Anda di halaman 1dari 3

a.

INKOMPATIBILITAS ABO
Patofisiologi yang dapat menjelaskan timbulnya reaksi hemolitik pada inkompatibilas
ABO akibat kesalahan transfusi adalah antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel
darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50
ml) namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang
inkompatibel maka akan semakin meningkatkan risiko. Umumnya proses hemolitik terjadi di
dalam pembuluh darah (intravaskular), yaitu sebagai reaksi hipersensitivitas tipe II.

Reaksi hemolitik akut akibat transfusi merupakan antigen (major incompatability) yang
berinteraksi dengan antibodi pada resipien yang berupa imunoglubulin M (IgM) anti-A, anti-
B, atau terkadang antirhesus. Proses hemolitik dibantu oleh reaksi komplemen sampai
terbentuknya C5b6789 (membrane attack complex). Reaksi komplemen ini terjadi di dalam
intravaskuler dan merupakan reaksi hemolisis tipe akut. Pada beberapa kasus juga dapat
terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi dan eritrosit resipien sebagai antigen (minor
incompatability). Malah dapat terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi dengan
eritrosit donor sendiri sebagai antigen (inter-donor incompatability) pada saat diberikan
kepada resipien, tetapi kasus seperti ini jarang.

Reaksi hemolitik pada tranfusi tipe lambat diawali dengan reaksi antigen- antibodi yang
terjadi di intravaskular, namun proses hemolitik terjadi secara ekstravaskular. Plasma donor
yang mengandung eritrosit merupakan antigen (major incompatability) yang berinteraksi
dengan IgG dan atau C3b pada resipien. Selanjutnya eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b
akan dihancurkan oleh makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh antibodi (IgG1 atau
IgG3) tanpa melibatkan komplemen, maka ikatan antigen-antibodi tersebut akan dibawa oleh
sirkulasi darah dan dihancurkan di limpa

Sedangkan patofisiologi yang dapat menjelaskan timbulnya penyakit inkompabilitas


ABO pada kehamilan terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan antibodi yang melawan
sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin dalam beberapa
insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan fetomaternal
microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin,
maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut
dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-
sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi
aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas
tipe II). Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi dan
melepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang berinti banyak, disebut dengan eritroblas
(yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.

Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan limpa yang
selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi eritroblas ini
melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor penting lainnya
untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi. Lebih dari 400
antigen terdapat pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting
sebagai penyebab penyakit hemolitik. Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi
menghasilkan antibodi jika terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya
terhadap diri sendiri pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin.

Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya,
misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis. Penghancuran
sel-sel darah merah dapat melepaskan pigmen darah merah (hemoglobin), yang mana bahan
tersebut dikenal dengan bilirubin. Bilirubin secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah
yang telah mati, tetapi tubuh dapat mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi
darah pada suatu waktu. Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan
bilirubin yang dapat menyebabkan hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice
pada bayi. Bayi dapat berkembang menjadi kernikterus. Gejala lain yang mungkin hadir
adalah peningkatan kadar insulin dan penurunan kadar gula darah, dimana keadaan ini
disebut sebagai hydrops fetalis. Hydrops fetalis ditujukkan oleh adanya penumpukan cairan
pada tubuh, yang memberikan gambaran membengkak (swollen). Penumpukan cairan ini
menghambat pernafasan normal, karena paru tidak dapat mengembang maksimal dan
mungkin mengandung cairan. Jika keadaan ini berlanjut untuk jangka waktu tertentu akan
mengganggu pertumbuhan paru. Hydrops fetalis dan anemia dapat menimbulkan masalah
jantung.
Penyebab

1. Paparan lingkungan
Antibodi anti A dan anti B biasanya ada pada IgM dan tidak dapat melewati plasenta
tetapi beberapa ibu yang secara alami memiliki antibody IgG anti A atau IgG anti B yang mana
dapat melewati plasenta. Paparan terhadap antigen A dan antigen B biasanya mengarah pada
produksi IgM anti A dan IgM anti B, tapi kadang-kadang malah memproduski antibody IgG.11

2. Tranfusi janin-ibu
Beberapa ibu dapat tersensitisasi oleh transfuse ibu- janin dari sel darah merah ABO yang
inkompatibel dan memproduksi antibody IgG yang melawan antigen anak mereka. Sebagai
contoh, ketika ibu dengan genotip OO (golongan darah O) membawa fetus yang memiliki
genotip AO (golongan darah A) ia dapat memproduksi IgG anti A. bapaknya kemungkinan
memiliki golongan darah A dengan genotip AA atau AO atau lebih jarang lagi memiliki
golongan darah AB dengan genotip AB.11

3. Transfusi darah
Sangat jarang terjadi bagi sensitisasi ABO dari transfusi darah untuk tujuan terapi pada saat
pemeriksaan kecocokan ABO antara penerima dan donornya.11

Anda mungkin juga menyukai