DISPEPSIA
Oleh:
Preceptor:
Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun tugas referat tentang dispepsia ini.
Selanjutnya, tugas ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam kepaniteraan klinik di
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Stase Ilmu Penyakit dalam dan dr.Rina, Sp.PD selaku perceptor.
Kami menyadari kekurangan dalam penulisan tugas ini, baik dari bahasa, analisis, dan lain
sebagainya.Oleh karena itu, kami mohon maaf atas segala kekurangan. Kritik dan saran dari
pembaca sangat kami harapkan, guna untuk perbaikan makalah ini dan perbaikan untuk kita
semua.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan wawasan berupa ilmu pengetahuan
untuk kita semua.
Wassalamualaikum wr.wb.
Penulis
BAB 1.
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Keluhan dyspepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek
praktis sehari-hari. Diperkirakan hampir 30% kasus pada praktek umum dan 60%
praktek gastroenterologis merupakan kasus dyspepsia. Istilah dyspepsia mulai gencar
dikemukakan sejak akhir tahun 80-an yang menggambarkan keluhan atau kumpulan
gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual,
muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh di perut, sendawa, regurgitasi dan dan
rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau
didasari oleh berbagai penyakit tentunya termasuk pula penyakit lambung, yang
diasumsikan oleh orang awam seperti penyakit maag/lambung, Penyakit hepatitis,
pancreatitis kronik, kolesistitis kronik) merupakan penyakit tersering setelah penyakit
yang melibatkan gangguan patologis pada tukak peptic dan gastritis. Beberapa
penyakit di luar system gastrointestinal dapat pula bermanifestasi dalam bentuk
sindrom dyspepsia, seperti gangguan infark miokard, penyakit tiroid, obat-obat dan
sebagainya.
Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat dialami oleh
seseorang. Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30%
orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Dari data di Negara
barat di dapatkan prevalensinya berkisar 7-41% tapi hanya 10-20% yang mencari
pertolongan medis. Belum ada data epidemiologi di Indonesia.
Gejala yang esensial adalah selalu adanya komponen dari nyeri atau gangguan
abdomen bagian atas. Untuk membedakannya dari ICS (Irritable Colon Syndrome)
dikatakan bahwa dyspepsia meliputi gejala-gejala yang berpredominasi pada
abdomen bagian atas. Sejak pemakaian istilah dyspepsia hingga sekarang banyak
timbul bermacam-macam batasan mengenai dyspepsia.
2. Tujuan pembelajaran
a. Untuk mengetahui definisi dyspepsia
b. Untuk mengetahui etiologi dyspepsia
c. Untuk mengetahui klasifikasi dyspepsia
d. Untuk mengetahui pathogenesis dyspepsia
e. Untuk mengetahui penegakan diagnosis dyspepsia
f. Untuk mengetahui diagnosa banding dyspepsia
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan dyspepsia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Lambung atau ventrikulus berupa suatu kantong yang terletak di bawah diafragma,
berbentuk huruf J. Fungsi lambung secara umum adalah tempat di mana makanan
dicerna dan sejumlah kecil sari-sari makanan diserap. Lambung dapat dibagi menjadi
tiga daerah, yaitu daerah kardia, fundus dan pilorus. Kardia adalah bagian atas,
daerah pintu masuk makanan dari oesofagus . Fundus adalah bagian tengah,
bentuknya membulat. Pilorus adalah bagian bawah, daerah yang berhubungan dengan
usus 12 jari duodenum.13
Di lapisan mukosa terdapat 3 jenis sel yang berfungsi dalam pencernaan, yaitu sel
goblet [goblet cell], sel parietal [parietal cell], dan sel chief [chief cell]. Sel goblet
berfungsi untuk memproduksi mucus atau lendir untuk menjaga lapisan terluar sel
agar tidak rusak karena enzim pepsin dan asam lambung. Sel parietal berfungsi untuk
memproduksi asam lambung [Hydrochloric acid] yang berguna dalam pengaktifan
enzim pepsin. Diperkirakan bahwa sel parietal memproduksi 1.5 mol dm-3 asam
lambung yang membuat tingkat keasaman dalam lambung mencapai pH 2 yang
bersifat sangat asam. Sel chief berfungsi untuk memproduksi pepsinogen, yaitu enzim
pepsin dalam bentuk tidak aktif. Sel chief memproduksi dalam bentuk tidak aktif agar
enzim tersebut tidak mencerna protein yang dimiliki oleh sel tersebut yang dapat
menyebabkan kematian pada sel tersebut.
