Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

ANEMIA

Disusun Oleh:

Rafa” Assidiq

110.2014.218

Pembimbing:

dr. Didiet Pratignyo, Sp.PD-FINASIM

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD CILEGON

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

PERIODE APRIL – JUNI 2018


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum.

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir
zaman. Karena atas rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat ini
dengan judul “ANEMIA” sebagai salah satu persyaratan mengikuti ujian
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Cilegon.

Berbagai kendala yang telah dihadapi penulis hingga referat ini selesai
tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Atas bantuan yang
telah diberikan, baik moril maupun materil, maka selanjutnya penulis ingin
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada dr.
Didiet Pratignyo, Sp.PD-Finasim selaku konsulen SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Cilegon yang telah memberikan bimbingan, ilmu, saran dan kritik kepada
penulis dalam penyelesaian presentasi kasus ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan presentasi kasus


ini, kesalahan dan kekurangan tidak dapat dihindari, baik dari segi materi maupun
tata bahasa yang disajikan. Untuk itu penulis memohon maaf atas segala
kekurangan dan kekhilafan yang dibuat. Semoga presentasi kasus ini dapat
bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca dalam memberikan sumbang
pikir dan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia kedokteran.
Akhir kata, dengan mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT
selalu merahmati kita semua.
Cilegon, Mei 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 2


DAFTAR ISI....................................................................................................................... 3
BAB I .................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 4
BAB II................................................................................................................................. 5
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 5
2.1 Anemia .................................................................................................................... 5
2.1.1 Definisi ............................................................................................................ 5
2.1.2 Epidemiologi ................................................................................................... 7
2.1.3 Etiologi ............................................................................................................ 8
2.1.4 Klasifikasi ..................................................................................................... 13
2.1.5 Patofisiologi .................................................................................................. 15
2.1.6 Manifestasi klinis .......................................................................................... 17
2.1.7 Diagnosis....................................................................................................... 19
2.1.8 Tatalaksana ................................................................................................... 30
2.1.9 Komplikasi .................................................................................................... 31
2.1.10 Pencegahan ................................................................................................... 32
2.1.11 Prognosis ....................................................................................................... 34
BAB III ............................................................................................................................. 35
KESIMPULAN ................................................................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 36
BAB I

PENDAHULUAN
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anemia

2.1.1 Definisi
Anemia ialah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin
yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi
jaringan tubuh. Secara labolatorik dijabarkan sebagai penurunan dibawah normal
kadar hemoglobin, hitung eritrosit dan hematocrit (packed red cell).

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa


eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan
oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan
kadar hemoglobin, hematocrit atau hitung eritrosit (red cell count). Tetapi yang
paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit. Harus
diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu di mana ketiga parameter
tersebut tidak sejalan dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan
akut dan kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah berapa kadar hemoglobin,
hematokrit atau hitung eritrosit paling rendah yang dianggap anemia. Kadar
hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin,
ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologis tertentu seperti misalnya
kehamilan.

Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity), tetapi


merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh
karena itu dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label
anemia tetapi hams dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia
tersebut. Hal ini penting karena seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi,
sehingga apabila hal ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi ke arah
penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan penyakit dasar juga penting
dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang
mendasari anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus anemia
tersebut.

Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan


massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung
eritrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang
menjadi masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal.
Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada
umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Oleh
karena itu perlu ditentukan titik pemilah (cut of point) di bawah kadar mana kita
anggap terdapat anemia. Di Negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk
lakilaki adalah 14 g/dl dan 12 g/dl pada perempuan dewasa pada permukaan laut.
Peneliti lain memberikan angka yang berbeda yaitu 12 g/dl (hematokrit 38%)
untuk perempuan dewasa, 11 g/dl (hematokrit 36%) untuk perempuan hamil, dan
13 g/dl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut of point anemia untuk keperluan
penelitian lapangan seperti terlihat pada tabel.

Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan
negara berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis.
Apabila kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien
yang mengunjungi poliklinik atau dirawat di rurnah sakit akan memerlukan
pemeriksaan work up anemia lebih lanjut. Oleh karena itu beberapa peneliti di
Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria hemoglobin kurang
dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia, atau di India dipakai angka 10- 1 1
g/dl.

2.1.2 Epidemiologi
Anemia mempakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik
maupun di lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta
orang menderita anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik. De
Maeyer memberikan gambaran prevalensi anemia di dunia untuk tahun 1985
seperti terlihat pada Tabel 2.

