Disusun Oleh :
00000001947
Pembimbing:
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................................................ 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 3
2.1 DEFINISI DAN SEJARAH PERKEMBANGAN PENYAKIT .............................. 3
2.2 EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO ............................................................ 4
2.3 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS ......................................................................... 5
2.4 DIAGNOSIS ............................................................................................................ 8
2.4.1 Manifestasi Klinis ..................................................................................... 8
2.4.2 Pemeriksaan Penunjang… ........................................................................ 9
2.5 TATA LAKSANA ................................................................................................. 16
2.5.1 Medikamentosa ....................................................................................... 16
2.5.2 Non-Medikamentosa.............................................................................. 17
2.6 PENCEGAHAN .................................................................................................... 18
2.6.1 Vaksinasi BCG (Bacille Calmette-Guerin) ............................................ 18
2.6.2 Kontrol Infeksi TB .................................................................................. 19
2.6.3 Terapi Isoniazid sebagai Profilaksis ....................................................... 20
BAB III. KESIMPULAN ........................................................................................................ 21
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 22
i
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) adalah infeksi menular oleh bakteri basil tahan asam,
Mycobacterium tuberculosis yang tercatat sebagai penyebab kematian manusia
terbanyak sepanjang sejarah mikroba. Kuman ini hidup berdampingan dengan
sejarah perkembangan manusia sejak 150 juta tahun yang lalu. Titik tolak sejarah
perkembangan ilmu TB terjadi pada 24 Maret 1882 saat Hermann Heinrich Robert
Koch berhasil menemukan kuman basil, M. tuberculosis.1 World Health
Organization memperkirakan bahwa sepertiga penduduk di dunia telah terinfeksi
oleh bakteri tersebut, sehingga hal ini menjadi masalah yang harus dihadapi baik
oleh negara berkembang maupun negara maju seiring dengan luasnya infeksi
Human Immunodeficiency Virus dan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi.2,3
Jumlah populasi penduduk dunia pada tahun 2016 diperkirakan sebesar 7 miliar
jiwa. Perkiraan insidens TB pada anak didunia tahun 2014 berjumlah 1.000.000
anak dengan total insidensi TB keseluruhan 9.000.000 orang. Jumlah populasi anak
<15 tahun adalah 30% dari total 7.126.098.000 penduduk. Angka kematian karena
TB pada anak di dunia adalah sekitar 136.000 anak.4-6 Jumlah populasi penduduk
di Indonesia pada tahun 2016 berjumlah 261 juta jiwa, dengan 15% dari total
populasi penduduk adalah anak berumur <15 tahun.2,3 Peningkatan angka prevalens
penduduk Indonesia dengan diagnosis TB pada tahun 2007 hingga 2013 adalah
sebesar 0.4%. Provinsi Banten termasuk dalam lima provinsi dengan prevalens TB
tertinggi di seluruh Indonesia.7 Perkiraan insidens TB pada anak perempuan dan
laki-laki <15 tahun di Indonesia adalah sebesar 28.000 dan 32.000.3 Peningkatan
jumlah kasus TB ini diduga disebabkan oleh beberapa hal, seperti: (1) diagnosis