Kerja enzim dan pelumatan oleh otot lambung mengubah makanan menjadi lembut
seperti bubur, disebut chyme (kim) atau bubur makanan. Otot lambung bagian pilorus
mengatur pengeluaran kim sedikit demi sedikit dalam duodenum. Caranya, otot
pilorus yang mengarah ke lambung akan relaksasi (mengendur) jika tersentuh kim
yang bersifat asam. Sebaliknya, otot pilorus yang mengarah ke duodenum akan
berkontraksi (mengerut) jika tersentuh kim. Jadi, misalnya kim yang bersifat asam
tiba di pilorus depan, maka pilorus akan membuka, sehingga makanan lewat. Oleh
karena makanan asam mengenai pilorus belakang, pilorus menutup. Makanan
tersebut dicerna sehingga keasamannya menurun. Makanan yang bersifat basa di
belakang pilorus akan merangsang pilorus untuk membuka. Akibatnya, makanan
yang asam dari lambung masuk ke duodenum. Demikian seterusnya. Jadi, makanan
melewati pilorus menuju duodenum segumpal demi segumpal agar makanan tersebut
dapat tercerna efektif. Seteleah 2 sampai 5 jam, lambung kosong kembali.
Pengaturan peristiwa ini terjadi baik melalui saraf maupun hormon. Impuls
parasimpatikus yang disampaikan melalui nervus vagus akan meningkatkan motilitas,
secara reflektoris melalui vagus juga akan terjadi pengosongan lambung. Refleks
pengosongan lambung ini akan dihambat oleh isi yang penuh, kadar lemak yang
tinggi dan reaksi asam pada awal duodenum. Keasaman ini disebabkan oleh hormon
saluran cerna terutama sekretin dan kholesistokinin-pankreo-zimin, yang dibentuk
dalam mukosa duodenum dan dibawa bersama aliran darah ke lambung. Dengan
demikian proses pengosongan lambung merupakan proses umpan balik humoral.
Kelenjar di lambung tiap hari membentuk sekitar 2-3 liter getah lambung, yang
merupakan larutan asam klorida yang hampir isotonis dengan pH antara 0,8-1,5, yang
mengandung pula enzim pencemaan, lendir dan faktor intrinsik yang dibutuhkan
untuk absorpsi vitamin B12. Asam klorida menyebabkan denaturasi protein makanan
dan menyebabkan penguraian enzimatik lebih mudah. Asam klorida juga
menyediakan pH yang cocok bagi enzim lambung dan mengubah pepsinogen yang
tak aktif menjadi pepsin.
Asam klorida juga akan membunuh bakteri yang terbawa bersama makanan.
Pengaturan sekresi getah lambung sangat kompleks. Seperti pada pengaturan
motilitas lambung serta pengosongannya, di sini pun terjadi pengaturan oleh saraf
maupun hormon. Berdasarkan saat terjadinya, maka sekresi getah lambung dibagi
atas fase sefalik, lambung (gastral) dan usus (intestinal).
Fase Sekresi Sefalik diatur sepenuhnya melalui saraf. Penginderaan penciuman dan
rasa akan menimbulkan impuls saraf aferen, yang di sistem saraf pusat akan
merangsang serabut vagus. Stimulasi nervus vagus akan menyebabkan dibebaskannya
asetilkolin dari dinding lambung. Ini akan menyebabkan stimulasi langsung pada sel
parietal dan sel epitel serta akan membebaskan gastrin dari sel G antrum. Melalui
aliran darah, gastrin akan sampai pada sel parietal dan akan menstimulasinya
sehingga sel itu membebaskan asam klorida. Pada sekresi asam klorida ini, histamin
juga ikut berperan. Histamin ini dibebaskan oleh mastosit karena stimulasi vagus
(gambar 3). Secara tak langsung dengan pembebasan histamin ini gastrin dapat
bekerja.