Angka prevalensi anemia di dunia sangat bervariasi tergantung pada


geografi. Salah satu factor determinan utama adalah taraf social ekonomi
masyarakat.

Meskipun anemia dianggap kelainan yang sangat sering dijumpai di


Indonesia, angka prevalensi yang resmi belum pernah diterbitkan. Angka-angka
yang ada merupakan hasil dari penelitian-penelitian terpisah yang dilakukan di
berbagai tempat di Indonesia. Angka prevalensi anemia di Indonesia menurut
Husaini dkk yang memberikan gambaran prevalensi pada tahun 1989 sebagai
berikut.

 Anak prasekolah : 30-40%


 Anak usia sekolah : 25-35%
 Perempuan dewasa tidak hamil : 30 -40%
 Perempuan hamil : 50 - 70%
 Laki-laki dewasa : 20 -30%
 Pekerja berpenghasilan rendah : 30 - 40%
Berbagai survei yang telah pernah dilakukan di Bali memberikan angka-
angka yang tidak jauh berbeda dengan angka di atas.

2.1.3 Etiologi
Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam
penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena:

1. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang;


2. Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan);
3. Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).

Terdapat dua pendekatan untuk menentukanpenyebab anemia:

• Pendekatan kinetik

Pendekatan ini didasarkan pada mekanisme yang berperan dalam turunnya Hb.

• Pendekatan morfologi

Pendekatan ini mengkategorikan anemia berdasarkan perubahan ukuran eritrosit


(Mean corpuscular volume/MCV) dan res-pons retikulosit.

Pendekatan kinetik

Anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme independen:

• Berkurangnya produksi sel darah merah

• Meningkatnya destruksi sel darah merah

• Kehilangan darah.

Berkurangnya produksi sel darah merah

Anemia disebabkan karena kecepatan produksi sel darah merah lebih


rendah dari destruksinya. Penyebab berkurangnya produksi sel darah merah:

• Kekurangan nutrisi: Fe, B12, atau folat; dapat disebabkan oleh


kekurangan diet, malaborpsi (anemia pernisiosa, sprue) atau kehilangan
darah (defisiensi Fe)
• Kelainan sumsum tulang (anemia aplastik, pure red cell aplasia,
mielodisplasia, infltitrasi tumor)

• Supresi sumsum tulang (obat, kemoterapi, radiasi)

• Rendahnya trophic hormone untuk sti-mulasi produksi sel darah merah


(eritro-poietin pada gagal ginjal, hormon tiroid [hipotiroidisme] dan
androgen [hipogonadisme])

• Anemia penyakit kronis/anemia infl amasi, yaitu anemia dengan


karakteristik berkurangnya Fe yang efektif untuk eritropoiesis karena
berkurangnya absorpsi Fe dari traktus gastrointestinal dan berkurangnya
pelepasan Fe dari makrofag, berkurangnya kadar eritropoietin (relatif ) dan
sedikit berkurangnya masa hidup erirosit.

Peningkatan destruksi sel darah merah

Anemia hemolitik merupakan anemia yang disebabkan karena


berkurangnya masa hidup sel darah merah (kurang dari 100 hari). Pada keadaan
normal, umur sel darah merah 110-120 hari.2 Anemia hemolitik terjadi bila
sumsum tulang tidak dapat mengatasi kebutuhan untuk menggganti lebih dari 5%
sel darah merah/hari yang berhubungan dengan masa hidup sel darah merah kira-
kira 20 hari.

Pendekatan morfologi

Penyebab anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran sel darah


merah pada apusan darah tepi dan parameter automatic cell counter. Sel darah
merah normal mempunyai volume 80-96 femtoliter (1 fL = 10-15 liter) dengan
diameter kira-kira 7-8 micron, sama dengan inti limfosit kecil. Sel darah merah
yang berukuran lebih besar dari inti limfosit kecil pada apus darah tepi disebut
makrositik. Sel darah merah yang berukuran lebih kecil dari inti limfosit kecil
disebut mikrositik. Automatic cell counter memperkirakan volume sel darah
merah dengan sampel jutaan sel darah merah dengan mengeluarkan angka mean
corpuscular volume (MCV) dan angka dispersi mean tersebut. Angka dispersi
tersebut merupakan koefisien variasi volume sel darah merah atau RBC
distribution width (RDW). RDW normal berkisar antara 11,5-14,5%. Peningkatan
RDW menunjukkan adanya variasi ukuran sel.