tidak tepat, (2) pengobatan tidak adekuat, (3) program penanggulangan tidak
dilaksanakan dengan tepat, (4) infeksi endemik HIV, (5) migrasi penduduk, (6) self
treatment, (7) meningkatnya kemiskinan, dan (8) pelayanan kesehatan yang kurang
memadai.2
1
Organ paru merupakan satu-satunya port d’ entry infeksi kuman TB dalam tubuh
manusia sebelum bermanifestasi ke organ lain dalam tubuh. Tingginya jumlah anak
yang terinfeksi dan sakit TB membuat dokter umum, sebagai pemberi layanan
kesehatan lini pertama, diharapkan mampu mendeteksi, menegakkan diagnosis,
memberikan terapi, dan mencegah infeksi TB. Maka dari itu, tujuan dari penulisan
referat ini adalah untuk penyegaran kembali mengenai definisi dan sejarah
perkembangan penyakit, epidemiologi dan faktor risiko, etiologi dan patogenesis,
diagnosis, tata laksana, dan prognosis penderita TB paru anak, serta upaya
pencegahannya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kasus penderita TB di dunia tahun 1916 – 1917 mencapai angka 400,000 hingga
500,000. Hal ini membuat tentara Jerman dan sekutunya berhati-hati saat merekrut
pasukan untuk melangsungkan Perang Dunia I. Mereka melakukan rontgen dada
untuk menapis penderita TB. WHO Expert Committee on Tuberculosis dalam Ninth
Report 1974 kemudian merekomendasikan pemeriksaan mikroskopik sputum
sebagai penapis dan modalitas diagnosis TB daripada menggunakan foto toraks dan
tes tuberkulin.1
Sejarah pengobatan TB dimulai pada tahun 1859 oleh Herman Brehmer dengan
peresmian sanatorium di desa Silesian Mountain Gobersdorf. Sanatorium ini
menekankan teknik pengobatan dengan tirah baring, perbaikan nutrisi makanan,
berjemur dengan udara terbuka, serta olahraga yang teratur. Terapi lain yang
digunakan adalah melakukan pneumothoraks buatan pada penderita TB. Namun,
hal tersebut mulai ditinggalkan setelah ditemukannya streptomisin oleh Albert
3
Schatz, dkk. pada tahun 1944. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbaikan
klinis pada 31 pasien yang mendapat terapi streptomisin dari total 50 penderita TB,
namun 12 diantaranya meninggal. Isoniazid dan Rifampisin kemudian ditemukan
pada tahun 1952 dan 1957. Kombinasi ketiga obat ini membawa hasil yang sangat
memuaskan pada penderita TB di dunia dan masih digunakan hingga saat ini.1
Kumpulan data kasus kejadian TB anak dari tujuh rumah sakit Pusat Pendidikan
Indonesia dari tahun 1998 – 2002 adalah sebanyak 1.086 kasus dengan angka
kematian 0 – 14,1%. Kelompok penderita ditemukan terutama pada rentang usia 12
– 60 bulan (42,9%).10 Data Riskesdas 2013 menunjukkan prevalens TB paru
kelompok usia <5 tahun mencapai 0.6% dan pada kelompok usia 5 - 14 tahun
sebesar 0.3%.7 Angka persentase kasus baru dan kasus kambuh TB pulmonal di
wilayah Asia Tenggara mencapai 85% dengan TB ekstrapulmonal sebesar 15%.6
Penyebab kematian terbanyak disebabkan oleh TB pulmonal yang tidak diobati
(70%) .11 Angka kematian tertinggi pada TB ekstrapulmonal disebabkan oleh TB
diseminata dengan 33% dan meningitis TB dengan 26%.12
Tingginya angka kejadian dan kematian anak yang disebabkan TB dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Faktor yang berperan dalam kejadian TB pada anak dibagi atas
risiko infeksi dan risiko sakit. Faktor risiko infeksi TB pada anak adalah kontak
pasien dengan penderita TB paru BTA positif, (terutama oleh orang tua, dan jarang
oleh anak-anak), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan tidak sehat, tempat
penampungan umum (panti asuhan, penjara) dengan penderita TB dewasa aktif.