Fase Lambung. Sekresi getah lambung disebabkan oleh makanan yang masuk ke
dalam lambung. Relaksasi serta rangsang kimia seperti hasil urai protein, kafein atau
alkohol, akan menimbulkan refleks kolinergik lokal dan pembebasan gastrin. Jika pH
turun di bawah 3, pembebasan gastrin akan dihambat.
Fase Usus mula-mula akan terjadi peningkatan dan kemudian akan diikuti dengan
penurunan sekresi getah lambung. Jika kim yang asam masuk ke usus duabelas jari
akan dibebaskan sekretin. Ini akan menekan sekresi asam klorida dan merangsang
pengeluaran pepsinogen. Hambatan sekresi getah lambung lainnya dilakukan oleh
kholesistokinin-pankreozimin, terutama jika kim yang banyak mengandung lemak
sampai pada usus halus bagian atas.
Di samping zat-zat yang sudah disebutkan ada hormon saluran cerna lainnya yang
berperan pada sekresi dan motilitas. GIP (gastric inhibitory polypeptide) menghambat
sekresi HC1 dari lambung dan kemungkinan juga merangsang sekresi insulin dari
kelenjar pankreas.
Degranulasi mastosit
Stimulasi sel G Pembebasan
asethilkolin
Pembebasan HCl
2. Dispepsia
2.1 Definisi
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (buruk) dan peptein (pencernaan).
Dispepsia menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari
nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrum, mual, muntah, kembung, cepat kenyang,
rasa penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau
keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, termasuk juga
didalamnya penyakit yang mengenai lambung atau yang dikenal sebagai penyakit
maag.
Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri dari
nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat
kenyang, perut rasa penuh atau begah yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Dengan
demikian dispepsia merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat kronik.Keluhan
refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi
asam lambung, kini tidak lagi termasuk dyspepsia.
2.2 Klasifikasi
Pengelompokan mayor dispepsia terbagi atas dua yaitu:
1) Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Sindrom dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap
organ tubuh misalnya tukak (ulkus peptikum), gastritis, stomach cancer, Gastro-
Esophageal reflux disease, hiperacidity. Adapun jenis-jenis dispepsia organik
yaitu:
2.3 Etiologi
a) Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau duodenum,
gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.
b) Obat obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa
antibiotic, digitalis, teofilin dan sebagainya.
c) Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis, kolesistetis
kronik.
d) Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner.
e) Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti
adanya kelainan atau gangguan organic atau structural biokimia, yaitu dispepsia
fungsional atau dispepsia non ulkus.
Klasifikasi Dispepsia Berdasarkan Etiologi
a) Organik
1. Obat-obatan
3. Kelainan struktural
a. Penyakit oesophagus
Akhalasia
Obstruksi esophagus
Gastritis erosif dan hemorhagik; sering disebabkan oleh OAINS dan sakit keras
(stres fisik) seperti luka bakar, sepsis, pembedahan, trauma, shock
Kholesistitis
d. Penyakit pankreas
Pankreatitis
Karsinoma pankreas
e. Penyakit usus
Malabsorbsi
Angina abdominal
Karsinoma kolon
a. Tuberculosis
b. Gagal ginjal
d. Diabetes melitius
f. Ketidakseimbangan elektrolit
b. Penyakit kolagen5-11
Dispepsia fungsional
Keluhan terjadi kronis, tanpa ditemukan adanya gangguan struktural atau organik atau
metabolik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan.Termasuk ini adalah
dispepsia dismotilitas, yaitu adanya gangguan motilitas diantaranya; waktu pengosongan
lambung yang lambat, abnormalitas kontraktil, abnormalitas mioelektrik lambung, refluks
gastroduodenal. Penderita dengan dispepsia fungsional biasanya sensitif terhadap produksi
asam lambung yaitu kenaikan asam lambung. Kelainan psikis, stress dan faktor lingkungan
juga dapat menimbulkan dispepsia fungsional.
