Anda di halaman 1dari 24

Referat

Tatalaksana Infeksi HIV

Disusun Oleh:

Greetty Permatahati

112018184

Dokter Pembimbing:

dr. Stefanus Surya, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT IMANUEL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

PERIODE 23 SEPTEMBER – 30 NOVEMBER 2019

0
BAB I
PENDAHULUAN

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) pertama kali diidentifikasi pada tahun


1981 setelah muncul kasus-kasus pneumonia Pneumocystis carinii dan sarcoma Kaposi
pada laki-laki muda homoseks di berbagai wilayah Amerika Serikat. Sebelumnya kasus
tersebut sangat jarang terjadi, apabila terjadi biasanya disertai penurunan kekebalan imunitas
tubuh. Pada tahun 1983 Luc Montagnier mengidentifikasi virus penyebab AIDS, yang telah
diisolasi dari pasien dengan limfadenopati dan pada waktu itu diberi nama LAV
( Lymphadenopathy virus ). Sedangkan Robet Gallo menemukan virus penyebab AIDS
pada tahun 1984 yang saat itu dinamakan HTLV-III.1
Kasus pertama di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan
pada tahun 1987, yaitu pada seorang warga Negara Belanda yang sedang berlibur ke Bali.
Sebenarnya sebelum itu, yaitu pada tahun 1985 telah ditemukan kasus yang gejalanya
sangat sesuai dengan HIV/AIDS dan hasil tes ELISA tiga kali diulang dinyatakan positif.
Tetapi tes Western Blot hasilnya negative, sehinga tidak dilaporkan. Kasus kedua ditemukan
pada bulan Maret 1986 di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemofilia. 1
Pada beberapa tahun terakhir telah tercatat kemajuan dari pelaksanaan program
pengendalian HIV di Indonesia. Berbagai layanan HIV telah berkembang dan jumlah orang
yang memanfaatkannya juga telah bertambah dengan pesat. Walaupun data laporan kasus
HIV dan AIDS yang dikumpulkan dari daerah memiliki keterbatasan, namun bisa
disimpulkan bahwa peningkatan yang bermakna dalam jumlah kasus HIV yang ditemukan
dari tahun 2009 sampai dengan 2012 berkaitan dengan peningkatan jumlah layanan
konseling dan tes HIV (KTHIV) pada periode yang sama.2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi HIV
HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian
menimbulkan AIDS. Virus ini menyerang organ-organ vital sistem kekebalan tubuh
manusia, seperti sel T4 CD4+ makrofag, dan sel dendritik. HIV merusak sel T4 CD4+
secara langsung dan tidak langsung, sel T4 CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh
dapat berfungsi baik.1
Sejak dilaporkan adanya kasus AIDS yang pertama oleh Gottlieb dkk. di Los
Angeles pada tangal 5 Juni 1981, pada bulan Januari 1983 Luc Montagnier dkk. menemukan
virus penyebab penyakit AIDS ini dan disebut dengan LAV (Lymphadenopathy Virus).
Hasil penelitian Gallo, Maret 1984 di Amerika menyatakan penyebab penyakit ini adalah
Human T Lymphotropic Virus Type III, disingkat dengan HTLV III dan tahun 1984
berdasarkan hasil penemuannya, J.Levy menamakan AIDS Related Virus (ARV) sebagai
penyebab penyakit ini. Pada bulan Mei 1986 Komisi Taksonomi Internasional menetapkan
nama virus penyebab AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus, disingkat dengan HIV. 1
HIV adalah virus RNA yang termasuk dalam famili Retroviridae subfamili
Lentivirinae. Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu
untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang. Satu kali
terinfeksi oleh retrovirus, maka infeksi ini akan bersifat permanen, seumur hidup. 1
HIV merupakan retrovirus yang terdiri dari sampul dan inti. Virus HIV terdiri dari 2
sub-tipe, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 bermutasi lebih cepat karena replikasi nya lebih
cepat. Secara struktural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang
dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar. Pada pusat lingkaran terdapat untaian RNA.
HIV mempunyai 3 gen yang merupakan komponen fungsional dan struktural yaitu gag
(group antigen), pol (polymerase), dan env (envelope). 1

Definisi AIDS
AIDS merupakan singkatan dari Aquired Immune Deficiency Syndrome. Syndrome
berarti kumpulan gejala-gejala dan tanda-tanda penyakit. Deficiency berarti kekurangan,