Sedangkan, faktor yang mempengaruhi risiko sakit TB adalah usia dibawah 5
4
tahun, lama pajanan, daya tahan anak, tingkat penularan, malnutrisi, dan keadaan
imunosupresi karena HIV, diabetes melitus dan gagal ginjal kronik.2,10
Bakteri ini bertumbuh secara perlahan, dengan doubling time 18 jam sehingga
kultur specimen klinis bakteri harus dilakukan 6 sampai 8 minggu sebelum
diinterpretasi sebagai negatif. Bakteri ini dapat dikultur menggunakan media
Löwenstein-Jensen yang mengandung nutrien (kuning telur) dan pewarna
(malachite green). Pewarna ini berfungsi untuk menghambat normal flora yang
tidak diinginkan pada sampel sputum.14
5
berkorelasi dengan faktor virulensi organisme ini akan berperan dalam
hipersensitivitas tipe 4. Bakteri berukuran <5m ini akan ditransmisikan dari
individu ke individu lainnya melalui aerosol masuk hingga alveolus. Bakteri akan
masuk dan tinggal didalam sel retikuloendotelial (makrofag) di alveolus. Bakteri
yang tidak mampu dibunuh oleh makrofag akan menginfeksi sel lainnya atau
diseminasi ke organ lainnya. Kuman TB yang berasal dari makrofag yang lisis akan
membentuk lesi yang disebut fokus primer Gohn. Kuman TB yang menyebar
melalui saluran limfe akan menyebabkan inflamasi pada saluran limfe (limfangitis)
dan kelenjar limfe (limfadenitis) perihiler dan atau paratrakeal. Gabungan ketiga
fokus ini disebut kompleks primer. Masa inkubasi ini berlangsung selama 2 – 12
minggu.2,14
Kuman TB dapat menyebar secara limfogen dan hematogen selama masa inkubasi.
Kuman TB cenderung bersarang di organ dengan vaskularisasi yang baik, seperti
apeks paru (fokus Simon), limpa, dan kelenjar limfe. Imunitas seluler terhadap TB
akan terbentuk setelah terbentuk kompleks primer yang ditandai dengan uji
tuberkulin positif. Fokus primer dijaringan paru kemudian mengalami resolusi
sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis kaseosa dan
enkapsulasi. Resolusi pada kelenjar limfe regional tidak akan sempurna. Kuman
TB ini akan menetap hingga bertahun-tahun dan dapat tidak menimbulkan gejala
sakit TB.2
6
Gambar 3. Patogenesis tuberkulosis dengan modifikasi dari dua sumber.2,14
7
2.4 DIAGNOSIS
Diagnosis definitif pada tuberkulosis adalah membuktikan adanya bakteri M.
tuberculosis dengan metode mikrobiologi, sitopatologi, ataupun histopatologi. Hal
ini tidaklah mudah untuk dibuktikan pada pasien anak. Tantangan diagnosis pasti
pada anak disebabkan oleh dua hal, yaitu kuman paucibacillary dan sulitnya
mendapatkan spesimen, terutama dahak.2
8
1. Kelenjar limfe superfisialis – limfadenopati yang multipel, unilateral, tidak
nyeri, tidak hangat, mobile, dan confluence
2. Susunan saraf pusat – meningitis (nyeri kepala, penurunan kesadaran, kaku
kuduk, muntah proyektil, kejang) dan tuberkuloma (proses desak ruang)
3. Sistem skeletal – nyeri, sendi bengkak, range of movement terbatas
4. Kulit – melalui inokulasi langsung (tuberculous chancre) dan
skrofuloderma (TB pascaprimer)
5. Mata – Konjungtivitis fliktenularis dan tuberkel koroid
6. Organ lain.2
0.1 PPD akan disuntikkan secara intrakutan dibagian volar lengan bawah. Reaksi
hipersensitivitas akan memuncak pada 48 sampai 72 jam sehingga pembacaan
dilakukan pada saat ini. Interpretasi reaksi positif uji tuberkulin akan dijelaskan
pada tabel dibawah.