2.4 Patogenesis
Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan patogenesis
terjadinya dispepsia fungsional, antara lain: sekresi asam lambung, dismotilitas
gastrointestinal, hipersensitivitas viseral, disfungsi autonom, diet dan faktor
lingkungan, psikologis (Djojoningrat, 2009).
a) Sekresi Asam Lambung
Sel kelenjar lambung mensekresikan sekitar 2500 ml getah lambung setiap hari.
Getah lambung ini mengandung berbagai macam zat. Asam hidroklorida (HCl)
dan pepsinogen merupakan kandungan dalam getah lambung tersebut.
Konsentrasi asam dalam getah lambung sangat pekat sehingga dapat
menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung
tidak mengalami iritasi karena sebagian cairan lambung mengandung mukus,
yang merupakan faktor pelindung lambung (Ganong, 2008). Kasus dengan
dispepsia fungsional diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung
terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut (Djojoningrat, 2009).
25 Peningkatan sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola makan yang
tidak teratur. Pola makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk
beradaptasi dalam pengeluaran sekresi asam lambung. Jika hal ini berlangsung
dalam waktu yang lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat
mengiritasi dinding mukosa pada lambung (Rani, 2011).
b) Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan
pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus),
gangguan akomodasi lambung saat makan, dan hipersensitivitas gaster. Salah satu
dari keadaan ini dapat ditemukan pada setengah atau dua pertiga kasus dispepsia
fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus
dispepsia fungsional dengan keluhan seperti mual, muntah, dan rasa penuh di ulu
hati (Djojoningrat, 2009). Gangguan motilitas gastrointestinal dapat dikaitkan
dengan gejala dispepsia dan merupakan faktor penyebab yang mendasari dalam
dispepsia fungsional. Gangguan pengosongan lambung dan fungsi motorik
pencernaan terjadi pada sub kelompok pasien dengan dispepsia fungsional. Sebuah
studi meta-analisis menyelidiki dispepsia fungsional 26 dan ganguan pengosongan
lambung, ditemukan 40% pasien dengan dispepsia fungsional memiliki
pengosongan lebih lambat 1,5 kali dari pasien normal (Chan & Burakoff, 2010).
c) Hipersensitivitas viseral
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor
mekanik, dan nociceptor (Djojoningrat, 2009). Beberapa pasien dengan dispepsia
mempunyai ambang nyeri yang lebih rendah. Peningkatan persepsi tersebut tidak
terbatas pada distensi mekanis, tetapi juga dapat terjadi pada respon terhadap stres,
paparan asam, kimia atau rangsangan nutrisi, atau hormon, seperti kolesitokinin
dan glucagon-like peptide. Penelitian dengan menggunakan balon intragastrik
menunjukkan bahwa 50% populasi dispepsia fungsional sudah timbul rasa nyeri
atau rasa tidak nyaman di perut pada inflasi balon dengan volume yang lebih
rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi kontrol
(Djojoningrat, 2009).
d) Gangguan akomodasi lambung
Dalam keadaan normal, waktu makanan masuk lambung terjadi relaksasi fundus
dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam lambung. Akomodasi
lambung ini dimediasi oleh serotonin dan nitric oxide melalui saraf vagus dari
sistem saraf enterik. Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia 27 fungsional
terjadi penurunan kemampuan relaksasi fundus postprandial pada 40% kasus
dengan pemeriksaan gastricscintigraphy dan ultrasound (USG) (Chan & Burakoff,
2010).
e) Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya
dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori terdapat sekitar 50% pada
dispepsia fungsional dan tidak berbeda pada kelompok orang sehat. Mulai
terdapat kecenderungan untuk melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia
fungsional dengan H. pylori positif yang gagal dengan pengobatan konservatif
baku (Djojoningrat, 2009).