2
Immune berarti kekebalan, dan Aquired berarti diperoleh atau didapat, dalam hal ini
“diperoleh” mempunyai pengertian bahwa AIDS bukan penyakit keturunan. Seseorang
menderita AIDS bukan karena ia keturunan dari penderita AIDS, tetapi karena ia terjangkit
atau terinfeksi virus penyebab AIDS. Oleh karena itu, AIDS dapat diartikan sebagai
kumpulan tanda dan gejala penyakit akibat hilangnya atau menurunnya sistem kekebalan
tubuh seseorang. 1
AIDS merupakan suatu sindroma yang amat serius, dan ditandai oleh adanya
kerusakan sistem kekebalan tubuh penderitanya. Dapat diartikan sebagai kumpulan gejala
atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus
HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. 1

Etiologi dan Patogenesis


Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae. Virus famili
ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini menyebabkan retrovirus
mampu mengubah informasi genetiknya kedalam bentuk yang terintegrasi di dalam
informasi genetik dari sel yang diserangnya. Jadi setiap kali sel yang dimasuki retrovirus
membelah diri, informasi genetik virus juga ikut diturunkan.3

Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai marker permukaan seperti sel
CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan makrofag saat terdapat
antigen target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi target utama
HIV. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung,
sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. Secara tidak
langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti p24 berinteraksi
dengan CD4+ yang kemudian akan menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan
antigen.3
Setelah HIV mengifeksi seseorang, kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam
flu disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Serokonversi
(perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi. Pada masa ini,
tidak ada dijumpai tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat serta
test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini, tahap ini disebut juga periode jendela
(window periode). Kemudian dimulailah infeksi HIV asimptomatik yaitu masa tanpa
gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+ secara bertahap. Mula-mula penurunan

3
jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi
cepat, 50-100 sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi
AIDS adalah 8- 10 tahun, dimana jumlah CD4+ akan mencapai <200 sel/µL

4
Dalam tubuh ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), partikel virus bergabung dengan
DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap
AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS sesudah 10
tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan
gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan
gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang
juga bertahap.3
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai
menampakkan gejala akibat infeksi opurtunistik seperti penurunan berat badan, demam
lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dll.
Virus HIV ini yang telah berhasil masuk kedalam tubuh seseorang, juga akan
menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak,
sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus, dan
sel Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah encefalopati
dan pada sel epitel usus adalah diare kronis.3

Epidemiologi HIV/AIDS
Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih dari 25
juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun 2009, jumlah
ODHA diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan sebagian besar penderitanya
adalah usia produktif , 15,9 juta penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-
anak. Dengan jumlah kasus baru HIV sebanyak 2.6 juta jiwa. Dari jumlah kasus baru
tersebut, sekitar 370 ribu di antaranya terjadi pada anak-anak. Pada tahun yang sama,
lebih dari dua juta orang meninggal karena AIDS.3
Peningkatan jumlah orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada tahun
1990, jumlah ODHA baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat ini,
jumlahnya sudah mencapai 33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67%
diantaranya disumbangkan oleh ODHA di kawasan sub Sahara, Afrika.3
Pada tahun 2014 dilaporkan 32.711 kasus HIV baru, sehingga sampai dengan
Desember 2014 secara kumulatif telah teridentifikasi 160.138 orang yang terinfeksi HIV,
meskipun sudah banyak yang meninggal. Jumlah layanan yang ada hingga tahun 2014
meliputi 1.583 layanan KTHIV, 465 layanan perawatan, dukungan dan pengobatan
(PDP) yang aktif melaksanakan pengobatan ARV, 90 layanan PTRM, 1.290 layanan
IMS dan 214 layanan PPIA.2
5
Transmisi HIV/AIDS
Transmisi HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV
yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik
pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke
bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS
dapat diketahui, misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersial dan pelanggannya,
serta narapidana. 4