Berdasarkan pendekatan morfologi, anemia diklasifikasikan menjadi:

• Anemia makrositik (gambar 1)

Gambar 1 Anemia makrositik

• Anemia mikrositik (gambar 2)

Gambar 2 Anemia mikrositik


• Anemia normositik (gambar 3)

Gambar 3 Anemia normositik

Anemia makrositik

Anemia makrositik merupakan anemia dengan karakteristik MCV di atas


100 fL. Anemia makrositik dapat disebabkan oleh:

 Peningkatan retikulosit

Peningkatan MCV merupakan karakteristik normal retikulosit. Semua


keadaan yang menyebabkan peningkatan retikulosit akan memberikan gambaran
peningkatan MCV

• Metabolisme abnormal asam nukleat pada prekursor sel darah merah


(defisiensi folat atau cobalamin, obat-obat yang mengganggu sintesa asam
nukleat: zidovudine, hidroksiurea)
• Gangguan maturasi sel darah merah (sindrom mielodisplasia, leukemia
akut)
• Penggunaan alcohol
• Penyakit hati
• Hipotiroidisme.

Anemia mikrositik

Anemia mikrositik merupakan anemia dengan karakteristik sel darah


merah yang kecil (MCV kurang dari 80 fL). Anemia mikrositik biasanya disertai
penurunan hemoglobin dalam eritrosit. Dengan penurunan MCH ( mean
concentration hemoglobin) dan MCV, akan didapatkan gambaran mikrositik
hipokrom pada apusan darah tepi.

Penyebab anemia mikrositik hipokrom1:

• Berkurangnya Fe: anemia defisiensi Fe, anemia penyakit kronis/anemia


infl amasi, defisiensi tembaga.

• Berkurangnya sintesis heme: keracunan logam, anemia sideroblastik


kongenital dan didapat.

• Berkurangnya sintesis globin: talasemia dan hemoglobinopati.

Anemia normositik

Anemia normositik adalah anemia dengan MCV normal (antara 80-100


fL). Keadaan ini dapat disebabkan oleh:

• Anemia pada penyakit ginjal kronik.


• Sindrom anemia kardiorenal: anemia, gagal jantung, dan penyakit ginjal
kronik.
• Anemia hemolitik:
o Anemia hemolitik karena kelainan intrinsic sel darah merah:
Kelainan membran (sferositosis herediter), kelainan enzim
(defisiensi G6PD), kelainan hemoglobin (penyakit sickle cell).
o Anemia hemolitik karena kelainan ekstrinsik sel darah merah:
imun, autoimun (obat, virus, berhubungan dengan kelainan limfoid,
idiopatik), alloimun (reaksi transfusi akut dan lambat, anemia
hemolitik neonatal), mikroangiopati (purpura trombositopenia
trombotik, sindrom hemolitik uremik), infeksi (malaria), dan zat
kimia (bisa ular).
2.1.4 Klasifikasi
Anemia diklasifikasikan dengan berbagai cara tergantung dari sudut mana
melihat dan tujuan melakukan klasifikasi tersebt. Klasifikasi yang paling sering
dipakai adalah :

1. Klasifikasi etiopatogenesis : yang berdasarkan etiologi dan pathogenesis


terjadinya anemia. Klasifikasi etiopatogenesis ini dapat dilihat pada tabel
3.
2. Klasifikasi morfologi : yang berdasarkan morfologi eritrosit pada
pemeriksaan apusan darah tepi atau dengan melihat indeks eritrosit.
Dengan pemakaian alat hitung hematologi automatic yang semakin luas
maka validitas klasifikasi morfologi ini jadi lebih baik. Klasifikasi
morfologi dapat dilihat pada tabel 4. dengan melihat morfologi anemia
maka dapat diduga penyebab anemia.

Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan:

a. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg;
b. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-
34 pg;
c. Anemia makrositer, bila MCV 95 fl.

2.1.5 Patofisiologi
Berdasarkan proses patofisiologi terjadinya anemia, dapat digolongkan pada
tiga kelompok:

 Anemia akibat produksi sel darah merah yang berkurang atau gagal
 Anemia akibat penghancuran sel darah merah
 Anemia akibat kehilangan darah
 Anemia Akibat Produksi Yang Berkurang Atau Gagal

Pada anemia tipe ini, tubuh memproduksi sel darah yang terlalu sedikit atau
sel darah merah yang diproduksi tidak berfungsi dengan baik. Hal ini terjadi
akibat adanya abnormalitas sel darah merah atau kekurangan mineral dan vitamin
yang dibutuhkan agar produksi dan kerja dari eritrosit berjalan normal.