9
Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada tiga keadaan:
1. Tidak ada infeksi TB
2. Dalam masa inkubasi infeksi TB
3. Anergi.2
Anergi adalah keadaan dimana tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberkulin
karena beberapa keadaan seperti gizi buruk, keganasan, penyakit morbili, pertusis,
varisela, influenza, pemberian vaksinasi dengan vaksin hidup, penggunaan obat-
obatan steroid jangka panjang, dan sitostatik.2
10
IGRA tidak dapat menggantikan TST. WHO menyatakan bahwa pemeriksaan
IGRA juga tidak lebih baik daripada TST (mahal, secara teknis sulit
diimplementasikan, dan hasil yang tidak konklusif terutama pada anak-anak).15
2.4.2.3 Radiologi
Foto toraks yang normal jika disertai klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang
mendukung ke arah TB, tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB. Namun, foto
toraks tidak mampu berdiri sendiri, kecuali gambaran TB milier. Foto toraks yang
digunakan adalah gambaran antero-posterior dan lateral. Selain, foto toraks, dapat
dilakukan computed tomography scan untuk mendapatkan gambaran paru yang
lebih jelas. Gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:
Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
Konsolidasi segmental/lobar
Kalsifikasi dengan infiltrat
Atelektasis
Kavitas
Efusi pleura
Tuberkuloma.2
2.4.2.4 Serologi
Pemeriksaan serologi merupakan salah satu modalitas yang sedang berkembang.
Pemeriksaan serologi menggunakan interaksi imun antigen terhadap antibodi yang
spesifik terhadap kuman M. tuberculosis seperti PPD, A60, 38kDa,
lipoarabinomanan dengan sampel yang berasal dari darah, sputum, cairan bronkus,
cairan pleura, dan cairan serebrospinal. Modalitas yang masih terus berkembang
adalah deteksi anti-interferon-gamma autoantibody (anti IFN-), PAP TB,
Mycodot, Immunochromatographic test (ICT), dll. Modalitas serologi ini masih
dalam tahap penelitian dan penggunaan secara rutin untuk diagnosis TB pada anak
belum direkomendasikan di Indonesia.2
11
Gambar 4.(a) Kompleks primer: fokus Gohn dan kelenjar limfe regional. (b) X-ray
menunjukkan kelenjar hilus dan infiltrat.20
Gambar 5.(a) Ruptur pada fokus yang menyebabkan efusi pleura. (b) X-ray
menunjukkan efusi pleura akibat tuberkulosis (panah). 20
Gambar 6.(a) Konsolidasi lobar. (b) Erosi kelenjar limfe parahilar dengan konsolidasi
paru kiri.20
12
Gambar 7.(a) Obstruksi bronkus oleh nodus limfe yang menyebabkan atelektasis. (b)
Atelektasis lobus kanan bawah paru.20
2.4.2.5 Mikrobiologi
Baku emas diagnosis TB adalah dengan menemukan kuman bakteri dalam sampel
pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis yang digunakan terdiri
atas pemeriksaan mikroskopis dengan apusan langsung (sebagian besar negatif) dan
pemeriksaan kultur (waktu pembiakan mencapai 6 – 8 minggu). Spesimen sputum
sulit didapatkan sehingga dapat menggunakan spesimen bilas lambung 3 hari
berturut-turut, minimal 2 hari. Pemeriksaan dengan kultur Bactec hanya
membutuhkan 1 – 3 minggu, tapi biaya mahal dan teknologi lebih rumit.2 Modalitas
pemeriksaan mikrobiologi terbaru adalah dengan pemeriksaan PCR yang memiliki
senstivitas yang lebih tinggi. Namun, kelemahan pemeriksaan ini terdapat pada
variasi tingkat sensitivitas PCR berbeda pada setiap laboratorium, mudah terjadi
kontaminasi kuman dari pemeriksaan sebelumnya sehungga menyebabkan keadaan
positif palsu, kuman persisten atau dorman dapat menunjukkan hasil positif, dan
biaya pemeriksaan mahal. Pemeriksaan PCR dengan spesimen darah tidak
bermanfaat. Spesimen yang biasa digunakan adalah sputum, bilas lambung, cairan
pleura, atau cairan serebrospinal.2
13
epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit, disertai sel datia Langhans dan terkadang
BTA.2,4,15
14
menggantikan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan histopatologi.15 Xpert
MTB/RIF (Gene Xpert ®) direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai
modalitas diagnostik awal penderita suspek TB-Multi Drugs Resistance atau TB
dengan HIV. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan pada spesimen dengan hasil
apusan negatif. Perlu diingat bahwa penggunaan Gene Xpert ® tidak berarti
pemeriksaan mikroskopis tidak dilakukan.21 Gene Xpert ® mulai
diimplementasikan di Indonesia pada tahun 2011 dan terus dikembangkan
penggunaannya untuk skala nasional. Keberhasilan pengobatan TB mencapai
angka 90% dan tingkat deteksi kasus baru TB >70% pada tahun 2013.