a.Transmisi Seksual
Transmisi HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan
vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau
membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa
pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan
risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks
oral. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena
pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap
rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV. 4
Cara hubungan seksual ano-genital merupakan perilaku seksual dengan
risiko tertinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif
menerima ejakulasi semen dari seorang pengidap HIV. Hal ini disebabkan karena
tipisnya mukosa rektum sehingga mudah sekali mengalami perlukaan saat
berhubungan seksual ano-genital. Risiko perlukaan ini semakin bertambah apabila
terjadi perlukaan dengan tangan (fisting) pada anus/rektum. Tingkat risiko kedua
adalah hubungan oro-genital termasuk menelan semen dari mitra seksual pengidap
HIV. Tingkat risiko ketiga adalah hubungan genito-genital/hetero seksual,
biasanya terjadi pada hubungan suami istri yang salah seorang telah mengidap
HIV. 4
b.Transmisi Non Seksual
HIV dapat menular melalui transmisi parenteral yaitu akibat penggunaan
jarum suntik dan alat tusuk lainnya seperti alat tindik yang terkontaminasi HIV.
Penggunaan jarum suntik yang berganti-gantian menyebabkan tingginya kasus
HIV/AIDS pada kelompok pengguna napza suntik (IDU). Pada umumnya,
ibukota dan kota-kota metropolitan mempunyai jumlah pengguna napza suntik
yang besar. Di negara berkembang, cara ini juga terjadi melalui jarum suntik

6
yang dipakai oleh petugas kesehatan. Berbagi dan menggunakan kembali jarum
suntik yang mengandung darah yang terkontaminasi merupakan penyebab
sepertiga dari semua infeksi baru HIV.4
Transmisi parenteral lainnya adalah melalui donor/transfusi darah yang
mengandung HIV. Risiko tertular infeksi HIV lewat transfusi darah adalah >90%,
artinya bila seseorang mendapat transfusi darah yang terkontaminasi HIV maka
dapat dipastikan orang tersebut akan menderita HIV sesudah transfuse itu. Di
negara maju resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil, hal
ini dikarenakan pemilihan donor yang semakin bertambah baik dan pengamatan
HIV telah dilakukan. Namun demikian, mayoritas populasi dunia tidak memiliki
akses terhadap darah yang aman. Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi
melalui rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir
kehamilan dan saat persalinan. 4
HIV tidak menular melalui peralatan makanan, pakaian, handuk, sapu
tangan, toilet yang dipakai secara bersama-sama, ciuman pipi, berjabat tangan,
hidup serumah dengan penderita HIV yang bukan mitra seksual dan hubungan
sosial lainnya. Air susu ibu pengidap HIV, saliva/air liur, air mata, urin serta
gigitan nyamuk belum terbukti dapat menularkan HIV/AIDS. 4

Diagnosis
Sejak tanggal 5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan
epidemiologi AIDS, seperti definisi Bangui dan definisi World Health Organization
(WHO) tentang AIDS tahun 1994. Namun demikian, kedua sistem tersebut sebenarnya
ditujukan untuk pemantauan epidemi dan bukan untuk penentuan tahapan klinis pasien,
karena definisi yang digunakan tidak sensitif ataupun spesifik. Di negara-negara
berkembang, sistem WHO untuk infeksi HIV digunakan dengan memakai data klinis dan
laboratorium, sementara di negara-negara maju digunakan sistem klasifikasi Centers for
Disease Control (CDC) Amerika Serikat.4
Anamnesis
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat
kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk
menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan
laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk
menentukan tata laksana selanjutnya.4
7
Dari Anamnesis, perlu digali faktor risiko HIV/AIDS, Berikut ini
mencantumkan, daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA.4

Tabel 1. Faktor risiko infeksi HIV.4


- Penjaja seks laki-laki atau perempuan

- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)

- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender
(waria)

- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial

- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)

- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah

- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Pemeriksaan Laboratorium Untuk Tes HIV


Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional
yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu didahului
dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat menggunakan
reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan
tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2
dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (>99%).5
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan
setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam
masa jendela menunjukkan hasil ”negatif”, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama bila
masih terdapat perilaku yang berisiko.5
Bagan alur pemeriksaan laboratorium HIV :

8
Keterangan:
Yang dimaksud berisiko
dalam bagan adalah
kelompok populasi kunci
(pekerja seks, pengguna
napza suntik, lelaki sek
dengan lelaki, waria), pasien
Hepatitis, ibu hamil,
pasangan diskordan, pasien
TB, pasien IMS, Warga
Binaan Pemasyarakatan