Kondisi kondisi yang mengakibatkan anemia ini antara lain Sickle cell
anemia, gangguan sumsum tulang dan stem cell, anemia defisiensi zat besi,
vitamin B12,dan Folat, serta gangguan kesehatan lain yang mengakibatkan
penurunan hormon yang diperlukan untuk proses eritropoesis.

 Anemia akibat penghancuran sel darah merah

Bila sel darah merah yang beredar terlalu rapuh dan tidak mampu bertahan
terhadap tekanan sirkulasi maka sel darah merah akan hancur lebih cepat
sehingga menimbulkan anemia hemolitik. Penyebab anemia hemolitik yang
diketahui antara lain:

Keturunan, seperti sickle cell anemia dan thalassemia


Adanya stressor seperti infeksi, obat obatan, bisa hewan, atau beberapa
jenis makanan
Toksin dari penyakit liver dan ginjal kronis
Autoimun
Pemasangan graft, pemasangan katup buatan, tumor, luka bakar,
paparan kimiawi, hipertensi berat, dan gangguan trombosis
Pada kasus yang jarang, pembesaran lien dapat menjebak sel darah
merah dan menghancurkannya sebelum sempat bersirkulasi.
 Anemia akibat kehilangan darah

Anemia ini dapat terjadi pada perdarahan akut yang hebat ataupun pada
perdarahan yang berlangsung perlahan namun kronis. Perdarahan kronis
umumnya muncul akibat gangguan gastrointestinal (misal ulkus, hemoroid,
gastritis, atau kanker saluran pencernaan), penggunaan obat obatan yang
mengakibatkan ulkus atau gastritis (misal OAINS), menstruasi, dan proses
kelahiran.

2.1.6 Manifestasi klinis


Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah
gejala yang timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar
haemoglobin turun di bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul
karena: 1). Anoksia organ; 2). Mekanisme kompensasi tubuh terhadap
berkurangnya daya angkut oksigen.

Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar


hemoglobin telah turun di bawah 7 g/dl. Berat ringannya gejala umum anemia
tergantung pada: a). Derajat penurunan hemoglobin; b). Kecepatan penurunan
hemoglobin; c). Usia; d). Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.

Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu:

1. Gejala umum anemia

Gejala mum anemia, disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena
iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap
penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah
penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb < 7 g/dl). Sindrom anemia
terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata
berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada
pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa
mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak
spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif
karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb < 7 g/dl).

Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, atau anemic
syndrome. Gejala umum anemia atau sinrom anemia adalah gejala yang timbul
pada semua jenis anemia pada kadar haemoglobin yang sudah menurun
sedemikian rupa dibawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ
target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan haemoglobin.
Gejala-gejala tersebut apabila diklasifikasikan menurut organ yang terkena adalah
sebagai berikut:

 System kardiovaskular : lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak waktu


kerja, angina pectoris, dan gagal jantung.
 System saraf : sakit kepala, pusing, telinga berdenging, mata berkunang-
kunang, kelemahan otot, iritabel, lesu, perasaan dingin pada ekstremitas.
 System urogenital : gangguan haid dan libido menurun
 Epitel : warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun,
rambut tipis dan halus.

2. Gejala khas masing-masing anemia

Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh:

 Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis,


dan kuku sendok (koilonychia).
 Anemia defisiensi besi: lidah merah (buffy tongue)
 Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologic pada defisiensi
vitamin B 12
 Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali
 Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi
3. Gejala penyakit dasar

Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia


sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya anamia
defisiensi besi akibat infeksi cacing tarnbang: sakit perut, pembengkakan parotis
dan warna kuning seperti jerami pada telapak tangan. Kanker kolon dapat
menimbulkan gejala berupa perubahan sifat defekasi (change of bowel habit),
feses bercampur darah atau lender. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit
dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh
karena artritis reumatoid.

Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting


pada kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya
diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.

2.1.7 Diagnosis
Diagnosis anemia dapat sederhana, tetapi sering juga bersifat sangat
kompleks, oleh karena itu langkang-langkah diagnosis harus dilakukan secara
sistematik dan efisien. Untuk menegakkan diagnosis anemia perlu dikerjakan:

1. Anamnesis

Seperti anamnesis pada umumnya, anamnesis pada kasus anemia harus ditujukan
untuk mengeksplorasi

a. Riwayat penyakit sekarang

Beberapa komponen penting dalam riwayat penyakit yang berhubungan


dengan anemia:

• Riwayat atau kondisi medis yang menyebabkan anemia (misalnya, melena pada
penderita ulkus peptikum, artritis reumatoid, gagal ginjal).