f) Diet
Faktor makanan dapat menjadi penyebab potensial dari gejala dispepsia
fungsional. Pasien dengan dispepsia fungsional cenderung mengubah pola makan
karena adanya intoleransi terhadap beberapa makanan khususnya makanan
berlemak yang telah dikaitkan dengan dispepsia. Intoleransi lainnya dengan
prevalensi yang dilaporkan lebih besar dari 40% termasuk rempah-rempah,
alkohol, makanan pedas, coklat, paprika, buah jeruk, dan ikan (Chan & Burakoff,
2010).
g) Faktor psikologis Berdasarkan studi epidemiologi menduga bahwa ada hubungan
antara dispepsia fungsional dengan gangguan psikologis. Adanya stres akut dapat
mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetusakan keluhan pada orang sehat.
Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului mual
setelah stimulus stres sentral. Tetapi korelasi antara faktor psikologik stres
kehidupan, fungsi otonom dan motilitas masih kontroversial (Djojoningrat, 2009).
2.5 Diagnosis
Menurut Chang (2006), sindrom dispepsia dapat di diagnosis dengan menggunakan
kriteria diagnosis Rome III. Berdasarkan kriteria diagnosis Rome III, sindroma
dispepsia di diagnosis dengan gejala rasa penuh yang mengganggu, cepat kenyang,
rasa tidak enak atau nyeri epigastrium, dan rasa terbakar pada epigastrium. Pada
kriteria tersebut juga dinyatakan bahwa dispepsia ditandai dengan adanya satu atau
lebih dari gejala dispepsia yang diperkirakan berasal dari daerah gastroduodenal.
Dalam menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium sederhana, dan pemeriksaan tambahan, seperti
pemeriksaan radiologis dan endoskopi.
Pada anamnesis, ada tiga kelompok besar pola dispepsia yang dikenal yaitu :
a) Dispepsia tipe seperti ulkus (nyeri di epigastrium terutama saat lapar / epigastric
hunger pain yang reda dengan pemberian makanan, antasida, dan obat antisekresi
asam).
b) Dispepsia tipe dismotilitas (dengan gejala yang menonjol yaitu mual, kembung,
dan anoreksia).
c) Dispepsia non spesifik, dimana tidak ada keluhan yang dominan (Djojoningrat,
2009).
Jika pasien mengeluh mengenai dispepsia, dimulakan pertanyaan atau anamnesis dengan
lengkap. Berapa sering terjadi keluhan dispepsia, sejak kapan terjadi keluhan, adakah
berkaitan dengan konsumsi makanan? Adakah pengambilan obat tertentu dan aktivitas
tertentu dapat menghilangkan keluhan atau memperberat keluhan? Adakah pasien
mengalami nafsu makan menghilang, muntah, muntah darah, BAB berdarah, batuk atau
nyeri dada?11
Pasien juga ditanya, adakah ada konsumsi obat obat tertentu? Atau adakah dalam masa
terdekat pernah operasi? Adakah ada riwayat penyakit ginjal, jantung atau paru? Adakah
pasien menyadari akan kelainan jumlah dan warna urin? 11
Riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung alkohol dan jamu yang dijual
bebas di masyarakat perlu ditanyakan dan kalau mungkin harus dihentikan. Hubungan
dengan jenis makanan tertentu perlu diperhatikan. Tanda dan gejala "alarm"(peringatan)
seperti disfagia, berat badan turun, nyeri menetap dan hebat, nyeri yang menjalar ke
punggung, muntah yang sangat sering, hematemesis, melena atau jaundice kemungkinan
besar adalah merupakan penyakit serius yang memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi
dan / atau "USG" atau "CT Scan" untuk mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma
gaster atau esophagus, penyakit ulkus, pankreatitis kronis atau keganasan pankreas
empedu.11
Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor psikososial misalnya: masalah
anak (meninggal, nakal, sakit, tidak punya), hubungan antar manusia (orang tua, mertua,
tetangga, adik ipar, kakak), hubungan suami-istri (istri sibuk, istri muda, dimadu,
bertengkar, cerai), pekerjaan dan pendidikan (kegiatan rutin, penggusuran, pindah
jabatan, tidak naik pangkat). Hal ini berakibat eksaserbasi gejala pada beberapa orang.5
Harus diingat gambaran khas dari beberapa penyebab dispepsia. Pasien ulkus peptikum
bias anya berumur lebih dari 45 tahun, merokok dan nyeri berkurang dengan mencerna
makanan tertentu atau antasid. Nyeri sering membangunkan pasien pada malam hari
banyak ditemukan pada ulkus duodenum. Gejala esofagitis sering timbul pada saat
berbaring dan membungkuk setelah makan kenyang yaitu perasan terbakar pada dada,
nyeri dada yang tidak spesifik (bedakan dengan pasien jantung koroner), regurgitasi
dengan gejala perasaan asam pada mulut. Bila gejala dispepsia timbul segera setelah
makan biasanya didapatkan pada penyakit esofagus, gastritis erosif dan karsinoma.