Intepretasi hasil pemeriksaan anti-HIV.5


 Hasil positif:
o Bila hasil A1 reaktif. A2 rektif dan A3 reaktif
 Hasil Negatif :
o Bila hasil A1 non reaktif
o Bila hasil A1 reaktif tapi pada pengulangan A1 dan A2 non reaktif
o Bila salah satu reaktif tapi tidak berisiko
 Hasil indeterminate
o Bila dua hasil reaktif
o Bila hanya 1 tes reaktif tapi berisiko atau pasangan berisiko

Tindaklanjut hasil pemeriksaan anti-HIV.5


 Tindak lanjut hasil positif

9
o Lakukan konseling hasil tes positif dan rujuk untuk mendapatkan paket
layanan PDP
 Tindak lanjut hasil negatif
o Bila yakin tidak ada faktor resiko dan atau perilaku berisiko dilakukan
LEBIH DARI tiga bulan sebelumnya maka pasien di beri konseling cara
menjaga tetap negative
o Bila belum yakin ada tidaknya faktor resiko dana tau perilaku berisiko
dilakukan DALAM tiga bulan terakhir maka dianjurkan untuk TES
ULANG dalam 1 bulan
 Tidak lanjut hasil indeterminate
o Tes ulang dalam 1 bulan
o Konseling cara menjaga agar tetap negative ke depannya

Manifestasi klinis
Gejala infeksi HIV pada awalnya sulit dikenali karena seringkali mirip penyakit
ringan sehari-hari seperti flu dan diare sehingga penderita tampak sehat. Kadang-kadang
dalam 6 minggu pertama setelah kontak penularan timbul gejala tidak khas berupa
demam, rasa letih, sakit sendi, sakit menelan dan pembengkakan kelenjar getah bening di
bawah telinga, ketiak dan selangkangan. Gejala ini biasanya sembuh sendiri dan sampai
4-5 tahun mungkin tidak muncul gejala.6
Pada tahun ke 5 atau 6 tergantung masing-masing penderita, mulai timbul diare
berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan
pembengkakan di daerah kelenjar getah bening. Kemudian tahap lebih lanjut akan terjadi
penurunan berat badan secara cepat (> 10%), diare terus-menerus lebih dari 1 bulan
disertai panas badan yang hilang timbul atau terus menerus. 6
Tanda-tanda seorang tertular HIV Sebenarnya tidak ada tanda-tanda khusus yang
bisa menandai apakah seseorang telah tertular HIV, karena keberadaan virus HIV sendiri
membutuhkan waktu yang cukup panjang (5 sampai 10 tahun hingga mencapai masa
yang disebut fullblown AIDS). Adanya HIV di dalam darah bisa terjadi tanpa seseorang
menunjukan gejala penyakit tertentu dan ini disebut masa HIV positif. Bila seseorang
terinfeksi HIV untuk pertama kali dan kemudian memeriksakan diri dengan menjalani tes
darah, maka dalam tes pertama tersebut belum tentu dapat dideteksi adanya virus HIV di
dalam darah. Hal ini disebabkan karena tubuh kita membutuhkan waktu sekitar 3 – 6
bulan untuk membentuk antibodi yang nantinya akan dideteksi oleh tes darah tersebut.
10
Masa ini disebut window period (periode jendela) . Dalam masa ini , bila orang tersebut
ternyata sudah mempunyai virus HIV di dalam tubuhnya (walau pun belum bisa di
deteksi melalui tes darah), ia sudah bisa menularkan HIV melalui perilaku yang
disebutkan di atas tadi. 6
Secara umum, tanda-tanda utama yang terlihat pada seseorang yang sudah sampai
pada tahapan AIDS adalah:5
 Berat badan menurun lebih dari 10% dalam waktu singkat
 Demam (terus menerus atau intermiten, temperature oral >37,5°C) yang lebih
dari satu bulan
 Diare berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
 Limfadenopati meluas

Sedangkan gejala-gejala tambahan berupa:5


 Kulit:
PPE* dan kulit kering yang meluas* merupakan dugaan kuat infeksi HIV.
Beberapa kelainan seperti kulit genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis
sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV
 Infeksi jamur:
 Kandidiasis oral
 Dermatitis seboroik
 Kandidiasis vagina berulang
 Infeksi viral:
 Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari satu dermatom)
 Herpes genital (berulang)
 Moluskum kontagiosum
 Kondiloma
 Gangguan pernafasan:
 Batuk lebih dari satu bulan
 Sesak nafas
 Tuberculosis
 Pneumonia berulang
 Sinusitis kronis atau berulang
 Gejala neurologis:

11
 Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak jelas
penyebabnya)
 Kejang demam
 Menurunnya fungsi kognitif

Infeksi HIV/AIDS berbahaya, karena telah banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal
 Gejala muncul setelah 2 - 10 tahun terinfeksi HIV.
 Pada masa tanpa gejala sangat mungkin menularkan kepada orang lain.
 Setiap orang dapat tertular HIV/AIDS.
 Belum ada vaksin dan obat penyembuhnya.

Perjalanan Penyakit dan Gejala yang Timbul. 6 :


 Dalam masa sekitar 3 bulan setelah tertular, tubuh belum membentuk
antibodi secara sempurna, sehingga tes darah tidak memperlihatkan bahwa
orang tersebut telah tertular HIV. Masa 3 bulan ini sering disebut dengan
masa jendela
 Masa tanpa gejala, yaitu waktu (5 - 7 tahun) dimana tes darah sudah
menunjukkan adanya anti bodi HIV dalam darah, artinya positif HIV, namun
pada masa ini tidak timbul gejala yang menunjukkan orang tersebut
menderita AIDS, atau dia tampak sehat.
 Masa dengan gejala, ini sering disebut masa sebagai penderita AIDS. Gejala
AIDS sudah timbul dan biasanya penderita dapat bertahan 6 bulan sampai 2
tahun dan kemudian meninggal.

12
Stadium klinis HIV.5
Berdasarkan gejala klinis yang terjadi, pembagian stadium HIV sebagai berikut :

13
Penatalaksanaan
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan
bahwa pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV
bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV.4
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral
(ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih
baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan
dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.
Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan,
harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.

Terapi Antiretroviral (ARV)


Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:
 Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti:
zidovudin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
 Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti
evafirens dan nevirapin
 Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir,
amprenavir.

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi
penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang
tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada
dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting
yang tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV.4

A. Saat Memulai Terapi ARV 5


Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4
14
(bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk
menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum.
Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa:
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV
adalah didasarkan pada penilaian klinis.
b. Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi :5
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm 3 tanpa
memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi
Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4
Tabel 4. Saat Memulai Terapi pada ODHA Dewasa5

Tabel 5. Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada Orang Dewasa


yang Belum Pernah Mendapat Terapi ARV (treatment-naïve)5

15
Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya dengan mempertimbangkan
keuntungan dan kekurangan masing-masing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang
tidak dianjurkan seperti pada tabel 8.

Tabel 8. Panduan ARV yang tidak dianjurkan5

Tatalaksana pasca pajanan HIV.2


Tujuan
16
Untuk mencegah terjadinya infeksi HIV pada pajanan okupasional dan non-
okupasional.
Panduan Pelaksanaan
 Cuci segera setelah terjadinya pajanan dan lakukan tindakan darurat pada
tempat pajanan
 Telaah pajanan
o Cara pajanan
o Bahan pajanan
o Status infeksi sumber pajanan
o Kerentanan
 Tentukan terapi profilaksis pasca-pajanan (PPP) yang dibutuhkan
 Pencatatan
 Tes HIV atau anti HBs segera setelah terjadinya pajanan
 Tindak lanjut
o Evaluasi laboratorium
o Follow-up dan dukungan psikososial

 Bahan yang memberikan risiko penularan infeksi adalah:


 Darah
 Cairan bercampur darah yang kasat mata
 Cairan yang potensial terinfeksi, yaitu: semen, vagina, serebrospinal,
sinovia, pleura, peritoneal, perikardial, amnion
 Virus yang terkonsentrasi

 Penilaian status infeksi sumber pajanan terhadap penyakit yang menular melalui
darah yang dapat dicegah, dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium bila
memungkinkan. Penyakit tersebut adalah:
 HbsAg untuk Hepatitis B
 Anti HCV untuk Hepatitis C
 Anti HIV untuk HIV
 Untuk sumber yang tidak diketahui, pertimbangkan adanya faktor risiko
yang tinggi atas ketiga infeksi di atas

 Pemberian obat ARV untuk PPP.2


17
Dosis pertama PPP harus selalu ditawarkan secepat mungkin setelah pajanan
dalam waktu tidak lebih dari 3 kali 24 jam, dan jika perlu, tanpa menunggu konseling
dan tes HIV atau hasil tes dari sumber pajanan. Strategi ini sering digunakan jika
yang memberikan perawatan awal adalah bukan ahlinya, tetapi selanjutnya dirujuk
kepada dokter ahli dalam waktu singkat.
Langkah selanjutnya setelah dosis awal diberikan, adalah agar akses terhadap
keseluruhan pasokan obat PPP selama 28 hari dipermudah.