• Waktu terjadinya anemia: baru, subakut, atau lifelong. Anemia yang baru terjadi
pada umumnya disebabkan penyakit yang didapat, sedangkan anemia yang
berlangsung lifelong, terutama dengan adanya riwayat keluarga, pada umumnya
merupakan kelainan herediter (hemoglobinopati, sferositosis herediter).

• Etnis dan daerah asal penderita: talasemia dan hemoglobinopati terutama


didapatkan pada penderita dari Mediterania, Timur Tengah, Afrika sub-Sahara,
dan Asia Tenggara.

• Obat-obatan. Obat-obatan harus dievaluasi dengan rinci. Obat-obat tertentu,


seperti alkohol, asam asetilsalisilat, dan antiinfl amasi nonsteroid harus dievaluasi
dengan cermat.

• Riwayat transfusi.

• Penyakit hati.

• Pengobatan dengan preparat Fe.

• Paparan zat kimia dari pekerjaan atau lingkungan.

• Penilaian status nutrisi.

b. Riwayat penyakit dahulu


c. Riwayat penyakit keluarga
2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematik dan menyeluruh.


Perhatian khusus diberikan pada berikut :

a. Warna kulit : pucat, plethora, sianosis, icterus, kulit telapak tangan kuning
seperti jerami
b. Purpura : petechie dan ecchymosis
c. Kuku : koilonychias (kuku sendok)
d. Mata : icterus, konjungtiva pucat, perubahan fundus
e. Mulut : ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atropi papil lidah,
glossitis dan stomatitis angularis
f. Limfadenopati
g. Hepatomegaly
h. Splenomegali
i. Nyeri tulang atau nyeri sternum
j. Hemarthrosis atau ankalosis sendi
k. Pembengkakan testis
l. Pembengkakan parotis
m. Kelainan system saraf

Pemeriksaan fisik tujuan utamanya adalah menemukan tanda keterlibatan


organ atau multisistem dan untuk menilai beratnya kondisi penderita.

Pemeriksaan fisik perlu memperhatikan:

• adanya takikardia, dispnea, hipotensi postural.

• pucat: sensitivitas dan spesifisitas untuk pucat pada telapak tangan, kuku, wajah
atau konjungtiva sebagai prediktor anemia bervariasi antara 19-70% dan 70-
100%.

• ikterus: menunjukkan kemungkinan adanya anemia hemolitik. Ikterus sering


sulit dideteksi di ruangan dengan cahaya lampu artifisial. Pada penelitian 62
tenaga medis, icterus ditemukan pada 58% penderita dengan bilirubin >2,5 mg/dL
dan pada 68% penderita dengan bilirubin 3,1 mg/dL.

• penonjolan tulang frontoparietal, maksila (facies rodent/chipmunk) pada


talasemia.

• lidah licin (atrofi papil) pada anemia defisiensi Fe.

• limfadenopati, hepatosplenomegali, nyeri tulang (terutama di sternum); nyeri


tulang dapat disebabkan oleh adanya ekspansi karena penyakit infiltratif (seperti
pada leukemia mielositik kronik), lesi litik (pada myeloma multipel atau
metastasis kanker).

• petekhie, ekimosis, dan perdarahan lain.

• kuku rapuh, cekung (spoon nail) pada anemia defisiensi Fe.


• Ulkus rekuren di kaki (penyakit sickle cell, sferositosis herediter, anemia
sideroblastik familial).

• Infeksi rekuren karena neutropenia atau defisiensi imun.

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam


diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari: 1). Pemeriksaan penyaring
(screening test); 2). Pemeriksaan darah sen anemia; 3). Pemeriksaan sumsum
tulang; 4). Pemeriksaan khusus.

Pemeriksaan Penyaring

Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar


hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan
adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk
pengarahan diagnosis lebih lanjut.

Pemeriksaan Darah Seri Anemia

Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung


retikulosit dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic
hematology analyser yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.

