutkan ada hormon saluran cerna lainnya yang
berperan pada sekresi dan motilitas. GIP (gastric inhibitory polypeptide) menghambat
sekresi HC1 dari lambung dan kemungkinan juga merangsang sekresi insulin dari
kelenjar pankreas.

Somatostatin, yang dibentuk tidak hanya di hipothalamus tetapi juga di sejumlah


organ lainnya antara lain sel D mukosa lambung dan usus halus serta kelenjar
pankreas, menghambat sekresi asam klorida, gastrin dan pepsin lambung dan sekresi
sekretin di usus halus. Fungsi endokrin dan eksokrin pankreas akan turun (sekresi
insulin dan glukagon serta asam karbonat dan enzim pencernaan). Di samping itu, ada
tekanan sistemik yang tak berubah, pasokan darah di daerah n. Splanchnicus akan
berkurang sekitar 20-30%.13
Rangsang bau dan
Rangsang n. Vagus
rangsang kecap

Rangsang Lokal Rangsang Ganglion


(makanan)

Degranulasi mastosit
Stimulasi sel G Pembebasan
asethilkolin

Pembebasan histamin Pembebasan Gastrin

Stimulasi Sel Parietal

Pembebasan HCl

Bagan 1. Pengaruh Sekresi Sel Parietal

2. Dispepsia
2.1 Definisi
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (buruk) dan peptein (pencernaan).
Dispepsia menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari
nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrum, mual, muntah, kembung, cepat kenyang,
rasa penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau
keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, termasuk juga
didalamnya penyakit yang mengenai lambung atau yang dikenal sebagai penyakit
maag.

Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri dari
nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat
kenyang, perut rasa penuh atau begah yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Dengan
demikian dispepsia merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat kronik.Keluhan
refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi
asam lambung, kini tidak lagi termasuk dyspepsia.

2.2 Klasifikasi
Pengelompokan mayor dispepsia terbagi atas dua yaitu:
1) Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Sindrom dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap
organ tubuh misalnya tukak (ulkus peptikum), gastritis, stomach cancer, Gastro-
Esophageal reflux disease, hiperacidity. Adapun jenis-jenis dispepsia organik
yaitu:

a) Tukak Pada Saluran Cerna Atas


Tukak dapat ditemukan pada saluran cerna bagian atas yaitu pada mukosa,
submukosa dan lapisan muskularis, pada distal esophagus, lambung, dan
duodenum. Keluhan yang sering terjadi adalah nyeri epigastrum. Nyeri yang
dirasakan yaitu nyeri tajam dan menyayat atau tertekan, penuh atau terasa
perih seperti orang lapar. Nyeri epigastrum terjadi 30 menit sesudah makan
dan dapat menjalar ke punggung. Nyeri dapat berkurang atau hilang
sementara sesudah makan atau setelah minum antasida. Gejala lain yang
dirasakan seperti mual, muntah, kembung, bersendawa, dan kurang nafsu
makan.
b) Gastritis
Gastritis adalah peradangan atau inflamasi pada lapisan mukosa dan
submukosa lambung. Gejala yang timbul seperti mual, muntah, nyeri
epigastrum, nafsu makan menurun, dan kadang terjadi perdarahan.
Penyebabnya ialah makanan atau obat-obatan yang mengiritasi mukosa
lambung dan adanya pengeluaran asam lambung yang berlebihan.
c) Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD)
Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD) adalah kelainan yang
menyebabkan cairan lambung mengalami refluks (mengalir balik) ke
kerongkongan dan menimbulkan gejala khas berupa rasa panas terbakar di
dada (hearthburn), kadang disertai rasa nyeri serta gejala lain seperti rasa
panas dan pahit di lidah, serta kesulitan menelan. GERD muncul akibat
mengkonsumsi makanan dan minuman seperti makanan pedas, makanan
berlemak, peppermint, kopi, alkohol, bawang putih, dan coklat menambahkan
bahwa GERD dapat dikurangi dengan mengkonsumsi air putih dan
mengkonsumsi obat antasida sebelum makan. Pasien dengan GERD yang
muncul pada malam hari dapat dianjurkan untuk tidur dengan posisi kepala
lebih tinggi 6 8 inchi dari alas dengan menggunakan balok kayu karena
menggunakan bantal tambahan tidak cukup membantu untuk mengganjal
kepala. Posisi ini membantu mencegah munculnya refluks daripada posisi
berbaring tanpa alas . GERD disebabkan karena beberapa faktor salah satunya
adalah obesitas. Penelitian menyebutkan bahwa kenaikan berat badan sedikit
saja walaupun masih dalam berat badan normal seseorang dapat
meningkatkan resiko terkena GERD.
d) Karsinoma
Karsinoma pada saluran pencernaan (esofagus, lambung, pankreas, kolon)
sering menimbulkan dispepsia. Keluhan utama yaitu rasa nyeri di perut,
bertambah dengan nafsu makan turun, timbul anoreksia yang menyebabkan
berat badan turun (Hadi, 2002).
e) Pankreatitis
Gejala khas dari pankreatitis ialah rasa nyeri hebat di epigastrum yang timbul
mendadak dan terus menerus, seperti ditusuk-tusuk dan terbakar. Rasa nyeri
dimulai dari epigastrum kemudian menjalar ke punggung. Perasaan nyeri
menjalar ke seluruh perut dan terasa tegang beberapa jam kemudian. Perut
yang tegang menyebabkan mual dan kadang-kadang muntah.
f) Dispepsia pada Sindrom Malabsorbs
Malabsorpsi adalah suatu keadaan terdapatnya gangguan proses absorbsi dan
digesti secara normal pada satu atau lebih zat gizi. Penderita ini mengalami
keluhan rasa nyeri perut, mual, anoreksia, sering flatus, kembung, dan
timbulnya diare berlendir.
g) Gangguan Metabolisme
Gastroparesis merupakan ketidakmampuan lambung untuk mengosongkan
ruangan. Ini terjadi bila makanan 10 berbentuk padat tertahan di lambung.
Salah satu penyebab gastroparesis adalah penyakit Diabetes Mellitus (DM)
yang dapat memicu munculnya keluhan rasa penuh setelah makan, cepat
kenyang, mual, dan muntah. Gangguan metabolik lain seperti hipertiroid yang
menimbulkan nyeri perut dan vomitus.
h) Dispepsia akibat infeksi bakteri Helicobacter pylori Infeksi yang disebabkan
oleh Helicobacter pylori pada lambung dapat menyebabkan peradangan
mukosa lambung yang disebut gastritis. Proses ini berlanjut sampai terjadi
ulkus atau tukak bahkan dapat menjadi kanker.

2) Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia afungsional


tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan
klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran pencernaan).
Dispepsia fungsional terjadi pada kondisi perut bagian atas yang mengalami rasa
tidak nyaman, mual, muntah, rasa penuh setelah makan yang menunjukkan
perubahan sensitivitas syaraf di sekeliling abdomen dan kontraksi otot yang tidak
terkoordinasi di dalam perut. Penyebab ini secara umum tidak sama walaupun
beberapa kasus berhubungan dengan stress, kecemasan, infeksi, obat-obatan dan
ada beberapa berhubungan dengan IBS (irritable bowel syndrome).

Kriteria Rome III menetapkan dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok


yaitu :
a) Postprandial distress syndrom
Gejala yang dirasakan pada tahap ini yaitu (1) Rasa penuh setelah makan
yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa, sedikitnya
terjadi beberapa kali seminggu. (2) Perasaan cepat kenyang yang membuat
tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa
kali seminggu. Kriteria penunjang sindrom dispepsia jenis ini adalah
adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan
atau bersendawa yang berlebihan dan dapat timbul bersamaan dengan
sindrom nyeri epigastrum.
b) Epigastric pain syndrome
Gejala yang dirasakan pada tahap ini yaitu (1) nyeri atau rasa terbakar
yang terlokalisasi di daerah epigastrum dengan tingkat keparahan
moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu (2) Nyeri
timbul berulang (3) Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau
dada selain daerah perut bagian atas/epigastrum (4) Tidak berkurang
dengan BAB atau buang angin

2.3 Etiologi
a) Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau duodenum,
gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.
b) Obat obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa
antibiotic, digitalis, teofilin dan sebagainya.
c) Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis, kolesistetis
kronik.
d) Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner.
e) Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti
adanya kelainan atau gangguan organic atau structural biokimia, yaitu dispepsia
fungsional atau dispepsia non ulkus.
Klasifikasi Dispepsia Berdasarkan Etiologi

a) Organik
1. Obat-obatan

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), Antibiotik (makrolides,


metronidazole), Besi, KCl, Digitalis, Estrogen, Etanol (alkohol), Kortikosteroid,
Levodopa, Niacin, Gemfibrozil, Narkotik, Quinidine, Theophiline.8-10

2. Idiosinkrasi makanan (intoleransi makanan)


a. Alergi susu sapi, putih telur, kacang, makanan laut, beberapa jenis produk
kedelai dan beberapa jenis buah-buahan
b. Non-alergi

Produk alam : laktosa, sucrosa, galactosa, gluten, kafein.

Bahan kimia : monosodium glutamate (vetsin), asam benzoat, nitrit, nitrat.

Perlu diingat beberapa intoleransi makanan diakibatkan oleh penyakit


dasarnya, misalnya pada penyakit pankreas dan empedu tidak bisa mentoleransi
makanan berlemak, jeruk dengan pH yang relatif rendah sering memprovokasi
gejala pada pasien ulkus peptikum atau esophagitis.10

3. Kelainan struktural
a. Penyakit oesophagus

Refluks gastroesofageal dengan atau tanpa hernia

Akhalasia

Obstruksi esophagus

b. Penyakit gaster dan duodenum

Gastritis erosif dan hemorhagik; sering disebabkan oleh OAINS dan sakit keras
(stres fisik) seperti luka bakar, sepsis, pembedahan, trauma, shock

Ulkus gaster dan duodenum


Karsinoma gaster

c. Penyakit saluran empedu

Kholelitiasis dan Kholedokolitiasis

Kholesistitis

d. Penyakit pankreas

Pankreatitis

Karsinoma pankreas

e. Penyakit usus

Malabsorbsi

Obstruksi intestinal intermiten

Sindrom kolon iritatif

Angina abdominal

Karsinoma kolon

4. Penyakit metabolik / sistemik

a. Tuberculosis

b. Gagal ginjal

c. Hepatitis, sirosis hepatis, tumor hepar

d. Diabetes melitius

e. Hipertiroid, hipotiroid, hiperparatiroid

f. Ketidakseimbangan elektrolit

g. Penyakit jantung kongestif


5. Lain-lain

a. Penyakit jantung iskemik

b. Penyakit kolagen5-11

B. Idiopatik atau Dispepsia Non Ulkus

Dispepsia fungsional

Keluhan terjadi kronis, tanpa ditemukan adanya gangguan struktural atau organik atau
metabolik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan.Termasuk ini adalah
dispepsia dismotilitas, yaitu adanya gangguan motilitas diantaranya; waktu pengosongan
lambung yang lambat, abnormalitas kontraktil, abnormalitas mioelektrik lambung, refluks
gastroduodenal. Penderita dengan dispepsia fungsional biasanya sensitif terhadap produksi
asam lambung yaitu kenaikan asam lambung. Kelainan psikis, stress dan faktor lingkungan
juga dapat menimbulkan dispepsia fungsional.

2.4 Patogenesis
Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan patogenesis
terjadinya dispepsia fungsional, antara lain: sekresi asam lambung, dismotilitas
gastrointestinal, hipersensitivitas viseral, disfungsi autonom, diet dan faktor
lingkungan, psikologis (Djojoningrat, 2009).
a) Sekresi Asam Lambung
Sel kelenjar lambung mensekresikan sekitar 2500 ml getah lambung setiap hari.
Getah lambung ini mengandung berbagai macam zat. Asam hidroklorida (HCl)
dan pepsinogen merupakan kandungan dalam getah lambung tersebut.
Konsentrasi asam dalam getah lambung sangat pekat sehingga dapat
menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung
tidak mengalami iritasi karena sebagian cairan lambung mengandung mukus,
yang merupakan faktor pelindung lambung (Ganong, 2008). Kasus dengan
dispepsia fungsional diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung
terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut (Djojoningrat, 2009).
25 Peningkatan sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola makan yang
tidak teratur. Pola makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk
beradaptasi dalam pengeluaran sekresi asam lambung. Jika hal ini berlangsung
dalam waktu yang lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat
mengiritasi dinding mukosa pada lambung (Rani, 2011).
b) Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan
pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus),
gangguan akomodasi lambung saat makan, dan hipersensitivitas gaster. Salah satu
dari keadaan ini dapat ditemukan pada setengah atau dua pertiga kasus dispepsia
fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus
dispepsia fungsional dengan keluhan seperti mual, muntah, dan rasa penuh di ulu
hati (Djojoningrat, 2009). Gangguan motilitas gastrointestinal dapat dikaitkan
dengan gejala dispepsia dan merupakan faktor penyebab yang mendasari dalam
dispepsia fungsional. Gangguan pengosongan lambung dan fungsi motorik
pencernaan terjadi pada sub kelompok pasien dengan dispepsia fungsional. Sebuah
studi meta-analisis menyelidiki dispepsia fungsional 26 dan ganguan pengosongan
lambung, ditemukan 40% pasien dengan dispepsia fungsional memiliki
pengosongan lebih lambat 1,5 kali dari pasien normal (Chan & Burakoff, 2010).
c) Hipersensitivitas viseral
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor
mekanik, dan nociceptor (Djojoningrat, 2009). Beberapa pasien dengan dispepsia
mempunyai ambang nyeri yang lebih rendah. Peningkatan persepsi tersebut tidak
terbatas pada distensi mekanis, tetapi juga dapat terjadi pada respon terhadap stres,
paparan asam, kimia atau rangsangan nutrisi, atau hormon, seperti kolesitokinin
dan glucagon-like peptide. Penelitian dengan menggunakan balon intragastrik
menunjukkan bahwa 50% populasi dispepsia fungsional sudah timbul rasa nyeri
atau rasa tidak nyaman di perut pada inflasi balon dengan volume yang lebih
rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi kontrol
(Djojoningrat, 2009).
d) Gangguan akomodasi lambung
Dalam keadaan normal, waktu makanan masuk lambung terjadi relaksasi fundus
dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam lambung. Akomodasi
lambung ini dimediasi oleh serotonin dan nitric oxide melalui saraf vagus dari
sistem saraf enterik. Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia 27 fungsional
terjadi penurunan kemampuan relaksasi fundus postprandial pada 40% kasus
dengan pemeriksaan gastricscintigraphy dan ultrasound (USG) (Chan & Burakoff,
2010).
e) Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya
dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori terdapat sekitar 50% pada
dispepsia fungsional dan tidak berbeda pada kelompok orang sehat. Mulai
terdapat kecenderungan untuk melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia
fungsional dengan H. pylori positif yang gagal dengan pengobatan konservatif
baku (Djojoningrat, 2009).

f) Diet
Faktor makanan dapat menjadi penyebab potensial dari gejala dispepsia
fungsional. Pasien dengan dispepsia fungsional cenderung mengubah pola makan
karena adanya intoleransi terhadap beberapa makanan khususnya makanan
berlemak yang telah dikaitkan dengan dispepsia. Intoleransi lainnya dengan
prevalensi yang dilaporkan lebih besar dari 40% termasuk rempah-rempah,
alkohol, makanan pedas, coklat, paprika, buah jeruk, dan ikan (Chan & Burakoff,
2010).
g) Faktor psikologis Berdasarkan studi epidemiologi menduga bahwa ada hubungan
antara dispepsia fungsional dengan gangguan psikologis. Adanya stres akut dapat
mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetusakan keluhan pada orang sehat.
Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului mual
setelah stimulus stres sentral. Tetapi korelasi antara faktor psikologik stres
kehidupan, fungsi otonom dan motilitas masih kontroversial (Djojoningrat, 2009).
2.5 Diagnosis
Menurut Chang (2006), sindrom dispepsia dapat di diagnosis dengan menggunakan
kriteria diagnosis Rome III. Berdasarkan kriteria diagnosis Rome III, sindroma
dispepsia di diagnosis dengan gejala rasa penuh yang mengganggu, cepat kenyang,
rasa tidak enak atau nyeri epigastrium, dan rasa terbakar pada epigastrium. Pada
kriteria tersebut juga dinyatakan bahwa dispepsia ditandai dengan adanya satu atau
lebih dari gejala dispepsia yang diperkirakan berasal dari daerah gastroduodenal.
Dalam menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium sederhana, dan pemeriksaan tambahan, seperti
pemeriksaan radiologis dan endoskopi.
Pada anamnesis, ada tiga kelompok besar pola dispepsia yang dikenal yaitu :
a) Dispepsia tipe seperti ulkus (nyeri di epigastrium terutama saat lapar / epigastric
hunger pain yang reda dengan pemberian makanan, antasida, dan obat antisekresi
asam).
b) Dispepsia tipe dismotilitas (dengan gejala yang menonjol yaitu mual, kembung,
dan anoreksia).
c) Dispepsia non spesifik, dimana tidak ada keluhan yang dominan (Djojoningrat,
2009).

Menurut Djojoningrat (2009), terdapat batasan waktu yang ditujukan untuk


meminimalisasi kemungkinan adanya penyebab organik. Jika terdapat alarm
symptoms atau alarm sign seperti penurunan berat badan, timbulnya anemia, muntah
yang prominen, maka hal tersebut merupakan petunjuk awal akan kemungkinan
adanya penyebab organik yang membutuhkan pemeriksaan penunjang diagnostik
secara lebih intensif seperti endoskopi dan sebagainya. Menurut Bytzer (2004) tidak
semua pasien dispepsia dilakukan pemeriksaan endoskopi dan banyak pasien yang
dapat ditatalaksana dengan baik dan diagnosis secara klinis dengan baik kecuali bila
ada alarm sign, seperti pada tabel 1.

Tabel 1. Alarm sign


ANAMNESIS

Jika pasien mengeluh mengenai dispepsia, dimulakan pertanyaan atau anamnesis dengan
lengkap. Berapa sering terjadi keluhan dispepsia, sejak kapan terjadi keluhan, adakah
berkaitan dengan konsumsi makanan? Adakah pengambilan obat tertentu dan aktivitas
tertentu dapat menghilangkan keluhan atau memperberat keluhan? Adakah pasien
mengalami nafsu makan menghilang, muntah, muntah darah, BAB berdarah, batuk atau
nyeri dada?11

Pasien juga ditanya, adakah ada konsumsi obat obat tertentu? Atau adakah dalam masa
terdekat pernah operasi? Adakah ada riwayat penyakit ginjal, jantung atau paru? Adakah
pasien menyadari akan kelainan jumlah dan warna urin? 11
Riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung alkohol dan jamu yang dijual
bebas di masyarakat perlu ditanyakan dan kalau mungkin harus dihentikan. Hubungan
dengan jenis makanan tertentu perlu diperhatikan. Tanda dan gejala "alarm"(peringatan)
seperti disfagia, berat badan turun, nyeri menetap dan hebat, nyeri yang menjalar ke
punggung, muntah yang sangat sering, hematemesis, melena atau jaundice kemungkinan
besar adalah merupakan penyakit serius yang memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi
dan / atau "USG" atau "CT Scan" untuk mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma
gaster atau esophagus, penyakit ulkus, pankreatitis kronis atau keganasan pankreas
empedu.11

Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor psikososial misalnya: masalah
anak (meninggal, nakal, sakit, tidak punya), hubungan antar manusia (orang tua, mertua,
tetangga, adik ipar, kakak), hubungan suami-istri (istri sibuk, istri muda, dimadu,
bertengkar, cerai), pekerjaan dan pendidikan (kegiatan rutin, penggusuran, pindah
jabatan, tidak naik pangkat). Hal ini berakibat eksaserbasi gejala pada beberapa orang.5

Harus diingat gambaran khas dari beberapa penyebab dispepsia. Pasien ulkus peptikum
bias anya berumur lebih dari 45 tahun, merokok dan nyeri berkurang dengan mencerna
makanan tertentu atau antasid. Nyeri sering membangunkan pasien pada malam hari
banyak ditemukan pada ulkus duodenum. Gejala esofagitis sering timbul pada saat
berbaring dan membungkuk setelah makan kenyang yaitu perasan terbakar pada dada,
nyeri dada yang tidak spesifik (bedakan dengan pasien jantung koroner), regurgitasi
dengan gejala perasaan asam pada mulut. Bila gejala dispepsia timbul segera setelah
makan biasanya didapatkan pada penyakit esofagus, gastritis erosif dan karsinoma.
Sebaliknya bila muncul setelah beberapa jam setelah makan sering terjadi pada ulkus
duodenum. Pasien dispepsia non ulkus lebih sering mengeluhkan gejala di luar GI, ada
tanda kecemasan atau depresi, atau mempunyai riwayat pemakaian psikotropik. 2, 6-11

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra-abdomen atau intra lumen yang
padat misalnya tumor, organomegali, atau nyeri tekan sesuai dengan adanya ransang
peritoneal/peritonitis.

Tumpukan pemeriksaan fisik pada bagian abdomen. Inspeksi akan distensi, asites, parut,
hernia yang jelas, ikterus, dan lebam. Auskultasi akan bunyi usus dan karekteristik
motilitasnya. Palpasi dan perkusi abdomen, perhatikan akan tenderness, nyeri,
pembesaran organ dan timpani.6 Pemeriksaan tanda vital bisa ditemukan takikardi atau
nadi yang tidak regular.
Kemudian, lakukan pemeriksaan sistem tubuh badan lainnya. Perlu ditanyakan perubahan
tertentu yang dirasai pasien, keadaan umum dan kesadaran pasien diperhatikan.
Auskultasi bunyi gallop atau murmur di jantung. Perkusi paru untuk mengetahui
konsolidasi. Perhatikan dan lakukan pemeriksaan terhadap ektremitas, adakah terdapat
perifer edema dan dirasakan adakah akral hangat atau dingin. Lakukan juga perabaan
terhadap kelenjar limfa.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:

a) Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi (leukositosis),


pakreatitis (amylase, lipase), keganasan saluran cerna (CEA, CA 19-9, AFP). Biasanya
meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan
urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda
infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung
lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita
dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada karsinoma saluran pencernaan
perlu diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA,
dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9.
b) Barium enema untuk memeriksa esophagus, Lambung atau usus halus dapat dilakukan
pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau
mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan. Pemeriksaan ini
dapat mengidentifikasi kelainan struktural dinding/mukosa saluran cerna bagian atas
seperti adanya tukak atau gambaran ke arah tumor.
c) Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa esofagus, lambung atau usus
halus dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung.
Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui apakah
lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku
emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.2,3,7 Pemeriksaan ini sangat
dianjurkan untuk dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh keadaan yang disebut
alarm symptoms, yaitu adanya penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan
dugaan adanya obstruksi, muntah darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung lama,
dan terjadi pada usia lebih dari 45tahun.1

Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:

a. CLO (rapid urea test)

b. Patologi anatomi (PA)

c. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan

d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian15

d) Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan


kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test (belum tersedia di
Indonesia). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran makan bagian atas dan
sebaiknya dengan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di
esofagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum yang
meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk ke
intestin. Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang
disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari
tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin). Kanker di
lambung secara radiologis, akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di
daerah kanker, bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis akut perlu dibuat foto polos
abdomen, yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign),
atau tampak dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang disebut sentina loops.1
.10

Management of dyspepsia based on age and alarm features. EGD, esophagogastroduodenoscopy.

2.6 Diagnosa Banding

Dispepsia non ulkus


Gastro-oesophageal reflux disease.

Ulkus peptikum.

Obat-obatan: obat anti inflamasi non-steroid, antibiotik, besi, suplemen kalium, digoxin.

Malabsorbsi Karbohidrat (lactose, fructose, sorbitol).

Cholelithiasis or choledocholithiasis.

Pankreatitis Kronik.

Penyakit sistemik (diabetes, thyroid, parathyroid, hypoadrenalism, connective tissue


disease).

Parasit intestinal.

Keganasan abdomen (terutama kanser pancreas dan gastrik).

2.7 Tatalaksana

Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:

a) Antasid

Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam
lambung. Antasid biasanya mengandungi Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg
triksilat. Pemberian antasid jangan terus- menerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk
mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga
berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan
menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2. Sering digunakan adalah gabungan
Aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida.Aluminum hidroksida boleh
menyebabkan konstipasi dan penurunan fosfat; magnesium hidroksida bisa menyebabkan
BAB encer. Antacid yang sering digunakan adalah seperti Mylanta, Maalox, merupakan
kombinasi Aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida. Magnesium kontraindikasi
kepada pasien gagal ginjal kronik karena bisa menyebabkan hipermagnesemia, dan
aluminium bisa menyebabkan kronik neurotoksik pada pasien tersebut.
b) Antikolinergik

Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu
pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan seksresi asam
lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.

c) Antagonis reseptor H2

Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial
seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis reseptor H2 antara lain
simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.

d) Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI).

Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi
asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol,
dan pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah ~18jam ; jadi, bisa dimakan antara 2 dan 5 hari
supaya sekresi asid gastrik kembali kepada ukuran normal. Supaya terjadi penghasilan
maksimal, digunakan sebelum makan yaitu sebelum sarapan pagi kecuali omeprazol.15

e) Sitoprotektif

Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat
sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi
meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki
mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat
mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan
protein sekitar
lesi mukosa saluran cerna bagian atas. Toksik daripada obat ini jarang, bisa menyebabkan
konstipasi (23%). Kontraindikasi pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis standard adalah
1 g per hari.15

f) Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid.
Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis
dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance).10

g) Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori

Eradikasi bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi simptom pada sebagian


pasien dan biasanya digunakan kombinasi antibiotik seperti amoxicillin (Amoxil),
clarithromycin (Biaxin), metronidazole (Flagyl) dan tetracycline (Sumycin).6
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmakoterapi (obat anti- depresi dan
cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang
muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi.2,6-12

Terapi Dispepsia Fungsional :

1. Perubahan diet dan gaya hidup

Dianjurkan makan dalam porsi yang lebih kecil tetapi lebih sering.
Makanan tinggi lemak, pedas, asam dihindarkan
2. Farmakologis
Pengobatan jangka lama jarang diperlukan kecuali pada kasus-kasus berat. (regular
medication) mungkin perlu pengobatan jangka pendek waktu ada keluhan. (on demand
medication). Pemberian terapi empiris dyspepsia fungsional dianjurkan berdasarkan
kriteria Rome III. Prokinetik (metoklorpramid, eritromisin, domperidon) diberikan pada
pasien dengan gambaran dominan sindrom distress post pandrial. Sementara pasien
dengan nyeri epigastria yang dominan diberikan obat penghambat sekresi asam
lambung. PPI ditunjukan memiliki efek yang superior dibandingkan antasida dan agonis
reseptor H2. PPI seperti omeprazole dapat dimulai dengan 1x20 mg PO. Bila keluhan
masih berlanjut , terapi dapat diberikan golongan yang lain. Keluhan yang masih
refrakter dapat diberikan trisiklik antidepresan seperti (TCA) seperti amitriptilin, dimulai
dosis yang rendah 10-25 mg PO tiap sebelum tidur.
3. Psikoterapi
Reassurance
Edukasi mengenai penyakitnya
BAB III

KESIMPULAN

1. Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri dari nyeri
atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat
kenyang, perut rasa penuh atau begah.
2. Dispepsia diklasifikasikan menjadi : Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya
kelainan organik sebagai penyebabnya dan dispepsia non organik, bila tanpa disertai
kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium,
radiologi, dan endoskopi (teropong saluran pencernaan).
3. Dispepsia organic disebabkan oleh obat-obatan, kelainan structural, penyakit metabolik /
sistemik, Lain-lain seperti Penyakit jantung iskemik
4. Dispepsia fungsional disebabkan kelainan fungsi dari saluran makanan, adanya
gangguan motilitas diantaranya; waktu pengosongan lambung yang lambat, abnormalitas
kontraktil, abnormalitas mioelektrik lambung, refluks gastroduodenal. Kelainan psikis,
stress dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan dispepsia fungsional.
5. Patogenesis terjadinya dispepsia fungsional, antara lain: sekresi asam lambung,
dismotilitas gastrointestinal, hipersensitivitas viseral, disfungsi autonom, diet dan faktor
lingkungan, psikologis.
6. Dispepsia dapat di diagnosis dengan menggunakan kriteria diagnosis Rome III.Dalam
menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium sederhana, dan pemeriksaan tambahan, seperti pemeriksaan radiologis dan
endoskopi. Jika terdapat alarm sign merupakan petunjuk awal akan kemungkinan
adanya penyebab organik yang membutuhkan pemeriksaan penunjang diagnostik secara
lebih intensif seperti endoskopi dan sebagainya.
7. Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu: Antasid, Antikolinergik,
Antagonis reseptor H2, Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI).,
Sitoprotektif , Golongan prokinetik , Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori.
8. Terapi Dispepsia Fungsional meliputi, Perubahan diet dan gaya hidup, farmakologis
dan psikoterapi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Sudoyo AW, Setiyohadi B,


Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam, Ed. IV, 2007.
Indonesia; Balai Penerbit FKUI. H. 285

2. Jones MP. Evaluation and treatment of dyspepsia. Post Graduate Medical Journal.
2003;79:25-29.

3. Tack J, Nicholas J, Talley, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, et al. Functional


Gastroduadenal. Gastroenterology. 2006;130:1466-1479.

4. Citra JT. Perbedaan depresi pada pasien dispepsia organik dan fungsional. Bagian
Psikiatri FK USU 2003.

5. Dyspepsia. Edition 2010. Available from: http://www.mayoclinic.org/dyspepsia/.

6. Talley N, Vakil NB, Moayyedi P. American Gastroenterological Association technical


review: evaluation of dyspepsia. Gastroenterology. 2005;129:1754

7. Ringerl Y. Functional dyspepsia. UNC Division of Gastroenterology and Hepatology.


2005;1:1-3.

8. Glenda NL. Gangguan lambung dan duodenum. Patofisiologi. Edisi ke-6. EGC;
2006.h.417-19.

9. Riza TC, Bushra S. Dyspepsia. Prim Care Clinical Office Pract 34 2007;1:99108.

10. Fauci AS, Braunwald, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson LJ et al. Peptic ulcer
disease in Harrisons Principle of Internal Medicine, 17th ed, Vol.II.2008. USA: Mc Graw
Hill Medical, p.287

Anda mungkin juga menyukai