 Tindak lanjut. 2
Setiap tatalaksana pajanan berisiko harus selalu dilakukan tindak lanjut,
terlebih pada yang mendapatkan PPP seperti halnya pemberian terapi ARV pada
umumnya. Tindakan yang diperlukan meliputi:
 Evaluasi laboratorium, termasuk tes HIV pada saat terpajan dan 6 minggu, 3
bulan, dan 6 bulan setelahnya; tes HbsAg bagi yang terpajan dengan risiko
Hepatitis B
 Pencatatan
 Follow-up dan dukungan, termasuk tindak lanjut klinis atas gejala infeksi
HIV, Hepatitis B, efek samping obat PPP, konseling berkelanjutan untuk
kepatuhan terapi ARV, dsb.

Tabel 4. Panduan obat ARV untuk PPP. 2


Orang yang terpajan Paduan ARV
TDF + 3TC (FTC) +
Pilihan
LPV/r
Remaja dan dewasa TDF + 3TC (FTC) + EFV
Alternatif ATAU
AZT + 3TC + LPV/r
Pilihan AZT + 3TC + LPV/r
TDF + 3TC (FTC) +
Anak (< 10 tahun) LPV/r
Alternatif
Dapat menggunakan
EFV/NVP untuk NNRTI

Pencegahan HIV/AIDS
 Pencegahan Primer.7
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya agar orang sehat tetap
18
sehat atau mencegah orang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer merupakan hal
yang paling penting, terutama dalam merubah perilaku. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan antara lain :
a. Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman dengan pendekatan
“ABC” yaitu, Abstinence, artinya absen seks ataupun tidak melakukan
hubungan seks bagi orang yang belum menikah merupakan metode paling
aman untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, jika
tidak memungkinkan pilihan kedua adalah Be Faithful, artinya tidak
berganti-ganti pasangan. Jika kedua hal tersebut tidak memungkinkan juga,
maka pilihan berikutnya adalah penggunaan kondom secara konsisten (Use
Condom).
b. Berhenti menjadi pengguna NAPZA terutama narkotika suntikan, atau
mengusahakan agar selalu menggunakan jarum suntik yang steril serta tidak
mengunakannya secara bersama-sama.
c. Di sarana pelayanan kesehatan harus dipahami dan diterapkan kewaspadaan
universal (universal precaution) untuk mengurangi risiko penularan HIV
melalui darah. Kewaspadaan universal ini meliputi cuci tangan dengan
sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah melakukan tindakan
perawatan, penggunaan alat pelindung yang sesuai untuk setiap tindakan,
pengelolaan dan pembuangan alat tajam secara hati-hati, pengelolaan alat
kesehatan bekas pakai dengan melakukan dekontaminasi, desinfeksi dan
sterilisasi dengan benar.
d. Pencegahan penyebaran melalui darah dan donor darah dilakukan dengan
skrining adanya antibodi HIV, demikian pula semua organ yang akan
didonorkan, serta menghindari transfusi, suntikan, jahitan dan tindakan
invasif lainnya yang kurang perlu.

e. WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan vertikal


dari ibu kepada anak yaitu dengan cara mencegah jangan sampai wanita
terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah terinfeksi HIV/AIDS mengusahakan
supaya tidak terjadi kehamilan, bila sudah hamil dilakukan pencegahan
supaya tidak menulan dari ibu kepada bayinya dan bila sudah terinfeksi
diberikan dukungan serta perawatan bagi ODHA dan keluarganya.