Pemeriksaan Sumsum Tulang

Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga


mengenai keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk
diagnosis definitif pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang
mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta
pada kelainan hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid.
Indikasi pemeriksaan sumsum tulang pada penderita anemia:

1. Abnormalitas hitung sel darah dan/atau morfologi darah tepi

_ Sitopenia dengan penyebab tidak diketahui

_ Leukositosis dengan penyebab tidak diketahui atau disertai leukosit abnormal

_ Sel teardrops atau leukoeritroblastosis (gambar 4 dan 5)

Gambar 4 Leukoeritroblastosis Gambar 5 Sel teardrops

_ Rouleaux (gambar 6)

Gambar 6 Rouleaux

_ Tidak ada atau rendahnya respons retikulosit terhadap anemia

2. Evaluasi penyakit sistemik

_ Splenomegali, hepatomegali, limfadenopati yang tidak diketahui penyebabnya

_ Staging tumor: limfoma, tumor solid

_ Pemantauan efek kemoterapi


_ Fever of unknown origin (dengan kultur sumsum tulang)

_ Evaluasi trabekular tulang pada penyakit metabolik.

Pemeriksaan Khusus

Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada:


Anemia defisiensi besi : serum iron. TIBC (total iron binding capacity), saturasi
transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan
besi pada sumsum tulang (Per1 b stain).

o Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B 12 serum, tes supresi


deoksiuridin dan tes Schiling.
o Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin
dan lain-lain.
o Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang.

Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti misalnya


pemeriksaan faal hati, faal ginjal atau faal tiroid.

• Complete blood count (CBC)

CBC terdiri dari pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit,


ukuran eritrosit, dan hitung jumlah leukosit. Pada beberapa laboratorium,
pemeriksaan trombosit, hitung jenis, dan retikulosit harus ditambahkan dalam
permintaan pemeriksaan (tidak rutin diperiksa). Pada banyak automated blood
counter, didapatkan parameter RDW yang menggambarkan variasi ukuran sel.

• Pemeriksaan morfologi apusan darah tepi

Apusan darah tepi harus dievaluasi de-ngan baik. Beberapa kelainan darah
tidak dapat dideteksi dengan automated blood counter.

• Sel darah merah berinti (normoblas)

Pada keadaan normal, normoblas tidak ditemukan dalam sirkulasi.


Normoblas dapat ditemukan pada penderita dengan kelainan hematologis
(penyakit sickle cell, talasemia, anemia hemolitik lain) atau merupakan bagian
dari gambaran lekoeritroblastik pada Penderita dengan bone marrow replacement.
Pada penderita tanpa kelainan hematologis sebelumnya, adanya normoblas dapat
menunjukkan adanya penyakit yang mengancam jiwa, seperti sepsis atau gagal
jantung berat.

• Hipersegmentasi neutrofi

Hipersegmentasi neutrofi l merupakan abnormalitas yang ditandai dengan


lebih dari 5% neutrofi l berlobus >5 dan/atau 1 atau lebih neutrofi l berlobus >6.
Adanya hipersegmentasi neutrofi l dengan gambaran makrositik berhubungan
dengan gangguan sintesis DNA (defisiensi vitamin B12 dan asam folat).

• Hitung retikulosit

Retikulosit adalah sel darah merah imatur. Hitung retikulosit dapat berupa
persentasi dari sel darah merah, hitung retikulosit absolut, hitung retikulosit
absolut terkoreksi, atau reticulocyte production index. Produksi sel darah merah
efektif merupakan proses dinamik. Hitung retikulosit harus dibandingkan dengan
jumlah yang diproduksi pada penderita tanpa anemia. Rumus hitung retikulosit
terkoreksi adalah:

Hitung retikulosit terkoreksi = % retikulosit penderita x hematokrit / 45

Faktor lain yang memengaruhi hitung retikulosit terkoreksi adalah adanya


pelepasan retikulosit prematur di sirkulasi pada penderita anemia. Retikulosit
biasanya berada di darah selama 24 jam sebelum mengeluarkan sisa RNA dan
menjadi sel darah merah. Apabila retikulosit dilepaskan secara dini dari sumsum
tulang, retikulosit imatur dapat berada di sirkulasi selama 2-3 hari. Hal ini
terutama terjadi pada anemia berat yang menyebabkan peningkatan eritropoiesis.
Perhitungan hitung retikulosit dengan koreksi untuk retikulosit imatur disebut
reticulocyte production index (RPI).

RPI = (% retikulosit x hematokrit penderita / 45) / Faktor koreksi

Faktor koreksi dapat dilihat pada tabel 1.