Sebaliknya bila muncul setelah beberapa jam setelah makan sering terjadi pada ulkus
duodenum. Pasien dispepsia non ulkus lebih sering mengeluhkan gejala di luar GI, ada
tanda kecemasan atau depresi, atau mempunyai riwayat pemakaian psikotropik. 2, 6-11
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra-abdomen atau intra lumen yang
padat misalnya tumor, organomegali, atau nyeri tekan sesuai dengan adanya ransang
peritoneal/peritonitis.
Tumpukan pemeriksaan fisik pada bagian abdomen. Inspeksi akan distensi, asites, parut,
hernia yang jelas, ikterus, dan lebam. Auskultasi akan bunyi usus dan karekteristik
motilitasnya. Palpasi dan perkusi abdomen, perhatikan akan tenderness, nyeri,
pembesaran organ dan timpani.6 Pemeriksaan tanda vital bisa ditemukan takikardi atau
nadi yang tidak regular.
Kemudian, lakukan pemeriksaan sistem tubuh badan lainnya. Perlu ditanyakan perubahan
tertentu yang dirasai pasien, keadaan umum dan kesadaran pasien diperhatikan.
Auskultasi bunyi gallop atau murmur di jantung. Perkusi paru untuk mengetahui
konsolidasi. Perhatikan dan lakukan pemeriksaan terhadap ektremitas, adakah terdapat
perifer edema dan dirasakan adakah akral hangat atau dingin. Lakukan juga perabaan
terhadap kelenjar limfa.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Ulkus peptikum.
Obat-obatan: obat anti inflamasi non-steroid, antibiotik, besi, suplemen kalium, digoxin.
Cholelithiasis or choledocholithiasis.
Pankreatitis Kronik.
Parasit intestinal.
2.7 Tatalaksana
a) Antasid
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam
lambung. Antasid biasanya mengandungi Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg
triksilat. Pemberian antasid jangan terus- menerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk
mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga
berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan
menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2. Sering digunakan adalah gabungan
Aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida.Aluminum hidroksida boleh
menyebabkan konstipasi dan penurunan fosfat; magnesium hidroksida bisa menyebabkan
BAB encer. Antacid yang sering digunakan adalah seperti Mylanta, Maalox, merupakan
kombinasi Aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida. Magnesium kontraindikasi
kepada pasien gagal ginjal kronik karena bisa menyebabkan hipermagnesemia, dan
aluminium bisa menyebabkan kronik neurotoksik pada pasien tersebut.
b) Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu
pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan seksresi asam
lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
c) Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial
seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis reseptor H2 antara lain
simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi
asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol,
dan pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah ~18jam ; jadi, bisa dimakan antara 2 dan 5 hari
supaya sekresi asid gastrik kembali kepada ukuran normal. Supaya terjadi penghasilan
maksimal, digunakan sebelum makan yaitu sebelum sarapan pagi kecuali omeprazol.15
e) Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat
sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi
meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki
mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat
mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan
protein sekitar
lesi mukosa saluran cerna bagian atas. Toksik daripada obat ini jarang, bisa menyebabkan
konstipasi (23%). Kontraindikasi pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis standard adalah
1 g per hari.15
f) Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid.
Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis
dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance).10
Dianjurkan makan dalam porsi yang lebih kecil tetapi lebih sering.
Makanan tinggi lemak, pedas, asam dihindarkan
2. Farmakologis
Pengobatan jangka lama jarang diperlukan kecuali pada kasus-kasus berat. (regular
medication) mungkin perlu pengobatan jangka pendek waktu ada keluhan. (on demand
medication). Pemberian terapi empiris dyspepsia fungsional dianjurkan berdasarkan
kriteria Rome III. Prokinetik (metoklorpramid, eritromisin, domperidon) diberikan pada
pasien dengan gambaran dominan sindrom distress post pandrial. Sementara pasien
dengan nyeri epigastria yang dominan diberikan obat penghambat sekresi asam
lambung. PPI ditunjukan memiliki efek yang superior dibandingkan antasida dan agonis
reseptor H2. PPI seperti omeprazole dapat dimulai dengan 1x20 mg PO. Bila keluhan
masih berlanjut , terapi dapat diberikan golongan yang lain. Keluhan yang masih
refrakter dapat diberikan trisiklik antidepresan seperti (TCA) seperti amitriptilin, dimulai
dosis yang rendah 10-25 mg PO tiap sebelum tidur.
3. Psikoterapi
Reassurance
Edukasi mengenai penyakitnya
BAB III
KESIMPULAN
1. Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri dari nyeri
atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat
kenyang, perut rasa penuh atau begah.
2. Dispepsia diklasifikasikan menjadi : Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya
kelainan organik sebagai penyebabnya dan dispepsia non organik, bila tanpa disertai
kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium,
radiologi, dan endoskopi (teropong saluran pencernaan).
3. Dispepsia organic disebabkan oleh obat-obatan, kelainan structural, penyakit metabolik /
sistemik, Lain-lain seperti Penyakit jantung iskemik
4. Dispepsia fungsional disebabkan kelainan fungsi dari saluran makanan, adanya
gangguan motilitas diantaranya; waktu pengosongan lambung yang lambat, abnormalitas
kontraktil, abnormalitas mioelektrik lambung, refluks gastroduodenal. Kelainan psikis,
stress dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan dispepsia fungsional.
5. Patogenesis terjadinya dispepsia fungsional, antara lain: sekresi asam lambung,
dismotilitas gastrointestinal, hipersensitivitas viseral, disfungsi autonom, diet dan faktor
lingkungan, psikologis.
6. Dispepsia dapat di diagnosis dengan menggunakan kriteria diagnosis Rome III.Dalam
menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium sederhana, dan pemeriksaan tambahan, seperti pemeriksaan radiologis dan
endoskopi. Jika terdapat alarm sign merupakan petunjuk awal akan kemungkinan
adanya penyebab organik yang membutuhkan pemeriksaan penunjang diagnostik secara
lebih intensif seperti endoskopi dan sebagainya.
7. Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu: Antasid, Antikolinergik,
Antagonis reseptor H2, Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI).,
Sitoprotektif , Golongan prokinetik , Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori.
8. Terapi Dispepsia Fungsional meliputi, Perubahan diet dan gaya hidup, farmakologis
dan psikoterapi.
DAFTAR PUSTAKA
2. Jones MP. Evaluation and treatment of dyspepsia. Post Graduate Medical Journal.
2003;79:25-29.
4. Citra JT. Perbedaan depresi pada pasien dispepsia organik dan fungsional. Bagian
Psikiatri FK USU 2003.
8. Glenda NL. Gangguan lambung dan duodenum. Patofisiologi. Edisi ke-6. EGC;
2006.h.417-19.
9. Riza TC, Bushra S. Dyspepsia. Prim Care Clinical Office Pract 34 2007;1:99108.
10. Fauci AS, Braunwald, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson LJ et al. Peptic ulcer
disease in Harrisons Principle of Internal Medicine, 17th ed, Vol.II.2008. USA: Mc Graw
Hill Medical, p.287