15
2.5 TATA LAKSANA
Tata laksana TB pada anak secara umum dibagi atas medikamentosa dan non-
medikamentosa. Tata laksana medikamentosa terdiri atas terapi pengobatan dan
profilaksis. Tujuan dilakukan tata laksana adalah untuk:
menyembuhkan pasien dengan TB;
mencegah kematian karena sakit TB atau komplikasinya;
mencegah kambuhnya TB;
mencegah perkembangan dan transmisi TB resistensi obat;
menurunkan transmisi TB;
mencapai semua tujuan dengan toksisitas seminimal mungkin.4,13,15
2.5.1 Medikamentosa
2.5.1.1 Obat anti tuberkulosis (OAT)
2.5.1.2 Kortikosteroid
Pada sakit TB yang berat, seperti meningitis TB, obstruksi jalan nafas akibat
limfadenopati TB, TB milier dengan gangguan nafas berat, efusi pleura TB, TB
abdomen dengan asites, dan perikardial TB akan diberikan terapi kortikosteroid.2,15
Dosis inisiasi prednison adalah 2 mg/kgBB/hari, kemudian dinaikkan 4
mg/kgBB/hari pada kasus berat dengan dosis maksimum 60 mg/hari, selama 4
16
minggu. Dosis obat kemudian diturunkan perlahan dalam 1 – 2 minggu sebelum
dihentikan sepenuhnya.15
2.5.1.3 Piridoksin
Suplementasi piridoksin dengan dosis 5 – 10 mg/hari direkomendasikan pada
pasien TB anak dengan HIV positif dalam pengobatan antiretroviral atau gizi
buruk.15
17
2.5.2.3 Evaluasi pengobatan
Respon terhadap pengobatan dinilai baik jika gejala klinis, nafsu makan, dan berat
badan meningkat. Jika respon tidak baik, maka pasien dirujuk dengan kemungkinan
resistensi obat, terdapat komplikasi, komorbiditas, dll. Pasien anak dengan BTA
positif akan dinilai dahak ulang pada akhir bulan ke-2, ke-5, dan ke-6. Pemeriksaan
radiologi ulang hanya akan dilakukan pada TB milier (1 bulan setelah pengobatan)
dan efusi pleura (2 – 4 minggu setelah pengobatan). Hasil akhir pengobatan pada
pasien TB anak adalah sebagai berikut:4
2.6 PENCEGAHAN
2.6.1 Vaksinasi BCG (Bacille Calmette-Guerin)
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dibiakkan dari Mycobacterium bovis
berulang selama 1 – 3 tahun untuk mendapatkan basil tidak virulen yang masih
mampu menimbulkan imunogenitas. Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi TB,
namun dapat mengurangi risiko terjadi tuberkulosis yang berat. Efek proteksi akan
timbul setelah 8 – 12 minggu pasca imunisasi. Efek proteksi vaksin berhubungan
dengan beberapa faktor, yaitu mutu vaksin yang digunakan, lingkungan dengan
Mycobacterium atypical atau faktor pejamu.22 M. atypical yang telah teridentifikasi
terdiri atas 50 spesies. Beberapa kuman yang bersifat patogen terhadap manusia,
seperti M. ulcerans, M. intracellulare, M. chelonae, M. kansasii, M. marinum, M.
18
fortuitum, M. gordonae, dan M. avium. Infeksi kuman ini meningkat seiring dengan
tingginya angka kejadian HIV/AIDS di dunia.23
Vaksin BCG harus disimpan pada suhu 2 – 8oC (tidak beku) dan tidak boleh terkena
sinar matahari. Vaksin yang telah diencerkan digunakan dalam waktu <8 jam.
Vaksin BCG direkomendasikan pada bayi usia <3 bulan. Vaksin BCG rekombinan
dan booster sedang dalam tahap perkembangan.22
BCG memiliki fitur yang unik dan menguntungkan sehingga baik digunakan
sebagai vektor vaksin (biaya terjangkau, sifatnya stabil dan aman, dapat berperan
sebagai adjuvan, tidak berpengaruh terhadap antibodi maternal, dapat digunakan
peroral, sangat imunogenik, dan mampu bereplikasi didalam makrofag). BCG
diharapkan mampu memberikan imunitas (respon imun humoral dan seluler) yang
awet dengan pemberian dosis tunggal. Namun, BCG gagal melindungi pejamu dari
infeksi TB, terutama pada orang dewasa di negara endemis seperti Indonesia.
Pengembangan rBCG bertujuan untuk mengeksresikan sitokin yang lebih spesifik,
seperti interleukin-2 dan interferon gamma agar dapat memodulasi imun respon
pejamu. Penelitian yang sedang berkembang sekarang ini adalah menemukan
antigen yang bersifat imunodominan dan antigen yang mampu terus terpapar pada
imun tubuh saat terjadi penurunan kadar BCG dalam tubuh. Beberapa antigen yang
digunakan adalah protein HspX dan kompleks Ag85B, serta paparan kembali oleh
antigen ESAT-6 dan CFP-10.24,25
19
dan tepat, memperbaiki ventilasi ruangan, serta melakukan pengawasan praktik
kontrol infeksi.2
20
BAB III
KESIMPULAN
Tuberkulosis sampai saat ini, masih menjadi masalah utama dalam bidang
kesehatan yang dihadapi khususnya oleh negara berkembang, termasuk Indonesia.
Negara Indonesia merupakan negara endemis TB, sehingga kita perlu memiliki
kecurigaan yang tinggi terhadap infeksi TB saat menghadapi pasien. Berbagai
tindakan pencegahan pun harus dilakukan, salah satunya dengan pemberian vaksin
BCG. Penegakan diagnosis anak dengan TB masih menjadi tantangan besar bagi
dokter umum. Kuman TB menyebar melalui droplets dan masuk ke alveolus.
Kuman ini bersifat paucibacillary dan tinggal dilokasi parenkim yang cukup jauh
dari bronkus. Hal ini mengakibatkan sulitnya mencapai diagnosis pasti dengan
menemukan kuman dalam dahak. Beberapa modalitas pemeriksaan penunjang
terbaru yang digunakan untuk menunjang diagnosis adalah pemeriksaan IGRA dan
GeneXpert ®. Namun, penggunaan alat ini hanya sebatas mendukung diagnosis,
sehingga masih diperlukan analisa kritis dengan pengumpulan fakta yang sebanyak
mungkin. Dengan penegakan diagnosis yang dini, maka penatalaksanaan utama
dengan medikamentosa pun dapat diinisiasi sedini mungkin. Perlu diingat bahwa
semua modalitas yang diketahui tidak perlu diaplikasikan pada seluruh pasien.
Penggunaanya harus disesuaikan dengan keadaan dan kondisi pasien.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Daniel TM. The history of tuberculosis. Res Med Journal. 2006; 100: p. 1862-70.
2. UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. 2nd
ed, Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB, editors. Jakarta: UKK Respirologi
PP IDAI; 2007.
3. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2017 (Report). Geneva: World Health
Organization; 2017.
4. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Petunjuk Teknis Manajemen dan
Tatalaksana TB Anak Asik , Hastuti EB, Yuzwar YE, editors. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2016.
5. Jenkins HE. Global burden of childhood tuberculosis. Pneumonia. 2016; 8: p. 1-7.
6. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2014. Report. Geneva: World Health
Organization; 2014.
7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2013.
8. Barberis I, Bragazzi NL, Galluzzo L, Martini M. The history of tuberculosis: from the first
historical records to the isolation of Koch's bacillus. J Prev Med Hyg. 2017; 58: p. E9-E12.
9. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Tuberkulosis: Temukan
Obati Sampai Sembuh (Report). Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2016.
10. Kartasasmita CB. Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri. 2009; 11: p. 124-9.
11. Tiemersma EW, Werf MJvd, Borgdorff MW, Williams BG, Nagelkerke NJD. Natural History
of Tuberculosis: Duration and Fatality of Untreated Pulmonary Tuberculosis in HIV Negative
Patients: A Systematic Review. PLOS. 201; 6: p. 1-13.
12. Kourbatova EV, Leonard Jr MK, Romero J, Kraft C, Rio Cd, Blumberg HM. Risk factors for
mortality among patients with extrapulmonary tuberculosis at an academic inner-city hospital in
th eus. Eur J Epidemiol. 2006; 21: p. 715-21.
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006.
14. Levinson WE. Mycobacterium Tuberculosis. In: Weitz M, Davis KJ, editors. Review of Medical
Microbiology and Immunology. 14th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2016. p. 183-93.
15. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis programmes on the management
of tuberculosis in children. 2nd ed. Geneva: WHO Press; 2014. p. 21-50.
16. Dunn JJ, Starke JR, Revell PA. Laboratory Diagnosis of Mycobacterium tuberculosis Infection
and Disease in Children. J Clin Microbiol. 2016; 54: p. 1434-41.
17. Pinxteren LAH, Ravn P, Agger EM, Pollock J, Andersen P. Diagnosis of Tuberculosis based on
the Two Specific Antigens ESAT-6 and CFP10. Clin Diagn Lab Immunol; 2000; 7: p. 155-60.
18. Setyaningtyas A, Iskandar D, Setyaningrum RA, Setiawati L. Comparison of Tuberculin Skin
Test and Interferon Gamma Secreting T-Cell Assay for Detecting Tuberculosis Infection in
Children Exposed to Mycobacterium Tuberculosis at Dr. Soetomo Hospital Surabaya. Sari
Pediatri. 2014; 16: p. 1-7.
19. Lalvani A, Pareek M. Interferon gamma release assays: principles and practice. Enferm Infecc
Microbiol Clin. 2010; 28: p. 245-52.
20. Verghese VP. Diagnosing pulmonary tuberculosis in children. Curr Med Issues. 2017; 15: p.
106-13.
21. World Health Organization. Automated Real-time Nucleic Acid Amplification Technology for
Rapid and Simultaneous Detection of Tuberculosis and Rifampicin Resistance: Xpert MTB/TIF
System (Policy Statement). Geneva: WHO Press; 2011.
22. Rahajoe NN, Kaswandani N. Tuberkulosis. In Ranuh IG, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB,
Ismoedijanto , Soedjatmiko , Gunardi H, et al., editors. Pedoman Imunisasi di Indonesia. 6th ed.
Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2017. p. 274-9.
23. Chesney PJ. Nontuberculous Mycobacteria. Peds in Review. 2002; 23: p. 300-9.
24. Triccas JA. Recombinant BCG as a vaccine vehicle to protect against tuberculosis.
Bioengineered. 2010 March; 1: p. 110-5.
25. Oliveira TL, Rizzi C, Dellagostin OA. Recombinant BCG vaccines: molecular features and their
influence in the expression of foreign genes. Appl Microbiol Biotechnol; 2017. p. 1-13.
22