Tabel 1 Faktor koreksi hitung RPI

RPI di bawah 2 merupakan indikasi adanya kegagalan sumsum tulang


dalam produksi sel darah merah atau anemia hipoproliferatif. RPA 3 atau lebih
merupakan indikasi adanya hiperproliferasi sumsum tulang atau respons yang
adekuat terhadap anemia.

• Jumlah leukosit dan hitung jenis

Adanya leukopenia pada penderita anemia dapat disebabkan supresi atau


infi ltrasi sumsum tulang, hipersplenisme atau defisiensi B12 atau asam folat.

Adanya leukositosis dapat menunjukkan adanya infeksi, inflamasi atau


keganasan hematologi. Adanya kelainan tertentu pada hitung jenis dapat
memberikan petunjuk ke arah penyakit tertentu:

o Peningkatan hitung neutrofi l absolut pada infeksi


o Peningkatan hitung monosit absolut pada mielodisplasia
o Peningkatan eosinofi l absolut pada infeksi tertentu
o Penurunan nilai neutrofi l absolut setelah kemoterapi
o Penurunan nilai limfosit absolut pada infeksi HIV atau pemberian
kortikosteroid

• Jumlah trombosit

Abnormalitas jumlah trombosit memberikan informasi penting untuk


diagnostik. Trombositopenia didapatkan pada beberapa keadaan yang
berhubungan dengan anemia, misalnya hipersplenisme, keterlibatan keganasan
pada sumsum tulang, destruksi trombosit autoimun (idiopatik atau karena obat),
sepsis, defi siensi folat atau B12. Peningkatan jumlah trombosit dapat ditemukan
pada penyakit mieloproliferatif, defisiensi Fe, inflamasi, infeksi atau keganasan.
Perubahan morfologi trombosit (trombosit raksasa, trombosit degranulasi) dapat
ditemukan pada penyakit mieloproliferatif atau mielodisplasia.

• Pansitopenia

Pansitopenia merupakan kombinasi anemia, trombositopenia dan


netropenia. Pansitopenia berat dapat ditemukan pada anemia aplastik, defisiensi
folat, vitamin B12, atau keganasan hematologis (leukemia akut). Pansitopenia
ringan dapat ditemukan pada penderita dengan splenomegali dan splenic trapping
sel-sel hematologis.

Evaluasi kadar hemoglobin dan hematokrit secara serial dapat membantu


diagnostik. Contoh: Pada seorang penderita, Hb turun dari 15 g% menjadi 10 g%
dalam 7 hari. Bila disebabkan oleh ganguan produksi total (hitung retikulosit = 0)
dan bila destruksi sel darah merah berlangsung normal (1% per hari), Hb akan
turun 7% dalam 7 hari. Penurunan Hb seharusnya 0,07 x 15 g% = 1,05 g%. Pada
penderita ini, Hb turun lebih banyak, yaitu 5 g%, sehingga dapat diasumsikan
supresi sumsum tulang saja bukan merupakan penyebab anemia dan menunjukkan
adanya kehilangan darah atau destruksi sel darah merah.
Algoritma pemeriksaan anemia
2.1.8 Tatalaksana
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien
anemia ialah:

1. Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang


telah ditegakkan terlebih dahulu;
2. Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan;
3. Pengobatan anemia dapat berupa:
a. Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan
akut akibat anemia aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau
pada anemia pasca perdarahan akut yang disertai gangguan
hemodinamik,
b. Terapi suportif,
c. Terapi yang khas untuk masing-masing anemia,
d. Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan
anemia tersebut;
4. Dalam keadaan di mana diagnosis definitive tidak dapat ditegakkan, kita
terpaksa memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus). Di sini harus
dilakukan pemantauan yang ketat terhadap respon terapi dan perubahan
perjalanan penyakit pasien dan dilakukan evaluasi terus menerus tentang
kemungkinan perubahan diagnosis;
5. Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-
tanda gangguan hemodinamik. Pada anemia kronik transhi hanya
diberikan jika anemia bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah
jantung. Di sini diberikan packed red cell, jangan whole blood. Pada
anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena itu
transfusi diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretika
kerja cepat seperti furosemid sebelum transfusi.