 Pencegahan Sekunder.7
19
Infeksi HIV/AIDS menyebabkan menurunnya sistem imun secara progresif
sehingga muncul berbagai infeksi opurtunistik yang akhirnya dapat berakhir pada
kematian. Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin
yang efektif. sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok
sebagai berikut :
a. Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum
penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat
simptomatik dan pemberian vitamin.
b.Pengobatan infeksi opurtunistik merupakan pengobatan untuk mengatasi
berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS. 28
Jenis-jenis mikroba yang menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa
(Pneumocystis carinii, Toxoplasma, dan Cryptotosporidium), jamur
(Kandidiasis), virus (Herpes, cytomegalovirus/CMV, Papovirus) dan
bakteri (Mycobacterium TBC, Mycobacterium ovium intra cellular,
Streptococcus, dll). Penanganan terhadap infeksi opurtunistik ini
disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya dan diberikan terus-
menerus.

c. Pengobatan antiretroviral (ARV), ARV bekerja langsung menghambat


enzim reverse transcriptase atau menghambat kinerja enzim protease.
Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup,
menjadikan infeksi opurtunistik menjadi jarang dan lebih mudah diatasi
sehingga menekan morbiditas dan mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat
menyembuhkan pasien HIV/AIDS ataupun membunuh HIV.

 Pencegahan Tersier.7
Orang yang didiagnosis HIV biasanya banyak menerima diskriminasi saat
membutuhkan pengobatan HIV ataupun bantuan dari fasilitas rehabilitasi obat,
selain itu juga dapat mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi
keluarganya. ODHA perlu diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar
penderita dapat melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin.
Misalnya :
a. Memperbolehkannya untuk membicarakan hal-hal tertentu dan
mengungkapkan perasaannya
b. Membangkitkan harga dirinya dengan melihat keberhasilan hidupnya atau

20
mengenang masa lalu yang indah
c. Menerima perasaan marah, sedih, atau emosi dan reaksi lainnya
d. Mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat
mengendalikan diri dan tidak menyalahkan diri atau orang lain

e. Selain itu perlu diberikan perawatan paliatif (bagi pasien yang tidak dapat
disembuhkan atau sedang dalam tahap terminal) yang mencakup :
pemberian kenyamanan (seperti relaksasi dan distraksi, menjaga pasien
tetap bersih dan kering, memberi toleransi maksimal terhadap permintaan
pasien atau keluarga), pengelolaan nyeri (bisa dilakukan dengan teknik
relaksasi, pemijatan, distraksi, meditasi, maupun pengobatan antinyeri),
persiapan menjelang kematian meliputi penjelasan yang memadai
tentang keadaan penderita, dan bantuan mempersiapkan pemakaman.

2. Konseling dan edukasi.8

a. Menganjurkan tes HIV pada pasien TB, infeksi menular seksual (IMS), dan
kelompok risiko tinggi beserta pasangan seksualnya, sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.

b. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit


HIV/AIDS. Pasien disarankan untuk bergabung dengan kelompok
penanggulangan HIV/AIDS untuk menguatkan dirinya dalam menghadapi
pengobatan penyakitnya.

3. Kriteria rujukan.8

a. Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke Pelayanan


Dukungan Pengobatan untuk menjalankan serangkaian layanan yang
meliputi penilaian stadium klinis, penilaian imonologis dan penilaian
virologi.

b. Pasien HIV/AIDS dengan komplikasi

Prognosis.8

Prognosis sangat tergantung kondisi pasien saat datang dan pengobatan. Terapi
hingga saat ini adalah untuk memperpanjang masa hidup, belum merupakan
terapi definitif, sehingga prognosis pada umumnya buruk.

21
Daftar Pustaka
1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006.
Hal.2861-68

2. Program pengendalian HIV AIDS dan PIMS. Kementrian kesehatan republik


Indonesia Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. 2016
3. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive
summary. Geneva. 2010.
4. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi
HIV pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan 2007
5. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada
Orang Dewasa. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2011
22
6. Merati, Tuti P.Respon Imun Infeksi HIV. In : Sudoyo Aru W: editor. Buku ajar
ilmu penyalit dalam. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI: 2006. Hal 545-6
7. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA,
Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in
infants and children in Indonesia: current challenges in management. Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2009
8. Panduan praktis klinis ilmu penyakit dalam. A, Idrus S,Simon H, Rudy K,
Juferdy T, Dicky. HIV/AIDS tanpa komplikasi. Jakarta : Interna Publishing. 2015
hal. 40-46

23

Anda mungkin juga menyukai