2.1.9 Komplikasi
Komplikasi dari anemia adalah sbb:

a. Gagal jantung

Pembesaran jantung pada penderita anemia telah ditemukan sejak satu


abad yang lalu.Anemia akan menginduksi terjadinya mekanisme kompensasi
terhadap penurunan konsentrasi Hb untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan.
Pada keadaan anemia, jantung akan meningkatkan venous return Maka sesuai
mekanisme Frank-Starling, jantung akan meningkatkan stroke volume, sehingga
dapat terjadi hipertrofi ventrikel kiri,dengan miofibril jantung yang memanjang,
gagal jantung kongestif, kejadian gagal jantung berulang dan kematian.

b. Gagal ginjal

Dengan berkurangnya asokan oksigen ke jaringan misalnya pada ginjal


akan terjadi kerusakan ginjal yang dapat menyebabkan gagal ginjal.
c. Hipoksia

Hiposia adalah penurunan pemasokan oksigen ke jaringan sampai


ditingkatfisiologik. Hb berfungsi untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh.
Jika terjadi penurunan Hb maka akan terjadi hipoksia bahkan dapat menyebabkan
kematian.

d. Anemia pada ibu hamil

Seorang wanita hamil yang menderita anemia gizi besi kemungkinan besar
akan melahirkan bayi yang mempunyai persediaan zat besi sedikit atau tidak
mempunyai persediaan zat besi sama sekali di dalam tubuhnya. Jika setelah lahir
bayi tersebut tidak mendapatkan asupan zat besi yang mencukupi, bayi akan
berisiko menderita anemia.Anemia berat yang tidak diobati dalam kehamilan
muda dapat menyebabkan abortus, dan dalam kehamilan tua dapat menyebabkan
partus lama, perdarahan postpartum.Selain itu, anemia pada ibu hamil juga dapat
mengakibatkan daya tahan ibu menjadi rendah terhadap infeksi.Anemia gizi besi
pada wanita hamil mengakibatkan peningkatan angka kesakitan dan kematian ibu,
peningkatan angka kesakitan dan kematian janin dan peningkatan risiko bayi
dengan berat badan lahir rendah

2.1.10 Pencegahan
Menurut Tarwoto, dkk (2010), upaya-upaya untuk mencegah anemia,
antara lain sebagai berikut:

a. Makan makanan yang mengandung zat besi dari bahan hewani (daging,
ikan, ayam, hati, dan telur); dan dari bahan nabati (sayuran yang berwarna
hijau tua, kacang-kacangan, dan tempe).
b. Banyak makan makanan sumber vitamin c yang bermanfaat untuk
meningkatkan penyerapan zat besi, misalnya: jambu, jeruk, tomat, dan
nanas.
c. Minum 1 tablet penambah darah setiap hari, khususnya saat mengalami
haid.
d. Bila merasakan adanya tanda dan gejala anemia, segera konsultasikan ke
dokter untuk dicari penyebabnya dan diberikan pengobatan.

Menurut Anie Kurniawan, dkk (1998), mencegah anemia dengan:

a. Makan-makanan yang banyak mengandung zat besi dari bahan makanan


hewani (daging, ikan, ayam, hati, telur) dan bahan makanan nabati
(sayuran berwarna hijau tua, kacang-kacangan, tempe).
b. Makan sayur-sayuran dan buah-buahan yang banyak mengandung vitamin
C (daun katuk, daun singkong, bayam, jambu, tomat, jeruk dan nanas)
sangat bermanfaat untuk meningkatkan penyerapan zat besi dalam usus
c. Menambah pemasukan zat besi kedalam tubuh dengan minum Tablet
Tambah Darah (TTD)

Menurut De Maeyer (1995) yang dikutip oleh Tarwoto, dkk (2010),


pencegahan adanya anemia defisiensi zat besi dapat dilakukan dengan tiga
pendekatan dasar yaitu sebagai berikut:

a. Memperkaya makanana pokok dengan zat besi, seperti: hati, sayuran


berwarna hijau dan kacang-kacangan. Zat besi dapat membantu
pembentukan hemoglobin (sel darah merah) yang baru
b. Pemberian suplemen zat besi. Pada saat ini pemerintah mempunyai
Program Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri,
untuk mencegah dan menanggulangi masalah Anemia gizi besi melalui
suplementasi zat besi
c. Memberikan pendidikan kesehatan tentang pola makan sehat. Kehadiran
makanan siap saji (fast food) dapat mempengaruhi pola makan remaja.
Makanan siap saji umumnya rendah zat besi, kalsium, riboflavin, vitamin
A, dan asam folat. Makanan siap saji mengandung lemak jenuh, kolesterol
dan natrium yang tinggi.
2.1.11 Prognosis
Prognosis pada penderita anemia jika ditangani dengan cepat maka
prognosisnya baik. Anemia berat yang tidak diobati dapat menyebabkan syok
hingga koma dan meninggal.
BAB III

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai